Para Khalifah dan Penghormatannya pada Guru

BULAN Oktober dikenal dan diperingati ‘Hari Guru Sedunia’. Tapi benarkah penghormatan itu sepadan dengan amal dan jerih payah yang telah mereka lakukan?

Faktanya,  mereka yang seharusnya menempati posisi terhormat karena keluhuran profesi, sejauh ini belum mendapat perlakuan layak. Di lapangan, yang justru seringkali terjadi mereka hanya didikte dan tak jarang dikriminalisasi. Ada kesenjangan sikap yang luar biasa yang ditujukan kepada mereka: ketika guru dianggap salah, urusanya langsung ke pengadilan. Namun, ketika berhasil mendidik anak, maka penghormatan pada mereka kurang diberikan. Yang banyak justru dilupakan.

Di masa kejayaan Islam, guru begitu dihormati baik oleh negara dan masyarakat. Mehdi Nakosteen misalnya, dalam buku “Kontribusi Islam atas Intelektual Dunia Barat” (1996: 76-77) mencatat bahwa guru dalam pendidikan muslim begitu dihormati. Para pelajar muslim (mahasiswa) mempunyai perhatian besar terhadap gurunya. Bahkan, sering kali lebih suka hubungan intelektual secara langsung dengan gurunya daripada dengan tulisan-tulisan mereka.

Penghormatan Negara  

Raghib As-Sirjani dalam kitab “Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām” (2009: 1/244) menyebutkan beberapa contoh penghormatan itu.  Terkait pemerintah kepada guru bisa dibaca keterangan dari Abdullah bin Mubarak Rahimahullah menuturkan ia belum pernah menjumpai guru, ahli Qur`an,  orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan dan menjaga diri dari larangan-larangan Allah sejak masa Rasulullah hingga sekarang melebihi apa yang ada di zaman Harun Ar-Rasyid.

Pada masanya, anak kecil usia 8 tahun hafal al-Qur`an atau anak usia 11 tahun menguasai fiqih dan ilmu lain, meriwayatkan hadits, berdialog dengan guru sudah hal lumrah pada saat itu.  Apa rahasianya? Ini tidak lain karena kepedulian Khalifah Harun kepada ilmu, guru serta murid sejak dini. Untuk menggapai tujuan itu, banyak sekali dana yang dikeluarkan olehnya. Marwah guru di mata beliau sangat agung sehingga diperlakukan dengan rasa hormat dan martabat tinggi.

Masih dalam buku yang sama (I/245), perhatian daulah terhadap guru juga diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah sehingga membuat hidup mereka menjadi nyaman.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. (I/231).

Contoh lain yang tak kalah menarik, terjadi pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah, guru begitu dihormati dan dimuliakan. Syekh Najmuddin Al-KhabusyaniRahimahullah misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (1 dinar hari ini setara dengan Rp. 2.200,000 jadi setara Rp 110,000,000) untuk mengawasi waqaf madrasah. Di samping itu juga 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.

Penghormatan Orangtua kepada Guru

Orang tua pun demikian juga melakukan penghormatan tinggi kepada guru.  Pada masa keemasan Islam,  mereka sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru. Mereka memberikan dukungan dan membiasakan untuk mengajarkan anak-anak kepada mereka.

Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya.

Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! Bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini [Atha’] (Aidh Al-Qarny, Rūh wa Rayhān, 296).

Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa ini harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru.

Demikian juga Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sebagai orangtua, beliau mempercayakan pendidikannya kepada para guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.

Di Nusantara juga begitu. Pada zaman Mataram Islam misalnya, oleh Mahmud Yunus –dalam buku “Sejarah Pendidikan Islam” (1993: 221-227)– disebut sebagai masa keemasan pendidikan dan pengajaran Islam di tanah Jawa karena mempunyai organisasi yang teratur dalam pemerintahan Negara Islam.

Kepedulian orangtua waktu itu bisa dilihat dari  kontribusi pembiayaan pendidikan –seperti pesantren melalui pemungutan zakat,  srakah (iuran waktu nikah), wakaf dan palagara (pembayaran suatu hajat dari penduduk desa) juga raja.

Menariknya, begitu pedulinya-nya orangtua dan anak dalam masalah pendidikan dan guru, pada waktu itu kalau ada anak usia tujuh tahun belum bisa membaca al-Qur`an, maka akan menjadi bahan olokan teman. Mereka merasa malu kalau pada usia itu belum bisa baca al-Qur`an.

Sementara, kepedulian penguasa –dalam hal ini kerajaan—misalnya, pada tahun 1700, pada masa kerajaan Kartasura,  ada pesantren-pesantren yang dijadikan tanah perdikan diberi tanah sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik turun-temurun yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.  Kedua contoh tersebut menunjukkan betapa pedulinya masyarakat dan kerajaan Mataram pada guru. Mereka bekerjasama dan bahu-membahu untuk menghormati pendidikan dan guru.

Dari beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati guru. Itu terwujud melalui kepedulian negara dan masyarakat. Sebagai penutup, nasihat A. Hassan dalam buku “Kesopanan Tinggi Secara Islam” (1993: 25-28) menarik untuk direnungi, “Sungguh pun ilmu-ilmu ada tertulis di kitab-kitab, tetapi kunci dan rahasianya ada di tangan atau di dada guru.” Beliau juga menyarankan: hormatilah guru, berlakulah sopan kepadanya dan turuti perintah-perintahnya di hadapannya dan di belakangnya.*

Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Penulis alumni Al Azhar – Kairo, dan Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Angkatan VIII (2014-2015)

HIDAYATULLAH

Mengapa Isi Alquran tak Seluruhnya Ditafsirkan di Zaman Rasulullah?

Isi Alquran tidak seluruhnya ditafsirkan di zaman Rasulullah SAW mengapa?

Alquranul karim diturunkan dalam waktu dua puluh tiga tahun, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia dan pelita yang menerangi bumi.

Mengenai masalah tafsir ini ada dua pendapat menurut Prof.Dr.Mutawalli asy-Sya’rawi.

Golongan pertama berpendapat bahwa tafsir Al-Qur‘an di masa Rasulullah saw. adalah yang terakhir dan tidak boleh diubah, atau ditambah dengan pendapat dan pikiran baru yang mungkin akan terbukti salah sesudah puluhan tahun.

Golongan kedua berpendapat bahwa Al-Qur‘an mengandung dua sumber atau bagian.

Yang pertama adalah soal-soal fardhu yang diwajibkan agama dan hukum-hukum. Dalam hal ini apa yang ditafsirkan di masa Rasulullah adalah pasti, tidak boleh diubah sampai hari kiamat.

Adapun yang kedua ialah mukjizat Al-Qur‘an. Bertambah maju ilmu pengetahuan dan akal manusia. Bertambah pula ungkapan kandungan Al-Qur‘an. Soal ini tidak akan berhenti dan akan terus berkembang, sehingga memungkinkan generasi mendatang menemukan mukjizat baru dari Al-Qur‘an yang belum kita ketahui sekarang.

Barangsiapa mengingkari kebenaran hukum dan syariat Al-Qur‘an, dia tergolong kafir. Adapun penafsiran-penafsiran yang berbeda terjadi pada masalah-masalah yang tidak menyangkut keimanan (akidah) dan ibadah serta hukum. Wallahua’lam

BersamaDakwah

Pahala Tanpa Batas Bagi Orang-orang yang Sabar

DENGAN sepenuh hati, sekarang saya ingin mengajak Anda untuk bersiap membaca ayat berikut. Saat membacanya, Anda jangan sampai melupakan kandungan maknanya.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (Q.S. al-Zumar [39]: 10).

Apa pendapat Anda, andai tanah tandus karena kekurangan air, lalu Allah menurunkan hujan penuh keberkahan ke tanah itu? Apa gerangan hasilnya?

Hati Andalah tanah tandus itu, sementara ayat di atas adalah hujan deras penuh keberkahan yang mengguyurnya.

Para mufasir mengatakan, “Bermacam karunia akan dicurahkan tanpa batas pada orang yang sabar. Mengapa hanya orang yang sabar? Sebab, mereka sabar menghadapi musibah yang diturunkan Allah di dunia. Mereka tidak mengeluh sedikitpun, sedih, dan marah pada musibah yang menimpa mereka. Mereka rela dengan keputusan dan takdir Allah di dunia itu. Sebagai balasannya, Allah tidak akan melakukan perhitungan alam mereka di akhirat.”

Oleh karena itu, saya berani menyimpulkan, satu-satunya amal yang tidak diketahui pahalanya adalah sabar. Suatu contoh, pahala amal-amal kebajikan dilipatgandakan menjadi 10 kali. Bahkan, pahala infak dilipatgandakan menjadi 700 kali. Namun lihatlah sabar, pahalanya tidak terbatas!

Betapa bahagia hati seseorang yang teresapi oleh ayat di atas. Lebih-lebih, bila ayat itu kemudian terpatri rapi di dalam hatinya. Pastilah ia akan merasakan betapa nikmatnya bersabar itu. [amru muhammad khalid]

Yakin dengan Jaminan Allah

SAHABAT yang baik, pada dasarnya seluruh makhluk sudah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Allah SWT pasti tahu persis semua keperluan kita. Bahkan Allah SWT tahu sekali keperluan tubuh kita, yang jika kita pikirkan sangat banyak sekali kebutuhan tubuh ini yang setiap hari Allah SWT penuhi dan cukupkan.

Salah satu cara untuk yakin terhadap jaminan Allah SWT adalah lihat apa yang telah Allah SWT berikan dan cukupkan kepada kita selama kita hidup. Allah SWT berfirman, “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf 50: Ayat 16)

Jadi intinya, kita harus yakin bahwa tidak ada satupun kebutuhan kita yang tidak diketahui oleh Allah SWT, dan tidak ada satupun keadaan kita yang tidak diketahui oleh Allah SWT. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

Antara Harga Ayam, Harga Diri dan Harga HP

BAGI manusia normal, harga diri adalah kehormatan diri yang menentukan nilai diri sebagai orang mulia atau orang hina. Orang normal akan mengorbankan apa saja demi harga dirinya tetap terjaga mulia. Orang yang tidak normal akan berpikir sebaliknya, tak apa kehilangan harga diri yang penting tak rugi secara duniawi. Kecuranganpun dilakukan, bahkan menjual diripun dilakukan.

Allah menciptakan manusia dalam bentuk terindah dengan kemuliaan sempurna. Namun ada saja manusia yang merusak keindahan dan kemuliaan dirinya dengan perilaku tercelanya. Turunlah derajatnya ke ‘asfala saafiliin’ (derajat terbawah). Na’udzu billaah. Hidup adalah pertaruhan dan pertarungan. Menangkanlah harga diri.

Kisah nyata berikut adalah contoh kasus pertaruhan dan pertarungan yang saya maksud. Seorang pencuri berhasil mencuri ayam jago kesayangan seorang warga. Pencuri itu dikejar tapi berhasil lolos. Pemilik ayam jago menangis sedih berpisah dengan ayamnya. Pencurinya sepertinya bahagia karena berhasil membawa ayam itu. Keadaanpun berubah dalam hitungan jam. Ternyata hape (handphone) pencuri itu terjatuh saat dikejar. Diketemukan pemilik ayam di rerumputan semak-semak. Hape nya lumayan bagus, lebih mahal harganya ketimbang harga ayam itu.

Pemilik ayam itu sesungguhnya sangat mudah melacak siapa pencuri itu. Ini pelajaran berharga bagi para pencuri agar tidak membawa hape saat mencuri. Pemilik ayam itu menulis pengumuman di twitter sebagaimana terlampir foto kecerannya berikut ini. Singkatnya dia berkata: “Bagi pencuri yang merasa kehilangan hape, datanglah ke sini kembali untuk ambil hapenya. Namun, bawa sertalah ayam jago saya. Ada ayam jago, ada hape.”

Benar-benar pertaruhan harga diri, bukan? Apakah pencuri itu akan kembali demi hape atau dibiarkan saja hape itu demi harga diri? Nah, cobalah baca dulu foto capture berikut ini. Salam, AIM. [*]

 

 

INILAH MOZAIK

Pembuang Limbah Di Makkah Didenda

Perusahaan atau individu yang ditemukan meninggalkan limbah konstruksi di jalan akan menghadapi hukuman termasuk denda. Seruan itu dikatakan Wali Kota Makkah, Muhammad Al-Quwaihes, ketika  meluncurkan sebuah inisiatif berjudul “Makkah tanpa limbah konstruksi,” Ahad (14/10)

Seperti dilansir Saudigazeet, inisiatif Wali Kota itu datang ketika mengkampanyekan sikap ‘Bagaimana kita bisa menjadi model mengatasi limbah? Apalagi program ini diluncurkan pimpinan kota Makkah sebagai bagian dari ajang Forum Budaya Makkah untuk tahun 2018.

Al-Quwaihes mendesak agar orang-orang untuk melaporkan tentang pelanggaran itu. Dan ini bisa dilakukan melalui aplikasi walikota atau dengan menghubungi nomor 940.

Dia mengatakan bahwa inisiatif tersebut bertujuan untuk melestarikan penampilan perkotaan di lingkungan, jalan-jalan dan jalan-jalan di seluruh Mekah dan kawasan desa-desa di wilayah itu. Ini juga termasuk mengilangkan konstruksi dan puing-puing proyek bangunan yang tersebar di lingkungannya.

Walikota mengarahkan aparat kotamadya dan departemen pemerintah Makkah untuk memastikan ketersediaan kontainer untuk pengumpulan limbah konstruksi. Arahan juga termasuk pengenaan denda terhadap pelanggar peraturan. Al-Quwaihes juga meminta warga Makkah untuk memastikan keberhasilan inisiatif ini untuk menjaga kebersihan kota suci.

Tujuh Keistimewaan Masjid Al Haram

Bangunan Masjid Al Haram saat ini merupakan pengembangan dari bangunan Masjidil Haram yang dilakukan oleh Khadimul Haramain (pelayan dua Tanah Suci), yakni raja Arab Saudi.

Pengembangan ini bertujuan memudahkan umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah selama di Tanah Suci. Berikut keistimewaan masjid suci umat Islam ini:

a. Shaf melingkar

b. Masjid ini berbentuk persegi empat dan dibangun mengelilingi Ka’bah. Keunikan dari Masjidil Haram adalah shafnya berbentuk lingkaran, yang semuanya menghadap ke Ka’bah. Ini merupakan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki masjid manapun di dunia ini.

c. Masjidil Haram memiliki luas sekitar ± 656.000 m², dan dapat menampung 730 ribu jamaah dalam satu kali waktu shalat berjamaah pada hari biasa dan lebih dari satu juta jamaah pada musim haji.

d.    Memiliki tiga lantai.

e.    Menara berjumlah tujuh buah

f.    Keistimewaan masjid ini adalah shalat di masjid ini lebih utama dari shalat sebanyak 100 ribu kali di masjid lain.

REPUBLIKA

Sibuk dengan Kebaikan

SAHABAT yang baik, lakukan kebaikan sebanyak dan sesering mungkin, karena kebaikan yang ikhlas akan menjaga kita. Semakin banyak kita melakukan kebaikan yang tulus, semakin terjaga diri kita oleh kebaikan-kebaikan yang kita perbuat.

Kita juga harus sadar bahwa setiap maksiat dan dosa yang kita lakukan, itulah yang akan mengancam hidup kita. Semakin banyak kita melakukan dosa dan maksiat, semakin hidup kita akan terancam oleh dosa kita sendiri.

Mudah-mudahan, kita segera taubat dan sibuk dengan berbuat kebaikan, karena orang yang disibukan dengan kebaikan, Allah SWT akan mempersulit untuk melakukan keburukan.

Semoga Allah SWT mengistiqomahkan untuk kita berbuat baik dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ridho dari Allah SWT.

Aamiin yaa Robbalaalamiin. [*]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

Jangan Ragukan Toleransi Islam, Barat Pun Mengakuinya

Toleransi berarti menenggang pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Khotimah dalam artikelnya pada Jurnal Ushuluddin (2013) menjelaskan, istilah bahasa Arab untuk kata toleransi adalah at-tasamuh, yang berarti ‘bermurah hati’.

Dalam konteks hubungan antarumat beragama, toleransi bermakna membiarkan situasi tetap tenang dan rukun, sehingga setiap orang dapat menjalankan ibadah atau ajaran agamanya masing-masing tanpa disertai konflik.

Prinsip serupa sesungguhnya juga berlaku di internal umat suatu agama. Perbedaan antar-mazhab, umpamanya, seyogianya dihadapi dengan penuh toleran agar tidak menjurus pada kekerasan.

Toleransi mengandaikan kemajemukan di tengah masyarakat. Alquran telah mengisyaratkan adanya kuasa Allah SWT di balik fakta tersebut. Misalnya, surah Yunus ayat 99 yang artinya, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Maka dari itu, tidak ada gunanya memaksakan penyeragaman (homogenisasi) karena keberagaman justru merupakan sunnatullah yang sepatutnya disyukuri.

Sepanjang sejarah, sikap toleran sudah mewarnai hubungan antara kaum Muslimin dan non-Muslim.  Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam. A History of Propagation of the Muslim Faith mengomentari besarnya penghargaan Islam terhadap prinsip toleransi.

Bahkan, menurutnya, kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim. Padahal, di saat yang sama, Eropa masih belum mengenal toleransi sama sekali. Barat baru menyemarakkan tenggang rasa antar-dan-internal umat beragama belakangan ini pada zaman modern.

Lebih lanjut, Sir Thomas mengungkapkan, ketika berabad-abad lamanya dinasti-dinasti Muslim berkuasa, banyak sekte Kristen yang dibiarkan hidup, berkembang, dan bahkan dilindungi aturan negara.

Amat jarang kasus persekusi yang dilakukan orang Islam terhadap komunitas non-Muslim. Menurut orientalis Inggris tersebut, keyakinan yang diajarkan Alquran, “Tidak ada paksaan dalam agama” berperan amat penting.

Reza Shah-Kazemi melalui karyanya, The Spirit of Tolerance in Islam, mengemukakan beberapa dinasti yang menunjukkan pentingnya toleransi dalam peradaban Islam. Ambil contoh Kekhalifahan Abbasiyah yang mempersembahkan kepada peradaban dunia Bait al-Hikmah.

Perpustakaan itu dibesarkan Sultan Harun al-Rasyid di Baghdad. Di dalamnya, berlangsung kegiatan-kegiatan ilmiah, mulai dari penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab hingga riset dan observasi. Sang sultan mengedepankan prinsip toleransi dan meritokrasi di atas identitas.

Buktinya, dia mengangkat I’yan Syu’ubi, seorang Persia yang anti-Arab, sebagai kepala perpustakaan. Hal itu disinggung Prof Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam. Tidak sedikit pula orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani Kuno ke bahasa Ibrani dan Arab di Bait al-Hikmah. Ada juga sarjana-sarjana dari India yang aktif berkontribusi di sana.

REPUBLIKA

Walau Demi Gengsi Jangan Bohong Tak Baik Akibatnya

SEMALAM kami ditraktir sahabatnya Mat Kelor makan di DEHAPPY SEA FOOD HALAL AND PORK FREE di Penang Malaysia. Di sinilah saya pertama kali merasakan sirip ikan hiu. Status ini tentu bukan tentang menu makanan itu, melainkan tentang obrolan penuh hikmah di meja makan itu. Ada juga sih hubungannya dengan makanan. Kisah ini perawinya adalah sahabat Mat Kelor itu, Pak Haji Adri.

Saat makan malam di suatu restoran, satu keluarga sedikit agak dibuat malu oleh salah seorang ibu, anggota keluarga, yang meminta pramusaji untuk membungkus sisa makanan. Memang ada dilema, tak dibungkus ya eman karena mahal dan enak, dibungkus ya agak malu karena menurunkan gengsi. Pro kontra terjadi di meja makan itu. Hmmm, bukan hanya di kantor dan di panggung politik, di manapun ada pro kontra.

Di meja sebelah juga terjadi pro dan kontra. Namun rupanya pertimbangan gengsi menjadi pertimbangan utama di samping pertimbangan eman juga akan sisa makanan yang mahal itu. Seorang pria berkulit hitam di meja itu berkata pada staff restoran: “Eee, tolong ini dibungkus sisa makanan ini. Akan saya kasihkan pada anjing saya di rumah.” Pria itu merasa gengsinya terjaga karena sisa makanan itu dinyatakan untuk anjingnya, padahal aslinya untuk dirinya.

Kedua keluarga itu pulang dari restoran dengan tetap membahas pro kontra. Sesampainya di rumah, makanan sisa yang dibawa ibu itu tak langsung dimakan karena masih merasa malu walau akhirnyapun dimakan. Sementara sisa makanan yang dibawa pria meja kedua tadi juga tak jadi dimakan karena kaget. Kaget kenapa? Rupanya karena sisa makanan itu bercampur dengan banyak tulang ikan dan tulang sapi dan kambing. Pria itu marah, menelpon restoran bertanya mengapa bercampur dengan banyak tulang. Dijawabnya: “Lho katanya untuk anjing?” Pria itu terdiam.

Jangan berbohong hanya karena jaga gengsi. Kemuliaan diri dan harga diri itu ada bedanya juga. Kejujuran adalah kemuliaan. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi