Doa Ketika Hendak Melaksanakan Shalat Tarawih

Ketika kita berada di bulan Ramadan, kita dianjurkan untuk melaksanakan shalat Tarawih. Shalat ini khusus dilaksanakan pada bulan Ramadan setelah melaksanakan shalat Isya terlebih dahulu. Shalat Tarawih hukumnya sunnah dan dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah. Meski begitu boleh juga dilaksanakan sendirian di rumah tanpa berjamaah.

Kesunnahan melakukan shalat Tarawih ini berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Sayidah Aisyah, dia berkisah;

انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Pada suatu malam Rasulullah Saw melaksanakan shalat di masjid, maka para sahabat mengikuti shalat beliau. Pada malam berikutnya, beliau kembali melaksanakan shalat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun beliau tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika pagi harinya, beliau bersabda; Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar shalat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian.’ Kejadian ini di bulan Ramadan.

Dalam kitab Al-Masyrab Al-Shafi Al-Hani, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar menyebutkan bahwa ketika hendak melaksanakan shalat Tarawih, kita hendaknya membaca doa berikut sebanyak tiga kali;

اَللَّهُمَّ اِنَّا قَابَلْنَاكَ فَاقْبَلْنَا وَعَلَى طَاعَتِكَ اَعِنَّا يَا كَرِيْمُ

Alloohumma innaa qoobalnaaka faqbalnaa wa ‘alaa thoo-‘atika a’innaa yaa kariim.

Ya Allah, kami menghadap-Mu maka terimalah kami, dan tolonglah kami untuk taat kepada-Mu, wahai Dzat Yang Maha Mulia.

BINCANG SYARIAH

Mendidik Anak dengan Puasa

Puasa Ramadhan menjadi salah satu model pendidikan keluarga dalam mendidik anak.

Setiap mukmin diperintahkan Allah SWT agar memelihara keluarganya (quw anfusakum) dari siksa api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6). Berdasarkan perintah itu, pendidikan dalam keluarga mesti dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya.

Puasa Ramadhan menjadi salah satu model pendidikan keluarga yang patut dioptimalkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya, terutama di masa pandemi ini. Ibadah puasa memberikan edukasi positif bagi sikap keberagamaan anak di bawah bimbingan dan keteladanan orang tua dan dukungan masyarakat lingkungannya.

Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Awlad menjelaskan, Rasulullah SAW memerintahkan orang tua untuk mendidik anaknya mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Dari perintah shalat ini, dapat disamakan dengan puasa. Kita latih anak-anak untuk melakukan puasa jika mereka kuat.

Dengan membiasakan anak berpuasa, maka terjadi pendidikan akidah, ibadah dan akhlak dalam keluarga. Pertama, pendidikan akidah. Saat berpuasa, mereka akan merasakan bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya sehingga tidak berani makan dan minum, meski ia bisa bersembunyi dari penglihatan orang tua, saudara dan teman-temannya. Inilah pendidikan akidah yang fundamental; tidak sekedar meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga teraplikasi dalam perilakunya.

Kedua, pendidikan ibadah. Tidak saja melaksanakan ibadah puasa, sejumlah ibadah lain juga dibiasakan dengan melibatkan keluarga secara bersama, seperti shalat fardhu jamaah, tarawih, zikir, tadarus, berinfak, dan zakat fitrah. Pembiasaan ibadah ini efektif dilakukan untuk mendidik anak agar menjadi hamba yang saleh.

Ketiga, pendidikan akhlak. Aneka akhlak mulia ditanamkan dan dibiasakan saat berpuasa kepada anak, sepeti disiplin, jujur, sabar, berkata santun, empati, tolong menolong, dan menghargai orang lain. Selama puasa anak dituntun menjauhi perilaku buruk, sebab merusak puasa. Sabdanya: “Sesungguhnya menggunjing dan berdusta merusak puasa” (HR at-Tirmidzi).

Keberhasilan mendidik anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh orang tuanya dengan mengedepankan keteladanan dan keikhlasan mendidik anak-anaknya dalam menjalankan ibadah puasa dan amaliah Ramadhan lainnya. Bukankah Nabi SAW juga berhasil mendidik umat karena keteladan akhlaknya? (Qs. Al-Ahzab [33]: 21 dan Qalam [68]: 6).

Selain itu, intensitas hubungan dan komunikasi antara orang tua dan anak juga terbangun dalam keluarga selama puasa. Kebersamaan saat berbuka dan makan sahur semakin memperkuat perhatian dan kasih sayang orang tua dengan menyediakan makanan yang halal lagi bergizi.

Demikian keberkahan Ramadhan dalam memperkuat pendidikan keluarga yang bertakwa, yaitu terpelihara dari dosa dan siksa api neraka.

Wallahu a’lam.

OLEH MUHAMMAD KOSIM

REPUBLIKAid

5 Hikmah Allah SWT Mematikan Manusia di Dunia

Allah SWT menciptakan manusia dan akan mematikannya di dunia

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, termasuk manusia. Kelahiran manusia di dunia semata hanyalah untuk mempersiapkan kematian. Namun, kematian memiliki hikmah yang apabila dipahami akan mendatangkan ketakwaan. 

Setidaknya ada lima hikmah mengapa Allah SWT mematikan manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam situs Mawdoo3

Hikmah yang pertama yaitu mempertegas kekuasaan Allah SWT, khususnya sejak proses penciptaan manusia. Kemudian, menjalani kehidupannya di bumi. Hingga akhirnya, manusia meninggal dunia. Semua itu terjadi hanya karena kekuasaan Allah SWT. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: 

فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ*تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ “Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS Al Waqiah 86-87). 

Hikmah kedua, mengenalkan hakikat manusia melalui kematian. Karena, Allah menciptakan manusia tidak sia-sia, tetapi untuk alasan dan tujuan yang besar.

Hikmah ketiga, Allah SWT mempercayakan manusia sebagai khalifah di bumi. Mereka berhasil hidup berdampingan satu sama lain. Jika manusia tidak melahirkan keturunan, maka manusia sebagai khalifah di muka bumi ini akan sirna.  

Hikmah keempat, Allah mematikan manusia dari dunia ini untuk mengetahui mereka yang mematuhi-Nya dan mereka yang tidak mematuhi-Nya. Dalam Alquran, Allah berfirman: 

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun.” (QS Al Mulk 2) 

Hikmah kelima, merasakan nikmat besar dari Allah SWT. Jika bukan karena kematian, manusia tidak akan bisa hidup di bumi, dan manusia tidak akan mendapat tempat yang baik di dalamnya.

Sumber: mawdoo3

KHAZANAH REPUBLIKA

Ketika Azan Magrib, Buka Puasa atau Shalat Magrib Lebih Dahulu?

Berikut penjelasan hukum terkait Ketika Azan Magrib berkumandang, buka puasa atau shalat Magrib lebih dahulu?

Bulan Ramadhan adalah bulan mulia. Bulan penuh berkah. Ramadhan adalah bulan istimewa. Dalam Ramadhan terkandung rahmat, ampunan, dan pembebasan dari siksaan api neraka. Ini semua bonus dari Allah bagi hamba-Nya yang melaksanakan puasa dengan sempurna.

Nah salah satu satu kegembiraan orang yang berpuasa adalah ketika tiba waktu buka puasa. Tak bisa dipungkiri, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap waktu berbuka puasa adalah sesuatu yang sangat istimewa. Untuk itu, pelbagai usaha dilakukan agar hidangan buka puasa serba istimewa.

Menu makanan untuk berbuka puasa pun dibuat beragam, tak cukup satu macam.  Hidangan santap berbuka pun terdiri dari kolak, sirup, gulai rendang, kurma, ayam bakar, ikan bakar dan goreng, ayam krispi dan menu makanan lainnya. Pemandangan ini sudah lazim kita temui. Pendek kata, menu makanan saat berbuka cenderung lebih istimewa  dibanding hari lain, di luar bulan Ramadhan.

Nah kemudian datang permasalahan, menurut hukum fiqih Islam, ketika datang waktu Magrib atau waktu berbuka puasa, apakah yang terlebih didahulukan  berbuka puasa (santap makanan) atau Salat Magrib?

Menurut Dar Ifta Mesir  bahwa orang yang berpuasa ketika telah datang Magrib atau waktu berbuka, maka lebih utama mendahulukan berbuka puasa, kemudian dilanjutkan shalat Magrib. Begini penjelasan Lembaga Fatwa Mesir;

يستحبُّ أن يكون الفطر قبل صلاة المغرب

Artinya; Disunatkan untuk mendahulukan berbuka puasa, sebelum melaksanakan shalat Magrib.

Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan Abi Daud. Berikut hadis nabi tersebut;

عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قال: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Artinya: Dari Anas bin Malik, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamar, beliau meminum seteguk air.

Dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa Rasulullah terlebih dahulu berbuka puasa, kemudian melanjutkan shalat Magrib. Pasalnya, ketika perintah  mendahulukan berbuka puasa atau makanan yang sudah sudah disajikan, supaya setelah makan bisa fokus mengerjakan salat. Bila shalat Magrib didahulukan maka dikhawatirkan mengurangi khusyuk  shalat.

Lebih lanjut, menurut Dar Ifta Mesir, ada pun hikmah didahulukan berbuka puasa, untuk mengamalkan sunah Nabi, yakni menyegerakan berbuka. Di samping itu, Nabi juga mensunatkan ketika berbuka dengan menggunakan kurma basah atau kurma kering. Bila tak ada, maka bisa dengan air putih.

Hal itu termaktub dalam hadis Nabi Muhammad;

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طَهُورٌ

Artinya; Jika salah seorang dari kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma (tamr), karena hal itu mengandung keberkahan. Jika tidak ada, maka berbukalah dengan air karena air itu mensucikan (HR. Imam Tirmidzi).

Demikian penjelasan terkait ketika azan Magrib, buka puasa atau shalat Magrib lebih dahulu?

BINCANG SYARIAH

Benarkah Rasululah Memerintahkan Umat Muslim Membunuh Orang Kafir Sampai Dia Bersyahadat?

Pertanyaan;

Assalamualaikum Warahmatullah wabarakatuh,

Min Bincang Syariah, saya mau bertanya Benarkah Rasululah Memerintahkan Umat Muslim Membunuh Orang Kafir Sampai Dia Bersyahadat. Pasalnya ada beberapa penceramah yang mendakwahkan demikian. Saya mohon penjelasannya, Min. Terimakasih

Jawaban;

Waalaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh

BincangSyariah.Com— Penanya yang budiman. Berikut jawaban kami terkait pertanyaan pembaca setia Bincang Syariah.

Dalam ajaran Islam membunuh merupakan perbuatan tercela. Menghilangkan nyawa manusia termasuk dosa besar. Pembunuhan dikategorikan sebagai dosa besar setelah syirik, baik yang dibunuh itu seorang muslim maupun non-muslim.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S al Isra’ ayat 33;

Artinya; Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. [al-Isrâ`/17:33].

Selanjutnya, ada juga larangan membunuh manusia  dari baginda Nabi. Demikian itu termaktub dalam hadis riwayata Imam Bukhari dan Muslim. Nabi bersabda;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari baginda Nabi, beliau bersabda: “Jauhilah tujuh dosa yang akan membua binasa”, lantas sahabat  bertanya, “Wahai Rasullah, dosa apakah itu?”

Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (HR Imam Bukhari/2615 dan 6465, dan Imam Muslim/89).

Kemudian persoalan, Nabi menganjurkan membunuh orang kafir sehingga mereka bersyahadat? Penting kita ketahui bersama, Muhammad adalah Nabi yang diutus Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam. Muhammad adalah manusia penuh kasih dan cinta dalam hatinya.

Menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulum ad Din, bahwa karakter yang tercermin dalam diri Nabi adalah Al-Quran. Sejatinya, kehidupan Rasulullah merupakan sikap teladan yang universal bagi manusia di seluruh dunia. Dalam diri Rasullulah menjangkau pelbagai lini kehidupan, baik itu kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Pendek kata, perilaku Nabi menjangkau seluruh bidang aktivitas manusia.

Sebagaimana dalam firman Allah dalam al-Ahzab ayat 21;

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Artinya; Sesungguhnya pada diri Rasulullah (Muhammad) itu terdapat pola keteladanan yang baik bagimu.”

Salah satu tauladan yang ditunjukkan Nabi adalah cinta dan kasih terhadap manusia. Meskipun ia seorang non muslim. Hubungan indah dibangun Nabi dengan komunitas Kristen dan Yahudi di negeri Madinah.

Namun, harus diakui dalam pelbagai firman dan hadis Nabi ada beberapa teks ayat atau hadis yang menyuruh untuk berperang. Pada kesempatan ini, tulisan kita batasi terkait teks hadis yang menyuruh berperang dan membunuh non Muslim.

Berikut hadisnya;

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah. (HR: AL-Bukhari dan Muslim)

Tak bisa dipungkiri, hadis ini sering disalahpahami orang yang membacanya. Kesalapahaman dalam menilik hadis ini datang dari dua kutub. Kutub pertama, diwakili oleh seorang muslim yang radikal, mereka memahami hadis ini sebagai legitimasi untuk memerangi dan membunuh seluruh kafir yang enggan memeluk agama Islam.

Sedangkan kutub kedua diwakili oleh sebagian non-muslim. Mereka  menganggap hadis ini bukti otentik Islam sebagai agama yang mengajarkan terorisme dan  kekerasan. Islam bagi mereka disebarkan melalui perperangan dan pembunuhan.

Tentu saja kedua anggapan di atas sangat tidak benar. Islam bukanlah agama yang disebar dengan kekerasan. Islam tak juga agama perang. Islam itu cinta damai dan kemanusiaan. Untuk itu, terkait hadis di atas penting kita memahami konteks turun hadis ini. Dan penting juga kita memahami apa sejatinya maksud ini.

Menurut Ibn Taimiyah dalam hadis tersebut, kata an-nas bukanlah memerangi seluruh non muslim. Dan bukan pula membunuh seluruh non muslim. Ada pun kata an-nas dalam hadits di atas adalah orang-orang (manusia) yang ingin memerangi umat Islam. Dalam hadis ini manusia yang boleh atau diizinkan diperangi, hanya orang-orang musyrik yang mengangkat senjata dan ingin berperang dengan umat Islam.

Ada pun orang-orang musyrik atau non muslim lain yang mengikat tali damai dengan orang Islam, maka tak boleh diperangi. Ibn Taimiyah memperkuat argumennya dengan firman Allah dalam Q.S Albaqarah ayat 190;

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190).

Dalam Jurnal Ilmu–Ilmu Ushuluddin Vol. 07, No.01, Juli 2019, Muhammad Mundzir membahas hadis di atas dengan judul Reinterpretasi Hadis Perintah “Membunuh Manusia Sampai Mengucap Syahadat” Sebagai Upaya Deradikalisasi Agama, dengan mengutip Ibn Hajar dalam kitab Fathul Bari, ia mengatakan bahwa matan hadis  di atas menggunakan lafazd “hatta yashadu”, merupakan hadis yang sanadnya gharib. Hadis itu dimulai dari periwayatan Waqid dan Syu’bah.

Di samping itu, Ibn Hajar al-‘Asqalaniy juga mengatakan hadis yang sanadnya gharib dari periwayatan Abdul Malik. Dengan demikian, Imam Bukhari dan Muslim memberikan kesimpulan akhir bahwa hadis tersebut matannya shahih, sedangkan dan sanadnya gharib.

Lebih lanjut, Ibn hajar berpendapat hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar di atas, sejatinya merupakan sebuah respon dari perdebatan  antara Umar dan Abu Bakar. Perdebatan itu terjadi ketika melihat orang-orang yang melarang untuk berzakat dan orang-orang yang tidak ingin mengeluarkan zakat, sehingga Umar geram dan ingin membunuhnya.

Akan tetapi, Abu Bakar menambahkan dengan lafadz Illa bi Haqqi Islam, sehingga membunuh bukan jalan satu-satunya tatkala terdapat orang yang melarang zakat, tetapi mengajak mereka untuk masuk Islam.

Pada sisi lain, Muhammad Khudari dalam artikel Bahaya Salah Memahami Hadist ‘Memerangi Orang-orang Musyrik’, menuliskan bila kita telisik redaksi hadits sejenis dengan hadis di atas dari pelbagai jalur riwayat, maka tidak ada yang menggunakan redaksi “umirtu an aqtula”.

Seluruh hadits hadits menggunakan redaksi “umirtu an uqaatila”. Ada pun dalam ilmu gramatika bahasa Arab, dua redaksi hadis anata “an aqtula” dengan “an uqaatila” memiliki perbedaan makna yang signifikan. Jika redaksi “an uqaatila” ini menunjukkan bahwa perbuatan penyerangan itu dilakukan oleh dua pihak.

Tentu ini berbeda dengan “an aqtula”, yang dimaksud dengan redaksi ini adalah penyerangan oleh satu pihak. Apa arti ini? Perintah untuk memerangi orang-orang musyrik atau non Islam dalam hadis di atas, mana kala para kaum musyrik itu terlebih dahulu memerangi umat Islam. Inilah maksud hadist di atas.

Larangan Rasulullah membunuh kaum kafir Mua’had, dzimmi, dan Musta’man

Terdapat dalam pelbagai hadis Nabi, yang menyebutkan bahwa Islam melarang membunuh kaum non muslim dari kalangan Mua’had, dzimmi, dan Musta’man. Rasul dengan tegas melarang memerangi dan membunuh orang non muslim yang tak menyatakan perang dan menyerang Islam.

Sembari itu, Rasul pun mengancam orang yang membunuh orang kafir jenis ini. Pasalnya mereka adalah orang yang dilindungi dan haram untuk disakiti dan perangi. Nabi mengatakan membunuh dan menyerang tiga golongan tersebut, termasuk dosa besar.

Nabi bersabda;

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Artinya; Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun. (HR Imam Bukhari).

Adapun yang dimaksud dengan kafir Mua’ahad adalah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar al Asqallany dalam kitab Fathul Bari, kaum kafir mu’ahad adalah orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin. Perjanjian itu berupa membayar jizyah, perjanjian damai dari pemerintah Islam, atau orang yang memiliki jaminan keamanan dari seorang Muslim.

Di samping itu juga, terdapat hadis Rasullah yang melarang membunuh orang kafir dzimmi. Pelaku yang melanggar, maka itu tergolong dosa besar dan tak akan masuk surga pelakunya.

Rasullah bersabda;

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Artinya: Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sejatinya, bau surga itu bisa tercium dari perjalanan empat puluh tahun (HR Imam An Nasa’i).

Demikian penjelasan terkait benarkah Rasululah memerintahkan umat muslim membunuh orang kafir sampai dia bersyahadat.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Cara Memasuki Pintu Surga Ar-Rayyan?

Bagaimana cara kita memasuki pintu surga Ar-Rayyan?

Apa itu Ar-Rayyan?

Ar-rayyan secara bahasa berarti puas, segar dan tidak haus. Ar-rayyan ini adalah salah satu nama pintu di surga dari delapan pintu yang ada. Ar-rayyan ini disediakan khusus bagi orang yang berpuasa.

Pintu Ar-Rayyan Khusus untuk Orang yang Berpuasa

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Sesungguhnya di surga ada suatu pintu yang disebut ‘ar-rayyan’. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang berpuasa.” Lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya.” (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152).

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyebutkan, “Ar-rayyan dengan menfathahkan huruf ra’ dan mentasydid ya’, mengikuti wazan fi’il (kata kerja) dari kata ‘ar riyy’ yang maksudnya adalah nama salah satu pintu di surga yang hanya dikhususkan untuk orang yang berpuasa. Dari sisi lafazh dan makna ada kaitannya. Karena kata ar-rayyan adalah turunan dari kata ar-riyy yang artinya bersesuaian dengan keadaan orang yang berpuasa. Orang yang berpuasa kelak akan memasuki pintu tersebut dan tidak pernah merasakan kehausan lagi.” (Fath Al-Bari, 4: 131).

Surga itu Ada Delapan Pintu

Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam lafazh hadits lainnya disebutkan bahwa di surga itu ada delapan buah pintu. Salah satu pintu dinamakan Ar-Rayyan. Pintu tersebut tidaklah dimasuki selain orang yang berpuasa. (Lihat Fath Al-Bari, 4: 132)

Hadits yang dimaksud adalah,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « فِى الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ ، فِيهَا بَابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ الصَّائِمُونَ »

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Surga memiliki delapan buah pintu. Di antara pintu tersebut ada yang dinamakan pintu Ar-Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 3257).

Balasan Sesuai dengan Amal Perbuatan

Hadits di atas juga menunjukkan al-jaza’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan sesuai dengan jenis amalan. Dan juga menandakan bahwa siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik sebagaimana disebutkan dalam hadits,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً اتِّقَاءَ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ إِلاَّ أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْراً مِنْهُ

Jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah ‘azza wa jalla, maka Allah akan mengganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5: 78, sanad hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat seperti berhubungan intim, makan dan minum, semuanya ditinggalkan karena Allah Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Allah Ta’ala berfirman,

يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِى

Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151). Karena ia meninggalkan kenikmatan-kenikmatan tersebut karena Allah, maka Allan akan mengganti dengan yang lebih baik. Bahkan amalan puasa ini dikhususkan untuk Allah. Allahlah yang nanti akan membalas amalan puasa tersebut. Dalam hadits qudsi disebutkan,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ ، إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

Setiap amalan manusia adalah untuknya. Kecuali amalan puasa itu untuk Allah dan Dia yang nanti akan membalasnya.” (HR. Bukhari no. 5927 dan Muslim no. 1151).

Pelajaran lain, hadits balasan pintu ar-rayyan di atas mengandung pelajaran tentang keutamaan puasa dan karamah luar biasa bagi orang yang berpuasa. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 8: 31.

Ringkasnya, Pintu surga Ar-Rayyan dikhususkan bagi orang yang berpuasa. Cara memasukinya adalah dengan menunaikan puasa wajib maupun puasa sunnah. Semoga Allah mudahkan untuk memasukinya.

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Kenapa Sampai Disebut Bulan Ramadhan itu “Bulan Al-Qur’an”?

Kenapa sampai disebut bulan Ramadhan itu “bulan Al-Qur’an”?

Bulan Ramadhan disebut bulan Al-Qur’an. Hal ini dapat kita saksikan dari kebiasaan para ulama yang memiliki kebiasaan sangat akrab dengan Al-Qur’an. Ada yang rajin membaca, mengkhatamkan dan bahkan merenungkan isi kandungan di dalamnya. Bahkan ini dicontohkan oleh suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam shahihain, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar memberi. Semangat beliau dalam memberi lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.”  (HR. Bukhari no. 3554 dan Muslim no. 2307)

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin dianjurkan untuk banyak mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan dan berkumpul untuk mempelajarinya. Hafalan Al-Qur’an pun bisa disetorkan pada orang yang lebih hafal darinya. Dalil tersebut juga menunjukkan dianjurkan banyak melakukan tilawah Al-Qur’an di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 302)

Juga disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyetorkan Al-Qur’an pada Jibril di setiap tahunnya sekali dan dua kali di tahun diwafatkannya beliau. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ ، وَكَانَ يَعْتَكِفُ كُلَّ عَامٍ عَشْرًا فَاعْتَكَفَ عِشْرِينَ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ

Jibril itu (saling) belajar Al-Qur’an dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahun sekali (khatam). Ketika di tahun beliau akan meninggal dunia dua kali khatam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pula beri’tikaf setiap tahunnya selama sepuluh hari. Namun di tahun saat beliau akan meninggal dunia, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari no. 4998).

Ibnul Atsir menyatakan dalam Al-Jami’ fii Gharib Al-Hadits (4: 64) bahwa Jibril saling mengajarkan seluruh Al-Qur’an yang telah diturunkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang paling bagus, Al-Qur’an disetorkan pada malam hari karena saat itu telah lepas dari kesibukan. Begitu pula hati dan lisan semangat untuk merenungkannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

Sesungguhnya di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al-Muzammil: 6)

Beberapa dalil lainnya juga menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan khusus untuk Al-Qur’an karena Al-Qur’an turun ketika itu. Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an” (QS. Al-Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Al-Qur’an itu turun sekali sekaligus di Lauhul Mahfuzh di Baitul ‘Izzah pada malam Lailatul Qadar.

Yang mendukung perkataan Ibnu ‘Abbas dalah firman Allah Ta’ala di ayat lainnya,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan” (QS. Al-Qadar: 1).

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad-Dukhon: 3).

Di antara alasan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an yaitu dibuktikan dengan bacaan ayat Al-Qur’an yang begitu banyak dibaca di shalat malam di bulan Ramadhan dibanding bulan lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama sahabat Hudzaifah di malam Ramadhan, lalu beliau membaca surat Al-Baqarah, surat An-Nisa’ dan surat Ali ‘Imran. Jika ada ayat yang berisi ancaman neraka, maka beliau berhenti dan meminta perlindungan pada Allah dari neraka.

Begitu pula ‘Umar bin Khattab pernah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari untuk mengimami shalat tarawih. Dahulu imam shalat tersebut membaca 200 ayat dalam satu raka’at. Sampai-sampai ada jamaah yang berpegang pada tongkat karena saking lama berdirinya. Dan shalat pun selesai dikerjakan menjelang fajar. Di masa tabi’in yang terjadi, surat Al-Baqarah dibaca tuntas dalam 8 raka’at. Jika dibaca dalam 12 raka’at, maka berarti shalatnya tersebut semakin diperingan. Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 303.

Hal-hal di atas yang menunjukkan kekhususan bulan Ramadhan dengan Al-Qur’an.

Contoh dari Para Ulama yang Mengkhatamkan Al-Qur’an dalam Waktu yang Singkat

Contoh pertama dari seorang ulama yang bernama Al-Aswad bin Yazid rahimahullah –seorang ulama besar tabi’in yang meninggal dunia tahun 74 atau 75 Hijriyah di Kufah- bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam. Dari Ibrahim An-Nakha’i, ia berkata,

كَانَ الأَسْوَدُ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي رَمَضَانَ فِي كُلِّ لَيْلَتَيْنِ

“Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam.” (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51). Subhanallah … Yang ada, kita hanya jadi orang yang lalai dari Al-Qur’an di bulan Ramadhan.

Disebutkan dalam kitab yang sama, di luar bulan Ramadhan, Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an dalam enam malam. Dan patut diketahui bahwa ternyata waktu istirahat beliau untuk tidur hanya antara Maghrib dan Isya. (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51)

Contoh kedua dari seorang ulama di kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Da’amah rahimahullah yang meninggal dunia tahun 60 atau 61 Hijriyah. Beliau adalah salah seorang murid dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Beliau ini disanjung oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai ulama pakar tafsir dan paham akan perselisihan ulama dalam masalah tafsir. Sampai-sampai Sufyan Ats-Tsaury mengatakan bahwa tidak ada di muka bumi ini yang semisal Qatadah. Salam bin Abu Muthi’ pernah mengatakan tentang semangat Qatadah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an,

كَانَ قَتَادَة يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي سَبْعٍ، وَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ خَتَمَ فِي كُلِّ ثَلاَثٍ، فَإِذَا جَاءَ العَشْرُ خَتَمَ كُلَّ لَيْلَةٍ

“Qatadah biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Bahkan ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap malam.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 5: 276)

Contoh ketiga adalah dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah yang kita kenal dengan Imam Syafi’I, salah satu ulama madzhab terkemuka. Disebutkan oleh muridnya, Ar-Rabi’ bin Sulaiman,

كَانَ الشَّافِعِيُّ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سِتِّيْنَ خَتْمَةً

“Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.” Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat. (Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 36). Bayangkan, Imam Syafi’i berarti mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari sebanyak dua kali. Subhanallah …

Contoh terakhir adalah dari Ibnu ‘Asakir yang merupakan ulama pakar hadits dari negeri Syam, yang terkenal dengan karyanya Tarikh Dimasyq. Anaknya yang bernama Al-Qasim mengatakan mengenai bapaknya,

وَكَانَ مُوَاظِبًا عَلَى صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَتِلاَوَةِ القُرْآنِ، يَخْتِمُ كُلَّ جُمُعَةٍ، وَيَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ كُلَّ يَوْمٍ، وَيَعْتَكِفُ فِي المنَارَةِ الشَّرْقِيَّةِ، وَكَانَ كَثِيْرَ النَّوَافِلِ وَالاَذْكَارِ

“Ibnu ‘Asakir adalah orang yang biasa merutinkan shalat jamaah dan tilawah Al-Qur’an. Beliau biasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap pekannya. Lebih luar biasanya di bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari. Beliau biasa beri’tikaf di Al-Manarah Asy-Syaqiyyah. Beliau adalah orang yang sangat gemar melakukan amalan sunnah dan rajin berdzikir.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 20: 562)

Semoga kita dimudahkan untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan Al-Qur’an dan rajin mentadabburi (merenungkannya).

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

5 Tips Berpuasa bagi Pengidap Diabetes

Mengidap penyakit diabetes bukan berarti kamu tidak bisa menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Meski seseorang yang mengidap penyakit kronis tidak diwajibkan untuk berpuasa, bukan berarti pengidap diabetes benar-benar dilarang untuk berpuasa.

Menurut dokter, berpuasa di bulan Ramadhan justru bisa menjadi langkah baik untuk para pengidap diabetes. Akan tetapi dengan sejumlah syarat dan kondisi tertentu.

“Kalau mereka yang gula darahnya sudah terkontrol saat berpuasa kecenderungannya gula darahnya semakin terkontrol lagi. Kalau tidak (dikontrol dulu), ada kondisi gula darah malah drop atau timbul ketosis,” jelas dokter spesialis penyakit dalam dr Ceva Wicaksono Pitoyo, SpPD, K-P, FINASIM, KIC dalam webinar oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Jumat (9/4/2021).

Jika kondisi tersebut telah terpenuhi, terdapat sejumlah tips yang bisa dilakukan oleh para pengidap diabetes saat sebelum berpuasa seperti dikutip dari laman Virta Health, yaitu:

Konsultasi dengan dokter

Sebelum memutuskan untuk berpuasa, pengidap diabetes disarankan untuk mengabarkan dan berkonsultasi dengan dokter yang bersangkutan terlebih dahulu. Sebab, puasa akan mempengaruhi tekanan darah dan gula darah. Apabila kamu sedang dalam pengobatan untuk diabetes atau tekanan darah tinggi, maka dokter mungkin harus menyesuaikan obat-obatan yang diberikannya.

Minum air putih yang cukup

Saat sudah diberikan izin oleh dokter untuk berpuasa, pengidap diabetes harus terus ingat untuk mengonsumsi cukup cairan saat sahur dan berbuka. Saat udara di siang hari panas selama berpuasa, kamu disarankan untuk tetap berada di dalam ruangan dan menghindari aktivitas fisik untuk meminimalisir hilangnya cairan dalam tubuh.

Cek gula darah

Hal paling berbahaya yang bisa terjadi pada pengidap diabetes adalah rendahnya gula darah, tingginya gula darah, dan dehidrasi. Oleh sebab itu, penting bagi para pengidap diabetes yang berpuasa untuk menyadari tanda-tanda gula darah tidak normal, seperti pandangan menjadi buram, detak jantung yang tidak stabil, dan pusing.

Hindari makanan manis dan berkarbohidrat tinggi

Saat sahur dan berbuka, para pengidap diabetes disarankan untuk menghindari makanan manis dan mengandung karbohidrat tinggi. Sebagai gantinya, kamu bisa mengonsumsi makanan tinggi lemak dan rendah karbohidrat. Makanan tinggi lemak akan membantu tubuh merasa kenyang lebih lama dan tidak akan meningkatkan gula darah. Namun, hal ini juga perlu dikonsultasikan oleh dokter yang bersangkutan.

Hindari makan berlebihan

Berbuka memang kerap dijadikan sesi balas dendam setelah seharian berpuasa dengan mengonsumsi banyak makanan dan minuman yang bervariasi. Sehingga, banyak orang yang justru cenderung makan berlebihan. Bagi para pengidap diabetes, hal ini harus dihindari untuk mencegah meningkatnya gula darah.

Simak Video “Amankah Penderita Diabetes Buka Puasa dengan Kurma?”
https://20.detik.com/embed/210412037?smartautoplay=true&unmute=true
(fds/fds)

DETIK

Fikih Ringkas Shalat Tarawih

Definisi Shalat Tarawih

Tarawih adalah bentuk jamak dari tarwihah, secara bahasa artinya istirahat sekali. Dinamakan demikian karena biasanya dahulu para sahabat ketika shalat tarawih mereka memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya. Maka ketika sudah mengerjakan empat rakaat, mereka istirahat, kemudian mengerjakan empat rakaat lagi, kemudian istirahat, kemudian mengerjakan tiga rakaat (lihat Lisanul Arab, 2/462, Mishbahul Munir, 1/244, Syarhul Mumthi, 4/10).

Secara istilah tarawih artinya qiyam Ramadhan, atau shalat di malam hari Ramadhan (lihat Al Mughni, 1/455, Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 6/39).

Keutamaan Shalat Tarawih

  1. Shalat tarawih merupakan sebab mendapatkan ampunan dosa-dosa yang telah lalu

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

  1. Orang yang tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk

Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, ia berkata:

قلت: يا رسولَ اللهِ، لو نَفَّلْتَنا قيامَ هذه اللَّيلةِ؟ فقال: إنَّ الرَّجُلَ إذا صلَّى مع الإمامِ حتى ينصرفَ، حُسِبَ له قيامُ ليلةٍ

Aku pernah berkata: wahai Rasulullah, andaikan engkau menambah shalat sunnah bersama kami malam ini! Maka Nabi bersabda: “sesungguhnya seseorang yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. Tirmidzi no. 806, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Orang yang rutin mengerjakan shalat tarawih, jika wafat maka dicatat sebagai shiddiqin dan syuhada

Dari Amr bin Murrah Al Juhani radhiallahu’anhu, ia berkata:

جاءَ رجلٌ من قُضاعةَ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال: إنِّي شهدتُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ، وأنَّكَ رسولُ اللهِ، وصليتُ الصلواتِ الخمسَ، وصُمتُ رَمضانَ وقُمتُه، وآتيتُ الزكاةَ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: مَن ماتَ على هذا كانَ من الصِّدِّيقينَ والشُّهداءِ

Datang seseorang dari gurun kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: aku bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah utusan Allah. Aku shalat 5 waktu, aku puasa Ramadhan dan mengerjakan qiyam Ramadhan, dan aku membayar zakat. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “orang yang mati di atas ini semua, maka ia termasuk shiddiqin dan syuhada” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin no.2939, dishahihkan Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan, 18).

Hukum Shalat Tarawih

Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkadah. Diantara dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Kedua: Dalil ijma

Al Imam An Nawawi mengatakan:

فصلاة التراويحِ سُنَّة بإجماع العلماء

“Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma ulama” (Al Majmu, 4/37).

Ash Shan’ani mengatakan:

قيام رمضان سُنَّة بلا خلاف

Qiyam Ramadhan hukumnya sunnah tanpa ada khilaf” (Subulus Salam, 2/11).

Shalat Tarawih Di Masjid Jama’ah

Shalat tarawih lebih utama dikerjakan secara berjamaah dari pada sendirian. Dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Sisi pendalilan:

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat tarawih secara berjama’ah di masjid. Namun yang menahan beliau untuk merutinkannya adalah beliau khawatir shalat tarawih diwajibkan kepada umat beliau. Maka ini menunjukkan bahwa melaksanakannya di masjid lebih utama.

Kedua: Dalil ijma

Ath Thahawi mengatakan:

قد أَجمعُوا أنه لا يجوزُ للنَّاس تعطيلُ المساجِد عن قيام رمضانَ وكانَ هذا   القيام واجِبًا على الكِفايَة، فمَن فعَلَه كانَ أفضلَ مِمَّن انفرد به

“Para ulama ijma bahwa tidak boleh orang-orang meninggalkan masjid-masjid untuk mengerjakan qiyam Ramadhan. Dan qiyam Ramadhan ini fardhu kifayah, barangsiapa mengerjakannya berjamaah maka itu lebih utama dari pada sendirian” (Mukhtashar Ikhtilaf Ulama, 1/315).

Ibnu Qudamah mengatakan:

وقال ابنُ   قُدامةَ: (الجماعةُ في التراويح أفضلُ، وإنْ كان رجلٌ يُقتدَى به، فصلَّاها في   بيته، خِفتُ أن يَقتديَ الناس به، وقد جاء عن النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((اقتدوا   بالخُلفاء))، وقد جاء عن عُمرَ أنه كان يُصلِّي في الجماعة… ولنا: إجماعُ الصَّحابة على ذلك

“Berjamaah dalam mengerjakan shalat tarawih itu lebih utama. Andai ada seorang yang meniru Rasulullah dengan shalat di rumah, aku khawatir orang-orang lain akan mengikutinya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘ikutilah para khulafa (ar rasyidin)’. Dan terdapat riwayat bahwa Umar bin Khathab mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah. Dan kami menegaskan bahwa para sahabat ijma akan hal ini” (Al Mughni, 2/124).

Ketiga: Dalil atsar sahabat

Dari Abdurrahman bin Abdil Qari, ia berkata:

خرجتُ مع عُمرَ بنِ الخطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْه ليلةً في رمضانَ إلى المسجدِ، فإذا الناسُ أوزاعٌ متفرِّقون يُصلِّي الرجلُ لنَفسِه، ويُصلِّي الرجلُ فيُصلِّي بصلاتِه الرهطُ، فقال عُمرُ رَضِيَ اللهُ عَنْه: إني أَرَى لو جمعتُ هؤلاءِ على قارئٍ واحدٍ، لكان أمثلَ، ثم عَزَمَ فجمَعَهم إلى أُبيِّ بنِ كعبٍ

Aku keluar bersama Umar radhiallahu’anhu pada suatu malam bulan Ramadan ke masjid. Ketika itu orang-orang di masjid shalat berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada juga yang membuat jamaah bersama beberapa orang. Umar berkata: ‘Menurutku jika aku satukan mereka ini untuk shalat bermakmum di belakang satu orang qari’ itu akan lebih baik’. Maka Umar pun bertekad untuk mewujudkannya, dan ia pun menyatukan orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab” (HR. Bukhari no. 2010).

Waktu Pelaksanaan Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan setelah shalat isya, dan yang utama adalah setelah waktu isya yang terakhir. Ibnu Taimiyah mengatakan:

فما كان الأئمَّة يُصلُّونها إلَّا بعد العِشاء على عهد النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، وعهدِ خلفائه الراشدين، وعلى ذلك أئمَّةُ المسلمين، لا   يُعرف عن أحدٍ أنه تعمَّد صلاتَها قبل العِشاء، فإنَّ هذه تُسمَّى قيام رمضان

“Para imam tidak melaksanakan shalat tarawih kecuali setelah shalat Isya sebagaimana di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan di masa para Khulafa Ar Rasyidin, dan juga di masa para imam kaum Muslimin. Tidak diketahui ada yang bersengaja melaksanakannya sebelum shalat Isya. Dan oleh karena itukah shalat ini disebut qiyam Ramadhan” (Majmu Al Fatawa, 23/120).

Beliau juga mengatakan:

السُّنة في التراويح أنْ تُصلَّى بعد العِشاء الآخِرةِ، كما اتَّفق على ذلك السَّلَف والأئمَّة

”Yang sunnah dalam melaksanakan melaksanakan shalat tarawih adalah setelah waktu isya yang terakhir. Sebagaimana ini telah disepakati oleh para salaf dan imam kaum Muslimin” (Majmu Al Fatawa, 23/119).

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Shalat tarawih dan shalat malam secara umum tidak memiliki batasan tertentu. Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata:

أنَّ رجلًا سألَ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن صلاةِ اللَّيل، فقال رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: صلاةُ الليلِ مَثْنَى مثنَى، فإذا خشِيَ أحدُكم الصبحَ صلَّى ركعةً واحدةً، تُوتِر له ما قدْ صلَّى

Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai shalat malam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

ما كان يَزيدُ في رمضانَ، ولا في غيرِه على إحْدى عَشرةَ ركعةً ؛ يُصلِّي أربعَ رَكَعاتٍ فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنَّ، ثم يُصلِّي أربعًا، فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنِّ ، ثم يُصلِّي ثلاثًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 rakaat” (HR. Bukhari no. 2013, Muslim no. 837).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata:

كان صلاةُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ثلاثَ عَشرةَ ركعةً. يعني: باللَّيل

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat 13 rakaat di malam hari” (HR. Bukhari no. 1138, Muslim no. 764).

Sisi pendalilan:

Dari hadits-hadits ini diketahui bahwa  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi jumlah rakaat shalat yang dikerjakan setelah Isya.

Kedua: Dalil ijma’

Ibnu Abdil Barr mengatakan:

وقد أجمَع العلماءُ على أنْ لا حدَّ ولا شيءَ مُقدَّرًا في صلاة الليل،   وأنَّها نافلة؛ فمَن شاء أطال فيها القيام وقلَّت ركعاته، ومَن شاء أكثر الركوع والسجود

“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan rakaat tertentu dalam shalat malam. Dan bahwasanya hukumnya adalah sunnah. Barangsiapa yang ingin memanjangkan berdirinya dan menyedikitkan rakaatnya, silakan. Barangsiapa yang ingin memperbanyak rukuk dan sujud, silakan” (Al Istidzkar, 2/102).

Beliau juga mengatakan:

أكثرُ الآثار على أنَّ صلاته كانت إحدى عشرةَ ركعةً، وقد رُوي ثلاث عشرة ركعة، واحتجَّ العلماء على أنَّ صلاة الليل ليس فيها حدٌّ محدود، والصلاة خيرُ موضوع، فمَن شاء استقلَّ ومَن شاء استكثر

“Kebanyakan shalat malam Nabi itu 11 rakaat. Namun terdapat riwayat bahwasanya beliau pernah shalat 13 rakaat. Oleh karena itu para ulama berdalil dari sini bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya. Dan shalat adalah perkara yang paling baik. Siapa yang ingin mempersedikitnya silakan, yang ingin memperbanyaknya juga silakan” (Al Istidzkar, 2/98).

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:

ولا خلافَ أنه ليس فى ذلك حدٌّ لا يُزاد عليه ولا يُنقص منه، وأنَّ صلاة الليل من   الفضائل والرغائب، التي كلَّما زِيد فيها زِيد فى الأجر والفضل، وإنما الخلافُ في فِعل النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما اختاره لنفْسه

“Tidak ada khilaf bahwa shalat malam itu tidak ada batasannya yang paten sehingga tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Shalat malam adalah keutamaan dan hal yang sangat dianjurkan, yang semakin banyak dikerjakan maka semakin banyak pahalanya. Yang diperselisihkan adalah mana jumlah rakaat yang sering dilakukan Nabi dan yang menjadi pilihan (kesukaan) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk dirinya” (Ikmalul Mu’lim, 3/82).

Al ‘Iraqi mengatakan:

قد اتفق العلماء على أنه ليس له حدٌّ محصور

“Ulama sepakat bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya” (Tharhu At Tatsrib, 3/43).

Tata Cara Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan dua rakaat – dua rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dari Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, juga pendapat Abu Yusuf dari Hanafiyah. Dalilnya:

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صلاةُ الليلِ مَثنَى مَثنى، فإذا رأيتَ أنَّ الصبحَ يُدركُك فأَوتِر بواحدةٍ .قال: فقيل لابن عُمر: ما مَثنَى مَثنَى؟ قال تُسلِّم في كلِّ ركعتينِ

Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika engkau melihat bahwa subuh akan datang, maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil”. Ibnu Umar ditanya: “apa maksudnya dua rakaat-dua rakaat?”. Ibnu Umar berkata: “maksudnya, setiap dua rakaat, salam” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي فيما بين أن يَفرغَ من صلاةِ العِشاءِ – وهي التي يدعو الناسُ العتمةَ – إلى الفجرِ إحْدى عشرةَ ركعةً، يُسلِّمُ بين كلِّ ركعتينِ، ويُوتِرُ بواحدةٍ

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam antara setelah selesai shalat Isya, yaitu di waktu yang disebut orang sebagai atamah, sampai terbit fajar, beliau shalat 11 rakaat. Dengan salam di setiap dua rakaat kemudian, shalat witir satu rakaat” (HR. Muslim no. 736).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

والأفضل أن يُسلِّم من كل اثنتين ويوتر بواحدةٍ كما تقدَّم في حديث ابنِ عمر:   «صلاةُ الليل مَثْنى مثنى، فإذا خشِي أحدُكم الصبحَ صلَّى واحدةً تُوتِر له ما قد   صلَّى

“Shalat malam yang paling utama adalah salam di tiap dua rakaat, dan satu rakaat witir. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11/324).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

وصلاة الليل تَشمل التطوُّعَ كلَّه والوترَ، فيصلي مَثْنَى مثنى، فإذا خشِي الصبح   صلَّى واحدة فأوتَرتْ ما صلى

“Shalat malam mencakup semua shalat sunnah di malam hari, caranya dengan dua rakaat-dua rakaat, jika khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaatnya ganjil” (Majmu Fatawa war Rasail, 20/412).

Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Tidak ada batasan tertentu mengenai bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Namun disunnahkan untuk membaca Al Qur’an 30 juz. Al Kasani mengatakan:

السُّنة أن يختمَ القرآن مرةً في التراويح، وذلك فيما قاله أبو حنيفة، وما أمر به عمرُ، فهو من باب الفضيلة، وهو أن يختمَ القرآن مرَّتين أو ثلاثًا، وهذا في زمانهم، وأمَّا في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمامُ على حسب حال القوم من الرغبة والكسل، فيقرأ قدْرَ ما لا يوجب تنفيرَ القوم عن الجماعة؛ لأنَّ تكثير الجماعة   أفضلُ من تطويل القراءة

“Disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Qur’an sekali dalam shalat tarawih. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. Dan Umar bin Khathab pun memerintahkannya. Ini merupakan keutamaan, dan beliau mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak dua atau tiga kali (dalam shalat tarawih) di zaman beliau. Adapun di zaman kita, yang utama imam membaca yang sesuai dengan keadaan kaumnya. Terkadang ada kaum yang semangat dan terkadang ada kaum yang pemalas. Maka hendaknya imam membaca bacaan yang tidak membuat orang meninggalkan jama’ah. Karena memperbanyak jumlah orang dalam jama’ah leih utama dari pada memperlama bacaan dalam shalat jama’ah” (Bada’i Ash Shana’i, 1/289).

Ad Dardir mengatakan:

“و” نُدِب للإمام “الخَتْم” لجميع القرآن   “فيها”، أي: في التراويح في الشهر كلِّه ليُسمِعَهم جميعه

“Dianjurkan bagi imam untuk mengkhatamkan seluruh Al Qur’an di bulan Ramadhan, yaitu di dalam shalat tarawih, agar jamaah mendengar semua bagian dari Al Qur’an” (Asy Syarhul Kabir, 1/315).

Men-jahr-kan Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Disunnahkan men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Ulama ijma akan hal ini. An Nawawi mengatakan:

أجمع المسلمون على استحباب الجَهر بالقِراءة في… صلاة   التراويح، والوتر

“Ulama Islam sepakat disunnahkannya men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih dan witir” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 1/130).

Demikian fikih ringkas shalat tarawih, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.Or.Id

Diringkas dari Mausu’ah Fiqhiyyah Duraris Saniyah, bimbingan Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Saqqaf

Apakah Muntah Menyebabkan Batalnya Puasa?

Muntah yang di luar dari kesengajaan, tidaklah membatalkan puasa

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang muntah ketika berpuasa. Bisa karena kondisi kesehatannya yang terganggu, karena hamil, ataupun mabuk perjalanan. Sedangkan arti puasa sendiri adalah menahan dari hal-hal yang menyebabkan batalnya puasa. Seperti tidak makan dan minum, tidak memasukkan sesuatu dengan sengaja ke tubuh manusia.

Lalu, dalam kondisi puasa tersebut, apakah muntah juga termasuk yang membatalkan puasa?

Dikutip dari buku Pembatal Puasa Ramadhan dan Konsekuensinya karya Isnan Ansory menyebutkan, ulama sepakat bahwa muntah yang di luar dari kesengajaan, tidaklah membatalkan puasa. Apakah karena sebab sakit, mual, pusing atau karena naik kendaraan lalu mabuk dan muntah.

Hanya saja ulama berbeda pendapat, apabila muntah dilakukan karena terdapat unsur kesengajaan. Seperti, jika seseorang yang tengah berpuasa lalu memasukkan jarinya ke dalam tenggorokan, sehingga mengakibatkan dirinya muntah.

Apakah hal tersebut membatalkan puasanya atau tidak, menurut mayoritas ulama, puasa seseorang itu batal. Ulama empat mazhab sepakat, bahwa muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa.

Bahkan imam Ibnu al-Munzir menilai bahwa perkara ini telah pada tahap ijma’. Sebagaimana, umumnya mereka juga berpendapat bahwa, kewajiban yang dilakukan hanyalah dengan mengqadha’ puasanya.

Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang dikalahkan oleh muntahnya (keluar tanpa kehendaknya), tidak wajib mengqadha’ (puasanya tetap sah), tetapi siapapun muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha (puasanya batal).” (HR. Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim)

Mazhab Kedua mengatakan, puasa seseorang tidak batal. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian ulama sahabat, tabi’in, dan ulama lainnya seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ikrimah, Rabi’ah dan al-Hadi, bahwa mereka berpendapat muntah yang disengaja tidaklah membatalkan puasa.

Dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang tidak membuat batal orang yang berpuasa: berbekam, muntah dan mimpi (hingga keluar mani).” (HR. Tirmizi dan Baihaqi)

Hanya saja, menurut jumhur ulama, hadits tersebut dinilai dhaif, selain itu, juga masih bermakna umum. Di mana hadits ini tidak menyebutkan secara spesifik apakah muntah yang dimaksud adalah muntah dengan sengaja atau tidak. Dan karenanya, dinilai lemah untuk menjadi hadits yang dipertentangkan dengan hadits riwayat Abu Hurairah.

KHAZANAH REPUBLIKA