Covid-19 Pasti Berlalu, Kalau Dosa Kita Bagaimana?

SEMENJAK tersebarnya Covid-19 kita sering melihat, mendengar dan membaca saling hujat antar sesama muslim dalam menyikapinya bahkan tidak jarang keluar vonis-vonis keji, seperti, bodoh, dasar keledai dan semisalnya.

Perlu kita ingat selalu bahwa menghina, mengejek, mengolok-olok dan semisalnya adalah HUTANG, dan balasannya adalah setimpal!

Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS 49 Al-Hujuraat: 11)

Diceritakan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Salam dalam hadits shahih bahwa ada umat Beliau yang bangkrut dan pailit pada hari kiamat nanti dikarenakan pahala kebaikannya diambil untuk melunasi kedzalimannya sehingga dosanya bertambah banyak dan ia dilempar ke neraka, diantara mereka adalah orang yang suka menghina dan merendahkan orang lain.

Berkata Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu, “Sekiranya aku menghina anjing, aku khawatir menjadi anjing.”

Berkata Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah, “Sesungguhnya adakalanya aku melihat sesuatu yang aku membencinya, maka tiada yang menghalangiku untuk membicarakannya melainkan karena khawatir aku akan mendapat ujian yang semisalnya.”

Subhaanallaah! Allah Maha Adil.

Insya Allah Covid-19 akan segera berlalu, tapi dosa menghina dan merendahkan orang lain akan tetap berada di pundak selama belum bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang dihina serta menyelesaikan urusannya.

Mari kita tetap santun dalam menyikapi perbedaan dan menahan diri untuk tidak berkata-kata keji kepada saudara kita yang berbeda karena semuanya akan mempertanggujawabkan di hadapan Allah.

Syarat Taubat dari Menghina dan Merendahkan Orang Lain

1. Menyesali perbuatannya dan memohon ampun serta taubat kepada Allah.

2. Meminta maaf kepada orang yang telah dihina dan direndahkannya.

3. Mengakui kesalahannya dan mencabut semua hinaannya serta merehabilitasi nama baik orang yang telah dihina dan direndahkan.

4. Berdoa kebaikan dan memuji orang yang telah dihina dan direndahkan

5. Tidak berbuat seperti itu lagi dan berjanji tidak akan mengulangi lagi selamanya.

Semoga bermanfaat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati menghina dan merendahkan orang lain karena khawatir mendapat hukuman setimpal dari Allah di dunia ini dan di akhirat nanti. Semoga Allah selamatkan kita semua, aamiin ya Robb. []

Akhukum Fillah
Abdullah Sholeh Hadrami

Ketika Wanita Hadir di Masjid (Bag. 1)

Syariat telah membolehkan bagi para wanita untuk pergi ke masjid dan shalat bersama kaum muslimin di masjid. Namun bersamaan dengan hal itu, syariat juga memotivasi kaum wanita untuk shalat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya, dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain.

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud no. 567, shahih)

Dari Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ

“Wahai Rasulullah, aku senang shalat bersamamu.” 

Kemudian  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ 

“Sungguh aku sudah tahu. Namun shalatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Shalatmu di kamar itu lebih baik daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di rumahmu itu lebih baik daripada shalatmu di masjid kampungmu. Dan shalatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini.” 

Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan biasa melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (yaitu hingga beliau wafat). (HR. Ahmad 37: 45, dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Alasan bahwa shalat wanita di tempat yang tertutup (tersembunyi) itu lebih afdhal adalah karena terwujudnya rasa aman dari adanya fitnah. Hal ini dikuatkan lagi setelah apa yang ditampakkan oleh wanita baik berupa tabarruj maupun menampakkan perhiasan.” (Fathul Baari, 2: 350)

Jika Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan yang demikian itu di abad kesembilan, lalu bagaimana lagi jika beliau dan ulama lainnya melihat para wanita di zaman kita sekarang ini, yang keluar rumah dalam keadaan ber-tabarruj, memakai minyak wangi, dan memakai pakaian namun hakikatnya telanjang? 

Tidak diragukan lagi bahwa dalam kondisi yang demikian itu, terlarang bagi mereka keluar menuju masjid atau selain menuju masjid. Wajib atas walinya untuk melarang dan tidak memberikan izin baginya. Akan tetapi, di manakah kecemburuan para wali yang mengawasi mereka? Bahkan mayoritas mereka tidaklah peduli sama sekali.

Pen-syarah Musnad Imam Ahmad rahimahullah berkata,

“Diambil faidah dari hadits ini -yaitu hadits Ummu Humaid- disyariatkannya seorang wanita untuk menutupi diri dalam segala sesuatu sampai-sampai ketika shalat dan ketika beribadah kepada Rabb-nya. Dan setiap kali dia beibadah di tempat yang lebih tertutup, maka pahalanya lebih besar dan lebih banyak. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk untuk shalat di tempat yang paling tertutup di rumahnya dan di tempat yang paling jauh dari manusia. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memberikan petunjuk kecuali untuk meraih kebaikan. Maka Ummu Humaid pun bersegera untuk beramal sesuai dengan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebutUmmu Humaid pun meminta untuk dibuatkan tempat shalat untuknya di sisi rumahnya yang paling jauh dan paling gelap. Dan beliau terus-menerus beribadah kepada Allah Ta’ala sampai meninggal dunia, semoga Allah Ta’ala merahmatinya.” (Buluughul Amaani, 5: 199)

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً بِالْعِشَاءِ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَفْشُوَ الْإِسْلَامُ فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى قَالَ عُمَرُ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ فَقَالَ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرَكُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat ‘isya ketika malam telah masuk sepertiga akhir malam (‘atamah), dan itu terjadi ketika Islam belum luas tersebar. Beliau tidak juga keluar hingga ‘Umar berkata, “Para wanita dan anak-anak sudah tidur!” Maka beliau pun keluar dan bersabda kepada orang-orang yang ada di masjid, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian.” (HR. Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)

Hadits ini menunjukkan adanya wanita yang hadir di masjid di zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menghadiri shalat jama’ah di masjid. Hal itu tidaklah wajib atas mereka. 

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Adapun wanita, tidak ada perbedaan pendapat bahwa kehadiran mereka untuk shalat jama’ah tidaklah wajib. Telah terdapat riwayat yang shahih bahwa wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di kamar mereka, tidak keluar menuju masjid.” (Al-Muhalla, 4: 196)

Jika seorang wanita meminta izin hendak menuju masjid, baik meminta izin kepada suami atau kepada walinya, maka hendaknya mereka para wanita memiliki komitmen untuk berpegang dengan persyaratan-persyaratan yang ada. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

“Jika istri-istri kalian minta izin ke masjid di waktu malam, maka berilah mereka izin.” (HR. Bukhari no. 865 dan Muslim no. 442)

Juga dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ

“Janganlah kalian menghalangi kaum wanita untuk pergi ke masjid Allah.” (HR. Muslim no. 442)

Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang wanita yang hendak pergi ke masjid, hendaklah meminta izin dari suami. Sebagai konsekuensi dari meminta izin, suami boleh saja melarang istri ke masjid jika suami melihat ada maslahat jika istri shalat di rumah dan tidak ke masjid. Jika suami dituntut “harus” mengizinkan, maka redaksi hadits di atas menjadi sia-sia. Karena hal itu artinya bukan meminta izin, tetapi sekedar pemberitahuan kepada suami.

Syarat-syarat untuk para wanita yang akan pergi ke masjid akan kami bahas di seri selanjutnya dari tulisan ini.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55629-ketika-wanita-hadir-di-masjid-bag-1.html

Polemik Shaf Renggang untuk Antisipasi Corona

Polemik Shaf Renggang Untuk Antisipasi Corona

Ust, sedang viral di sosmed foto jama’ah suatu masjid sholat dg shof nya renggang. Dan ini sdh marak di mana2 Ust. Apakah sholat sprti ini sah atau boleh Ust? Mhn penjelasannya, matur suwun.

Jawaban:

Bismillah, walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Ada dua kasus berkaitan shaf sholat yang harus kita bedakan sebelum kita masuk pada inti jawaban:

[1] Meluruskan shof (taswiyatus sufuf).

[2] Menempelkan kaki di barisan shof (ilzaqus shof)

Hukum Meluruskan Shaf

Meluruskan shaf hukumnya wajib, sebagaimana pendapat ulama yang paling kuat dalam hal ini (rajih). Dalilnya adalah hadis dari sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلًا بَادِيًا صَدْرُهُ مِنْ الصَّفِّ فَقَالَ

Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf kami, seakan-akan sedang meluruskan barisan busur panah, hingga beliau melihat bahwa kami sungguh telah terikat darinya. Kemudian pada suatu hari beliau keluar lalu berdiri hingga hampir bertakbir. Beliau melihat seorang jama’ah sholat yang menonjolkan dadanya dari barisan shaf. Lantas beliau menegur,

عِبَادَ اللَّهِ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

“Wahai hamba-hamba Allah, luruskan shaf kalian, jika tidak maka Allah akan membuat hati kalian berselisih.” (HR. Muslim)

Adanya ancaman, “jika tidak maka Allah akan membuat hati kalian berselisih.” menunjukkan bahwa, tidak meluruskan shaf sholat adalah dosa. Sehingga meluruskan shaf sholat hukumnya wajib. Karena setiap perintah yang disertai ancaman hukuman, menunjukkan bahwa menjalankan perintah itu hukumnya wajib.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Bukhori. Beliau menulis judul bab di Shahih Bukhori; dan kita ketahui bahwa kesimpulan fikih Imam Bukhori ada pada judul Bab yang beliau tulis.

باب إثم من لا يتم الصفوف

Bab : Berdosa Bagi Orang yang Tidak Meluruskan Shafnya.

Sehingga untuk meluruskan shaf, tetap wajib diupayakan semaksimal mungkin meskipun pada kondisi wabah corona seperti saat ini.

Hukum Menempalkan Kaki Di Barisan Shaf

Adapun menempelkan kaki dalam barisan shaf, ini masalah lain yang berbeda hukumnya dengan meluruskan shaf. karena meluruskan shaf, wajib, dan meluruskan shaf tidak harus dengan menempelkan kaki.

Sebagian orang beranggapan, bahwa menempelkan kaki saat sholat jama’ah pada kaki jama’ah lain, tergolong sunah / dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, atau dalam kacamata hukum fikih (taklifi), hukumnya wajib. Padahal ini kesimpulan yang kurang tepat.

Kesimpulan ini berpijak pada pernyataan sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, “

فرأيت الرجل يلزق منكبه بمنكب صاحبه وكعبه بكعبه.

“Lantas aku melihat orang-orang (para sahabat Nabi) menempelkan pundak ke pundak temannya serta mata kaki ke mata kaki temannya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Pemahaman yang benar terhadap pernyataan sahabat Nu’man bin Basyir di atas adalah, riwayat ini tidak tegas menyatakan perintah menempelkan kaki. Kandungan pesannya adalah pesan berita, yang disampaikan bukan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, namun dari cerita sahabat. Sehingga, menempelkan kaki di barisan shaf, hukum yang tepat bukan wajib, tapi sunah.

Kemudian, anjuran menempelkan kaki ini, bukan ibadah yang berdiri sendiri (ibadah Li ghoirihi). Namun tindakan itu dianjurkan karena membantu terwujudnya ibadah inti (ibadah Li dzatihi) berupa meluruskan shaf. Jadi tujuan para sahabat menempelkan kaki, adalah sekadar untuk meluruskan shaf.

Adapun bila shaf sudah lurus, tanpa harus dengan menempelkan kaki, maka itu sudah cukup. Karena tujuan telah tercapai. Tidak harus dengan menempelkan kaki apalagi berlebihan dalam hal ini. Yang terpenting adalah shafnya lurus.

Pemaparan ini kami simpulkan dari penjelasan Syekh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah yang bisa pembaca simak di sini:

Berikut sedikit kami kutipkan penjelasan beliau,

وليس الإلصاق مرادا لذاته، فأذل حصل التسوية وحصلة المراصة التي بها سد الخلل حصل المقصود،

“Menempelkan kaki dalam shaf bukan ibadah yang ditujukan secara mandiri (artinya, ibadah li ghoirihi, pent). Sehingga bila shaf sudah lurus dan tidak ada kerenggangan tanpa dengan menempelkan kaki, maka tujuan sudah tercapai…”

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyyah (no. 18642) dijelaskan,

إلصاق الرجل رجله برجل صاحبه في الصف، وهذا أمر مستحب لحديث النعمان بن بشير

Menempelkan kaki ke kaki temannya di barisan shaf, hukumnya sunnah (dianjurkan), berdasarkan hadis dari sahabat Nu’man bin Basyir (yang tersebut di atas, pent).

Setelah kita tahu bahwa menempelkan kaki di barisan shaf sholat hukumnya sunah, maka meninggalkan amalan sunah demi terlaksana ibadah yang wajib, adalah suatu tindakan yang dibenarkan oleh Islam.

Menempelkan kaki hukumnya sunah. Sementara mencegah bahaya berupa tersebarnya virus Corona hukumnya wajib. Karena Nabi berpesan,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain. (HR. Ahmad)

Syariat kita mengizinkan meninggalkan amalan yang sunah demi terwujudnya amal wajib. Sebagaimana Nabi pernah melarang orang yang mengerjakan sholat sunah saat iqomah sudah dikumandangkan.

اذا أقيمت الصلاة فلا صلاة الا المكتوبة

“Jika iqomah sholat wajib telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi solat selain solat wajib.” (HR. Muslim)

Sehingga merenggangkan shaf, untuk antisipasi penularan corona, dengan tatap menjaga kerapian dan kelurusan shaf, hukumnya boleh dan sholatnya tetap sah.

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36263-polemik-shaf-renggang-untuk-antisipasi-corona.html

Kita, Uang Kita dan Orang Lain

TAK terasa menetes air mata membaca tulisan seseorang di medsos yang menawarkan dirinya bekerja apapun asal bisa mendapatkan makan untuk hari ini. Dia adalah kepala rumah tangga yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek.

Saat ini, tak mesti ada satupun penumpang dalam setiap harinya. Rerata orang tinggal di rumah saat wabah corona semakin mengganas. Corona bukan hanya masalah usaha kita bagaimana kita agar tidak sakit, namun juga bagaimana caranya tetap hidup layak di saat banyak jalan kehidupan tertutup.

Berhutang saat tak punya uang mungkin adalah jalan paling cepat, namun kemanakah akan berhutang kalau setiap hari adalah bekerja untuk berhutang? Sementara itu, anak-anaknya mulai menangis bukan karena tak punya uang jajan melainkan karena sudah pada tahap tak ada yang bisa dimakan. Lalu, tanggung jawab siapakah ini? Yang berasib seperti ini bukanlah satu atau dua orang, ada banyak sekali yang suaranya masih dipendam sendiri tak diteriakkan. Sungguh kasihan mereka.

Mereka yag tinggal di kampung pedesaan mungkin lumayan bisa terus menjalani hidup sebagaimana biasa. Mereka makan apa adanya dan membuat sayur gratis dari apa yang tertanam di pagar-pagar mereka. Namun mereka yang hidup di kota di mana tak ada tanah kosong kecuali segera dibangun sebuah bangunan di atasnya, tak ada tetumbuhan gratis yang bisa dimakan sebagai pengisi perut, kehidupan mereka serba berbayar. Lalu, bagaimana caranya mereka agar tetap hidup layak.

Mereka yang masih memiliki kerja, serendah apapun orang memandangnya, mereka yang memiliki penghasilan, sesedikit apapun menurut hitungannya, adalah terlarang untuk mengeluh. Bersyukurlah, bersyukurlah dan berbagilah dengan mereka yang tak bernasib mujur dalam kehidupan ini. Teringatlah saya pada tulisan saya pada tahun 2016 tetang bagaimana seharusnya kita memperlakukan uang kita agar kita menjadi manusia terpilih, manusia mulia dan luar biasa.

Kalau kita bisa makan walau tak punya uang bersyukurlah. Kita masih bisa pinjam uang untuk makan untuk kemudian kita bayar ketika punya nanti. Kalau kita bisa makan dan memiliki uang yang cukup untuk makan itu maka lebih bersyukurlah. Kita sungguh berhak menyebut diri sebagai orang berkecukupan.

Kalau kita punya uang dan kita tak bisa makan karena sakit maka bersabarlah. Memang selalu saja ada masa di mana ujian sakit itu harus mengisi kuliah kehidupan kita. Kalau kita punya uang berlebih dan kemudian kita bisa makan bersama orang lain, terlebih mereka yang kekurangan, maka bersyukurlah karena kita berhak merasa sebagai kelompok orang berkelebihan.

Kalau kita memiliki uang berlebihan namun tak pernah tersentuh memberi makan anak yatim dan fakir miskin nestapa maka bertobatlah dan istighfarlah karena itu berarti kita sedang menahan diri memberikan sebagian harta yang menjadi hak mereka yang membutuhkan itu. Kalau kita orang yang tak berkelebihan namun bisa menanggung hidup banyak orang yang menurut akal “lebih” dari kemampuan kita, ini baru luar biasa. Ini berarti kita dipilih Allah untuk menjadi orang tua dari banyak orang. Salam, AIM. [*]

Kebahagian Jiwa yang Hakiki Menurut Buya Hamka

Buya Hamka menilai kebahagian hakiki bukan sekadar dunia.

Sebagian orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu letaknya pada harta. Akan tetapi yang berpikiran begini adalah orang yang putus asa dalam kemiskinannya. Hendak menjadi kaya namun selalu gagal. Kadang-kadang pendapatnya tak didengar orang lantaran ia miskin. Karena itu diputuskannyalah bahwa bahagia itu pada uang, bukan lainnya. Kaidahnya ini berasal dari hati yang kecewa.

Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih akrab dipanggil, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, menjelaskan banyak juga yang tidak menemukan kebahagiaan meskipun ia sudah mencapai maksudnya. Contohnya adalah orang miskin yang mengejar kekayaan, sebab dalam bayangannya, jika kaya ia akan mampu menolong sesama. Akan tetapi, setelah kaya ia malah menjadi sombong dan kikir. Ada negarawan yang ketika menjadi anggota parlemen berjanji akan menolak segala kezalim an, namun setelah jadi Presiden atau Perdana Menteri justru ia sendiri yang menzalimi rakyatnya.

Pada dasarnya mereka yang menilai kebahagiaan dengan materi hanyalah orang-orang yang tertipu, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya memiliki harga sesuai kemampuan manusia untuk menghargainya. Buku yang sarat ilmu hanya akan dijual kiloan di pasar loak oleh para penjual yang tak mengerti isinya. Orang yang tak paham bedanya emas dan kuningan akan menjual keduanya dengan harga yang sama.

Manusia juga punya kecenderungan untuk rindu pada sesuatu yang belum ada padanya, sebab segala isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan. Contoh nya Rockefeller, yang sepanjang hidupnya mengejar kekayaan, namun setelah menjadi miliuner, semuanya itu tak lagi berarti. Di usianya yang sudah 97 tahun, ia hanya ingin agar dicukupkan hidupnya menjadi 100 tahun.

Ternyata harta yang banyak itu tak mampu sekadar untuk membeli kekurangan yang tiga tahun, karena pada tahun itu juga ia wafat. Sesuatu yang belum kita miliki sering disangka menjanjikan kebahagiaan, namun manusia kerap kali tidak mampu menghargai apa-apa yang sudah dimilikinya.

Menurut Hamka, Islam mengajarkan pada manusia empat jalan untuk menuju kebahagiaan. Pertama, harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang benarbenar berasal dari dirinya sendiri.

Kedua, yakin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga, iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, sehingga dibuktikan oleh lisan dan perbuatan. Tahap terakhir adalah ad-diin, yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah, penghambaan diri yang sempurna. Mereka yang menjalankan ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan, lantaran mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah Allah pilihkan untuknya.

Ada pula sifat-sifat yang menjauhkan manusia dari kebahagiaan, antara lain adalah takut mati. Pada dasarnya perasaan ini menimpa mereka yang tak tahu mati. Mereka tidak tahu kemana jiwa raganya pergi sesudah mati, atau disangka setelah tubuhnya hancur maka jiwanya pun ikut hancur, sedangkan alam ini kekal dan orang lain terus mengecap nikmat, sementara dirinya tak ada lagi di sana.

Ada juga yang menyangka bahwa kematian itu adalah penyakit yang paling hebat. Akan tetapi semua penyakit ada obatnya, kecuali kematian, karena kematian itu bukanlah penyakit. Sebagian orang memang suka hidup lama tetapi tak suka tua.

Pikiran semacam ini, menurut Hamka, tidaklah waras. Dalam ajaran Islam, kematian adalah belas kasihan Tuhan kepada hambahamba- Nya. Manusia disuruh pergi ke dunia, dan kemudian dipanggil pulang.

Agama menyadarkan kita bahwa kematian itu telah pasti bagi kita, dan karenanya, kita sungguh-sungguh berusaha memperbaiki hidup, agar sesudah hidup itu kita beroleh kematian yang nikmat adanya, yaitu kematian dalam keadaan memperoleh ridha Allah. Orang seringkali membayangkan apa yang akan dijumpainya sesudah mati.

Mereka yang takut mati barangkali sudah menyadari dosanya lebih banyak daripada kebaikannya, sehingga takut kalau harus di-hisab. Tetapi ada pula orang seperti Bilal bin Rabah ra. yang mengatakan dirinya bahagia di saat menghadapi sakaratul mautnya, lantaran dengan kematian itulah ia bisa berkumpul kembali dengan Rasulullah saw. yang sangat ia cintai.

Oleh karena itu, pesan Hamka, jika ingin jadi orang kaya, maka cukupkanlah apa yang ada, peliharalah sifat qanaah, jangan bernafsu mendapatkan kepunyaan orang lain, hiduplah sepenuhnya dalam ketaatan kepada Allah saja. Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, baik banyak maupun sedikitnya, sebab ia adalah nikmat dari Allah. 

Jika kekayaan melimpah, ingatlah bahwa harta itu untuk menyokong amal dan ibadah. Harta tidak dicintai karena ia harta, melainkan hanya karena ia pemberian Allah, dan ia dipergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Inilah jiwa yang bahagia!

KHAZANAH REPUBLIKA

Bolehkah Shalat Jumat Di Rumah Saat Wabah Corona?

Pekan lalu, Tim Rumaysho mendapatkan postingan via WhatsApp tentang panduan ringkas untuk Jumatan di rumah jika tidak dilaksanakan di masjid karena kondisi yang tidak terkendali. Tata caranya diawali azan, lalu dua khutbah, kemudian dua rakaat shalat Jumat. Yang penting di dalamnya memenuhi rukun shalat Jumat dan rukun khutbah Jumat.

Apakah seperti di atas tepat?

Yang jelas, shalat Jumat itu wajib dilaksanakan sebagaimana dalam ayat,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Shalat Jumat juga wajib berdasarkan hadits,

رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

Pergi shalat Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi basah (sudah baligh).” (HR. An-Nasai, no. 1371. Kata Syaikh Al-Albani, hadits ini sahih).

Adapun memfatwakan bahwa shalat Jumat boleh di rumah, itu menyelisihi kesepakatan ulama madzhab.

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menjelaskan, “Menurut kesepakatan ulama, shalat Jumat di rumah tidaklah sah. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sahnya shalat Jumat itu jika dihadiri oleh imam a’zham atau penggantinya. Ulama Malikiyyah menyaratkan bahwa shalat Jumat itu harus dilakukan di Masjid Jami’. Ulama Syafiiyah dan Hambali menyatakan bahwa shalat Jumat itu disyaratkan dengan jumlah empat puluh yang dihadiri oleh orang-orang yang diwajibkan shalat Jumat.”

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih menyatakan beberapa cacat bila shalat Jumat dilaksanakan di rumah yaitu:

  1. Menyelisihi kesepakatan para ulama yang menyatakan tidak sahnya shalat Jumat di rumah.
  2. Menyelisihi maqashid syariat (tujuan syariat) diperintahkannya shalat Jumat untuk berkumpul jamaah yang banyak dalam satu tempat.
  3. Menyelisihi tata cara ibadah dalam shalat Jumat.
  4. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat Jumat dilaksanakan satu di kota Madinah, bukan dilaksanakan di banyak rumah.

Lihat Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 18.

Yang tepat, jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat. Hal ini sudah dijelaskan di Rumaysho.Com dalam tulisan:

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23845-bolehkah-shalat-jumat-di-rumah-saat-wabah-corona.html

Tahukah Kamu Terkadang Azab Kubur itu Diringankan?

YA, kadang-kadang diringankan, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah lewat dua kubur lalu berkata:

“Keduanya benar-benar sedang diadzab, keduanya diadzab karena hal yang besar, benar, dia itu hal yang besar, salah satunya diadzab karena tidak bersuci dari kencing, atau beliau berkata: “Tidak bertabir waktu kencing, dan yang lain diadzab karena suka mengadu domba/membuat fitnah.” Kemudian beliau mengambil pelepah yang masih basah, lalu dibagi dua kemudian menancapkan pada tiap kubur satu buah dan berkata: “Semoga adzab keduanya diringankan selama pelepah itu belum kering.”

Ini merupakan dalil bahwa terkadang adzab kubur itu bisa diringankan, namun apa hubungan antara dua pelepah kurma yang basah itu dengan diringankannya dua orang yang sedang diadzab ini?

[1]. Ada yang berpendapat bahwa kedua pelepah ini senantiasa bertasbih selama belum kering, sedangkan tasbih bisa meringankan adzab bagi si mayit. Kesimpulan dari illat ini -yang kadang meleset jauh- bahwasanya disunnahkan kepada manusia untuk pergi ke kuburan dan bertasbih di sisinya agar adzabnya diringankan.

[2]. Sebagian ulama berkata: Penentuan seperti di atas adalah lemah karena dua pelepah itu tetap bertasbih baik dalam keadaan basah maupun kering, Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” [Al-Isra: 44]

Pernah terdengar tasbihnya kerikil oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal kerikil itu kering, jadi apa illatnya?

Illatnya adalah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengharap kepada Allah Azza wa Jalla agar adzab kedua orang itu diringankan selama dua pelepah itu masih basah, artinya bahwa tempo waktunya tidak panjang, dan hal itu dalam rangka untuk memberi peringatan akan perbuatan kedua orang tadi karena perbuatan mereka berdua itu persoalan besar, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat: “benar, bahwa itu adalah urusan besar.” Orang yang pertama tidak bersuci dari kencing, dan bila tidak bersuci dari kencing berarti dia shalat tanpa bersuci.

Sedangkan yang kedua banyak memfitnah/mengadu domba, yang merusak hubungan antara hamba-hamba Allah aku berlindung kepada Allah- serta melemparkan diantara mereka api permusuhan dan kebencian, dan ini adalah persoalan besar. Inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran, bahwa hal hal itu merupakan syafaat sementara sebagai peringatan untuk umat bukan merupakan kebakhilan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk memberi syafaat selamanya.

Beralih dari pembicaraan, kami katakan: bahwa sebagian ulama semoga Allah memaafkan mereka- mengatakan: “Disunnahkan agar manusia meletakkan pelepah basah, atau pohon atau semacamnya di atas kuburan agar adzabnya diringankan, akan tetapi kesimpulan ini jauh sekali dan tidak boleh kita melakukan hal itu karena beberapa alasan:

– Kita tidak tahu bahwa orang tersebut sedang diadzab, berbeda halnya dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
– Jika kita melakukan hal itu maka kita telah berbuat buruk sangka terhadap mayit itu karena telah punya dugaan jelek (suudzon) kepadanya bahwa dia sedang diadzab, siapa tahu dia sedang diberi nikmat. Siapa tahu mayit ini termasuk orang yang mendapat ampunan dari Allah sebelum matinya karena adanya satu dari sekian banyak sebab ampunan, lalu dia mati dan Rabb para hamba telah memaafkannya, dan saat itu dia tidak berhak mendapatkan adzab.
– Kesimpulan ini menyelisihi pemahaman Salafush Shalih yang mereka itu merupakan manusia yang paling mengerti tentang syariat Allah. Tidak ada seorangpun dari sahabat radhiyalahu anhum yang mengerjalan hal itu, lalu apa urusannya kita melakukan hal itu?
– Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala telah membuka bagi kita (amal) yang lebih baik daripada hal itu. Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila telah usai penguburan mayit beliau berdiri dan berkata: “Mintakanlah ampunan untuk saudaramu dan mintalah untuknya keteguhan karena dia sekarang akan ditanya.”

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah/ almanhaj.or.id]

INILAH MOZAIK

Tetap Ingat Nikmat dari Allah Saat Virus Corona Mewabah

Umat Islam diingatkan untuk selalu ingat nikmat Allah kala ditimba musibah corona.

Ustaz Bendri Jaisyurrahman mengatakan kualitas iman seorang muslim dapat terlihat saat musibah datang menimpanya. Termasuk saat umat muslim yang saat ini juga tengah dilandah wabah corona.

“Momentum ini sekaligus menunjukan kualitas keimanan kita di antara yang lainnya,” ujar Ustaz Bendri dalam Tabligh Akbar Online, Jumat (3/4).

Dalam kondisi ini, terang Bendri, umat muslim bisa memanjatkan doa sebagaimana yang Rosulullah SAW ajarkan dan diriwayatkan oleh imam Abu Dawud. “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari penyakit baros (penyakit kulit terkelupas), penyakit Junun (penyakit gila), penyakit lepra atau kusta, dan terakhir dari penyakit ganas yang mewabah.”

“Dalam kondisi ini kita berdoa supaya kita dilindungi dari empat hal tadi (penyakit). Yang menarik Rosul menyisipkan agar kita terlepas dari penyakit gila, ini penyakit psikis,” terangnya.

Dalam doa tersebut, menurut Bendri, bukan hanya sekedar selamat dan bebas dari wabah corona saja tapi juga bebas dari tekanan psikis. Misalnya banyak yang jadi kehilangan penghasilan karena adanya wabah, atau banyak tuntutan karena pendapatan yang berkurang.

“Doa ini mengingatkan kita agar memohon pada Allah agar kita selamat dari penyakit fisik dan selamat dari penyakit psikis. Virus ketakutan ini yang (justru) paling fatal,” terangnya.

Oleh karena itu dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, menurut Bendri, kualitas iman seorang muslim dapat terlihat. Apakah seseorang tersebut akan tetap bersyukur saat diberikan musibah atau justru berkeluh kesah.

“Sungguh ajaib, urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua urusan itu baik, kenapa demikian, (karena) kalau dia ditimpa, dia akan mendapatkan rasa syukur, kalau ditimpa kesulitan dia akan bersabar. Jadi situasi ini hanya dua, bersyukur saat mendapatkan kesenangan dan sabar saat mendapatkan kesulitan,”terang Bendri.

Bendri lalu menceritakan tentang penyakit yang pernah menimpa Nabi Ayub AS, penyakit judzam atau penyakit kulit yang saat itu sampai membuat Nabi Ayub kurus dan diasingkan. Bahkan orang-orang di masa itu telah menyarankan Nabi Ayub agar meminta kepada Allah untuk mengangkat penyakit tersebut dan Allah tentu akan mengabulkan.

“Kenapa tidak meminta kepada Tuhanmu untuk kesembuhan, maka Nabi menjawab aku malu, aku diberikan nikmat (sehat) 70 tahun tapi ketika dikasih ujian dua pekan saja aku sudah protes, keluh kesah. Malu lah aku sama tuhanku,” ucap Bendri.

Dari kisah Nabi Ayub menerima cobaan ini terangnya, mengajarkan bagaimana saat Ayub ditimpa kesulitan Nabi Ayub justru menghitung nikmat Allah yang telah diterima begitu banyak. Nabi terus bersabar dan Ridho dengan penyakitnya.

Dalam konteks kekinian kata Bendri, maka penting supaya umat muslim menjaga lisan dari kata-kata dan kalimat yang tidak baik. Sebagaimana Rosulullah SAW, ajarkan agar dalam kesulitan Rosul tetap berucap Alhamdulillah ‘ala kulli haalin. Artinya segala puji bagi Allah dalam segala urusan

“Termasuk dalam situasi ditimpa musibah ini. Allah ingin melihat bagaimana kita dalam situasi ditimpa musibah ini, Allah ingin melihat sejauh mana kita, apakah kita masih (dapat) melihat banyaknya nikmat yang diberikan Allah kepada kita,” ucapnya.

Selain itu, Bandri juga berpesan agar umat muslim terus menunjukkan sikap optimis dan selalu berkata-kata baik. Karena kalimat positif itulah yang akan menjadi isyarat kehidupan dimasa datang.

“Lisan yang mengeluarkan (kata-kata) negatif atau sumpah serapa dalam situasi ini maka bisa jadi berdampak pada kehidupan kita buruk di masa depan. Makanya lisan ini bagian dari ketakwaan. Menjaga lisannya agar senantiasa baik,” jelasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bangga Diri dan Meremehkan Orang Lain

Seringkali ketika seseorang telah melakukan perbuatan-perbuatan baik atau amal kebaikan, timbul perasaan dalam dirinya bahwa ia telah banyak berbuat baik. Tak berhenti disitu, ia mulai memandang orang lain dengan pandangan hina dan meremehkan. Menganggap orang lain belum melakukan apa yang ia perbuat, sehingga ia melihat orang lain dengan pandangan rendah.

Hari ini kita akan belajar dari satu kisah menarik yang mampu menyadarkan diri kita untuk tidak merasa bangga diri.

Seorang guru Al-Qur’an (atau biasa dikenal dengan guru ngaji) di salah satu Negeri Arab menceritakan :

“Salah satu murid yang belajar kepadaku adalah seorang yang usianya lebih tua dariku. Hari itu kami sedang mengajarkan Surat Al-Haqqah dan orang tua itu banyak sekali kesalahan dalam bacaannya.

Ketika aku menegur satu demi satu kesalahan yang ia perbuat, timbul perasaan dalam diriku bahwa “Aku lebih muda darinya tapi aku jauh lebih pandai dalam membaca Al-Qur’an.”

Sampai ketika murid itu membaca ayat ke-25 :

وَأَمَّا مَنۡ أُوتِيَ كِتَٰبَهُۥ بِشِمَالِهِۦ فَيَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي لَمۡ أُوتَ كِتَٰبِيَهۡ

Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku.” (QS.Al-Haqqah:25)

Setelah membaca ayat ini tiba-tiba muridku menangis histeris dan tak mampu melanjutkan ayat berikutnya. Dia benar-benar meresapi arti dari ayat itu dan merasa takut dengan apa yang akan terjadi di hari kiamat.

Saat itu aku benar-benar tersentak dan merasa malu. Karena aku telah menghafal Al-Qur’an dan beratus kali aku membaca ayat ini tapi tak sekalipun aku meneteskan air mata saat membacanya.

Tetapi orang yang tidak pandai membaca ini, ternyata dia lebih bisa meresapi kandungan Al-Qur’an.”

Kisah ini mengajarkan bahwa seringkali kita memandang orang lain dengan pandangan rendah padahal kita tidak mengetahui apa yang dimiliki oleh orang tersebut.

Bagaimana hubungannya dengan Allah?

Kebaikan-kebaikan apa yang telah ia lakukan?

Karena itu, selalu berbaik sangka dengan hamba Allah dan jangan pernah merasa bangga diri. Jangan pernah merasa suci karena hanya Allah yang paling mengetahui hati manusia.

فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS.An-Najm:32)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Penyelesaian Wabah Corona

BARU saja saya ngobrol via telepon dengan seorang kiai unik. Temanya biasa-biasa saja, tentang keadaan lingkungan sekitar, mulai tentang sepinya jalan raya di daerahnya dan bertambahnya orang bingung dengan penghasilan harian yang biasa digunakan mereka untuk biaya hidup sehari itu. Lalu kami berbincang tentang hal lainnya.

Di tengah perbincangan beliau berkata bahwa semalam beliau mendapatkan perintah dari “tamu spesial”nya seusai riyadlah dan istikharah mengenai penyebaran virus corona di Indonesia itu. Tamu itu menyarankan tiga hal agar urusan virus corona ini cepat selesai. Pertama adalah diperintahkan banyak membaca shalawat kepada Rasulullah. Tentu, tentang faidah atau hikmah shalawat ini tidak perlu saya bahas. Kita semua tahu kedahsyatan shalawat ini. Cuma kita sering melupakannya. Inilah penyakitnya.

Perintah kedua adalah disuruh selalu memohon hujan. Menurut tamu itu, turunnya hujan akan mampu memperingan laju perkembangan virus ini. Apa benar? Para ahli sains dipersilahkan untuk menjawab dan menganalisanya. Tentu kehadiran sinar matahari kita juga sudah sepakati bahwa ia bisa membantu menjauhkan kita dari virus. Lalu bagaimana dengan hujan? Apakah air barakah dari langit ini mampu memaksa virus masuk ke dalam tanah dan kemudian mati? Saya tak tahu, namun ya semoga.

Perintah ketiga sang tamu adalah “jangan panggil virus corona itu dengan corona 19.” Itu nama asli yang membuatnya manja dan akan selalu hadir. Sebut saja dengan corona 20, maka virus itu akan bingung lalu pergi karena bukan namanya yang disebut. Unik, bukan? Kiai unik bicara tentang tamu unik kepada saya yang tidak unik. Maka bingung jugalah saya. Namun, tentang shalawat itu, siapa yang mampu menyangkal keluarbiasaan fadilahnya? Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK