ALLAHSubhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yangmelampaui batas.” (al-A’raaf [7]: 55).
Dengan firman tersebut, Allah memberi peringatan bahwa dalam berdoa sepatutnya tidak melampaui batas tentang yang diminta dan cara memintanya. Meminta sesuatu yang tidak pantas dan tidak sanggup untuk ditanggungnya di kemudian hari bila doanya tersebut dikabulkan Allah, padahal ia sudah berikrar kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (at-Taubah [9]: 75-76).
Diriwayatkan dari ‘Umar al-Bahili r.a tentang sebab turunnya ayat 75-76 Surat at-Taubah tersebut bahwa pada mulanya Tsa’labah bin Hathib al-Anshari senantiasa pergi ke masjid Rasulullah siang dan malam. Keningnya bagaikan lutut unta karena banyaknya bersujud di atas tanah dan batu-batu.
Pada suatu hari dia keluar masjid (buru-buru) tanpa sibuk berdoa dan melakukan shalat sunnah terlebih dahulu (sebagaimana biasanya). Maka, Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepadanya, “Kenapa kamu melakukan perbuatan orang-orang munafik dengan tergesa-gesa keluar (masjid)?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku keluar karena aku dan istriku hanya mempunyai satu kain saja, yaitu yang ada pada tubuhku ini. Aku shalat dengan kain ini, sedang dia tidak berkain di rumah. Kemudian aku kembali kepadanya, lalu melukar kain ini, barulah dia mengena¬kannya lalu shalat dengannya. Maka doakanlah aku kepada Allah agar Dia mengaruniai aku harta.”
Maka dijawab oleh Nabi, “Wahai Tsa’labah, sedikit yang kamu syukuri adalah lebih baik daripada banyak yang tak sanggup kamu menanggungnya.” Sesudah itu, Tsa’labah datang lagi kepada beliau, lalu berkata, “Doakanlah aku kepada Allah agar Dia mengaruniai harta kepadaku.”
“Tidakkah kamu memperoleh teladan yang baik dalam diri Rasulullah?” tandas beliau, seraya bersabda lagi, “Demi Allah yang diriku ada pada Tangan-Nya, sekiranya aku menghendaki gunung-gunung berjalan bersamaku, men¬jadi emas dan perak, tentu mereka akan menurut.”
Kemudian setelah itu, Tsa’labah datang lagi kepada Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia mengaruniai harta kepadaku. Demi Allah Yang telah Mengutus engkau benar-benar seorang Nabi, sesungguhnya jika Allah mengaruniai harta kepadaku, pastilah aku akan berikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.” Maka, Nabi pun berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah.”
Lalu Tsa’labah memelihara kambing. Ternak kambingnya pun berkembang-biak seperti berkembang-biak¬nya ulat, sehingga penuh sesaklah Madinah karenanya. Kemudian, ia tinggal di sebuah lembah di sana, sementara ternak kambingnya terus berkembang-biak. Dia masih menyempatkan diri shalat zhuhur dan ashar bersama Rasulullah, sedangkan shalat-shalat lainnya dia lakukan di tengah kambing-kambingnya.
Ternaknya itu pun semakin banyak dan kian berkembang, sehingga karenanya Tsa’labah semakin jauh dari Madinah, dan kini ia hanya bisa menghadiri shalat Jumat saja. Selanjutnya, ternaknya itu semakin bertambah banyak, sehingga Tsa’labah pun semakin jauh pula. Dan, akhirnya dia tidak menghadiri shalat Jumat maupun shalat jenazah. Apabila tiba hari Jumat, dia keluar menemui orang-orang dan menanyakan berita-berita kepada mereka.
Pada suatu hari, Rasulullah menyebut-nyebut perihal Tsa’labah. Beliau bertanya, “Apa kerja Tsa’labah?” Orang-orang menjawab, “Ya Rasulullah, dia memelihara kambing yang tidak termuat oleh satu lembah.”
“Oh, celaka Tsa’labah,” kata Nabi. Dan Allah pun menurunkan ayat tentang zakat. Maka Rasulullah menugaskan dua orang lelaki untuk memungut zakat. Orang-orang menyambut kedua petugas itu dengan zakatnya masing-masing. Akhirnya, sampailah kedua petugas itu kepada Tsa’labah, lalu meminta zakat kepadanya seraya membacakan kepadanya surat Rasulullah yang mencantumkan apa-apa yang wajib dikeluarkan. Namun, Tsa’labah tidak sudi memberi zakat, bahkan mengatakan, “Ini tidak lain dari jizyah (pajak), atau ini sejenis jizyah.” Dan katanya pula, “Pulanglah kalian, sehingga aku dapat mempertimbangkan dan memikirkan benar-benar.”
Tatkala kedua petugas zakat itu kembali kepada Nabi, beliau berkata kepada mereka sebelum mereka sempat berbicara kepada beliau, “Oh, celaka Tsa’labah, oh, celaka Tsa’labah.” Kemudian, Allah Ta’ala menurunkan ayat ini (ayat 75-76 Surat at-Taubah), sementara di sisi Rasulullah ada seorang lelaki dari kerabat Tsa’labah. Dia mendengar itu, lalu berangkat menemui Tsa’labah.
“Celaka kamu wahai Tsa’labah,” serunya. “Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat mengenai kamu begini dan begitu.” Maka, Tsa’labah pun berangkat mendatangi Nabi dengan menyerahkan zakat kepada beliau. Namun, Nabi berkata, “Sesungguhnya Allah melarang aku menerima zakat darimu.”
Kemudian Tsa’labah menaburkan tanah ke atas kepalanya, tetapi Nabi tetap mengatakan, “Beginilah balasan perbuatanmu. Sesungguhnya aku telah menyuruhmu, tetapi kamu tidak mematuhiku.”
Dan, setelah wafatnya Rasulullah, maka datanglah Tsa’labah membawa zakatnya kepada Abu Bakar ash Shiddiq r.a., dan berkata, “Terimalah zakatku.” Tetapi, Abu Bakar r.a. pun tidak mau menerimanya, seraya berkata, “Rasulullah tidak sudi menerima zakat darimu, haruskah aku menerimanya, padahal Allah tidak menerimanya?”
Kemudian datang pula Tsa’labah membawa zakatnya pada ‘Umar bin Khathab r.a. di masa pemerintahannya, seraya mengatakan, “Terimalah zakatku.” Dan, Umar pun tidak mau menerimanya, seraya berkata, “Kedua pendahuluku tidak sudi menerima zakat itu darimu, haruskah aku menerimanya, padahal Allah tidak menerimanya?”
Kemudian, Tsa’labah datang pula membawa zakatnya pada ‘Utsman r.a. di masa pemerintahannya, seraya mengatakan, “Terimalah zakatku.” Dan, Utsman pun tidak mau menerimanya, seraya berkata, “Para pendahuluku tidak sudi menerima zakat itu darimu, haruskah aku menerimanya, padahal Allah tidak menerimanya?”
Akhirnya Tsa’labah meninggal di masa pemerintahan ‘Utsman bin `Affan r.a. Semua hukuman itu adalah akibat kekikiran, mencintai harta terlalu berlebihan, dan tidak mau membayar zakat. Dan, oleh karena telah menyalahi janji itu merupakan suatu kemunafikan, maka menyalahi janji itu pun dianggap sepertiga dari nifak, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah bahwa, “Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji ia ingkari, dan apabila dipercaya ia khianat.”
Pelajaran yang sangat penting untuk kita ambil hikmahnya dari cerita Tsa’labah di atas adalah jangan sampai kita meminta sesuatu kepada Allah, baik itu harta kekayaan, pangkat, atau jabatan dan urusan dunia lainnya apabila kita tidak sanggup menanggung amanah tersebut dengan baik. Oleh karenanya, mintalah sesuatu yang sanggup kita tanggung menurut ukuran dan kompetensi yang ada pada diri kita agar kita selamat dari ujian-ujian-Nya.*/Rachmat Ramadhana Al-Banjari, dikutip dari bukunya Bila Doamu Tak Kunjung Dikabul, Inilah Cara Mengasahnya…