Ketum MUI: Keutuhan Bangsa Harus Diutamakan

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Rais ‘Am PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan bahwa keutuhan bangsa harus diutamakan. Karenanya, kerukunan antar semua komponen bangsa, khususnya ulama dan umara, harus diperkuat.

Pesan ini disampaikan KH Ma’aruf Amin saat memberikan sambutan pada Zikir Kebangsaan dan Rakernas Majelis Zikir Hubbul Wathon di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Rabu (21/02).

Hadir dalam kesempatan ini Presiden Joko Widodo, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin beserta sejumlah menteri Kabinet Kerja, serta para kyai, ulama, dan pimpinan pondok pesantren dari berbagai wilayah di Indonesia.

“Keutuhan bangsa harus diutamakan. Kerukunan antara semua komponen bangsa, khususnya ulama dan umara, harus terus diperkuat,” tegasnya.

“Melalui zikir kebangsaan ini, akan kita satukan dan terus bina hubungan baik antara ulama dan umara,” sambungnya.

Menurutnya, bangsa Indonesia patut bersyukur karena memiliki dua warisan besar berupa Pancasila dan UUD 1945. KH Ma’ruf mengajak agar masyarakat menjaga keduanya.

“Warisan pertama adalah Pancasila yang merupakan kalimatun sawa (titik temu) dari seluruh komponen bangsa Indonesia,” terang KH Ma’ruf.

“Kita juga patut bersyukur telah diwariskan satu kesepakatan (mitsaq) para pendiri bangsa, yaitu piagam jakarta yang telah dihilangkan tujuh katanya dan menjadi mukaddimah UUD 1945,” sambunganya.

Pancasila dan UUD 1945, lanjut KH Ma’ruf, keduanya ikut menjadikan Bangsa Indonesia menjadi satu. “Karenanya kalimatun sawa dan kesepakatan ini harus terus dijaga. Terutama saat ini, di tahun penyelenggaraan pilkada dan pilples. Salah satunya dengan terus menggelorakan zikir di seluruh Indonesia,” ujarnyanya.

“Marilah kita terus berjuang mewujudkan cita-cita bangsa melalui upaya lahiriah dan batiniyah. Melalui zikir di seluruh pelosok Tanah Air, kita berhahrap mendapat pertolongan dari Allah dan kita menjadi orang yang minadz-dzaakiriin wadz-dzaakiraat,” sambungnya. (Arif)

 

KEMENAG RI

Sejarah Tafsir Alquran dan Perkembangannya di Indonesia

Hanya dengan membaca Alquran belum tentu seseorang paham maksud dibalik setiap firman Allah. Bahkan, untuk seorang yang mengerti bahasa Arab sekalipun, tak menjamin ia memahami kandungan Alquran yang kaya makna. Apalagi, unruk sebagian besar Muslimin yang hanya membaca terjemahan. Jika tak bingung, bisa jadi ia akan sesat memahaminya.

Di sinilah fungsi tafsir sebagai penjelas Alquran. Banyak ilmu yang mesti dipahami dibalik firman Allah yang agung, di antaraya, hadis Rasulullah, asbabun nuzul, dan nasikh-mansukh ayat, Arab klasik, balaghah Arab, ilmu ma’ani, ilmu bayan, qiraah, usul fikih, dan masih banyak ilmu lain yang mustahil dipahami Muslimin awam. Karena itulah, ulama hadir untuk meramunya, kemudian menghasilkan interpretasi Alquran bernama tafsir.

Banyak karya tafsir yang dihasilkan ulama, baik ulama klasik, hingga modern. Kita mengenal Tafsir At-Tabari, Tafsir ibn Katsir, Tafsir As Suyuthi, Tafsir As-Sa’di, dan sebagainya. Karya tafsir ulama tersebut masih sering menjadi rujukan hingga kini. Tapi, mulanya tak ada tafsir pada era Rasulullah.

Mengingat, para sahabat kala itu dapat langsung bertanya pada Rasulullah terkait makna ayat. Baru, pada abad kedua atau ketiga Hijriyah, ilmu tafsir dianggap sangat penting menyusul mulai banyaknya Muslimin yang salah memahami Quran. Apalagi, saat itu bacaan Alquran pun mengalami banyak salah lisan karena tulisan yang gundul. Hingga, kemudian Abul Aswad ad-Dualy membuat kaidah i’rab Arab yang memberikan harakat pada bahasa Arab.

Setelah ditemukannya i’rab tersebut, muncul periode tafsir Quran. Kala itu, ulama membuat sebuah acuan dalam menafsirkan firman Allah, yakniUlumul Quran. Itulah sumber induk yang berisi tentang ilmu-ilmu Alquran. Ulmul Quran terus mengalami perkembangan mengingat banyaknya ilmu Alquran.

Sejak adanya Ulumul Quran, tafsir terus berkembang di tanah Arab dan wilayah kekuasaan Islam. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Meski jarak Indonesia amat jauh dari Tanah Suci, ilmu tafsir telah dikenal masyarakat Muslim nusantara sejak abad ke-17 Masehi. Hanya saja, perkembangannya amat lamban, hingga baru pesat berkembang di abad ke-20.

Kiki Muhammad Hakiki dari IAIN Raden Intan Banten dalam artikelnya “Peta Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia Sebelum Abad ke-20” dalam buku kumpulan artikel terbitan Litbang Kemenag Alquran di Era Global; antara Teks dan Realitas menuturkan, tafsir Alquran sebelum abad ke-20 masih terbilang langka, hanya beberapa saja yang ditemukan.

Hal ini sangat berbeda dengan era setelah abad ke-20 di mana perkembangan tafsir Alquran di Indonesia amat pesat. Pasalnya, di era sebelum abad 20, tafsir tak mendapat perhatian khusus dan justru menjadi materi pelajaran yang tinggi dan berat.

 

REPUBLIKA

Meski Beda Pendapat, Imam Ahmad Doakan Syafi’i 40 Tahun

IMAM Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, karya beliau antara lain, Musnad Ahmad, Ar Radd ilal Jahmiyah Waz Zanadiqah, dll. Beliau dikenal amat tegas terhadap hukum,  akan tetapi amat tawadhu’ terhadap sesama ulama Ahlu Sunnah, berikut ini beberapa nukilan yang menunjukkan kearifan Ahmad bin Hambal terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.

Dalam Siyar ‘Alam An Nubala’, dalam tarjamah, Ishaq bin Rahuyah, berkata Ahmad bin Hafsh As Sa’di, Syeikh Ibnu ‘Adi: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: Tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke Khurasan menyerupai Ishaq (kelebihannya), walaui dia telah menyelisihi kita dalam beberapa hal, sesungguhnya manusia masih berselisih satu sama lain.” (Siyar ‘Alam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).

Juga diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr, dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, dalam bab Itsbat Al Munadharah Wal Mujadalah Wa Iqamati Al Hujjah, dari Muhamad Bin ‘Attab bin Al Murba’, dia berka, aku mendengar Al ‘Abbas bin Abdi Al Al Adzim Al Ambari mengabarkan kepadaku:  “Aku bersama Ahmad bin Hambal dan datanglah ‘Ali bin Madini dengan mengandarai tunggangan, lalu keduanya berdebat dalam masalah syahadah, hingga meninggi suara keduanya, sampai aku takut terjadi apa-apa di antara keduanya. Ahmad berpendapat adanya syahadah sedangakan ‘Ali menolak dan menyanggah, akan tetapi ketika Ali hendak meninggalkan tempat tersebut Ahmad bangkit dan menaiki kendaraan bersamanya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi hal. 968, vol.2).

Juga diriwayatkan bahwa Ahmad bin Hambal juga pernah berdebat dengan guru beliau Imam Syaf’i dalam masalah hukum meninggalkan shalat, maka berkata kepada dia Imam Syafi’i: “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan dia (yang meninggalkan shalat) kafir?” Ahmad menjawab: “Iya.” Imam Syafi’i lantas bertanya: ”Jika sudah kafir bagaimana cara untuk berislam?” Imam Ahmad menjawab: “Dengan mengatakan La ilaha ila Allah.” Dijawab Syafi’I; “Dia masih memegang kata itu dan tidak meninggalkannya (syahadat).”Ahmad berkata lagi: “Dengan menyerahkan diri untuk mau mengerjakan shalat.” Syafi’i menjawab; “Shalat orang kafir tidak sah, dan tidak dihukumi sebagai Muslim dengan hanya shalat.” Maka Ahmad berhenti berbicara dan diam.” (Thabaqat As Syafi’iyah, hal. 61, vol.2).

Walau terjadi perselisihan dalam beberapa masalah, Imam Ahmad tetap bersikap tawadhu’, bahkan banyak memuji untuk Imam Syafi’i.

Berkata Ishaq bin Rahuyah: “Aku bersama Ahmad di Makkah, dia berkata: “Kemarilah! Aku tunjukkan kepadamu seorang lelaki yang kamu belum pernah melihat orang seperti dia!” Ternyata laki-laki tersebut adalah Imam Syafi’i. (Shifatu As Shofwah, hal. 142, vol. 2)

Tidak sedikit perbedaan pendapat terjadi antara Imam Ahmad dengan Imam Syafi’i. Namun keduanya mengajarkan kita semua akan akhlak yang mulia. Di antaranya, Imam Ahmad selalu mendokan Imam Syafi’I hingga 40 tahun lamanya.

Berkata Ahmad bin Al Laits: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Aku akan benar-benar mendo’akan Syafi’i dalam shalatku selama 40 tahun, aku berdoa: ”Ya Allah, ampunilah diriku dan orang tuaku, dan Muhammad bin Idris Asyafi’i.” (Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254, vol. 2).*/Thoriq

 

HIDAYATULLAH

Beda Ijtihad, Utamakan Ukhuwah

SALAH satu persoalan yang masih menjadi sebab sulitnya umat Ahlus Sunnah bersatu atau mudah terjatuh pada pemikiran sesat adalah belum dipahaminya antara perkara furu dan ushul dengan baik. Ketika perkara ushul diyakini sebagai furu’, maka yang terjadi adalah kesesatan. Seperti yang terjadi dalam Islam Liberal. Sebaliknya, jika perkara furu’ dianggap ushul, maka yang terjadi adalah penghakiman takfir, dan tadhlil  kepada saudara sesama Ahlus Sunnah.

Harus dipahami bahwa ijtihad ulama tidak berada pada wilayah ushul tapi furu’. Dalam persoalan ijtihad dilarang menghukumi kafir atau sesat pendapat lain di luar jama’atul muslimin. Jika berdebat, maka perdebatan itu haruslah atas dasar penjagaan terhadap persatuan Islam dan kasih-sayang (uluffah).

Adapun perselisihan dalam perkara furu jika diangkat sampai menimbulkan perdebatan panjang akan mengakibatkan perpecahan umat Islam. Imam al-Ghazali memberi nasihat penting, bahwa perdebatan (jidal) furu’ akan membawa pada lingkaran kehancuran. Jidal dalam perkara tersebut merupakan penyakit kronis yang menjadi sebab para ahli fikih jatuh pada persaingan tidak sehat (Ihya Ulumuddin  I/41). Karena dalam jidal akan membangkitkan hawa nafsu, egoisme dan keangkuhan.

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali mengatakan: “Coba perhatikan orang-orang yang senang mendebat lawan madzhab fikihnya pada masa sekarang, ketika lawan debatnya memenangkan maka orang-orang itu tersulut api dendamnya. Mereka merasa malu dan berupaya sekuat tenaga untuk menolak lawan debatnya dengan menjelek-jelekkan dan mencari-cari alasan agar kredibilitas lawan debatnya jatuh di hadapan masyarakat” (Ihya Ulumuddin I/44).

Karakter tersebut tumbuh dikarenakan kerusakan hatinya yang terserang penyakit sombong, riya, ‘inad (menolak kebenaran), dengki, hasud dan lain sebagainya.  Padahal di kalangan imam mujtahid sendiri jauh dari sifat tersebut.

Dikisahkan, Imam Syafi’i pernah duduk bersimpuh di hadapan seorang bernama Syaiban al-Ra’i. Simpuh imam Syafi’i mirip seorang anak kecil yang duduk di majelis seorang Syaikh, karena ketawadhu’an sang Imam. Lalu Imam Syafii tidak malu untuk bertanya tentang beberapa soal. Maka, ada yang heran dengan perilaku Imam Syafii dan bertanya; “Bagaimana orang hebat seperti kamu bertanya kepada orang Baduwi yang ilmunya lebih rendah dari kamu”? Imam Syafii menjawab; “Sesungguhnya, dia memiliki sesuatu yang aku tidak mengetahuinya?”.

Karena itu, ketika berinteraksi dengan fikih, kita tidak boleh fanatisme buta. Seakan akan menempatkan posisi fikih itu sebagai ushul. Ini yang menimbulkan caci maki antar pengikut madzhab fikih. Yang diutamakan adalah persatuan dan kesatuan umat.

Aa beberapa hal yang perlu dipahami tentang perbedaan hukum fikih. Bahwasannya perbedaan dalam hal ini bukan hal baru, akan tetapi telah ada pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang ikhtilaf ini merupakan fenomena yang syar’i. Yang tidak syar’i itu adalah iftiraq. Karena iftiraq itu konteksnya perkara haq, batil, dlalal dan salamah.

Fenomena ikhtilaf fikih ini bukanlah bid’ah tapi memang begitulah adanya karakteristik syari’ah. Oleh sebab itu, selama fenomena ini masih dalam konteks ijtihad fiqhiyyah, maka ia diterima oleh syari’at dan para ulama salaf. Para ulama salaf dari kalangan Ahlus Sunnah mayoritas hanya berbeda dalam fatwa ijtihad fikih bukan akidah. Jika bedanya akidah maka urusannya adalah antara sesat dan tidak. Jika fatwa fikih persoalannya cuma pada penilain benar (shahih) dan salah (khata’).

Ikhtilaf furu telah terjadi setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhtilaf ini sesuatu yang dianggap lumrah oleh generasi salaf. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. terkadang menjawab satu soal yang berbeda kepada para sahabat. Tapi bukan bertentangan.

Oleh sebab itu, ikhtilaf dalam furu’iyyah sesungguhnya merupakan bagian dari keindahan Islam. Para ulama salaf tidak pernah mengajarkan untuk menafikan madzhab fikih yang berbeda.

Mengikuti pada satu madzhab, merupakan keharusan, tapi dilarang untuk fanatik. Fanatik dengan memvonis madzhab fikih lainnya tidak benar dan sesat. Sebab, fanatisme madzhab fikih bukan etika ulama salaf, tapi karakter orang tidak berilmu. Fanatisme kepada madzhab fikih menimbulkan perpecahan yang tidak dikehendaki agama.

Syeikh Dr. Wael al-Zard, ahli hadis dari Universitas Gaza Palestina, pada beberapa hari lalu berkunjung ke Surabaya berpesan bahwa, sebab hilangnya al-Quds adalah khilaf nya(persilisihan) para pencari ilmu terhadap masalah fikih, di mana umat Islam tidak mungkin bersatu dalam urusan fikih.

Karena khilaf sangat kuat, di masa itu masalah qunut tidak qunut, masalah jahr atau sirr, masalah membaca al-Fatihah atau tidak, persoalan wajah wanita aurat atau bukan. Masalah-masalah ini menyebabkan stigma ahlu bid’ah, fasiq hingga tuduhan kafir. Di masa itu, perbedaan sangat menguat hingga sampai ke masjid. Hingga masjid memiliki mihrab 4, di antaranya mihrab untuk penganut Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi. Akibat khilaf fikih ini merembet dan menyebabkan perpecahan lebih besar. Bahkan antar penganut mazdhab tidak mau mengikuti (hidayatullah.com, 27/08).

Pada Rabu, 29 Juli 2013 Dr. Al-Zard berkesempatan berceramah di hadapan aktivis muda Surabaya. Ia menasihati agar umat Islam memikirkan hal-hal besar yang sedang dihadapi kaum Muslimin. Menurutnya, orang yang kesibukannya hanya memperdebatkan urusan-urusan kecil furu adalah orang yang wawasannya sempit. Ia menganjurkan untuk mempelajari seluruh pendapat-pendapat para ulama, agar wawasan luas dan bijak dalam menghakimi.

Pola-pola terburu-buru memperdebatkan hasil ijtihad ulama itulah yang dikritik oleh Imam al-Ghazali. Menurut Imam al-Ghazali, selama seorang mujtahid itu menggunakan dalil-dalil, maka tidak boleh dikafirkan. Karena kesalahan menggunakan dalil dan perbedaan pandangan politik bukanlah sebab seorang jatuh kepada kekafiran. Di sini yang diutamakan al-Ghazali adalah mendidik generasi-generasi Muslim agar mereka mengutamakan persatuan daripada fanatisme buta sehingga menyebabkan terpisahnya dari jamaah kaum Muslimin. Jika terdapat kesalahan ijtihad, maka persatuan lah yang harus diutamakan.

Karena itu, hal yang paling penting saat ini bukan memperdebatkan persoalan ijtihadiyah, hingga sampai saling menyesatkan. Satu sama lain menghujat penuh nafsu. Akan tetapi hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan rusaknya akidah.*

Oleh: Kholili Hasib, peneliti InPAS Surabaya

 

HIDAYATULLAH

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Inilah 5 Keutamaan Manisnya Ukhuwah Islamiyah

UKHUWAH adalah satu konsepsi Islam yang menyatakan bahwa setiap Muslim dengan Muslim lain hakikatnya ialah bersaudara. Banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang menjadi landasan konsep ini. Bahkan dalam beberapa keterangan kerap sekali kata “ukhuwah” atau turunannya digandengkan dengan kata “iman”, “Islam” atau “mukmin”.

Hal ini mengindikasikan bahwa ukhuwah merupakan salah satu parameter utama keimanan dan keislaman seseorang.

Ukhuwah merupakan salah satu dari tiga unsur kekuatan yang menjadi karakteristik masyarakat Islam di zaman Rasulullah , yakni pertama, kekuatan iman dan aqidah. Kedua, kekuatan ukhuwah dan ikatan hati. Ketiga, kekuatan kepemimpinan dan senjata.

Dengan tiga kekuatan ini, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam. membangun masyarakat ideal, memperluas Islam, mengangkat tinggi bendera tauhid, dan mengeksiskan umat Islam di muka dunia kurang dari setengah abad.

Buku-buku sejarah menceritakan kepada kita bahwa kaum Anshar sangat bahagia menerima tamu Muhajirin, hingga mereka berlomba-lomba untuk dapat menerima setiap sahabat Muhajirin yang sampai di Yatsrib (Madinah). Karena para Anshar saling bersaing dan berlomba untuk dapat menerima sahabat Muhajirin hingga mereka harus diundi untuk menentukan siapa yang menang dan dapat giliran menerima tamu Muhajirin. Ini sungguh terjadi hingga disebutkan bahwa tidaklah seorang Muhajirin bertamu ke Anshar kecuali dengan undian.

Mungkin kita akan berdecak kagum dengan sikap unik para sahabat Anshar ini yang kita tidak mampu berbuat seperti mereka, mungkin kita juga bertanya apa yang membuat mereka bisa sampai seperti itu, tindakan mereka di luar batas kemampuan manusia?

Al-Quran telah menjawab pertanyaan-pertanyaan kagum kita, Al-Quran telah menjelaskan rahasia yang mendorong para Anshar melakukan itsar luar biasa walaupun keadaan mereka yang sangat fakir dan juga sangat membutuhkan. Allah SWT berfirman memuji mereka:

والذين تبوءوا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولايجدون في صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة.. (الحشر: 9).

“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan menempati keimanan (beriman) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Ukhuwah, taakhi, cinta, dan itsar sejatinya syarat kebangkitan dan kemenangan, itulah strategi pertama yang ditempuh oleh Rasullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam dengan mempersaudarakan sahabat Anshar dan Muhajirin dan membangun masjid tempat membina persaudaraan dan persatuan kaum Muslimin.

Risalah ini juga dilanjutkan Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam membangun komunitas dan gerakan yang kuat, menjadikan persatuan sebagai senjata, dan taaruf saling mengenal sebagai asas dakwah.

Ukhuwah tak bisa dibeli dengan apa pun. Tapi ia diperoleh dari penyatuan antara ikatan hati dan hati serta karakteristik istimewa dari seorang mukmin yang shaliih. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

المؤمن إلف مألوف، ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف

“Seorang mukmin itu hidup rukun. Tak ada kebaikan bagi yang tidak hidup rukun dan harmonis.”

Ukhuwah juga membangun umat yang kokoh. Ia adalah bangunan maknawi yang mampu menyatukan masyarakat mana pun. Ia lebih kuat dari bangunan materi, yang suatu saat bisa saja hancur diterpa badai atau ditelan masa. Sedangkan bangunan ukhuwah Islamiyah akat tetap kokoh. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا

“Mukmin satu sama lainnya bagaikan bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian lainnya.” (HR. Bukhari)

Halim Mahmud menuliskan dalam bukunya yang berjudul Fiqh Al-Ukhuwah fi Al-Islami,“Orang-orang yang berukhuwah dalam Islam harus saling mengokohkan kekuatan satu sama lain dalam skala dunia Islam dengan melakukan perencanaan, koordinasi, dan segala persiapan yang mesti dilakukan. Kemenangan itu tidak lain hanyalah dari sisi Allah. Dia akan menolong dan memenangkan siapa saja yang di kehendaki-Nya. Dia Maha Perkasa lagi Penyayang.”

Keutamaan Ukhuwah Islamiyah

Dari ukhuwah Islamiyah lahir banyak keutamaan, pahala, dampak positif pada masyarakat dalam menyatukan hati, menyamakan kata, dan merapatkan barisan. Orang-orang yang terikat dengan ukhuwah Islamiyah memiliki banyak keutamaan, di antaranya:

  1. Mereka merasakan buah dari lezatnya iman. Sedangkan selain mereka, tidak merasakannya. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

ثلاثة من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا الله، وأن يكره أن يعود إلى الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما يكره أن يُقذف في النار

Ada tiga golongan yang dapat merasakan manisnya iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai dirinya sendiri, mencintai seseorang karena Allah, dan ia benci kembali pada kekafiran sebagaimana ia benci jika ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari)

  1. Mereka berada dalam naungan cinta Allah, Di akhirat Allah SWT berfirman,

أين المُتحابُّون بجلالي، اليومُ أُظِلُّهم في ظلي يوم لا ظلَّ إلا ظِلي

“Di mana orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, maka hari ini aku akan menaungi mereka dengan naungan yang tidak ada naungan kecuali naunganku.” (HR. Muslim).

Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam. bersabda,

إن رجلاً زار أخًا له في قرية أخرى، فأرصد الله تعالى على مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فلما أتى عليه، قال: أين تريد؟ قال: أريد أخًا لي في هذه القرية، قال: هل لك من نعمة تَرُبُّها عليه؟ قال: لا، غير أنني أحببته في الله تعالى، قال: فإني رسول الله إليك أخبرك بأن الله قد أحبَّك كما أحببْتَه فيه

“Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di tengah perjalanan, Allah mengutus malaikat-Nya. Ketika berjumpa, malaikat bertanya, “Mau kemana?” Orang tersebut menjawab, “Saya mau mengunjungi saudara di desa ini.” Malaikat bertanya, “Apakah kau ingin mendapatkan sesuatu keuntungan darinya?” Ia menjawab, “Tidak. Aku mengunjunginya hanya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sungguh utusan Allah yang diutus padamu memberi kabar untukmu, bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kau mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Muslim)

  1. Mereka adalah ahli Syurga di akhirat kelak. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallambersabda,

من عاد مريضًا، أو زار أخًا له في الله؛ ناداه منادٍ بأنْ طِبْتَ وطاب مَمْشاكَ، وتبوَّأتَ من الجنةِ مَنْزِلاً

“Barangsiapa yang mengunjungi orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka malaikat berseru, ‘Berbahagialah kamu, berbahagialah dengan perjalananmu, dan kamu telah mendapatkan salah satu tempat di surga.” (HR. At-Tirmidzi)

  1. Bersaudara karena Allah adalah amal mulia dan mendekatkan diri kepada Allah.

وقد سُئل النبي صلى الله عليه وسلم عن أفضل الإيمان، فقال: “أن تحب لله وتبغض لله…”. قيل: وماذا يا رسول الله؟ فقال: “وأن تحب للناس ما تحب لنفسك، وتكره لهم ما تكره لنفسك

Rasul pernah ditanya tentang derajat iman yang paling tinggi, beliau bersabda, “…Hendaklah kamu mencinta dan membenci karena Allah…” Kemudian Rasul ditanya lagi, “Selain itu apa wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Hendaklah kamu mencintai orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, dan hendaklah kamu membenci bagi orang lain sebagaimana kamu membenci bagi dirimu sendiri.” (HR. Imam Al-Munziri)

  1. Diampuni dosanya oleh Allah. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,

إذا التقى المسلمان فتصافحا، غابت ذنوبهم من بين أيديهما كما تَسَاقَطُ عن الشجرة

“Jika dua orang Muslim bertemu dan kemudian mereka saling berjabat tangan, maka dosa-dosa mereka hilang dari kedua tangan mereka, bagai berjatuhan dari pohon.”

Persaudaraan yang terjaga dengan tali Allah merupakan kenikmatan yang diberikan Allah atas jamaah Muslimah; yaitu nikmat yang diberikan bagi mereka yang dicintai dan dikehendaki Allah dari hamba-hamba-Nya. Hal ini mengingatkan kepada kita akan nikmat yang begitu besar, dan mengingatkan kita bagaimana kita sebelumnya dalam keadaan jahiliyah dan saling bermusuhan.

Tidak ada seorang pun yang tidak memiliki permusuhan antara kaum Aus dan Khazraj di kota Madinah sebelum Islam. Namun setelah masuk Islam, Allah menyatukan hati di antara mereka. Tidak ada solusi sedikit pun kecuali Islam yang dapat menyatukan hati yang beragam bentuknya, tidak ada yang terjadi kecuali karena tali Allah yang dapat menyatukan mereka menjadi saudara, dan tidak mungkin hati-hati itu akan bersatu kecuali karena ukhuwah fillah.*/Nurlaillah Sari Amallah Mujahidah

 

HIDAYATULLAH

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Kunjungi Mahasiswa Madinah, Bachtiar Nasir : Jangan Saling Serang, Bangun Persatuan Umat

Di sela kesibukan mengikuti program haji Kedutaan Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Ustadz Bachtiar Nasir menyempatkan diri untuk bertatap muka dengan puluhan Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Universitas Islam Madinah (UIM), Jumat (18/9/2015) malam di salah satu hotel di lingkungan Masjid Nabawi.

Dalam kesempatan tersebut, Bachtiar Nasir yang juga alumnus UIM mengajak Adik-adiknya untuk membangun Ukhuwah Islamiah dalam tubuh umat, khususnya di Tanah Air.

“Umat Islam di Indonesia sudah sangat memerlukan persatuan dan rapatnya barisan. Ukhuwah harus dinomorsatukan,” kata Ustadz Bachtiar.

Menurutnya, hal tersebut dilandasi oleh tantangan umat Islam tanah air yang sudah banyak diperhadapkan kasus yang menggugah hati untuk bersatu, ditambah dengan banyaknya PR yang harus diselesaikan umat Islam di Indonesia.

“Baru-baru ini kita diperhadapkan dengan kasus Tolikara, sebelumnya kasus Syiah, belum lagi kasus Miras, pernikahan sesama jenis di Bali dan masih banyak lagi. Sudah saatnya kita bersatu menyelesaikan berbagai persoalan umat, jangan malah saling serang sesama saudara Muslim,” terangnya.

Bachtiar juga mengajak untuk tidak terpancing dengan pemberitaan yang mengadu domba antar umat Islam. Menurutnya, banyak upaya yang dilakukan musuh untuk memecah persatuan umat, di antaranya dengan mengangkat masalah-masalah furu’iyah ke debat publik dengan menghadirkan dua figur berbeda madzhab.

“Kelihatannya kita dengan Ustadz Fulan saling tegang dan tidak mungkin bertemu, padahal tidak ada apa-apa di antara kita. Semua itu bisa cair dengan silaturrahim, buktikan bahwa kita bersaudara,” pesan Bachtiar yang juga Sekjen MIUMI Pusat.

Temu Kedua di Kampus UIM

Pengurus Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) cabang Madinah memaksimalkan keberadaan Ustadz Bachtiar di Kota Nabi untuk tatap muka kembali dengan ratusan mahasiswa Indonesia lainnya.

Informasi yang dihimpun hidayatullah.com, PPMI Madinah akan mengadakan pertemuan kedua dengan ketua alumnus UIM se-Indonesia tersebut di Masjid Kampus UIM, Sabtu (19/9/2015) pagi waktu Madinah.*/Muhammad Dinul Haq, koresponden hidayatullah.com di Madinah

 

HIDAYATULLAH

Fahmi Salim: Umat Jangan Sibuk dengan Khilafiyah

Fenomena perselisihan antar umat Islam dalam persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat) sebaiknya dihentikan saja. Demikian imbauan Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Pusat, Fahmi Salim, MA.

Imbauan itu disampaikannya dalam rangka menyikapi terjadinya eskalasi penistaan terhadap Masjid Al-Aqsha oleh Zionis Israel belakangan ini.

Menurut Fahmi Salim, perselisihan internal umat Islam dimanfaatkan Israel sebagai momen menggempur habis-habisan Al-Aqsha.

“Imbauan (MIUMI) kepada kaum Muslimin untuk merapatkan shaf, bersatu. Karena Israel berani mengambil alih Al-Aqsha, pada saat umat ini sedang sibuk berkelahi dengan sesamanya,” ujarnya di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Jumat (18/09/2015).

Menurutnya, umat Islam saat ini terlalu banyak melakukan kompromi politik yang sangat merugikan umat Islam sendiri.

“Kita disibukkan dengan khilafiyah yang tidak ada ujung pangkalnya,” ujarnya pada acara penyampaian pernyataan bersama 21 tokoh Indonesia itu.

Daripada sibuk dengan khilafiyah, menurutnya, lebih baik umat bersatu menentang penjajahan Zionis Israel terhadap Al-Quds.

“Mari kita sama-sama mendukung perjuangan kawan-kawan kita untuk Palestina,” imbaunya dalam acara gelaran Asia Pasific Community (ASPAC) for Palestine itu.

Sementara itu, Sekretaris Umum Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP), Heri Efendi, mengatakan sejak saat ini mestinya umat Islam konsen terhadap Palestina.

“Apakah harus menunggu Al-Aqsha betul-betul hancur baru kaum Muslimin bergerak? Kita jawab, ‘tidak!’,” ujarnya menegaskan.

“Tidak berlebihan jika kita menyebut permasalahan Al-Aqsha adalah masalah utama umat manusia di muka bumi ini saat ini,” tambah Sekjen PB Mathla’ul Anwar Oke Setiadi.

Diberitakan sebelumnya, Sekjen MIUMI Pusat Ustadz Bachtiar Nasir juga menyerukan persatuan kaum Muslimin.

“Umat Islam di Indonesia sudah sangat memerlukan persatuan dan rapatnya barisan. Ukhuwah harus dinomorsatukan,” kata Ustadz Bachtiar.” (baca di artikel berikutya)

 

HIDAYATULLAH

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Makna dan Urgensi Ukhuwwah Islamiah

MASJID milik Muhammadiah dibakar di Bireuen, Aceh. Begitulah topik berita yang menjadi pembicaraan hangat di berbagai media sosial dan online selama beberapa waktu yang lalu. Menurut salah satu media online, “Balai dan tiang-tiang cakar ayam pembangunan masjid At-Taqwa Muhammadiyah Sangso, kecamatan Samalanga, kabupaten Biereun dibakar sekelompok massa pada hari Selasa (17/10/2017) sekitar pukul 20.00 WIB.

Pelaku pembakaran ini belum diketahui pasti. Namun sebelumnya, pembangunan masjid ini mendapat penentangan dari kalangan dayah yang ada di Samalanga yang menyebut dirinya aswaja ketika akan dimulainya pembangunan masjid dengan menghadirkan Prof. Dr. Din Samsuddin pada Idul Adha lalu.” Demikian berita dari media tersebut.

Berita ini menjadi viral dan topik hangat pembicaraan di media sosial dan online, baik lokal maupun nasional. Bahkan PP Muhammadiah telah membuat jumpa pers dan sikap pernyataan resmi terkait persoalan ini.

Tentu saja aksi ini menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat dan ormas-ormas Islam baik di Aceh maupun nasional. Kejadian ini sangat memprihatinkan kita. Kita patut mengecam perbuatan para pelaku tersebut. Ini tindakan kriminal karena telah merugikan pihak lain. Aksi ini juga telah melukai hati umat Islam khususnya warga Muhammadiah dan merusak ukhuwwah islamiah.

Perbuatan buruk ini juga telah menodai syariat Islam di Aceh dan mencoreng nama Aceh. Sangat memalukan. Ini menunjukkan pelanggaran syariat dan sikap intoleran yang dilakukan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok yang berbeda mazhab Fiqh.

Sepatutnya, aksi intoleran dan anarkhis tidak boleh terjadi di manapun, terlebih lagi di Aceh. Mengingat Aceh merupakan daerah yang menerapkan syariat Islam secara formal di Indonesia. Dalam syariat Islam, tidak dibolehkan membakar bangunan atau balai milik orang lain. Hukumnya jelas haram (dosa besar). Apalagi yang dibakar itu masjid.

Aksi ini tidak dibenarkan dalam agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, para pelaku aksi pembakaran ini harus ditangkap dan diproses hukum serta diberi hukuman yang tegas. Agar ada efek jera terhadap pelaku dan menjadi pelajaran sehingga tidak terulang lagi kejadian seperti ini.

 

Kasus intoleran dan anarkhis bukan yang pertama kali terjadi di Aceh. Sebelum ini, terjadi aksi penolakan terhadap pembangunan masjid  Muhammadiah di Juli, Biereun. Begitu pula aksi perusakan dan penolakan terhadap ma’had yang dituduh wahabi, menyesatkan seseorang dan kelompok tertentu dengan tuduhan wahabi, penurunan paksa khatib dari mimbar, penolakan shalat jumat di masjid yang berdekatan, dan perebutan masjid-masjid yang pengurusnya dituduh wahabi, termasuk masjid Raya Baiturrahman yang bersejarah dan menjadi ikon masjid seluruh Aceh.

Masjid-masjid tersebut dipaksa model ibadah tertentu. Khatib diinterupsi dan diturunkan dari mimbar dengan paksa hanya gara-gara tidak pakai tongkat dan tidak muawalat. Bahkan ada khatib yang dipukul ketika sedang berkhutbah. Kasus-kasus tersebut hanya terjadi di Aceh, tidak ada di daerah lain di Indonesia dan di negara mana pun di dunia. Hanya gara-gara persoalan khilafiah, persoalan “sunnat” dan bahkan persoalan yang tidak ada dalil yang shahih, mereka rela merusak ukhuwwah islamiah dengan menyakiti, menzhalimi, dan membenci serta menyesatkan saudaranya Ahlussunnah wal Jama’ah.

Penyebab lainnya adalah isu wahabi. Isu ini digunakan oleh kelompok tertentu dari umat Islam untuk menyesatkan sesama saudaranya Muslim sesama Ahlussunnah wal Jama’ah yang berbeda pendapat (mazhab) dengan kelompoknya. Padahal perbedaan itu hanya dalam persoalan furu’iyyah atau fiqh, bukan persoalan ushuliyyah atau aqidah. Sayangnya, kelompok tersebut terpengaruh propaganda isu “wahabi” yang sengaja diciptakan oleh Syi’ah, Barat dan Yahudi untuk mengadu domba dan memecah belah umat Islam. Musuh-musuh Islam ini menginginkan umat Islam tidak bersatu sehingga menjadi lemah. Dengan isu “wahabi” ini, mereka telah berhasil menghancurkan ukhuwwah islamiah dan persatuan umat Islam. Maka, sepatutnya kita umat Islam Ahlusunnah wal Jama’ah tidak termakan propaganda isu” wahabi”. 

Makna dan Urgensi Ukhuwwah Islamiah

 Ukhuwwah berasal dari bahasa Arab yang berarti persaudaraan.  Islamiah berarti agama islam atau bersifat islami. Jadi, Ukhuwwah islamiah bermakna persaudaraan karena Islam. Dikatakan demikian karena persaudaraan tersebut diikat karena seiman dan seagama, bukan persaudaraan karena nasab atau keluarga.

Di antara ajaran Al-Quran dan As-Sunnah adalah perintah mewujudkan dan menjaga ukhuwwah islamiah (persaudaraan Islam) dan larangan melakukan segala perbuatan dan perkataan yang dapat merusak ukhuwwah Islamiah. Maka, umat Islam sesama Ahlussunnah wal Jama’ah wajib menjaga ukhuwwah islamiah dan haram merusak ukhuwwah islamiah. Merusak ukhuwwah islamiah berarti pelanggaran syariat dan perbuatan maksiat. 

Ukhuwwah islamiah sangat penting dalam Islam sehingga diperintahkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan ukhuwwah islamiah, maka akan terwujud persatuan umat Islam dan perdamaian dalam masyarakat dan negara. Dengan persatuan, maka umat Islam menjadi umat yang kuat dan mulia seperti pada masa Nabi dan para sahabat. Dengan perdamaian, akan terwujud kesejahteraan masyarakat dan negara.

Para sahabat sangat peduli dan komitmen dengan ukhuwwah islamiah. Mereka saling mencintai, mengasihi, menolong, dan menghormati. Meskipun terkadang mereka berbeda pendapat, namun hal itu tidak membuat mereka saling benci, apalagi menyesatkan orang lain. Mereka tetap berlapang dada dan menghormati perbedaan pendapat tersebut. Ukhuwwah islamiah dan persatuan senantiasa dijaga dan menjadi prioritas. Inilah sikap yang diajarkan oleh Rasul saw kepada para sahabat sehingga umat Islam menjadi kuat dan berjaya pada masa itu.

 

Allah Subhanahu Wata’ala   menegaskan bahwa umat Islam itu bersaudara dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al-Hujurat: 10). Begitu pula Rasul saw telah menegaskan bahwa umat Islam itu bersaudara dengan sabda beliau: “Seorang Muslim itu bersaudara dengan Muslim yang lainnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Hafiz al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya “Tafsir al-Quran al-Karim” menjelaskan ayat di atas, “Semua orang beriman itu bersaudara dalam agama”. Hal senada juga dijelaskan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab tafsirnya “Ma’alim At-Tanzil” dan Imam al-Khazin dalam kitab tafsirnya “Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil” bahwa maknanya adalah  bersaudara dalam agama dan al-wilayah (perwalian) atau al-walayah (pertolongan).

Imam as-Samarqandi dalam tafsirnya “Bahrul ‘Ulum” menjelaskan ayat di atas, “Kaum Muslimin seperti saudara dalam kerjasama dan tolong menolong sebab mereka di atas agama yang satu”.

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya “Taysir al-Karim ar-Rahman fii Tafsiir Kalaami al-Mannan” menjelaskan ayat di atas, “Inilah ikatan yang Allah Subhanahu Wata’ala ikatkan di antara kaum mukmin bahwa jika ada pada seseorang di manapun, di timur dan barat bumi, serta ada pada dirinya iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan Hari Akhir, maka sesungguhnya ia adalah saudara untuk kaum mukmin.

Persaudaraaan ini mewajibkan kaum mukmin mencintai untuk saudaranya apa saja yang mereka untuk diri mereka sendiri dan membenci untuk dia apa saja yang mereka benci untuk diri sendiri.”

Dalam kitab tafsirnya “Adhwaau Al-Bayan”, Syaikh Muhammad al-Amin bin Mukhtar  asy-Syinqiti menjelaskan makna persaudaraan dalam ayat diatas adalah ukhuwwah ad-adiin(persaudaraan agama), bukan ukhuwwah an-nasab (persaudaraan hubungan keluarga). Beliau menjelaskan, “Persaudaraan agama lebih agung dan lebih kuat dari persaudaraan hubungan keluarga (nasab) berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah”.

Secara fitrah, tabiat orang yang bersaudara itu saling mencintai dan mengasihi. Orang yang memiliki hubungan persaudaraan itu pasti menyayangi dan mencintai saudaranya. Semua makhluk diberi rahmat oleh Allah Subhanahu Wata’ala   untuk mencintai dan mengasihi saudaranya. Coba perhatikan, binatang saling mencintai dan berkasih sayang dengan sesama saudaranya. Begitu pula manusia. Orang-orang kafir saling mencintai sesama saudaranya.

Maka sudah sepatutnya kita umat Islam lebih mencintai saudaranya Muslim melebihi cintanya binatang dan orang kafir terhadap saudara mereka, karena umat Islam telah diperintahkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah.

 

Kewajiban Mewujudkan dan Menjaga Ukhuwwah Islamiah

Al-Quran dan as-Sunnah memerintahkan umat Islam untuk mewujudkan dan menjaga ukhuwwah islamiah dengan bersatu dalam aqidah Islam (aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah), saling mencintai, membantu dan mengasihi saudaranya Muslim. Sebaliknya, Al-Quran dan As-Sunnah melarang umat Islam merusak ukhuwwah islamiah dengan bercerai berai, berselisih, membuat konflik, membenci, mendengki, menfitnah, dan menyesatkan saudaranya Muslim.

Umat Islam wajib bersatu dan saling menguatkan. Sebaliknya, umat Islam haram bercerai berai dan berselisih. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah Subhanahu Wata’ala, dan janganlah kamu bercerai berai..” (Ali Imran: 103). Allah Subhanahu Wata’ala   juga berfirman: “Dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (Ali ‘Imran: 105). Rasul saw bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, di mana sebahagiannya menguatkan sebahagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “..Dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan kekuatan kalian hilang..” (Al-Anfal: 46)

Umat Muslim wajib saling mencintai. Bahkan mencintai Muslim merupakan bukti kualitas iman seseorang. Rasul saw bersabda: “Tidak beriman (secara sempurna) salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Mencintai umat Islam juga termasuk bukti aqidah al-wala’ dan bara’.

 

Umat Islam wajib saling membantu dan mengasihi sesama saudaranya. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan tolong menolonglah kalian dalam (berbuat) kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam (berbuat) dosa dan permusuhan.”(Al-Maidah: 2). Rasulullah saw bersabda: “Allah Subhanahu Wata’ala akan memberikan pertolongan kepada seorang hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasul Saw bersabda: “Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah Subhanahu Wata’ala akan memenuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang melapangkan dari seorang Muslim suatu kesulitan maka Allah Subhanahu Wata’ala akan melapangkan darinya suatu kesulitan dari kesulitan-kesuliltan pada hari Kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Umat wajib bersolidaritas terhadap saudaranya menderita. Sikap solidaritas itu dilakukan dengan ikut merasakan penderitaannya dan menolongnya. Rasul saw bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang, kelembutan mereka seperti satu badan. Jika salah satu anggota badan sakit, maka anggota badan lainnya juga ikut merasakan sakit.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasul Saw bersabda:“Sungguh seorang mukmin bagi mukmin yang lain berposisi seperti kepala bagi tubuh. Seorang mukmin akan merasakan sakitnya mukmin yang lain seperti tubuh ikut merasakan sakit yang menimpa kepala”. (HR. Ahmad).

Umat Islam wajib berlemah lembut dan berkasih sayang terhadap sesama Muslim. Sebaliknya, umat Islam harus kuat,  berani dan tegas terhadap orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Muhammad Itu utusan Allah Subhanahu Wata’ala dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29). Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “…yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir..” (Al-Maidah: 54).

Seorang Muslim tidak boleh menyakiti dan menzhalimi saudaranya Muslim. Perbuatan ini haram (dosa besar). Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58). Rasul saw bersabda: “Seorang Muslim itu bersaudara dengan Muslim yang lainnya, maka tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membiarkannya teraniaya dan tidak boleh menghinanya”(HR. Muslim).

Seorang Muslim tidak boleh mendengki, membenci dan memboikot saudaranya Muslim. Perbuatan ini haram (dosa besar). Rasul saw bersabda: “Janganlah kalian saling dengki, jangan saling membenci dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang bersaudara” (HR. Muslim). Dalam riwayat yang lain: “Janganlah kalian saling memboikot, janganlah saling membelakangi, dan janganlah saling dengki. Jadilah kalian hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang bersaudara.” (HR. Muslim)

Seorang Muslim tidak boleh mencaci dan mengumpat saudaranya Muslim. Perbuatan tersebut haram dan dosa besar. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan janganlah sebahagian kalian mengumpat sebahagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik.” (HR. Al-Hujurat: 12). Rasulullah saw bersabda: “Mencaci seorang Muslim itu perbuatan kefasikan. Sedangkan membunuhnya perbuatan kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang Muslim tidak boleh menyesatkan saudaranya Muslim (Ahlussunnah wal Jama’ah) tanpa ada dalil yang shahih dan jelas. Perbuatan tersebut haram dan dosa besar. Rasul saw bersabda: “Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada orang lain dengan tuduhan kefasikan atau kekafiran melainkan tuduhan itu kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, menuduh orang lain sesat tanpa ilmu atau dalil yang shahih dan jelas sama saja menyesatkan diri sendiri.

 

Demikianlah ajaran-ajaran Al-Quran dan As-Sunnah yang memerintahkan (mewajibkan) kita umat Islam untuk mewujudkan ukhuwwah islamiah dengan cara bersatu, saling mencintai, saling mengasihi, bersolidaritas, membantu, membela hak saudaranya dan sebagainya. Sebagaimana Al-Quran dan As-Sunnah melarang (mengharamkan) kita merusak ukhuwwah islamiah dengan bercerai berai, berselisih, menyakiti, menzhalimi, memprovokasi, menfitnah, mendengki, membenci dan menyesatkan sesama Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah.

Maka, apapun nama organisasi dan kelompok umat Islam, selama aqidahnya Ahlussunnah wal Jama’ah maka tidak boleh disesatkan atau dituduh “wahabi”. Ormas-ormas Islam yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah seperti Muhammadiah, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Dewan Dakwah, MIUMI, Hidayatullah, Wahdah Islamiah dan lainnya tidak boleh dituduh “wahabi” atau sesat. Begitu pula kelompok Salafi, Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, alumni Timur Tengah, dosen dan alumni IAIN/UIN, usataz dan alumni ma’had, dan lainnya. Mereka adalah saudara kita Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan “wahabi” atau sesat seperti yang dituduh oleh kelompok tertentu yang termakan propaganda Syi’ah, Barat dan Yahudi. Musuh-musuh Islam ini telah mengadu domba dan memecah belah persatuan umat.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya umat Islam bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Islam . Umat Islam jangan mau dibentur-benturkan dengan isu “wahabi”. Begitu pula persoalan khilafiah dan persoalan yang hukumnya “sunnat” jangan sampai merusak ukhuwwah islamiah dan menjadi perpecahan umat serta menimbulkan konflik sesama umat Islam dengan memaksakan pendapat tertentu atau menyalahkan pendapat lain. Terlebih lagi jika pendapat tersebut tidak berdasarkan dalil yang shahih. Kondisi seperti itu justru menguntungkan musuh-musuh Islam yang menginginkan umat Islam saling berselisih dan berpecah belah. Akibatnya, umat Islam menjadi lemah dan “dijajah” serta ditindas oleh musuh-musuh Islam.

Sejatinya, persoalan khilafiah dan persoalan yang hukumnya hanya “sunnat” harus disikapi dengan saling menghargai, menghormati, berlapang dada dan toleransi sehingga terwujud ukhuwwah islamiah dan persatuan umat Islam sebagaimana diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala   dan Rasul-Nya saw.

Bagaimanapun juga, ukhuwwah Islamiah dan persatuan umat Islam harus lebih diprioritaskan daripada kepentingan pribadi, kelompok dan mazhab tertentu. Semoga kita termasuk orang-orang yang mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah dengan mewujudkan dan menjaga ukhuwah islamiah serta meninggalkan perbuatan dan ucapan yang bisa merusak ukhuwwah islamiah dan memecah belah persatuan umat Islam. Amin…! 

 

Oleh:  Muhammad Yusran Hadi,

Penulis adalah Ketua MIUMI Aceh, pengurus Dewan Dakwah Aceh & anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara. Doktor Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM)

HIDAYATULLAH

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Bila Rizkimu Sempit, Segera Berinfak!

Allah swt berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS.Ath-Thalaq:7)

Secara umum ayat ini mirip seperti ayat-ayat lain yang mengajak orang-orang yang memiliki kelebihan rizki untuk ber-infak. Namun ada hal yang sangat menarik pada potongan ayat setelahnya.

“Dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”

Jadi tidak hanya mereka yang memiliki kelebihan, namun seorang yang sedang sempit rizkinya juga dianjurkan untuk berinfak.

Mungkin kita bertanya, orang yang sedang sempit rizkinya malah diperintahkan untuk berinfak.

Disinilah kita akan mengenal logika Al-Qur’an. Ayat ini ingin menjelaskan kaitan yang sangat erat antara infak (sedekah) dengan kemudahan rezeki. Pada potongan ayat selanjutnya disebutkan,

“Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.”

Seakan Allah ingin menjelaskan, “Siapa yang memberi, maka ia akan mendapat balasannya…”

Dia-lah pemilik alam semesta yang mengatur rizki bagi hamba-Nya. Dan Allah telah menetapkan sunnatullah bahwa setiap yang memberi pasti akan mendapat balasan yang lebih baik.

Sayyidina Ali bin Abi tholib pernah berpesan,

إِذَا أَمْلَقْتُمْ فَتَاجِرُوا اللَّهَ بِالصَّدَقَةِ

“Bila kalian sedang miskin maka berbisnis lah kepada Allah dengan bersedekah.”

Dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi,

مَا مِنْ يَوْمٍ يَصْبَحُ الْعِبَاد فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُوْلُ الْآخَر اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمُسِكًا تَلَفًا

“Tidak ada sehari pun ketika seorang hamba bangun di pagi harinya kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berkata,

Ya Allah berilah ganti bagi orang-orang yang berinfak.

Dan malaikat yang satunya berkata,

Ya Allah berilah kehancuran bagi orang yang bakhil.”

Ayat ini secara gamblang ingin menjelaskan, bila rizki kita sempit segera lah berinfak. Karena dengan itu kita akan mendapat rizki dan kemudahan dari Allah swt.

Semoga bermanfaat….

 

KHAZANAH ALQURAN

Bisnis Sebagai Ladang Amal

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Dialah Dzat Yang Maha Pencipta, yang telah menciptakan setiap makhluknya secara sempurna tanpa kurang suatu apapun. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud [11] : 6)

Saudaraku, setiap urusan dalam hidup kita haruslah menjadi ladang amal bagi kita. Karena tujuan Allah menciptakan kita adalah untuk beribadah kepada-Nya. Termasuk dalam urusan bisnis kita. Apalagi bisnis merupakan karunia Allah yang wajib disyukuri.

Mensyukuri bisnis adalah dengan berlaku jujur dan profesional. Jujurlah dalam menyampaikan kondisi produk yang kita tawarkan, tak perlu melebih-lebihkan apalagi dibumbui dengan dusta. Karena selain mengundang dosa, dusta juga akan mengecewakan konsumen karena ternyata produk atau jasa yang diterima tidak seperti yang kita tawarkan. Jika sudah demikian, kita akan mengalami doublekerugian, kerugian karena dosa dan kerugian karena konsumen tidak lagi menggunakan produk kita.

Tidak perlu iri dengki dengan orang lain yang menjual produk seperti kita. Apalagi sampai berusaha menjelek-jelekkan dan menjatuhkannya. Keberadaannya semestinya kita sikapi dengan fastabiqul khoirot, berlomba dalam kebaikan, sehingga menjadi motivasi bagi kita untuk meningkatkan kualitas produk dan pelayanan.

Lakukanlah bisnis dengan prinsip-prinsip dan sikap-sikap yang Allah sukai. Bukan hanya besarnya keuntungan semata yang menjadi target, melainkan keridhoan Allah Swt. Sehingga bisnis kita menjadi berkah, tidak hanya mendatangkan keuntungan di dunia tapi juga keuntungan di akhirat. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK