Mana Lebih Utama, Kurban Sendiri atau Kolektif?

DIANTARA cara berkurban yang diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, adalah berkurban secara mandiri atau kolektif. Sapi dapat dikurbankan maksimal kolektif tujuh orang, onta sepuluh orang. Meski secara urutan, kurban onta lebih utama dari qurban sapi. Dan kurban sapi lebih utama dari qurban kambing. Dalilnya adalah hadis tentang anjuran berlomba-lomba untuk segera menghadiri shalat Jumat.

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat kemudian berangkat ke masjid maka seakan-akan ia berkurban unta, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga seakan-akan berkurban kambing, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ke empat seakan-akan berkurban ayam, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima seakan-akan berkurban telur. Jika Imam keluar, malaikat hadir (duduk) untuk mendengarkan dzikir (khutbah).”
(Muttafaqun alaih)

Pada hadis di atas bekurban unta disebutkan pertama, lalu sapi, kemudian kambing. Menunjukkan bahwa binantang kurban paling utama adalah onta. Karena memang harga onta paling mahal dibanding hewan kurban lain, sehingga pengorbanan dana paling besar dibanding kurban sapi atau kambing. Ada sebuah kaidah fikih yang sangat populer berkaitan dengan pahala suatu ibadah, “Besar kecilnya pahala, berbanding dengan kadar pengorbanan saat melakukan ibadah.”

Namun yang menjadi pertanyaan, antara korban mandiri dan kolektif, mana yang lebih besar pahalanya? Tentu saja berkurban secara mandiri lebih besar pahalanya. Karena orang yang berkurban mandiri, dia dapat meraup seluruh pahala menyembelih qurban secara utuh, berbeda dengan yang berkolektif, ibadah dan pahalanya untuk orang-orang yang tergabung dalam kolektif itu. Sementara letak inti nilai ibadah pada qurban, adalah pada menyembelihnya, karena Allah azza wa jalla.

Kesimpulan ini pernah dinyatakan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Berkurban kambing lebih utama daripada qurban onta secara kolektif. Karena menyembelih, adalah tujuan ibadah dalam ibadah kurban. Dan orang yang berkurban mandiri, dia dapat meraup seluruh pahala sembelihan qurban.” (Dikutip dari : Aujazul Masalik 10/227)

Sehingga bila kita urutan model berkurban dari yang paling afdhol:
Pertama, kurban mandiri:
1. Kurban onta.
2. Kemudian kurban sapi.
3. Lalu kambing.

Kedua, kurban kolektif:
1. Kolektif (maks) sepuluh orang untuk kurban onta.
2. Kemudian kolektif (maks) tujuh orang untuk kurban sapi.

Sekian, semoga mencerahkan. Wallahualam bis shawab. [Ustadz Ahmad Anshori, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Mitos Sesat dan Foto-foto Bertebaran di Jabal Rahmah

Mekah – Jabal Rahmah, bukit kecil di tengah padang Arafah selalu menyita perhatian sebagian jemaah haji maupun umrah. Beredar mitos sesat seputar bukit ini sampai-sampai pemerintah Arab Saudi membuat plang besar khusus sebagai bentuk pelurusan.

Jabal Rahmah diyakini sebagai tempat pertemuan pertama kali Nabi Adam dan Hawa setelah terpisah ratusan tahun di dunia. Jabal Rahmah yang berupa bukit kecil setinggi kurang lebih 70 meter, memudahkan keduanya bertemu karena tampak menjulang di tengah padang Arafah.

Jabal Rahmah masa kini sudah mendapatkan sentuhan zaman modern. Dikunjungi detikcom pada Minggu (29/7), tampak ada anak tangga yang menghubungkan dasar bukit sampai bagian puncak. Di sekeliling bukit ini dibeton untuk keperluan lahan parkir.

Posisi Jabal Rahmah di padang Arafah juga tidak semenonjol di masa kuno di mana Arafah murni berupa padang gurun. Kini terdapat banyak pohon — di antaranya pohon Soekarno — yang ditanam dalam jarak yang teratur oleh Kerajaan Arab Saudi sehingga padang Arafah tak tampak sepenuhnya lagi seperti padang lepas.

Kembali ke Jabal Rahmah, entah karena sebab apa, kemudian beredar mitos-mitos tanpa dasar mengenai bukit ini. Banyak sekali jemaah sampai memaksakan diri mendatangi bukit batu ini saat wukuf di Arafah.

Tak hanya itu, ada jemaah-jemaah haji yang mengharuskan dirinya sendiri untuk mengusap sesuatu di puncak bukit. Bahkan ada pula yang sampai menuliskan sesuatu karena anggapan dapat mengabulkan doa.

Kerajaan Arab Saudi pun turun tangan dan membuat plang pengumuman besar di bawah bukit. Pada intinya, Kerajaan Saudi meminta jemaah untuk tidak mengkultuskan Jabal Rahmah saat wukuf. Karena wukuf itu bisa dilakukan di seluruh titik yang ada di Padang Arafah. Isi pesan disampaikan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Turki.

Begini bunyinya:

Nabi Anda tercinta Mohammed SAW tidak datang ke sini kecuali Arafah dan beliau tidak naik ke gunung. Beliau bersabda ‘Arafah semuanya tempat untuk wukuf’. Begitu pula nabi SAW tidak memerintahkan untuk mengusap sesuatu yang ada di gunung atau pohon-pohon, atau mengikatnya. Dan beliau tidak memerintahkan sholat di atas gunung, menulis di batu, atau membangun sesuatu di atas gunung. Wahai saudaraku jemaah haji, ikutilah sunnah nabimu SAW bersabda: Ikutilah cara ibadah haji kamu dari aku. Semoga Allah menerima haji kita semuanya.

Pesan-pesan serupa juga dipasang di tugu yang ada di puncak Jabal Rahmah. Bedanya di puncak bukit, kerajaan Saudi menyertakan keterangan gambar.

Ada hal menarik yang dijumpai di puncak Jabal Rahmah. Sangat banyak foto-foto bertebaran di sana-sini.

Sebagian besar foto berukuran 4 x 6 meski ada pula yang menaruh foto berukuran lain. Ada pula yang meletakkan dua foto dalam satu kantong plastik transparan.

Jemaah haji Indonesia tentunya juga diingatkan untuk tidak perlu ke Jabal Rahmah saat wukuf di Arafah. Kondisi yang desak-desakan dan berjubel akan membahayakan jemaah.

Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) mengimbau agar jemaah tetap berada di dalam tenda selama wukuf. Suhu pada hari H tanggal 20 Agustus 2018 yang bisa mendapat 53 derajat celcius, membuat jemaah rawan terkena dehidrasi saat terpapar matahari langsung.
DETIK

Berangkat Melalui Jalur Ilegal, 116 WNI Calon Haji Ditangkap Pihak Keamanan Arab Saudi

Sebanyak 116 warga negara Indonesia dipulangkan bertahap ke Tanah Air, setelah mencoba berangkat haji melalui jalur illegal.

Dilansir Banjarmasinpost.co.id, Konsul Jenderal RI di Jeddah Arab Saudi, Mohammad Henry mengatakan 116 WNI yang berhaji secara illegal itu, ditangkap otoritas keamanan Arab Saudi di hotel yang ada di kawasan Misfalah, Mekkah, Jumat (27/7/2018).

“Beberapa sedang menunggu penerbangan, 32 sudah dideportasi dan 72 akan dipulangkan besok. Lainnya berangsur hingga Sabtu besok supaya sudah selesai semua,” kata Henry di ruang Media Center Haji di Mekkah, Kamis (2/8/2018).

Sebagian besar WNI itu tergolong muda karena tahun kelahiran 1970-an dan 1980-an.

Adapun asal WNI tersebut, menurut Mohammad Henry, terbanyak dari Lombok, Madura, Banjar, dan Jawa Barat.

116 WNI yang ditangkap keamanan Arab Saudi itu berupaya berhaji secara ilegal dengan memanfaatkan visa nonhaji, yaitu visa kerja, visa umrah, visa ziarah, visa bisnis, dan visa kunjungan keluarga.

Padahal untuk melakukan ibadah haji dibutuhkan visa khusus yakni visa haji.

Kementerian Agama mengusut kemungkinan adanya keterlibatan travel umrah resmi dalam pemberangkatan 116 WNI tersebut.

“Jika terbukti ada WNI yang menggunakan visa umrah dan dia overstay, maka kita lacak hal tersebut kesalahan PPIU atau jemaah,” ujar Nizar Ali di Kantor Daerah Kerja (Daker) baru Makkah di kawasan Syisyah, Makkah.

“Kalau kesalahan PPIU akan kita cabut izin operasionalnya,” sambung Nizar didampingi Kabiro Humas Data dan Informasi Mastuki.

WNI yang berhaji melalui jalur illegal bukan pertama kali, sebelumnya pada 3 Oktober 2016 lalu, sebanyak 106 anggota jemaah haji asal Indonesia terdiri atas 27 pria dan 79 wanita juga tertangkap di Filipina, dilansir TribunWow.com dari Kompas.com (6/10/2016).

Mereka melakukan memalsukan identitas dengan paspor Filipina, karena terbatasnya kuota haji di Indonesia.

Retno Marsudi, selaku Menteri Luar Negeri Indonesia mengungkapkan proses pemulangan WNI yang berada di Filipina selesai pada 10 Oktober 2016 lalu. (TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)

TRIBUN NEWS

 

Pelaku Kejahatan Sasar Jemaah Haji Lansia, Ini Tips Mencegahnya

Mekah – Tiap tahun penyelenggaraan ibadah haji, ada saja laporan mengenai jemaah yang menjadi korban kejahatan. Ada tips pencegahan efektif secara kolektif agar penjahat tak memiliki ruang gerak.

Kabid Perlindungan Jemaah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Jaitul Muchlis mengatakan dari sekian banyak kejadian terhadap jemaah, ada pola khusus. Pelaku menyasar jemaah usia lansia.

“Jadi gini, orang yang menjadi sasaran kriminal, pertama dilihat dari usia. Coba lihat, lansia, lumayan berumur. Kemampuan fisik sudah tidak prima, dan pasti berkecenderungan terpisah dari rombongan,” ujar Jaitul di kantor Daker Mekah, Minggu (5/8/2018).

Jaitul mengatakan, rombongan pasti memiliki kecenderungan berjalan lebih cepat daripada jemaah lansia. Dari sini peluang jemaah lansia itu tertinggal dan kemudian menjadi sasaran penjahat terbuka.

“Rombongan besarnya berjalan cepat. Satu menit bisa 10 langkah, sedangkan yang tua hanya dua sampai tiga langkah. Kan beda,” ujar Jaitul.

Jaitul meminta anggota rombongan jemaah yang lain untuk memperlambat langkah. Dengan begitu jemaah lansia tetap berada dalam rombongan.

“Cobalah yang masih sehat dan prima tadi mengalah. Langkah kakinya diperlambat, sehingga bisa mengimbangi langkah mereka yang sudah tua,” ujar Jaitul.

“Egoisme jemaah juga harus dilunturkan. Mereka beribadah bukan semata-mata melakukan ritual, tapi juga membantu jemaah. bahkan bisa jadi kemabruran mereka berasal dari kepedulian terhadap jemaah sekitarnya yang membutuhkan bantuan,” pungkasnya.

DETIK

Zikir Cara Mudah & Mujarab Komunikasi dengan Allah

ZIKIR merupakan amalan utama dalam Islam. Zikir ialah cara paling mudah dan mujarab untuk menjalin komunikasi dengan Allah Taala.

Zikir adalah ekspresi cinta seorang hamba kepada Rabb yang telah menciptakan, mengurus, dan mencukupi semua kebutuhannya. Dari Abu Darda, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam al-Hakim, dan Imam at-Tirmidzi dengan derajat Shahih,

“Tidakkah kalian ingin kuberitahu tentang sebaik-baik amalan yang paling suci di sisi Tuhan kalian, paling tinggi menyertai derajat kalian, lebih baik dari menafkahkan emas dan perak, juga lebih baik dari musuh yang membunuh (di antara kalian), lalu kalian membunuhnya? “Para sahabat menjawab, “Tentu saja, ya Rasulullah.”

Kata Nabi, “Berzikirlah kepada Allah Taala.”

Di antara kalimat-kalimat zikir itu, ada satu kalimat yang disebutkan sebagai kalimat paling disukai Allah Taala. Lebih istimewanya lagi, kalimat tersebut dipilih oleh-Nya untuk malaikat-malaikat-Nya.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi, Imam Ahmad bin Hanbal dengan derajat Hasan shahih.

Qultu: Ya Rasulullah, ayyu al-kalaami ahabbu ilaa Allahi Taala? Qaala: Maa ashthafa Allahu Taala li malaaikatihi: Subhana Rabbii wa bihamdihi. “Wahai Rasulullah,” tanya Abu Dzar, “bacaan apakah yang paling disukai Allah Taala?” Rasulullah bersabda, “(Ialah) bacaan yang dipilihkan oleh Allah Taala untuk para malaikat, yaitu bacaan Subhana Rabbi wa bihamdihi (Mahasuci Tuhanku dan segala puji bagi-Nya).”

Semoga Allah Taala memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa membasahi lidah dengan zikir, pikiran yang senantiasa menadabburi ciptaan-ciptaan-Nya, dan hati yang khusyuk beribadah kepada-Nya, serta fisik yang senantiasa beramal dalam menaati-Nya. Amin ya Robalalamin.

 

INILAH MOZAIK

Zikir Kenyangkan Jiwa, Membersihkan Sifat Tercela

“MAUKAH aku tunjukkan kepadamu sebaik-baik amal dan yang paling mulia di sisi Tuhanmu serta yang paling dapat meninggikan derajatmu? Berzikir kepada Allah.”

Secara harfiah, zikir berarti mengingat dengan menyebut dan memuji nama Allah, dan merupakan ibadah yang paling mudah dilakukan. Sebab, tak seberat berpuasa atau bertahajud di sepertiga malam. Cukup hanya mengingat, mengucapkan pujian penghambaan dan pengagungan kepada Allah swt dengan bacaan tasbih, tahmid, istighfar, selawat, dan pujian yang disyariatkan.

Zikir mengenyangkan jiwa, menenangkan rasa, melembutkan hati, membersihkan sifat-sifat tercela, membesarkan rasa cinta kepada Allah swt serta menjadikan hidup di dunia dan akhirat lebih bernilai dan bermakna.

Dengan berzikir akan hilang ketulian pendengaran, kebisuan lisan, dan tersingkapnya kegelapan pandangan. Allah menghiasai lisan orang-orang yang berzikir sebagaimana Ia menghiasi pandangan orang yang melihat dengan cahaya.

Dengan demikian lisan orang yang selalu berzikir bagaikan bola mata yang buta, pendengaran yang tuli, dan tangan yang terputus. Zikir merupakan pintu Allah yang sangat agung, terbuka lebar bagi setiap hamba selama mereka tidak menutupnya dengan kelalaian.

Rasulullah saw telah banyak memberikan kita sebagai umatnya motivasi agar senang berzikir, suka memuji, menyucikan, dan mengagungkan Allah. Terbiasa berzikir akan membuat jiwa menjadi tenang karena ampunan dan pertolongan Allah selalu mengiringi.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS.Ar-Rad : 28)

Menurut Imam Nawawi, berzikir adalah suatu amalan yang disyariatkan dan sangat dituntut di dalam Islam. Ia dapat dilakukan dengan hati atau lidah (lisan). Akan lebih afdal jika dengan kedua-duanya sekaligus. [Chairunnisa Dhiee]

Sumber: Buku “200 Amalan Saleh Berpahala Dahsyat”

INILAHMOZAIK

Menjadi Mabrur

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis mengungkapkan, gelar haji mabrur dinikmati seorang yang mampu memenuhi syarat rukun dan wajib haji, serta menggunakan harta yang halal. Keikhlasan beribadah, kata dia, juga sangat penting dan menjadi perangkat utama dalam mendapatkan haji mabrur.

Seorang yang mendapat gelar mabrur, lanjut dia, akan terlihat perubahan yang drastis dibandingkan sebelum haji seperti lebih peduli pada ibadah, keluarga, masya rakat atau lingkungan. “Dia (haji mabrur) akan terlihat lebih takwa, tambah beriman, tambah santun,” kata Cholil saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (1 /8).

Persiapan untuk meraih gelar mabrur, kata Cholil, perlu adanya kesiapan secara jasmani, yaitu dengan melakukan ibadah sewajarnya dan tidak berlebihan, demi menjaga kestabilan kesehatan selama menunaikan haji. Sedangkan, secara rohani adalah mengikhlaskan niat karena Allah SWT dan tidak berambisi beribadah demi mendapatkan pujian atau kesombongan. Luruskan niat, tulus untuk menghadap Allah.

“Yang tak kalah penting, hindari riya karena itu mampu merusak pahala ibadah,” lanjut dia.

Kecanggihan teknologi dan media sosial menjadi salah satu godaan para jamaah saat menunaikan ibadah haji. Hal ini mengakibatkan banyaknya jamaah yang melakukan riya melalui foto yang mereka unggah saat berhaji. Kalau sah secara rukunnya dan wajibnya ibadah haji mereka mungkin terpenuhi, tapi kalau diterima tidaknya suatu ibadah itu patokannya adalah keikhlasan dan ketulusan kita saat beribadah.

“Dan, yang merusak itu adalah riya atau pamer,” jelas Cholil.

Maka, hal yang sekiranya mengarah ke pamer itu sebaiknya dihindarkan dulu. Kalau sekadar informasi kepada keluarga sendiri itu masih boleh, atau mengabarkan kondisi saat ini juga masih diperbolehkan.

“Tapi, kalau misalnya update di sosmed atau hal yang sudah kita tahu dapat menyebabkan riya lebih baik ditahan dulu, tambah dia.

Direktur Haji Dalam Negeri Kementerian Agama Ahda Barori menambahkan, bagi umat Islam yang belum mampu menjalankan ibadah haji, dapat melatih diri dengan mening katkan ibadah wajib dan sunah dengan ikhlas. Menurut dia, segala ibadah yang didasari keikhlasan memiliki nilai tinggi di mata Allah SWT.

Haji ini bukan sesuatu yang diwajibkan, terlebih bagi mereka yang tidak mampu. Maka, dapat meng- gantinya dengan ibadah lain yang didasari dengan niat ikhlas kepada Allah, kata Ahda kepada Republika.

REPUBLIKA

Ikhlaskan Niat di Tanah Suci

Beribadah haji merupakan impian setiap Muslim di seluruh dunia. Tak sedikit orang yang diberikan kelebihan dalam materi ataupun kesehatan sehingga mampu menunaikan ibadah haji.

Tak sedikit pula yang harus menabung puluhan tahun untuk mewujudkan impian pergi ke Tanah Suci. Namun, tak jarang pula mereka yang mampu, tapi tidak mendapatkan peningkatan keimanan meski telah menunaikan haji lebih dari sekali.

Ahli Hadis dan Tafsir KH Ahsin Sakho menjelaskan, haji mabrur hanya dapat diraih oleh mereka yang mampu melaksanakan kewajiban- kewajiban haji dan menjauhkan segala larangan. Dia menjelaskan, sejatinya mabrur berasal dari kata al-birr yang artinya baik atau bagus.

Haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan baik dan bagus dan mampu menjalankan kewajiban- kewajiban ibadah haji dan menjauhkan dari se gala larang annya, jelas Kiai Ahsin Sakho saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.

Kiai Ahsin Sakho menjelaskan, haji dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebelum haji, saat proses haji berlangsung, dan setelah haji. Sebelum haji, calon jamaah haji sebaiknya mengisi kegiatan dengan persiapan dari sisi spiritual, yaitu niat yang ikhlas dan lurus karena Allah SWT.

Kiai Ahsin menegaskan, agar niat calon jamaah dapat terhindar dari rasa riya karena riya mampu merusak pahala ibadah. Yang paling penting itu niatnya ikhlas untuk memenuhi panggilan Allah SWT, kata dia.

Tanda-tanda haji mabrur, lanjut Kiai Ahsin, dapat dilihat dari persiapan yang baik dan khusyuk. Begitu pula saat menjalankan ibadah haji. Menurut dia, jika seorang mampu menghindar dari perbuatan buruk, seperti bertengkar, berkata kasar, atau perbuatan buruk yang berujung dosa, serta mampu menghayati setiap ibadah yang dilaksanakannya, hal itu dapat dikatakan sebagai tanda ha ji nya mabrur.

Menurut dia, seorang yang telah mendapat gelar mabrur akan menganggap ibadah bukan sebagai beban, melainkan justru menjadi sebuah kebutuhan.

“Tanda-tanda lain, setelah ibadah haji maka ibadahnya semakin bagus hubungan bermasyarakat juga semakin bagus, orientasi hidupnya juga lebih meng arah pada akhirat,” lanjut Kiai Ahsin.

Sedangkan, haji mardud atau haji yang ditolak adalah seorang yang berangkat haji menggunakan rezeki yang haram. Orang tersebut, kata Kiai Ahsin, dipastikan tidak akan diterima segala dosanya.

Selain itu, orang tersebut juga tidak menunjukkan perubahan positif dalam kehidupannya setelah pergi haji. Ibadah hajinya tidak memberikan dampak apapun dalam hidupnya bah kan ada yang justru ibadahnya jadi menurun, tambah dia.

REPUBLIKA

Esensi Ibadah Haji

Haji diibaratkan sebagai ibadah komplet karena melibatkan fisik, batin, dan materi. Pimpinan Ihaqi Ustaz Erick Yusuf menjelaskan, dalam ibadah haji terdapat banyak esensi yang dapat diraih dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari- hari. Dia menjelaskan, esensi tersebut terkandung dalam setiap ibadah yang dilakukan selama berada di Tanah Suci.

Ihram contohnya. Ustaz Erick menjelaskan, kain ihram merupakan bentuk keikhlasan seseorang untuk melepaskan seluruh jabatan dan pangkatnya saat menghadap Allah SWT. Kain ihram juga memiliki esensi di mana seluruh makhluk dianggap sama di mata Allah SWT.

“Pembedanya hanyalah ketakwaan. Jadi, saat mengenakan ihram, tidak ada kesempatan untuk merendahkan orang lain atau menyombongkan diri,” kata Ustaz Erick saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.

Selanjutnya, ibadah wukuf di Arafah.Saat berwukuf, manusia harus memahami bahwa tidak ada keinginan lain selain menyembah dan bertemu dengan Allah. Wukuf, kata ustaz Erick, sejatinya adalah melepaskan segala ketergantungan kita kepada apa pun selain Allah SWT. Begitu pula saat melakukan tawaf.

Tawaf memiliki esensi bahwa kehidupan selalu berputar, tetapi seberapa sering pun kehidupan berganti, manusia harus tetap berada di orbitnya masing-masing, dan tidak lepas dari jalan Allah.

“Orang yang pulang dari Tanah Suci dengan persepsi yang benar dari setiap ibadah itulah yang disebut haji yang mabrur karena dia mengambil esensi dari setiap ibadah untuk diterapkan di kehidupannya sehari hari, kata dia.

Namun, bagi umat Islam yang belum berkesempatan berkunjung langung ke Tanah Suci, ustaz Erick menuturkan, beberapa amalan yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pahala yang serupa dengan pahala berhaji. Menurut dia, pahala orang berhaji tak lain adalah jaminan suurga.

“Saat seseorang memuliakan tamu, sejatinya pahalanya serupa dengan pahala haji. Atau, misalnya umrah di bulan Ramadhan. Itu pahalanya sama dengan pahala haji, kata dia.

Sedangkan, keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah, kata Ustaz Erick, adalah hari di mana segala amal pahala dilipatgandakan dan dosa-dosa sangat mudah terampuni. Ustaz Erick menjelaskan, pada saat itu, Allah mengumpul kan para malaikat dan membanggakan hamba-Nya yang tengah wukuf dengan sepenuh hati dan ikhlas.

Saat itu Allah SWT memerintahkan seluruh malaikat untuk mencatat seluruh doa hamba-Nya dan Allah SWT akan mengabulkan seluruhnya.Jadi, intinya pada 10 hari itu Allah SWT akan memberi ampunan yang banyak dan pahala yang berlipat lipat, jelas dia.

Sedangkan, amalan yang dapat dilakukan, lanjut Ustaz Erick, adalah meningkatkan ibadah harian, seperti shalat, bertobat, puasa, dan lainnya. Bukan hanya dengan ibadah kepada Allah SWT, melainkan juga ibadah kepada manusia, seperti menolong, berbuat baik, dan lainnya.

 

REPUBLIKA

Perlunya Memahami Istithaah Kesehatan Haji

Ibadah haji diwajibkan bagi setiap Muslim dan Muslimah yang mampu (istitha’ah). Istithaah ini menjadisalah satu syarat wajib haji. Ada beberapa aspek bagi jamaah disebut isthitaah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum Majelis UlamaIndonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin, bahwa istithaah haji mencakup aspek finansialdan kesehatan.

Secara finansial, calon jamaah dikatakan Istithaah jika memiliki cukup harta selama perjalanan untuk keperluan makanan dan kendaraaan untukdirinya sendiri, maupun bagi keperluan keluarga yang ditinggalkan selama ke Tanah Suci. Selanjutnya, keperluan jamaah itu sendiri setelah kembalinya dari haji.

Dari aspek kesehatan, kemampuan fisik dan rohani yang sehat menjadi faktor yang harus diperhatikan bagi calon jamaah haji. Permenkes No.15 tahun 2016 telah mengatur soal istithaah kesehatan jamaah haji. Yang mana di dalamnya dijelaskan, bahwa istithaahkesehatan jamaah haji memiliki makna kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan. Sehingga, jamaah bisa menjalankan ibadah haji sesuai dengan syariat agama Islam.

Meski Permenkes soal istithaah haji ini telah diterapkan, namun dalam penyelenggaraannya, kasus wafatnya jamaah haji di Arab Saudi masih tinggi. Pada musim haji 2017, jamaah haji Indonesia yang wafat mencapai 431 orang. Sementara pada 2016, jamaah haji yang wafat tercatat 390 orang.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan (Puskes Haji Kemenkes) Eka Jusup Singka mengatakan, angka kematian jamaah haji tersebut memiliki banyak variabel. Pertama, karena kondisi jamaah sejak dari tanah air. Kedua, lingkungannya dan pola perilaku jamaah selama berada di Tanah Suci. Misalnya, jamaah kerap melakukan kegiatanyang tidak penting di luar kegiatan rukun haji.

Kendati angka jamaah haji yang wafat masih tinggi, namun Eka mengatakan, bahwa angka kematian pada 2017 tidak bisa dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal itu karena pada 2017, Indonesia mendapat kuota sebanyak 221 ribu jamaah.

Sedangkan pada 2016, jamaah haji yang diberangkatkan ialah sebanyak 168.800 jamaah. Tahun ini, pemerintah Saudi memang telah mengembalikan kuota jamaah haji kembali normal. Bahkan, Indonesia mendapat tambahan kuota sebanyak 10 ribu jamaah.

“Jamaah yang masuk berbeda kondisi kesehatannya dan lebih parah pada 2017. Banyak jamaah usia lanjut yang diprioritaskan berangkat. Jamaah di atas usia 75 tahun itu banyak, hampir 12 ribu orang dengan lanjut usia berangkat pada musim haji 2017,” kata Eka, saat dihubungi Republika.co.id.

Dia mengatakan, hampir semua jamaah diberangkatkan saja pada musim haji 2017 tanpa dilihat betul kondisi kesehatannya mampu atau tidak. Menurutnya, sebagian kalangan berpendapat bahwa orang yang sakit agar diberangkatkan saja. Padahal, aturan terkait istithaah kesehatan telah jelas diatur oleh pemerintah.

Eka menekankan, pengukuran kesehatan atau disebut istithaah kesehatan yang ditetapkan oleh Kemenkes tentunya merujuk pada fikih islam. Yang mana, istithaah kesehatan ini menjadi syarat wajib haji yang harus disosialisasikan kepada masyarakat. Permenkes No.15 tahun2016 itu, kata dia, ditetapkan atas rekomendasi dari Komite Pengawas HajiIndonesia (KPHI) dan dibuat bersama dengan Kementerian Agama.

Dia mencatat, terdapat lebih dari4.000 jamaah haji yang dirawat di rumah sakit di Arab Saudi pada penyelenggaraan haji musim 2017. Karena itulah, Eka menekankan, agar masyarakat memahami dan tidak memaksakkan untuk berangkat ke Tanah Suci. Sementara, kondisi kesehatannya tidak memungkinkan atau tidak isthitaah.

“Sangat disayangkan jika jamaah memaksakkan berangkat ke Tanah Suci. Namun setibanya di sana tidak mampu melaksanakan ibadah haji sebagaimana mestinya,” ujar Eka.

Eka mengatakan, ada tiga hal yangmembuat jamaah haji tidak memenuhi syarat isthitaahkesehatan. Hal itu di antaranya, penyakit yang bisa membahayakan jamaah haji itu sendiri, gangguanj iwa berat, dan penyakit yang tidak mungkin bisa disembuhkan.

Dikatakan Eka, jamaah haji yang memiliki penyakit menular atau penyakit lain seperti demensia (lupa ingatan) seharusnya tidak boleh diberangkatkan ke tanah suci. “Kalau jamaah haji mengertibahwa dirinya sudah tidak Istitha’ah, maka tidak wajib baginya melaksanakanibadah haji,” lanjutnya.

Pada musim haji tahun ini, Eka mengatakan, jamaah haji yang tidak bisa diberangkatkan karena terkait istithaah kesehatan tidak sampai 1 persen atau sekitar 100 ribu orang. Namun, faktanya jumlah kecil tersebut telah menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Sebagian masyarakat menganggap bahwa pemerintah menghambat mereka untuk beribadah. Padahal, kata dia, istithaah itu sendiri adalah syarat wajib dalam ibadah haji.

Dalam rangka meningkatkan keselamatan haji dan agar kasus wafat jamaah haji bisa ditekan, Eka mengatakan, ada beberapa hal yang akan dilakukan pemerintah. Dalam hal ini, ia mengatakan, Kemenkes akan terus melakukan advokasi kepada para stakeholder penyelenggara ibadah haji.

Selanjutnya, Kemenkes juga akan melakukan sosialisasi kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan masyarakat. Tidak hanya itu,Kemenkes akan melakukan testimoni kepada jamaah yang mengalami sakit selama di Tanah Suci, yang mulai dari awal mendarat hingga pulang tidak pernah melaksanakan ibadah haji dan justru harus dirawat di rumah sakit.

Kemenkes, menurut Eka, juga akan melakukan implementasi dari Permenkes No.15 tahun 2016 secara lebih baik lagi. Hal itu dengan melakukan pembinaan kesehatan, penyuluhan kesehatan, dan manasikkesehatan. Langkah-langkah tersebut bertujuan agar jamaah bisa mempersiapkan dirinya jauh hari sebelum berangkat ke Tanah Suci dan agar jamaah bisa menjalankan rukun haji dengan baik.

“Kesehatan itu pada prinsipnya mendukung jamaah haji agar bisa beribadah dengan lancar. Sehingga, bisa menjadi haji mabrur. Ini menjadi fokus pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, supaya banyak jamaah haji kembali menjadi agen-agen perubahan untuk pembangunan bangsa,” ujarnya.

Eka menjelaskan, terdapat empat keadaan isthitaah kesehatan haji. Pertama, memenuhi syarat istithaah kesehatan haji. Kedua, memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan. Ketiga, tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara. Keempat, tidak memenuhi syarat istithah kesehatan haji.

Pada poin ketiga, Eka mengatakan, bahwa calon jamaah haji tersebut masih bisa diberangkatkan setelah penyakitnya sembuh. Dalam hal ini, calon jamaah haji ditunda keberangkatannya dan diundur ke dalam kloter berikutnya.

Karena itu, Eka pun memberikan beberapa saran bagi masyarakat yang ingin menunaikan ibadah haji. Dia menyarankan, agar masyarakat bisa mempersiapkan kesehatannya jauh-jauh hari sebelum berangkat. Bagi yang tidak memenuhi syarat istithaah, seperti yang memiliki penyakit berat, menular, atau yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain, sebaiknya ditunda atau penyakitnya disembuhkan dulu.

Sementara itu, Eka menilai, tidak perlunya ada fatwa MUI lagi terkait istithaah kesehatan haji. Karena secara teknis, menurutya, pengukuran kesehatan dilakukan oleh institusi kesehatan yang lebih memadai. Kalaupun MUI akan memfatwakan istithaah kesehatan, hal itu, menurutnya, harus dipertimbangkan oleh semua pihak. Selain itu, menurutnya, istithaahsecara umum sudah menjadi fatwa MUI pada 1979.

REPUBLIKA