Benarkah Ratu Elizabeth II Keturunan Nabi Muhammad SAW?

Sebuah studi pada 1986 dari Burke Peerage, salah satu penerbit silsilah terbaik di dunia, menunjukkan bahwa pemimpin Kerajaan Inggris Ratu Elizabeth II merupakan keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Ratu Elizabeth merupakan keturunan ke-43 dari Nabi Muhammad SAW.

Burke Peerage telah menerbitkan catatan silsilah kerajaan keluarga secara historis selama lebih dari 190 tahun. Ratu Elizabeth diklaim oleh beberapa sejarawan sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Meskipun sulit dicerna, namun dari sisi genealogis hal ini masuk dalam akal sehat.

Berikut merupakan rilis pers oleh Persatuan Pers Internasional seperti dilansir dalam laman Observer.

“Persatuan Pers Internasional
10 Oktober 1986
Muslim di Istana Buckingham

Selain campuran darah biru yang dimiliki oleh Ratu Elizabeth, terdapat darah Islam dari Nabi Muhammad SAW, seperti dalam Burke’s Peerage, panduan geneologis untuk keturunan kerajaan. Hubungan darah tersebut muncul saat Harold B Brooks-Baker, direktur penerbit Burke, menulis untuk Perdana Menteri Margaret Thatcher agar memberikan keamanan yang lebih baik untuk keluarga kerajaan.

“Keturunan langsung keluarga kerajaan dari Nabi Muhammad tidak dapat diandalkan untuk selamanya melindungi keluarga kerajaan dari teroris Islam,” katanya. Menyadari hubungan yang akan mengejutkan banyak orang, dia menambahkan, “Tidak banyak orang Inggris yang tahu darah Muhammad mengalir di tubuh Ratu. Namun, semua pemimpin agama Islam bangga dengan fakta ini.”

Brooks-Baker mengatakan, bahwa darah Nabi Muhammad SAW mengalir ke keluarga kerajaan Inggris melalui raja-raja Arab di Seville yang pernah memerintah Spanyol. Dengan menikah, darah mereka mengalir ke raja-raja Eropa seperti Postugal dan Castille dan melalui merekalah darah tersebut sampai ke Raja Edward IV pada abad ke 15.”

Latar Belakang Hubungan Darah

Kekhalifahan Umayyah merupakan khalifah Arab yang didirikan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Khalifah tersebut memiliki kekuatan yang sangat besar dimana puncaknya mereka memerintah di lebih dari 15 juta kilometer persegi dari Kaukasus (Eurasia) ke Semenanjung Iberia (Muslim Spanyol, Portugal, Andorra dan Gibraltar). Saat itu merupakan kerajaan terbesar kelima dalam sejarah, dimana mereka mengatur sekitar 62 juta orang atau 29 persen populasi dunia.

Ibukota Iberia Muslim atau Andalusia yang berjaya pada tahun 756 hingga 929 saat ini adalah Cordoba di Spanyol. Cordoba menjadi pusat budaya dan intelektual bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, dimana kemajuan dalam bidang sains, sejarah, geografi, astronomi dan matematika terjadi di sana. Bukanlah hal biasa terjadi dalam periode ini untuk perkawinan antaragama antara Muslim, Kristen, dan Yahudi.

Jatuhnya kekhalifahan Umayyah terjadi setelah Revolusi Abbasiyah antara tahun 661 hingga 750. Abbasiyah adalah sebuah dinasti yang dibentuk oleh Abu al-Qasim Muhammad ibn Abbad, yang diklaim sejarawan sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW melalui anak perempuan nabi, Fatimah.

Melalui garis keturunan Al-Qasim inilah sejarawan percaya bahwa Ratu Elizabeth memiliki darah nabi sebagai latar belakangnya. Al-Qasim menjadi penguasa Sevilla, sebuah wilayah muslim Spanyol dan memerintah hingga wafat pada tahun 1042. Setelah itu, cucunya Muhammad Al-Mu’tamid menguasai Cordoba pada 1071. Dia menjadi pemimpin terakhir Abbasiyah.

Pada tahun 1091, kerajaan Abbasiyah jatuh ke tangan dinasti Almoravid, sebuah dinasti kekaisaran Berber dari Morrocco. Berber adalah kelompok etnis yang berasal dari Afrika Utara.

Al-Qasim memiliki seorang putri bernama Zaida. Dia menjadi pengungsi Muslim yang melarikan diri ke istana Raja Alfonso VI, Raja Spanyol Leon, Castille dan Galicia, selama serangan yang terjadi oleh Almoravid pada kerajaan Abbasiyah.

Kemudian Zaida masuk agama Katolik Roma dan menikah dengan Raja Alfonso VI. Dia berganti nama menjadi Isabella setelah dia dibaptis. Dari pernikahannya, mereka memiliki tiga anak yang akhirnya memiliki lebih banyak keturunan.

Dua abad kemudian, pada 1352, keturunan Raja Alfonso dan Zaida, Maria de Padilla memiliki anak dengan Raja Peter dari Castille. Keduanya memiliki empat anak, dua diantaranya menikah dengan putra Raja Edward III dari Inggris.

Generasi setelahnya, Ratu Elizabeth lahir dan memiliki royalti penuh atas pencampuran keturunan dari peradaban Barat dan Timur.

Berikut merupakan silsilah lengkap dari Nabi Muhammad SAW hingga Ratu Elizabeth II:

Elizabeth II, Queen of the UK anak perempuan dari
George VI, King of the UK anak laki-laki dari
George V, King of the UK anak laki-laki dari
Edward VII, King of the UK anak laki-laki dari
Victoria, Queen of the UK anak perempuan dari
Edward, Duke of Kent and Strathearn anak laki-laki dari
George III, King of Great Britain anak laki-laki dari
Frederick, Prince of Wales anak laki-laki dari
George II, King of Great Britain anak laki-laki dari
George I, King of Great Britain anak laki-laki dari
Sophia, Electress of Hanover anak perempuan dari
Elizabeth of Bohemia anak perempuan dari
James I/VI, King of England, Ireland & Scotland anak laki-laki dari
Mary, Queen of Scots anak perempuan dari
James V, King of Scots anak laki-laki dari
Margaret Tudor anak perempuan dari
Elizabeth of York anak perempuan dari
Edward IV, King of England anak laki-laki dari
Richard Plantagenet, Duke of York anak laki-laki dari
Richard of Conisburgh, Earl of Cambridge anak laki-laki dari
Isabella Perez of Castille anak perempuan dari
Maria Juana de Padilla anak perempuan dari
Maria Fernandez de Henestrosa anak perempuan dari
Aldonza Ramirez de Cifontes anak perempuan dari
Aldonza Gonsalez Giron anak perempuan dari
Sancha Rodriguez de Lara anak perempuan dari
Rodrigo Rodriguez de Lara anak laki-laki dari
Sancha Alfonsez, Infanta of Castile anak perempuan dari
Zaida (aka Isabella) anak perempuan dari
Al-Mutamid ibn Abbad, King of Seville anak laki-laki dari
Abbad II al-Mutadid, King of Seville anak laki-laki dari
Abu al-Qasim Muhammad ibn Abbad, King of Seville anak laki-laki dari
Ismail ibn Qarais anak laki-laki dari
Qarais ibn Abbad anak laki-laki dari
Abbad ibn Amr anak laki-laki dari
Amr ibn Aslan anak laki-laki dari
Aslan ibn Amr anak laki-laki dari
Amr ibn Itlaf anak laki-laki dari
Itlaf ibn Naim anak laki-laki dari
Naim II al-Lakhmi anak laki-laki dari
Naim al-Lakhmi anak laki-laki dari
Zahra bint Husayn anak perempuan dari
Husayn ibn Hasan anak laki-laki dari
Hasan ibn Ali anak laki-laki dari
Fatimah bint Muhammad anak perempuan dari
Nabi Muhammad SAW

 

Zaman Penuh Fitnah, Tuntutlah Ilmu yang Benar

ADA yang bertanya dan meminta nasihat kepada Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan; tentang zaman ini, di mana banyak fitnah di dalamnya, dan tersebarnya ahlul bida (orang yang membuat ajaran baru dalam agama).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawabnya. Pertama, aku nasihatkan kepada anda untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala memperbanyak doa agar Allah menguatkan kita di atas agama ini dan menjaga kita dari buruknya fitnah.

Kemudian, aku nasihatkan kepada anda untuk menuntut ilmu, menuntut ilmu dari para ulama dan bersemangat untuk menuntut ilmu, karena sesungguhnya seseorang tidak akan terjaga dari fitnah -dengan izin Allah- kecuali dengan ilmu yang benar.

Adapun apabila engkau tidak memiliki ilmu yang benar, boleh jadi engkau berada dalam fitnah, namun engkau tidak menyadarinya dan tidak mengetahui bahwasanya hal tersebut adalah fitnah. Maka belajarlah (ilmu agama) dari para ulama, dan janganlah anda malas untuk menuntut ilmu, apapun yang terjadi. []

 

INILAH MOZAIK

Masa Penantian, Ujian Berat bagi Seorang Gadis

MERINDUKAN pendamping hidup adalah fitrah setiap insan. Wanita, sebagai makhluk Allah yang cenderung ingin diayomi atau dilindungi, tentu wajar berharap pula akan kehadiran seorang ikhwan dalam hidupnya.

Dan saat menanti adalah ujian berat bagi seorang gadis. Sebagai bunga yang sedang mekar atau yang mungkin telah mekar sekian lama, seringkali ia terlena dengan tawaran manis si kumbang yang datang mempesonanya.

Sayang, kebanyakan kumbang-kumbang itu sekedar ingin menggoda saja. Malah ada pula yang sekedar ingin menghisap madunya tanpa mau bertanggung jawab. Naudzubillah! Begitulah fakta di masa kini.

Realita fitnah syahwat yang terjadi di mana-mana hingga banyak wanita kehilangan kehormatannya. Karena itu, setiap gadis muslimah hendaknya pandai-pandai menjaga diri dan selalu berhati-hati, jangan sampai tertipu. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis muslimah dalam penantian?

a. Memperbanyak amal ibadah

Seorang muslimah dalam masa penantian hendaknya semakin mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah dengan memperbanyak amal ibadah, khususnya ibadah sunnah. Karena ia bisa menjadi perisai diri dari berbagai godaan.

b. Doa dan tawakal

Rezeki, maut, termasuk jodoh manusia sudah diatur oleh Allah, dan Dia Maha Mengetahui yang terbaik bagi hambaNya, yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar dan berdoa, kemudian bertawakal kepadaNya.

Hanya kepada Allah kita berserah diri dan mohon pertolongan. Berdoalah agar segera dikaruniai jodoh yang shalih, yang baik agamanya, dan bisa membawa kebahagiaan bagi kita di dunia dan akhirat. Yakinlah Allah akan memberikan yang terbaik. Bukankah Dia akan mengikuti persangkaan hambaNya? Karena itu jangan pernah berburuk sangka terhadap Allah.

c. Mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu

Bekali diri dengan ilmu, khususnya ilmu agama, terutama yang berkaitan dengan kerumah tanggaan. Lalu, bekali diri dengan keterampilan berumah tangga. Seorang suami tentu saja akan senang bila istrinya terampil dan cekatan.

Terakhir, persiapkan diri menjadi istri shalihah dan sebaik-baik perhiasan bagi suami. Jangan lupa untuk merawat diri agar selalu tampil cantik dan segar. Tapi ingat, kecantikan itu tidak untuk diumbar sembarangan, persembahkan hanya untuk suami tercinta kelak.

Kepada para ikhwan

Bagi para ikhwan, ketahuilah sesungguhnya telah banyak akhwat yang siap. Mereka menunggu pinanganmu. Mereka menunggu keberanianmu. Tunggu apalagi jika engkau pun sudah siap menikah dan merindukan seorang istri?

Ayolah, jangan ikhlaskan wanita-wanita shalihah itu dinikahkan dengan lakilaki yang tak baik agamanya. Ingat bahwa Allah akan menolong seorang pemuda yang berniat menikah demi menyelamatkan agamanya. Karena itu, bersegeralah mencari pendamping yang bisa membantumu bertaqwa kepada Allah.

 

[Majalah Nikah]

Bila Sakit Menyapa, Jangan Bersedih

KITA semua tentu tidak ingin sakit. Akan tetapi, ingatlah bahwa segala yang terjadi di dalam fana ini telah digariskan oleh Rabb yang Maha Bijaksana. Adanya bencana, musibah, dan sakit, semuanya adalah ketentuan Allah. Allah berfirman:

Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22).

Musibah adalah sunnatullah bagi semua manusia, bahkan sampai orang yang paling mulia pun merasakannya. Para nabi dan rasul, merekalah orang yang paling berat cobaannya. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan:

“Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi. Kemudian yang setelahnya, yang setelahnya, dan yang setelahnya.”

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa semakin kuat keimanan seseorang maka akan semakin bertambah pula cobaannya. Dan hadits ini sebagai bantahan yang jelas terhadap anggapan orang-orang yang lemah akalnya bahwa seorang mukmin apabila diberi cobaan, maka hal itu pertanda bahwa dia tidak diridhai di sisi Allah. Ini adalah persangkaan yang salah! Rasulullah saja sebagai manusia paling mulia diberi cobaan. Cobaan secara umum adalah isyarat kebaikan, bukan pertanda kejelekan.

Akan tetapi, rasa sakit yang kita rasakan, kesedihan yang merana dalam hati, janganlah membawa kita berburuk sangka kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada-Nya, insya Allah segala yang sulit akan menjadi mudah, rasa sakit akan terasa ringan.

Ingatlah selalu hadits qudsi yang berbunyi: “Aku (Allah) menuruti prasangka baik para hamba kepada-Ku. Hendaklah ia berprasangka sekehendaknya. Apabila ia berprasangka baik maka akan baik, apabila ia berprasangka buruk maka akan buruk pula.

Renungi hadits di atas wahai saudaraku, semoga Allah memberi pemahaman kepada Anda bahwa Allah akan menuruti prasangka seorang hamba. Berbaik sangkalah jika Anda sakit, karena apabila Allah mengetahui ketulusan dan kejujuran niat Anda dalam berprasangka baik, maka engkau akan merasakan ketenangan jiwa dan ketentraman.

Sebaliknya, apabila engkau menuduh bahwa Allah tidak mengasihimu, tidak kasihan, maka tidak mustahil sakitmu bertambah parah. Pahamilah wahai hamba Allah.

Engkau berbaring di atas ranjang merasakan sakit. Engkau melihat orang-orang di sekitarmu berjalan hilir mudik lagi sehat badannya. Tentu engkau pun ingin seperti mereka bukan, kembali sehat lagi! Harapan seperti itu adalah wajar, karena kita semua ingin selalu sehat.

Janganlah engkau bersedih dengan penyakit yang menimpamu. Bersabarlah dan carilah pahala dengan sakit yang engkau derita.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Bila Sakit Menyapa, penulis: Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman)

 

HIDAYATULLAH

 


Bagikan Artikel ini kepada orang-orang yang Anda kenal,…

Buruknya Hidup dalam Keserakahan

SERAKAH ialah suatu keadaan jiwa yang membuat manusia tidak puas dengan apa yang dimilikinya dan berusaha ingin memiliki yang lebih banyak lagi. Keserakahan ini tidak hanya pada pemilikan harta, tetapi juga terhadap makanan, minuman, kegiatan seksual, dan sebagainya.

Ini termasuk penyakit hati yang tercela dan tidak sehat, karena hati orang serakah tidak pernah tenang, puas, dan selalu merasa kekurangan. Karena itu, bisa terdorong berbuat buruk, misalnya menipu, mencuri, manipulasi, korupsi, dan sebagainya, untuk memenuhi nafsu serakahnya terhadap harta dan kedudukan. Itulah sebabnya Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan bahaya sifat serakah:

“Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya. Segala keperluannya akan Allah kumpulkan dan keperluan dunia akan datang. Barangsiapa menjadikan (motivasi) dunia sebagai cita-citanya Allah akan menjadikan kefakiran di hadapan matanya dan akan menjadikan kacau segala urusannya. Sedangkan dunia (yang dicarinya sungguh-sungguh) tak ada yang datang menghampirinya melainkan sesuai dengan apa yang ditakdirkan oleh Allah atas dirinya, pada sore dan pagi harinya dia selalu dalam kefakiran.” (H.R. Tirmizi).

Rasulullah juga mengingatkan:

1. “Setiap anak Adam akan mengalami masa tua, kecuali dua hal, yaitu kerakusan terhadap harta benda dan panjangnya umur.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

2. “Seandainya seorang anak Adam telah memiliki dua lembah, maka dia akan mencari lembah yang ketiga, dan perutnya tidak akan merasa puas sampai dimasukkan ke dalam tanah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sabda Rasulullah itu menjelaskan bahwa nafsu untuk menumpuk harta dan mencapai kedudukan yang setinggi-tingginya dalam kehidupan dunia itu sebenarnya manusiawi dan dapat menjadi motivasi untuk meraih kemajuan dalam kehidupan dunia, seperti kekayaan, kedudukan, dan ilmu pengetahuan, tetapi nafsu itu harus dikontrol agar tidak menimbulkan ekses negatif, yaitu mencari kekayaan dan kedudukan dengan cara yang tidak benar, seperti sogok-menyogok dan sebagainya. Tetapi, kalau mencari harta dan kedudukan yang setinggi-tingginya sekalipun dengan cara yang benar, tentu saja boleh.

Lawan dari serakah ialah merasa cukup (kanaah). Hal ini dapat membuat orang mengendalikan keinginan-keinginan yang tidak baik dan merasa cukup dengan mempunyai harta yang dimiliki. Orang yang berbuat kebajikan itu selalu hidup terhormat, terpandang, dan merdeka; ia kebal terhadap penyakit yang ditimbulkan kelimpahan harta di dunia serta hukuman di akhirat.

Penyakit serakah itu dapat disembuhkan dengan merenungkan keburukan dan akibat-akibatnya yang merugikan, dan menyadari bahwa serakah merupakan perangai hewan yang tidak mengenal batas dan kepuasan, serta menggunakan segala cara, termasuk yang haram sekalipun, dalam memenuhi tuntutan nafsu serakahnya.*/Sudirman Tebba, dari bukunya Sehat Lahir Batin.

 

HIDAYATULLAH

Tiga Tingkat Keimanan

Menurut Habib Abdullah bin Alawi dalam Risalah Al-Muawwanah mengatakan, inti dari ajaran tasawuf terletak pada keyakinan hati dan keteguhan iman. Kekuatan iman mampu membuat perkara yang mustahil dan tidak bisa dicerna akal manusia menjadi sangat riil di hadapan mata hati.

Menghadirkan urusan gaib yang berada di luar indra manusia menjadi nyata dan tampak kasat mata. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, seandainya satir penutup dibuka, niscaya keyakinan akan bertambah.

Pada dasarnya, tiap mukmin punya rasa yakin, tapi yang membedakan hanya satu, yaitu kadar iman yang dimiliki. Semakin kuat iman yang dipelihara seorang hamba, ia laksana gunung yang berdiri tegak dan kokoh. Dalam salah satu kaidah ushul fikih, disebutkan al-Yaqinu La Yuzalu bi as-Syak (keyakinan yang kuat tidak akan berubah dengan sebuah keragu-raguan).

Keyakinan tersebut tak akan sanggup diempas dengan mudah oleh tiupan keragu-raguan ataupun oleh angin waswas yang disebarkan oleh setan. Karena setan tidak akan berhenti bermanuver guna menyesatkan anak Adam. Sebagaimana sabda Nabi SAW, Setan akan menyesatkan manusia dan tidaklah seseorang mengambil jalan lain, kecuali setan juga akan menempuhnya.

Sehingga, apabila dikelompokkan, tingkatan keimanan bisa dibagi ke dalam tiga lapisan. Pertama, tingkatan dasar atau disebut iman. Kategori ini biasanya diisi oleh kalangan awam yang kadar keimanannya masih sering naik turun dan berubah-ubah.

Tingkatan kedua, tingkatan iman yang kokoh di hati dan tidak goyah, sehingga di level ini, hampir saja seseorang mampu melihat yang gaib. Tingkat keimanan ini disebut yaqin. Level keimanan ketiga yang tertinggi dikenal dengan istilah kasyaf. Tingkatan ini setara dengan level para wali dan nabi yang tidak lagi ada batas antara yang gaib dan alam kasat mata.

Selanjutnya, terdapat tiga cara yang bisa ditempuh untuk membangun benteng keimanan yang kuat. Pertama, mendengarkan, membaca, dan merenungkan ayat-ayat serta hadis-hadis yang menegaskan kebesaran dan kekuasaan Allah.

Selain itu, juga teks-teks agama yang mengisyaratkan secara jelas perihal kebenaran dakwah yang disampaikan oleh para rasul dengan segala konsekuensi yang didapat, baik dari ketaatan maupun sanksi yang diperoleh akibat pelanggaran apabila mengingkari risalah Ilahiah tersebut. Cara ini sesuai firman Allah, Dan, apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Alkitab (Alquran) sedang dia dibacakan kepada mereka. (QS al-Ankabut [29]: 51).

Kedua, merenungkan keajaiban penciptaan alam semesta, hamparan langit yang luas, bumi tempat berpijak, serta pesona unsur-unsur yang menjadi pelengkap dan kebutuhan kelangsungan hidup.

Sebagaimana firman-Nya, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri. (QS Fushilat [41]: 53).

Sedangkan, cara ketiga, keyakinan yang telah didapat mesti diterapkan baik secara lahir maupun batin, dan berupaya sebisa mungkin menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena, dengan keteguhan iman dan keyakinanlah, Allah akan senantiasa membimbing dan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada umat manusia.

Allah berfirman, Dan, orang-orang yang berjihad (mencari keridhaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS al-Ankabut [29]: 69).

 

REPUBLIKA

Jagalah Hak Allah dan Orangtua

RASULULLAH Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang memutuskan tali silaturahim tidak akan masuk surga.” (HR al-Bukhari-Muslim).

Bagaimana dia bisa masuk surga, sedangkan dia sendiri memutus hubungan dengan orangtuanya.

Dalam hadist lain, Rasulullah bersabda, “Tatkala Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan ar-rahim, maka rahim itu tergantung di Arsy dan berkata, ‘Tuhan! Inilah tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari pemutusan hubungan silaturrahmi.’ Maksudnya, aku adukan pemutusan hubungan di dunia kepada-Mu. Akan tetapi, bersihkanlah aku dari orang yang memutuskan tali silaturahmi. Allah kemudian menanyakannya, ‘Relakah kamu bila Aku menyambung orang yang menyambungmu, dan memutus orang yang memutusmu?’ Ia menjawab, ‘Tentu, Tuhan!’ Kemudian Allah berfirman, Itu adalah untukmu.” (HR al-Bukhari-Muslim).

Orang yang memutus hubungan silaturahmi pasti diputuskan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Apakah kamu mengira jika kamu sudah berkuasa, kamu akan bisa berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah. Jika itu yang terjadi, Dia akan membuat pendengaran mereka tuli dan membutakan penglihatan mereka. (Muhammad: 22-23).

Dalam al-Qur’an, Allah banyak menyertakan hak orangtua dengan hak-Nya.

Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sudah mencapai lanjut usia, janganlah kamu berkata, “Ah” kepada mereka dan jangan membentaknya. Akan tetapi, berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Selain itu, rendahkanlah dirimu di hadapan mereka dengan penuh kasih sayang dan berdoalah, “Tuhan! Sayangilah mereka, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil. (al-Isra’: 23-24)

Walaupun huruf “Ah” itu sedikit, tetap saja tidak boleh diucapkan kepada kedua orangtua. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan mereka yang berfoya-foya di istana-istana (gedung-gedung), villa-villa mewah, tetapi dia juga merendahkan kedua orang tuanya? Bagaimana dengan orang yang lebih menyayangi istrinya dibandingkan ibu kandungnya sendiri? Bagaimana dengan orang yang berbicara kasar dan selalu menentang dalam menjawab?

Itu merupakan bentuk perbuatan yang senantiasa terulang dalam masyarakat kita. Bahkan, kita juga sering mendengar dan melihatnya. Semoga para pendurhaka menyadari perbuatan buruknya melalui ayat dan hadist-hadist yang telah memperingatkan mereka dari tindakan terkutuk itu, yang tidak patut diterima oleh orangtua yang sudah bersusah payah, menderita, dan mendidiknya dari kecil hingga dewasa. Semoga mereka dapat mengambil pelajaran dari kisah orang-orang saleh tentang perilaku mulia mereka dalam berbakti kepada kedua orangtuanya.

Ibnu Sirin pernah menyuguhkan makanan untuk ibunya. Dia tidak mau menikmati makanan dan tempat yang sedang dimakan oleh ibunya karena takut bila tangannya mengambil makanan yang disukai oleh ibunya. Imam Ahmad juga pernah melayani ibunya di rumah yang hanya ada dia dan Allah sebagai penolong. Dia memasak makanan untuk ibunya, menyapu, membersihkan rumah, serta mengerjakan segala pekerjaan untuk ibunda tercinta.

Durhaka memiliki bentuk yang banyak. Di antaranya adalah durhaka kepada kedua orangtua sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Kedurhakaan inilah yang paling terkenal.

Namun, ada perilaku durhaka dalam bentuk lain, yaitu kedurhakaan manusia terhadap Tuhan. Sebagaimana yang telah kita lihat, dia berpaling dari agama dan dari kepatuhan kepada Tuhan. Bahkan mereka lebih suka mengikuti perilaku orang-orang kafir yang jauh dan Tuhan dalam segala hal, dengan anggapan bahwa kemajuan dan kemoderenan berada pada sikap mengikuti dan meniru perilaku mereka.

Mereka tidak menyadari bahwa kemajuan dan kemoderenan terletak pada keunggulan kepribadian, merealisasikan kandungan kitab suci dan sunah Nabi dalam kehidupan.*/DR. ‘Aidh bin ‘Abdullah al-Qarni, dinukil dari bukunya Membangun Rumah dengan Takwa.

 

HIDAYATULLAH

Kaya Bukan Ukuran Mulia, Miskin Bukan Kehinaan

JIKA kita disuruh memilih dua pilihan; kaya atau miskin, tentu kita akan memilih menjadi kaya daripada orang miskin. Hal ini sangatlah wajar dan masuk akal. Bahkan mungkin tidak ada orang yang mau dirinya jadi orang miskin.

Dengan kekayaan (uang) melimpah, kita bisa memperoleh segala yang kita butuhkan dan menikmati fasilitas yang barangkali orang lain tak mampu menikmatinya. Inilah jawaban praktis yang umumnya dilontarkan oleh mayoritas orang. Namun begitu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan ke-Mahatahuan akan hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik oleh hamba-hamba-Nya, ternyata kaya dan miskin mutlak harus ada. Apa jadinya jika dunia ini hanya dipenuhi oleh orang kaya saja, atau sebaliknya. Jelas roda kehidupan tidak akan berputar dengan baik.

Kaya dan miskin adalah ketetapan dari Allah yang harus disikapi dengan bijak, menurut kacamata Islam. Ketahuilah bahwasanya kemiskinan dan kekayaan hanyalah ujian. Kaya atau miskin bukan urusan mulia atau hina. Kekayaan bisa berarti siksaan, sedangkan kemiskinan bisa jadi karunia.

Keduanya tak lebih dari ujian; mana yang mulia atau mana yang hina tergantung bagaimana masing-masing di antara kita menyikapi ujian tersebut.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Rabbku menghinaku.’ Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al-Fajr: 15-17)

Ayat di atas menerangkan bahwasanya Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan memberikan kenikmatan dan melimpahkan rezeki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezeki. Keduanya adalah ujian dan cobaan.

Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rezeki dan melimpahnya harta adalah bukti Allah memuliakannya, dan sempitnya rezeki pertanda Allah menghinanya. Allah menyanggah anggapan itu, “Sekali-kali tidak demikian!”

Yakinlah, anggapan orang-orang itu tidaklah benar. Terkadang Allah menyiksa dengan nikmat-Nya dan memberikan nikmat dengan cobaan-Nya.

Oleh karena itu, anggapan orang yang mengatakan apabila seseorang diberi kekayaan harta yang melimpah pasti hal itu pertanda Allah memberikan kebaikan kepada dirinya adalah tidak benar. Sebab, kekayaan itu sendiri merupakan bentuk ujian dari Allah. Lulus atau tidaknya seseorang akan terlihat sejauh mana ia mempergunakan hartanya di jalan Allah. Berapa banyak orang yang celaka karena diuji dengan kekayaan!

Harta tak selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan lenyapnya harta dalam genggamannya menghantui pikiran. Ujung dari siksa itu berupa penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi; mungkin lenyap oleh bencana, atau lantaran ajal yang memisahkan ia dengan hartanya. Pintu yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satu pun manusia yang mampu mengelak darinya.

Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payah yang diupayakannya, toh tak akan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya, tak akan jauh dari kesenangan berbau maksiat. Dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali siapa saja yang mau bertaubat.

Semua alasan di atas menjadikan kita tidak kesulitan memahami maksud firman Allah Ta’ala:

Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.“ (QS. At-Taubah: 55)

Ya, harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu adalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Hidup Susah Tak Lupa Bersedekah, penulis: Abu Ahmad Abdul Fattah)

 

HIDAYATULAH

Waspadai Bahaya Lisan, Gunakan untuk Berzikir

NABI Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. (Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah kepada hal yang makruh atau haram. Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya, semestinya dia tahu akan bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman:

Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS. Qaaf: 18)

Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa zikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju neraka pun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring’, kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik. Sebaliknya jika tidak, hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berpikir.

Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 114)

Orang-orang sufi yang tekun menggunakan mulutnya untuk berzikir daripada berbincang-bincang, memperingatkan dengan prihatin bahwa manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak mendapatkan kesusahan karena lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.

Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi. Perempuan itu menegur, “Apakah engkau tidak malu?“Hasan Al Bashri lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya. Setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak terlihat siapa pun, Hasan Al Bashri bertanya, “Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita.“ Wanita itu menjawab, “Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati.”

Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah mengingatkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja”.

Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat yang benar, saling menghormati antar-peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah, dan kebenaran. Tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan di mana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itu pun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.

Allah berfirman:

Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (Al-Nahl: 125).

Ayat di atas meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya.

Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ‘ya’ apabila lawan berkata ‘tidak’, dan berkata ‘tidak’ apabila lawan berkata ‘ya’.

Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter’ yang tidak pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam gelanggang. Di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan.

Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan hasil yang baik bahkan disifatkan sebagai terbaik ialah:
1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan ‘men-skor’ pendebat yang melanggar disiplin debat dan aturan.
2. Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi usaha mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.

Debat Al Quran yang berlangsung antara Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan Yahudi dan Nashara, bahkan dengan kaum musyrikin, menjadi contoh untuk dipelajari, dari segi akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam surah Saba’ ayat 24-26, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.” Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar, dan Dia-lah Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui.”

Debat Nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat menjadi contoh bagi para dai yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan Nabi. Mereka berdebat seolah-olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya dalam politik.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Bahaya Lisan, penulis: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali)

 

HIDAYATULLH

Tanda Munafik: Pria Enggan Jemaah di Masjid

PRIA yang enggan berjamaah di masjid, malah seringnya di rumah, memiliki tanda kemunafikan dan menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Baca tulisan berikut, salah satu bahasan hadits dalam Riyadhus Sholihin. Bab Keutamaan Shalat Berjamaah, Hadits no. 1069

Dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Barangsiapa yang gembira bertemu dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat-shalat ini saat ia dipanggil untuk melaksanakannya. Karena Allah menyariatkan untuk Nabi kalian sunanul huda (petunjuk). Dan shalat berjamaah termasuk sunanul huda (petunjuk). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, itu berarti kalian telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat. Aku telah melihat bahwa tidak ada yang tertinggal dari shalat berjamaah melainkan orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dan sungguh adakalanya seseorang biasa dibawa di antara dua orang (dipapah) sampai ia diberdirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim, no. 654)

Dalam riwayat lain disebutkan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa salam mengajarkan pada kami sunanul huda (petunjuk). Di antara sunanul huda tersebut adalah shalat berjamaah di masjid ketika dikumandangkan azan di dalamnya.”

Kesimpulan Mutiara Hadits:

  • Menjaga shalat lima waktu di waktunya termasuk ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  • Menghadiri shalat berjamaah dihukumi wajib bagi yang mampu berjamaah.
  •  Shalat wajib mempunyai waktu tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa:103)
  • Shalat seseorang laki-laki di rumah padahal mampu berjamaah di masjid menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  • Meremehkan ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan membuat seseorang itu sesat.
  • Di antara tanda munafik adalah meninggalkan shalat berjamaah.
  • Sahabat Nabi radhiyallahu anhum sangat semangat sekali mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  • Setiap muslim harus saling membantu dalam kebaikan dan ketaatan.
  • Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika meninggal dunia benar-benar telah mengajarkan semua petunjuk yang dapat mendekatkan diri pada Allah.

Ibnu Allan Asy-Syafii rahimahullah dalam Dalil Al-Falihin mengatakan, “Jika kalian melaksanakan shalat di rumah kalian yaitu melaksanakan shalat wajib sendirian atau melaksanakan shalat jamaah namun di rumah (bukan di masjid) sehingga tidak nampaklah syiar Islam, sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang yang betul-betul meremehkannya, maka kalian berarti telah meninggalkan ajaran Nabi kalian yang memerintahkan untuk menampakkan syiar shalat berjamaah. Jika kalian melakukan seperti ini, niscaya kalian akan sesat. Sesat adalah lawan dari mendapat petunjuk.”

 

 

[Referensi: Bahjah An-Nazhirin. Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali; Dalil Al-Falihin Li Thuruq Riyadh Ash-Shalihin/Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK