Doa Terbaik Saat Wukuf di Padang Arafah

Perbanyak membaca tahlil saat wukuf di Padang Arafah.

Inti ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Seluruh jamaah–tak terkecuali yang sakit–harus melaksanakannya. Terhadap jamaah yang sakit, penyelenggara haji Indonesia biasanya akan berkoordinasi dengan pihak khadim al-haramain untuk agar mereka dapat disafariwukufkan.

Saat wukuf, aktivitas seluruh jamaah haji beragam–kecuali saat shalat dan khutbah. Jamaah pada umumnya (sangat) bergantung pada pembimbing. Saat berdoa, misalnya, tak sedikit jamaah yang hanya mengamini pembimbing.

Padahal, setiap jamaah dimungkinkan untuk berdoa secara langsung kepada Allah. Pilihlah doa yang terbaik, sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Pertanyaannya, apa saja butir doa yang sebaiknya kita panjatkan saat sedang wukuf?

Hakim meriwayatkan:

Musa AS berkata, “Wahai Tuhanku, ajarkan kepadaku doa. Dengan doa itu, nantinya aku akan berdoa dan bermunajat kepada-Mu.”

Allah berfirman, “Wahai Musa, katakanlah: Tiada Tuhan selain Allah.”

Musa AS berkata, “Wahai Tuhanku, setiap orang menyebutkan (kalimat) tiada Tuhan selain Allah.”

Allah berfirman, “Wahai Musa, andai tujuh langit dan bumi berada dalam satu piring timbangan dan (kalimat) ‘tiada Tuhan selain Allah’ berada dalam satu piring timbangan yang lainnya, tentu (kalimat) ‘tiada Tuhan selain Allah’ akan lebih berat.”

***

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah ungkapan yang sangat revolusioner bagi penguasa otoriter pada masa Jahiliyah.

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah ungkapan universal untuk memerdekakan manusia dari sesembahan kepada selain Allah.

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah kalimat yang sarat makna yang disodorkan Allah kepada Nabi Musa AS agar dia dan umat manusia hanya tunduk kepada-Nya.

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah deklarasi, telah terbentuknya tatanan masyarakat baru menggantikan tatanan masyarakat lama (Jahiliyah).

Tiada Tuhan selain Allah. Kalimat yang dengannya langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya diciptakan oleh Allah. Dan, di atas kalimat ini pula Din al-Islam didirikan.

“Tiada Tuhan selain Allah” menjamin darah, harta, dan keturunan terpelihara. “Tiada Tuhan selain Allah” merupakan instrumen untuk menjamin keselamatan umat manusia dari azab kubur dan azab neraka. Bahkan, sesuai sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa akhir ucapannya adalah ‘tiada Tuhan selain Allah’, maka dia akan masuk surga.”

Kalimat tahlil atau La Ilaha Illallah merupakan kalimat tauhid. Kalimat penyucian. Kalimat pengakuan. Kalimat keyakinan. Kalimat pengharapan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik doa yang dipanjatkan pada hari Arafah dan sebaik-baiknya kalimat yang aku ucapkan, dan (juga) para nabi sebelum aku (ucapkan) adalah: La ilaha Illallah, wahdahu laa syarika lahu.” (HR Tirmidzi).

Oleh: Mahmud Yunus

sumber : Pusat Data Republika

Qurban Diniatkan untuk Orang yang Sudah Meninggal

ADA dua pertanyaan yang masuk ke WA saya berkenaan dengan ibadah qurban: pertama, bagaimanakah hukum berqurban untuk orang yang sudah meninggal? Kedua, bolehkah daging qurban diberikan kepada orang non-muslim?

Jawaban untuk pertanyaan pertama adalah bahwa ada beberapa pendapat tentang ini. Secara ringkas adalah bahwa madzhab Hanafi, Hambali dan sebagian madzhab Syafi’i menyatakan masyru’iyyah qurban bagi mayyit secara mutlak.

Jadi, silahkan saja berqurban dengan diniatkan untuk orang hang sudah meninggal. Pandangan ulama tentang ini bisa dibaca, di antaranya, dalam kitab “Bada’i al-Shana’i'” 5/72, “Iqna'” 1/236 dan “Majmu'” 8/406.

Untuk pertanyaan kedua jawabannya adalah bahwa boleh saja daging qurban diberikan kepada non-muslim karena hukumnya sama dengan shadaqah sunnah lainnya. Semoga dengan ibadah qurban, mereka terbuka hati untuk meyakini Islam sebagai agama yang dimensi sosialnya sangat kental terasa.

Meski demikian, skala prioritas tetaplah berlaku. Artinya, distribusi daging qurban seyogyanya didasarkan pada peringkat kebutuhan. Siapa yang paling membutuhkan bantuan, dahulukan. Bukankah nilai sosial juga berkaitan dengan skala prioritas ini?

Yang paling penting adalah bukan sering bertanya dan mencari jawaban atas pertanyaan itu, melainkan langkah nyata untuk ikut serta berqurban. Marilah kia berada dalam kafilah manusia yang berqurban karena Allah SWT. Ada bahagia dalam kafilah itu. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Macam-Macam Syirik dalam Ibadah (Bag.14): Lanjutan Syirik dalam Menyembelih Binatang

Baca pembahasan sebelumnya Macam-Macam Syirik dalam Ibadah (Bag.13): Syirik dalam Menyembelih Binatang

2. Tasmiyyah (penyebutan nama ketika akan menyembelih) terdapat tiga kemungkinan:

a) Menyebut nama Allah saja, maka ini adalah ibadah yang bernilai Tauhid.

Allah Ta’ala berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ

(118) Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya. [QS. Al-An’aam: 118].

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

(121) Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. [QS. Al-An’aam: 121].

Dari kedua ayat tersebut di atas menunjukkan diperintahkannya menyebut nama Allah saja ketika akan menyembelih, dan tidak boleh menyebut nama selain-Nya.

Barangsiapa yang menyebut nama Allah saja ketika akan menyembelih, maka hal itu termasuk ibadah yang bernilai Tauhid.

b) Menyebut nama selain Allah, maka ini adalah ibadah syirik dalam memohon pertolongan (isti’anah).

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

(121) Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. [QS. Al-An’aam: 121].

Yang dimaksud “kefasikan” dalam ayat ini adalah sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat ke-145, yaitu: menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah, maka perbuatan tersebut adalah kefasikan yang sekaligus merupakan kesyirikan.

Karena definisi “kefasikan” adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, sehingga cakupan istilah “kefasikan” itu umum, mencakup kekafiran atau dosa di bawahnya.

Sehingga kesyirikan dalam tasmiyyah yang dimaksud dalam ayat ini adalah menyebut nama selain Allah ketika akan menyembelih.

Sedangkan Allah Ta’ala berfirman di akhir ayat :

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. Maksudnya: apabila kamu menuruti mereka dalam kesyirikan, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik sebagaimana mereka musyrik.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

(145) Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau kefasikan berupa binatang yang disembelih atas nama selain Allah. [QS. Al-An’aam: 145].

Berkata Al-Bahawi rahimahullah menafsirkan “kefasikan berupa binatang yang disembelih atas nama selain Allah”

وهو ما ذبح على غير اسم الله تعالى

“Yaitu : binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah Ta’ala”.

Allah Ta’ala berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.[QS. Al-Faatihah].

Menyebut nama selain Allah, seperti menyebut nama nyai roro kidul, ini hakekatnya mengandung permohonan pertolongan (isti’anah) kepada nyai roro kidul dan permohonan keberkahan (tabarruk) kepadanya, padahal keduanya adalah ibadah, dan dalam hal ini ditujukan kepada selain Allah, maka perbuatan ini berarti kesyirikan dalam isti’anah dan dalam Rububiyyah.

c) Tidak menyebut nama siapapun, maka ini hukumnya haram.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

(121) Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. [QS. Al-An’aam: 121]. Larangan dalam ayat ini menunjukkan haramnya tidak menyebut nama Allah ketika akan menyembelih, termasuk di dalamnya adalah tidak menyebut nama siapapun.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Said Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50476-macam-macam-syirik-dalam-ibadah-bag-14-lanjutan-syirik-dalam-menyembelih-binatang.html

Keutamaan Waktu Ba’da Ashar Hari Jumat

Salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah ba’da ashar di hari Jumat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

‘Pada hari Jum’at terdapat dua belas jam (pada siang hari), di antara waktu itu ada waktu yang tidak ada seorang hamba muslim pun memohon sesuatu kepada Allah melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah ia di akhir waktu setelah ‘Ashar.’[HR. Abu Dawud]

Iman Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa waktu mustajab itu adalah ba’da ashar, beliau berkata,

قال الإمام أحمد : أكثر الأحاديث في الساعة التي تُرجى فيها إجابة الدعوة : أنها بعد صلاة العصر ، وتُرجى بعد زوال الشمس . ونقله عنه الترمذي

“Kebanyakan hadits mengenai waktu yang diharapkan terkabulnya doa adalah ba’da ashar dan setelah matahari bergeser (waktu shalat jumat).” [Lihat Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Ibnul Qayyim berkata,

وهذه الساعة هي آخر ساعة بعد العصر، يُعَظِّمُها جميع أهل الملل

“Waktu ini ini adalah akhir waktu ashar dan diagungkan oleh semua orang yang beragama” [Zadul Ma’ad 1/384]

Bagaimana maksud ba’da ashar tersebut? Berikut penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah. Beliau berkata,

فمن أراد أن يتحرى وقت الإجابة بعد العصر يوم الجمعة : فلذلك صور متعددة ، منها:

١. أن يبقى بعد صلاة العصر لا يخرج من المسجد يدعو ، ويتأكد ذلك منه في آخر ساعة من العصر ، وهذه أعلى المنازل

وكان سعيد بن جبير إذا صلى العصر لم يكلم أحداً حتى تغرب الشمس

٢. أن يذهب إلى المسجد قبل المغرب بزمن ، فيصلي تحية المسجد ، ويدعو إلى آخر ساعة من العصر ، وهذه أوسط المنازل

٣. أن يجلس في مجلس – في بيته أو غيره – يدعو ربه تعالى في آخر ساعة من العصر ، وهذه أدنى المنازل

“Bagi yang menginginkan mencari waktu mustajab setelah Ashar hari jumat, ada beberapa cara:

1. Tetap tinggal di masjid setelah shalat ashar, tidak keluar dari masjid dan berdoa. Ditekankan ketika akhir waktu ahsar (menjelang magrib), ini adalah kedudukan tertinggi.

Said bin Jubair jika shalat ashar tidaklah berbicara dengan sseorangpun samapi tenggelam matahari.

2. Ia berangkat ke masjid menjelang magrib kemudian shalat tahiyatul masjid, berdoa sampai akhir waktu ashar ini adalah kedudukan pertengahan

3. Ia duduk ditempatnya –rumah atau yang lain- berdoa kepada Rabb-nya sampai akhir waktu ashar. Ini adalah kedudukan terendah. [Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Perhatikan bagaimana semangat para salaf dahulu memanfaatkan berkahnya waktu ba’da ashar di hari Jumat.

Ibnul Qayyim berkata,

كان سعيد بن جبير إذا صلى العصر، لم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس – يعني كان منشغلا بالدعاء

“Dahulu Sa’id bin Jubair apabila telah shalat ashar, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib) karena sibuk dengan berdoa.” [Zadul Ma’ad 1/384]

كان طاووس بن كيسان إذا صلى العصر يوم الجمعة، استقبل القبلة، ولم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس

“Dahulu Thawus bin Kaisan jika shalat ashar pada hari Jumat menghadap kiblat, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib).” [Tarikh Waasith]

CATATAN: Hal ini juga bisa dilakukan oleh wanita di rumahnya, setelah shalat ashar wanita berdoa dan berharap dimustajabkan. Demikian juga orang yang terhalangi untuk shalat ashar di masjid seperti dengan sakit atau ada udzur lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

ظاهر الأحاديث الإطلاق ، وأن من دعا في وقت الاستجابة : يُرجى له أن يجاب في آخر ساعة من يوم الجمعة ، يُرجى له أن يجاب ، ولكن إذا كان ينتظر الصلاة في المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب : فهذا أحرى ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (وَهُوَ قَائِمٌ يُصّلِّي) – رواه البخاري – ، والمنتظر في حكم المصلي ، فيكون في محل الصلاة أرجى لإجابته ، فالذي ينتظر الصلاة في حكم المصلين ، وإذا كان مريضاً وفعل في بيته ذلك : فلا بأس ، أو المرأة في بيتها كذلك تجلس تنتظر صلاة المغرب في مصلاها ، أو المريض في مصلاه ويدعو في عصر الجمعة يرجى له الإجابة ، هذا هو المشروع ، إذا أراد الدعاء يقصد المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب مبكراً فيجلس ينتظر الصلاة ، ويدعو

“Dzahir hadits adalah mutlak yaitu barangsiapa yang berdoa di waktu musjatab pada akhir hari jumat (yaitu menjelang magrib, karena akhir hari dalam hijriyah adalah magrib). Diharapkan bisa dkabulkan, akan tetapi jika ia menunggu shalat di masjid tempat shalat magrib, ini lebih hati-hati karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ia menegakkan shalat’. Orang yang menunggu sebagaimana kedudukan orang yang shalat maka dalam keadaan shalat lebih diharapkan mustajab. Orang yang menunggu shalat sebagaimana orang shalat. Jika ia sakit bisa dilakukan di rumahnya , tidak mengapa. Atau wanita yang menunggu shalat magrib di mushallanya (tempat shalat di rumah), atau yang sakit di mushallanya berdoa di waktu ashar dan berharap mustajab. Jika ia ingin, menuju masjid tempat ia ingin shalat magrib lebih awal, duduk menunggu shalat dan berdoa.” [ Majmu’ Fatawa bin Baz 30/270]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42217-keutamaan-waktu-bada-ashar-hari-jumat.html

Jangan Suka Teriak-Teriak!

Mukmin yang sejati adalah yang perkataannya baik, lembut dan hikmah. Sebaliknya, perkataan yang tidak baik, kasar dan jauh dari hikmah ini jauh dari sifat-sifat orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Diantara adab yang buruk dalam berbicara adalah suka berteriak-teriak dan meninggikan suara. Kita lihat nasehat Luqman Al Hakim kepada anaknya yang diabadikan dalam Al Qur’an:

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 19).

Maksudnya janganlah berlebihan dalam berbicara, dan janganlah meninggikan suara tanpa kebutuhan. Oleh karena itu setelahnya Allah berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.

Mujahid rahimahullah berkata: “suara yang paling buruk adalah suara keledai. Maksudnya orang yang meninggikan suaranya diserupakan seperti keledai karena keledai itu suaranya keras dan melengking. Ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut dan sangat tercela. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليس لنا مثل السوء, العائدَ في هبتِه كالكلبِ يعودُ في قَيْئِه

“Tidak ada permisalan orang yang paling buruk, kecuali orang yang meminta kembali apa yang ia berikan, seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya” (HR. Bukhari no. 1490, Muslim no. 1620).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ، فإنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا، وإذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا باللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فإنَّه رَأَى شيطَانًا

“Kalau kalian mendengar ayam berteriak (berkokok) maka berdoalah meminta nikmat kepada Allah. Namun jika kalian mendengar suara keledai berteriak (meringkik) maka mintalah perlindungan kepada Allah, karena keledai tersebut sedang melihat setan” (Muttafaqun ‘alaihi)” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/711).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dipuji oleh Allah bahwa beliau tidak suka berteriak-teriak. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

أنْتَ عَبْدِي ورَسولِي، سَمَّيْتُكَ المُتَوَكِّلَ، ليسَ بفَظٍّ ولَا غَلِيظٍ، ولَا سَخَّابٍ بالأسْوَاقِ، ولَا يَدْفَعُ السَّيِّئَةَ بالسَّيِّئَةِ، ولَكِنْ يَعْفُو ويَصْفَحُ

“Engkau (Muhammad) adalah hamba-Ku dan rasul-Ku, aku namai engkau Al Mutawakkil, engkau bukan orang yang keras dan kasar, bukan orang yang suka berteriak-teriak di pasar, engkau tidak membalas keburukan dengan keburukan, bahkan engkau pemaaf dan lapang dada” (HR. Bukhari no. 6622).

Juga diriwayatkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu:

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاطٍ، سَخَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِأَمْرٍ الدُّنْيَا، جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ

“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras lagi kasar, suka berteriak-teriak di pasar, seperti bangkai di malam hari, seperti keledai di siang hari, mengerti urusan dunia tapi bodoh dengan urusan akhirat” (HR. Ibnu Hibban no. 72, didha’ifkan oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah no. 2304).

Terutama jika berada di masjid, lebih tercela lagi berteriak-teriak dan meninggikan suara. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ألا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضاً، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة

“Ketahuilah sesungguhnya setiap kalian sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka jangan saling mengganggu satu sama lain, dan jangan meninggikan suara satu sama lain dalam membaca (Al Qur’an)” (HR. Abu Daud no. 1332, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Jika meninggikan suara untuk membaca Al Qur’an saja dilarang oleh Rasulullah, maka bagaimana lagi meninggikan suara untuk shalawatan, pujian-pujian, demikian juga tertawa terbahak-bahak dan meninggikan suara ketika berbicara dengan orang lain.

Sikap yang baik dalam berbicara adalah pelan dan penuh kelembutan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله

“Allah itu lembut dan mencintai kelembutan dalam semua perkara” (HR. Bukhari no. 6927, Muslim no. 2165).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ، ومن كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليصل رحمه ، ومن كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahmi. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau diam” (HR. Bukhari no. 60).

Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengatakan:

وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له

“jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).

Namun tentu saja bukan berarti berteriak itu terlarang, dibolehkan berteriak dan meninggikan suara pada hal-hal yang disyariatkan untuk meninggikan suara seperti adzan, mengimami shalat, bertakbir di hari-hari id, berkhutbah, dll. dan juga jika ada kebutuhan, seperti memanggil orang yang jauh dan sulit didekati, memperingatkan bahaya, dll.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50522-jangan-suka-teriak-teriak.html

Hukum Shalat Jumat di Rumah, Jama’ah Kurang dari 40 Orang

Assalamualaikum wr.wb. mohon bantuan dan penjelasannya, karena saya orang yang takut salah dalam melakukan ibadah saya. Apakah boleh melakukan sholat Jum’at di rumah, dan hanya dilakukan oleh 9 orang saja? Karena saya baru pertama kali diajak sholat Jum’at seperti itu. Dan apakah hukumnya melakukan sholat Jum’at seperti yang saya lakukan ini? Terima kasih.

Jawaban:

Alhamdulillahi wahdah, washsholaatu wassalaamu alaa man laa nabiyya ba’dah, wa ba’d…

Saudaraku penanya, semoga Allah merahmati kita semua.

Hukum asal bagi seorang lelaki dewasa –sesuai pendapat yang kami pandang kuat- adalah wajib melaksanakan shalat-shalat fardhu (termasuk di antaranya adalah Jum’at bagi laki-laki dewasa yang berakal, merdeka dan sedang mukim) secara berjama’ah di masjid. Jika ia meninggalkan shalat fardhu berjama’ah di masjid, maka shalatnya tetap sah, namun ia berdosa karena telah meninggalkan suatu yang wajib atasnya.

Rasulullah –shallallaahu alaihi wa sallam– bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma-:

من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر

“Barang siapa yang mendengar seruan azan, namun ia tidak menyambutnya (dengan pergi ke masjid), maka tidak (sempurna) salatnya, kecuali (jika ia tidak berjama’ah di masjid) karena suatu uzur.” [HR. Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Al-Albani.]

Dan dikisahkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahwa pernah Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- ingin sekali membakar rumah-rumah mereka yang bermalas-malasan untuk salat berjama’ah ke masjid.

Adapun salat Jum’at, maka para ulama –rahimahumullah– telah menyebutkan hukum khusus baginya, yaitu ia tidak sah dilaksanakan pada banyak tempat (baik masjid, mushala, terlebih lagi rumah) dalam satu daerah, kecuali jika ada hajat yang mengharuskan hal tersebut.

Musa Al-Hajjawi (968H) mengatakan:

وتحرم إقامتها في أكثر من موضع من البلد إلا لحاجة، فإن فعلوا فالصحيحة ما باشرها الإمام أو أذن فيها…

“Haram (hukumnya) mendirikannya (shalat Jum’at) pada banyak tempat dalam satu daerah kecuali jika ada hajat (yang mengharuskannya). Jika ada yang melaksanakannya (pada tempat lain selain tempat utama tanpa hajat), maka yang dianggap sah adalah yang dihadiri oleh pemimpin atau yang diizinkan olehnya…” (Zaad al-Mustaqni’)

Syaikh Al-Utsaimin (1421 H) menerangkan bahwa perbuatan tersebut dilarang karena dapat menyebabkan terpecahnya jama’ah kaum muslimin, serta hilangnya salah satu tujuan utama Jum’atan, yaitu perkumpulan umat sebagai umat yang satu sehingga mereka bersatu dan dapat saling kenal. Karena itulah tidak pernah dikenal ada 2 Jum’at yang diselenggarakan pada satu daerah, baik di zaman Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat seluruhnya, bahkan para tabi’in, semoga Allah meridhai mereka semua. Lebih dari itu, Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam– pun hanya menegakkan satu Jum’at di satu masjid sepanjang hayat Beliau, padahal pemukiman-pemukiman para sahabat saat itu tidak seluruhnya berada di sekitar Masjid Nabawi, bahkan banyak di antaranya yang sangat jauh di pinggiran Kota Madinah. Rasulullah –shallallaahu alaihi wa sallam– telah bersabda:

صلوا كما رأيتموني أصلي

“Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat…” [Lihat : Asy-Syarh Al-Mumti`]

Ibnu Qudamah (620H) mengatakan:

وجملته أن البلد إذا كان كبيرا يشق على أهله الاجتماع في مسجد واحد، ويتعذر ذلك لتباعد أقطاره، أو ضيق مسجده عن أهله –كبغداد وأصبهان ونحوهما من الأمصار الكبار– جازت إقامة الجمعة فيما يحتاج إليه من جوامعها … فأما مع عدم الحاجة فلا يجوز أكثر من واحدة، وإن حصل الغنى باثنتين لم تجز الثالثة، وكذلك ما زاد…

“Ringkasnya, jika suatu daerah itu besar (dan padat), dimana penduduknya sulit untuk berkumpul hanya pada satu masjid, baik karena wilayah-wilayahnya yang berjauhan, masjidnya sempit dan tidak sebanding dengan jumlah penduduknya –seperti Kota Baghdad, Asbahan, dan kota-kota besar lainnya-, maka Jum’at boleh diselenggarakan pada sejumlah masjid sesuai kebutuhan penduduknya…adapun jika tidak ada hajat yang mengharuskan, maka tidak boleh Jum’at ditegakkan pada lebih dari satu masjid. Jika 2 sudah cukup, maka yang ketiga tidak boleh (tidak sah), dan seterusnya …” (Al-Mughni : 3/213)

Namun apabila seseorang berada di daerah yang tidak ada masjid, atau masjidnya sangat jauh, atau kondisi kemanan yang tidak memungkinkan, maka diperbolehkan untuk mendirikan shalat Jum’at secara berjama’ah di rumah atau di tempat mana pun. [binbaz.org.sa]

Kemudian, mazhab yang empat sepakat mengatakan bahwa jama’ah adalah syarat sah salat Jum’at. Siapa pun yang tidak menemukan jama’ah, maka ia cukup melaksanakan salat Zuhur 4 raka’at.

Hanya saja, mereka berselisih pendapat perihal jumlah orang dalam jama’ah tersebut. Dan pendapat terkuat –wal ‘ilmu ‘indallaah– adalah bahwa jumlah minimal jama’ah salat Jum’at adalah 3 orang (laki-laki dewasa yang berakal, merdeka dan sedang mukim), satu orang sebagai imam, dan dua orang sebagai makmum. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Yusuf (salah satu murid senior Imam Abu Hanifah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan dikuatkan oleh Syaikh Ibn Baaz dan Syaikh Ibn Utsaimin. [Lihat: Al-Mabsuuth karya As-Sarkhasi, Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah, dan binbaz.org.sa]

Jadi, 9 orang adalah jumlah yang cukup untuk melaksanakan salat Jum’at, sesuai pendapat terkuat.

Saudaraku penanya, selama masih ada masjid-masjid yang mendirikan salat Jum’at, baik dihadiri langsung oleh penguasa, atau diizinkan olehnya, maka hukum salat Jum’at di rumah adalah tidak sah, berapa pun jumlah orangnya. Karena ia tidak sah, maka harus diulang dengan salat Zuhur 4 raka’at.

Adapun jika kondisi tidak memungkinkan, baik karena keamanan atau jarak yang sangat jauh sehingga menyulitkan, maka tidak mengapa melaksanakan shalat Jum’at di rumah jika terkumpul minimal 3 orang yang berkewajiban untuk shalat Jum’at, yaitu laki-laki dewasa, berakal, merdeka, dan mukim tidak musafir.

Wallaahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ustadz Muhammad Afif Naufaldi (Mahasiswa Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah)

Read more https://konsultasisyariah.com/35357-hukum-shalat-jumat-di-rumah-jamaah-kurang-dari-40-orang.html

Hari Jumat di 10 Hari Awal Bulan Dzulhijjah yang Istimewa

Mengapa istimewa? Karena ada siang hari Jumat di bulan Dzulhijjah ini terkumpul dua keutamaan, yaitu keutamaan hari Jumat dan keutamaan siang hari 10 awal bulan Dzulhijjah. Mengenai keutamaan bulan hari Jumat, umumnya mayoritas kaum muslimin sudah mengetahuinya, akan tetapi bisa jadi banyak kaum muslimin yang belum mengetahui keutamaan 10 hari awal bulan Dzulhijjah, sehingga mereka menjalani hari-hari tersebut seperti biasa tanpa mengetahui keutamaannya.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan istimewanya hari Jumat pada bulan 10 awal bulan Dzulhijjah. Beliau berkata,

‏ويوم الجمعة في عشر ذي الحجة أفضل من الجمعة في غيره؛ لاجتماع الفضلين فيه

“Hari Jum’at pada 10 hari di (awal) Dzul Hijjah lebih afdhal dibandingkan hari Jum’at pada waktu yang lainnya, karena berkumpulnya dua keutamaan padanya.” [Fathul Bari 3/29]

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr hafidzahullah menjelaskan bahwa 10 awal bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan sebagaimana 10 hari akhir bulan Ramadhan,

أنّ العشر الأيام الأوّل من شهر ذي الحجة هي خير أيام السنة على الإطلاق ، والعشر الليالي الأخيرة من شهر رمضان هي خير ليالي السنة على الإطلاق

Sepuluh siang hari pertama bulan Dzulhijjah lebih baik dari hari-hari setahun secara mutlak dan sepuluh malam akhir bulan Ramadhan lebih baik dari malam setahun secara mutlak” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ

Terlebih hari jumat tersebut berada pada 10 awal bulan Dzulhijjah, maka keutamaannya akan berlipat. Perhatikan keutamaan hari Jumat berikut:

“Sebaik-baik hari dimana matahari terbit di saat itu adalah hari Jum’at. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia dimasukan ke dalam Surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum’at.”[HR. Muslim]

Beliau juga bersabda,

“أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا فَكَانَ لِلْيَهُوْدِ يَوْمُ السَّبْتِ وَكَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ الأَحَدِ فَجَاءَ اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ”

“Allah memalingkan kaum sebelum kita dari hari Jum’at. Maka untuk kaum Yahudi adalah hari Sabtu, sedangkan untuk orang-orang Nasrani adalah hari Ahad, lalu Allah membawa kita dan menunjukan kita kepada hari Jum’at.’” [HR. Muslim]

Apa saja amalan yang dilakukan selama 10 awal bulan Dzulhijjah, terutama di hari jumatnya? Ibnul Qayyim menjelaskan,

وَالْأَفْضَلُ فِي أَيَّامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ الْإِكْثَارُ مِنَ التَّعَبُّدِ ، لَاسِيَّمَا التَّكْبِيرُ وَالْتَهْلِيلُ وَالْتَحْمِيدُ 

“Yang utama pada 10 awal bulan Dzulhijjah adalah memperbanyak ibadah terutama takbir, tahlil, tahmid.” [Madarijus Salikin 1/110]

Syaikh Abdul Bin Baz menjelaskan juga,

فهذه العشر مستحب فيها الذكر، والتكبير، والقراءة، والصدقات، منها العاشر
أما الصوم لا، ليس العاشر منها، الصوم يختص بعرفة

 “Di 10 awal bulan Dzulhijjah ini disunnahkan berdzikir, bertakbir, membaca AlQuran, bersedekah, termasuk pada hari ke sepuluhnya. Adapun berpuasa, maka tidak dilakukan pada hari kesepuluh (boleh puasa pada 1-9 Dzulhijjah). Puasa sampai (khusus) pada hari Arafah saja.” [https://binbaz.org.sa/fatwas/17339]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50657-hari-jumat-di-10-hari-awal-bulan-dzulhijjah-yang-istimewa.html

Sebab Hilangnya Keberkahan dalam Jual Beli

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.

Seseorang yang menghendaki keberkahan dalam jual belinya hendaknya merenungkan hadits berikut:

Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda,

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila keduanya berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan pada transaksi mereka berdua” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hadits ini:

لازم قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بِوَرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا) أَيْ بَيَّنَ كُلُّ وَاحِدٍ لِصَاحِبِهِ مَا يَحْتَاجُ إِلَى بَيَانِهِ مِنْ عَيْبٍ وَنَحْوِهِ فِي السِّلْعَةِ وَالثَّمَنِ وَصَدَقَ فِي ذَلِكَ وَفِي الْإِخْبَارِ بِالثَّمَنِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِالْعِوَضَيْنِ وَمَعْنَى مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا أَيْ ذَهَبَتْ بَرَكَتُهُ وَهِيَ زِيَادَتُهُ وَنَمَاؤُهُ

Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut’ maksudnya adalah masing-masing dari keduanya harus menjelaskan setiap informasi yang dibutuhkan oleh pihak lain, seperti : cacat (aib) atau kekurangan lainnya yang ada pada barang maupun harga dan bersikap jujur dalam menyampaikan harga maupun hal-hal yang terkait dengan transaksi timbal balik antara penjual dan pembeli. Adapun maksud (مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا), yaitu hilangnya berkah, sedangkan “berkah” bermakna tumbuh dan bertambahnya kebaikan.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 10/176).

Efek ketidakjujuran dalam jual beli tidak hanya menjadikan pelakunya berdosa, namun juga menghilangkan berkah dalam jual belinya. Padahal keberkahan inilah yang hendaknya kita cari dalam setiap kebaikan sehingga kebaikan itu akan terus tumbuh dan bertambah. Wallaahu a’lam.

Referensi: Iman An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah

Penulis : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11320-sebab-hilangnya-keberkahan-dalam-jual-beli.html

Tak Semua Ibadah Dilarang saat Haid

TIDAK semua ibadah dilarang ketika haid. Wanita haid hanya dilarang melakukan ibadah tertentu.

Dalam Fatwa Islam disebutkan beberapa daftar ibadah yang dilarang untuk dikerjakan ketika haid, “Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di kabah, dan itikaf di masjid.” (Fatwa Islam no. 26753)

Ibnul Mundzir mengatakan, “Kami mendapatkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa beliau membaca wiridnya ketika junub. Ikrimah dan Ibnul Musayib memberi keringanan untuk membaca wirid ketika junub.” (HR. Ibnul Mundzir dalam al-Ausath, 2/98).

Berdoa termasuk dzikir. Sebagaimana layaknya orang junub boleh berdzikir, maka wanita haid lebih ringan kondisinya. Mereka boleh berdzikir. Karena itu, wanita haid boleh berdzikir.

Imam Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum membaca doa ketika haji bagi wanita haid. Jawaban beliau, “Tidak masalah, wanita haid atau nifas untuk membaca doa-doa dalam buku ketika manasik haji.” (Fatawa Islamiyah, 1/239)

Mengenai tata caranya, sama persis seperti cara berdoa pada umumnya. Memperhatikan adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, agar doanya lebih mustajab. Misalnya dengan diawali dengan memuji Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Darah Nifas

Pengertian
Darah nifas adalah darah yang keluar karena sebab kelahiran anak. Baik keluar saat melahirkan, sesudah atau sebelum kelahiran dua atau tiga hari disertai rasa sakit (kontraksi). (Risalah fid Dima’, hlm. 30)

Berapa lama masa nifas itu?
Syaikh Taqiyuddin berkata, “Masa nifas tidak memiliki batasan minimal dan maksimal. Andai ada wanita mendapati darah nifas lebih dari 40 hari, 60 atau 70 hari kemudian berhenti maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah kotor. Jika demikian, maka nifasnya 40 hari karena 40 hari adalah keumuman masa nifas sebagaimana yang dinyatakan dalam banyak hadits.” (Risalah fid Dima’, hlm. 30)

Jika lebih dari 40 hari
Bagi wanita yang memiliki kebiasaan nifas berhenti setelah 40 hari atau ada tanda-tanda nifas akan berhenti dalam waktu dekat maka hendaknya ia menunggu sampai darah benar-benar berhenti. Namun jika pada hari ke-40 darah masih mengalir deras –tidak ada tanda berhenti, hendaknya ia mandi ketika genap 40 hari karena itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali jika bertepatan dengan masa haid (sehingga darah nifas bersambung dengan darah haid –pen.) maka hendaknya ia menunggu sampai masa haid selesai. (Risalah fid Dima’, hlm. 30)

Jika kurang dari 40 hari
Para ulama sepakat, sebagaimana dinukil At-Tirmidzi dalam Sunan-nya bahwasanya kapanpun wanita nifas melihat tanda suci, walaupun sebelum 40 hari, hendaknya ia mandi, shalat dan diperbolehkan jima’ dengan suaminya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1:216)

Hukum nifas
Hukum nifas sama dengan hukum haid pada seluruh perkara yang diperbolehkan, yang diharamkan, yang dimakruhkan, dan yang disunnahkan. Hanya saja berbeda dalam masalah iddah. Masa iddah dihitung dengan haid bukan dengan nifas. (Shahih Fiqih Sunnah, 1:216)
Wallaahu a’lam

Dinukil dari buku Panduan Praktis Wanita Haid karya Umi Farikha Abdul Mu’ti, cetakan ke-2, Penerbit wanitasalihah.com

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11393-darah-nifas.html