Masuk Islam setelah Menguji Keajaiban Alquran

SATU-satunya kitab suci yang dijamin selalu autentik oleh Allah hanyalah alquran. Allah berfirman, “Sungguh Kami yang telah menurunkan alquran dan Kamilah yang akan menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)

Sementara Taurat dan Injil, kitab ini Allah turunkan kepada Bani Israil, namun Allah tidak memberi jaminan untuk menjaganya. Namun penjagaan itu Allah serahkan kepada manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (QS. al-Maidah: 44)

Dan hasilnya bisa kita lihat, teks asli alquran tidak pernah mengalami perubahan, padahal usianya lebih dari 14 abad. Teks aslinya selalu ada, tidak kurang tidak lebih. Alquran apapun yang anda jumpai, diterjemahkan ke bahasa apapun, teks aslinya pasti dicantumkan di samping terjemahan. Berbeda dengan taurat dan injil, hingga sekarang, manusia kesulitan untuk menemukan teks injil yang asli. Bahkan orang tidak pernah tahu, kapan teks aslinya dihilangkan. Mereka bisa menemukan Injil dengan bahasa tertua, bahaya yunani. Tapi itu bukan teks asli Injil.

Sehingga upaya manusia untuk mengubah Injil sangat mudah. Dan itulah yang terjadi. Revisi terjemah Injil, berarti Injil seutuhnya. Karena teks aslinya tidak ada. Al-Qurthubi menceritakan dengan sanadnya sampai kepada Yahya bin Aktsam, Kisah ini terjadi di zaman Khalifah Abbasiyah, Khalifah al-Makmun.

Suatu hari beliau bertemu orang yahudi di sebuah majelis, pakaiannya bagus, wajahnya bagus, baunya harum, dan jika bicara sangat indah didengar dan ungkapannya bagus. Setelah majelis usai, Makmun memanggil orang ini.

Bani Israil? tanya Makmun.
Benar. Jawab yahudi.
Silahkan masuk islam, nanti kamu saya janjikan xxx Al-Makmun menjanjikan banyak hal.
Ini agamaku dan agama bapakku. Jawab yahudi, lalu dia pergi.

Setelah setahun, bani Israil ini datang lagi di majelis khalifah al-Makmun, tapi kali ini sudah masuk islam. Dia bisa menjelaskan tentang fikih dan masalah agama dengan bagus. Seusai majlis, orang ini dipanggil al-Makmun.

Bukankah kamu orang yang tahun kemarin datang? tanya al-Makmun.
Benar. Jawab beliau.
Apa yang membuatmu masuk islam? tanya al-Makmun.

Dia mulai bercerita: Setelah saya meninggalkan anda, aku melakukan eksperimen untuk ketiga agama: nasrani, yahudi dan islam. Orang mengakui tulisanku bagus. Akupun menulis Taurat sebanyak tiga naskah. Di sana aku tambahi dan aku kurangi. Lalu aku bawa ke Sinagog, tulisan 3 lembar itupun mereka beli. Lalu aku menulis Injil sebanyak 3 naskah. Saya beri tambahan dan saya kurangi. Lalu saya bawa ke gereja, dan mereka membelinya dariku.

Kemudian aku menulis alquran sebanyak 3 naskah. Saya beri tambahan dan saya kurangi. Lalu saya bawa ke penerbit alquran. Mereka buka-buka. Ketika mereka melihat ada tambahan dan ada yang kurang, mereka langsung membuangnya. Dan tidak mau membelinya dariku. Di sana aku sadar, bahwa kitab ini mahfudz (terjaga). Inilah sebab aku masuk islam. (Tafsir al-Qurthubi, 5/10).

Dan mukjizat ini terbukti. Di dunia ini ada ribuan manusia muslim hafidz alquran di luar kepala. Di sana ada lembaga yang meneliti tafsir alquran. Di sana ada lembaga yang mengkaji qiraah alquran. Bahkan ada lembaga yang membidangi mukjizat ilmiah alquran, kajian antar alquran dengan sains modern.

Beberapa kali orang barat dan orang syiah membuat teks alquran baru. Mereka tawarkan ke masyarakat. Menyebar di dunia maya. Tapi tetap saja, semua upaya itu nihil hasilnya. Itulah bukti bahwa alquran adalah kitab suci yang terjaga. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Mencari Waktu Mustajab pada Hari Jumat

BERDOA merupakan ibadah yang wajib kita lakukan. Sebagai makhluk dhoif (lemah), manusia sangat bergantung pada Sang Khalik. Sebagai orang beriman, tentu saja kita membutuhkan Allah dalam mengatasi ujian dunia.

Dalam hadits yang berlainan, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam menyebutkan waktu-waktu yang mustajab. Yakni waktu-waktu yang apabila kita berdoa, maka Allah kabulkan doa kita. Tentu apabila kita berdoa, alangkah baiknya memerhatikan waktu mustajab agar Allah mengabulkan pula doa kita.

Salah satu waktu mustajab adalah (pada) hari Jumat. Disebutkan dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,Di hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas dia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang dia minta. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad).

Berdasar dalil hadits di atas, kita jadi tahu bahwa salah satu waktu mustajab dalam berdoa adalah Hari Jumat. Kalau kita perhatikan hadits di atas, kita dapat memahami bahwa waktu tersebut tidaklah sepanjang hari Jumat. Ini diisyaratkan sabda beliau bertepatan dengan waktu tersebut. Namun dalam hadits di atas, Nabi juga tidak menyebutkan kapan tepatnya waktu yang di maksud.

Menurut pendapat (ulama) yang dikenal di kaum muslimin secara luas, ada dua waktu yang mustajab pada hari Jumat. Pertama, waktu mustajab itu adalah waktu antara duduknya imam sampai selesainya shalat jumat.

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al Asyari. Ia berkata, Abdullah bin Umar bertanya padaku, Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyebut suatu hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai waktu mustajabnya doa di hari Jumat? Abu Burdah menjawab, Iya betul, aku pernah mendengar dari ayahku (Abu Musa), ia berkata bahwa Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda,Waktu tersebut adalah antara imam duduk ketika khutbah hingga imam menunaikan shalat Jumat. (HR. Muslim dan Abu Daud).

Tersebut pula hadits dari Amr bin Auf al-Muzanni Radhiyallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya pada hari jumat terdapat satu waktu, jika para hamba memohon kepada Allah, pasti akan dikabulkan oleh Allah. Para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, waktu kapankah itu?. Jawab beliau, Ketika shalat dimulai hingga selesai shalat.(HR. Turmudzi dan Ibn Majah).Namun hadis ini dinilai dhaif oleh al-Albani dan Syuaib al-Arnauth.

Kedua, waktu mustajab itu jatuh setelah asar pada hari Jumat. Hadits-hadits yang mendukung pendapat ini ada beberapa. Dua di antaranya adalah pertama hadits dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Di hari Jumat terdapat suatu waktu, dimana jika ada seorang hamba muslim yang memanjatkan doa kepada Allah bertepatan dengan waktu tersebut, Allah akan memberi apa yang dia minta. Waktu itu adalah seteah Ashar. (HR. Ahmad 7631 dan dinilai shahih Syuaib al-Arnauth).

Sedangkan hadits kedua yang menunjukkan waktu mustajab pada Hari Jumat adalah bada ashar adalah hadist dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Pada hari jumat ada 12 jam. (Di antaranya ada satu waktu, apabila ada seorang muslim yang memohon kepada Allah di waktu itu, niscaya akan Allah berikan. Carilah waktu itu di penghujung hari setelah Ashar. (HR. Abu Daud dan Nasai).

Allahu Alam.

INILAH MOZAIK

 

Salahuddin al-Ayyubi? Ini Jawabannya

Para pakar medis mencoba menelusuri penyebab kematian dengan data yang ada.

Ada saja upaya sejarah untuk kembali menguak misteri yang belum terungkap pada masa lalu. Satu dari sekian usaha itu, adalah mengungkap teka-teka penyebab kematian para tokoh-tokoh.

Sebut saja misalnya penelusuran sejumlah pakar tentang kematian Florence Nightingale, pelopor perawat modern, penulis dan ahli statistik. Tokoh yang dikenal dengan julukan Bidadari Lampu tersebut meninggal pada 1910. Ada pula upaya penelusuran sebab kematian Charles Robert Darwin, sang pencetus teori evolusi.

Nah, belakangan, upaya yang sama juga dilakukan para ahli untuk mengungkap sebab kematian pendiri Dinasti Ayyubiyah, Salahuddin al-Ayyubi yang wafat pada 1193 di usi 56 tahun.

Mengutip Arabicpost, yang dinukilkan dari The Guardian, Steven Gluckman, guru besar kedokteran di Universitas Pennsylvania, mengakui sulitnya menemukan penyebab kematian Salahudiddin.

Ini karena minimnya informasi, dan bukti fisik, sementara kesaksian-kesaksian sejarah sebagiannya diragukan. Kendati demikian yang hanya diduga secara kuat adalah waktu sakit Salahuddin sebelum meninggal, yaitu dua pekan.

Pembahasan ini pun pernah mengemuka pada Konferensi klinikopatologis Sejarah di Amerika Serikat. Beberapa kemungkinan penyebab kematian Salahuddin, dalam diskusi yang cukup panjang, adalah antara lain pusing dan demam kuning (yellow jack) yang diakibatkan serangan virus melalui gigitan nyamuk, ada pula kemungkinan meningitis.

Namun Gluckman, berdasarkan analisis bukti minim yang ada, dia memprediksi kemungkinan lain yang menjadi penyebab wafat Salahuddin yaitu akibat infeksi bakteri dan atau tipus. Hal ini berangkat dari fakta bahwa, pada masa itu, penyakit mematikan dengan masa sakit selama dua pekan biasanya adalah infeksi bakteri dan tipus.

Namun, prediksi ini dibantah sebagian pakar. Hal ini mengingat, bukti sejarah yang ada juga menyebutkan Salahuddin tidak pernah menderita sakit apapun di perutnya. Apalagi, catatan sejarah tersebut dikisahkan oleh para penulis yang tak memiliki latar belakang medis.

REPUBLIKA

Umat Islam Jangan Diamkan Saudaranya Lebih 3 Malam

DARI Abu Ayyub Al Anshar berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi dari tiga malam; yang (jika bertemu) saling berpaling antara yang satu dengan yang lainnya. Dan sebaik-baik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari)

Hikmah Hadis:

1. Bahwa di antara bentuk ukhuwah Islamiyah antara sesama muslim adalah saling tegur sapa, saling mengucapkan salam dan juga saling mendoakan antara satu dengan yang lainnya. Karena pada hakikatnya, sesama muslim adalah bersaudara, dan oleh karenanya hendaknya setiap muslim saling menjaga ikatan persaudaraan dengan muslim lainnya.

2. Maka antara sesama muslim tidak boleh saling mendiamkan, tidak saling bertegur sapa, bahkan saling membuang muka antara satu dengan yang lainnya. Bahkan dalam riwayat lainnya disebutkan, bahwa Allah tidak akan menerima amalan dua orang muslim yang tidak bertegur sapa dan saling mendiamkan lebih dari tiga hari.

3. Kendatipun terjadi perselisihan antara dua orang muslim, maka yang paling baik dimata Allah Ta’ala diantara keduanya adalah yang paling terlebih dahulu menegur dengan mengucapkan salam. Mudah-mudahan Allah Ta’ala meridai dan melanggengkan ukhuwah islamiyah antata sesama kita.

Amiiin Ya Rabbal Alamin.

Wallahu A’lam.

 

Ustaz Rikza Maulan, Lc, M.Ag

INILAH MOZAIK

Hal yang Perlu Diwaspadai dari Penetapan BPIH Lebih Awal

Komisi Nasional (Komnas) Haji dan Umrah mengingatkan tentang risiko percepatan penetapan BPIH.

Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, mengatakan langkah percepatan penetapan BPIH bukan berarti tanpa risiko sama sekali. Rentang waktu penyelenggaraan ibadah haji relatif masih cukup lama.

“Akan ada potensi BPIH yang telah ditetapkan bisa saja tertekan dan tergerus oleh beberapa faktor, utamanya faktor eksternal,” kata Mustolih kepada Republika.co.id, Rabu (6/2).

Ia mengingatkan, jika harga avtur naik, terjadi depresiasi mata uang Rupiah terhadap mata uang asing khususnya dolar dan riyal, serta ada kebijakan pemerintah Arab Saudi yang kurang pro terhadap jamaah haji Indonesia, akan menyebabkan asumsi BPIH menjadi meleset. Sebab harga-harga barang dan jasa akan naik.

Hal ini menrut dia, menyebabkan BPKH harus mengeluarkan subsidi dana dari dana optimalisasi yang berasal dari dana calon jamaah haji yang belum berangkat.

Tentu akan menimbulkan kerancuan dan ketidakadilan serta berpotensi mengacaukan postur dana haji jika subsidi dana optimalisasi terlalu besar.

“Sebab bisa merugikan pihak lainnya yakni jamaah haji yang masih menunggu antrean, Komnas Haji dan Umrah tentu berharap hal demikian tidak terjadi dan mendorong penyelenggaraan ibadah haji saat ini lebih baik dari tahun sebelumnya,” ujarnya.

Mustolih menegaskan, jangan sampai karena tidak ada kenaikan BPIH, malah tidak ada kenaikan servis, fasilitas dan layanan dari penyelenggara kepada jamaah. Meski demikian, pihaknya mengapresiasi percepatan penetapan BPIH.

Komnas Haji dan Umrah juga mendorong Kementerian Agama dan DPR RI mengawal kesepakatan BPIH. Supaya segera disampaikan kepada presiden dan ditetapkan melalui keputusan presiden. “Lebih cepat lebih baik agar segera disosialisasikan kepada masyarakat luas,” ujarnya.

Kementerian Agama dan DPR RI menyepakati besaran rata-rata BPIH 1440H/ 2019 M sebesar Rp 35,235.602. Meski besaran direct cost 2018 dan 2019 sama, Kementerian Agama tetap berupaya meningkatkan pelayanan dan fasilitas untuk jamaah haji.

 

IHRAM

Hijrah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah

Wadi Usfan merupakan perlintasan para nabi dan rasul-Nya, khususnya antara Makkah dan Madinah. Sebagaimana dikutip Sami bin Abdullah al-Maghluts dalam Athlas Tarikh al-Anbiya` wa ar-Rusul (Atlas Sejarah Nabi dan Rasul), sekitar 70 orang nabi dan rasul pernah melewati lembah Usfan ini, untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah (Ka’bah).

Tujuan berhaji, selain untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada Allah, tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Sang Mahakuasa (taqarrub ilallah). Mereka berhijrah untuk mencari ketenangan dan kedamaian dalam hidup, serta mengharapkan petunjuk Allah untuk mengajak kaumnya beriman kepada-Nya.

Dr Ahzami Samiun Jazuli dalam bukunya Al-Hijratu fi Qur’an al-Karim (Hijrah dalam Pandangan Alquran), menjelaskan, sesungguhnya hijrah sudah merupakan sunatullah atau fitrah manusia sejak dahulu kala. Hijrah dilakukan untuk meninggalkan sesuatu yang buruk dan mencari kehidupan yang lebih baik.

Ahzami menyebutkan, sesungguhnya, hampir seluruh nabi dan rasul-rasul Allah, melaksanakan hijrah. Mulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW, termasuk umat-umat terdahulu. Nabi Adam hijrah dari India ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan akhirnya bertemu dengan Siti Hawa di Jabal Rahmah, Arafah, Makkah.

Nuh AS melakukan hijrah untuk menghindari kaumnya yang suka berbuat kemaksiatan dan enggan menerima seruan dakwah. Ibrahim hijrah dari Syam dan Palestina ke Makkah. Musa, hijrah dari Mesir ke Palestina, Ashabul Kahfi, melaksanakan hijrah ke sebuah gua untuk menghindari kekejaman penguasa yang zalim. Dan Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, agar mudah menjalankan syariat Allah.

Dalam kitabnya Mabahits fi Tafsir al-Maudlu’i, Dr Musthafa Muslim menyebutkan, hijrah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul itu, dalam rangka mencari kedamaian dan ketenangan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.

Alquran menginginkan, dengan berhijrah itu akan muncul kelompok orang yang beriman, menunjukkan keluhuran budi pekerti, dan taat menjalankan ibadah kepada Allah.

Peta Jalan Menuju “Kampung Akhirat”

UMAT Islam meyakini bahwa kehidupan ini tidak hanya berhenti pada urusan duniawi saja, melainkan juga kelak kita akan kembali pada Tuhan Semesta Alam, Pemilik sejati, dengan melalui pintu kematian, sebagaimana yang ditetapkan pada setiap makhluk hidup. “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” (QS. Ali Imran : 185).

“Setelah itu kami bangkitkan kamu sesudah mati” (QS. Al Baqarah : 56).

“Dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur” (QS. Al Hajj : 7).

Sayangnya, tidak sedikit orang yang sibuk melakukan segala sesuatu untuk mengejar dunia (saja), dan lupa bahwa dirinya kelak akan pulang kampung. Sehingga ada sebagian orang yang ketika pulang kampung bisa selamat, dan ada pula yang sebaliknya.

Hal ini, selain karena kehendak Allahyang Maha menentukan segala keputusansiapa yang kelak akan diselamatkan dan tidakjuga karena kita, sebagai manusia telah salah melangkah atau kurang tepat dalam menjalankan sesuatu.

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (2:281)

Bahkan, ironisnya kesalahan langkah ini kerap terjadi akibat peta tujuan yang kita gunakan sejak awal memang tidak tepat atau salah.

Misalnya, tujuan kita akan pergi ke Indonesia, namun peta yang kita gunakan merupakan peta Malaysia. Maka, sampai kapan pun, bukankah kita tidak akan sampai ke tempat tujuan? Begitu pun kita dalam melakukan segala sesuatu.

Karenanya, peta yang baik dan sesuai merupakan kunci utama ketepatan kita dalam mewujudkan sukses atau tidaknya kita melakukan perjalanan. Islam, yang menghendaki kebaikan bagi umatnya, bahkan sudah jauh hari mengingatkan pentingnya peta ini. Yakni, dengan memulai segala aktivitas, termasuk bekerja, mencari rezeki dan kegiatan lainnya dengan disertai niat yang baik. Sehingga kelak berpengaruh pada tujuan akhir kita.

Tak heran bila Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf dalam pengajian rutinan Majelis Ahbabul Musthofa di Solo, pekan lalu, mengimbau seluruh manusia untuk meluruskan niat aktivitas.

Beliau mengaku, bahwa setiap melakukan aktivitas, selalu menyertakan niat seperti niat Ali ra dan niat Rasulullah Saw.

“Setiap kali memulai majelis ini, saya selalu berniat, nawaina ma nawaa habib ali, ma nawaa Rasulullah (jadikan niat kami seperti niat Habib Ali dan niat Rasulullah),” katanya.

Menurut beliau, niat merupakan jantung setiap aktivitas yang dilakukan manusia. Karenanya, mengawali semua perbuatan dengan niat baik sangatlah penting.

“Awali semua perbuatan kita, dengan niatan yang baik,” ujar Habib Syekh.

Seorang ulama besar Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad setiap hari ketika bangun tidur menuliskan setidaknya 100 niat baik yang akan dikerjakan pada hari itu, lanjutnya mencontohkan.

“Ia menulis 100 niat. Hal yang diniatkan olehnya bukan untuk mencari rizki, tetapi mencari ridha Allah, berbakti kepada orang tua, dan lain sebagainya,” kata Pengasuh Majelis Ahbabul Musthofa ini.

Apa yang diungkapkan Habib Syekh ini tampaknya sejalan dengan hadis Nabi,”Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Kami mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).” (HR Ibnu Majah 4105, Ahmad 5/183, Ad-Daarimi 229, Ibnu Hibban 680)

Ya, bukankah suatu kerugian bila apa yang kita lakukan tidak bernilai apa pun di hadapan-Nya? Bukankah bayaran tertinggi yang sesungguhnya paling diharapkan dan dinanti setiap Muslim adalah perjumpaan dengan-Nya? Dan, bukankah semua hal yang kita lakukan dengan tujuan mengharap ridha-Nya dan dilakukan dengan cara yang benar, niscaya bisa menjadi bekal kelak saat kita pulang kampung akhirat? Wallahua Alam Bishawab.[islamindonesia]