Kita jumpai kebiasaan sebagian orang ketika bersumpah, dia mengatakan, “Saya Yahudi jika saya bohong”; atau perkataan, “Saya Nashrani kalau saya pelakunya.” Dan ucapan-ucapan semacam itu yang maksud pokoknya adalah untuk menegaskan bahwa perkataan atau persaksiannya itu benar dan tidak dusta. Ucapan-ucapan semacam ini dihukumi atau dinilai sama dengan sumpah.
Ucapan semacam ini termasuk dalam perkataan yang terlarang. Diriwayatkan dari sahabat Tsabit bin Adh-Dhahak radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa bersumpah dengan agama selain Islam, maka dia seperti apa yang dia katakan. Anak Adam tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang tidak dia miliki. Barangsiapa bunuh diri dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa di akhirat dengan sesuatu yang dia gunakan untuk bunuh diri tersebut pada hari kiamat. Barangsiapa melaknat orang mukmin, maka dia seperti membunuhnya. Barangsiapa menuduh seorang muslim dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.” (HR. Bukhari no. 6047 dan Muslim no. 110)
ومما يجب التنبيه عليه في هذا الباب حكم الحلف بملة غير الإسلام ; كما لو قال : هو يهودي أو نصراني إن فعل كذا وكذا ! أو إن لم يفعله ! وهذا من الألفاظ البغيضة ; فهذا محرم شديد التحريم
“Dan termasuk perkara yang perlu diperhatiakan dalam bab ini adalah hukum bersumpah dengan agama selain Islam. Sepertia jika mengatakan, “Dia Yahudi atau Nashrani jika berbuat demikian dan demikian!” Atau jika dia tidak melakukannya. Ini termasuk kalimat yang dibenci. Juga kalimat yang haram dengan pengharaman yang sangat keras.” (Mulakhkhas Fiqhi, hal. 520)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,
فبين الرسول صلى الله عليه وسلم أنه كما قال عن نفسه أي أنه يصير يهوديا أو نصرانيا وهذا يدل على أن الحلف بمله غير الإسلام كاذبا متعمدا من كبائر الذنوب، فإن كان غير كاذب بأن كان صادقا فإنه لا يلحقه هذا الوعيد، لكننا نقول له إذا كنت حالفا فاحلف بالله
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa dia sebagaimana yang dia katakan tentang dirinya sendiri, yaitu menjadi Yahudi atau Nashrani. Hal ini menunjukkan bahwa sumpah dengan agama selain Islam secara dusta dan secara sengaja itu termasuk dalam perbuatan dosa besar. Jika tidak bohong, yaitu isi sumpahnya jujur, maka dia tidak terkena ancaman ini. Akan tetapi kita katakan, jika Engkau hendak bersumpah, bersumpahlah dengan menyebut nama Allah.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1: 1800)
Kemudian beliau mengutip sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang bersumpah, hendaklah bersumpah dengan nama Allah, atau lebih baik diam.” (HR. Bukhari no. 6646 dan Muslim no. 1646)
Sejenis dengan ucapan di atas yaitu perkataan, “Saya kafir jika saya pencurinya”; atau “Saya murtad jika saya pencurinya”; atau “Saya berlepas diri dari Islam jika saya pencurinya”; dan ucapan-ucapan semacam itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mengatakan, “Aku berlepas diri dari Islam”, apabila dia berdusta maka berlaku seperti apa yang dia katakan. Dan apabila berkata benar, maka dia tidak akan kembali kepada Islam dalam keadaan selamat.” (HR. An-Nasa’i no. 3772, dinilai shahih oleh Al-Albani)
Apa ada bacaan terbaik di hari Arafah? Ada, disebutkan yang terbaik adalah bacaan LAA ILAHA ILLALLAH. Doa pada hari Arafah juga adalah doa yang terbaik.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYA-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi no. 3585; Ahmad, 2:210. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini shahih dilihat dari syawahid atau penguat-penguatnya, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1503, 4:8.)
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu secara marfu’—sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam—, disebutkan hadits,
“Kalimat utama yang aku dan para nabi ucapkan pada senja hari Arafah adalah: LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).” (HR. Ath-Thabrani dalam Fadhl ‘Ashri Dzil Hijjah, 2:13, dari Qais bin Ar-Rabi’, dari Al-Agharr bin Ash-Shabah, dari Khalifah bin Hushain, dari ‘Ali secara marfu’, Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1503, 4:7.)
Kalau disebutkan bahwa sebaik-baik yang diucapkan adalah bacaan LAA ILAHA ILLALLAH, bukan menunjukkan bahwa doa yang dimaksud dalam hadits adalah dengan bacaan tersebut saja. Namun maksud sebaik-baik doa adalah doa yang dipanjatkan pada hari Arafah, doa apa saja bentuknya. Dan boleh juga dibaca selain doa yaitu kalimat LAA ILAHA ILLALLAH yang diucapkan. Demikian kesimpulan dari penjelan Al-Imam Al-Hafizh Abul ‘Ula Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi, 10:47.)
Semoga bermanfaat dan bisa diamalkan di hari Arafah.
Satu hal yang wajib kita imani bahwa Allah Ta’ala tidaklah melakukan suatu perbuatan yang sia-sia atau sekedar main-main saja tanpa maksud dan tujuan tertentu. Akan tetapi, perbuatan Allah Ta’ala itu dilandasi oleh hikmah, yang bisa jadi kita ketahui atau tidak kita ketahui.
Demikian pula dalam penciptaan manusia, juga memiliki hikmah. Allah Ta’ala memiliki hikmah tertentu dalam penciptaan manusia. Sebagian manusia bisa merealisasikan hikmah penciptaan tersebut. Dan sebagian lagi tidak bisa merealisasikannya, baik karena kebodohannya atau karena kedurhakaannya.
Dalam tulisan singkat ini, kami akan menyebutkan secara singkat dua hikmah penciptaan manusia.
Hikmah pertama, agar manusia memiliki ilmu tentang Allah Ta’ala
Hikmah penciptaan ini Allah Ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,
”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan (agar kamu mengetahui bahwa) sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi serta di antara keduanya agar hamba-Nya mengetahui (memiliki ilmu) bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Oleh karena itu, mengenal Allah Ta’ala, melalui ilmu terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala(tauhid asma’ wa shifat), adalah salah tujuan dari penciptaan manusia.
Allah Ta’ala berfirman di ayat yang lain,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
”Ketahuilah, bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar (yang berhak disembah) kecuali Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Hikmah kedua, agar manusia beribadah hanya kepada Allah Ta’ala
Hikmah ke dua ini juga telah Allah Ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,
“Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)
Dalam ayat di atas, makna dari:
لِيَعْبُدُونِ
“beribadah kepada-Ku”, adalah:
لِيُوَحِّدُونِ
“mentauhidkan Aku.”
Maksudnya, seseorang tidaklah dinilai beribadah kepada Allah Ta’ala sampai dia mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut. Yaitu dengan tidak beribadah kepada selain Allah Ta’ala.
Jika di satu waktu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala, dan di waktu yang lain dia beribadah kepada selain Allah Ta’ala, maka dia tidaklah dinilai beribadah kepada Allah Ta’ala. Hal ini karena ibadah dia kepada selain Allah itu akan membatalkan ibadah dia kepada Allah. Dengan kata lain, karena dia tidak mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut.
Oleh karena itu, semakna dengan tafsir di atas adalah memaknai “beribadah kepada-Ku” dengan,
يفردوني بالعبادة
“Meng-esa-kan-Ku dalam ibadah.” [1]
Inilah yang membedakan antara penciptaan manusia dan binatang. Karena hikmah di atas, Allah Ta’ala memberikan akal kepada manusia. Allah juga mengutus rasul kepada manusia dan menurunkan kitab-kitab. Seandainya penciptaan manusia itu sama dengan binatang, tentu diutusnya rasul dan diturunkannya kitab adalah perbuatan sia-sia semata. [2]
Jika kita renungkan lebih dalam lagi, hikmah ke dua ini merupakan konsekuensi dari hikmah yang pertama. Artinya, ketika seorang hamba mengenal Allah Ta’ala, mengenal nama-nama Allah yang husna, dan mengenal kesempurnaan sifat Allah Ta’ala, bahwa tidak ada satu pun makhluk yang mampu menandingi Allah dalam kesempurnaan sifat tersebut, tentu hamba tersebut akan beribadah kepada Allah Ta’ala saja dan tidak beribadah kepada selain-Nya.
Dua hal di atas adalah hikmah, sebab, atau alasan Allah Ta’ala menciptakan manusia. Bisa jadi terealisasi, dan bisa jadi tidak. Oleh karena itu kita jumpai berbagai jenis manusia dalam merealisasikan hikmah penciptaan mereka. Ada di antara mereka yang: (1) tidak beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali, dan tidak pula beribadah kepada selain Allah; (2) tidak beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali, namun beribadah kepada selain Allah; (3) beribadah kepada Allah, dan juga beribadah kepada selain Allah; dan (4) beribadah kepada Allah saja, dan tidak beribadah kepada selain Allah.
Tidak kita ragukan lagi, yang betul-betul merealisasikan tujuan penciptaan mereka adalah manusia jenis ke empat. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam hamba-hamba-Nya yang mampu merealisasikan ibadah hanya kepada-Nya semata. Aamiin.
Sebagai kesimpulan, terdapat dua hikmah atau tujuan penciptaan manusia.
Pertama, agar manusia mengenal Allah Ta’ala, yaitu mengetahui kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Kedua, agar manusia beribadah kepada Allah Ta’ala sebagai tuntutan dan konsekuensi dari pengenalan kepada Allah Ta’ala tersebut
Jakarta (Makkah) — Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag menggelar rapat bersama Traveloka dan Tokopedia. Perwakilan dari Kemkominfo juga hadir dalam rapat yang berlangsung di Kantor Kemenag, Jakarta, Jumat (19/07).
Pertemuan ini merupakan upaya Kemenag untuk mendalami perkembangan teknologi informasi terkait penyelenggaraan ibadah umrah. Kemenag ingin menyamakan persepsi terkait inisiatif Kemkominfo mengembangkan umrah digital. Kemenag menekankan semua pihak terkait untuk mematuhi regulasi, dalam hal ini UU No 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Umrah dan Haji yang baru disepakati Pemerintah dan DPR.
“Hasilnya, ada kesepahaman bahwa pengembangan umrah digital harus berangkat dari prinsip penyelenggaraan umrah dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU),” tegas Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim.
Menurut Arfi, pengembangan umrah digital nantinya bersifat optional atau pilihan. Artinya, masyarakat yang akan berangkat umrah bisa memilih dua cara. Pertama, mendaftar di PPIU secara langsung sebagaimana yang berjalan selama ini. Kedua, memilih paket PPIU yang ada di market place dengan keberangkatan tetap oleh PPIU.
Traveloka maupun Tokopedia menegaskan tidak akan menjadi penyelenggara umrah. Komitmen ini juga berlaku bagi unicorn lainnya.
“Umrah Digital dikembangkan dengan semangat meningkatkan standar manajemen sesuai kebutuhan masyarakat di era digital. Karenanya, PPIU juga dituntut untuk terus berinovasi memanfaatkan teknologi informasi,” pesan Arfi.
Arfi menambahkan, rapat juga menyepakati pembentukan task force terkait pengembangan umrah digital. Task force diharapkan mampu merespon disrupsi inovasi secara tepat. Di era digital, rentan terjadi perubahan model bisnis, proses bisnis, hingga ekosistem di sektor manapun, termasuk umrah.
Kemenag dan Kominfo akan terus berkoordinasi untuk mensinergikan kebijakan. Sesuai ranahnya, Kominfo berwenang mengatur unicorn, sedangkan Kemenag berwenang mengatur penyelenggaraan umrah. “Kita akan sinkronkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat sekaligus menjamin umat Islam dapat beribadah dengan baik,” jelasnya.
Masukan dari berbagai pihak patut didengar untuk menemukan skema terbaik dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah ke depan. Salah satunya, memfasilitasi kerjasama antara PPIU dengan unicorn. Dengan demikian, kedua pihak bisa saling bersinergi, bukan saling meniadakan.
“Kami juga akan mendengar masukan dari pihak lain supaya dapat mengambil kebijakan yang tepat,” ujar Arfi.
Sebelumnya, pada 24 Juni 2019, Kemenag juga menggelar diakusi terbatas membahas upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah umrah. Diskusi yang melibatkan beberapa instansi terkait dan asosiasi PPIU itu menghasilkan empat rekomendasi.
Pertama, memperkuat penegakan hukum dengan mensinergikan pengawasan oleh seluruh K/L terkait dan pengaktifan penyidik khusus.
Kedua, membentuk task force sebagai wujud kolaborasi pemerintah dan pelaku usaha guna merespon kebijakan-kebijakan Saudi.
Ketiga, mengembangkan platform digital yang sehat. Dan keempat, memperkuat pencegahan masalah dengan pengaturan internal (self regulation) PPIU dan edukasi publik.
Madinah (Kemenag) — Kakek jemaah haji Indonesia itu terbaring di ruang ICU RS King Fahd Madinah. Sebut saja namanya Abdullah (samaran). Jemaah asal embarkasi Surabaya (SUB) ini telah menjalani operasi di bagian kepalanya.
Kamis (25/07), kondisinya semakin membaik dan stabil hingga diperbolehkan dokter untuk diantar ke Makkah Al-Mukarramah guna mengikuti tahapan haji berikutnya. Yaitu, menjalani umrah wajib dan menunggu hingga puncak haji, fase Arafah-Muzdalifah-Mina atau Armuzna.
Saat tim Media Center Haji (MCH) bersama Konsultan Ibadah Daker Madinah Ustaz Tulus Sastrowijoyo menjenguk, tubuh pria paruh baya itu sudah berbalut kain ihram. Dia sudah siap diantar dengan ambulans menuju Kota Kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Sesaat sebelum dipindah ke ambulans, Ustaz Tulus membimbing Abdullah berniat ihram. Sekilas, nampak belum ada gerakan mulut Abdullah mengikuti bimbingannya. Abdullah lalu dibawa ke ambulans dan dinaikkan dalam posisi terbaring di atas velbed yang digunakannya sejak dari ruang ICU.
“Ikuti Bapak. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Nawaitul ‘umrata wa ahramtu bihaa lillaahi ta’aalaa. Tempat tahalul ku, di mana aku berhalangan,” demikian Ustaz Tulus mengulangi bimbingannya, diikuti gerak bibir Abdullah mengikuti ucapannya.
“Alhamdulillaaah,” sambung Ustaz Tulus. Nampak, para dokter, perawat, sopir, dan tim MCH yang ikut menyaksikan, menyeka mata yang tetiba berkaca-kaca.
Didampingi satu dokter dan satu perawat, Abdullah di antar menuju Makkah. Sebelumnya, Abdullah singgah di Masjid Bir Ali untuk miqat.
Kisah ini adalah fragmen dari tugas konsultan ibadah membimbing jemaah haji Indonesia yang sakit dan akan diberangkatkan ke Makkah melalui mekanisme evakuasi karena masih dalam perawatan, baik di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) maupun RS Arab Saudi. Diawali proses koordinasi dengan pihak KKHI, konsultan akan bersiap pada waktu yang telah ditentukan untuk membimbing jemaah haji Indonesia yang akan dievakuasi menuju Makkah.
Menurut Ustaz Tulus, ada dua kondisi jemaah yang akan dievakuasi. Pertama, apabila kondisinya sudah membaik/sehat, jemaah akan diminta mandi kemudian berwudhu, setelah itu dibimbing memakai ihram, dan berniat umrah. Kedua, jemaah yang kondisinya masih perlu perawatan lebih lanjut, niat umrahnya akan di-isytirat-kan (niat bersyarat).
“Bahwa tempat tahalul ku bilamana aku terhalang, kalimat itu yang sering kita bimbingkan ke jemaah. Apabila nanti sudah sampai di Makkah, jemaah tersebut tidak bisa langsung melaksanakan umrahnya, maka dilakukan tahalul, dibuka kain ihramnya dan mereka tidak dikenakan dam (denda),” jelasnya.
Fragmen lain diperankan oleh Eroh Bahiroh. Perempuan paruh baya ini ditempatkan di Masjid Bir Ali. Tugasnya, membimbing jemaah haji perempuan saat miqat dan berniat umrah. Tidak jarang, dia harus bekerja di bawah terik mentari dengan suhu udara mencapai 43 hingga 50 derajat Celcius.
Pegawai Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Banten ini senantiasa mengingatkan dan memastikan jemaah haji Indonesia sudah niat umrah. Kepada rombongan jemaah yang baru sampai Masjid Bir Ali, Eroh mengarahkan mereka untuk berwudlu, salat Tahiyatul Masjid, salat sunat umrah, lalu niat umrah. Kepada jemaah lansia yang berkeras turun dari bus dan ingin salat di Masjid Bir Ali, Eroh sigap menuntunnya, meniti tangga masjid dan mengarahkan petugas lain yang ada di dalam masjid agar menjaga jemaah tersebut hingga selesai salatnya.
Saat jemaah selesai salat dan keluar masjid, Eroh kembali mengingatkan mereka untuk berniat dan menjaga diri dari hal yang dilarang saat berihram, termasuk kenakan wangi-wangian.
“Setelah niat, jangan pakai make up lagi, apalagi parfum. Kaus kaki dan kerudung harus rapi. Jika ada jemaah perempuan yang tidak pakai kaus kaki, saya belikan dulu kaus kakinya. Kami, petugas Bir Ali juga menyedikan sandal,” jelasnya. Bimbingan ibadah juga Eroh lakukan kepada jemaah yang datang ke Bir Ali dalam kondisi berbaring di velbed ambulans.
Fragmen lain dari tugas konsultan ibadah daker Madinah adalah memberikan bimbingan seputar pelaksanaan ibadah arbain di Masjid Nabawi serta persiapan miqat Bir Ali. Tak lupa, para konsultan juga berkisah tentang sejarah perkembangan umat Islam di Madinah.
Tugas yang sama dilakukan oleh konsultan ibadah daker Makkah, namun dengan tema yang berbeda. Sejak kedatangan jemaah haji dari Madinah pada 14 Juli, dan dari Jeddah pada 20 Juli 2019, konsultan sibuk dengan kegiatan visitasi, memberi bimbingan ibadah kepada para jemaah. Bimbingan yang diberikan seputar umrah dan haji, baik secara Fiqih hingga menggali makna hakiki dalam setiap ritusnya. Jemaah diajak untuk tidak semata menjalani haji secara fiqhiyah, tapi juga mendalami setiap maksud dan tujuan yang terkandung dalam rangkaian ibadahnya, mulai dari tawaf dan sai, hingga fase Arafah-Muzdalifah-Mina. Termasuk juga, memberikan pemahaman tentang makna dan rahasia kemabruran.
Di bawah koordinasi Kabid Bimbingan Ibadah, para konsultan juga ikut terlibat dalam proses bimbingan ibadah jemaah yang akan mengikuti safari wukuf, serta seleksi petugas badal haji.
Menghadirkan Konsultan
Sejak lima tahun terakhir, Kementerian Agama di bawah pimpinan Menag Lukman Hakim Saifuddin (LHS) fokus pada upaya penguatan bimbingan ibadah bagi jemaah, di samping tentunya peningkatan aspek layanan lainnya, seperti akomodasi, katering, dan transportasi. Fokus itu antara lain dengan menghadirkan konsultan ibadah yang bertugas melakukan visitasi dan edukasi ke sektor-sektor pemondokan.
Keberadaan konsultan ibadah sebelum Menag LHS memang ada. Namun, perannya lebih sebagai tempat bertanya untuk setiap persoalan perhajian yang muncul di setiap tahun penyelenggaraan. Konsultan berkantor di kantor daker. Mereka yang ingin bertanya, datang ke kantor daker Makkah.
Sejak 2014, Kemenag membuat terobosan baru. Konsultan diberi peran lebih dinamis. Selain sebagai tempat bertanya, konsultan juga melakukan visitasi ke hotel jemaah untuk menyapa dan memberikan bimbingan kepada jemaah, sekaligus memperkuat peran petugas bimbingan ibadah (bimbad) yang ada di sektor. Memahami bahwa KH Hamid Alkaff yang selama ini berperan sebagai konsultan sudah semakin sepuh, Kasubdit Bina Petugas saat itu, Khoirizi H Dasir melakukan regenerasi dengan menugaskan KH M Muhtar Ilyas sebagai konsultan ibadah haji 1435H/2014M dan Prof. Dr Aswadi dari UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai konsultan ibadah 1436H/2015M. Sinergi petugas bimbad dan konsultan menjadi ujung tombak program bimbingan ibadah untuk jemaah selama di Makkah.
Kebijakan ini dikembangkan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah setahun berikutnya. Untuk lebih mengoptimalkan peran konsultan, dibentuklah tim konsultan di Daker Makkah. Sejak 2016, sedikitnya ada lima konsultan di Daker Makkah yang berbagi peran dalam memberikan bimbingan kepada jemaah. Mereka berkeliling dari satu hotel ke hotel lainnya secara terjadwal dan berkala untuk memberikan penguatan pemahaman kepada jemaah seputar haji dan maknanya.
Keberadaan konsultan ibadah semakin diperkuat dalam tiga tahun terakhir. Sejak 2017 hingga sekarang, selain di Daker Makkah, konsultan juga ditempatkan di Daker Madinah. Bahkan, ada dua konsultan juga di tiap sektor hotel jemaah haji di Makkah yang rata-rata terdistribusi dalam 11 sektor.
Seiring bertambahnya personel, terjadi penguatan program. Semakin luas pula jangkauan pembinaan yang bisa dilakukan. Terobosan ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah jemaah haji Indonesia. Dus, diharapkan dapat membantu jemaah dalam menggapai kemabruran. Dampak lanjutannya, muncul pribadi-pribadi Muslim Indonesia yang memiliki pemahaman dan pengamalan keagamaan yang semakin berkualitas, baik secara personal maupun sosial.
Pesan Wasathiyah Wasathiyah (moderasi) dalam beragama menjadi bagian dari pesan bimbingan ibadah yang disampaikan konsultan kepada jemaah. Wasathiyah yang dimaksud di sini adalah cara pandang dan praktik menjalankan ibadah haji yang sesuai dengan ketentuan fikih di satu sisi, dan dengan tetap menimbang aspek non-fikih, seperti kesehatan dan keselamatan, di sisi lain.
Pengendali Teknis Bimbingan Ibadah Haji Oman Fathurahman, Minggu (28/07) mengatakan, setidaknya ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan sikap wasathiyah dalam praktik ibadah haji, yakni: berilmu, berbudi, dan berhati-hati.
Pertama, berilmu artinya moderasi beragama mengandung nilai agar praktik berhaji diiringi dengan pengetahuan fikih manasik haji yang memadai, dan sekaligus kaidah-kaidah ushul fikih yang melengkapi. Prinsip “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”, yakni mengutamakan menolak resiko bahaya ketimbang mengambil manfaat, selayaknya lebih dikedepankan; tidak memaksakan menjalankan ibadah, terutama yang sunnah, jika jiwa taruhannya.
Terkait ritual melempar jumrah aqabah pada 10 Zulhijjah misalnya, narasi fikih manasik haji menempatkan waktu pagi hingga menjelang naiknya matahari (zawal) sebagai waktu utama. Namun, untuk menghindarkan kondisi zahmah (berdesakan), krodit, Pemerintah Arab Saudi mengambil kebijakan rekayasa jalur lalu lintas pergi pulang jemaah dari Jamarat, dan melarang jemaah haji Indonesia melempar jumrah pada waktu utama tersebut.
Kini, rekayasa tersebut juga mencakup lokasinya, di mana jemaah haji kita, dan Asia Tenggara, diharuskan melempar melalui jalur Jamarat di Lantai 3. Meski berbeda dengan fikih manasik yang kita pahami, tentu kita harus mematuhinya, demi keselamatan.
Kedua, prinsip berbudi dalam moderasi mengandung nilai agar jemaah haji juga mempertimbangkan aspek etika dalam mengejar pahala. Praktik ibadah harus diiringi sikap mengendalikan emosi, bersabar, dan mengedepankan akhlak mulia. Dalam menjalani keseluruhan prosesi haji, jemaah tidak bisa mengedepankan egonya sembari mengusik kenyamanan jemaah lain. Mencium Hajar Aswad, misalnya, memang sebuah keutamaan yang dicontohkan Rasul, tapi jika untuk mendapatkannya saja harus sikut kiri senggol kanan mencelakakan diri dan jemaah lain, jelas bukan cara yang dianjurkan untuk mendapatkan kemabruran.
Ketiga, moderasi beragama juga mengandung pesan untuk selalu berhati-hati dalam bertindak, tidak gegabah, dan selalu mempertimbangkan baik buruknya setiap pilihan. Konsisten berada di tengah bukan berarti diam saja, melainkan dinamis bergerak merespons situasi dengan cermat.
Meyakini bahwa Masjidil Haram adalah tempat suci, itu adalah bagian dari ajaran agama. Tapi, keyakinan itu bukan berarti harus meletakkan sikap waspada dan hati-hati, karena nyatanya tidak sedikit jemaah haji kita yang kehilangan dompet dan uang yang dibawanya, bahkan ketika mereka melakukan tawaf di depan Ka’bah sekalipun.
Tidak hanya oleh konsultan, pesan wasathiyah, yang menekankan adanya keseimbangan dalam beribadah haji, sudah seharusnya digaungkan dan didakwahkan oleh jemaah agar semakin terinternalisasi dalam pemahaman dan mewujud dalam laku hidup keseharian, tidak hanya ketika berada di Tanah Suci, tapi juga saat sudah kembali ke Tanah Air. Berilmu, berbudi, dan berhati-hati, adalah kunci.
Di Saudi Arabia, ada sebuah aturan agar seseorang diizinkan untuk berhaji. Aturan ini dikeluarkan oleh pemerintah. Seseorang yang akan berhaji harus punya syarat tashrih. Namun syarat ini hanya dikeluarkan lima tahun sekali. Artinya lima tahun sekali baru bisa berhaji. Selain menjadi keputusan pemerintah, syarat ini menjadi keputusan negara-negara Islam dalam naungan OKI[1].
Kadang aturan yang kami sebutkan di atas tidak diindahkan. Kami temui di kalangan mahasiswa bahkan yang kuliah di Jami’ah Islamiyah terkemuka melanggar aturan ini. Bukan hanya satu atau dua orang nekad untuk berangkat haji tanpa adanya tashrih ini, namun bisa ratusan orang. Akhirnya Makkah dan Masy’aril Harom jadi penuh sesak di antara sebabnya karena pelanggaran ini. Kalau kita menilai, sungguh yang mereka lakukan memang menyesahkan. Tujuannya memang baik yaitu ibadah. “Kita kan mau ibadah”, kata mereka. Tetapi di satu sisi itu melanggar aturan. Juga di sisi lain hanya menyesakkan tempat-tempat haji. Padahal ribuan orang ingin berhaji sampai harus mengantri bertahun-tahun, namun diresahkan dengan mereka-mereka yang secara ilegal datang ke tanah suci tanpa tasyrih.
Ada fatwa ulama Saudi Arabia yang kami temukan tentang masalah tasyrih ini. Fatwa pertama adalah dari Syaikh Dr. ‘Abdul Karim Al Khudair hafizhohullah. Beliau adalah salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah di Riyadh. Beliau pun menjadi anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Beliau hafizhohullah ditanya,
ما حكم من يَحُجُّونَ بدُونِ تصريح، وبعضُهُم يلبسُ المخيط بعد المِيقات حتَّى لا يُمنع؟
Apa hukum seseorang berangkat haji tanpa tashrih? Mereka yang berangkat haji tanpa tashrih ini sengaja menggunakan pakaian ihrom setelah miqot sehingga mereka pun tidak dicegat (oleh aparat).
أوَّلاً التَّصريح هذا التَّحديد بِخمس سنوات مَبْنِيّ على فتوى من أهلِ العِلم، ومُخالَفَتُهُ لا شكَّ أنَّها مُخالفة لولِيِّ الأمر الذِّي لُوحِظَ فيهِ المَصْلَحَة، ولُوحِظَ فيهِ أيضاً البِناء على قولِ أهلِ العلم، فلا ينبغي مُخالفة هذا الأمر؛ لكنْ إنْ رَأى الشَّخص أنْ يَحُجّ امتِثالاً لِما وَرَدَ من الأحاديث الكثيرة في التَّرغيبِ في الحج، ولمْ يَتَرَتَّب على ذلك لا كَذِب، ولا رِشْوَة ولا احتِيَال ولا ارْتِكابِ محظُور، فَيُرْجَى؛ أمَّا إذا أدَّى ذلك إلى الكذب أو رِشْوَة، أو تَحَايُل، أو ارْتِكاب مَحْظُور كما يُفْعَل الآن، بَعْضُهُم يَرْتَكِب مَحْظُور ويدخُل ويَتَجَاوز المِيقات بِثَِيَابِهِ، هذا كُلُّهُ لا يَجُوز، ولا يُسَوِّغ لهُ ذلك.
Pertama, tashrih ini adalah aturan yang ditetapkan setiap lima tahun sekali (artinya setiap lima tahun sekali izin tashrih ini keluar baru ia dibolehkan untuk berhaji, pen). Ini telah menjadi fatwa para ulama (saat ini). Dan tidak diragukan lagi, orang yang berangkat haji tanpa tashrih sangat jelas telah menyelisihi aturan penguasa yang ada. Apalagi penetapan adanya syarat tasyrih ini ada maslahat yang besar. Bahkan dalam hal ini dibangun di atas fatwa para ulama. Sehingga tidak pantas seorang pun menyelisihi syarat tasyrih ini.
Akan tetapi jika seseorang ingin menjalankan haji dalam rangka menjalankan perintah Allah karena melihat hadits-hadits yang banyak yang memotivasi hal ini, lalu ia tidak berbuat dusta (dengan menyelisihi aturan, pen), tidak menyogok, tidak mengelabui dan tidak melakukan yang terlarang, maka hendaklah ia melaksanakan haji. Namun jika ia malah melakukan haji dengan melakukan dusta, mengelabui (petugas yang ada), atau melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan sekarang, yaitu sebagian orang bersengaja melakukan larangan dengan memasuki miqot untuk berhaji tanpa mengenakan pakaian ihrom, ini tentunya tidak boleh. Sama sekali hal ini tidak dibolehkan.
Setelah melakukan searching lagi, kami pun mendapat beberapa kalam ulama kibar lainnya tentang tidak bolehnya berhaji tanpa tashrih.
Al Mufti Al ‘Amm, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Sesungguhnya penguasa tidaklah menetapkan syarat berangkat haji harus dengan tasyrih dengan sia-sia belaka. Keputusan seperti ini bisa ada karena sebagian orang mengadukan kepada penguasa bahwa terlalu sesaknya orang-orang saat haji. Oleh karena itu, mereka keluarkan syarat tashrih yaitu untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berhaji (agar tempat haji tidak penuh sesak).”
Syaikh ‘Abdullah bin Sulaiman Al Manii’ hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama berkata, “Barangsiapa berhaji tanpa tashrih, maka ia berhaji dengan maksiat dan dosa. Mengenai kadar dosanya adalah perhitungan di sisi Allah. Namun, orang yang berhaji dengan tashrih seperti ini, hajinya sah, akan tetapi ia bedosa. Jika Allah kehendaki, Allah akan menghukumnya. Jika tidak, Allah akan maafkan dia. Hal ini sama halnya dengan orang yang berhaji tanpa mahrom.”
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama menyatakan tentang berhaji tanpa tashrih, “Tidak boleh seseorang berhaji dengan menyelisi aturan (yaitu berangkat haji tanpa adanya tashrih, pen)”.
Syaikh Sulaiman Al Majid mengatakan, “Asalnya seseorang wajib memenuhi syarat tasyrih. Karena ini adalah bagian dari aturan yang wajib ditaati. Inilah aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang berhaji. Aturan ini masuk dalam aturan siyasah yang dibenarkan.”
Syaikh Yusuf bin ‘Abdillah Asy Syubaili, Guru Besar Fiqh di Ma’had Al ‘Ali Lil Qodho’ berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu mendapatkan syarat tasyrih untuk berhaji, maka afdholnya ia tidak berhaji dalam rangka mentaati penguasa dan memberikan kelonggaran (kemudahan) untuk berhaji bagi kaum muslimin lainnya. Cobalah ia gunakan hartanya yang ada untuk bersedekah, menolong orang-orang yang tidak berhaji supaya dapat berhaji. Jika ia melakukan demikian, ia akan mendapatkan pahala semisal itu pula (semisal pahala haji). Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menolong orang yang berperang (berjihad), maka ia pun terhitung berjihad.”
Bentuk Kezholiman Orang yang Berhaji Tanpa Tashrih
Kita sudah tahu bahwasanya wajibnya haji itu hanya sekali. Namun begitulah, kenapa sebagian orang nekad-nekadan untuk tunaikann haji. Katanya sih, “Kok mau ibadah haji saja dilarang?”
Ya ikhwan … Aturan ini dibuat karena ada maslahat. Di antara maslahatnya adalah agar orang tidak terlalu banyak yang berhaji, masy’aril harom tidak sesak. Coba bayangkan jika setiap orang nekad-nekadan seperti Saudara, berhaji tanpa tashrih, atau diistilahkan lewat jalur Cowboy (“Ngoboy”, kata mereka). Bukankah ini menyesaki Masjidil Haram, tempat thawaf, tempat wuquf dan lainnya? Saudara sama saja mengambil hak orang lain. Masih banyak yang ingin berhaji, yaitu tunaikan yang wajib, namun karena ada Saudara, akhirnya mereka pun susah. Bukankah demikian?
Sungguh, sikap yang baik, berilah kesempatan bagi mereka yang belum berhaji. Berilah kesempatan pada mereka jika Saudara tinggal jalankan haji yang sunnah. Cobalah miliki akhlaq sebagaimana kaum Muhajirin dan Anshar, di mana mereka saling mendahulukan saudaranya dalam kebutuhan padahal mereka sendiri butuh.
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan” (QS. Al Hasyr : 9).
Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.
Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa ‘iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)
Saudaraku … renungkan hal ini. Cobalah seperti kaum Muhajirin dan Anshor yang saling mendahulukan satu dan lainnya. Tidakkah kau ingin dapat keutamaan seperti mereka (Muhajirin dan Anshar)? Dahulukanlah saudaramu, di balik itu pasti ada balasan dari Allah dengan yang lebih baik.
Melanggar Aturan Penguasa Juga Berdosa
Saudaraku … Melanggar aturan penguasa juga sebenarnya keliru. Ini bukan sembarang aturan. Karena jika kita mentaati penguasa, sama saja kita mentaati Allah. Renungkanlah firman Allah Ta’ala,
“Jika ada yang memerintah kalian untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah mentaatinya.” (HR. Ahmad. Dikatakan oleh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini hasan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Tidak boleh mereka (satu pun makhluk) ditaati dalam kemungkaran. Yang dimaksud perbuatan ma’ruf (yang wajib ditaati) adalah perkataan yang dibolehkan oleh syari’at.” (‘Aunul Ma’bud, 7/208). Syarat tashrih adalah aturan makhluk yang tidak menyelisihi syariat, sehingga sudah sepatutnya ditaati.
Apalagi sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al Khudair, aturan tasyrih ada maslahat. Para ulama terangkan bahwa selama aturan penguasa itu ada maslahat, maka wajib ditaati. Aturan penguasa yang tidak wajib ditaati adalah aturan yang menyelisihi syariat Allah. Dan sama sekali aturan tasyrih ini tidak menyelisihi aturan Allah sehingga sudah sepatutnya ditaati.
Demikian, tulisan ini kami rangkai sebagai nasehat untuk mahasiswa KSU (King Saud University). Agama adalah nasehat. Hanya Allah yang beri hidayah dan petunjuk. Kami hanya sekedar menyampaikan.
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu bermanfaat.” (QS. Al A’la: 9)
Written on 4th Dzulhijjah 1431 H (10/11/2010), KSU, Riyadh, KSA
Kurma merupakan salah satu makanan favorit masyarakat di kawasan Jazirah Arab. Dari sekian banyak jenis kurma, Rasulullah memiliki satu jenis kurma favorit yaitu kurma ajwa. Kurma ini berasal dari Madinah, dan biasa tumbuh di dataran tinggi. Kurma Ajwa memiliki ciri khusus dibanding kurma lain, yaitu berwarna lebih hitam dan berukuran lebih kecil.
Nama ajwa, nyatanya berasal dari nama seorang putri dari sahabat Nabi Muhammad asal Persia, Salman Al-Farisi. Salman adalah seorang sahabat yang sangat loyal dan cinta kepada Islam dan Nabi Muhammad SAW. Salman mewakafkan sebidang kebun kurmanya untuk sumber biaya perjuangan kaum Muslim dalam membela Islam.
Rasulullah pun menamakan kurma pemberian Salman sebagai kurma ajwa yang terinspirasi dari nama putri Salman yaitu Ajwah. Kurma ini juga tidak pernah absen dari menu harian Rasulullah terlebih saat berbuka puasa.
Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda bahwa, sesungguhnya dalam kurma ajwah yang berasal dari Aliyah, arah Kota Madinah di dataran tinggi dekat Najed itu mengandung obat penawar ataud ia merupakan obat penawar racun apabila dikonsumsi pada pagi hari.
Adapun alasan Nabi menjadikan kurma ajwa sebagai kurma andalan yang selalu menemani Beliau mengakhiri puasa, karena kurma ini dipercaya mampu menangkal racun dan ilmu hitam. Seperti yang diterangkan Rasulullah dalam hadis riwayat Bukhari. Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang makan pagi dengan tujuh butir kurma ajwa, maka tak akan mencelakainya racun dan sihir dihari itu. (HR Bukhari).
Selain sebagai penawar sihir, menurut penelitian, kurma Ajwa ternyata memiliki kandungan protein sebesar 1.8 hingga 4.0 persen, serta serat sebanyak 2.0 hingga 4.0, dan kandungan glukosa sebanyak 50-70.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Kesahatan Dunia (WHO), zat glukosa dalam kurma berbeda dengan gula pada buah-buahan lain, karena dapat langsung diserap oleh tubuh. Sedangkan kandungan gula dalam buah lain, seperti tebu adalah sukrosa yang harus dipecahkan terlebih dahulu oleh enzim sebelum berubah menjadi glukosa dan mampu diserap tubuh. Namun yang paling istimewa dari buah ini adalah, bibitnya ditanam langsung oleh Rasulullah pada 14 abad lalu dan masih dibudidayakan hingga saat ini.
Seorang mukmin haruslah bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya. Seorang mukmin tidak pantas berlaku sombong, takabur, atau membanggakan diri. Sebab, semua yang ia miliki hanyalah karunia, bahkan titipan Allah. Ia tidak punya hak untuk berlaku sombong atas apa yang ia miliki.
Sayyiduna Abu Bakar al-Shiddiq RA mengatakan, ”Ada tiga hal yang tidak bisa dicapai dengan tiga hal lainnya (melainkan hanya dengan izin Allah): yaitu kekayaan tidak bisa dicapai dengan cita-cita semata; keremajaan tidak akan dapat dicapai dengan disemir semata; dan kesehatan tidak akan dapat dicapai dengan obat-obatan semata.”
Dengan kata lain, dapat disebutkan kekayaan tidak dapat dicapai dengan cita-cita, melainkan karena anugerah Allah semata. Keremajaan tidak dapat dikembalikan dengan menyemir rambut yang beruban dan tindakan lainnya, sebab berkaitan dengan usia, sedangkan usia berkaitan dengan zaman dan zaman itu tidak dapat dimundurkan.
Begitu pula halnya dengan kesehatan, ia tidak dapat diraih dengan memakai obat-obatan bila orang yang bersangkutan jatuh sakit, melainkan yang menyembuhkannya pada hakikatnya adalah Allah semata.
Kita hanya dianjurkan untuk berikhtiar, sedangkan yang menentukan hasilnya adalah Allah. Jadi, apa yang dapat kita sombongkan? Apa yang membuat kita takabur? Apa yang menjadikan kita membanggakan diri? Kalau toh itu semua, pada hakikatnya bukan milik kita.
Itu semua hanya karunia Allah. Di sinilah hakikat bersyukur. Bersyukur artinya kita menyadari semua kekayaan, harta yang melimpah ruah, masa remaja, kesehatan, dan sebagainya merupakan anugerah Allah.
Dalam hal ini, berlaku “matematika” syukur; apabila kita bersyukur, niscaya Allah akan menambahkan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Sebaliknya kalau kita kufur, kita akan mendapat adzab yang pedih. Allah berfirman, ”Maka, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nilmat)-Ku. (QS Al-Baqarah [2]: 152).
Semoga, kita menjadi hamba Allah yang pandai mensyukuri nikmat-Nya dan bukan seseorang yang hanya bisa mengingkari nikmat-Nya. Ingatlah, sebagaimana nasihat sahabat Nabi, Abu Bakar RA, bahwa kekayaan, keremajaan atau masa muda, dan kesehatan itu dapat kita capai semata-mata dengan izin Allah.
Memasuki hari ke-20 jamaah haji Indonesia berada di Madinah, atau hari ke-11 usai pemberangkatan pertama ke Makkah, total jamaah haji Indonesia yang menuju Makkah mencapai 160 kloter. Perinciannya, 20 kloter dengan Bus Abu Sarhad, 64 kloter dengan bus Rawahil, 28 kloter dengan bus Hafil, 5 kloter dengan bus Durrat, 26 kloter menggunakan vus Rabitat, dan 17 kloter dengan bus Al-Massa. Pada Rabu (24/7), sebanyak 24 kloter berangkat menuju Makkah.
Namun demikian, sebelum jamaah sampai di Makkah, mereka harus singgah dulu di Bir Ali yang dahulu bernama Dzulhulaifah. “Mereka wajib mengambil miqat di Bir Ali, selanjutnya menuju Makkah untuk melaksanakan umrah,” ujar Ketua Sektor Khusus Bir Ali dan Hijrah (Birhij), Sahbudin, kepada wartawan Media Center Haji (MCH) di Sektor Birhij, Madinah, Rabu (24/7).
Mengapa? Sahbudin menegaskan, setiap rombongan jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Makkah, diharuskan atau wajib untuk singgah di Bir Ali atau Dzulhulaifah ini. “Harus singgah disini untuk mengambil miqat dan berniat ihram,” kata dia.
Sebab, kata Sahbudin, bila sopir yang membawa mereka tidak singgah di Bir Ali, atau bablas sampai Makkah, maka mereka diharuskan membayar denda karena dianggap melarang salah satu dari syarat sah ibadah haji atau umrah.
“Itu sudah ketentuan yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Bahwa ada sejumlah tempat miqat bagi jamaah haji, antara Bir Ali, Yalamlam, dan lainnya,” kata dia.
Tidak hanya jamaah haji Indonesia, kata dia, jamaah dari negara lain pun yang kebetulan mengambil niat haji atau umrah yang berangkat dari Madinah, maka mereka harus singgah di Bir Ali. Jamaah Mesir punya miqatnya sendiri bila mereka berangkat langsung menuju Makkah. Jamaah Muslim dari Eropa juga demikian.
Dan jamaah haji Indonesia, bila tujuannya lebih dulu ke Madinah, maka tempat miqatnya di Bir Ali. Dan bila dari Indonesia langsung menuju Makkah, maka miqatnya di Yalamlam.
“Biasanya jamaah haji Indonesia yang akan mengambil miqat di Yalamlam, disarankan memakai pakaian ihram di Bandara keberangkatan. Paling tidak, ketika sudah berada di pesawat,” ujarnya.
Lalu bagaimana bila mereka tidak mampir atau singgah di Bir Ali? “Jika seandainya sampai bablas ke Makkah, kami akan informasikan bahwa bus nomor sekian, kloter sekian, tidak mampir ke Bir Ali. Dan bila bus yang membawa jamaah sudah melewati Bir Ali dan tidak terlalu jauh, mereka disarankan untuk kembali ke Bir Ali,” ungkapnya.
Jamaah haji Indonesia mengambil air wudhu di Masjid Bir Ali, Madinah, Rabu (24/7). Masjid Bir Ali atau Masjid Dzulhulaifah ini menjadi tempat miqat atau niat ihram bagi jamaah haji yang berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk berhaji atau umrah.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak PPIH Arab Saudi sudah mengatur jadwal keberangkatan dan melakukan pencatatan secara terperinci untuk melakukan koordinasi, termasuk nomor kontak sopir yang membawa jamaah.
“Kami selalu mengingatkan para sopir, ketua kloter, ketua rombongan, bahkan ketua regu untuk mengingatkan sopirnya supaya berhenti dan singgah di Bir Ali mengambil miqat,” terangnya.
Selain itu, lanjutnya, di Bir Ali, jamaah juga dipastikan sudah memakai pakaian ihram. Yang artinya, kata dia, jamaah laki-laki tidak lagi memakai pakaian dalam. “Hanya dua helas pakaian saja dan tidak berjahit. Kami di Bir Ali harus memastikan jamaah sudah berpakaian sesuai syariah itu,” kata dia.
Dan bila jamaah sudah mengambil miqat di Bir Ali, serta telah memulai niat, maka saat itulah berlaku larangan ihram bagi jamaah. Antara lain, tidak mencabut atau mencukur rambut, tidak mencabut bulu, tidak mencukur kumis atau jenggot, tidak menutup kepala, tidak menggunakan masker, dan sesuatu yang dilarang. “Seandainya mereka melanggar larangan ihram itu, maka mereka wajib membayar fidyah atau denda,” terangnya.