Siapakah Mukimin Jawi?

Makkah dan Madinah sebagai dua kota Rasulullah SAW tentu menarik perhatian umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk dikunjungi. Keberadaan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah  adalah keistimewaan tersendiri.

Bersama dengan Masjid Al Aqsa di Palestina, dua masjid tersebut adalah masjid yang dikhususkan sebagai tujuan ziarah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah pelana itu diikat—untuk melakukan perjalanan—kecuali ketiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul (Nabawi) dan Masjid Al Aqsa.” (HR Bukhari Muslim).

Makkah juga menjadi tempat tujuan ibadah haji dan umrah. Begitu juga Madinah, tempat Rasulullah SAW dimakamkan. Jutaan umat Islam dunia berkunjung di dua kota suci itu setiap tahunnya. Sampai-sampai ada yang menetapkan diri untuk tinggal lebih lama di kota itu.

Para pendatang yang bermukim di Makkah dan Madinah pun berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Warga Indonesia yang tinggal dan beraktivitas di Makkah dan Madinah pun memiliki julukan tersendiri, yakni mukimin jawi.

Menurut Ensiklopedia Islam, mukimin jawi bukan hanya ditujukan bagi pendatang dari Indonesia, namun juga secara umum dari wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Brunei dan Mindanau. Mereka adalah orang Islam yang tinggal dalam kurun waktu beberapa lama di Makkah dan Madinah. Mereka berbaur dan memiliki aktivitas ekonomi dengan penduduk lokal.

Menurut catatan Lodovico de Varthema, seorang pengembara asal Bologna Italia, mukimin jawi sudah masuk ke Makkah sejak abad ke-16. Saat itu, ia menyamar sebagai Muslim agar bisa masuk Makkah. Dalam catatannya, mukimin jawi sudah masuk pada 1502.

Saat itu, kedatangan orang Melayu ke Makkah selain untuk beribadah haji juga untuk berdagang. Jumlah mukimin jawi meningkat setelah lancarnya transportasi dari Asia Tenggara ke Timur Tengah setelah digunakannya kapal api pada abad ke-18.

Para mukimin jawi di Makkah dan Madinah bisa dilihat dari ujung nama mereka yang bernuansa etnik nusantara. Gelar seperti as-Singkil (Singkil), al-Asi (Aceh), al-Minangkabawi (Minangkabau), al-Padani (Padang), al-Mandili (Mandailing), al-Palimbani (Palembang), al-Bantani (Banten) hingga al-Maqassari (Makassar).

Para mukimin jawi ini berkumpul sesuai dengan etnik kelompoknya. Pada abad ke-19, komposisi terbesar dari mukimin jawi adalah etnik Jawa. Banyak pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki hubungan  dengan ulama Jawi yang memperoleh pendidikan di Makkah dan Madinah.

Selain berdagang dan haji, banyak pemuda nusantara yang tinggal di Makkah benar-benar untuk menimba ilmu. Mereka mengikuti halaqah di Masjidil Haram. Tak sedikit dari mereka yang kembali ke Tanah Air menjadi ulama besar, seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Secara ekonomi, para mukimin jawi ini termasuk yang cukup mapan. Mereka mendapat kiriman rutin dari keluarga di Tanah Air selama menuntut ilmu. Selain itu, saat musim haji, mereka juga bekerja membantu para jamaah haji asal nusantara. Beberapa dari mereka juga melakukan badal haji dengan imbalan tertentu. Dari kerja saat musim haji ini mereka bisa menghidupi diri untuk setahun ke depan.

Ketika gerakan pan-Islamisme berkembang pada akhir abad ke-19, dampaknya turut memengaruhi para mukimin jawi. Pemerintah kolonial Belanda khawatir para mukimin jawi terkena paham Pan-Islamisme saat  kembali mengobarkan perlawanan. Belanda mulai mengetatkan perizinan bagi mereka yang akan pergi ke Makkah dan Madinah. Kedatangan para santri dari Makkah dan Madinah pun diperketat. Jamaah haji pun dibatasi.

Menginjak abad ke-20, motivasi orang-orang Indonesia datang ke Makkah dan Madinah pun mulai bergeser. Kemajuan ekonomi Arab Saudi membuat keberangkatan orang Melayu hanya untuk mencari nafkah. Para santri yang ingin menjadi ulama dan menimba ilmu di Makkah dan Madinah mulai berkurang. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Arab Saudi juga memperketat visa belajar. Hanya yang ingin belajar di perguruan tinggi saja yang diberikan izin. Itu pun bagi yang mendapat beasiswa dari pemerintah.

Perluasan kompleks Masjidil Haram dari tahun ke tahun pun juga membuat permukiman para pendatang dari Melayu tergeser. Permukiman Jabal Abu Qubais yang terkenal sebagai tempat tinggal orang Indonesia  digusur dan menjadi bagian dari istana raja Arab Saudi. Para mukimin jawi yang tersisa pun tinggal berpencar-pencar.

 

IHRAM

55 Persen Jamaah Haji 2017 Perempuan

Kabid Data dan Informasi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Hasan Afandi menjelaskan total ada 203.065 jamaah haji Indonesia yang tiba di Arab Saudi. Sebanyak 98,47 persen atau 199.961 orang adalah jamaah yang belum pernah berangkat haji.

“Lebih dari 55 persen jamaah haji Indonesia adalah perempuan,” ujar Hasan di Madinah, Kamis (14/9).

Berdasarkan pendidikan, jamaah haji Indonesia didominasi mereka yang hanya pernah belajar di SD/MI sebanyak 67.617 orang. Mayoritas jamaah sebanyak 56.990 orang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Profesi kedua didominasi pekerja swasta.

“Kalau dari sisi usia, 34,78 persen dalam rentang usia 51 sampai 60 tahun. Sebanyak 23,38 persen berusia 61-75 tahun. Sedangkan 4,37 persen atau 8.883 jamaah masuk kategori lansia karena berusia di atas 75 tahun,” ujarnya.

Penyelenggaran ibadah haji 1438 H/2017 M hampir usai. Fase pemulangan jamaah haji Indonesia sudah berlangsung sembilan hari dan akan terus berjalan sampai akhir penerbangan ke Tanah Air dari Madinah pada 5 Oktober mendatang. Sedangkan jamaah haji gelombang dua masih berada di Madinah untuk melaksanakan shalat arbain selama delapan hingga sembilan hari.

IHRAM

Neneng Pulang dari Haji Bersama Kenangan Suami Tercinta

Perempuan paruh baya itu memasuki Gedung Serba Guna 2 (SG2) Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (15/9), dengan tatapan sendu.

Sesekali ia menunduk menatap kosong dua tas paspor warna oranye yang tergantung di lehernya, sambil tangan kanan dan kirinya membawa dua tas jinjing warna serupa memasuki ruangan penerimaan jamaah haji.

Satu pasang tas paspor dan jinjing oranye itu miliknya. Satu pasang lagi, milik suaminya.

Perempuan itu, Neneng Hasanah (52 tahun), tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ia akan kembali ke ruangan ini hanya bersama sepasang tas milik suaminya. Masih lekat di benaknya, ketika pertama kali memasuki ruangan ini berdua dengan sang suami, Ahmad Dumyati (52) menjelang keberangkatan mereka ke Tanah Suci akhir Juli 2017 lalu.

Sepasang suami istri ini amat bersyukur memiliki kesempatan menjadi tamu Allah pada musim haji 1438 H ini. Mereka tergabung dalam kelompok terbang JKG 04, dari Embarkasi Jakarta Pondok Gede.

Beribadah ke Tanah Suci bersama pasangan, tentunya menjadi harapan banyak orang. Begitu pula Neneng Hasanah dan Ahmad Dumyati. Perjalanan suci itu dimulai dari ruangan ini, saat mereka memperoleh pemeriksaan kesehatan hingga menggunakan gelang penanda jamaah haji Indonesia. Semua proses pemberangkatan dilakukan bersama, berdua.

Namun, kini Neneng ada di ruangan itu untuk melakukan proses pemulangan tanpa sang suami, sendiri. Hanya kenangan tentang suami tercinta yang menemani. Tas paspor milik sang suami tampak terus di dekapannya, jadi penanda kebersamaan yang terakhir kali dengan pria yang ia cintai.

“Bapak Ahmad Dumyati wafat di Tanah Suci karena stroke ringan,” ujar Muhamad Amir Khoiri, Ketua Rombongan Bus 9 kloter JKG 04 kepada Humas PPIH Jakarta Pondok Gede, Sabtu (9/9).

Menurut Khoiri, almarhum sebelumnya memang memiliki riwayat sakit, namun ketika berangkat dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan. “Sakitnya gula, tapi pas mau berangkat gak ada keluhan apa-apa,” kata Neneng lirih.

Takdir berkata lain. Almarhum yang beberapa tahun sebelumnya gagal berangkat karena faktor kesehatan, mengalami serangan stroke ringan di Tanah Suci. Akibatnya, Dumyati sempat mendapat perawatan di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah selama satu pekan sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Ahmad Dumyati berdasarkan catatan Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), wafat pada tanggal 22 Agustus 2017 akibat gangguan sirkulasi darah. “Saat mau persiapan safari wukuf, di situ kejadiannya,” ujar Neneng dengan mata berkaca-kaca.

Menurut Khoiri yang juga turut mendampingi almarhum selama perawatan, sebelum meninggal dunia almarhum sempat melaksanakan umrah wajib serta satu kali umrah sunah. “Saat ingin umroh kedua, almarhum sudah merasakan badannya tidak enak, jadi beliau kembali ke hotel,” kata Khoiri.

Menghadapi kenyataan bahwa sang suami telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, ibu empat orang anak ini mengaku ikhlas. Menurutnya, itu memang sudah kehendak Allah, dan itu merupakan yang terbaik. “Dia cuma kepengen pulang aja,” ujar Neneng tercekat saat ditanya pesan terakhir almarhum sambil mendekap tas paspor milik sang suami.

Rasa kehilangan yang amat dalam sempat membuat diri Neneng terguncang. “Alhamdulillah ada teman-teman, dan ketua rombongan yang menguatkan,” ujarnya.

Dukungan jamaah lain selama pelaksanaan ibadah haji membantu warga Cilincing Jakarta Utara ini lebih tegar dalam menghadapi masa dukanya.

Ucapan bela sungkawa pun datang dari seluruh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Jakarta Pondok Gede. “Ini adalah takdir kehidupan yang tidak bisa dihilangkan. Jadi bagaimanapun Bu Neneng harus meneruskan cita-cita almarhum. Insya Allah, almarhum khusnul khotimah,” tutur Saiful Mujab, Wakil Ketua II PPIH Jakarta Pondok Gede, membesarkan hati Neneng.

Neneng pun mengangguk, berjanji untuk tetap meneruskan cita-cita almarhum.

 

IHRAM

Sudah Tahu, Belum? Inilah Nama Lain Kota Madinah

Madinah mempunyai banyak nama yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi. Para sejarawan menelusuri nama-nama tersebut. Sebagian menemukan hingga 100 nama.

Namun, nama-nama yang disebutkan dalam berbagai atsar yang shahih hanya enam nama. Dikutip dari Madinah Al-Munawwarah: Sejarah dan Tempat-Tempat Istimewa, berikut nama-nama tersebut:

1. Yasrib

Adalah nama Kota Madinah ketika zaman jahiliyah. Rasulullah telah menggantinya dan mengimbau kaum Muslimin tidak menggunakan nama tersebut setelah Islam.

2. Al Madinah

Merupakan nama yang dikenal setelah hijrah Nabi. Nama ini terdapat dalam beberapa ayat Alquran dan hadits Nabi. Allah SWT berfirman “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar, mereka tidak turut menyertai Rasulullah (berperang)”. (QS At Taubah: 120).

3. Thabah

Terdapat dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah Ta’ala menamakan Madinah dengan kata ‘Thabah'”.

4. Thaibah

Nama yang terdapat dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, yaitu “Ia adalah Thaibah, ia adalah Thaibah, ia adalah Thaibah”.

5. Ad Daar

6. Al Iman

Kedua nama Ad Daar dan Al Iman terdapat dalam Alquran, yaitu “Dan orang-orang yang telah menempati kota Ad Daar dan Al Iman (Kota Madinah)”. (QS Al Hasyr:8).

Adapun nama lainnya, para sejarawan memperolehnya dari sebagian hadits dan atsar.

Sebagian lagi memperolehnya dari sifat-sifat kota Madinah dan peristiwa besar yang terjadi di dalamnya, di antaranya Al Mahbubah, Al Qaasimah, Darul Abrar, Darul Hijrah, Darus Salam, Darul Mukhtarah, As Saalihah, Al Fath, Darul Musthafa, Dzatul Harar, Al Marhumah, Al Khairah, Asy Syafi’ah, Al Mubarakah, Al Mu’minah, Al Marzuqah, dan Al Munawwarah (bercahaya).

 

IHRAM

Jangan Isrof dan Tabdzir! Apa Maknanya?

JANGAN bersikap isrof. Apa itu isrof? Allah Taala berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-Araf: 31)

Berlebihan (isrof) di sini adalah menambah lebih dari kadar secukupnya. Ada perbedaan antara isrof dan tabdzir. Perbedaan ini kami temukan di web islamweb, ada nukilan dari Ibnu Abidin sebagai berikut, “Israf adalah menyalurkan sesuatu yang layak melebihi dari kadar layaknya. Sedangkan tabdzir adalah menyalurkan sesuatu pada sesuatu yang tidak layak.”

Karenanya para ulama menjelaskan tabdzir sebagai berikut. Ibnu Masud dan Ibnu Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).”

Qatadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 5: 68). Ibnul Jauzi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud boros ada dua pendapat di kalangan para ulama:
– Boros berarti menginfakkan harta bukan pada jalan yang benar. Ini dapat kita lihat dalam perkataan para pakar tafsir yang telah disebutkan di atas.
– Boros berarti penyalahgunaan dan bentuk membuang-buang harta. Abu Ubaidah berkata, “Mubazzir (orang yang boros) adalah orang yang menyalahgunakan, merusak dan menghambur-hamburkan harta.” (Zaad Al-Masiir, 5: 27-28)

Faedah dari ayat di atas:

  1. Diperintah untuk memakai zinah (perhiasan) setiap kali shalat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan bahwa memakai zinah, lebih dari sekedar menutup aurat. Karena pundak saja mesti ditutup sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu pakaian hingga membuat pundaknya tidak ada kain satu pun yang menutupinya.” (HR. Muslim, no. 516 dan An-Nasai, no. 769). Pundak dalam hadits ini mesti ditutup, padahal pundak bukanlah aurat dengan sepakat ulama. Lihat Asy-Syarh Al-Mumthi, 2: 150)
  2. Ayat ini menunjukkan perintah untuk menutup aurat dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
  3. Menutup aurat termasuk zinah (berhias) pada badan. Sebaliknya, membuka aurat berarti membuat badan dalam keadaan jelek dan hina. Demikian kata Syaikh As-Sadi.
  4. Berhias dengan pakaian juga yang dimaksud adalah memakai pakaian yang bagus dan bersih dari kotoran serta najis.
  5. Kita diperintahkan makan dan minum dari rezeki halal yang Allah berikan.
  6. Diperintah untuk makan dan minum asal tidak bertindak isrof (berlebihan dari kadar yang mencukupi).
  7. Kalau berlebihan saja tidak boleh apalagi makan dan minum yang sampai mencelakai badan.
  8. Kalau berlebihan saja tidak boleh apalagi sampai memakan yang haram.
  9. Allah membenci orang-orang yang israf.
  10. Termasuk berlebih-lebihan adalah membuang-buang makanan.

Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat israf dan tabdzir.

 

[Referensi: Asy-Syarh Al-Mumthi ala Zaad Al-Mustaqni. Cetakan pertama, tahun 1422 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi/Tafsir As-Sadi. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi. Penerbit Muassasah Ar-Risalah/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

MOZAIK

Manfaat Bersyukur pada Hal yang Sepele

LIHATLAH orang sakit, perhatikan yang tertimpa bencana, lihat orang terpenjara, kan kau dapati, pada dirimu ternyata menyimpan segudang nikmat.

Nikmat itu yang penting bukan apa yang kita miliki, tapi apa yang kita rasakan dan syukuri. Apa yang ada dan kau syukuri, lebih baik dari keinginan yang tak kunjung terwujud.

Dua orang mendapatkan keuntungan yang sama. Bisa jadi yang satu merasa untung tiada kira, yang satu merasa kurang dan merana. Ini soal bagaimana mensyukuri. Dalam bahasa Arab antara nikmat dan niqmah yang berarti azab sangat tipis bedanya. Nikmat yang sama dapat jadi berkah, dapat jadi azab.

Nikmat menjadi berkah, ketika kita gunakan pada apa yang Allah cintai dan ridai, tapi jadi sumber azab, kalau digunakan di jalan kemaksiatan. Bahkan dalam kekurangan, keterbatasan, keterhalangan, keterdesakan boleh jadi tersimpan nikmat.

Betapa banyak kekurangan kita menyebabkan berkurangnya potensi keburukan yang akan kita dapatkan apabila diberi kelebihan. Betapa banyak keterhalangan kita, menghalangi kita untuk melakukan perbuatan nista dan tercela dibanding bila segalanya terbuka.

Betapa banyak keterdesakan kita, mendesak kita untuk kuat berikhtiar dan kian pasrah, dibanding apabila segalanya serba lapang kita rasakan. Betapa banyak keterpurukan kita, membuat kita terpuruk dan tersungkur di hadapan kebesaran Allah, memohon ampun dan pertolongan-Nya.

Belajarlah mensyukuri hal-hal yang dianggap sepele, udara segar, tidur nyenyak, pedasnya sambal, anak-anak sehat, keluarga rukun dan lain-lain. Yang mudah mensyukuri hal-hal kecil, tentu akan lebih bersyukur pada kenikmatan yang lebih besar.

Wallahu A’lam. [Ustadz Abdullah Haidir Lc]

 

MOZAIK

Dosa dapat Merugikan Orang di Sekitarnya

PERBUATAN dosa seseorang tidak hanya merugikan dirinya sendiri. Terkadang dosa itu dapat merugikan orang di sekitarnya.

Dikisahkan di zaman Nabi Musa as pernah terjadi paceklik. Kekeringan melanda hingga sulit sekali menemukan air. Bani Israil melakukan berbagai macam cara untuk meminta kepada Allah agar diturunkan hujan. Berulang kali mereka meminta tapi tidak ada jawaban.

Hingga suatu malam, Nabi Musa as pergi ke bukit untuk berboda. Beliau menangis dan berkata,”Ya Allah, jikalau kedudukanku buruk di sisi-Mu maka aku meminta kepadamu untuk menurunkan hujan Demi Kemuliaan Nabiyul Ummi yang telah Engkau janjikan untuk di utus di akhir zaman.”

Kemudian Allah swt Mewahyukan kepadanya,”Wahai Musa, kedudukanmu di sisi-Ku tidaklah buruk, bagi-Ku engkau begitu mulia. Namun ada seorang hamba diantara kalian yang menentangku selama 40 tahun. Jika kalian mengeluarkannya dari lingkungan kalian, akan Ku Turunkan hujan kepada kalian.”

Setelah itu Nabi Musa segera berkeliling di lorong-lorong desa dan berkata, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Tuhannya selama 40 tahun, keluarlah dari lingkungan kami ! Karenamu, Allah mencegah hujan dari kami.”

Orang yang bermaksiat itu mendengar ucapan Nabi Musa, dan dia mengetahui bahwa dirinyalah yang dimaksud. Dia berkata pada dirinya, “Apa yang harus aku lakukan. Jika aku masih tetap berada diantara mereka, Allah akan mencegah hujan itu karenaku. Namun jika aku keluar, maka terbukalah semua aibku dihadapan Bani Israil.”

Akhirnya dia memasukkan kepalanya ke dalam pakaian seraya merintih, “Duhai Tuhanku, aku bermaksiat kepada-Mu dengan segala kemampuan-Ku. Aku berani menentang-Mu dengan kebodohanku. Dan kini aku datang dengan segala penyesalan untuk bertaubat kepada-Mu. Maka terimalah taubatku. Dan jangan engkau cegah air hujan itu dari mereka karenaku”

Belum selesai doa dari hamba ini, tiba-tiba datang kabut putih menutupi langit dan seketika itu turun air hujan dengan derasnya.

Nabi Musa bertanya kepada Allah, “Tuhanku, engkau menurunkan hujan sementara belum ada seorang pun yang keluar dari kami?

Allah menjawab, “Sesungguhnya seorang yang membuat-Ku mencegah (air hujan), dia lah yang membuat-Ku menurunkannya.”

Nabi berkata, “Tuhanku, jelaskan kepadaku tentang hal itu.”

Allah menjawab, “Wahai Musa, Aku menutupi aibnya ketika dia bermaksiat. Bagaimana Aku akan membongkar aibnya ketika dia telah bertaubat?”

“Dan Dia-lah yang Menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan Memaafkan kesalahan-kesalahan dan Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Asy-Syura 25)

“Dan Dia-lah yang Menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah Maha Pelindung, Maha Terpuji.”(Asy-Syura 28)

-“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah Memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”(Asy-Syura 30). []

 

MOZAIK

Sabilal Muhtadin Rujukan Umat Islam di Tanah Air

Ulama asal Nusantara banyak yang menjadi ulama besar di dunia. Karya-karyanya menjadi rujukan umat. Namun, terkadang tak sedikit umat Islam di Indonesia mengenal ulama Nusantara dan karyanya yang mendunia.

Salah satu karya besar dalam bidang fikih utamanya Mazhab Syafi’i adalah kitab Sabilal Muhtadin. Kitab ini ditulis oleh ulama besar asal Banjar, Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sabilal Muhtadin sangat terkenal pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Kitab ini tak hanya menjadi rujukan umat Islam di Tanah Air, namun juga dipelajari dan diajarkan di Masjidil Haram, Makkah, juga Malaysia dan Thailand. Kitab ini diajarkan oleh para ulama asal Melayu kepada orang-orang Melayu yang datang ke Makkah sebelum mereka mahir berbahasa Arab.

Sabilal Muhtadin ditulis dengan aksara Arab ber bahasa Melayu. Kitab ini adalah kitab kedua yang ditulis dengan gaya bahasa Arab pegon setelah Sirat al-Mustaqim karya Syekh Nuruddin ar-Raniri dari Aceh.

Sabilal Muhtadin adalah kitab fikih ibadah. Kitab ini dibagi dalam dua jilid. Jilid pertama diawali dengan mukadimah, pembahasan soal bersuci di bagian pertama dan diakhiri soal hal-hal yang makruh dalam shalat.

Sementara, jilid kedua diawali pembahasan tentang sujud sahwi dan diakhiri dengan al at’imah yang membahas tentang halal dan haram makanan. Tebal kitab ini 524 halaman dengan rincian jilid pertama 252 halaman dan 272 halaman di jilid kedua. Syekh Arsyad al-Banjari mulai menulis kitab ini atas anjuran Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah yang memerintah di Kesultanan Islam Banjar (1778- 1808).

 

Disarikan Dialog Jumat Republika

Bacalah Doa ini Ketika Anda Dipuji

DALAM kajian seputar raqaiq (membangun kelembutan hati), kita selalu diajarkan bahwa tidak ada pujian yang berarti selain pujian Allah. dan tidak ada celaan yang berarti, selain celaan dari Allah. karena Dia-lah Dzat yang mengetahui kondisi hamba-Nya lahir bathin. Allah Taala berfirman, “Jangan kalian memuji-muji diri kalian sendiri, karena Dia-lah yang paling tahu siapa yang bertaqwa.” (QS. an-Najm: 32)

Karena itulah, seorang mukmin akan lebih memperhatikan kondisi bathinnya dibandingkan penilaian orang lain. Manusia hanya bisa menilai lahiriyah, sementara kondisi bathin mereka buta. Kami tidak mengetahui adanya doa khusus dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika kita mendengar pujian orang lain. Hanya saja ada riwayat dari sahabat yang membaca doa berikut ketika dia berdoa.

Dari Adi bin Arthah rahimahullah (seorang ulama Tabiin) beliau bercerita, “Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekurangan yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari pada penilaian yang mereka berikan untukku.”

Doa ini diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 761) dan sanadnya dishahihkan al-Albani. Juga al-Baihaqi dalam Syuaabul Iman (4/228). Doa ini menunjukkan bahwa sahabat adalah manusia yang jauh dari karakter bangga dengan pujian manusia. Bahkan mereka mengakui kekurangan yang mereka miliki, yang itu tidak diketahui orang yang memuji. Dengan ini akan menghalangi kita dari potensi ujub. Dengan ini pula kita akan lebih mudah mengakui kekurangan kita. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

MOZAIK