Jangan Khawatir, Islam tak Bisa Dihancurkan

BENAR, jangan merisaukan Agama Islam. Bagaimanapun usaha kaum kafirin, kaum munafikin, dan siapapun yang mengikuti jejak mereka untuk menjatuhkan dan menghinakan Islam, sungguh Islam takkan terpengaruh.

Islam akan tetap terjaga dengan baik, karena Allah telah menjamin untuk menjaganya. Allah telah berfirman (yang artinya): “Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al Quran), dan Kami pula yang benar-benar akan menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).

Sebagaimana Allah menjaga kemurnian Al Quran, Allah juga akan menjaga kemurnian Islam, karena kandungan Al Quran, tidak lain adalah Islam yang murni.

Kita lihat hari-hari ini, seringkali sosok yang ditokohkan merendahkan sebagian syariat Islam, seperti: jenggot, cadar, celana di atas mata kaki, Al Quran disebut kitab paling porno, teknologi zaman ini disebut lbh hebat dari mukjizat nabi, haji sebaiknya dihentikan karena pemborosan, dan statemen statemen lainnya.

Tentu kita sebagai muslim geram dengan itu semua, tapi tenanglah, sejukkan hati anda, dan yakinlah bahwa usaha mereka akan sia-sia, mereka semua akan hilang sebagaimana para pendahulunya, dan Islam akan tetap tegak berdiri di muka bumi ini.

Allah telah berfirman (yang artinya): “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah menolak kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang orang kafir membencinya”. (QS. Attaubah: 32).Yang dimaksud “cahaya Allah” dalam ayat ini adalah petunjuk dan agama haq yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam (Tafsir Ibnu Katsir: 4/136).

Lihatlah bagaimana agungnya agama ini, agama yang dijamin Allah akan selalu hidup sempurna di muka bumi, sehingga tidak perlu kita mengkhawatirkannya lagi.

Justru yang perlu kita takutkan adalah diri kita, sudahkah kita menerapkan agama ini dalam hidup kita? Sudahkah kita peduli dengan agama kita? Sungguh Islam tidak akan rugi tanpa kita, namun kita akan rugi total tanpa Islam.

Justru mereka yang berusaha merendahkan Islam itulah yang harusnya waspada, karena tindakan mereka itu hanya merugikan dan membinasakan diri mereka sendiri, Allah taala berfirman (yang artinya): “Maka harusnya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan tertimpa bencana atau terkena adzab yang pedih”. (QS. Annur: 63).

Terakhir, yang harus digarisbawahi di sini, bahwa ketika kita tidak merisaukan Islam, bukan berarti kita tidak membela dan memperjuangkan Islam. Namun, harusnya kita tetap berusaha mendakwahkan Islam, karena Allah telah memerintahkan kita untuk terus berdakwah memperjuangkan Islam.

Sepantasnya kita berusaha menjadikan diri sebagai pejuang Islam, karena kalau bukan kita, pasti Allah memilih orang lain untuk mengisinya. Dan ingatlah bahwa semakin kita berjuang untuk Islam, maka semakin banyak kemuliaan yang kita dapatkan darinya, wallohu alam.

 

[Ustaz Musyaffa Ad Darini Lc, MA]

MOZAIK INILAHcom

Cukuplah Allah Bagi Kita

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Alloh Swt. Semoga Alloh Yang Maha Merajai seluruh kekuasaan di alam semesta ini mengkaruniakan kepada kita hati yang lembut dan mudah menerima kebenaran. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Tidak ada satupun perbuatan kecuali pasti ada balasannya di sisi Alloh Swt. Tidak ada yang luput sedikitpun perbuatan dari pengetahuan Alloh. Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Menyaksikan.

Setiap kebaikan ganjarannya akan dilipatgandakan. Setiap keburukan pasti dapat hukuman. Dan, setiap balasan dari Alloh itu pasti ada, pasti sempurna, pasti adil, pasti tepat, pasti benar, pasti tidak meleset. Tidak ada yang bisa menolak pembalasan dari Alloh Swt.

Pada peristiwa perang Uhud ada seseorang yang berkata kepada Rosululloh Saw.,Wahai Rosululloh, sesungguhnya orang-orang (kafir) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangmu, maka takutlah kepada mereka!Lalu beliau Saw mengucapkan,”Hasbunallah wanimal wakil”,kemudian Alloh menurunkann ayat,”(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Alloh dan Rosul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Hasbunalloh Wanimal-Wakiil”, Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”.(QS. 3:173).(HR. Bukhori).

Cukuplah Alloh sebagai penolong kita dan tempat kita memohon perlindungan. Tidak ada yang sebaik-baik pertolongan kecuali pertolongan Alloh. Tidak ada sebaik-baik keamanan kecuali keamanan dari Alloh. Dan, tidak ada sebaik-baik balasan kecuali balasan dari Alloh Swt.

Maka saudaraku, apa yang lebih baik dari penilaian Alloh? Tidak ada. Oleh karena itu, tidak perlu risau dengan pandangan makhluk yang semu. Fokus saja pada penilaian Alloh. Boleh jadi karena ketaatan kita kepada Alloh, kita dijauhi teman, kita dipandang nyinyir orang. Semua itu tidaklah berbahaya, yang berbahaya adalah kalau kita jauh dari Alloh, yang bahaya adalah kalau Alloh tidak peduli kepada kita.

Mari, kita fokuskan diri untuk mencintai Alloh dan rosul-Nya. Niscaya Alloh akan perintahkan para malaikat dan semua penghuni langit dan bumi untuk juga mencintai kita. Cukuplah Alloh bagi kita.Wallohualambishowab.

 

[smstauhiid]

Mau Terhindar Kemiskinan, Ikutilah 15 Anjuran Nabi

DALAM banyak hadis, Rasulullah saw menyebut kiat agar Muslimin terhindar dari kemiskinan.

Rasulullah bersabda: “Bila kalian masuk rumah hendaknya mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Bila rumah itu kosong, hendaknya mengucapkan dan membaca surat Al Ikhlas, karena itu mencegah kemiskinan.”

Mengulang kalimat azan bersama muazin. Ada seorang sahabat mengadukan kemiskinan yang dialaminya, kemudian Rasulullah bersabda: “Tirukanlah kalimat-kalimat azan ketika muazin mengucapkannya.”

Membasuh muka denga air mawar. Rasulullah bersabda: “Siapa hendak keluar untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian ia membasuh mukanya dengan air mawar, maka hajatnya akan dipenuhi dan ia tidak akan ditimpa kemiskinan.”

Mencuci dua tangan sebelum dan sesudah makan. Rasulullah bersabda: “Mencuci tangan sebelum makan mencegah kemiskinan dan mencuci sesudahnya mencegah kesumpekan.”

Menyisir jenggot setelah berwudhu. Rasulullah bersabda: “Menyisir jenggot setelah berwudhu mencegah kemiskinan.”

Berperilaku hemat. Rasulullah bersabda: “Aku menjamin bahwa orang yang hemat tak akan jatuh miskin.”

Memakan makanan yang tercecer. Rasulullah bersabda: “Siapa memungut makanan yang tercecer , lalu memakannya, maka kemiskinan akan menjauh darinya dan anak-anaknya hingga tujuh turunan.”

Memakai cincin firuz dan akik. Rasulullah bersabda: “Orang yang memakai cincin firus tidak akan jatuh miskin. “Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda, bahwa cincin akik mencegah kemiskinan dan kemunafikan.

9. Membaca seratus kali setiap hari. Rasulullah Saw bersabda: “Sesiapa membaca seratus kali setiap hari, maka ia akan mendapat kekayaan, menolak kemiskinan, menutup pintu neraka dan membuka pintu surga.”

10. Membaca surat Al Bayyinah. Rasulullah Saw bersabda: “Siapa membaca surat Al Bayyinah, tak akan dimasuki keraguan dalam agamanya dan tak akan diuji Allah dengan kemiskinan.”

11. Menyisir rambut. Rasulullah bersabda: “Menyisir rambut mencegah kemiskinan dan menghilangkan penyakit.”

12. Membaca surat Al Waqiah setiap malam. Rasulullah bersabda: “Siapa membaca surat Al Waqiah setiap malam, tidak akan jatuh miskin selamanya.”

13. Menyapu rumah. Rasulullah bersabda: “Menyapu rumah menghilangkan kemiskinan.”

14. Menyalakan lampu sebelum gelap. Rasulullah bersabda: “Menyalakan lampu sebelum matahari tenggelam mencegah kemiskinan.”

15. Selalu menjaga wudhu. Rasulullah bersabda: “Wudhu sebelum dan sesudah makan mencegah kemiskinan dan menambah rezeki.”

 

 

Sumber: Buku Mutiara Tersembunyi Warisan Nabi

Kabah Telah Menjadi Saksi Peribadatan Umat Nabi Muhammad

Musim haji akan segera tiba. Artinya jutaan orang akan menjadi tamu Allah, melakukan perjalanan fisik dan spiritual dengan harapan bertambah keimanan juga ketaqwaan.

Sudah lebih dari 1.400 tahun lalu, Muslim seluruh dunia menjadikan satu kota sebagai magnet manusia. Tanah suci Makkah, tempat berdirinya Kabah telah menjadi saksi peribadatan umat Nabi Muhammad.

Mereka menunaikan rukun Islam yang terakhir sambil berharap ibadah ini bisa menyempurnakan iman. Haji adalah perjalanan sekali seumur hidup. Setiap Muslim hanya diwajibkan sekali menunaikannya.

Itu pun Allah tidak memberatkan. Ibadah haji hanya diperuntukan bagi mereka yang terpilih dan Ia mampukan. Haji adalah perjalanan yang kompleks. Sehingga persiapannya pun tidak bisa main-main.

Dilansir Arab News, persiapan beberapa hal mulai dari fisik, finansial, spiritual hingga mental sangat perlu dimatangkan. Tujuannya, tidak lain untuk membuat perjalanan ini lebih terasa mendalam dan dimudahkan.

Berikut beberapa hal yang dinilai bisa membantu persiapan haji, seperti dikutip Arab News:

1. Sucikan akidah dari segala aspek syirik, baik yang kecil maupun besar. Tidak ada niat baik yang diterima Allah kecuali ia suci, murni dan ikhlas.

2. Niatkan ibadah haji tulus dan ikhlas hanya untuk Allah. Ini adalah persiapan spiritual, karena penerimaan dan pahala haji tergantung pada niat dan kesalehan Anda.

3. Perkaya pengetahuan tentang ritus haji dan umrah dari awal sampai akhir, karena pengetahuan membedakan yang benar dan yang salah. Pendidikan haji dapat diupayakan melalui berbagai cara, seperti membaca buku yang menjelaskan secara rinci, melalui program komputer yang mendemonstrasikan ritual haji dengan menggunakan format multimedia, mengikuti kelas haji reguler yang ditawarkan oleh pusat Islam, dan lainnya.

4. Gunakan sarana halal untuk menunjang perjalanan anda. “Allah itu murni dan Dia tidak menerima melainkan hanya yang murni.” (HR. Muslim). Pastikan Anda memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan dan menjamin kebutuhan anggota keluarga yang ditinggalkan.

5. Allah memerintahkan kita untuk menjadi orang benar dan takut padaNya. Ini untuk dua alasan utama, satu karena Haji membutuhkan kesalehan sebelum pergi ke haji. Alasan kedua adalah bahwa haji itu sendiri adalah sarana untuk mencapai Taqwa, Haji meningkatkan iman karena menaati Allah dan Rasul-Nya.

 

IHRAM

Penjaga Ka’bah pada Masa Kerajaan Saudi

Hingga hari ini, kunci Ka’bah masih dipegang keturunan Bani Syaibah. Mereka bertugas membuka dan mengunci pintu Ka’bah, mengawasi pembangunan, merawat, serta membersihkan Ka’bah.

Sejak Kerajaan Arab Saudi memerintah negeri ini, kunci Ka’bah berada di tangan Syekh Mohammed bin Zine al-Abidine bin Abdul Maati al- Shaybi. Dia menjadi penjaga Ka’bah selama 43 tahun dan wafat pada 1253 Hijriyah. Kemudian, kunci Ka’bah diserahkan kepada anak laki-lakinya, Abdul Kader. Setelahnya, kunci tersebut secara berurutan diserahkan kepada saudaranya, Salomo, Ahmed, dan Abdullah.

Al-Hashemi mengatakan, pemegang kunci Ka’bah yang menyaksikan Kerajaan Saudi bersatu adalah Syekh Abdul Qadir bin Ali bin Mohammed bin Zine al-Abidine al- Shaybi. Dia wafat pada 1351 Hijriyah. Selanjutnya, hak untuk menjaga Ka’bah diserahkan kepada Mohammed bin Mohammed Saleh al- Shaybi. Menjelang wafat, dia mewariskannya kepada Syekh Abdullah bin Abdul Qadir al-Shaybi yang kemudian diteruskan kepada anak-anaknya, Amin, Taha, dan Assem. Sepupu mereka, Talha bin Hasan al-Shaybi menjadi penjaga Ka’bah berikutnya.

Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Qadir al-Shaybi menjadi pewaris berikutnya. Ia wafat pada 1431 Hijriyah. Kemudian, kunci Ka’bah dipegang oleh Syekh Abdul Qadir bin Taha bin Abdul Allah al-Shaybi. Dia menjaga Ka’bah selama empat tahun.

Al-Hashemi mengatakan, juru kunci Ka’bah antara lain bertugas membuka dan menutup Ka’bah. Ketika ada tamu negara yang ingin mengunjungi Ka’bah dan masuk ke dalamnya, sang juru kunci biasanya akan berkoordinasi dengan pihak Kementerian Dalam Negeri dan Pasukan Keamanan.

Ka’bah dibersihkan setiap tanggal 15 Muharam setiap tahun. Setelah kerajaan mengeluarkan surat perintah pembersihan Ka’bah, Emir Kota Makkah akan segera berkoordinasi dengan pengurus Ka’bah terkait prosedur pembersihan tersebut. Setelah dibersihkan, kepala juru kunci menerima kain penutup Ka’bah (kiswah) yang baru pada hari pertama Dzulhijah dan dipasang pada hari Arafah (9 Dzulhijah) dalam sebuah acara khusus.

 

IHRAM

Jamaah Calon Haji Diminta Serius Ikuti Manasik

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bengkulu meminta seluruh jamaah calon haji daerah setempat agar serius mengikuti penyelenggaraan manasik haji sebelum keberangkatan musim haji tahun 1438 Hijriyah ini.

“Manasik semacam simulasi apa saja yang akan dilaksanakan di tanah suci, jangan sampai tidak hadir ini penting supaya di Makkah bisa beribadah dengan nyaman dan tidak menimbulkan masalah dalam kelompok,” kata Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Bengkulu Bustasar di Bengkulu, Ahad (9/7).

Jamaah calon haji diminta agar tidak memandang enteng persoalan manasik haji, walaupun sudah pernah berhaji pada tahun-tahun sebelumnya. Ketika manasik jamaah dapat membangun komunikasi dalam kelompok jamaah calon haji Bengkulu.

“Termasuk koordinasi dengan petugas yang akan memandu sehingga nantinya di sana tidak terjadi persoalan seperti jamaah terpisah dari kelompok atau persoalan lainnya,” kata dia.

Petugas yang mendampingi jemaah pun jumlahnya terbatas. Karena itu, menurut Bustasar, jamaah harus benar-benar siap sebelum diberangkatkan pada pelaksanaan ibadah haji 2017 ini.

Setelah kegiatan manasik haji ini, para jamaah akan masuk ke asrama guna persiapan keberangkatan yang akan bergabung dengan kelompok terbang (kloter) Sumatra Barat. Bustasar mengatakan seluruh proses administrasi jamaah calon haji setempat sudah rampung, termasuk paspor bagi 1.641 jemaah.

“Paspor dan dokumen penting lainnya tolong disimpan dalam satu tempat, jangan sampai berceceran, pada akhir Juli ini sudah proses keberangkatan,” ujar Bustasar.

 

IHRAM

Nabi Ibrahim Pencetus Lembaga Penjaga Ka’bah

Ka’bah, kiblat umat Islam itu, memiliki pen jaga yang diwariskan secara turun-temurun. Adalah Bani Syaibah (anak keturunan Syaibah) yang mendapat tugas mulia itu.

Sebagai pemegang kunci Ka’bah, anggota keluarga Syaibah biasanya menyempatkan diri menemui jamaah saat acara pembersihan Ka’bah. Syekh Abdul Aziz asy-Syaibi, salah satu keturunan Bani Syaibah, memegang kunci Ka’bah selama 18 tahun. Tugas itu berakhir setelah ia wafat pada November 2010. Tugas itu kemudian dilanjutkan saudaranya, Syekh Abdul Qadir asy- Syaibi, yang wafat pada 23 Oktober 2014.

Sejarah mencatat, Nabi Muhammad SAW membuat lembaga penjaga Ka’bah sejak tahun kedelapan Hijriyah. Sesuai janji Rasulullah, kunci Ka’bah dan penjagaannya diwariskan kepada anak-anak keturunan Shaybah Bani Talha.

Terkait hal itu, Rasulullah pernah bersabda, “Ambillah, Oh Bani Talha, sampai pada hari kiamat, dan ini tidak akan diambil dari kalian kecuali seorang tiran yang tidak adil dan menindas.” Sabda Rasulullah tersebut menjadi penjelas mengapa keturunan Syaibah Bani Talha menjadi pewaris tugas mulia itu, bahkan hingga saat ini.

Mohi Eddin al-Hashemi, sejarawan Islam yang pernah meneliti sejarah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi mengatakan, tradisi menjaga Ka’bah secara turun-temurun telah berlangsung selama berabad-abad sejak zaman Nabi Ibrahim AS.

Menurut dia, lembaga penjaga Ka’bah pertama kali dibentuk pada masa Nabi Ibrahim. “Ketika itu, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail untuk membuat fondasi Ka’bah. Sejak saat itulah tradisi menjaga Ka’bah secara turun-temurun dimulai,” kata al- Hashemi seperti dilansir laman alarabiya.net.

Seperti dikatakan al-Hashemi, tradisi penjagaan Ka’bah dimulai sejak Nabi Ibrahim, kemudian diwariskan kepada putranya, Nabi Ismail hingga wafat. Selanjutnya, tugas menjaga Ka’bah dipegang oleh putra Nabi Ismail.

 

REPUBLIKA

Bendera dan Panji Rasulullah

Semenjak masa Rasulullah SAW, umat Islam sudah mempunyai bendera. Dalam bahasa Arab, bendera sebut dengan liwa’ atau alwiyah (dalam bentuk jamak). Istilah liwa’ sering ditemui dalam beberapa riwayat hadis tentang peperangan. Jadi, istilah liwa’ sering digandengkan pemakaiannya dengan rayah (panji perang).

Istilah liwa’ atau disebut juga dengan al-‘Alam (bendera) dan rayah mempunyai fungsi berbeda. Dalam beberapa riwayat disebutkan, rayah yang dipakai Rasulullah SAW berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih. (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah).

Meskipun terdapat juga hadis-hadis lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa’ dan rayah, sebagian besar ahli hadis meriwayatkan warna liwa’ dengan warna putih dan rayah dengan warna hitam.

Secara ukuran, rayah lebih kecil dari liwa’. Mengenai ukuran panjang dan lebarnya,  tidak ditemui riwayat yang menjelaskan secara rinci dari bendera maupun panji-panji Islam pada masa Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Panji Rasulullah SAW berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol.” (HR Tirmizi).

Rayah dan liwa’ sama-sama bertuliskan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Pada rayah (bendera hitam) ditulis dengan warna putih, sebaliknya pada liwa’ (bendera putih) ditulis dengan warna hitam.

Rayah dan liwa’ juga mempunyai fungsi yang berbeda. Rayah merupakan panji yang dipakai pemimpin atau panglima perang. Rayah menjadi penanda bahwa orang yang memakainya merupakan pimpinan dan pusat komando yang menggerakkan seluruh pasukan. Jadi, hanya para komandan (sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan lain) yang memakai rayah.

Rayah diserahkan langsung oleh khalifah kepada panglima perang serta komandan-komandannya. Selanjutnya, rayah dibawa selama berperang di medan peperangan. Karena itulah, rayah disebut juga Ummu al-Harb (Induk Perang).

Mengenai hal ini, berdalil dari hadis dari Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah ketika menjadi panglima di Perang Khandak pernah bersabda, “Aku benar-benar akan memberikan panji (rayah) ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah kemudian memberikan rayah tersebut kepada Ali bin Abi Thalib yang saat itu menjadi ketua divisi pasukan Islam. (HR Bukhari).

Ibnu Asakir dalam bukunya Tarikh ad-Dimasyq jilid IV/225-226 menyebutkan, rayah milik Rasulullah SAW mempunyai nama. Dalam riwayat disebutkan, nama rayah Rasulullah SAW adalah al-‘Uqab.

Selain itu, fungsi liwa’ sebagai penanda posisi pemimpin pasukan. Pembawa bendera liwa’ akan terus mengikuti posisi pemimpin pasukan berada. Liwa’ dalam perperangan akan diikat dan digulung pada tombak.

Riwayat mengenai liwa’, seperti yang diriwayatkan dari Jabir RA yang mengatakan, Rasulullah membawa liwa’ ketika memasuki kota Makkah saat Fathul Makkah (pembebasan Kota Makkah). (HR Ibnu Maajah).

Setelah masa-masa ekspansi dari daulah Islam berakhir, simbol-simbol menyerupai rayah dan liwa’ kembali muncul. Banyak kelompok dan ormas yang menggunakan simbol tersebut sebagai lambang organisasinya. Namun, apakah hal ini diperkenankan?

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Dr KH Ali Mustafa Ya’qub mengatakan, sebenarnya tidak ada larangan bagi satu kelompok untuk memakai simbol rayah dan liwa’. Namun, jika tujuannya untuk menipu atau mengecoh umat Islam, tentu itu jelas haram.

Menurut Ali Mustafa, kelompok-kelompok ekstremis, seperti Islamic State of Irak and Suriah (ISIS), menggunakan rayah dan liwa’ untuk menipu umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan slogan yang mereka usung. Penggunaan rayah dan liwa’ hanya sekadar propaganda untuk menarik simpati umat Islam.

Demikian juga tentang fungsi rayah dan liwa’ sebagai bendera umat Islam. Menurut Ali Mustafa, tidak ada dalil kuat yang bisa mengklaim begitu saja bahwa liwa’ merupakan bendera umat Islam. Menurutnya, Islam bukan bendera, melainkan keyakinan. Keberadaan rayah dan liwa’ pada zaman Rasulullah SAW hanya sebagai tanda.

Kelompok lain yang menggunakan liwa’ dan rayah sebagai lambang ormas, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Jubir HTI Abdullah Fanani mengatakan, sah-sah saja ketika ada ormas yang memakai simbol dari liwa’ dan rayah. HTI sendiri menggunakan bendera dari liwa’ dan rayah dengan mencantumkan Hizbut Tahrir Indonesia di bawah tulisan La ilaha illallah Muhammadar Rasulullah.

Hizbut Tahrir berpendapat, rayah dan liwa’ merupakan bendera umat Islam. Jadi, tidak bisa diklaim bahwa keduanya termasuk simbol milik suatu kelompok tertentu.

 

Disarikan dari Pusat Data Republika

Jangan Meminta Sesuatu yang Tidak Sanggup Ditanggung

Mintalah sesuatu yang sanggup kita tanggung menurut ukuran dan kompetensi yang ada pada diri kita agar kita selamat dari ujian-ujian-Nya.

 

ALLAHSubhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yangmelampaui batas.” (al-A’raaf [7]: 55).

Dengan firman tersebut, Allah memberi peringatan bahwa dalam berdoa sepatutnya tidak melampaui batas tentang yang diminta dan cara memintanya. Meminta sesuatu yang tidak pantas dan tidak sanggup untuk ditanggungnya di kemudian hari bila doanya tersebut dikabulkan Allah, padahal ia sudah berikrar kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:

Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (at-Taubah [9]: 75-76).

Diriwayatkan dari ‘Umar al-Bahili r.a tentang sebab turunnya ayat 75-76 Surat at-Taubah tersebut bahwa pada mulanya Tsa’labah bin Hathib al-Anshari senantiasa pergi ke masjid Rasulullah siang dan malam. Keningnya bagaikan lutut unta karena banyaknya bersujud di atas tanah dan batu-batu.

Pada suatu hari dia keluar masjid (buru-buru) tanpa sibuk berdoa dan melakukan shalat sunnah terlebih dahulu (sebagaimana biasanya). Maka, Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepadanya, “Kenapa kamu melakukan perbuatan orang-orang munafik dengan tergesa-gesa keluar (masjid)?”

Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku keluar karena aku dan istriku hanya mempunyai satu kain saja, yaitu yang ada pada tubuhku ini. Aku shalat dengan kain ini, sedang dia tidak berkain di rumah. Kemudian aku kembali kepadanya, lalu melukar kain ini, barulah dia mengena¬kannya lalu shalat dengannya. Maka doakanlah aku kepada Allah agar Dia mengaruniai aku harta.”

Maka dijawab oleh Nabi, “Wahai Tsa’labah, sedikit yang kamu syukuri adalah lebih baik daripada banyak yang tak sanggup kamu menanggungnya.” Sesudah itu, Tsa’labah datang lagi kepada beliau, lalu berkata, “Doakanlah aku kepada Allah agar Dia mengaruniai harta kepadaku.”

“Tidakkah kamu memperoleh teladan yang baik dalam diri Rasulullah?” tandas beliau, seraya bersabda lagi, “Demi Allah yang diriku ada pada Tangan-Nya, sekiranya aku menghendaki gunung-gunung berjalan bersamaku, men¬jadi emas dan perak, tentu mereka akan menurut.”

Kemudian setelah itu, Tsa’labah datang lagi kepada Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia mengaruniai harta kepadaku. Demi Allah Yang telah Mengutus engkau benar-benar seorang Nabi, sesungguhnya jika Allah mengaruniai harta kepadaku, pastilah aku akan berikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.” Maka, Nabi pun berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah.”

Lalu Tsa’labah memelihara kambing. Ternak kambingnya pun berkembang-biak seperti berkembang-biak¬nya ulat, sehingga penuh sesaklah Madinah karenanya. Kemudian, ia tinggal di sebuah lembah di sana, sementara ternak kambingnya terus berkembang-biak. Dia masih menyempatkan diri shalat zhuhur dan ashar bersama Rasulullah, sedangkan shalat-shalat lainnya dia lakukan di tengah kambing-kambingnya.

Ternaknya itu pun semakin banyak dan kian berkembang, sehingga karenanya Tsa’labah semakin jauh dari Madinah, dan kini ia hanya bisa menghadiri shalat Jumat saja. Selanjutnya, ternaknya itu semakin bertambah banyak, sehingga Tsa’labah pun semakin jauh pula. Dan, akhirnya dia tidak menghadiri shalat Jumat maupun shalat jenazah. Apabila tiba hari Jumat, dia keluar menemui orang-orang dan menanyakan berita-berita kepada mereka.

Pada suatu hari, Rasulullah menyebut-nyebut perihal Tsa’labah. Beliau bertanya, “Apa kerja Tsa’labah?” Orang-orang menjawab, “Ya Rasulullah, dia memelihara kambing yang tidak termuat oleh satu lembah.”

“Oh, celaka Tsa’labah,” kata Nabi. Dan Allah pun menurunkan ayat tentang zakat. Maka Rasulullah menugaskan dua orang lelaki untuk memungut zakat. Orang-orang menyambut kedua petugas itu dengan zakatnya masing-masing. Akhirnya, sampailah kedua petugas itu kepada Tsa’labah, lalu meminta zakat kepadanya seraya membacakan kepadanya surat Rasulullah yang mencantumkan apa-apa yang wajib dikeluarkan. Namun, Tsa’labah tidak sudi memberi zakat, bahkan mengatakan, “Ini tidak lain dari jizyah (pajak), atau ini sejenis jizyah.” Dan katanya pula, “Pulanglah kalian, sehingga aku dapat mempertimbangkan dan memikirkan benar-benar.”

Tatkala kedua petugas zakat itu kembali kepada Nabi, beliau berkata kepada mereka sebelum mereka sempat berbicara kepada beliau, “Oh, celaka Tsa’labah, oh, celaka Tsa’labah.” Kemudian, Allah Ta’ala menurunkan ayat ini (ayat 75-76 Surat at-Taubah), sementara di sisi Rasulullah ada seorang lelaki dari kerabat Tsa’labah. Dia mendengar itu, lalu berangkat menemui Tsa’labah.

“Celaka kamu wahai Tsa’labah,” serunya. “Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat mengenai kamu begini dan begitu.” Maka, Tsa’labah pun berangkat mendatangi Nabi dengan menyerahkan zakat kepada beliau. Namun, Nabi berkata, “Sesungguhnya Allah melarang aku menerima zakat darimu.”

Kemudian Tsa’labah menaburkan tanah ke atas kepalanya, tetapi Nabi tetap mengatakan, “Beginilah balasan perbuatanmu. Sesungguhnya aku telah menyuruhmu, tetapi kamu tidak mematuhiku.”

Dan, setelah wafatnya Rasulullah, maka datanglah Tsa’labah membawa zakatnya kepada Abu Bakar ash Shiddiq r.a., dan berkata, “Terimalah zakatku.” Tetapi, Abu Bakar r.a. pun tidak mau menerimanya, seraya berkata, “Rasulullah tidak sudi menerima zakat darimu, haruskah aku menerimanya, padahal Allah tidak menerimanya?”

Kemudian datang pula Tsa’labah membawa zakatnya pada ‘Umar bin Khathab r.a. di masa pemerintahannya, seraya mengatakan, “Terimalah zakatku.” Dan, Umar pun tidak mau menerimanya, seraya berkata, “Kedua pendahuluku tidak sudi menerima zakat itu darimu, haruskah aku menerimanya, padahal Allah tidak menerimanya?”

Kemudian, Tsa’labah datang pula membawa zakatnya pada ‘Utsman r.a. di masa pemerintahannya, seraya mengatakan, “Terimalah zakatku.” Dan, Utsman pun tidak mau menerimanya, seraya berkata, “Para pendahuluku tidak sudi menerima zakat itu darimu, haruskah aku menerimanya, padahal Allah tidak menerimanya?”

Akhirnya Tsa’labah meninggal di masa pemerintahan ‘Utsman bin `Affan r.a. Semua hukuman itu adalah akibat kekikiran, mencintai harta terlalu berlebihan, dan tidak mau membayar zakat. Dan, oleh karena telah menyalahi janji itu merupakan suatu kemunafikan, maka menyalahi janji itu pun dianggap sepertiga dari nifak, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah bahwa, “Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji ia ingkari, dan apabila dipercaya ia khianat.”

Pelajaran yang sangat penting untuk kita ambil hikmahnya dari cerita Tsa’labah di atas adalah jangan sampai kita meminta sesuatu kepada Allah, baik itu harta kekayaan, pangkat, atau jabatan dan urusan dunia lainnya apabila kita tidak sanggup menanggung amanah tersebut dengan baik. Oleh karenanya, mintalah sesuatu yang sanggup kita tanggung menurut ukuran dan kompetensi yang ada pada diri kita agar kita selamat dari ujian-ujian-Nya.*/Rachmat Ramadhana Al-Banjari, dikutip dari bukunya Bila Doamu Tak Kunjung Dikabul, Inilah Cara Mengasahnya…

 

HIDAYATULLAH

Meninggal di Madinah Mendapatkan Syafaat

TERDAPAT anjuran untuk mati di tempat mulia dan memakamkan jenazah di tempat mulia, yang memiliki keistimewaan. Seperti di tanah suci Mekah atau Madinah.

Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang bisa meninggal di Madinah, silahkan meninggal di Madinah. Karena aku akan memberikan syafaat bagi orang yang meninggal di Madinah. (HR. Turmudzi 3917, dishahihkan an-Nasai dalam Sunan al-Kubro (1/602) dan al-Albani)

Apa makna bisa meninggal di Madinah?

Kita simak keterangan at-Thibby,

“Mati di Madinah, itu di luar kemampuan manusia. Akan tetapi itu kembali kepada Allah. Sehingga makna hadis ini adalah perintah untuk tinggal menetap di Madinah, berusaha tidak meninggalkan kota ini. Sehingga ini menjadi sebab untuk bisa mati di Madinah. ” (Tuhfatul Ahwadzi, 10/286)

Al-Munawai menukil keterangan as-Syamhudi,

“Dalam hadis ini terdapat kabar gembira bagi orang yang tinggal di Madinah, mereka akan mati Muslim. Karena syafaat hanya akan diberikan kepada kaum muslimin. Dan itu menjadi keistimewaan tersendiri. Karena setiap orang yang mati di Madinah, dia mendapat kabar gembira untuk itu. (Faidhul Qadir, 6/70).

Mereka Bercita-cita Mati di Tanah Suci

Diantaranya Nabi Musa alahis salam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menceritakan permintaan Musa alaihis salam ketika didatangi malaikat maut,

“Beliau memohon kepada Allah, agar kematiannya di dekatkan dengan tanah suci (baitul maqdis) sejauh lemparan kerikil. (HR. Bukhari 1339 & Muslim 2372)

Ibnu Batthal menjelaskan,

“Makna permintaan Musa agar kematiannya di dekatkan dengan tanah suci adalah karena adanya keutamaan orang yang dimakamkan di tanah suci, seperti para nabi dan orang saleh lainnya. Sehingga dianjurkan untuk mati di dekat mereka, sebagaimana dianjurkan untuk berdampingan dengan mereka ketika hidup. (Syarh Shahih Bukhari, 3/325)

Demikian pula yang dilakukan Umar bin Khatab radhiyallahu anhu. Beliau pernah berdoa,

“Ya Allah, berikanlah aku anugerah mati syahid di jalan-Mu, dan jadikanlah kematianku di tanah Rasul-Mu shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 1890)

Kata an-Nawawi, “Dianjurkan untuk meminta mati di daerah yang mulia. (al-Majmu, 5/106).

Umar juga memohon, agar jenazahnya dimakamkan di samping makan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu anhu. Seperti itu pula yang dilakukan sahabat Saad bin Abi Waqqash dan Said bin Zaid. Diceritakan oleh Imam Malik, bahwa beliau meninggal di daerah Aqiq, lalu jenazahnya dipindah ke Madinah, dan dimakamkan di Madinah. (al-Muwatha, 2/325 dan dishahihkan Ibnu Abdil Bar dalam al-Istidzkar)

Tidak Semua Syahid

Keterangan di atas untuk menunjukkan keutamaan meninggal di tanah suci. Seperti meninggal di tanah haram, terutama Madinah. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjanjikan, muslim yang meninggal di Madinah akan mendapat syafaat dari beliau.

Sementara apakah mereka mati syahid? Untuk bisa disebut mati syahid, harus ada dalil. Karena predikat syahid adalah predikat khusus. Hanya bisa diberikan, jika ada dalil.

Orang yang mati dalam kondisi ihram, baik ketika haji atau umrah, memiliki keutamaan khusus. Orang ini di hari kiamat akan dibangkitkan dalam kondisi membaca talbiyah, Labbaik Allahumma labbaik Karena itu, jenazahnya tidak boleh diberi wewangian dan tidak boleh ditutup kepalanya. Dipertahankan seperti orang yang ihram.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bercerita, “Ada orang yang ikut wukuf bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Arafah, tiba-tiba ada orang yang terpelanting dari untanya, jatuh, hingga lehernya patah. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyarankan,

“Mandikan dia dengan air dan bidara. Jangan dikasih wewangian, dan jangan ditutupi kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat, dalam kondisi membaca talbiyah. (Bukhari 1265 & Muslim 2948)

Bagaimana jika meninggalnya setelah haji? Orang yang telah usai melaksanakan haji, dan dalam proses menunggu untuk pulang, lalu dia meninggal, kita berharap semoga husnul khotimah, karena meninggal setelah melakukan amal soleh. Hanya saja, apakah ada keutamaan khusus baginya, kita tidak bisa sampaikan, kecuali jika ada dalil. Allahu alam. []

 

Sumber : artikel Ustadz Ammi Nur Baits/Konsultasisyariah

 

———————————————————

Dengan mengundu aplikasi Android ini… https://play.google.com/store/apps/details?id=com.toyo.porsi

1. Anda akan bisa mengecek Keberangkatan Haji Anda (sesuai nomor porsi)

2. Anda juga bisa mengecek Status Visa Umrah Anda,… sehingga Anda terbebas dari penipuan

3. Kami akan memberikan informasi keislaman, 6 kali sehari…. bahkan bisa lebih.