Hati Adalah Cermin, Sudahkah Jernih dan Bening?

HATI itu bagaikan cermin. Ia mungkin saja bening, jernih dan memancarkan bayangan seindah aslinya. Namun ia juga bisa jadi buram, kotor dan menampakkan wajah kepalsuan.

Orang yang waras pasti menyukai cermin yang bening yang mampu memberikan gambaran kenyataan sebagaimana adanya. Hanya orang yang gila yang menyukai cermin buram dan kotor untuk menutupi kekurangan dan kekotoran dirinya sendiri. Ada kaidah sosial yang sering kita saksikan kebenarannya: “Orang kotor seringkali menuduh orang lain itu kotor untuk menyembunyikan kekotoran dirinya.”

Hati orang mukmin bagaikan cermin yang dimiliki seorang pengantin perempuan. Tak pernah dibiarkan cerminnya kotor sedikitpun karena setiap saat selalu ia gunakan untuk melihat tampilan dirinya. Hati orang fasik adalah bagai cermin yang dimiliki lelaki sepuh buruk muka, cermin itu tak pernah dibersihkan karena ditatapnyapun hanya setahun sekali.

Hati perlu bening biar bias cahaya semakin terang benderang. Jangan biarkan hati itu kotor dan gelap karena ia tak akan mampu memantulkan apa-apa dan bahkan senang bersahabat dengan kegelapan itu sendiri. Hati yang gelap akan disukai oleh iblis dan setan, karena iblis dan setan memang penyuka kegelapan. Sementara itu hati yang bening bercahaya akan disuka oleh Allah dan mailakat-malaikatNya.

Saudaraku dan sahabatku, kalau Anda melihat film horor, hantu, genderuwo, kuntilanak dan sejenisnya selalu muncul dalam kegelapan. Tidak pernah para setan itu muncul dalam cuaca terang benderang. Kalaupun ada, itu penulis skenario dan sutradaranya salah paham pada dunia iblis dan setan.

Sekarang, bagaimanakah caranya membeningkan hati? Sungguh jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat penting utuk diketahui demi kebahagiaan hati kita, demi kebercahayaan hati kiti. Semoga ita ada waktu untuk membahasnya. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif laam Miim Surabaya. [*]

 

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

Al-Qur’an Membangun Karakter Indah dalam Dirimu

Al-Qur’an membimbing segala urusan yang menuntun manusia untuk meraih kebahagiaan. Al-Qur’an menuntun tentang cara hidup dihadapan Allah, dihadapan dirinya sendiri dan dihadapan sesama manusia. Al-Qur’an juga mengatur cara hidup manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Semuanya telah diatur dan difasilitasi sehingga siapa yang benar-benar mengikuti tuntunan Al-Qur’an akan meraih kata “bahagia” yang sebenarnya.

Bukankah Al-Qur’an telah menyifati dirinya,

مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ

“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab.” (QS.Al-An’am:38)

Al-Qur’an tidak hanya mengatur cara ibadahmu. Namun Al-Qur’an juga membimbingmu untuk memiliki karakter yang baik, kuat dan optimis. Bahkan Al-Qur’an juga mengatur cara berjalanmu, cara bicaramu, volume suaramu dan apa yang semestinya keluar dari lisanmu.

Al-Qur’an telah memberi cara agar suaramu tidak menganggu yang lain dan kata-katamu memiliki nilai yang bermanfaat, tidak keluar dengan sia-sia.

Al-Qur’an juga membimbing caramu mengatur penghasilanmu, pengeluaranmu dan dimana layaknya hartamu dikeluarkan.

Al-Qur’an membimbingmu untuk menjadi pribadi yang jujur, tidak bermuka dua dan menghindari sifat khianat.

Al-Qur’an membimbingmu menuju solat yang khusyu’ dan diluar solatmu tetap menjadi pribadi yang penuh kebaikan.

Al-Qur’an membimbingmu agar memiliki hati yang bersih. Bersih dari kedengkian, rasa iri dan hasut.

Al-Qur’an membimbingmu bagaimana cara untuk mengatur emosimu, menahan marahmu dan mudah memberi maaf kepada orang lain.

Semuanya telah diatur secara rinci dalam Al-Qur’an. Dalam genggamanmu setiap hari !

إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَبِيرٗا

“Sungguh, Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (QS.Al-Isra’:9)

Sekarang semuanya tergantung kepada pola pikirmu. Apakah engkau masih menganggap ada konsep hidup yang lebih baik dari Al-Qur’an? Adakah bimbingan hidup yang lebih indah dari Al-Qur’an?

Jika engkau masih punya pandangan semacam ini maka sungguh engkau jauh dari Allah swt, jauh dari kebenaran dan jauh dari kebahagiaan yang sesungguhnya.

Karena sumber kebahagiaan hanya dari Allah dan telah ditentukan jalannya dalam Al-Qur’an.

طه – مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ

“Tha Ha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS.Tha-Ha:1-2)

Al-Qur’an tidak diturunkan untuk mengantarmu menuju kesulitan dan kesengsaraan. Namun Al-Qur’an datang untuk mengatur setiap sisi dari hidupmu agar engkau meraih ketentraman dan kebahagiaan.

Maka berkacalah dengan Al-Qur’an, sejauh mana engkau telah mengikuti tuntunan-Nya?

Semoga bermanfaat

 

KHAZANAH ALQURAN

Penghambat Qiamulail

Ibadah malam adalah sunah yang utama, salah satunya Qiamulail

Ibadah malam adalah sunah yang utama. Rasulullah sendiri tidak pernah melewati malam-malamnya, melainkan selalu dihiasinya dengan qiamulail (Tahajud). Bahkan, satu hadis meriwayatkan, apabila qiamulail, Rasulullah melakukannya dengan penuh kesungguhan, hingga bengkak kedua tapak kakinya.

Hal ini menunjukkan bahwa qiamulail adalah momentum penting yang seyogianya setiap Muslim tidak melalui malam, kecuali dengan mengikuti kebiasaan mulia Rasulullah itu. Di dalam Alquran, secara eksplisit Allah SWT menegaskan umat Islam untuk bangun di tengah malam. “Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari.” (QS al-Muzzammil: 1-2).

Qiamulail Allah tegaskan adalah momentum yang baik untuk menyerap makna Alquran secara lebih berkesan, sehingga jiwa dapat merasakan ketenangan dan kenyamanan kala membacanya. “Sesungguhnya, bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS al-Muzzammil: 6).

Sementara itu, pada ayat yang lain Allah menjelaskan maksud dari diperintahkan qiamulail ini. “Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS al-Isra: 79).

Namun demikian, ibadah ini tergolong tidak mudah untuk diamalkan. Apalagi, jika memang niat dan upaya yang dipersiapkan untuk bisa qiamulail tidak benar-benar maksimal. Utamanya, dalam hal menjaga hati. Sebab, ternyata di antara sekian banyak penghambat seorang Muslim bisa qiamulail satu di antaranya adalah berprasangka buruk.

Hal inilah yang dialami ulama sufi Sufyan ats-Tsauri sebagaimana termaktub dalam kitab Mi’atani Hikmah Min Hikam Ash-Shahabah wa Ash-Shalihin. Suatu ketika, Sufyan berkata, “Aku terhalangi untuk melakukan qiamulail selama lima bulan karena dosa yang telah aku perbuat.” Dikatakan, “Dosa apa itu?” Ia menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki menangis tatkala shalat, lalu aku katakan, ia adalah orang yang riya.”

Dengan demikian, satu di antara syarat utama untuk terhindar dari penghambat qiamulail adalah tidak berprasangka buruk terhadap siapa pun, lebih-lebih terhadap mereka yang melakukan amal kebajikan. Memastikan hati dalam kondisi bersih juga merupakan syarat yang tidak boleh disepelekan agar kita benar-benar mampu mengisi sepertiga malam kita dengan qiamulail.

Dari apa yang dialami Sufyan ats-Tsauri ini dapat diambil hikmah bahwa disunahkannya qiamulail bagi umat Islam tidak lain agar dalam sehari semalam, hati senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak perlu, apalagi haram. Dengan begitu, semangat ibadah akan dimudahkan Allah SWT.

Sungguh suatu kerugian yang nyata apabila seorang Muslim, lebih-lebih yang mendakwahkan ajaran Islam, melewatkan malam harinya tanpa qiamulail. Oleh karena itu, mari kita jaga hati dari berprasangka buruk, iri, dan dengki. Sebab, pangkal segala penghambat dalam melakukan amal kebaikan adalah dari rusaknya hati yang dibiarkan. Wallahua’lam.

 

Oleh: Imam Nawawi

KHAZANAH REPUBLIKA

Haruskah Melepas Gigi Palsu dari Mulut Mayit?

PERTAMA, diperbolehkan bagi orang yang mengalami cacat di salah satu anggota badannya, untuk memperbaikinya atau menambalnya dengan benda lain, sekalipun dengan emas. Berdasarkan hadis Urfujah bin Asad radhiyallahu anhu, bahwa hidungnya pernah terpotong karena terkena pedang ketika perang. Kemudian ditambal perak, namun luka hidungnya makin parah. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam menasehatkan agar ditambal dengan emas, dan ternyata cocok. (HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Kedua, jenazah muslim wajib disikapi sebagaimana orang hidup. Artinya tidak boleh dikerasi, tidak boleh dilukai, atau diambil bagian tubuhnya, apalagi dipatahkan tulangnya. Dari Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mematahkan tulang mayit, statusnya sama dengan mematahkan tulangnya ketika masih hidup.” (HR. Abu Daud 3207, Ibnu Majah 1616, dan yang lainnya).

Mengingat hadis ini, Fatawa Syabakah Islamiyah menegaskan satu kaidah, “Bagian prinsip penting dalam syariat, kehormatan seorang muslim ketika sudah mati statusnya sama dengan kehormatannya ketika masih hidup. Karena itu, tidak boleh dilanggar kehormatannya.” (Fatawa Syabakah islamiyah, no. 12511)

Ketiga, para ulama menegaskan bahwa tidak wajib mengambil benda asing yang ada pada tubuh mayit. Makna tidak wajib, artinya keberadaan barang itu di tubuh mayit, tidak memberikan dampak apapun bagi mayit. Keberadaan benda itu, tidaklah menyebabkan si mayit menjadi tertahan amalnya atau dia tidak tenang, atau keyakinan semacamnya.

Dalam kitab al-Inshaf, al-Mardawi al-Hambali (w. 885 H) mengatakan, “Dalam kitab al-Fushul dinyatakan, jika ada orang yang butuh untuk mengikat giginya dengan emas, kemudian giginya diberi kawat emas. Atau dia butuh hidung emas, kemudian dia diberi hidung emas lalu diikat, kemudian dia mati, maka tidak wajib dilepas dan dikembalikan kepada pemiliknya. Karena melepasnya menyebabkan menyayat mayat.” (al-Inshaf, 2/555).

Hal yang sama juga disampaikan Ibnu Qudamah, “Jika tulang seseorang ditambal dengan tulang hewan lain, lalu ditutup, kemudian dia mati, maka tidak boleh dilepas, jika tulang pasangan itu suci. Namun jika tulang pasangan itu najis, dan memungkinkan untuk dihilangkan tanpa menyayat mayit maka dia diambil. Karena ini termasuk benda najis yang mampu untuk dihilangkan tanpa membahayakan. Namun jika harus menyayat mayit maka tidak perlu dilepas.” (al-Mughni, 2/404).

Dari keterangan di atas, pada prinsipnya melepas benda yang ada di jasad mayit tidak diperbolehkan, kecuali jika ada 2 pertimbangan

Ada maslahat besar untuk mengambil benda itu, misalnya karena nilainya yang mahal atau karena benda yang ada di tubuh mayit itu najis. Tidak membahayakan bagi mayit, misal tidak menyebabkan harus menyayat mayit. Selain itu, tidak diperbolehkan mengambilnya.

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Bagaimana hukum gigi emas atau semacamnya yang dipasang seseorang ketika hidup. Apakah dikubur bersama mayit ataukah boleh dilepas?.

Jawabannya, jika benda itu tidak bernilai, tidak masalah dikubur bersama mayit, seperti gigi yang bukan emas atau perak, atau hidung palsu yang bukan emas. Namun jika benda itu bernilai, maka boleh diambil, kecuali jika dikhawatirkan akan merusak badan mayit, misalnya ketika gigi itu diambil akan merusak rahang, maka gigi itu dibiarkan untuk dikubur bersama mayit.” (as-Syarh al-Mumthi, 5/283).

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

Tambahan Kuota Haji Akan Segera Ditindaklanjuti Kemenag

Jakarta (PHU)—Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membenarkan bahwa Pemerintah Arab Saudi telah memberikan tambahan kuota untuk jemaah haji Indonesia sebanyak 10ribu. Tambahan kuota ini diberikan Raja Salman kepada Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Arab Saudi. Diketahui, Presiden bertemu dengan Raja Salman di Istana Pribadi Raja (Al-Qasr Al-Khas) pada Minggu (14/4/2019) sore.

“Info tentang penambahan kuota benar adanya. Saat ini, tambahan kuota tersebut juga sudah masuk dalam sistem e-Hajj Saudi,” terang Menag Lukman di Jakarta, Senin (15/04).

“Sebagai tindak lanjut, kami akan segera melakukan pembahasan dengan DPR,” lanjutnya.

Menurut Menag, pembahasan dengan DPR dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) perlu segera dilakukan karena penambahan kuota berimplikasi pada sejumlah hal yang kompleks. Pertama, terkait biaya penyelenggaraan. Kemenag bersama DPR telah menyepakati Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) 1440H/2019M dengan skema kuota 221ribu, terdiri dari 204ribu jemaah haji reguler dan 17ribu jemaah haji khusus. Rata-rata BPIH untuk jemaah haji reguler tahun ini, Rp35.235.602,- atau setara USD2,481.

“Bersama DPR, kami sudah menyepakati biaya haji 2019 menggunakan dana optimalisasi sebesar Rp7,039 Trilyun untuk 204.000 jemaah. Itu artinya untuk 10.000 jemaah baru sebagai tambahan kuota diperlukan tambahan biaya tak kurang dari Rp346milyar. Penambahan kuota itu juga berdampak pada penambahan sekitar 25 kloter baru dan penambahan sekitar 125 petugas kloter. Maka perlu dibahas kembali hal-hal yang terkait dengan sumber biayanya,” ujarnya.

Dampak kedua, terkait pengadaan layanan haji, baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, penambahan kuota akan mempengaruhi proses penyiapan dokumen dan manasik jemaah haji. Apalagi, proses penerbitan visa saat ini mempersyaratkan rekam biometrik yang saat sedang berjalan dan di sejumlah daerah sudah hampir selesai.

“Kami harus mendistribusikan kembali tambahan kuota ini ke tingkat provinsi,” ucapnya.

“Kami juga harus menambah petugas kloter. Jumlah 10ribu setidaknya akan terdistribusi dalam kurang lebih 25 penerbangan. Setiap penerbangan harus ada lima petugas kloter,” lanjutnya.

Di luar negeri, hampir seluruh pengadaan layanan akan terdampak. Proses pengadaan yang semestinya sudah hampir final, berarti harus ditambah, dan itu bukan hal mudah. Terkait akomodasi di Madinah misalnya, saat ini hampir seluruh hotel di kawasan Markaziyyah (jarak terdekat Masjid Nabawi), sudah penuh.

“Penambahan kuota tentu akan menambah kebutuhan hotel yang saat ini sudah banyak dipesan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia,” tutur Menag.

Untuk akomodasi di Makkah, penambahan kuota akan berdampak pada sistem zonasi. Sistem ini baru diterapkan tahun ini. Jemaah haji Indonesia akan ditempatkan pada tujuh wilayah, berdasarkan kelompok embarkasi sebagai berikut:

1. Syisyah: Embarkasi Aceh (BTJ), Medan (KNO), Batam (BTH), Padang (PDG), dan Makassar (UPG)
2. Raudhah: Embarkasi Palembang (PLM) dan Jakarta – Pondok Gede (JKG)
3. Misfalah: Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS)
4. Jarwal: Embarkasi Solo (SOC)
5. Mahbas Jin: Embarkasi Surabaya (SUB)
6. Rei Bakhsy: Embarkasi Banjarmasin dan Balikpapan
7. Aziziah: Embarkasi Lombok (LOP)

“Penyediaan akomodasi di Makkah yang saat ini sedang berjalan, sudah hampir final dengan skema zonasi. Karenanya, kemungkinan besar, khusus untuk tambahan 10ribu ini tidak lagi menggunakan sistem zonasi,” jelasnya.

Selain akomodasi, kebutuhan lainnya yang harus disiapkan adalah terkait bus shalawat dan biaya angkut bagasi. “Semua membutuhkan biaya, baik direct maupun indirect. Karenanya, Kemenag akan segera melakukan pembahasan dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan terkait penambahan kuota ini,” tandasnya. (hum/ab).

 

KEMENAG RI

Resep Atasi Dengki

bertawakallah seorang hamba dapat menampik tindakan lalim atau kebencian.

Mushthafa al-Adawi dalam karyanya yang berjudul, Fiqh al-Hasad memaparkan beberapa solusi dan cara sederhana guna mengikis kedengkian dalam diri seseorang. Ingat, bertawakallah selalu.

Karena, ungkap Ibnu al-Qayyim, hanya dengan bertawakallah seorang hamba dapat menampik tindakan lalim atau kebencian akan seseorang. Jika memosisikan Allah sebagai satu-satunya pelindung, sejauh itu pula penjagaan akan selalu ada.

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS at-Thalaq [65]: 3).

Sebagai langkah antisipasi, jangan sesekali menceritakan apalagi sengaja memanas-manasi ‘si pendengki’ dengan kisah-kisah tentang nikmat dan anugerah yang Anda peroleh.

Memang, ada anjuran untuk menceritakan nikmat, tetapi tak selamanya niat baik itu tepat sasaran. Inilah mengapa Nabi Ya’qub AS melarang putranya, Yusuf AS, mengisahkan mimpi yang dialami putra kesayangannya tersebut kepada segenap saudaranya. (QS Yusuf [12]: 5).

Larangan ini juga seperti ditegaskan dalam hadis Abu Qatadah riwayat Bukhari dan Muslim. Rasulullah SAW melarang menceritakan mimpi baik, kecuali kepada orang yang ia percayai.

Resep membendung rasa dengki selanjutnya, menukil dari pernyataan Ibn al-Qayyim, bersikap cuek dan berusaha membersihkan pikiran dari tingkah laku pendengki. Biarkan seperti angin lalu saja. Bahkan, akan sangat baik bila Anda membalas perlakuan buruk itu dengan tindakan baik. Memadamkan api kedengkian itu dengan balasan berupa perbuatan terpuji. “Tetapi, ini sangat sulit,” kata Ibn al-Qayyim.

Dan terakhir, selalu berlindunglah kepada Allah SWT hasutan orang-orang pendengki, entah mereka yang berada jauh dari Anda, ataupun yang dekat dengan Anda sekalipun. “Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS al-Falaq [113]: 2)

 

MOZAIK REPUBLIKA

Berkah Memuliakan Ibu

Durhaka kepada ibu adalah dosa besar yang harus dihindari.

Di sudut Ka’bah, tampak seorang laki-laki tengah menggendong ibunya dan bertawaf bersama. Sang anak lalu bersandung puisi, “Saya akan menggendongnya tiada henti, ketika penumpang beranjak, saya tidak akan pergi. Ibuku mengandung dan menyusuiku lebih dari itu, Allah Tuhanku yang Mulia dan Mahabesar.” Ia melihat Abdullah bin Umar dan bertanya, apakah segala yang telah ia lakukan tersebut cukup membalas pengorbanan ibunya? “Tidak sedikit pun,” jawab Ibn Umar.

Kasih sayang ibu tak terhingga. Kebaikan yang telah ia curahkan kepada anak-anaknya tak akan pernah terhitung. Cinta kasih ibu laksana mentari menyinari dunia. Terus berbagi cahaya untuk alam semesta, tanpa pamrih. Sekali pun ia dipenuhi dengan panas yang membara.

Seorang ibu mengandung anak dengan segala kelelahan dan risiko yang ada. Bersusah payah melahirkan, lalu membesarkannya. Karena itu, Allah SWT memerintahkan agar manusia mengingat pengorbanan tersebut. “Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS al-Ahqaaf [46]:15).

Bagi generasi salaf, penghormatan atas jerih payah mereka tekankan. Mereka menempuh bermacam cara untuk menunjukkan bakti terhadap ibundanya. Muhammad bin al-Munakkar, misalnya. Ia sengaja meletakkan kedua pipinya di tanah. Hal ini bertujuan agar dijadikan sebagai pijakan melangkah ibunya.

Selain itu, Ali bin al-Husain tak ingin makan satu meja dengan ibundanya. Alasannya? Ia takut bila merebut menu yang diinginkan ibunya. Ada lagi Usamah yang pernah memanjat pohon kurma, lalu mengupasnya dan menyuapi ibunya. Mengapa ia melakukan hal itu? Ia menjawab, “Ibuku memintanya. Apa pun yang ia minta dan saya mampu, pasti saya penuhi.”

Begitulah perhatian salaf terhadap ibu mereka. Aisyah bahkan pernah bertutur, ada dua nama yang ia nilai paling berbakti kepada sosok ibu, yaitu Usman bin Affan dan Haritsah bin an-Nu’man. Nama yang pertama tak pernah menunda-nunda perintah ibundanya. Sedangkan yang kedua, rajin membasuh kepala sang ibu, menyuapinya, dan tidak banyak bertanya saat ibundanya memerintahkan suatu hal.

Menurut Syekh Muhammad bin Ali Asa’awy dalam artikelnya yang berjudul “al-Ihsan ila al-Umm”, pengabdian dan bakti kepada kedua orang tua, terutama ibu, wajib hukumnya. Ini merujuk pada surah al-Isra’ ayat 23-24. Tingkat kewajiban berbuat baik (ihsan) kepada ibu itu bertambah kuat saat anak-anaknya dewasa.

Ia menjelaskan, bentuk ihsan kepada ibu bervariasi. Di level pertama ialah menjauhkan segala perkara buruk darinya, memberikan hal positif, berinteraksi dengan pekerti yang luhur dan etika kesopanan, peka terhadap perkara yang ia suka dan tidak, berdoa untuknya, dan segala ihsan yang dilakukan bertujuan untuk menggapai ridanya.

Berbakti dan berihsan kepada ibu adalah kunci dikabulkannya doa. Pengabdian kepada sosok ibu juga dikategorikan sebagai sebab masuk surga. Ini seperti tertuang dalam kisah Uwais. Tabiin tersebut adalah orang yang beruntung.

Rasulullah SAW menyebut bahwa siapa pun yang melihat Uwais maka hendaknya  meminta doa ampunan kepadanya. Ini lantaran dirinya terkenal taat dan berbakti pada sang ibunda. Itulah yang mendorong Umar bin Khatab mencari keberadaan Uwais. Kisah pencarian Umar itu seperti tertuang di riwayat Muslim.

Syekh Asa’awy menjelaskan, pengabdian yang penuh (ikhlas) kepada ibu bisa mengantarkan seorang anak ke surga. Hal ini sebagaimana terjadi kepada Haritsah bin an-Nu’man. Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Haritsah masuk surga berkat ihsan yang ia tujukan kepada ibunda. Dan, Haritsah adalah sosok paling berbakti untuk ibu.

Sebaliknya, mereka yang durhaka kepada kedua orang tua, khususnya ibu, akan mendapatkan ganjaran setimpal. Sanksi yang akan ia terima bukan hanya di akhirat. Akan tetapi, ia akan menerima akibat ulahnya itu di dunia.

Seperti ditegaskan dalam riwayat Muslim, setiap perbuatan dosa, Allah akan menunda siksaannya kapan pun Ia berkehendak hingga kiamat. Kecuali, durhaka kepada kedua orang tua. Allah akan mempercepat siksa bagi pelakunya di kehidupan dunia, sebelum mati. Ini mengingat durhaka—sebagaimana riwayat Bukhari—termasuk pelanggaran berat, dosa besar. Imam Syafi’i pernah bertutur dalam syairnya, “Tunduk dan carilah rida ibumu karena mendurhakainya termasuk dosa besar.

 

REPUBLIKA

Mengapa Memilih Ini dan Tidak Memilih yang Lain

BEDA pilihan itu sesungguhnya adalah hal yang alami, natural. Hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Satu saja catatan yang perlu diperhatikan: pilihlah seseorang atau sesuatu yang sekiranya paling mungkin mewujudkan kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi atau kelompoknya. Mengapa? Semua manusia pilihan Allah adalah ditugas oleh Allah untuk membahagiakan orang lain dan menjaga keteraturan alam semesta.

Mengapa berbeda pendapat itu lumrah, wajar dan boleh? Jawabannya adalah karena setiap manusia memiliki pola pikir yang berbeda, memiliki latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi yang berbeda dan, karenanya, memiliki kepentingan yang berbeda. Kalau begitu, memaksa orang lain untuk wajib sama dengan dirinya adalah pelanggaran martabat kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Secara psikologis, orang yang disakiti atau pernah disakiti adalah wajar untuk tidak memilih orang yang menyakiti sebagai sahabat dekat atau sebagai pemimpin. Bagaimana jika di antara pilihan yang ada tidak ada yang menyakiti atau pernah menyakiti? Secara psikologis, manusia akan mencintai orang yang dikabarkan atau diceritakan sebagai orang baik, tulus dan penuh cinta, walaupun tidak pernah bertemu dan berkenalan langsung. Maka di sinilah gunanya kabar berita dan iklan tentang calon pemimpin dan calon wakil rakyat.

Memberitakan sesuatu adalah boleh. Mengiklankan sesuatu dan seseorang adalah juga boleh. Namun jangan berlebih-lebihan dan melampaui kenyataan aslinya. Nanti akan banyak yang tertipu dan terkecewakan. Jangan pula menutupi kelebihan-kelebihan orang lain sehingga orang-orang tertipu hingga membenci orang lain yang ditutup-tutupi itu.

Kedamaian dan kerukunan hanya akan bisa terbangun jika setiap berita itu adalah benar dan disampaikan dengan cara yang baik dan niat yang tulus penuh cinta. Selain cara ini, berita yang tersebar beserta ulasan-ulasannya hanya akan menjadikan suasana semakin panas dan persaudaraan semakin renggang.

Ada benarnya juga kata-kata K Lupin tetangga Haji Mat Kelor: “Bohong yang bisa merekatkan tali persahabatan itu kadangkala lebih bagus ketimbang jujur yang memporakporandakan tali pertemanan.” Jangan tanya tafsirnya kepada saya, karena saya sudah lama tidak bertemu K Lupin. Namun renungkanlah. Mari kita jaga persaudaraan dan persahabatan. Nyoblos yang mana? Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Adakah Larangan Puasa di Pertengahan Akhir Syaban?

DISEBUTKAN dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika sudah masuk pertengahan Syaban, janganlah berpuasa.” (H.r. Abu Daud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiallahu anha, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam belum pernah berpuasa selama satu bulan yang lebih banyak daripada puasa bulan Syaban. Terkadang, beliau hampir berpuasa Syaban selama sebulan penuh.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Secara zahir, kedua hadis di atas bertentangan. Karena itu, ulama berbeda pendapat dalam memaknai hadis yang pertama.

Pendapat yang kuat dalam mengompromikan dua hadis di atas adalah pendapat yang disebutkan dalam Aunul Mabud, yang menukil keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwa Al-Qurthubi mengatakan, “Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertengahan Syaban dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyambung puasa Syaban dengan puasa Ramadan. Kompromi memungkinkan untuk dilakukan. Dengan memahami bahwa hadis larangan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah, sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Syaban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Mabud, 6:330)

[Ustadz Ammi Nur Baits/Dewan Pembina Konsultasi Syariah]

 

INILAH MOZAIK

Ruang Jiwa Kita Butuh Cahaya Ilahi

DALAM diri kita ada ruang, yang lebih sering menjadi ruang pengap, sunyi, gelap, bahkan terkadang ruang itu berkobar membara bagai neraka. Padahal ruang-ruang itu menjadi lembah dan hamparan bagi hidupnya ruang-ruang yang lain, yang kelak menjadi kesatuan utuh bagi kepribadian kita.

Ruang-ruang itu selalu menjadi ruang rahasia, karena memang tidak nyata di kasat mata. Di relung paling dalam ruang jiwa kita ada Al-Lubb yang juga disebut dengan As-Sirr (relung paling dalam di jiwa kita, yang menjadi awal atau sumber, siapa diri kita sesungguhnya.)

Ruang-ruang jiwa kita butuh cahaya, agar senantiasa terang, cerdas dan bahagia. Cahaya itu bias diraih melalui renungan, tafakkur ketika diri kita sedang sendiri dalam khalwat dan uzlah kita sehari-hari. Cahaya itulah yang kelak bisa membedakan mana yang gelap dan buruk, bathil dan jahat, dengan yang terang, haq dan penuh limpahan kebajikan.

Namun agar cahaya-cahaya itu tetap hidup, seseorang mesti terus menghidupkan jiwanya secara mekanis melalui Dzikrullah secara langgeng terus menerus. Kelak ruang-ruang jiwa akan dipenuhi oleh khazanah ilmu pengetahuan, khazanah marifatullah, dan berbuah kesadaran terus menerus untuk mebangunkan kualitas ruhaniyah kita.

Sebagai kesatuan organis dalam ruang batin kita, masing-masing ruang haruslah hidup dengan keserasian sejati, yaitu kehidupan fungsional sesuai dengan tugas-tugas dari Allah Swt. Apa tugas tafakkur, tugas akal, tugas hati, tugas ruh dan rahasia ruh, sehingga terjadi refreshing spiritual terus menerus terhadap masa depan kita.

Pada saat yang bersamaan, adab atau etika kita dengan Sang Pencipta juga harus berserasi. Karena pertumbuhan keimanan kita mesti menjulang ke Cakrawala Ilahiyah. Sampai pada tahap keimanan yang Haqqul Yaqin. Suatu kondisi kita siap memasuki “Ruang-ruang Ilahi” yang digambarkan secara cemerlang oleh Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari sebagai “Hadhratul Quds” dan “Bisathul Uns” (Hadhirat Suci dan Hamparan Kemesraan yang membahagiakan).

Disanalah ada langkah-langkah kaki yang telah menanggalkan sandal-sandal dan sepatu alam atau segala hal selain Allah Swt. Kita memasukinya melalui :

Pintu Mufatahah (Pintu terbukanya rahasia demi rehasiaNya);

Lalu kita ber-Muwajahah (berhadapan dalam HadiratNya);

Kemudian ber-Mujalasah (bermajlis dalam Kharisma Ilahiyah penuh dengan rasa malu, Taqarrub dan Muroqobah),

Lalu ber-Muhadatsah (berdialog dengan bahasa qalbu, melalui tafakkur dalam mengarungi nuansa Jabarut, dimana kita bermunajat melalui Rahasia Batin kita).

Kemudian ber-Musyahadah (menyaksikan kebesaran dan keagunganNya dibalik Asma, Sifat dan DzatNya, kita menyaksikanNya di alam Malakut, Dia Menyaksikan di alam nyata, kita menyaksikan di KetuhananNya, Dia menyaksian kehambaan kita.)

Berakhir dengan ber-Muthalaah (terbukanya pandangan batin kita atas rahasia alam Malakut, Jabarut, Rahasia Taqdir, dan kita memandangnya dengan menuju KetuhahanNya, Dia melihat pada kehambaan kita yang menanjak mpadaNya, kita melihat fakta ketentuan dan takdirNya, lalu jiwa kita menerima penuh ridho, dan ketika Dia memandang hamparan rahasia jiwa kita, Dia pun membukakan hamparan anugerahNya, lalu kita bersimpuh di sana, Dia pun memandang kita dengan rasa Cinta yang Luhur, Penerimaan yang Agung.

 

INILAH MOZAIK