Wasiat 2: Melihat Orang yang Lebih Rendah dalam Hal Materi

WASIAT kedua dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Dzar Al Ghifari RA adalah melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal materi dan penghidupan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita agar senantiasa melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu adalah supaya kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu” . [HR. Bukhari].

Melalui hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan umatnya untuk tidak menengadahkan pandangan kepada mereka yang kehidupannya berada pada tempat lebih tinggi dalam segi keduniawian. Orang-orang yang dimaksud ini adalah orang-orang yang hidup di dalam gelimang harta kekayaan yang melimpah, posisi atau kedudukan atau jabatan yang tinggi, dan lain sebagainya.

Disadari atau tidak, kita seringkali lupa untuk mengikuti perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini. Kita seringkali melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Padahal ini merupakan salah satu jebakan syaitan yang bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kerugian. Bagaimana hal itu terjadi? Yaitu ketika kita silau melihat mereka yang hidupnya menurut kita jauh lebih enak, nyaman dan tentram, sehingga kita pun lupa untuk mensyukuri segala karunia Allah Swt yang sudah kita miliki.

Ketika kita tinggal di rumah kontrakan dan terpukau melihat mereka yang tinggal di rumah sendiri yang megah nan mewah, maka ingatlah selalu bahwa di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang hidup tidak lebih baik dari kita. Yaitu, mereka yang tinggal di kolong-kolong jembatan dan di emperan pertokoan.

Atau, ketika kita melihat orang lain yang memiliki penghasilan lebih besar daripada kita kemudian timbul rasa iri hati pada diri kita, maka ingatlah bahwa di luar sana masih begitu banyak orang-orang yang bekerja serabutan, orang-orang tidak memiliki pekerjaan, dan orang-orang yang tidak tahu darimana dan bagaimana ia dapat uang esok hari.

Akan tetapi lain halnya apabila kita berbicara dalam urusan agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah Swt. Dalam urusan ini sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, para sahabat, para syuhada, dan orang-orang shaleh. Mengapa? Supaya kita termotivasi untuk meneladani kesungguhan dan kegigihan mereka dalam meningkatkan kualitas ibadah terhadap Allah Swt. Bahkan, sudah semestinya kita berlomba-lomba untuk melakukannya. Allah Swt. berfirman, “Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba“. (QS. Al Muthaffifn [83]: 26).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia. Hal ini dimaksudkan agar kita menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur dan qanaah. Yaitu, orang yang senantiasa merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tanpa perasaan iri dan dengki terhadap manusia.

Abu Dzar RA adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya. Adapun untuk keesokan harinya beliau akan mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah Swt. meridhai beliau. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAHMOZAIK

Isyarat Kematian

Nabi Ya’qub AS biasa berbincang dengan Malaikat Maut, salah satunya soal kematian.

 

Dalam kitab Irsyadul Ibad dikisahkan, Nabi Ya’qub AS biasa berbincang dengan Malaikat Maut. Di antara perbincangan itu membahas mengenai kematian.

Nabi Ya’qub berkata, “Aku tahu tugasmu sebagai pencabut nyawa. Alangkah baiknya, jika engkau mengabari aku terlebih dahulu sebelum menjemput ajalku nanti.” Malaikat Maut pun berkata, “Baiklah, nanti akan kukirimkan kepadamu dua atau tiga utusan.”

Selang beberapa lama, datanglah Malaikat Maut menemui Nabi Ya’qub AS. Bertanyalah Nabi Ya’kub, “Apa kedatangan Saudara sekadar bertamu seperti biasanya?” Malaikat Maut menjawab, “Tidak, aku mau mencabut nyawamu.”

Nabi Ya’qub berkata, “Bukankah aku pernah berpesan padamu agar mengingatkan aku sebelum kau mencabut nyawaku?” Malaikat Maut menjawab, “Aku sudah kirimkan kepadamu pesan itu, tidak hanya satu bahkan tiga: pertama, rambutmu yang mulai memutih; kedua, badanmu yang mulai melemah; dan ketiga badanmu yang mulai membungkuk. Itulah pesan yang kukirimkan kepada semua manusia sebelum aku mendatangi mereka.”

Begitulah sejatinya Allah SWT telah memberikan peringatan kepada segenap manusia akan datangnya kematian. Karena, tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati (QS al-Anbiya’ [21] :35). Akan tetapi, manusia lebih suka berpura-pura melupakannya.

Manusia itu sering kali mengakui tiga hal, tetapi sesering itu pula mereka menyalahinya dengan perbuatannya. Mereka mengaku sebagai hamba Allah, tetapi kelakukannya sangat tercela. Mereka berkata bahwa Allahlah yang mencukupi kehidupannya, tetapi perhatian dan hati mereka terborgol dengan keduniawian. Mereka mengetahui bahwa kematian itu pasti, tetapi mereka beramal seolah-olah tidak akan pernah mati.

Betapa banyak orang yang mengaku bahwa ia adalah hamba Allah, tetapi perbuatannya justru mencerminkan bahwa dirinya adalah hamba dunia, hamba harta, hamba jabatan, dan sebagainya. Lisannya bisa saja berkata, “Aku adalah hamba Allah,” tetapi tangannya masih saja mengambil yang bukan haknya, melakukan tindakan korupsi yang merugikan orang banyak, atau menerima sesuatu yang tidak seharusnya.

Oleh karena itu, semoga kita memiliki komitmen yang kuat untuk menata kembali kehidupan kita dengan lebih baik sehingga sisa-sisa umur kita ini dapat kita gunakan dengan sebaik-baiknya, sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah SAW.

Dengan bertambahnya umur, semoga bertambah pula ketaatan dan ibadah kita kepada Allah dan bukan justru bertambah dosa-dosa kita kepada-Nya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh berbahagia bagi orang yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya.” (HR Thabrani). Wallahu’alam.

 

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

KHAZANAH REPUBLIKA

Wasiat 1: Mencintai Orang Miskin

DI DALAM Al Quran Allah Swt berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. Al Maauun [107] : 1-3).

Tentang penjelasan ayat-ayat ini, Sayyid Quthb menegaskan: “Bila keimanan seseorang benar-benar meresap kuat dalam dada, ia tidak akan menghardik anak yatim, dan tidak akan membiarkan orang-orang miskin kelaparan. Masalah keimanan bukanlah hanya semboyan dan ucapan, melainkan perubahan dalam hati yang melahirkan kebaikan dalam hidup bersama dengan manusia yang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Allah tidak ingin keimanan hamba-Nya hanya kalimat yang diucapkan, melainkan harus diterjemahkan dalam perbuatan nyata. Bila tidak, keimanan itu menjadi sekedar buih yang tidak bermakna dan tidak berpengaruh apa-apa.” (Fi dzilalil Quran, vol.6, hal. 3985).

Wasiat yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tujukan kepada Abu Dzar ini hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai umat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau ini tertuju kepada kita semua.

Orang-orang miskin yang dimaksud adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,”Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”

Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkumpul bersama orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka enggan duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka, masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Taala. Lalu turunlah ayat:

Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya“. (QS. Al-Anm [6]: 52).

Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka, bukan sekadar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada kita, kita bagi dan kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Taala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit utang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Dalam haditsnya yang diriwayatkan Abi Hurairah RA, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”. [HR. Bukhari dan Muslim].

Semasa hidupnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu berkumpul berdampingan dengan orang-orang miskin. Bahkan beliau memohon kepada Allah agar dihidupkan dalam keadaan tawadhu, yang beliau ucapkan dengan kata “miskin”. Sebagaimana hadits sabda beliau,

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin”. [HR. Ibnu Majah].

Ini adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar Allah Taala memberinya sifat tawadhu` dan kerendahan hati, serta agar beliau tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim apalagi menjadi termasuk kalangan orang-orang kaya yang melampaui batas. Hadits ini tidaklah bermakna bahwa beliau meminta untuk dijadikan manusia yang miskin. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Atsir RA., bahwa kata “miskin” dalam hadits di atas bermakna tawadhu (An Nihyah f Gharbil Hadts (II/385), Imam Ibnul-Atsir RA).

Hal ini diperkuat dengan hadits lain di mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah Swt dari kefakiran.

Permohonan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini bukanlah tanpa alasan. Sesungguhnya beliau telah mengetahui bahwa terdapat perbedaan jarak waktu antara orang-orang miskin dan orang-orang kaya dari kalangan kaum muslimin ketika memasuki surga. Di mana orang-orang miskin akan setengah hari lebih cepat memasuki surga dibandingkan orang-orang kaya. Kadar waktu setengah hari ini adalah lima ratus tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun”. [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Mengapa bisa seperti ini, dan orang-orang miskin seperti apakah yang akan masuk surga dengan lebih cepat itu? Hal ini terjadi karena orang-orang kaya akan terlebih dahulu menghadapi perhitungan dan pertanggungjawaban tentang bagaimanakah harta kekayaan mereka itu dipergunakan, dimanakah harta kekayaan mereka itu dibelanjakan. Apakah mereka mempergunakannya untuk beribadah kepada Allah Swt., ataukah untuk bermaksiat terhadap-Nya.

Adapun orang-orang miskin yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang senantiasa berupaya dengan segenap kemampuan untuk melakukan amal perbuatan yang merupakan bentuk ketaatan mereka kepada Allah Swt. Mereka adalah orang-orang miskin yang meskipun dengan keadaan mereka yang serba kekurangan, akan tetapi kekurangan mereka itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berpegang kepada Sunnah dan menghindari perbuatan-perbuatan bidah. Keterbatasan mereka tidak lantas membuat mereka terjerumus kepada perbuatan munkar. Mereka tetap berkomitmen menunaikan perbuatan maruf.

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. agar beliau dijadikan orang yang mencintai orang-orang miskin. Beliau bersabda,

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu”. [HR. Ahmad].

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menginformaskan kepada kita semua bahwasanya Allah Swt akan melimpahkan rezeki-Nya kepada kita apabila kita memberikan pertolongan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Rasulullah Saw bersabda, “Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian”. (HR. Bukhari).

Bahkan dalam sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitahukan bahwa betapa besar peran yang diberikan oleh orang-orang yang hidup dalam keterbatasan, terhadap umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka”. (HR. An Nasai)

Sepanjang usianya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tak pernah luput untuk berempati kepada kaum miskin. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam teramat mencintai mereka. Maka tak heran apabila beliau senantiasa berwasiat kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa mencintai mereka yang kekurangan secara ekonomi. Wasiat Rasulullah Saw. itu sebagaimana yang beliau sampaikan kepada Abu Dzar RA, salah seorang sahabatnya.

Besarnya perhatian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kaum papa ini menginspirasi Ibn Majah untuk membuat bab khusus yang membahas keutamaan orang-orang miskin, yaitu bab Fadlul Faqr (keutamaan kefakiran), bab Manzilatul Fuqara (derajat orang-orang miskin), dan bab Mujalasatul Fuqara (bergaul dengan orang-orang miskin) di dalam kitab karyanya.

Dalam suatu riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa pada suatu ketika sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang miskin dari kalangan kaum muhajirin menceritakan betapa beruntungnya sahabat-sahabat mereka yang kaya, di mana mereka memiliki kesempatan yang lebih lapang untuk melakukan kebajikan sehingga bisa memperoleh pahala lebih banyak dibandingkan mereka.

Mendengar hal itu, Rasulullah Saw langsung bersabda: “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun. Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj [22] : 47).

Lantas, bagaimanakah dengan kehidupan Rasulullah Saw. sendiri. Apakah beliau termasuk orang-orang yang hidup di dalam kemiskinan ataukah bergelimang harta kekayaan? Rasulullah Saw hidup di dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan, isteri beliau yaitu Aisyah RA pernah menceritakan bahwa di rumah mereka pernah tidak mengepul asap (tidak memasak) selama satu bulan lamanya. Aisyah RA menceritakan bahwa ketika itu ia dan sang suami tercinta hanya meminum air dan makan beberapa butir kurma.

Ada salah satu doa Rasulullah Saw yang berbunyi, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah). Maksud dari “miskin” dalam hadits ini bukanlah keadaan tidak memiliki apa-apa, melarat, sengsara atau maksud lainnya yang dipahami sebagian orang terhadap kata “miskin”. Miskin dalam hadits ini seperti yang dijelaskan Imam Baihaqi bahwa maksudnya adalah khusyu dan tawadlu.

Jadi, dalam hadits tersebut di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. supaya beliau dijadikan sebagai orang yang senantiasa hidup di dalam keadaan yang menjadikan diri beliau sebagai orang yang khusyu dan tawadlu.

Kepada sahabat-sahabatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu menceritakan bahwa diri dan keluarganya tidak pernah mempunyai harta yang jumlahnya mencapai satu Sha (3751 gram) biji-bijian atau kurma. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau hanya mempunyai harta sebanyak satu Mud (938 gram) makanan (Sunan Ibnu Majah:4147-8).

Mencintai orang-orang miskin adalah bukti dari keimanan kita kepada Sang Khaliq. Apabila ajaran mulia dari Rasulullah Saw. ini sudah benar-benar dipahami dan diamalkan oleh kita semua, tentulah kita tidak akan menyaksikan bayi yang ditahan rumah sakit hanya karena orang tuanya tidak bisa menebus biaya persalinan. Tentulah juga kita tidak akan menyaksikan orang-orang miskin yang akhirnya meregang nyawa karena ditolak berobat oleh rumah sakit sebab kendala biaya.

Mari kita perhatikan, ternyata fenomena-fenomena sosial tersebut hampir setiap hari kita temukan baik di hadapan mata kita secara langsung, maupun informasi melalui media-media. Semoga kita termasuk umat Rasulullah Saw. yang senantiasa meneladani beliau dalam mencintai orang-orang miskin dan kaum lemah. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

Tujuh Wasiat Rasulullah

SEGALA puji hanya milik Allah Swt yang telah mengirimkan utusan-Nya bernama Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai suri teladan untuk seluruh umat manusia. Seorang insan yang telah memberikan contoh berperikehidupan mulia bagi seluruh alam.

Saudaraku, melalui ribuan haditsnya, Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabadikan wasiat tentang nilai-nilai kebajikan sebagai pedoman hidup bagi umatnya dan juga bagi seluruh manusia. Salah satunya adalah wasiat yang beliau sampaikan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA.

Dari Abu Dzar RA, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:

1. Supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,

2. Beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku,

3. Beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahimku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku,

4. Aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan l haul wal quwwata ill billh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),

5. Aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,

6. Beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan

7. Beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia.

Hadits ini diriwayatkan oleh imam-imam ahli hadits, di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Ath Thabrani, Imam Ibnu Hibban, Imam Abu Nuaim, dan Imam Al Baihaqi.

InsyaAllah pembahasan satu-persatu 7 wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan dilanjutkan pada posting berikutnya. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Pedoman Bimbingan Manasik Haji Telah Diteken

Jakarta (PHU)—Tahapan persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1440H/2019M semakin mendekati puncaknya. Setelah pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahap kesatu ditutup Senin (15/4/2019) kemarin, kini bimbingan manasik haji mulai dipersiapkan.

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah melalui Direktorat Bina Haji telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji Tingkat Kabupaten/Kota dan Kantor Urusan Agama Kecamatan serta Pembekalan Ketua Regu dan Ketua Rombongan. Surat yang ditandatangani oleh Diretur Bina Umrah, Khoirizi, telah dikirim ke daerah dan ramai beredar di media sosial.

Surat edaran tersebut berisi empat hal pokok. Pertama bimbingan manasik haji dan kedua pembekalan Ketua Regu (Karu) dan Ketua Rombongan (Karom). Ketiga jadwal pelaksanaan dan keempat pelaporan.

“Manasik haji dilaksanakan 10 kali pertemuan , yaitu 8 kali di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan, dan 2 kali di Kabupaten/Kota untuk wilayah luar Jawa. Sedangkan di pulau Jawa manasik haji dilaksanakan 6 kali di KUA dan 2 kali di tingkat Kabupaten/Kota,” bunyi salah satu ketentuan dalam surat edaran yang di tandatangani d Jakarta, Senin (15/4/2019) kemarin.

Dijelaskan bahwa waktu pelaksanaan bimbingan setiap pertemuan sebanyak 4 jam pelajaran. Sedangkan tiap jam pelajaran telah ditentukan 60 menit.

Materi utama bimbingan manasik bersumber pada Paket Buku Manasik Haji yang diterbitkan Kementerian Agama. Pengembangan materinya dapat menyesuaikan dengan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 146 Tahun 2019.

“Proses pembelajaran manasik haji dengan metode 30% teori dan 70% berupa praktik atau simulasi,” lanjut ketentuan dalam surat edaran tersebut.

Selengkapnya baca: https://haji.kemenag.go.id/v3/content/surat-edaran-kepdirjen-no-146-tahu…

Mengenai pembekalan Karu dan Karom dilaksanakan 2 kali pertemuan di tingkat Kabupaten/Kota. Materi pembekalan berupa tugas dan fungsi Karu dan Karom dalam pelayanan ibadah haji sejak di embarkasi haji, di perjalanan, dan selama di Arab Saudi.

“Kegiatan pembekalan Karu dan Karom secara nasional dapat dimulai 16 April 2019,” bunyi ketentuan pada angka 3. Jadwal pembekalan Karu dan Karom harus disampaikan kepada DIrektur Bina Haji melalui Kepala Subdit Bimbingan Jemaah Haji.

Terkait dengan pelaporan kegiatan ditentukan berjenjang dalam kurun waktu paling akhir 1 bulan setelah kegiatan. Laporan manasik haji di KUA dilaporkan kepada Kepala Kemenag Kabupaten/Kota. Sedangkan kegiatan pembekalan Karu Karom di Kemenag Kabupaten/Kota diserahkan

 

KEMENAG RI

9 – 10 Tahun, Gorontalo dan Bengkulu Jadi Daerah Masa Tunggu Haji Tercepat

Jakarta (PHU) — Kementerian Agama merilis dua daerah dengan masa tunggu keberangkatan haji paling cepat di Indonesia. Kedua daerah itu adalah Provinsi Gorontalo dan Bengkulu dengan masa tunggu 9-10 tahun.

“Selain Bengkulu dan Gorontalo, masa tunggu haji di atas 10 tahun. Masa tunggu keberangkatan haji sejak mendaftar di masing-masing daerah berbeda-beda. Sebab kuota ini terkait dengan kuota yang diberikan kepada jemaah haji Indonesia kemudian dibagi ke kuota masing-masing provinsi,” ujar Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kemenag, Nizar Ali di ruangan kerjanya, Senin (15/04).

Menurut Nizar, Indonesia mendapat kuota haji sebesar 221 ribu jemaah. Jumlah ini terdiri dari 204 jemaah haji reguler, dan 17 ribu jemaah haji khusus. “Kuota inil kemudian didistribusikan ke 34 provinsi di Indonesia. Lamanya antrian, tergantung pada perbandingan antara kuota dengan jumlah jemaah haji yang mendaftar,” kata Nizar.

“Saat ini masa tunggu haji paling panjang di Indonesia itu berada di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Provinsi Sulawesi Selatan yang mencapai 41 tahun. Kota Bekasi sudah 18 tahun dan daerah lainnya. Jadi kalau ada yang menginginkan masa tunggu haji itu satu tahun ya tidak mungkin,” sambung Nizar.

Seiring lamanya masa antrian, Kementerian Agama terus melakukan sosialisasi gerakan berhaji selagi muda. Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah juga membuat film pendek yang berisi imbauan berhaji bagi kalangan muda dengan judul Berhaji di Masa Muda.

“Upaya ini untuk memberikan pengetahuan bahwa memang berhaji itu sangat memerlukan fisik yang luar bisa dan sebaiknya dilakukan di usia muda. Memang tidak bisa dipungkiri tahun ini saja jemeah haji yang berusia di atas 50 tahun mencapai 24 persen dari total kuota jamaah haji Indonesia, usia di atas 60 tahun sekitar 18 persen dan belum lagi usia di atas 71 tahun ke atas lainnya,” kata Nizar.

“Alhamdulillah UU PHU sudah disetujui oleh DPR, artinya problem jemaah haji lanjut usia menjadi prioritas bagi pemerintah,” tandas Nizar.(ba/ha)

 

KEMENAG RI

Jahe, Tanaman Herbal Kaya Manfaat yang Disukai Rasulullah

Rasulullah SAW pernah mendapat hadiah satu bejana jahe.

Jahe merupakan salah satu jenis tanaman tua yang sangat digemari dalam sejarah peradaban manusia. Jahe konon diklaim berasal dari India. Tetapi, sebagian lain menyatakan, tanaman ini berasal dari Cina.

Dalam peradaban Islam, jahe termasuk satu dari sekian tanaman yang diabadikan dalam Alquran. Allah SWT berfirman,”Dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe.” (al- Insan:17).

Aroma dan rasanya yang khas bahkan juga kerap dijadikan sebagai pelengkap masakan. Tak heran, seperti diungkap oleh Abu Nu’aim dalam ath-Thibb an-Nabawi, Rasulullah SAW sangat suka mendapatkan hadiah satu bejana jahe dari Raja Romawi. Jahe berfungsi untuk mengembalikan metabolisme tubuh, memberikan efek kehangatan, penangkal masuk angin, dan lainnya.

Menurut Ibnu Masawih, seorang tabib atau farmakolog dan penerjemah di bidang kedokteran pada awal Islam (wafat tahun 243 H), jahe berguna bagi gangguan hati akibat cuaca panas ataupun dingin, mampu meningkatkan vitalitas pria dan mengobati gastritis pada lambung dan usus.

Namun jahe tidak bisa digunakan dalam bentuk bubuk karena dapat menimbulkan terjadinya radang pada kerongkongan ataupun lambung. Namun bagi penderita kanker, jahe berguna untuk meredakan mual yang muncul saat mengkonsumsi obat kanker.

Menurut Ibnu Sina, jahe dapat meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan rasa lembab pada kepala dan tenggorokan, mengobati gangguan akibat polusi udara.

Akar batang jahe mengandung zat semacam lem, lemak resin, pati, dan minyak volatile yang beraroma wangi serta mengandung camphene dan linalool.

Lemak resin nonvolatile yang dikandungnya adalah zingerone yang memberi rasa pedas dan berguna untuk mensterilkan dan memperkuat organ mulut serta antidemam.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa Itu Taklid?

TAKLID itu berarti mengikuti suatu pendapat tanpa mengenal dalil. Artinya, patuh tanpa reserve, meski tanpa pengetahuan.

Melanjutkan masalah taklid, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa taklid itu dibolehkan bagi orang yang tidak bisa menelaah dalil padahal darurat untuk menjalankan hukum.

Ada lima syarat yang diberikan oleh para ulama agar seseorang boleh untuk bertaklid:

1- Orang yang taklid itu jahil atau tidak berilmu, ia sulit untuk mengenal (memahami) hukum Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang mampu untuk berijtihad, yang tepat, ia pun masih boleh bertaklid ketika ia tidak mampu berijtihad karena keterbatasan dalil atau sempitnya waktu untuk berijtihad. Boleh jadi tidak ada dalil yang nampak yang bisa dipakai.

Ketika seseorang tidak mampu berijtihad, maka ia beralih pada penggantinya yaitu taklid. Ibnu Taimiyah berkata,

Ketika seseorang tidak mampu berijtihad, maka kewajiban berijtihad jadi gugur. Ketika itu beralihlah kepada taklid. Sebagaimana seseorang yang tidak mampu bersuci dengan air, ia tentu beralih pada penggantinya.

Begitu pula orang awam ketika ia mampu berijtihad untuk sebagian masalah, maka boleh ia berijtihad pada masalah tersebut. Ijtihad boleh terbagi-bagi seperti itu. Pokoknya dilihat dari kemampuan dan ketidakmampuan. Boleh jadi seseorang mampu berijtihad dalam suatu masalah, dan masalah lain tidak demikian. (Majmu Al Fatawa, 20: 204)

2- Bertaklid pada orang yang diketahui keilmuannya.

Di halaman lainnya, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

Adapun orang yang tidak mampu mengenal hukum Allah dan Rasul-Nya, lalu ia cuma taklid pada orang yang berilmu dan memiliki agama yang baik, tidak nampak baginya pendapat yang lebih baik dari pendapat tersebut, maka orang yang taklid seperti itu tetap terpuji dan mendapatkan pahala, tidak dicela, tidak boleh dihukum. Walaupun ia saat itu mampu untuk mencari dan mengenal dalil yang lebih kuat. (Majmu Al Fatawa, 20: 225).

3- Tidak nampak bagi orang yang taklid itu kebenaran dan ia pun tidak mengetahui pendapat lainnya yang lebih kuat. Jadi orang yang taklid hanyalah mengikuti orang yang ia ketahui jelas benarnya.

4- Taklid tidak menyelisihi dalil dan ijma (kata sepakat ulama).

Ibnu Taimiyah berkata,

Jika seorang ahli fatwa mengeluarkan fatwa di mana ia tidak mengetahui kalau ia menyelisihi aturan Allah, maka orang yang mengikuti (mentaati) pendapat tersebut tidak disebut bermaksiat. Adapun jika ada yang mengetahui orang yang diikuti itu menyelisihi aturan Allah, maka mengikutinya berarti bermaksiat pada Allah. (Majmu Al Fatawa, 19: 261).

5- Tidak boleh mewajibkan mengikuti madzhab imam tertentu dalam semua masalah, namun yang diperintahkan adalah untuk mengikuti kebenaran.

Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Taimiyah berikut,

Jika seseorang mengikuti mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah atau Imam Malik atau Imam Syafii atau Imam Ahmad, lalu ia melihat pendapat lainnya ternyata lebih kuat dari pendapat tersebut, maka hendaklah ia mengikutinya. Itu lebih baik dan tidak mencacati agamanya, juga tidak membuatnya dianggap jelek (tidak adel) tanpa ada khilaf dari para ulama akan hal ini. Bahkan mengikuti pendapat yang benar itulah yang lebih dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya daripada taashub (fanatik) pada salah satu pendapat selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Seperti ada yang bersikap fanatik pada Malik, Syafii, Ahmad atau Abu Hanifah lalu menilai pendapat imamnya-lah yang paling benar, pendapat lain yang menyelisihi tak pantas diikuti. (Majmu Al Fatawa, 22: 248).

Semoga Allah memberikan hidayah. Wallahu waliyyut taufiq. []

Sumber :artikel Muhammad Abduh Tuasikal, Msc

 

INILAH MOZAIK

Apakah Anak Hasil Zina Tak Mungkin jadi Soleh?

JIKA saat berhubungan Allah takdirkan jadi anak, apakah anaknya akan menjadi durhaka jika kita lupa membaca doa sebelum jimak?

Salah satu sebab untuk melindungi anak dari godaan setan adalah dengan membaca doa sebelum melakukan hubungan badan. Hanya saja perlu dipahami, bahwa itu hanya salah satu sebab. Artinya, masih ada sebab lain yang membentuk karakter seorang anak. Ulama menegaskan bahwa hadis ini tidaklah menunjukkan bahwa setiap anak terlahir dari hasil hubungan badan yang sebelumnya diawali dengan doa, dia akan menjadi manusia yang makshum, terbebas dari setiap dosa dan godaan setan.

Karena setiap kejadian ada sebab dan ada penghalang. Usaha orang tua, yang berdoa ketika hendak berhubungan badan, merupakan salah satu sebab agar anak tersebut selamat dari godaan setan. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya, terdapat banyak penghalang dan sebab lainnya, yang membuat anak ini tidak bisa bersih dari godaan setan, sehingga dia melakukan kemaksiatan. (Taisirul Alam Syarah Umdatul Ahkam, 1/588)

Karena itu, bukan jaminan bahwa setiap anak yang terlahir dari hubungan badan yang diawali dengan doa, pasti akan menjadi anak yang soleh. Demikian pula sebaliknya, bukan jaminan, setiap anak yang terlahir dari hubungan badan tanpa diawali doa, atau bahkan terlahir dari hubungan haram (zina), pasti akan menjadi anak setan, atau bala tentara iblis. Diantara usaha yang bisa dilakukan orang tua adalah memperhatikan pendidikan selama masa tumbuh kembang anak. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6)

Termasuk mendoakan agar keluarga selalu mendapat penjagaan, dan diberi hidayah. Seperti doa yang Allah sebutkan di surat al-Furqan ketika Allah bercerita tentang karakter ibadurrahman, Dan orang orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan: 74).

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

KPHI Sarankan Tambahan Kuota Dipakai Tahun Depan

“Jadi menurut saya tambahan kuota jika digunakan tahun ini tidak efektif,” kata komisioner KPHI Agus Priyanto saat mengunjungi kantor Republika.co.id, Selasa (16/4) sore.

Agus mengatakan, KPHI sebagai pengawas penyelenggara haji yang langsung turun ke lapangan tahu betul bagaimana kondisi di lapangan. KPHI memastikan bahwa tambahan kuota 10 ribu jamaah bukan anugrah, akan tetapi bencana bagi jamaah terutama dalam asepek kenyamanan.

“Tambahan kuota ini bukanlah anugrah, tapi bisa menjadi masalah baru ketika digunakan tahun ini,” katanya.

Agus memastikan, tambahan kuota tidak efektif jika digunakan tahun ini. Jika pemerintah tetap memaksakan tambahah kuota mendadak digunakan tahun ini maka kerugian akan ditanggung jamaah.”Tidak efektif jika dilakukan tahun ini artinya ada potensi yang merugikan,” katanya.

Menurut Agus, banyak pihak yang tidak turun ke lapangan mengatakan bahwa tambahan kuota ini merupakan anugrah bagi masyarakat haji karena bakal mengurangi antrian panjang. Padahal, sesungguhnya merugikan jamaah terutama terkait keuangan jamaah.

Karena tahun ini, keuntungan jamaah sekitar Rp 7 triliun habis digunakan untuk keberangkatan jamaah haji tahun 2019 dan belum lagi keuntungan jamaah juga digunakan untuk membayar selisih kurs dolar dengan rupiah tahun lalu.

“Jadi banyak yang tidak memahami dari BPIH itu Rp 35 juta setiap jamaah disubsidi Rp 35 juta. Nah subsidi Rp 7 triliun ini yang banyak juga orang tidak paham. Jumlah itu habis untuk subsidi tahun ini,” katanya.

Agus merincikan, karena setiap jamaah disubsidi sekitar Rp 35 juta, maka jika ada penambahan kuota 10 ribu maka itung-itungannya Rp 35 juta kali 10 ribu hasilnya 350 miliar.

Nah ini (Rp 350 miliar) ini anggarannya siapa. Karena tidak mungkin dimabil dari APBN. Petugas sumbernya memang dari APBN tetapi tidak serta merta bisa diberangkatkan sementara belum ada alokasi untuk petugas itu Itu dari sisi anggaran,” katanya.

Agus mengatakan, jumlaah kuota resmi sekitar 221 ribu ini sudah tidak nyaman saat tidur di tenda-tenda. Karena pada kenyataan, jamaah itu tidak kemudian dihitung satu orang, tapi dihitunga 0,8 sehingga jamaah tidurnya harus miring.

“Kalau ditambah 10 ribu itu bagaimana, karena mangkoknya sudah segitu saja. Belum artian dalam waktu singkat harus cari pemondokan cari transportasi dan seterusnya,” katanya.

KPHI meminta semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan ibadah haji harus benar-benar mempertimbangkan tawaran ini. Jangan sampai keputusan 10 ribu itu mengurangi pelayanan terhadap jamaah.

“Tambahan kuota ini betul dipikirkan. Apakah ini tawaran resmi atau ke semacam pengumuman atau hanya klaim,” katanya.

IHRAM