Temanmu Menentukan Karakter dan Nasibmu!

Allah swt berfirman,

ٱلۡأَخِلَّآءُ يَوۡمَئِذِۭ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلۡمُتَّقِينَ

“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (QS.Az-Zukhruf:67)

Ayat ini menarik untuk kita kaji berulang kali dari berbagai sisi. Karena satu ayat singkat dari Al-Qur’an bisa memberikan beragam pelajaran yang luar biasa.

Akhir dari ayat ini secara gamblang menceritakan bahwa pertemanan di dunia seringkali kandas ketika kelak mereka bertemu di akhirat. Bukan saja mereka pura-pura tidak saling kenal, tapi bahkan Al-Qur’an menceritakan bahwa mereka akan bermusuhan. “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain..”

“…kecuali mereka yang bertakwa.” Hanya pertemanan semacam ini yang akan kekal dan langgeng. Karena teman yang bertakwa akan memberikan manfaat kepadamu di dunia dan akhirat.

Di kehidupan dunia, teman yang bertakwa selalu mengajakmu mendekat dengan Allah dan menjauhi berbagai kebusukan maksiat. Sementara kelak di akhirat, seorang mukmin yang bertakwa memiliki kemuliaan untuk memberi syafaat dan menyelamatkan orang yang ia cintai.

Poin yang perlu kita ambil kali ini adalah besarnya pengaruh teman terhadap karakter diri kita. Seseorang dengan karakter halus dan pendiam bisa berubah dalam waktu singkat bila ia berteman dengan orang yang berjiwa pemberontak. Begitupula sebaliknya, orang dengan karakter kasar bisa pula berubah ketika berteman dengan orang yang lembut.

Ingatlah bahwa temanmu sangat mempengaruhi pribadimu. Selektif dalam memilih teman juga sangat berpengaruh kepada nasibmu. Orang yang selalu bergaul dengan pemalas maka ia akan menjadi pemalas. Dan orang yang selalu berkumpul bersama lingkungan yang aktif dan produktif maka ia akan terdorong untuk turut aktif.

Pertemanan sangat berpengaruh pada jiwa seseorang khususnya pertemanan dikalangan anak muda. Jangan sampai temanmu di waktu muda merusak masa depanmu kelak dan mereka hanya bisa angkat tangan dan mengucap selamat tinggal. Sementara berkumpul dengan orang-orang sholeh akan menarik jiwamu untuk mengikuti mereka dalam kebaikan.

Karena itu kita akan menemukan banyak sekali pesan dari orang-orang bijak tentang pentingnya memilih teman yang baik. Salah satunya adalah pesan dari Imam Ja’far As-Shodiq (Guru dari Imam Madzhab Maliki dan Hanafi), beliau berpesan :

“Janganlah engkau memulai pertemanan kecuali telah jelas batas-batasnya. Apabila batas-batas ini ada, maka jalinlah persahabatan. Namun apabila tidak ada sama sekali maka janganlah memulai pertemanan.

1. Hendaknya sikap yang ia tampakkan dan apa yang ada di dalam hatinya terhadapmu itu sama (tidak bermuka dua).

2. Hendaknya ia melihat bahwa sesuatu yang indah bagimu juga indah baginya dan cela bagimu adalah cela baginya.

3. Hendaknya kedudukan dan harta tidak merubah persahabatannya denganmu.

4. Hendaknya ia tidak menghalangimu untuk mencapai sesuatu yang lebih darinya.

5. Poin ini mencakup semua poin diatas, yaitu hendaknya ia tidak menjerumuskanmu pada kesususahan.

Pesan indah ini menjadi penutup dari kajian kita hari ini. Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Halalkah Penghasilan Membantu Merayakan Natal?

Pertanyaan.
Bagaimana dengan penghasilan saya ini, apakah penghasilan saya ini termasuk syubhat ataukah tidak halal, karena saya seorang pedagang di pasar yang mempunyai penggilingan gula halus dengan penggilingan beras. Yang menjadi pertanyaan, apakah saya boleh menggiling gula dan beras milik orang-orang Nasrani yang diperuntukan membuat kue saat mereka akan merayakan Natal ? Tolong ustadz untuk menjelaskannya. (Abbas, Kolaka, Sultra)

Jawaban.
Bapak Abbas di Kolaka, semoga Allâh Azza wa Jalla mencukupkan Anda dan keluarga dengan rizki yang halal. Peringatan Natal dan semisalnya adalah simbol dan syi’ar kekufuran. Karenanya seorang Muslim tidak boleh membantunya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam dosa dan maksiat. [al-Mâidah/5:2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Adapun menjual kebutuhan perayaan orang kafir seperti makanan, pakaian, wewangian dan yang lain, atau menghadiahkannya kepada mereka, di dalamnya terdapat bentuk pertolongan kepada mereka dalam melaksanakan perayaan yang diharamkan.

Ibnu Habîb al-Mâliki rahimahullah berkata,“Tidak halal bagi kaum Muslimin untuk menjual kepada orang Nasrani kebutuhan perayaan mereka seperti daging, lauk, pakaian, meminjamkan kendaraan. Tidak boleh membantu mereka dalam hal ini karena itu termasuk pengagungan syirik dan membantu kekufuran mereka.”[1]

Menggilingkan gula dan beras mirip dengan menjual barang-barang di atas. Anda boleh menggilingkan barang kebutuhan mereka sehari-hari. Namun jika diyakini bahwa gula atau beras yang digiling akan dipakai untuk perayaan Natal, Anda tidak boleh untuk membantu mereka[2].

Mengenai uang yang diperoleh dari penggilingan kebutuhan Natal ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ إِذا حَرَّم شَيْئاً حَرَّم ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allâh mengharamkan sesuatu, Allâh mengharamkan uangnya.

Jadi, tidak boleh menggilingkan barang kebutuhan Natal mereka. Jika hal itu sudah terjadi pada masa lalu dalam keadaan kita sudah mengetahui hukumnya, Anda harus membersihkan harta Anda dari uang tersebut. Dan jika hal itu telah dilakukan dalam keadaan tidak mengetahui hukum, maka Anda cukup bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla, dan harta yang telah diperoleh boleh dipakai[3]

Wallâhu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm, 2/526; al-Fatâwâ al-Kubrâ, 2/489; dan Ahkâm Ahli Dzimmah, 3/125.
[2] HR ad-Daraquthni, 3/7 dan Ibnu Hibbân, no. 4. 938; ditegaskan keshahîhannya oleh al-Albâni dan Syu’aib al-Arna`uth.
[3] Lihat Fatâwâ al-Lajnah ad-Daimah, 14/32 no. 12.240 dan 14/484 no. 18.909

Read more https://almanhaj.or.id/13901-halalkah-penghasilan-membantu-merayakan-natal-2.html

3 Manfaat Membaca La Hauwla wa La Quwwata Illa Billah

Manfaat membaca hauwqalah sangat beragam.

Membaca zikir berupa kalimat thayyibah “la hauwla wa la quwwata illa billah”  لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّة َاِلَّا باِللهِ atau yang sering disebut dengan hauwqalah dalam hidup sehari-hari ternyata memberikan sejumlah manfaat langsung dan tak langsung. 

Sayyid Muhammad bin al-Alawy al-Maliki al-Hasani, dalam kitabnya Abwab al-Faraj, membeberkan beberapa di antaranya yaitu pertama, kalimat ini termasuk salah satu brankas kekayaan surga.  

Hal ini ditegaskan dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim ,Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan an-Nasai melalui jalur Abu Musa al-Asy’ari.

Kedua, Rasulullah menganjurkan kita memperbanyak membaca kalimat ini. Sebab sebagaimana yang dituturkan Rasulullah kepada Abu Hurairah, karena manfaat dari kalimat ini adalah membuka 70 pintu cobaan, kefakiran, dan malapetaka. 

Ketiga, membaca kalimat thayyibah ini akan membantu menjauhkan penyakit, terutama yang berkaitan dengan kegundahan hati. Imam at-Thabrani dalam al-Awsath, menjelaskan riwayat dari Abu Hurairah. Bahwa, Rasul pernah mensabdahkan membaca hauwqalah adalah obat untuk 99 penyakit paling ringan yaitu menghilangkan kegundahan hati.

Lantas apa sebenarnya makna dari kalimat thayyibah tersebut? Sayyid Muhammad menjelaskan, makna dari hauwqalah. Dia mengutip pernyataan Imam as-Syadzili bahwa, kalimat ini adalah bentuk penolakan segala keburukan yang menimpa seorang hamba.

Dengan mengucapkan kalimat ini, seakan hamba tersebut menyatakan ‘Jauhkan segala keburukan dariku, dan aku alihkan daya upayaku kepada daya dan upaya Allah SWT.’

Dengan kepasrahan dan kesadaran penuh terhadap daya dan upaya Sang Khaliq tersebut, maka Allah SWT akan mendatangkan pertolongan baik langsung ataupun tak langsung kepada hamba-Nya. Prinsip ini sesuai dengan QS at-Thalaq ayat ke-3: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”   

KHAZANAH REPUBLIKA

Gelar Sebagai Ujian

SAUDARAKU, banyak orang sangat bangga dengan gelar yang dimilikinya. Apalagi jika gelar tersebut hingga berderet-deret. Tentu tidak salah memiliki gelar, juga hal yang wajar ketika kita bangga dengan gelar yang kita miliki. Namun, menjadi keliru manakala kita merasa hebat di hadapan makhluk, ada rasa ingin terlihat hebat dan pintar di hadapan makhluk, dan lupa bahwa Allah-lah Yang Maha Memiliki segala ilmu.

Allah SWT berfirman, Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwa yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS. al-Hajj [22]: 70)

Dalam ayat-Nya yang lain Allah berfirman, Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. al-Anam [6]: 59)

Allah menguji kita dengan kelimpahan ilmu yang diketahui. Apakah ilmu tersebut membuat kita semakin rendah hati, seperti padi yang ketika semakin banyak berisi maka ia semakin merunduk. Ataukah dengan ilmu itu ia malah semakin merasa hebat dan tinggi hati. Gelar yang kita peroleh karena pemahaman tentang suatu ilmu, merupakan ujian. Apakah dengan gelar itu kita semakin dekat kepada Allah, ataukah malah semakin menjauh.

Karena ada orang yang dengan ilmunya, dengan gelar tinggi yang dimilikinya, ia malah semakin tinggi pula hatinya. Ingin disanjung, ingin dipuji, ingin dihormati, ingin diposisikan sebagai seorang tokoh penting di hadapan manusia. Dan, manakala yang ia harapkan itu tidak ada, maka ia pun tersinggung, kesal, dan kecewa.

Bahkan ada juga orang yang dengan ilmu dan gelarnya yang tinggi, kemudian ia dipercaya menduduki jabatan publik, tapi ia malah memanfaatkan posisi itu untuk memperkaya dirinya sendiri. Ia malah melakukan manipulasi dan korupsi. Sehingga tidak heran kalau saat ini kita banyak melihat orang yang berpendidikan tinggi, gelarnya banyak, namun terjerumus dalam lembah hitam korupsi dan mendekam di balik jeruji besi.

Oleh karena itu, yang penting dimiliki oleh seorang yang berilmu tinggi adalah kerendahan hati, dan hati yang selalu terpaut kepada Allah SWT. Karena manakala seseorang telah selesai jenjang pendidikannya sampai yang paling tinggi, berbagai ujian telah dilaluinya dengan hasil yang sangat memuaskan, maka hakikatnya ia sedang dan terus menjalani ujian yang sesungguhnya, yaitu ujian mempertanggungjawabkan ilmu dan gelar yang telah diperolehnya.

Saudaraku, tiada yang kita miliki di dunia ini kecuali semuanya adalah karunia dari Allah SWT. Ilmu yang kita miliki hanyalah setitik kecil dari samudera ilmu milik Allah yang tiada terbatas.

Allah SWT berfirman, Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27)

Para ahli tafsir menerangkan bahwa di dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan yang sangat indah mengenai keluasan ilmu-Nya. Hasan al-Bashri menerangkan bahwa andaikata seluruh pepohonan yang ada di bumi ini dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta untuk menuliskan ilmu-ilmu Allah, maka pepohonan habis dan air di lautan akan kering, sementara ilmu-ilmu Allah hanya sedikit yang sempat dituliskan, dan masih lebih banyak ilmu Allah yang belum dituliskan. Masya Allah!

Semakin kita mendalami dan memahami satu cabang ilmu, maka sesungguhnya kita semakin tidak memahami berbagai cabang ilmu lainnya yang sangat banyak. Maka, sangat tidak patut kita sombong, merasa hebat dengan satu cabang ilmu yang kita pahami. Boleh jadi kita mendalami ilmu tentang anatomi tubuh, tetapi kita tidak memahami ilmu bagaimana membuat pakaian yang sedang kita kenakan, dan lain sebagainya.

Orang yang beruntung adalah orang yang bersyukur atas ilmu yang dimilikinya. Yang dengan ilmunya itu, ia gunakan agar lebih banyak orang yang mendapatkan manfaatnya. Tak berpikir apakah orang lain akan memuji, menyanjung, menghormati karena gelar yang ia miliki, yang ia pikirkan adalah bagaimana agar ilmunya manfaat dan menjadi amal saleh di hadapan Allah SWT.

Semakin seseorang yang berilmu itu merunduk, mendekat kepada Allah dan memanfaatkan ilmunya di jalan Allah, maka semakin tinggi derajatnya di hadapan-Nya. Allah juga yang akan menggerakkan hati manusia agar mencintai hamba-Nya yang berilmu dan tawadu.

Allah SWT berfirman, ..Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadilah [58]: 11)

Tidak penting orang memuji atau tidak karena gelar kita. Tidak penting orang menyanjung atau tidak karena ilmu kita. Yang terpenting adalah kita bersyukur dan mengamalkan ilmu di jalan Allah SWT. Karena Rasulullah saw bersabda, Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh. (HR. Muslim)

Gelar adalah ujian bagi kita. Semoga kita bisa melalui ujian episode ini dengan baik sesuai dengan apa yang Allah ridai. [*]

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Demi Karier, Anak Dititipkan ke Orangtua Itu Zalim

TAK sedikit para ibu yang memiliki pekerjaan di luar rumah menitipkan anaknya kepada orangtua. Kemudian memberikan orangtua uang bulanan, entah semata-mata memberi sebagai bentuk bakti atau serupa gaji karena anak dititipi.

Tak dapat dielakkan bahwa kewajiban mendidik anak menjadi tanggung jawab utama orangtua kandung, karena mereka adalah amanah yang dititipkan Allah pada kita dan tentunya menjadi investasi amal kebajikan di kemudian hari.

Namun, alih-alih memanfaatkan kesempatan menanamkan buah kebajikan pada anak, banyak orangtua yang mengalihkan sebagian besar waktu penjagaan kepada orang lain khususnya ibu sendiri atau ibu mertua. Salah satu alasannya ialah mengejar karir.

Dalam hal ini, kita dapat menanyakannya pada diri kita sendiri. Apakah perbuatan kita tersebut benar dan dapat dibenarkan secara syariat atau tidak.

Pertama, tanyakan pada hati kita, apa sebenarnya yang melandasi perbuatan tersebut? Apakah karena orangtua kita lebih baik dalam mendidik anak-anak kita? Atau hanya demi mengejar karier?

Kedua, pastikan apakah orangtua kita merasa terhibur dengan kehadiran cucu-cucunya setiap hari? Atau malah sebaliknya, orangtua kita dengan usianya yang semakin senja dan tubuh yang tidak seoptimal dahulu malah merasa kelelahan dan terbebani.

Apalagi jika kita tidak memberikan bakti berupa uang lagi setelah orangtua kita berhenti menjaga anak-anak kita. Tidakkah hal itu membuat orangtua semakin merasa hanya digaji karena menjaga anak-anak kita?

Perhatikanlah, bila niat kita hanya meraih jenjang karier yang tinggi serta orangtua terbebani maka perbuatan kita termasuk dosa. Dosa karena telah mengesampingkan kewajiban mendidik anak sekaligus menzalimi orangtua kita.

Wallahu A’lam. []

INILAH MOZAIK

Rahasia Panjang Umur Menurut Kakek Sepuh Ini

SAYA ceramah si sebuah masjid pinggir pantai sebuah desa sederhana penghasil ikan teri terbaik. Saya duduk bersebelahan dengan kakek tersepuh di desa ini yang bernama Kakek Haji Rasyidi bin Syakur. Usianya adalah 98 tahun, masih segar bugar, duduk bersila tanpa berubah posisi selama saya ceramah. Beliau memakai baju seragam hajinya pada masa dulu, baju kesayangannya.

Awalnya saya tak terlalu banyak bertanya tentang pengalaman hidupnya karena saya sudah terbiasa bertemu dengan orang yang berusia lebih dari 98 tahun. Namun saya kaget setelah diberitahu bapak kepala desa bahwa beliau pernah mengalami meninggal dunia lebih dari 5 jam, dan prosesi penyelesaian urusan jenazah sudah dimulai. Semua anak cucunya sudah berkumpul dan ridla semuanya dengan kepergiannya.

Beliau ternyata hidup kembali dan merasakan badannya sakit semua. Beliau bertanya ada apa ini. Semua menyatakan bahwa beliau sudah tak sadarkan diri mulai jam delapan pagi dan dinyatakan meninggal sudah lebih 5 jam sampai jam 8 malam. Semua memijat dan mencubit beliau supaya hidup kembali sampai resmi dinyatakan meninggal. Apa yang dialami beliau selama dinyatakan meninggal itu? Menarik sekali kisahnya.

Beliau bercerita tentang pertemuannya dengan tetangga-tetangganya yang telah meninggal dunia sebelumnya. Beliau bercerita tentang alam arwah dan peristiwa kematian. Mata saya tak berkedip, dada saya dagdigdug mendengarkan kisah serunya. Beliau bercerita lancar. Sayangnya beliau sudah mulai kurang mendengar suara kecuali nyaring dan dekat sekali dengan telinga beliau.

Saya bertanya tentang rahasia sehat dan panjang umurnya. Sambil tersenyum beliau menjawab dengan serius: “Makanlah Shalawat dan Minumlah Istighfar.” Maknanya adalah jadikan shalawat dan istighfar sebagai menu harian. Saya memimta ijin kepada beliau untuk foto bersama beiau. Beliau berkenan. Saya mohon ijin dan mohon didoakan panjang umur, beliau menjabat tangan saya sambil bershalawat nyaring “Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad.”

Sungguh saya senang duduk dengan kakek sederhana ini. Ada bahagia di wajahnya, karena ada Allah dan Rasulullah di hatinya. Sejatinya, bahagia itu tak butuh syarat yang ruwet-ruwet. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

Foto: Kakek Haji Rasyidi bin Syakur bersama KH Ahmad Imam Mawardi – (Foto: Facebook)

INILAH MOZAIK

Wahai Suami, Istri Itu Penuh dengan Misteri (Bag. 2)

Kisah Ke Dua

Kisah antara Ibunda ‘Aisyah dengan Hafshah

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ، فَطَارَتِ القُرْعَةُ لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بِاللَّيْلِ سَارَ مَعَ عَائِشَةَ يَتَحَدَّثُ، فَقَالَتْ حَفْصَةُ: أَلاَ تَرْكَبِينَ اللَّيْلَةَ بَعِيرِي وَأَرْكَبُ بَعِيرَكِ، تَنْظُرِينَ وَأَنْظُرُ؟ فَقَالَتْ: بَلَى، فَرَكِبَتْ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَمَلِ عَائِشَةَ وَعَلَيْهِ حَفْصَةُ، فَسَلَّمَ عَلَيْهَا، ثُمَّ سَارَ حَتَّى نَزَلُوا، وَافْتَقَدَتْهُ عَائِشَةُ، فَلَمَّا نَزَلُوا جَعَلَتْ رِجْلَيْهَا بَيْنَ الإِذْخِرِ، وَتَقُولُ: يَا رَبِّ سَلِّطْ عَلَيَّ عَقْرَبًا أَوْ حَيَّةً تَلْدَغُنِي، وَلاَ أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقُولَ لَهُ شَيْئًا

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak keluar mengadakan perjalanan, beliau mengadakan undian di antara isteri-isterinya. Lalu undian itu pun jatuh kepada ‘Aisyah dan Hafshah. Dan pada malam hari, biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama ‘Aisyah dan berbincang-bincang dengannya. 

Maka Hafshah berkata, “Maukah malam Engkau menaiki kendaraanku dan aku menaiki kendaraanmu, kemudian Engkau dapat melihat aku dan aku pun juga dapat melihat Engkau?” ‘Aisyah menjawab, “Ya.” Akhirnya dia pun menaikinya. 

Kemudian datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kendaraan ‘Aisyah, sementara yang berada di atasnya adalah Hafshah. Beliau pun mengucapkan salam kepadanya, lalu beliau berjalan hingga mereka singgah di suatu tempat, dan ternyata dia kelihangan ‘Aisyah. 

Saat singgah, ‘Aisyah meletakkan kedua kakinya di antara semak-semak tumbuhan, lalu dia pun berkata, “Wahai Rabbku, binasakanlah kalajengking dan ular yang menyengatku.” Maka aku tidak bisa berkata apa-apa pada beliau. (HR. Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 2245)

Dalam hadits di atas, Hafshah mengajak bertukar hewan tunggangan dengan ‘Aisyah. Hafshah mengatakan supaya keduanya bisa saling melihat di kegelapan malam. Padahal, maksud Hafshah sebetulnya adalah agar malam itu, dia bisa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hafshah tahu bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangi hewan tunggangan ‘Aisyah, bukan hewan tunggangannya. Karena malam itu gelap, maka ketika Nabi mendatangi hewan tunggangan ‘Aisyah, Nabi tidak tahu bahwa dialah (Hafshah) yang ada di atasnya, bukan ‘Aisyah. 

Inilah yang akhirnya membuat ‘Aisyah sedih, karena malam itu dia merasa kesepian naik hewan tunggangan sendirian, tanpa ditemani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kisah Ke Tiga

Ksah Asma’ binti Abu Bakar

Asma’ radhiyallahu ‘anha menceritakan,

كُنْتُ أَخْدُمُ الزُّبَيْرَ خِدْمَةَ الْبَيْتِ، وَكَانَ لَهُ فَرَسٌ، وَكُنْتُ أَسُوسُهُ، فَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْخِدْمَةِ شَيْءٌ أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ سِيَاسَةِ الْفَرَسِ، كُنْتُ أَحْتَشُّ لَهُ وَأَقُومُ عَلَيْهِ وَأَسُوسُهُ، قَالَ: ثُمَّ إِنَّهَا أَصَابَتْ خَادِمًا، «جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ فَأَعْطَاهَا خَادِمًا» ، قَالَتْ: كَفَتْنِي سِيَاسَةَ الْفَرَسِ، فَأَلْقَتْ عَنِّي مَئُونَتَهُ، فَجَاءَنِي رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ إِنِّي رَجُلٌ فَقِيرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ، قَالَتْ: إِنِّي إِنْ رَخَّصْتُ لَكَ أَبَى ذَاكَ الزُّبَيْرُ، فَتَعَالَ فَاطْلُبْ إِلَيَّ، وَالزُّبَيْرُ شَاهِدٌ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ إِنِّي رَجُلٌ فَقِيرٌ أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ، فَقَالَتْ: مَا لَكَ بِالْمَدِينَةِ إِلَّا دَارِي؟ فَقَالَ لَهَا الزُّبَيْرُ: مَا لَكِ أَنْ تَمْنَعِي رَجُلًا فَقِيرًا يَبِيعُ؟ فَكَانَ يَبِيعُ إِلَى أَنْ كَسَبَ، فَبِعْتُهُ الْجَارِيَةَ، فَدَخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ وَثَمَنُهَا فِي حَجْرِي، فَقَالَ: هَبِيهَا لِي، قَالَتْ: إِنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهَا

“Aku membantu suamiku Zubair dalam urusan pekerjaan di rumah. Dia memiliki seekor kuda, dan akulah yang merawatnya. Tidak ada yang lebih berat bagiku untuk membantunya selain merawat seekor kuda. Akulah yang mencarikan rumputnya dan membersihkannya.

(Perawi) berkata, kemudian pada suatu ketika dia mendapatkan seorang pembantu. Dia adalah tawanan yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi memberikannya kepada Asma’ sebagai pembantu. Asma’ berkata, “Dia telah membantuku merawat seekor kuda hingga akhirnya telah meringankanku.”

Pada suatu ketika, seorang laki-laki datang kepadaku seraya berkata, “Wahai Ummu ‘Abdullah! Aku ini seorang yang fakir, bolehkah aku berjualan di bawah naungan atap rumahmu?” 

Asma’ menjawab, “Jika suamiku, Zubair, mengizinkanmu, maka datanglah kembali.” 

Ketika itu Zubair sudah ada di rumah. Pada saat yang lain, orang itu datang kembali seraya berkata, “Wahai Ummu ‘Abdullah, aku ini seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan rumahmu, maka izinkanlah!” 

Asma’ menjawab, “Ada apa denganmu, apakah di Madinah ini tidak ada rumah lagi selain rumahku?” 

Mendengar hal itu, Zubair berkata kepada Asma’, “Mengapa kamu melarang seorang yang fakir berjualan?” 

Akhirnya orang tersebut berjualan hingga mendapatkan hasilnya. Aku pun bisa menjual kepadanya seorang budak. Hingga pada suatu ketika, Zubair berkata kepadaku menanyakan uang hasil penjualannya yang pernah aku simpan. Zubair berkata, “Berikanlah uang itu padaku.” Lalu Asma’ menjawab, “Aku telah menginfakkan uang tersebut.” (HR. Muslim no. 2182)

Dalam hadits di atas, Asma’ berkata kepada orang miskin yang ingin berjualan dengan memanfaatkan naungan rumahnya. Perkataan Asma’ itu seolah-olah Asma’ tidak mengijinkan orang miskin tersebut dengan mengatakan, “Apakah di Madinah ini tidak ada rumah lagi selain rumahku?” 

Padahal, yang dia inginkan adalah agar penolakannya itu didengar oleh suaminya, Zubair, agar Zubair mengijinkan orang miskin tersebut berjualan memanfaatkan naungan rumahnya. Dan ketika Zubair menegur Asma’ dan membolehkan si miskin jualan, maka sebetulnya itulah yang diinginkan oleh Asma’. 

Kesimpulan

Dari kisah-kisah di atas, hendaknya suami senantiasa belajar bagaimanakah agar bisa memahami maksud tersembunyi sang istri. Suatu hari, bisa jadi sang istri mengatakan “Iya”, padahal dia maksudkan “Tidak”. Di waktu yang lain, sang istri bisa jadi mengatakan “Tidak”, padahal maksudnya “Iya”. Dan bisa jadi, ketidakmampuan seorang suami membaca pikiran istri bisa menimbulkan masalah di antara mereka berdua. Semoga para suami dikaruniakan kesabaran dalam mendidik dan membimbing istrinya.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53450-wahai-suami-istri-itu-penuh-dengan-misteri-bag-2.html

Rasulullah SAW Ungkap Beda Mukmin dan Munafik Depan Alquran

Alquran menjadi sebaik-baik petunjuk bagi manusia untuk menemukan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Membaca, mempelajari, menghafal dan mengamalkan isi kandungan Alquran akan mengantarkan pada kemuliaan. 

Rasulullah SAW memberikan beberapa perumpamaan bagi orang yang membaca dan tidak membaca Alquran. Ini dapat ditemukan dalam Shahih al-Bukhari nomor 7.005 atau nomor 7560 dalam Fath al-Bari. Retikan redaksi haditsnya:  

“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Alquran seperti utrujah, rasanya enak dan baunya wangi, dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Alquran seperti kurma, rasanya enak namun tidak berbau, dan perumpaman orang durhaka (munafik) yang membaca Alquran seperti buah raihana, baunya wangi namun rasanya pahit, dan perumpamaan orang durhaka (munafik) yang tidak membaca Alquran seperti hanzhalah, rasanya pahit dan tidak berbau,” Hadits serupa juga bisa ditemukan di Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan Tirmidzi. 

Rasulullah menjelaskan perumpamaan orang mukmin yang membaca Alquran seperti buah utrujah yang memiliki rasa enak dan baunya wangi. Utrujah sendiri merupakan buah yang masuk pada marga dari jeruk. Buah ini sangat harum dan enak bahkan dijadikan sebagai bahan untuk membuat parfum. 

Orang mukmin yang membaca Alquran bukan saja membuatnya mulia, terhormat, melainkan juga memancarkan kemuliaannya sehingga memberi manfaat bagi orang-orang lainnya. Dalam at- Tibyan, Imam Nawawi menjelaskan bahwa dengan membaca Alquran bisa melembutkan hati sehingga membuat yang membacanya mencium harumnya iman.   

Orang mukmin yang tidak membaca Alquran seperti kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Kurma merupakan buah yang rasanya manis dan memiliki banyak khasiat untuk kesehatan kendati buah ini tak memunculkan harum. Beberapa ulama berpendapat kategori ini merupakan orang yang beriman dan menjalankan ibadah namun hari-hari jarang dihiasi dengan membaca Alquran.  

Sedang perumpaman orang durhaka (munafik) yang membaca Alquran seperti buah raihana, baunya wangi namun rasanya pahit. Buah raihana memiliki wangi sehingga kerap diguanakan untuk wewangian. Namun buah ini memiliki rasa yang pahit bahkan disebutkan mengandung racun. 

Imam Nawawi menjelaskan kategori ini merupakan orang yang membaca Alquran tapi tak mengamalkannya. Orang seperti ini kerap menampakkan diri dihadapan orang lainnya seperti orang suci namun pada praktiknya kerap lalai dari ketaatan kepada Allah.   

Sedangkan perumpamaan orang durhaka (munafik) yang tidak membaca Alquran seperti hanzhalah. Beberapa ulama menyatakan hanzalah adalah rumput yang pahit dan bau.  Maka kategori ini merupakan orang-orang yang tidak bisa merasakan manisnya iman. Orang seperti ini tidak memberi manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.

KHAZANAH REPUBLIKA

Yuk Berbakti Pada Orangtua yang Sudah Meninggal

SALAH satu di antara rahmat yang Allah berikan kepada orang yang beriman adalah mereka bisa saling memberikan kebaikan, sekalipun harus berpisah di kehidupan dunia. Karena ikatan iman, Allah abadikan sekalipun mereka sudah meninggal.

Doa mukmin yang hidup kepada mukmin yang telah meninggal, Allah jadikan sebagai doa yang mustajab. Doa anak saleh kepada orangtuanya yang beriman, yang telah meninggal, Allah jadikan sebagai paket pahala yang tetap mengalir.

Ilmu yang diajarkan oleh seorang guru muslim kepada masyarakat, akan menjadi paket pahala yang terus mengalir, selama ilmu ini diamalkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila seseorang mati, seluruh amalnya akan terputus kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim 1631, Nasai 3651, dan yang lainnya).

Bahkan ikatan iman ini tetap Allah abadikan hingga hari kiamat. Karena ikatan iman ini, Allah kumpulkan kembali mereka bersama keluarganya di hari kiamat.

“Orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS. At-Thur: 21).

Anda yang beriman, orangtua beriman, anak cucu beriman, berbahagialah, karena insyaaAllah akan Allah kumpulkan kembali di surga.

Setelah orang tua meninggal, ada banyak cara bagi si anak untuk tetap bisa berbakti kepada orang tuanya. Mereka tetap bisa memberikan kebaikan bagi orang tuanya yang telah meninggal, berupa aliran pahala. Dengan syarat, selama mereka memiliki ikatan iman.

Lebih dari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan kepada salah seorang sahabat untuk melakukan beberapa amal, agar mereka tetap bisa berbakti kepada orang tuanya. []

INILAH MOZAIK

Orangtua Sangat Senang Diziarahi di Hari Jumat

ZIARAH kubur merupakan salah satu sunah Rasulullah, karena dengan berziarah kubur akan mengingatkan pada kematian yang pasti datang, jika sering ingat mati, maka bisa melembutkan hati yang berdampak pada mudah menerima nasihat dan rajin beribadah.

Keutamaan ziarah kubur ini disebutkan dalam beberapa hadis berikut:

“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Majah)

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang lain:

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim)

Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Hakim)

Imam Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)

Lalu apa yang terjadi pada orangtua saat Anda berziarah ke makam mereka atau saat Anda mendoakan mereka?

Syaikh Muhammad al-Syanqithi berkata: “Semoga Allah mengampuni keluarga kita yang telah meninggal dunia dan kaum Muslimin yang sudah meninggal dunia. Aku tidak mampu menahan tangis melihat betapa membutuhkannya ahli kubur pada kita. Aku terkesan dan aku ingin semuanya tahu hal ini.”

Utsman bin Sawad, ulama salaf, bercerita tentang ibunya, seorang wanita yang ahli ibadah. Saat ibunya bakal meninggal dunia, ia mengangkat pandangannya ke langit dan berkata: “Wahai tabunganku, wahai simpananku, wahai Tuhan yang selalu jadi sandaranku alam hidupku dan setelah kematianku, jangan Engkau abaikan diriku saat mati, jangan biarkan aku kesepian dalam kuburku.” Kemudian ia meninggal dunia.

Aku selalu berziarah ke makamnya setiap hari Jumat. Aku berdoa untuknya, dan memohonkan ampun baginya dan semua ahli kubur di situ. Pada satu malam aku bermimpi berjumpa dengan ibuku.

Aku berkata: “Wahai ibuku, bagaimana keadanmu?”

Ia menjawab: “Wahai anakku, sesungguhnya keematian itu yaitu kesusahan yang dahsyat. Aku alhamdulillah ada di alam barzakh yang terpuji. Ranjangnya harum, dan bantalnya terdiri dari tenunan kain sutera.”

Aku berkata: “Apakah Ibu ada keperluan kepadaku? “

Ia menjawab: “Iya, jangan anda tinggalkan ziarah yang anda lakukan pada kami, sungguh aku sangat senang dengan kedatanganmu pada hari Jumat saat berangkat dari keluargamu. Orang-orang bakal berkata kepadaku: “Ini anakmu telah datang.” Lalu aku merasa senang, dan orang-orang mati yang ada di sekitarku juga senang.”

Basysyar bin Ghalib, ulama salaf juga, berkata: “Aku bermimpi Robiah al-Adawiyah dalam tidurku. Aku memang selalu mendoakannya. Dalam mimpi itu ia berkata kepadaku : “Wahai Basysyar, hadiah-hadiahmu selalu sampai pada kami di atas piring dari cahaya, ditutupi dengan sapu tangan sutera.”

Aku berkata : “Bagaimana hal itu dapat terjadi?”

Ia menjawab : “Begitulah doa orang-orang yang masih hidup. Apabila mereka mendoakan orang-orang yang sudah mati dan doa itu dikabulkan, jadi doa itu diletakkan di atas piring dari cahaya dan ditutupi dengan sapu tangan sutera. Lalu hadiah itu diberikan kepada orang mati yang didoakan itu. Lalu dikatakan kepadanya: “Terimalah, ini hadiah si anu kepadamu.”

Seberapa sering kita berziarah ke makam orangtua, keluarga dan guru kita yang sudah meninggal dunia? Seberapa banyak kita mendoakan mereka saat ini? Ziarah kita dan doa kita sangat dibutuhkan oleh mereka. (YES MUSLIM/MediaDakwahIslam)

INILAH MOZAIK