Masuk Islam Setelah Berada di Penjara (Bagian 2)

Hari-hari berlalu, Rajit pun semakin dekat dengan lelaki yang berbudi luhur itu. Hari demi hari Rajit semakin dekat juga dengannya sehingga rasa cinta kepadanya benar-benar menguasai segenap perasaannya.

Asmar pun makin terbuka kepadanya dan selalu menjawab pertanyaan apa pun darinya yang banyak sekali.

Asmar mengetahui bahwa temannya yang dari India ini cukup cerdas dan bisa berpikir dengan teratur, dia gemar berdiskusi dan bertanya jawab. Oleh karena itu, mulailah dia setiap hari menyusun dalam pikirannya suatu topik pembicaraan yang akan dia jadikan bahan diskusi.

Akhirnya Rajit menyimpulkan sendiri kekeliruan keyakinannya. Kini dia kebingungan dan bertanya-tanya dan dengan kerinduan yang memuncak, dia ingin mengetahui kebenaran.

Cara berdiskusi Asmar itu mengajaknya beralih dari satu ke lain topik pembicaraan, agar lawan bicaranya bisa menyimpulkan dan mengetahui kebenaran dengan sendirinya.

Hampir 25 hari berlalu sejak diskusi dimulai, pembicaraan di antara kedua insan itu terus berjalan dalam berbagai topik.

Pada suatu hari, saat keduanya berdiskusi, tiba-tiba Rajit itu berlinang air mata, kemudian berdiri tegak, lalu sambil menangis dia mengakui keesaan Tuhan Yang Maha Esa, Yang Mahatunggal, Tuhan Tempat bergantung.

Rajit mengucapkan dua kalimat syahadat sekeras-kerasnya. Dia ucapkan kedua kalimat itu berkali-kali, kemudian dia ucapkan,

Astaghfirullah, astaghfirullah! Alangkah ruginya aku selama ini membuang-buang umurku dalam kebingungan dan kesesatan.”

Seluruh penghuni penjara kaget, lalu mereka berkumpul untuk mengetahui peristiwa yang mengejutkan itu. Mereka bertanya kepada Asmar,

“Apa yang telah kamu lakukan kepadanya? Apa yang terjadi dengannya? Apakah dia kesurupan?”

Asmar lantas menjawab,

“Tidak, tetapi iman telah merasuk dalam hatinya. Alhamdulillahsegala puji bagi Allah Yang telah menunjukinya kepada Islam, dan tidak menjadikannya bahan bakar api neraka. Ayolah, kalian ucapkan selamat kepadanya. Dia sekarang menjadi saudara kalian dalam Islam.”

Serentak sekelompok penghuni penjara itu bangkit, lalu menjabat tangan orang yang baru masuk Islam itu dan mengucapkan selamat kepadanya atas keislamannya.

Semenjak itu, Rajit menanyakan tentang hukum-hukum Islam dengan gencar, khususnya tentang shalat. Dia juga meminta beberapa buku kecil untuk mengenal Islam. Itu semua diberikan kepadanya.

Rajit terkadang menampakkan penyesalannya dan bertanya-tanya, kenapa pada sebagian kaum muslimin terjadi paradoks antara ajaran-ajaran Islam yang mereka yakini dengan kenyataan hidup mereka?

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Masuk Islam Setelah Berada di Penjara

Sungguh hidayah itu akan datang kepada seseorang dari jalan yang tidak disangka-sangka. Ada yang masuk Islam karena melihat akhlak yang baik dari kaum muslimin. Ada pula yang masuk Islam setelah membaca buku-buku literatur Islam. Ada pula yang masuk Islam di penjara.

Dalam sebuah buku berjudul Salwa Hazin karya Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-Utsaim disebutkan kisah tentang seseorang yang masuk Islam di penjara. Berikut kisahnya.

*****

Seorang sipir penjara bercerita kepada saya, pada tahun 1418 H, ada seorang beragama Hindu masuk penjara yang berada di Kerajaan Arab Saudi. Dia datang dari India, sebut saja namanya Rajit. Begitu masuk penjara, dia selalu menyendiri di sudut ruangan, wajahnya nampak murung dan sedih. Terkadang dia menangis dan berlama-lama melamun.

Berkali-kali para sipir berusaha menyuruhnya bergabung dan bergaul dengan para pesakitan lainnya, terutama dengan orang-orang India yang sebangsa dengannya, tetapi semua itu tidak berhasil.

Rajit tetap murung, sampai makan pun dia enggan, kecuali hanya sedikit. Meskipun demikian, sipir penjara mengetahui bahwa orang tersebut sebenarnya cukup cerdas dan bisa berbahasa Arab dengan baik dan lancar.

Hari-hari berlalu dan orang itu semakin merasa sedih dan keadaannya memilukan, badannya nampak kurus sehingga salah seorang sipir terpaksa memanggil psikiater untuk memeriksanya.

Akan tetapi, semua itu tidak berhasil. Oleh karena itu, psikiater itu memberinya beberapa pil penenang, tetapi kali ini Rajit itu pun tidak mau meminumnya.Hari-hari berlalu, sedangkan Rajit masih tetap seperti itu.

Pada suatu hari, ada seorang dari Juhainah dijebloskan ke dalam penjara karena utang yang bertumpuk, sebut saja namanya Asmar.

Akan tetapi, Asmar ini nampak berakhlak luhur dan bisa bergaul dengan baik. Sikapnya sangat baik dan nampak sangat tenang dan berwibawa. Bahkan, kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang yang terpelajar dan berpendidikan tinggi.

Asmar gemar membaca dan berdiskusi. Tentu saja ia memiliki pengaruh baik terhadap para pesakitan lainnya. Hanya saja yang banyak mendapat manfaat yang besar darinya adalah Rajit.

Rajit kagum kepada sikap orang Asmar itu yang sangat rendah hati, sopan, dan berbudi luhur sehingga dia memandangnya sangat istimewa dan membuatnya selalu dekat dan berteman baik dengannya.

Kepadanya, Rajit sering mencurahkan keluhan hatinya. Sedangkan Asmar sendiri selalu mendengar keluhannya dan memperlakukannya dengan baik, serta menenangkan hatinya bahwa kesudahan dia akan baik.

Sejak itu, Rajit merasa senang dan sedikit demi sedikit dia nampak tenang, sementara Asmar selalu mencandai dan bergurau dengannya. Asmar selalu mengajaknya berdiskusi dengan tenang dan mendidik. Semua itu dilakukan karena dia ingin Rajit masuk Islam.

Hanya beberapa hari saja sejak itu, tiba-tiba kesedihan Rajit itu berangsur-angsur menghilang.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Hukum Membaca “Shadaqallahul Adzhim” Dalam Sholat

Ada yang memandang bahwa bila setelah membaca Al-Quran kita mengucapkan lafadz “Shadaqallahul ‘Adzhiem” hukumnya bid’ah. Dalam pandangan golongan ini, hal seperti itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bagi mereka, ketika tidak ada contoh dari Rasulullah, maka hukumnya menjadi terlarang alias bid’ah.

Ada juga kalangan lain yang tak memandang bahwa hal itu bid’ah. Sebab, meski tak ada riwayat yang secara khusus menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengucapkan lafadz itu selepas baca Quran, namun tetap ada dalil yang bersifat umum tentang anjuran mengucapkan lafadz itu.

Misal ayat Quran berikut: Katakanlah, “Shadaqallah” dan ikutilah millah Ibrahim yang lurus (QS. Ali Imrah: 95)

Lalu, jika ada pendapat yang tak membid’ahkan bacaan Shadaqallahul Adzhim di luar shalat, maka bagaimana hukumnya apabila itu diucapkan di dalam rakaat-rakaat shalat?

Dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, terbitan Kementerian Mesir, disebutkan pendapat ulama mazhab perihal itu:

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Apabila seorang shalat dan mengucapkan tasbih, menurut mazhab ini, seperti shadaqallahul ‘adzhim setelah selesai dari membaca Quran, maka shalatnya tetap ‘jalan’, tak batal.

Akan tetapi, mereka mensyaratkan bahwa hal itu dilakukan dengan niat bahwa tujuannya sekadar untuk memuji, berzikir atau tilawah.

2. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Hampir sama dengan mazhab Al-Hanafiyah; siapa pun yang shalat lalu mengucapkan lafadz shadaqallahul ‘adzhim, tidak batal shalatnya. Bedanya, tanpa mensyaratkan apa pun.

Dari dua pendapatnya, kita jadi tahu, masalah ini masalah khilafiah. Tiada nash yang dengan tegas melarang akan tetapi juga tiada nash yang secara khusus memerintahkannya. Tak tepat rasanya bila kita menjadi saling bermusuhan untuk urusan yang tiada nash yang tegas.

Dengan perbedaan ini, kuncinya hanya satu: saling bertoleransi dengan sesama muslim.

 

BERSAMA DAKWAH

Ketika Menemukan Barang tak Bertuan

Setiap dari kita pasti pernah menemukan barang yang bukan milik kita. Entah nilainya kecil atau besar, padat atau cair, bergerak atau diam. Lalu apakah yang harus dilakukan bila menemukan barang tak bertuan?

Dalam hukum Islam, barang temuan disebut dengan luqathah. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd disebutkan, ada tiga rukun barang temuan yakni menemukan barang temuan, orang yang menemukan dan barang yang ditemukan.

Pada rukun yang pertama, ada perselisihan pendapat di kalangan ulama apakah sebaiknya diambil atau dibiarkan. Imam Abu Hanifah mengatakan sebaiknya barang itu diambil. Alasannya, kewajiban bagi seorang muslim salah satunya adalah menjaga harta saudaranya sesama muslim. Imam Syafii pun setuju dengan pendapat ini. Karena itu, ulama lain malah menilai jika barang temuan wajib diambil.

Imam Malik dan beberapa ulama lain berbeda pandangan, mereka menetapkan bahwa mengambil barang temuan hukumnya makruh. Imam Malik mendasarkan pada hadits riwayat dari Imam Baihaqi dalam as Sunan Kubra, “Barang hilang milik orang mukmin adalah nyala api neraka.” Alasan berikutnya, mereka mengkhawatirkan kelalaian dalam mengurusi hal-hal yang diwajibkan. Pasalnya, mereka harus mengumumkan barang temuan tersebut dan tidak menyia-nyiakannya. Ulama yang berpendapat agar mengambil terlebih dahulu barang temuan menafsirkan hadits tersebut adalah larangan untuk memanfaatkan barang-barang kaum mukmin yang hilang. Bukan untuk diumumkan.

Dalam sebuah hadits dikisahkan jika seseorang datang menemui Rasulullah SAW lalu ia menanyakan kepada beliau tentang barang temuan. Rasulullah bersabda, “Kenalillah tutup dan talinya. Kemudian umumkanlah barang temuan tersebut selama setahun. Jika pemiliknya datang, serahkanlah. Dan jika tidak datang, maka urusan barang tersebut terserah kamu.”  Ia bertanya, “Bagaimana bila kambing yang hilang Rasulullah?” Beliau bersabda, “Itu untukmu atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya, “Bagaimana bila unta yang hilang Ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Apa urusanmu dengannya? Dia mempunyai tempat air dan alas kaki sendiri. Ia akan mendatangi sumber air dan makan pepohonan sampai ditemukan pemiliknya.

Hadits ini memuat keterangan tentang barang temuan yang boleh dan tidak boleh diambil. Tentang hukum barang temuan yang diambil, tentang bagaimana keadaan dalam waktu setahun dan setelahnya. Dengan cara apa orang yang mengaku sebagai pemiliknya dapat memperolehnya. Karena itu, ulama sepakat unta temuan tidak boleh diambil. Para ulama pun meragukan kebolehan mengambil sapi. Imam Syafii menghukumi temuan sapi seperti unta. Namun Imam Malik menghukumi temuan sapi seperti kambing.

Dalam hadits lainnya, yang berasal dari Suwaid bin Ghaflah dan diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan kisah tentang Aus bin Ka’ab. Dia bercerita telah menemukan sebuah kantong berisi uang 100 dinar. Aus pun menemui Rasulullah SAW untuk menceritakan hal tersebut. Beliau bersabda, “Umumkan barang tersebut selama satu tahun.” Setelah aku umumkan, ternyata aku tidak mendapati pemiliknya. Kemudian aku menemuinya untuk ketiga kali. Lalu Nabi bersabda, “Jago kantong dan tali pengikatnya. Jika pemiliknya datang, maka serahkanlah. Dan jika tidak datang, maka manfaatkanlah barang itu.” Berdasarkan versi hadits riwayat at-Tirmidzi dan Abu Dawud, disebutkan, “….maka sedekahkanlah.”

Para ulama sepakat untuk mengumumkan barang yang penting selama satu tahun selain kambing. Lalu, mereka berselisih pendapat tentang status barang hilang yang sudah diumumkan selama satu tahun. Hanya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status barang hilang yang sudah diumumkan selama satu tahun.

Empat imam mazhab, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad dan beberapa ulama lain berpendapat jika sudah diumumkan selama jangka waktu satu tahun, orang yang menemukan barang boleh memakannya jika sangat membutuhkan. Pilihan lainnya adalah menyedekahkannya jika ia kaya. Lalu, kalau pemiliknya datang, ia boleh memilih antara merelakannya sebagai sedekah sehingga ia mendapat pahala atau mengganti harganya. Ada perbedaan pendapat apakah barang tersebut boleh dikonsumsi ketika orang itu kaya atau tidak.

Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan untuk memakannya. Namun Imam Abu Hanifah hanya membolehkan untuk menyedekahkannya. Pendapat ini dikutip dari Ali, Ibnu Abbas dan beberapa ulama dari kalangan tabi’in. Pendapat lain datang dari al-Auza’i yang mengutip pendapat dari Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar dan Aisyah. Menurutnya, jika jumlah harta yang ditemukan banyak, maka diserahkan ke baitul mal. Para ulama sepakat jika seseorang memakan barang temuan setelah diumumkan selama jangka waktu satu tahun, namun belakangan pemiliknya datang maka wajib mengganti nilainya.

Ketika ada yang mengakui barang tersebut pun ada hukumnya. Menurut Imam Malik, ketika ada orang yang mengakui barang tersebut, ia berhak atas barang itu tanpa mengemukakan bukti. Sedang Imam Abu Hanifah berpendapat jika ia tidak berhak atas barang tersebut kecuali dengan mengemukakan buktinya. Tentang alasan harus ada bukti, Imam Syafii dan Abu Hanifah berpedoman pada hadits Rasulullah SAW, “Kenalilah tutup dan tali pengikatnya. Jika pemiliknya datang, serahkanlah. Dan jika tak datang, maka urusannya terserah kamu.”

Maksud dari sabda tersebut bisa diartikan bahwa beliau memerintahkan orang yang menemukan barang temuan untuk mengenali tutup dan tali pengikatnya agar tidak tercampur dengan barang-barang lain.

Bisa juga diartikan barang tersebut boleh diserahkan kepada pemiliknya jika mengenali tutup dan tali pengikatnya. Sementara Imam Malik punya pendapat orang yang mengaku pemilik barang harus menerangkan ciri uang dinar dan jumlahnya di samping tutup dan tali pengikatnya. Wallahua a’lam.

BersamaDakwah

Membongkar Kuburan untuk Dirikan Masjid

Tidak sedikit masjid yang dibangun dari tanah (bekas) kuburan. Bagaimana Islam memandang?

Dalam Ash-Shahih lmam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ibn Malik bahwa ketika waktu sholat sudah tiba, Rasulullah SAW. mendirikannya di kandang domba. Kemudian Rasulullah SAW. memerintahkan agar segera didirikan masjid. Beliau mengirim orang untuk menemui tokoh-tokoh Bani Najjar, dan’ mereka pun Iangsung datang menghadap. Kepada para tokoh itu Rasulullah SAW. bersabda, “Wahai Bani Najjar, tetapkanlah harga untukku atas bangunan kalian ini.” Akan tetapi, para tokoh Bani Najjar itu menjawab, ”Demi Allah, kami tidak akan menjualnya, melainkan hanya kepada Allah saja.”

Anas juga mengatakan bahwa di tanah itu terdapat beberapa kuburan kunoorang-orang musyrik. Selain itu, juga terdapat reruntuhan bangunan dan beberapa batang pohon kurma. Rasulullah SAW. lalu memerintahkan agar kuburan orang-orang musyrik itu dibongkar, reruntuhan bekas bangunan diratakan dan pohon kurma ditebang.

Dalam mengomentari hadits “tanah penjemuran kurma” ini, Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini menjadi dalil dibolehkannya membongkar kuburan lama. Bahkan, jika tanah bekas kuburan itu sudah dibersihkan dari mayat (tulang, daging, dan darahnya), tanah tersebut boleh dijadikan sebagai tempat shalat, bahkan boleh dijadikan sebagai masjid.

Hadits ini juga menjadi dalil bahwa tanah yang pernah dijadikan tempat pemakaman boleh dijual, tetap menjadi milik pemiliknya yang sah, dan tetap dapat diwariskan jika hak pewarisannya belum gugur.

Para ulama sirah menyatakan bahwa beberapa  kuburan yang terdapat di tanah tempat penjemuran kurma tersebut adalah kuburan-kuburan tua. Di dalamnya sudah tidak ada lagi potongan daging mayat ataupun darahnya. Namun, seiring dengan itu, Rasulullah SAW. kemudian membongkar dan memindahkan semua tulang-belulang yang ada di dalam kuburan-kuburan tersebut.

Menurut ulama paling berpengaruh di Timur Tengah Dr.Al-Buthy, kebolehan menggunakan tanah pekuburan sebagai tempat pendirian masjid hanya berlaku jika tanah tersebut bukan tanah wakaf. Tetapi, jika tanah pekuburan itu adalah tanah wakaf, maka tanah itu sama sekali tidak boleh dialihfungsikan dari apa yang telah diniatkan oleh orang yang mewakafkannya. Diperbolehkan membongkar kuburan untuk dijadikan masjid asal tanah kuburan tersebut dibersihkan terlebih dahulu.

Wallahua’lam

BERSAMA DAKWAH

Kenapa Kita Butuh Sabar dalam Ketaatan?

SYAIKH Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan pula bahwa dalam melakukan ketaatan itu butuh kesabaran yang terus menerus dijaga karena:

(1) Ketaatan itu akan membebani seseorang dan mewajibkan sesuatu pada jiwanya,
(2) Ketaatan itu terasa berat bagi jiwa, karena ketaatan itu hampir sama dengan meninggalkan maksiat yaitu terasa berat bagi jiwa yang selalu memerintahkan pada keburukan. Demikianlah perkataan beliau-

Sabar dalam Menjauhi Maksiat

Ingatlah bahwa jiwa seseorang biasa memerintahkan dan mengajak kepada kejelekan, maka hendaklah seseorang menahan diri dari perbuatan-perbuatan haram seperti berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan cara bathil dengan riba dan semacamnya, berzina, minum minuman keras, mencuri dan berbagai macam bentuk maksiat lainnya. Seseorang harus menahan diri dari hal-hal semacam ini sampai dia tidak lagi mengerjakannya dan ini tentu saja membutuhkan pemaksaan diri dan menahan diri dari hawa nafsu yang mencekam.

Sabar Menghadapi Takdir yang Pahit

Ingatlah bahwa takdir Allah itu ada dua macam, ada yang menyenangkan dan ada yang terasa pahit. Untuk takdir Allah yang menyenangkan, maka seseorang hendaknya bersyukur. Dan syukur termasuk dalam melakukan ketaatan sehingga butuh juga pada kesabaran dan hal ini termasuk dalam sabar bentuk pertama di atas. Sedangkan takdir Allah yang dirasa pahit misalnya seseorang mendapat musibah pada badannya atau kehilangan harta atau kehilangan salah seorang kerabat, maka ini semua butuh pada kesabaran dan pemaksaan diri. Dalam menghadapi hal semacam ini, hendaklah seseorang sabar dengan menahan dirinya jangan sampai menampakkan kegelisahan pada lisannya, hatinya, atau anggota badan.

Semoga bermanfaat. [M. Abduh Tuasikal, MSc]

 

INILAH MOZAIK

14 Poin Penting Piagam Madinah untuk Muslim dan Non-Muslim

Ibnu Hisyam meriwayatkan, beberapa hari setelah Rasulullah SAW. tiba di Madinah, masyarakat Arab berkumpul menghadap beliau. Pada saat itu, seisi rumah kaum Anshar telah memeluk Islam. Satu-satunya suku di Madinah yang belum semua warganya memeluk Islam hanyalah kabilah Aus. Rasulullah SAW. menulis sebuah piagam perjanjian yang diberlakukan bagi kaum Muhajirin, Anshar, dan kaum Yahudi. Di dalam piagam perjanjian itu Rasulullah SAW. meratifikasi agama yang mereka peluk, hak kepemilikan harta, dan beberapa hal lainnya.

Isi piagam perjanjian ini dikutip lbnu lshaq tanpa mencantumkan sanad.

Sementara lbnu Khaitsumah meriwayatkannya dengan sanad yang lengkap sebagai berikut:

Kami menerima hadits dari Ahmad ibn linab Abul Walid, dari lsa ibn Yunus, dari Katsir ibn Abdullah ibn Amr Al-Muzanni dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW. menulis sebuah tulisan (perjanjian) antara kaum Muhajirin dan Anshari. Lalu ia menyebutkan isi perjanjian yang serupa dengan apa yang disebutkan lbnu Ishaq. “7 Naskah ini juga dinukil Imam Ahmad dalam Al-Musnad. Ia merriwayatkannya dari Suraij yang berkata, “Kami menerima hadits dari lbad dari Hajjaj dari Amr ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah telah menulis sebuah piagam (perjanjian) antara kaum Muhajirin dan Anshar.”

Sengaja penulis tidak mengutip naskah piagam perjanjian ini secara lengkap karena terlalu panjang. Tetapi, akan menurunkan beberapa poin penting dari naskah piagam perjanjian yang diratifikasi langsung oleh Rasulullah SAW. Tujuannya, agar kita dapat mengetahui beberapa aturan pokok (undang-undang) yang berlaku bagi masyarakat muslim dan negara mereka yang baru di Madinah. Poin-poin penting tersebut diurutkan sesuai naskah aslinya:

1. Kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib, juga siapa pun yang mengikuti dan berjihad bersama mereka, adalah satu umat.

2. Semua muslim meskipun berbeda suku sama-sama harus membayar ‘aql” dan menebus para tawanan mereka dengan cara yang makruf dan adil di antara kalangan orang-orang mukmin.

3. Sesungguhnya orang-orang mukmin tidak meninggalkan (mengabaikan) seseorang yang menanggung utang di antara mereka untuk memberinya uang tebusan atau ’aql.

4. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus melawan orangorang yang melampaui batas atau melakukan kejahatan besar berupa kezaliman, dosa, permusuhan, atau kerusakan di antara kaum mukminin sendiri, walaupun ia adalah anak dari salah seorang di antara mereka.

5. Seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin yang lain demi membela orang kafir. Dan, seorang mukmin tidak boleh membantu orang kafir untuk menyerang sesama mukmin.

6. Sesungguhnya kata damai bagi kaum mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh berdamai tanpa orang mukmin yang lain, dalam berperang di jalan Allah, kecuali jika dilakukan atas kesetaraan dan keadilan antarmereka.

7. Dzimmah Allah adalah satu. Dia melindungi mukmin yang lemah. Dan, orang mukmin adalah wali bagi mukmin yang lain, di hadapan seluruh umat manusia.

8. Seorang mukmin yang telah mengikrarkan isi piagam ini, juga beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak dihalalkan membantu atau melindungi seorang pendosa. Barangsiapa membantu atau melindungi seorang pendosa, maka di hari kiamat ia dilaknat dan dimurkai Allah Swt. Tak ada tebusan yang dapat membebaskannya dari laknat dan murka-Nya.

9. Orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama orang-orang mukmin selama mereka masih dalam kondisi perang.

10. Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanya menghancurkan diri dan keluarganya sendiri.

11. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri, dan kaum Muslimin pun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong menolong dalam menyiadapi siapa pun yang hendak menyerang pihak yang mengadakan perjanjian ini.

12. Jika di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka perkara itu dikembalikan kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah SAW.

13. Barangsiapa tinggal di dalam kota Madinah ini, keselamatannya tetap terjamin, kecuali yang berbuat kezaliman dan melakukan kejahatan.

14. Sesungguhnya Allah melindungi apa yang tercantum di dalam piagam ini. Sesungguhnya Allah melindungi siapa pun yang berbuat kebaikan dan bertakwa.

Wallahua’lam.

BersamaDakwah

Doa agar Hati Diteguhkan dalam Ketaatan

PADA kesempatan kali ini kita masih melanjutkan macam-macam doa yang singkat namun penuh makna yang dibawakan oleh Imam An Nawawi rahimahullah dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Semoga bermanfaat.

“Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ala thoatik” (Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!)

Dari Abdullah bin Amru bin Al Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Taala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdoa; “Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ala thoatik” (Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!) (HR. Muslim no. 2654). An Nawawi membawakan hadits ini dalam bab, “Allah membolak-balikkan hati sekehendak-Nya.”

Faedah hadits:

  • Hati manusia berada di antara dua jari dari sekian jari Allah yang Maha Pemurah. Allah memalingkan hati manusia tersebut sesuai kehendak-Nya.
  • Jika sudah mengetahui demikian, maka hendaklah setiap hamba rajin memohon pada Allah agar diberi hidayah dan keistiqomahan serta agar tidak menjauh dari jalan yang lurus.
  • Jika seorang hamba bergantung dan bersandar pada dirinya sendiri, tentu ia akan binasa.
  • Hendaknya hamba menyerahkan segala usahanya kepada Allah Taala dan janganlah ia berpaling dari-Nya walaupun sekejap mata.
  • Hendaklah setiap hamba memohon kepada Allah agar terus menerus diteguhkan hati dalam ketaatan dan tidak sampai terjerumus dalam maksiat atau kesesatan.
  • Di sini dikhususkan hati karena jika hati itu baik, maka seluruh anggota badan lainnya juga ikut baik.

Semoga doa ini bisa kita amalkan. Semoga yang singkat ini bermanfaat. [Referensi: Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin. Syarh Riyadhish Sholihin/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH

Bila Wall Facebook Dipenuhi Ucapan Dukacita

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…
Turut berdukacita atas berpulangnya teman kita tercinta ke pangkuan Illahi pada hari ini. Semoga diterima amal ibadahnya, diampuni dosanya, dilapangkan kuburnya dan arwah almarhum mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Allah SWT.

Keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan, ketabahan dan kesabaran. Aamiin.

Sahabat kita ini orang yang baik. Kita semua sayang dia. Tapi Allah lebih sayang padanya. Teman kita sudah tidak merasakan sakit yang sangat lagi. Kita semua akan selalu mengenang kebaikannya dan pertemanan selama ini. Kita semua kehilangannya. Selamat jalan, kawan!”

Kalimat obituari itu disampaikan seorang teman kepada temannya yang meninggal pada suatu petang. Beberapa ucapan juga dilakukan mutual friend lain di dinding (wall) Facebook. Kawannya meninggal karena sakit. Umurnya masih terbilang muda, 34 tahun.

Mendengar atau membaca layang kematian memang menyedihkan. Kematian memang rahasia Allah. Hak prerogratif. Tak seorang pun tahu sekalipun ia seorang nabi atau utusan Allah. Sekalipun jin-jin mengintip, mencuri tahu soal itu untuk membantu para dukun. Tak akan pernah tahu pasti kapan mati.

Ada orang yang sakit tetap diberi umur panjang. Ada orang sehat, tiba-tiba berita kematiannya datang dadakan. Muncul belasungkawa dari segala platform hingga laman-laman media sosial kita. Ada yang menjenguk orang sakit namun yang meninggal malah yang menjenguk.

Kematian itu pasti terjadi pada semua orang tanpa terkecuali. Maka dalam Alquran, kematian disebut dengan اليقين (QS. Alhijr:99)

Ada manusja yang mengingkari Allah. Keluar masuk agama seperti naik lift saja. Mereka mengingkari Allah, tapi tidak ada yang berani mengingkari kematian. Dia adalah keniscayaan. Mati=Yakin.

Agar tetap ‘hidup’ setelah kematian kita, tulislah status Facebook yang bermanfaat untuk dibaca, atau lakukanlah sesuatu yang layak untuk ditulis.

Ingatlah selalu, jangan sampai banyak yang menderita karena status yang kita tulis di wall Facebook. Umur ini pendek. Kita butuh doa-doa kebaikan, bukan doa keburukan.

“Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia
, lindungilah dia dan maafkanlah dia dan muliakanlah tempat tinggalnya sekarang ini, dan lapangkanlah kuburnya. Bersihkanlah dia dengan air yang jernih lagi sejuk, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahan sebagaimana Engkau telah membersihkan baju putih yang bersih dari kotoran, dan gantilah rumahnya didunia dengan rumah yang lebih baik daripada yang dia tinggalkan, dan gantilah keluarganya didunia (yang ditinggalkan) dengan keluarga yang lebih baik (di akhirat). yang lebih baik, dari yang ditinggalkan, dan pasangan yang lebih baik dari yang ditinggalkan.”

Kalimat doa indah itu, mungkin akan mampir, akan muncul di dinding Facebook. Yang ditujukan kepada kita. Waktu kita ternyata telah habis.

[Paramuda/BersamaDakwah]

Mendakwahkan Kebaikan

Allah SWT di dalam Alquran menegaskan, setiap amal kebaikan atau amal saleh akan diberikan balasan yang setimpal. Balasan tersebut beragam jenisnya. Di dalam surah al-Maidah ayat 9, misalnya, Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh bahwa mereka akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar. Dalam surah al-Baqarah ayat 25, Allah berjanji akan menyediakan surga dengan sungai yang mengalir di dalamnya.

Pada surah an-Nisa’ ayat 173 berbeda lagi, di dalamnya dijelaskan bahwa Allah akan menambah karunia-Nya bagi mereka yang beramal saleh. Adapun dalam surah Yunus ayat 9, Allah akan memberi balasan dengan mendatangkan petunjuk ke jalan yang benar.

Ragam balasan bagi orang yang berbuat kebaikan di dalam Aquran tak sekadar hal-hal di atas. Masih banyak balasan-balasan lain yang Allah sediakan. Mulai dari ampunan, pahala yang besar, dan terus mengalir, hidayah, kebahagiaan, hingga mendapatkan tempat yang baik yakni surga.

Ini artinya tidak akan rugi orang yang terus beramal saleh. Apalagi, kebaikan yang dihitung oleh Allah tidak terbatas pada kebaikan yang telah mewujud dalam perbuatan. Bahkan, kebaikan yang masih dalam niat sekalipun akan diberikan pahala.

Hal ini sebagaimana diisyaratkan Nabi Muhammad SAW melalui hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “… Barang siapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya sebagai 10 sampai 700 kali kebaikan atau lebih banyak lagi.” Syekh an-Nawawi dalam Syarah Arba’in Nawawiyah fil Akhaditsi as-Shahihati an-Nabawiyyati menjelaskan, hadis ini adalah hadis yang sangat mulia dan berharga.

Nabi SAW menjelaskan betapa banyak kelebihan yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Di antaranya yaitu orang yang berniat melakukan kebaikan sekalipun belum dilaksanakan mendapatkan satu pahala, sedangkan orang yang berniat berbuat dosa tetapi tidak jadi dikerjakan maka mendapatkan satu pahala, dan bila ia laksanakan mendapatkan satu dosa.

Orang yang berniat baik kemudian melaksanakannya, Allah tetapkan baginya 10 kali pahala. Ini adalah suatu keutamaan yang sangat besar, yaitu dengan melipat gandakan pahala kebaikan, tetapi tidak melipatgandakan siksa atas perbuatan dosa. Allah tetapkan keinginan berbuat baik sebagai suatu kebaikan, karena keinginan berbuat baik itu merupakan perbuatan hati yang ditekadkannya.

Mengingat betapa tidak ternilainya keuntungan yang diperoleh dengan beramal saleh, maka menjadi tugas kita bersama untuk terus mendakwahkannya. Kita ajak teman, tetangga, handai tolan, dan saudara-saudara kita sesama Muslim untuk terus menempa kebaikan.

Jangan sampai kebaikan yang istimewa ini kita sembunyikan untuk diri sendiri. Bukankah Nabi SAW memerintah kita untuk mengajak kebaikan dan memberikan reward yang fantastis bagi orang yang mau mengajak kebaikan?

Inilah yang tersurat dalam hadis riwayat Muslim bahwa siapa yang mengajak kepada petunjuk, dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengikutinya, tidak kurang sedikit pun dari pahala mereka. Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa seperti orang yang mengikutinya, tidak kurang sedikit pun dari dosa mereka.

Dengan mengajak kebaikan kepada orang lain, kita bisa bersama-sama berlomba dalam kebaikan atau yang disebut sebagai fastabiqul khairat. Berlomba dalam kebaikan tentu akan menambah semangat kita dalam beramal. Terlebih kalau kondisi kita sedang terbelenggu kemalasan, maka dengan berlomba dalam kebaikan kita tertantang untuk terus berpacu dalam beramal.

Oleh: Fatkhul Anas

REPUBLIKA