Kisah Ashabul Ukhdud, Rasulullah Baca Taawuz, Mengapa?

Betapa banyak kisah yang mengandung hikmah untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan. Salah satunya tentang Ashhabul Ukhdud, yakni sekelompok rakyat pada masa pra-Islam yang beriman kepada Allah SWT.

Hanya karena meyakini ajaran tauhid, mereka mengalami penyiksaan luar biasa. Penguasa setempat menghempaskan kaum tersebut, entah laki-laki, perempuan, tua maupun muda, ke dalam parit yang dibakar.

Orang-orang keji itulah yang dinamakan oleh Alquran sebagai Ashhabul Ukhdud. Peristiwa ini diabadikan dalam surah al-Buruj dan sebuah hadits panjang riwayat Imam Muslim (no. 3005).

Para martir dalam kisah itu menolak tunduk di hadapan raja yang gemar mendewakan diri. Seluruhnya lalu dibakar dalam kondisi masih bernyawa. Hadits di atas menyebutkan, di antaranya bahkan terdapat seorang ibu yang menggendong bayinya.

Perempuan ini sempat takut ketika diperintahkan si raja untuk masuk ke dalam kobaran api. Namun, anaknya yang masih dalam buaian, atas izin Allah SWT, berkata kepadanya, “Duhai, Ibu, bersabarlah, karena engkau sesungguhnya di atas kebenaran.”

Mengutip Tafsir al-Mishbah karya M Quraisy Shihab, banyak ulama menyatakan bahwa orang-orang yang disiksa Ashhabul Ukhdud merujuk pada sekelompok kaum beriman yang memeluk agama Nasrani di Najran. Kota tersebut kini terletak di suatu lembah perbatasan antara Arab Saudi dan Yaman.

Peristiwa pembakaran yang dimaksud terjadi kira-kira pada 523 M. Jaraknya hampir setengah abad menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu, tidak mengherankan bila kisah ini cukup populer di kalangan penduduk jazirah Arab, termasuk Makkah.

Ketika nama Ashhabul Ukhdud disebutkan kepada para sahabat, Rasulullah SAW mengucapkan taawuz. Beliau SAW memohonkan perlindungan kepada Allah SWT untuk umatnya, mengingat besarnya ujian yang dialami kaum Nasrani tersebut. Diharapkannya pula, para pengikutnya mencontoh kesabaran orang-orang beriman dari masa lalu ketika menghadapi segala gangguan dan tipu-daya kaum kafir Quraisy di Makkah.

Penyiksaan atas kaum Kristen Najran dilakukan dengan instruksi Yusuf bin Syarhabiil. Bangsa Arab menggelarinya Dzu Nuwaas.

Kata dzu dalam bahasa Arab berarti ‘pemilik’, sedangkan nuwaas adalah sebutan untuk hiasan khas Yahudi ortodoks yang berupa rambut keriting dan dipasang di dekat kedua telinga (payots [Ibrani]; sidelocks [Inggris]). Sirah Nabawiyah karya Ibn Hisyam sebagaimana diringkas Abdus-Salam M Harun (2000: 10) meriwayatkan kisah pemimpin bengis ini.

KHAZANAH REPUBLIKA

Baru Saja Masuk Islam, Apakah Harus Berganti Nama Islami?

Fenomena mengganti nama, ketika menyatakan masuk Islam, tak hanya terjadi pada era sekarang, tetapi juga pernah berlaku pada beberapa dekade lalu.

Mantan Syekh al-Azhar Syekh Jad al-Haq pada 1979 pernah mendapatkan pertanyaan serupa.

Mengutip Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, Syekh Jad al-Haq menjelaskan, mayoritas ulama sepakat Islam dan iman di sisi Allah SWT itu terpenuhi dengan pengucapan lisan, dibuktikan dengan tindakan. Ini maknanya bahwa syarat kesempurnaan berislam adalah dibuktikan dengan tindakan.

Sementara rukun Islam itu sebagaimana hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar RA.

Rasulullah bersabda, ”Islam didirikan atas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selan Allah SWT dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.”

Masuk Islam berarti mengucapkan kedua syahadat dan menyatakan bebas dari semua agama kecuali Islam.

Jika sebelumnya seorang Nasrani, begitu dia masuk Islam, dia harus lepas dari ikatan agama Nasrani dan bersaksi bahwa Isa AS adalah seorang nabi. Tidak ada syarat harus berikrar dengan bahasa Arab, bahasa apapun tetap sah-sah saja.

Dengan demikian, merujuk berbagai hadis nabi dan pendapat para ulama, Syekh Jad al-Haq berpendapat  mengubah nama Islam begitu masuk agama ini bukan syarat apapun.

Hanya saja memang, tradisi yang berlaku, bahwa agama seseorang itu bisa tampak secara lahir dari namanya.

Tradisi ini pun berlaku di tengah-tengah umat Islam. Tak hanya dalam Islam, nama-nama yang identik juga kerap dipakai bagai pemeluk agama Yahudi atau Kristen.

Dia menyarankan, yang lebih utama memang hendaknya mereka yang baru masuk Islam mengganti nama Islam karena ini termasuk salah satu identitas Islam. Di satu sisi, tradisi yang baik dalam Islam kedudukannya sendiri dalam hukum.

KHAZANAH REPUBLIKA

Rasulullah Sang Majikan Teladan

DALAM catatan sirah, Rasulullah ﷺ memiliki beberapa pembantu. Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “Zādu al-Ma’ād” (1/113), menyebutkan beberapa pembantu nabi ﷺ di antaranya: Anas bin Malik (bagian melayani kebutuhan Rasulullah ﷺ), Abdullah bin Mas`ud (bagian pembawa sandal dan siwaknya), `Uqbah bin `Āmir al-Juhani (bagian pemandu keledainya), Asla` bin Syuraik (bagian urusan safari), Bilal (sebagai Mu`adzin), Sa`ad maula Abu Bakar, Abu Dzar al-Ghifari, Aiman bin `Ubaid (bagian menyiapkan tempat bersuci dan yang berkaitan dengannya).

Bagi yang membaca lembaran hayat Nabi, interaksi beliau bersama pembantu sangat mengesankan. Sebagai contoh, simak baik-baik pernyataan `Aisyah berikut ini, “Rasulullah tak pernah memukul sesuatu pun dengan tangannya, baik itu perempuan, maupun pembantu, melainkan dalam jihad (perang) di jalan Allah .” (HR. Muslim).

Sebuah kesaksian luar biasa yang menggambarkan kelembutan dan kasih sayang rasul ﷺ kepada pelayannya.

Sebagai tuan dari pembantunya, beliau ﷺ mengingatkan dengan cara yang baik dan tak pernah membentak.

Ini bisa dilihat dari kesaksian Anas bin Malik, “Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling indah budi pekertinya. Pada suatu hari beliau ﷺ menyuruh Anas untuk suatu keperluan. Ia pun menjawab: “Demi Allah, aku tidak mau pergi (seolah-olah Anas tidak mau melakukan perintah Rasulullah ﷺ, namun hal itu terjadi karena beliau masih kecil), akan tetapi dalam hatiku aku bertekad akan pergi untuk melaksanakan perintah Nabi kepadaku.”

Lalu akhirnya Anas pun pergi, hingga melewati beberapa anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba Rasulullah ﷺ memegang tengkuknya (leher bagian belakang) dari belakang.

Anas bercerita: “Lalu aku menengok ke arah beliau, dan beliau tersenyum.” Lalu kata beliau: ‘ Wahai, Anas kecil! Sudahkah engkau melaksanakan apa yang aku perintahkan?’ “Ya, saya akan pergi untuk melaksanakannya ya Rasulullah..” Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah, selama sembilan tahun aku membantu Rasulullah ﷺ, aku tidak pernah mengetahui beliau menegurku atas apa yang aku kerjakan dengan ucapan: “Mengapa kamu melakukan begini dan begitu.” ataupun terhadap apa yang tidak aku kerjakan, dengan perkataan: “Kenapa tidak kamu lakukan begini dan begini.” (HR. Muslim).

Interaksi luhur dengan pembantu juga bisa dilihat dalam nasihat beliau berikut yang ditujukan kepada Abu Dzar al-Ghifari, “Saudara-saudara kalian adalah budak dan pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan (kekuasaan) kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (kekuasaannya), hendaklah ia memberinya makanan dari apa-apa yang dia makan, memberinya pakaian dari jenis pakaian apa yang dia pakai, dan janganlah kalian membebani (memberi tugas) mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.”(HR. Bukhari).

Pada hadits itu dijelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan agar pelayan diperlakukan sama dengan majikannya. Sehingga, tidak ada yang namanya diskriminasi atau merendahkan profesi pembantu. Mereka –seperti halnya manusia lainnya- memiliki hak untuk memakai pakaian dan makanan yang layak.

Di samping itu, yang tak kalah penting adalah jangan membebaninya tugas di luar kemampuannya. Bahkan, terkait masalah gaji, beliau juga pernah mengingatkan:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)

Artinya, jangan sampai menyepelekan hak dari pesuruh, pembantu atau pekerja. Bila perlu, gaji segera diberikan sebelum keringatnya kering.

Lebih dari itu, Anas menceritakan, saat pembantu nabi ﷺ (anak Yahudi) sedang sakit, dengan cepat beliau ﷺ membesuknya. Beliau juga mendakwahkan Islam padanya. Dengan suka hati –di samping dukungan orang tuanya-, akhirnya pelayan tersebut masuk Islam. Demikianlah akhlak dan interaksi Nabi dengan para pembantunya (HR. Bukhari).

Sebagai tuan atau majikan, beliau mampu menunjukkan tauladan terbaik, sehingga menimbulkan kesan mendalam bagi pembantu-pembantunya sebagaimana Anas bin Malik dan lainnya. Maha Benar Allah yang berfirman dalam Kitab SuciNya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤

“Dan sesungguhnya kamu(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(Qs. Al-Qalam: 4).

Dengan akhlak luhur, beliau sukses menjadi majikan teladan yang patut diteladani oleh semua manusia.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka

SEGALA puji bagi Allah yang telah mengumpulkan kita bersama keluarga kita. Sehingga ketenangan, kenyamanan, kebahagiaan kita dapatkan dalam keluarga kita.

Tentunya kita ingin keluarga kita kekal hingga surga kelak. Tidak terpisah di akhirat kelak. Maka menjadi tugas bagi kita, setiap kepala keluarga, untuk melindungi diri dan anggota keluarga dari api neraka.

Dikutip dari Ibnu Katsir, beberapa atsar salaf tentang ayat: “Quu Anfusakum Wa Ahlikum Naroo” (QS. At Tahrim: 6)

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari seorang lelaki, dari Ali ibnu Abu Talib Radliyallahu ‘Anhu, beliau berkata “Makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka”.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata “Yakni amalkanlah ketaatan kepada Allah dan hindarilah perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta perintahkanlah kepada keluargamu untuk berzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka”.

Sedangkan Mujahid mengatakan, “Yaitu bertakwalah kamu kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah”.

Qatadah mengatakan, “Engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadap-Nya. Dan hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya. Dan apabila engkau melihat di kalangan mereka terdapat suatu perbuatan maksiat terhadap Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka melakukannya”.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Muqatil, bahwa sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim mengajarkan kepada keluarganya baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya– hal-hal yang difardukan oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang dilarang oleh Allah yang harus mereka jauhi.

Hal ini selaras dengan sabda Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam yang memerintahkan agar setiap orangtua (terutama ayah) untuk menyuruh/memerintahkan anak-anaknya mendirikan sholat sedari kecil. Rasulullah bersabda, “Perintahkanlah kepada anak untuk mengerjakan salat bila usianya mencapai 7 tahun; dan apa apabila usianya mencapai 10 tahun, maka pukullah dia karena meninggalkannya” (HR. Abu Dawud).

Memelihara diri dan keluarga dari api neraka, sesuai perintah Allah ini, akan sangat berdampak positif bagi bukan hanya kehidupan pribadi dan keluarga, namun juga kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu apabila tiap kepala keluarga muslim yang ada di Indonesia menjunjung tinggi syariat Allah ini, niscaya semua keluarga muslim di negeri ini akan menjaga sholat mereka. Dan terwujudlah masyarakat Islami, bahkan bangsa dan negara islami. Yakni masyarakat atau bangsa yang mendirikan sholat dan menjaganya.

Melindungi diri dan keluarga dari api neraka tidak hanya dengan melaksanakan perintah Allah Azza Wa Jalla, juga dalam bentuk menjaga diri dan keluarga dari hal-hal yang diharamkan Allah Azza Wa Jalla. Dari aspek tauhid, ibadah, hingga akhlak atau adab terhadap lingkungan. Hendaknya setiap kita memerhatikannya.

Persiapkanlah diri dengan ilmu agama. Terutama ilmu yang kaitannya dengan fardhu ain, atau kewajiban yang dibebankan tiap jiwa. Dan mulailah dari Tauhid. Dengan memahami tauhid, InsyaAllah akan terhindar dari syirik. Kemudian ilmu tentang ibadah yang fardhu ain. Maka dengan ilmu yang kita pelajari dan kemudian pahami, kita bisa mendidik diri dan keluarga kita agar terhindar dari Neraka.

Semoga Allah kumpulkan kita bersama keluarga kita di surgaNya kelak yang kekal abadi. [Quraniy]

INILAH MOZAIK

Jangan Lalai

”Dan, tetaplah beri peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Adz-Dzariyat: 55).

Manusia adalah makhluk yang labil. Salah satu labilitas itu adalah sering lalai. Lalai terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap lingkungan, dan terhadap Tuhannya. Lalai memang manusiawi, tapi jika lalainya berkali-kali dan disengaja, ini sudah di luar batas kemanusiaan. Inilah lalai yang dilarang, yakni lalai berulang kali dan disengaja.

Dalam Alquran, Allah mengecam orang-orang lalai yang seperti itu, ”Sungguh kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yakni, mereka yang melalaikannya.” (QS Al-Ma’un: 4-5).

Manusia lalai berkali-kali dan sengaja setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, menganggap sesuatu sebagai tidak ada gunanya, tidak bermanfaat, tidak menguntungkan dirinya. Anggapan ini jelas keliru jika dikaitkan dengan sesuatu yang memang merupakan suatu kebaikan seperti yang diajarkan oleh agama.

Secara keseluruhan, agama selalu mengajarkan kebaikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Karena itu, jika ada suatu tindakan buruk yang diklaim berlandaskan agama, tindakan itu harus dipertanyakan.

Kedua, berpikir pragmatis dan parsial (setengah hati). Manusia memandang bahwa apa yang dilakukan adalah untuk saat ini. Itu pun untuk sesuatu yang dianggapnya memiliki keuntungan. Orang yang berpikir demikian tidak memikirkan apa yang terjadi hari esok. Dengan kata lain, ia melalaikan hari esok, hanya ingat hari ini.

Allah berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang akan dilakukannya untuk esok hari.” (QS Al-Hasyr: 18).

Lalai membuat orang tidak produktif dan progresif. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, ”Barang siapa menghisab dirinya, maka dia beruntung. Barang siapa lalai terhadap dirinya, dia merugi.” (Kitab Biharul Anwar).

Orang lalai memang akan selalu merugi, karena ia tidak mendapatkan apa-apa selain kalalaian itu. Ayat di atas menegaskan kepada setiap orang untuk tidak lalai karena akibat lalai yang sangat tidak membawa manfaat.

Lalai yang sering-sering tidak lagi manusiawi, tetapi merupakan penyakit akut yang harus diobati dengan peringatan yang berkali-kali. Peringatan ini disebut membawa manfaat yang itu artinya bahwa ingat itu jauh lebih membawa manfaat daripada lalai.

Jika manusia sudah lalai terhadap dirinya sendiri, maka krisis kemanusiaan sedang mengintipnya dan kehancuran tengah merayap mendekatinya. Bangsa ini harus segera sadar dan ingat dengan kondisi krisis yang tengah dihadapi. Jika tidak ingin jatuh ke lubang krisis yang sama atau tetap dalam krisis akibat kelalaian dari para pejabatnya. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Fajar Kurnianto

KHAZANAH REPUBLIKA

Bunyi Surat Raja Kerajaan Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspedesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali scbagai amirul mukminin.

Bahkan sumber-sumber literatur China menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.

Dalam kitab sejarah China yang berjudul Chiu T’hang Sim disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’? menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di China saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Tengah, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.

Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha China yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Batutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Batutah daerah-daerah mana saja yang pemah ia kunjungi.

Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke China. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri China. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Tidak hanya ke negeri China perjalanan dilakukan. Beberapa catatan juga menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke China tanpa melawat terlebih dahulu ke Sriwijaya.

Sebuah literatur kuno Arab berjudul “Aja’ib Al Hind” yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1.000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam karyanya menyebutkan ada korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang masyhur karena adilnya itu.

“Dari Raja di Raja (Malik al Amlak) yang adalah seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.

Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”

Begitulah bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hubungan diplomatik tersebut diperkirakan berlangsung pada tahun 918 masehi. Tak dapat diketahui apakah Raja memeluk Islam atau tidak setelah itu. Tapi hubungan Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi babak baru Islam di Nusantara. [@paramuda/ BersamaDakwah]

Sumber: Nusantara Berkisah oleh Herry Nurdi

BERSAMA DAKWAH





Sedang Junub atau Haid tak Dilarang Berdoa dan Zikir

TIDAK semua ibadah dilarang ketika haid. Wanita haid hanya dilarang melakukan ibadah tertentu.

Dalam Fatwa Islam disebutkan beberapa daftar ibadah yang dilarang untuk dikerjakan ketika haid,

“Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali salat, puasa, tawaf di kabah, dan itikaf di masjid.” (Fatwa Islam no. 26753)

Ibnul Mundzir mengatakan,

“Kami mendapatkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa beliau membaca wiridnya ketika junub. Ikrimah dan Ibnul Musayib memberi keringanan untuk membaca wirid ketika junub.” (HR. Ibnul Mundzir dalam al-Ausath, 2/98).

Berdoa termasuk zikir. Sebagaimana layaknya orang junub boleh berzikir, maka wanita haid lebih ringan kondisinya. Mereka boleh berzikir. Karena itu, wanita haid boleh berzikir.

Imam Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum membaca doa ketika haji bagi wanita haid. Jawaban beliau,

“Tidak masalah, wanita haid atau nifas untuk membaca doa-doa dalam buku ketika manasik haji.” (Fatawa Islamiyah, 1/239)

Mengenai tata caranya, sama persis seperti cara berdoa pada umumnya. Memperhatikan adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, agar doanya lebih mustajab. Misalnya dengan diawali dengan memuji Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

Jangan Tergesa-gesa ke Masjid

SHOLAT berjamaah di masjid adalah amalan utama dalam Islam. Bahkan bagi laki-laki yang mukim dan tidak memiliki udzur syari, ia diwajibkan untuk mendatangi panggilan muadzin untuk sholat berjamaah.

Kemuliaan sholat berjamaah tidak hanya dijelaskan oleh dalil hadits yang ada, namun tergambar pula dari bagaimana agama kita mengatur dan menyikapinya. Di antara aturan agama kita perihal berjalan ke masjid dalam rangka sholat berjamaah adalah ketenangan. Terlarang oleh agama, kita tergesa-gesa dalam memenuhi sholat berjamaah. Hal ini terjadi karena kurangnya ilmu pada sebagian kaum muslimin.

Firman Allah yang artinya:

Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa” (QS. Al Anbiya: 37)

Dan manusia bersifat tergesa-gesa“. (QS. Al Isra: 11)

Dijelaskan oleh ayat di atas, bahwa sifat manusia pada dasarnya tergesa-gesa, tidak sabaran. Maka agama memberi perintah dan rambu agar tergesa-gesa tersebut dapat direm dan diubah.

Di antara kurang ilmunya pelaku yang tergesa-gesa ke masjid, yakni ilmu bab keutamaan waktu antara adzan dan iqamah untuk berdoa. Juga keutamaan shaf pertama serta keutamaan mendapatkan takbiratul ihram imam dan keutamaan-keutamaan yang lain. Untuk menghilangkan penyebab ini, maka pelakunya harus mengilmui keutamaan-keutamaan tersebut.

Hal lain yang menyebabkan seseorang mungkin tergesa-gesa menuju sholat berjamaah di masjid, adalah karena ia menyibukkan diri dengan kepentingan dunia. Padahal urusan dunia adalah selingan di antara lima waktu sholat. Solusi dari hal ini adalah hendaknya ia segera melepaskan diri dari kesibukan duniawinya, dan menyiapkan diri untuk sholat berjamaah sebelum waktu sholat tiba. Sehingga saat adzan berkumandang, ia pun akan dengan tenang berjalan ke masjid.

Akibat dari penyebab-penyebab di atas adalah timbulnya kemalasan saat berjalan memenuhi panggilan sholat. Itu akibat yang ekstrem. Akibat minimalnya adalah seseorang pun mendatangi masjid dengan tergesa-gesa. Ia khawatir saat tiba di masjid ia tidak mendapatkan sholat berjamaah bersama imam rawatib kecuali satu atau dua rakaat.

Hal ini pun sebenarnya tidak disukai agama kita. Hendaklah dia mendatangi masjid dengan tenang dan sholat berjamaah dengan imam sedapatnya mungkin. Bila ada rakaat yang terlewat, ia tinggal hanya menyempurnakannya setelah imam salam.

Jika kalian mendengar iqomah, maka berjalanlah menuju shalat. Namun bersikap tenang dan khusyulah. Gerakan imam yang kalian dapati, ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602).

Mari datangi masjid dengan tenang untuk sholat berjamaah bersama imam rawatib.

Allahu Alam.

oleh Quraniy

INILAH MOZAIK

Mengapa Kita Perlu Nikmat dan Manisnya Iman?

Rasulullah SAW bersabda, “Tiga perkara yang barangsiapa terdapat (ketiga-tiga perkara itu) padanya niscaya dia memperoleh kemanisan iman. Yaitu, Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selainnya, dia mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan dia membenci kekufuran (maksiat) sebagaimana dia benci dilemparkan ke dalam api neraka.” (Hadis Sahih Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ketiga kondisi itu harus senantiasa kita tanamkan dalam hati agar kenikmatan dan kemanisan iman bisa benar-benar kita rasakan.

Mengapa kita memerlukan nikmat dan manisnya iman? Dengan merasakan nikmat dan manisnya iman, kita tidak pernah lagi mengeluhkan letih, penat dan kesulitan dalam berdakwah. Dengan kemanisan Iman, kita akan senantiasa rida dan tawakal dengan semua ujian yang Allah berikan. Dengan nikmat dan manisnya iman, kita senantiasa bersiap siaga untuk Islam.

Kadang kala, kita merasakan penat dan lemah dalam berdakwah. Kadang kala kita merasakan dalam klaim kita, kita telah menyumbang cukup banyak untuk Islam, tetapi yang kita peroleh hanyalah keletihan, kesedihan dan sebagainya. Kadang pula para sahabat, ikhwan kita tampaknya tidak menghargai apa yang kita lakukan bersama. Kadang kala pula para sahabat itu seolah tak peduli akan pekerjaan dan bakti kita.

Saat itulah manis dan nikmatnya iman akan menjaga kita untuk senantiasa bersemangat berjuang di jalan Allah. Bersemangat menapaki hidup, yang memang tak lebih dari ujian dari-Nya.

“Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan” [Alquran: 32:17]. [iluvIslam]

INILAH MOZAIK

Mengapa Kita Dilarang Kencing Berdiri?

Ada sebagian perintah ataupun larangan yang bersifat ta’abbudi (transendental) dan ada pula yang dikategorikan sebagai ta’lili (bisa dirasionalisasikan).  Baik yang bersumber dari Kalam Allah SWT maupun hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Namun, tak semua pesan yang tersimpan di balik kedua hal tersebut mampu ditangkap oleh akal manusia.

Berangkat dari fakta ini, muncul sejumlah karya yang mencoba menguak hikmah dari sebuah perintah atau larangan. Salah satunya datang dari Al Hakim at-Tirmidzi (Bukan pakar hadis, Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi (279 H).

Melalui karyanya yang berjudul Al-Manhiyyat,  tokoh yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Basyar al-Hakim at-Tirmidzi itu, berusaha menguraikan pesan yang terkandung di balik larangan ataupun anjuran-anjuran yang pernah disampaikan oleh Rasulullah.

Ia membatasi ulasannya hanya pada hadis-hadis Rasulullah dengan derajat kesahihan yang beragam. Uraiannya itu diperkuat dengan argumentasi yang berasal dari Alquran, riwayat hadis lainnya, dan pendapat para ulama. Penjelasannya sangat sederhana. Sebab, pembahasan kitab yang salah satu naskah manuskripnya masih tersimpan di Dar al-Kutub, Kairo, Mesir, itu mudah dibaca dan tak terlalu sulit memahaminya.

Namun, analisis dan pembacaan pesan yang tersimpan dalam hadis Rasulullah oleh tokoh yang berasal dari Tirmidz, sebuah daerah yang kini berada di wilayah Uzbekistan dan sebagian barat Kazakhtan, tersebut tergolong mendalam.

Hal ini tak terlepas dari latar belakang tasawuf dan ilmu olah spiritual yang ia dalami. Kedalamannya itu juga tampak di beberapa karyanya. Sebut saja, Ilal al-Ubudiyyah, Syarh as-Shalat wa Maqashiduha, Alhajju wa Asraruhu, dan tentunya mahakaryanya yang terkenal, Khatm al- Awliya.’

Dalam pembukaan kitabnya, tokoh yang hidup hingga 320 H tersebut, menegaskan satu poin penting. Bahwasanya, semua larangan yang diberlakukan oleh Rasulullah kepada umatnya, memiliki tujuan positif dan benar.

Bila peringatan dan larangan itu diikuti, yang bersangkutan akan tetap berada dalam kebenaran. Sebaliknya, bila dilanggar, ia telah tergelincir dari hidayah-Nya.

Fakta tentang hadis larangan memiliki motif dan tujuan ini tak terbantahkan. Namun, barangkali tidak kasat mata oleh kebanyakan orang. Kesimpulannya itu sangat berasalan. Hal ini terlihat jelas pada upayanya menyibak tabir di 170 hadis tentang etika hidup sehari-hari yang ia kutip dalam kitab Al-Manhiyyat. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59] : 7)

Menurut dia, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya memiliki tingkatan yang berbeda. Dalam pandangan sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektualitas yang heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berbagai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab) dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim).

Yang dimaksud dengan nahy adab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri. Misalnya, larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. (QS al-Maidah [6]: 101).

Sedangkan pengertian nahy tahrim, ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak. Sebagaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks.

Misalnya, larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul. (QS al-Maidah [5] : 3).

Nahy tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab, mereka yang melakukannya tidak disiksa.

Hadis adab

Dari total 170 hadis yang ia uraikan, tokoh yang memutuskan terjun di dunia tasawuf saat berusia 27 tahun itu, menitikberatkan pada hadis-hadis adab. Keseluruhan menyangkut etika dan norma-norma hidup sehari-hari.

Hadis yang pertama kali ia uraikan ialah menyangkut tata cara berbusana yang baik. Di antaranya, hadis riwayat Bukhari Muslim dan sejumlah imam hadis lainnya larangan memakai baju (jubah atau gamis–Red) dengan posisi duduk, sementara kedua pahanya terlihat. Cara seperti ini dilakukan dengan bajunya terlipat separuh.

Apa maskud di balik larangan itu? Menurut ulama yang belajar hadis di Nisaphur pada 285 H itu, mengenakan pakaian dengan cara demikian akan memudahkan aurat tampak. Apalagi, bila yang bersangkutan tidak memakai pakaian dalam. Ketika masa awal Islam hadir di tengah-tengah masyarakat jahiliah, mereka belum terbiasa menutup aurat. Bahkan, tatkala mereka melaksanakan tawaf di Ka’bah sekalipun. Aurat mereka terlihat.

Maka saat Islam datang, bangsa Arab diperintahkan untuk menutup aurat mereka sebisa mungkin dan menjaga pandangan agar tidak melihat aurat orang lain.

Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya’. (QS an-Nuur [24] 31). Larangan yang tersebut dalam hadis di atas, pada dasarnya ialah bentuk pendisiplinan kepada mereka.

Al-Hakim at-Tirmidzi juga menyebutkan pesan yang ada di balik larangan kencing dengan posisi berdiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah menegaskan hal itu. Menurut analisis al-Hakim, ada dua motif pelarangan tersebut. Yaitu alasan yang pertama, posisi berdiri saat kencing rawan terkena percikan air seni.

Sedangkan, najis yang diakibatkan oleh kelalaian saat buang air kecil tersebut, bisa berujung pada siksa di alam kubur. Riwayat lain yang dinukil oleh Thabrani dan dan Al Bazzar menjelaskan peringatan tersebut. Rasulullah bersabda, Pastikanlah kalian bersih dari (najis) air seni, karena sesungguhnya sebagian besar azab kubur akibat (najis) air seni. Oleh karena itu, Rasulullah di riwayat lainnya menganjurkan agar kencing sambil duduk.

Sedangkan, motif yang kedua dari larangan kencing berdiri ialah berkenaan dengan kesehatan yang bersangkutan. Menurut tokoh yang terusir dari Tirmidz lalu pindah ke Balkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial: Khatm al-Awliya’ dan ‘Ilal Asy Syari’at itu, posisi berdiri kurang mendukung bagi kelancaran membuang air seni.

Di saat berdiri, vena terus aktif dan jantung tetap memompa darah dengan kencang. Semuanya bermuara di jantung. Berbeda dengan posisi duduk. Dengan posisi ini, jantung akan perlahan mengalami rileksasi. Dengan duduk pula, saluran kencing akan mudah terbuka dan semakin melancarkan. Kesemuanya itu tidak didapatkan lewat posisi berdiri.

Dan, menutup karyanya tersebut, al-Hakim menjelaskan larangan mengadakan transaksi menggunakan emas ditukar dengan emas. Larangan itu berlaku selama nilai dan kadarnya tidak setara.

Bila jual beli dengan emas sementara nilainya berbeda, menurut sosok yang terinspirasi dan belajar agama dari sang ayah, Syekh Ali, praktik semacam ini dikategorikan riba. Dan riba adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama. Selain itu, riba juga merugikan salah satu atau kedua belah pihak.