Orangtua Meminjam Uang pada Anak, Apakah Wajib Dibayar?

Dalam kondisi tertentu, terkadang ada orangtua meminjam uang pada anak. Biasanya hal ini dilakukan oleh orangtua karena dia sangat butuh. Dalam kondisi normal, jarang orangtua yang mau berhutang pada anaknya, malah sebaliknya tetap ingin memberi pada anaknya meskipun anaknya sudah cukup. Jika orangtua meminjam uang pada anak, hutang tersebut wajib dia bayar?

Menurut para ulama, jika orangtua memiliki hutang pada anaknya, baik berupa uang atau barang lainnya, maka ia tetap wajib untuk membayar hutang tersebut pada anaknya. Meskipun berhutang pada anaknya sendiri, namun jika disebut hutang, maka orangtua tetap wajib membayarnya, sebagaimana dia wajib membayar hutang pada orang lain.

Selain itu, menurut ulama selain ulama Hanabilah, anak juga dibolehkan untuk menagih hutang pada orangtuanya. Jika misalnya orangtua terlambat membayar hutang pada anaknya sesuai waktu yang telah disepakati, maka tidak masalah bagi anak untuk  untuk menagihnya sebagaimana ia menagih hutang pada orang lain.

Sementara menurut ulama Hanabilah, anak tidak boleh menagih hutang pada orangtua. Karena itu, jika misalnya orangtua terlambat membayar hutang pada anaknya sesuai waktu yang telah disepakati, maka anak tidak boleh menagih hutang padanya. Hal ini karena dalam Islam, anak dan harta miliknya merupakan milik orangtua.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

وَلَوِ اسْتَقْرَضَ الأْبُ مِنْ وَلَدِهِ فَإِنَّ لِلْوَلَدِ مُطَالَبَتَهُ، عِنْدَ غَيْرِ الْحَنَابِلَةِ، لأِنَّهُ دَيْنٌ ثَابِتٌ فَجَازَتِ الْمُطَالَبَةُ بِهِ كَغَيْرِهِ، وَقَال الْحَنَابِلَةُ: لاَ يُطَالَبُ، لِحَدِيثِ: أَنْتَ وَمَالُكَ لأِبِيكَ

Jika seorang bapak berhutang pada anaknya, maka boleh bagi anak untuk menagih hutang pada bapaknya. Hal ini karena hutang tersebut merupakan hutang yang tetap menjadi tanggungan bapak, maka boleh bagi anaknya untuk menagih hutang tersebut sebagaimana ia menagih hutang pada orang lain. Sementara menurut ulama Hanabilah, orangtua tidak boleh ditagih hutang oleh anaknya. Ini berdasarkan hadis; Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu.

Dengan demikian, melalui penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa orangtua tetap wajib membayar hutang pada anaknya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan anak menagih hutang pada orangtuanya. Menurut ulama Hanabilah tidak boleh, sementara menurut ulama lainnya boleh.

BINCANG SYARIAH

Nasihat Nabi untuk Orang yang Tertimpa Sakit

Semua manusia pasti pernah mengalami sakit secara fisik. Dan, agama biasanya mengarahkan kita untuk senantiasa bersabar dan berdoa agar diberikan kesembuhan. Karena, pada hakikatnya, penyakit ini adalah cara Allah meningkatkan kualitas hamba. Bahkan, Nabi Saw. sendiri mengkonfirmasi bahwa ujian dan cobaan seperti sakit, juga menjadi diantara sarana Allah Saw. meningkatkan kualitas para Nabi-Nya. Ini disebutkan dalam sebuah hadis yang dikutip oleh al-Qadhi ‘Iyadh dalam karyanya as-Syifa’, hadis ini diriwayatkan diantara oleh Ibn Majah, al-Hakim, dan at-Tirmidzi,

عن مصعب بن سعد، عن أبيه؛ قال: قلت : يا رسول الله ! أي الناس أشدّ بلاء ؟ قال : “الأنبياء ، ثم الأمثل ، فالأمثل ، يبتلى الرّجل على حسب دينه ، فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشي على الأرض وما عليه خطيئة

Dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya beliau berkata: “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berat bala’ ujiannya? Rasulullah Saw. menjawab: “Para Nabi, lalu yang setara dengannya, lalu yang setara lagi. Seseorang diuji berdasarkan agamanya. Maka ujian senantiasa bersama para hamba, sampai Allah sudah meninggalkannya (tidak mengujinya lagi) dan ia berjalan di muka bumi tanpa menanggung dosa apapun.

Faidah dari hadis ini adalah, siapa saja di dunia ini bisa ditimpa ujian kehidupan (bala’), diantaranya adalah sakit. Dan diantara manusia yang ujian kehidupannya paling berat adalah para Nabi Saw. Dalam riwayat at-Tirmidzi yang lain, disebutkan bahwa ketika Tuhan mencintai hambanya, Allah mengujinya karena Allah ingin mendengar rintihan doanya (H.R. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Bagaimana dengan Sakit Nabi Saw. ?

Masih menurut al-Qadhi ‘Iyadh, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anha dan beberapa sahabat yang lain punya riwayat soal bagaimana kondisi sakit Nabi Saw. ketika menjelang beliau wafat. Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan seperti diriwayatkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim,

رأيت النبي صلى الله عليه وسلّم في مرضه، يوعك وعكًا شديدًا، فقلت: “إنك لتوعك وعكًا شديدًا ! قال: “أجل، إنّي أوعك كما يوعك رجلان منكم”. قلت: ذلك أن لك الأجر مرّتين ؟ قال: “أجل، ذلك كذلك”

Aku melihat Nabi Saw. dalam keadaan sakit, sakitnya begitu parah. Lalu aku berkata: “sesungguhnya engkau sedang sakit parah sekali !” Nabi Saw. bersabda: “betul, aku sesungguhnya sedang sakit dan tingkatnya seperti dua orang yang sedang sakit diantara kalian (dijadikan satu bebannya kepadaku).” Aku berkata: “Itu bermakna bahwa engkau akan mendapatkan balasan dua kali lipat?” Nabi Saw. bersabda: “benar, seperti itu.”

Besarnya keutamaan sakit ini, bahkan diucapkan Nabi Saw. dalam redaksi yang berbeda-beda. Seluruhnya justru bernada positif dengan mengatakan bahwa semakin berat bala’ seperti sakit yang Allah berikan, jika seorang hamba ridha dengan takdir tersebut, Allah pun meridhainya.

Karenanya, menurut al-Qadhi ‘Iyadh, hikmah atau hakikat makna dari sakit yang berat bahkan sebagian silih berganti menimpa para Nabi Saw., tujuannya adalah kekuatan di dalam diri menjadi lemah, sehingga malaikat mudah dan ringan mencabut nyawanya. Dan, beratnya sakaratul maut itu sudah didahului atau diselesaikan lewat sakit terlebih dahulu sehingga badan dan jiwa menjadi lemah.

BINCANG SYARIAH

Ini Cara Membayar Hutang pada Orang yang Sulit Dijumpai Keberadaannya

Hari ini, siapa sih orang yang bebas hutang? Sekecil apapun. Bisa hutang materi maupun non materi. Seringkali karena kebutuhan yang sangat mendesak, kita sebagai makhluk sosial juga sering merepotkan orang lain dengan berhutang. Tentu dengan niat mengembalikannya.

Kata hutang jika ditinjau dalam istilah fiqih sering disebut sebagai akad irfaq. Akad irfaq sendiri dimaknai sebagai bentuk transaksi yang didasari rasa belas kasih. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, karena biasanya orang yang hendak berutang, ia tidak akan berutang pada orang lain kecuali dalam keadaan membutuhkan terhadap uang, lalu orang lain mau memberi utang kepadanya dilandasi oleh rasa kasihan kepada dirinya dengan niat membantu.

Setelah berhutang, kewajiban orang yang berhutang (Muqtarid) adalah mengembalikan/membayarnya. Karena, hutang merupakan tanggungjawab seseorang kepada sesama manusia (haqqul adami) sampai kapanpun kecuali telah membayarnya. Jika memang belum mampu dan tidak ada kemungkinan untuk membayar hutang tersebut maka terpaksa meminta kerelaannya.

Yang perlu kita ketahui dalam berhutang adalah dalam berhutang, wajib hukumnya bagi kita untuk melunasi hutang tersebut. Seseorang yang berhutang harus senantiasa bersungguh-sungguh untuk berusaha membayarnya. Bukan malah menunda-nunda sampai orang yang dihutangi lupa atau bahkan mengharap kerelaannya.

Tak jarang kita jumpai, ketika seseorang meninggal dunia, para pelayat ditanyai, “apakah jenazah masih memiliki tanggungan atau haqqul adami yang belum tertunaikan?” Mengapa ini penting ditanyakan ketika hendak dimakamkan? Sebab, hutang merupakan tanggungjawab antar sesama manusia.

Hutang tidak akan gugur hanya karena sebab ia telah meninggal dunia. Jika yang bersangkutan memang sudah meninggal dunia, maka ahli warisnya yang harus menanggungnya. Namun, jika memang benar-benar tidak sanggup maka diperbolehkan untuk meminta kerelaannya.

Meminta kehalalan (istihlal) kepada orang yang memberi utang berperan penting dalam gugurnya kewajiban membayar utang ketika ia tidak mampu membayar.

Sehingga selama seseorang masih dapat menemukan keberadaan orang yang memberi utang, namun ia tidak mampu membayar, maka ia tidak dianjurkan melakukan sedekah terlebih dahulu, tapi ia harus menemui orang tersebut dan meminta kehalalan atau kerelaan atas utang yang tidak dapat dilunasinya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara melunasi hutang jika yang menghutangi susah dicari keberadaannya?

Menurut Hujjatul Islam Al-Ghazali, mencari keberadaannya memang merupakan sebuah kewajiban bagi seseorang yang berutang agar dapat membayar hutang yang menjadi tanggungannya. Adapun bagi orang yang memberi hutang juga memiliki kewajiban untuk mengingatkannya.

Sekarang ini justru sebaliknya, orang yang berhutang seolah-olah justru menghindari orang yang memberikan ia hutang. Bisa jadi karena malu, bisa juga karena belum dapat mengembalikan, atau memang sengaja tidak ingin mengembalikan hutang tersebut.

Tidak jarang juga ketika orang yang berhutang (muqtarid) diingatkan akan hutangnya, ia malah justru emosi, dianggap tidak mempercayai, atau tidak mampu mengembalikan. Padahal justru niatnya hanya mengingatkan bahwa ia masih memiliki hutang yang menjadi haqqul adami (hak tanggungjawab sesama manusia).

Syekh Sulaiman al-Jamal kitabnya Hasyiyatul Jamal ala Syarh al-Minhaj, menjelaskan perkara hutang ini sebagai berikut,

 ثم رأيت في منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التي بين العباد إما في المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجزعن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه في أني رضيه عنه يوم القيامة. اهــ “

Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidin karya al-Ghazali dijelaskan bahwa dosa yang terjadi antar-sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila memungkinkan. Jika ia tidak mampu membayar karena fakir maka ia harus meminta kehalalan (kerelaan akan utangnya) darinya. Bila tidak mampu meminta kehalalan karena pemilik harta tidak diketahui keberadaannya atau karena telah meninggal dunia tapi masih mampu untuk bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya. Dan bila masih tidak mampu bersedekah, maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri di hadapan-Nya agar kelak di hari kiamat Allah meridhai beban tanggungan harta (yang masih belum terlunaskan). (Hasyiyah al-Jamal, juz 5, hal: 307)

Itulah cara melunasi hutang kepada orang yang sulit dijumpai keberadaannya. Agar tidak menjadi beban kepada diri sendiri maka harus di distribusikan dengan cara yang benar. Semoga bermanfaat, Wallahua’lam…..

BINCANG SYARIAH

Kemenag Gencarkan Sosialisasi Pembatalan Haji

Sosialisasi juga dilakukan untuk menangkal peredaran informasi yang tidak benar.

Kementerian Agama (Kemenag) menggencarkan sosialisasi kebijakan pemerintah mengenai pembatalan pemberangkatan jamaah haji tahun ini agar masyarakat mengetahui secara jelas dan memahami keputusan pemerintah.

Penggiatan sosialisasi kebijakan juga untuk menangkal peredaran informasi yang tidak benar berkenaan dengan kebijakan pembatalan pemberangkatan jamaah haji. “Sosialisasi kebijakan dan alasan peniadaan keberangkatan jamaah haji dan menenangkan umat secara mental spiritual dalam bingkai pemahaman maqashid syariah (tujuan syariah secara universal) perlu dilakukan,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag M. Fuad Nasar dalam keterangan tertulis, Senin (14/6).

Pemerintah Indonesia pada 3 Juni 2021 mengumumkan keputusan membatalkan pemberangkatan jamaah haji karena risiko penularan Covid-19 masih tinggi dan pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak juga mengumumkan keputusan mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Kerajaan Arab Saudi kemudian mengumumkan bahwa pelaksanaan ibadah haji tahun 1442 Hijriyah/2021 Masehi hanya diperuntukkan bagi warga negara Arab Saudi dan ekspatriat yang sudah bermukim di wilayahnya.

Fuad meminta para penyuluh agama menyosialisasikan alasan pemerintah membatalkan pemberangkatan jamaah haji serta kebijakan pemerintah Arab Saudi mengenai penyelenggaraan ibadah haji tahun ini kepada masyarakat. “Para penghulu KUA, penyuluh agama Islam, dan para pemimpin umat memiliki peran terdepan menyosialisasikan kebijakan mengenai penyelenggaraan ibadah haji dan mengajak umat senantiasa berpikir positif meski di dalam situasi tidak normal,” kata dia.

Dia mengimbau jamaah yang tahun ini batal berangkat ke Tanah Suci menjaga kesehatan, memperbanyak amal saleh, serta bertawakal kepada Allah. “Niat dan segala proses yang telah dijalani untuk beribadah haji Insya Allah tercatat sebagai kebaikan di sisi Allah SWT. Mudah-mudahan tahun depan jamaah haji dari seluruh dunia dapat berangkat ke Tanah Suci,” katanya.

IHRAM

Fikih Ringkas Zakat Properti (Bag. 2)

Poin kesebelas

Apabila properti tersebut masih dalam progres pembangunan -di mana properti tersebut merupakan komoditi perdagangan-, wajib menunaikan zakat atas properti tersebut, baik properti itu telah siap untuk dijual atau penjualannya baru terlaksana setelah pembangunan selesai. Pada kondisi ini, pemilik menunaikan zakat sesuai dengan nilai terhadap kondisi terkini properti tersebut ketika waktu wajibnya zakat tiba.

Poin kedua belas

Properti, di mana pemilik membeli properti dan kemudian menunggu-nunggu (wait and see) kenaikan harga properti, wajib ditunaikan zakatnya pada setiap tahun sesuai dengan nilai properti, meski properti tersebut tetap ada selama bertahun-tahun.

Dengan demikian, pembelian properti dengan niat mengambil untung di waktu berpuluh-puluh tahun yang akan datang, tidaklah menggugurkan kewajiban zakat dari pemilik properti.

Termasuk dalam hal ini adalah pembelian area lahan yang terletak di pelosok dengan niat menunggu kenaikan tingkat permintaan dan harga properti. Maka niat menjual lahan tersebut di masa yang akan datang merupakan sebab timbulnya kewajiban zakat. Kewajiban zakat tetap ada dan tidak ada pengaruh karena tertundanya niat menjual lahan selama lahan tersebut dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, di mana yang menjadi tujuan adalah pengembangan harta.

Kondisi inilah yang disebut oleh ulama dengan “التاجر المتربص”. Pendapat terkuat dalam tema ini adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan wajib dizakati di setiap tahun.

Poin ketiga belas

Tidak ada kewajiban zakat untuk properti yang dibeli oleh seseorang dengan niat menjaga harta, kecuali dia melakukan itu sebagai trik untuk menghindari kewajiban zakat.

Poin keempat belas

Apabila seseorang membeli properti yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, namun belum diserahterimakan kepadanya, hingga uang yang digunakan untuk membeli properti tersebut mencapai haul, maka wajib menunaikan zakat atas properti tersebut. Karena properti itu akan berpindah kepemilikan kepada pembeli ketika akad telah dilaksanakan. Dan penyerahan properti dianggap sudah terjadi.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya perihal seseorang yang membeli lahan yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan dengan mengeluarkan sejumlah uang. Sebagai informasi, pembeli ini belum menerima lahan tersebut hingga saat ini, bahkan kuitansi pembelian pun belum diterima. Apakah dia berkewajiban menunaikan zakat atas lahan tersebut?

Beliau rahimahullah menjawab,

نعم عليه الزكاة في هذه الأرض، ولو لم يستلم الصك، مادام البيع قد ثبت ولزم، فيزكيها زكاة عروض تجارة، فيقومها حين وجوب الزكاة بما تساوي، ويخرج ربع عشر قيمتها

“Benar, selama penjualan telah terjadi dan mengikat, dia wajib menunaikan zakat untuk lahan tersebut meski dia belum menerima kuitansi pembelian. Dengan demikian, dia berkewajiban menunaikan zakat komoditi perdagangan, di mana pembeli memperkirakan kewajiban zakat dari lahan dengan nilai yang setara dan mengeluarkan 2,5% dari nilai lahan tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin, 18: 234)

Baca Juga: Tidak Boleh Melakukan Tipu Daya untuk Menghindari Pembayaran Zakat

Poin kelima belas

Properti yang digadaikan wajib dizakati, jika dipersiapkan menjadi komoditi perdagangan.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan,

فإن كنت أعددتها للتجارة وهي مرهونة فعليك زكاتها، وإن كانت مرهونة ولم تعد للتجارة ، ولكن مرهونة حتى توفيه حقه، وإذا أوفيته فهي للسكن أو للتأجير، فهذه ليس فيها زكاة

“Apabila Anda mempersiapkan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan, Anda berkewajiban menunaikan zakatnya meski properti tersebut tengah digadaikan. Akan tetapi, jika properti tersebut berstatus gadai dan tidak dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, di mana properti itu digadaikan hingga bisa ditebus, dan setelah ditebus Anda menempati atau menyewakannya, maka properti tersebut tidak wajib dizakati.” (Fatawa Nur ala ad-Darb, 15: 43)

Poin keenam belas

Menurut mayoritas ulama, setiap mitra dalam kepemilikan suatu properti berkewajiban menunaikan zakat apabila bagian kepemilikannya mencapai nisab.

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan,

الشركاء في عقار يشترط في وجوب الزكاة على كل واحد منهم, أن تبلغ قيمة نصيبه من العقار نصاباً في نفسه, أو بضمه إلى مال لـه زكوي آخـر من نقد عُرُوْض تجارة”

“Syarat wajib zakat atas setiap mitra dalam kepemilikan suatu properti adalah nilai bagian kepemilikan untuk setiap mitra dari properti tersebut secara tersendiri telah mencapai nisab atau telah mencapai nisab jika digabungkan dengan nilai harta lainnya yang juga berupa komoditi perdagangan.” (Fatawa Jami’ah fi Zakat al-Iqar, hlm. 12)

Adapun mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur adalah nilai properti secara keseluruhan dan bukan bagian nisab setiap mitra. Dengan demikian, jika nilai properti mencapai nisab, setiap mitra wajib menunaikan zakat meski bagian kepemilikannya tidak mencapai nisab. Pendapat ini yang dipilih oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Poin ketujuh belas

Properti yang diwakafkan untuk kepentingan sosial seperti untuk kebutuhan fakir miskin tidak wajib dizakati karena tidak adanya kepemilikan.

Poin kedelapan belas

Tidak ada perbedaan terkait kewajiban zakat antara properti yang mudah dijual dengan properti yang sulit dijual selama memiliki harga jual. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Karena yang menjadi pertimbangan dasar dalam memberlakukan kewajiban zakat atas komoditi perdagangan adalah karena komoditi tersebut merupakan harta yang dikhususkan untuk dikembangkan seperti uang, baik dikembangkan dengan suatu aktivitas atau tidak, baik memperoleh untung maupun rugi.

Dengan demikian, adanya kesulitan dalam menjual komoditi perdagangan tidaklah berpengaruh dalam tema zakat selama komoditi perdagangan tersebut memiliki harga pasar yang nyata dan bisa diperjualbelikan.

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (8: 102) dinyatakan,

الأرض المعروضة للبيع تجب فيها الزكاة كلما تم عليها الحول؛ لأنها من عروض التجارة، وتقدر قيمتها بما تساوي على رأس السنة، ويخرج منها ربع العشر، سواء كانت رائجة أو كاسدة؛ لعموم الأدلة في وجوب الزكاة فيما أعد للبيع والتجارة

“Tanah yang hendak dijual wajib dizakati setiap kali tercapai haul karena tanah tersebut termasuk komoditi perdagangan. Nilainya diperkirakan dengan harga pasar yang setara di awal tahun dan dikeluarkan zakat 2,5% dari nilai tersebut, baik tanah tersebut mudah terjual ataupun sulit terjual. Hal ini karena keumuman dalil-dalil yang ada menyatakan kewajiban zakat diperuntukkan bagi setiap komoditi yang dipersiapkan untuk dijual dan diperdagangkan.” (Ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-Fauzan, dan al-Ghudayan).

Syaikh Abdurrahman al-Barrak mengatakan,

ليس لكساد العقار أثر في سقوط الزكاة، بل في نقص مقدار الزكاة؛ فإن الأرض الكاسدة تقوَّم بالسعر الذي يمكن أن تشترى به مهما قلَّ

“Kesulitan dalam menjual properti tidak berpengaruh dalam menggugurkan kewajiban zakat, tidak pula mengurangi kadar zakat. Tanah yang sulit terjual ditaksir dengan harga beli yang ada betapa pun sedikit harga tersebut.”

Namun, jika properti tersebut sangat sulit terjual, di mana pemiliknya sudah menawarkan untuk dijual namun tidak memperoleh pembeli sama sekali, sebagian ulama berpendapat bahwa pemilik cukup menunaikan zakat untuk setahun saja jika properti itu akhirnya terjual.

Poin kesembilan belas

Saham-saham properti ditunaikan zakatnya sebagai zakat komoditi perdagangan karena perusahan-perusahaan properti tersebut membeli lahan dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Dengan demikian, setiap pemegang saham wajib menaksir saham yang dimiliki pada perusahaan tersebut dengan nilai yang setara dengannya dan mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.

Poin kedua puluh

Properti yang kepemilikan dan penguasaannya terbatas, atau saham properti yang diblokir, tidak wajib dizakati karena hukumnya serupa dengan harta dhimar (harta yang berada di luar kekuasaan pemilik).

Dalam buku al-Masail al-Mustajaddah fi az-Zakat (hlm. 87) dinyatakan,

فالأرض التي تحجز في المخططات ، كمرافق ومدارس وغير ذلك ، ومالكها ممنوع من التصرف فيها ، إلا إذا قررت الجهة الرسمية عدم الرغبة فيها ، فلا زكاة فيها إلا بعد تمكين مالكها من التصرف فيها ، فيستقبل في زكاتها حولا من تاريخ التمكين من التصرف فيها

“Dengan demikian, tanah yang baru Anda booking dalam suatu brosur hukumnya seperti fasilitas umum dan sekolah, di mana pemiliknya tidak bisa mengelolanya, kecuali otoritas yang berwenang menetapkan bahwa tanah tersebut tidak lagi dibutuhkan. Semua itu tidak wajib dizakati kecuali setelah pemiliknya menguasai sehingga dapat dikelola. Sehingga zakatnya diambil setelah tercapai haul yang ditentukan dari tanggal tamkin (penguasaan secara penuh) atas pengelolaan tanah tersebut.”

Demikian pula dengan saham-saham properti yang diblokir yang bisa jadi disebabkan beberapa hal, seperti penggelapan dan penipuan yang dilakukan oleh pihak perusahaan, adanya berbagai hambatan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah, adanya sengketa atau ada pihak lain yang juga berhak atas properti tersebut. Apa pun kondisinya, saham properti di mana pemiliknya tidak mampu untuk mengelolanya, maka tidak wajib dizakati.

Poin kedua puluh satu

Properti dinilai pada akhir haul sesuai harga pasar, di mana nilainya bisa kurang atau lebih dari harga beli.

Poin kedua puluh dua

Perhitungan haul tidak dimulai dari waktu pembelian properti. Haul yang digunakan adalah haul harta/uang yang digunakan untuk membeli properti tersebut.

an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

وإذا ملكه [يعني : عروض التجارة] بنقد نصاب فحوله من حين ملك النقد

“Jika dia telah memilikinya –yaitu komoditi perdagangan- dengan membayar sejumlah uang yang mencapai nisab, maka haulnya adalah haul ketika dia memiliki uang tersebut.” (al-Minhaj, 2: 107)

Wallahu a’lam. Demikian. Semoga bermanfaat.

[Selesai]

Sumberhttps://islamqa.info/ar/231858

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/66831-fikih-ringkas-zakat-properti-bag-2.html

Bolehkah Naik Haji tanpa Mahram?

Setiap Muslimah yang kuat iman pasti terpanggil hatinya untuk menunaikan haji. Karena ibadah ini di samping merupakan rukun Islam yang kelima, juga mengandung banyak hikmah dan keutamaan.

Salah satunya dapat melebur dosa. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang berhaji karena Allah, kemudian ia tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka ketika pulang, ia seperti anak yang baru dilahirkan ibunya.

Tetapi untuk mengecap keutamaan itu, terdapat sebuah syarat tambahan bagi seorang Muslimah yang termasuk dalam istithoa’h-nya (syarat mampunya). Yaitu, harus disertai suami atau mahramnya.

Diriwayatkan lagi oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Abbas berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Jangan sampai seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan tanpa disertai mahramnya. Dan hendaknya seorang perempuan tidak melakukan perjalanan kecuali jika disertai mahramnya.

Lantas seseorang berdiri dan berkata, ”Wahai Rasulullah, istriku melaksanakan haji sementara aku berada di medan perang ini dan itu.” Rasulullah kemudian bersabda, Berangkatlah engkau dan berhajilah bersama istrimu.

Nah, berangkat dari hadis itu, para ulama dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) punya pandangan berbeda. Ulama dari Mazhab Maliki berpendapat, Ibadah haji bagi seorang Muslimah harus disertai suaminya, atau salah seorang mahramnya, atau seorang teman wanita yang dapat dipercaya. Kalau semua itu tidak ada, maka tidak wajib baginya melaksanakan ibadah haji.

Lain lagi dengan pendapat ulama dari Mazhab Hanafi. Menurut mereka, jika jarak antara Makkah dan rumahnya ditempuh selama lebih dari tiga hari dengan perjalanan kaki, maka wajib bagi seorang Muslimah disertai suami atau mahramnya.

Ini berlaku bagi Muslimah tua maupun muda. Akan tetapi jika jaraknya kurang dari itu, maka haji tetap wajib ditunaikan meskipun tanpa disertai suami atau mahramnya.

Pendapat ulama dari Mazhab Syafi’i sedikit lebih longgar. Mereka berpandangan bahwa apabila haji yang ditunaikan hukumnya wajib (haji pertama), dan keadaan saat itu aman, maka seorang Muslimah boleh pergi haji sendirian.

Akan tetapi jika tidak diketahui aman atau tidaknya keadaan, maka wajib baginya disertai suami, mahram, atau dua orang perempuan atau lebih. Seandainya ia tidak mendapatkan seorang laki-laki yang bersedia menjadi mahramnya, kecuali harus diberi upah, sedangkan syarat-syarat wajib haji yang lain telah terpenuhi, maka kalau Muslimah itu mampu membayar upah, wajib hukumnya melakukan haji.

Akan tetapi jika yang ada hanya seorang teman perempuan saja, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Lain halnya jika yang ditunaikan adalah haji sunnah, maka wajib baginya disertai suami atau mahram. Meskipun ia disertai dua orang wanita atau lebih, tetap saja yang bersangkutan tidak boleh menunaikan haji.

Mengenai ragam pendapat ulama Mazhab Syafi’i ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar menggaris bahawi, Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Mazhab Syafi’i adalah, hajinya seorang wanita disyaratkan adanya suami, mahram, atau wanita-wanita yang terpercaya.

Sedangkan ulama dari Mazhab Hanbali secara tegas mewajibkan adanya suami atau mahram. Karena, menurut ulama mazhab ini, hal itu merupakan syarat istitho’ah (kemampuan) wanita melaksanakan haji. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, Kalau seorang wanita tidak ada suami atau mahramnya, maka ibadah haji tidak wajib atasnya.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Nabi SAW, Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama tiga hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya atau suaminya atau anaknya atau saudaranya atau mahramnya. (Muttafaq ‘Alaihi).

Setelah melihat pendapat ulama dari empat mazhab itu, tampaklah letak perbedaan pandangan mereka tentang masalah ini. Ada yang berpendapat berdasarkan makna lahiriyah dari hadis, yaitu mewajibkan adanya mahram bagi wanita yang berhaji; ada yang memberikan pengecualian bagi wanita yang bersama wanita-wanita lain yang dapat dipercaya; bahkan ada yang berpandangan tidak diwajibkan adanya suami ataupun mahram jika dalam keadaan aman.

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, prinsip hukum atau ketetapan adanya mahram haji bukan untuk membatasi kebebasan Muslimah dalam melakukan ibadah. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya. Di samping juga untuk melindunginya dari maksud jahat dari orang-orang yang hatinya berpenyakit.

IHRAM

Mengapa Anda Harus Hindari Pinjaman Online? Ini Alasannya

Pinjaman online kerap mendatangkan unsur zalim dan mudharat

Kemajuan teknologi di zaman ini, membawa banyak kemudahan bagi Umat Islam. Salah satu kemudahan yang bisa kita dapatkan melalui teknologi adalah dengan hadirnya financial technologi atau fintech.   

Saat ini, hal tersebut sedang marak dilakukan banyak masyarakat khususnya umat Islam dengan meminjam uang melalui aplikasi atau tawaran-tawaran pinjaman melalui pesan yang masuk ke ponsel kita yang biasa disebut pinjaman online (Pinjol). 

Banyak masyarakat yang tergiur dengan hal itu. karena dirasa sangat mudah untuk mendapatkan uang dan dengan cepat bisa mengatasi keperluanya. Namun, di balik itu, kita sering juga mendengar bagaimana negatifnya akibat meminjam uang dari Pinjol ini. Lantas, bagaimana pandangan dan hukum Islam terkait dengan Pinjol ini? 

Anggota Komisi Fatwa MUI, menjelaskan dalam prinsip Hukum Islam, dikenal dengan ‘’mengupayakan banyak yang maslahah dan meninggalkan yang mudharat’’. Artinya, berusaha untuk melakukan perbuatan yang memberikan manfaat, ketimbang melakukan yang mendatangkan keburukan atau  kerugian. 

Dia menyebutkan, dalam berbagai kasus yang terjadi di Pinjol ada nasabah yang meminjam lewat Pinjol sebesar Rp 2 juta. Tetapi, dalam beberapa bulan dan dikalkulasikan dengan bunganya bisa berlipat-lipat. “Sehingga, yang tadinya Rp 2 juta, bisa menjadi Rp 20 juta bahkan bisa lebih,” tutur dia kepada MUI.OR.ID, Selasa (15/6). 

Jadi, kata Kiai Nurul, jika pinjaman tersebut berkembang biak banyak seperti itu, pasti akan ada pihak yang dizalimi. Padahal, di ujung ayat tentang riba antara lain QS  Al Baqarah 279 disebutkan  لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ: ‘’latazlimuna wala tuzlamun’’ mereka tidak melakukan kezaliman dan mereka tidak dizalimi. 

“Jadi, kalau ada unsur zalim dan menzalimi. Itu berarti ada dharar. Padahal, prinsip anjaran Islam ‘’adh dharar yuzal’’ atau setiap yang membawa mudharat, harus dihilangkan.

Kiai Nurul memprediksi, pinjaman online yang saat ini sedang marak akan hilang karena seleksi alam. Dia juga menambahkan, bahwa saat ini yang sangat penting untuk dilakukan adalah dengan mengedukasi masyarakat agar tidak menggubris atau bila perlu langsung menghapus pesan tawaran pinjaman online. “Karna pinjaman online, kecenderunganya sudah pasti merugikan dan mendzalimi pihak yang meminjam,” kata dia.  

Oleh karena itu, berdasarkan prinsip hukum Islam, الضرر يزال adh dhararu yuzal, kemudharatan harus dihapuskan. Sedangkan, جلب النفع ودفع الضرر jalbun naf’i wadafu adh dharar, menarik yang manfaat dan menghindarkan mudharat harus diutamakan. 

Maka, pinjaman online itu, menurut pandangan Kiai Nurul harus dihapuskan. Karena mudharatnya akan jauh lebih berbahaya. Adapun pinjaman online berbasis syariah, dia menuturkan sayangnya itu pun hampir sama praktiknya. Baginya, pinjamin yang bunganya berkembang biak sangat besar merupakan kezaliman dan tindak kejahatan cyber crime yang pelakunya harus diusut.

“Ini salah satu tindak pidana, pelakunya mesti dihukum tapi pihak berwajib (perlu) untuk melacak satu akun atau person tertentu yang melakukan kejahatan bidang cyber crime,” kata dia. 

Sumber: mui

KHAZANAH REPUBLIKA

Pinjaman Online Jauh dari Syariat Islam

Setiap Muslim hendaknya menghindari akad dalam pinjaman yang tak sesuai syariat Islam.

Pinjaman online (pinjol) sedang menjadi tren di tengah masyarakat Indonesia. Banyak orang tergoda meminjam uang secara online karena dirasa sangat mudah dan cepat bisa mengatasi keperluannya.

Namun, di balik itu, kita sering juga mendengar bagaimana negatifnya akibat meminjam uang secara online ini. Lantas, bagaimana sejatinya pandangan dan hukum Islam terkait pinjaman online?

“Dalam kasus pinjaman online, sudah sangat tampak bahwa praktik ini jauh dari garis hukum syariat,” ujar pakar fikih di Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Zarkasih Lc, saat dihubungi Republika, Rabu (16/6).

Hal pertama yang membuat pinjaman online jauh dari syariat Islam, menurut dia, adalah adanya riba. Tak tanggung-tanggung, ada dua riba sekaligus yang terkandung dalam pinjaman online.

“Yakni riba nasiah, yaitu tambahan karena penundaan, juga riba fadhl, yakni tambahan yang disyaratkan oleh pihak pemberi utang dari nilai pokok utang,” katanya.

Ia mencontohkan, seseorang yang meminjam secara online sebanyak Rp 1 juta, tapi uang yang diterima kurang dari Rp 1 juta. Nantinya ia harus mengembalikan utangnya sebesar Rp 1 juta ditambah bunga dan denda jika terjadi keterlambatan.

“Jauh sekali dari konsep memudahkan dan memberi pertolongan yang mana itulah tujuan utang dalam syariat,” katanya.

Keburukan lain dari pinjaman online, menurut Ustaz Zarkasih, adalah membuat orang mudah meminjam walau tidak sedang memiliki kebutuhan yang mendesak. Hal ini terjadi karena aksesnya yang sangat mudah.

“Ini jelas-jelas tidak sesuai dengan semangat syariat yang seketat mungkin mencegah seorang Muslim untuk gampang berutang,” katanya.

Sementara, peneliti dari Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Isnan Ansory Lc MAg, berpandangan, umat Islam dilarang melakukan pinjaman kepada lembaga apa pun dan dengan cara apa pun, baik online maupun offline, jika di dalamnya terdapat akad ribawi.

“Yaitu akad utang piutang dengan penambahan nilai pinjaman dari pokok pinjaman,” kata Ustaz Isnan.

Terlebih, jika karena suatu keterlambatan kemudian dibebankan bunga tambahan atas pinjamannya, dalam akad seperti ini telah terjadi dua dosa riba sekaligus, yaitu riba fadhl dan riba nasiah.

Ia menekankan, setiap Muslim hendaknya menghindari akad-akad seperti itu, sembari tetap mengusahakan jalan akad lainnya yang halal. Misalnya, melalui pinjaman tidak berbunga atau melalui akad mudharabah (pemberian modal usaha dengan ketentuan bagi hasil atas keuntungan yang didapat).

“Di samping itu, umat juga perlu diedukasi tentang sisi negatif utang,” katanya.

Meski berutang tidak dilarang dalam Islam, selama tidak berdasarkan pada akad yang ribawi, tetap saja banyak hal yang negatif dalam utang. Apalagi jika berutang hanya sekadar untuk memenuhi hasrat gaya hidup yang tidak ditopang dengan kemampuan pelunasan utang yang logis.

“Jadi, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, haramnya riba dalam akad utang piutang. Kedua, sisi negatif berutang.”

OLEH UMAR MUKHTAR

REPUBLIKAid

Bolehkah Menyerahkan atau Transfer Uang Pada Panitia Kurban?

Era sekarang, orang yang ingin berkurban menempuh jalan singkat. Mereka menyerahkan atau tranfers uang kurban untuk pantitia kurban. Panitialah yang mencari dan membeli kurban untuk mereka. Nah dalam fikih Islam bolehkah menyerahkan atau tranfers uang pada panitia kurban?

Syahdan, saban tahun umat Islam selalu merayakan Idul Adha. Populer dengan nama hari raya kurban. Dalam ajaran fikih, kurban itu menggunakan binatang ternak. Kambing untuk satu orang. Sedangkan unta dan sapi, untuk 7 orang.

Kemudian muncul persoalan, bolehkah seseorang yang ingin melakukan kurban, menyerahkan uang pada panitia kurban untuk membeli binatang kurban? Atau bolehkah ibadah kurban dilakukan menitipkan uang seharga hewan ternak kepada lembaga, institusi, panitia kurban, atau DKM masjid— melayani penitipan dan penyaluran kurban?.

Sebelum melangkah ke sana—menyalurkan uang kurban pada panitia kurban—, penting dicatat bahwa para ulama mengatakan berkurban dengan uang tidak boleh hukumnya. Kurban dalam pengertian uang, dipahami sebagai ibadah kurban dengan bersedekah uang seharga hewan ternak. Misalnya, Si Ahmad mengganti kurban sapi dengan uang 15 juta.

Kurban dalam pengertian ini tak dibenarkan. Pasalnya, kurban itu harus dengan binatang ternak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarah al Muhadzab, bahwa kurban hanya boleh dengan binatang ternak seperti sapi, unta, dan kambing. Imam Nawawi berkata;

أما الأحكام فشرط المجزئ في الأضحية أن يكون من الأنعام وهي الإبل والبقر والغنم سواء في ذلك جميع أنواع الإبل من البخاتي والعراب وجميع أنواع البقر من الجواميس والعراب والدربانية وجميع أنواع الغنم من الضأن والمعز وأنواعهما ولا يجزئ غير الأنعام من بقر الوحش وحميره والضبا وغيرها بلا خلاف.

Artinya: Adapun hukum berkurban, maka syarat sah dalam kurban hendaklah berupa hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, sama saja untuk setiap jenis unta tersebut tidak hidup di negeri arab, maupun itu unta Arab. Dan dan juga setiap jenis sapi dari spesies sapi arab, dan sapi Durban (daerah Afrika), serta setiap jenis kambing berupa domba, kambing kacang, dan spesies kambing dari jenis keduanya. Dan tidak memadai hewan kurban selain dari binatang ternak berupa banteng, keledai, dan  selain keduanya, tanpa perselisihan pendapat.

Pada sisi lain, terkait masalah menyerahkan uang pada panitia kurban—untuk membelikan kurban—, hukumnya boleh. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam kitab fikih, Ia’nah al-Talibin karya ulama terkemuka Mekah yang hidup pada abad 14 Hijriyyah (atau abad 19 Masehi), bernama Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi as-Syafi’i. Sayyid Syatho berkata;

الصواب: في فتاوى  العلامة الشيخ محمد بن سليمان الكردي محشي شرح ابن حجر على المختصر ما نصه:(سئل) رحمه الله تعالى: جرت عادة أهل بلد جاوى على توكيل من يشتري لهم النعم في مكة للعقيقة أو الأضحية ويذبحه في مكة، والحال أن من يعق أو يضحي عنه في بلد جاوى فهل يصح ذلك أو لا؟ أفتونا.

الجواب) نعم، يصح ذلك، ويجوز التوكيل في شراء الأضحية والعقيقة وفي ذبحها، ولو ببلد غير بلد المضحي والعاق كما أطلقوه فقد صرح أئمتنا بجواز توكيل من تحل ذبيحته في ذبح الأضحية، وصرحوا بجواز التوكيل أو الوصية في شراء النعم وذبحها، وأنه يستحب حضور المضحي أضحيته. ولا يجب.

Artinya: Dalam kitab Fatawa Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi Muhsyyi Syarah Ibn Hajar ‘ala al-Mukhtashar terdapat suatu pertanyaan: Beliau telah ditanya:

“Telah berlaku kebiasaan penduduk Jawa mewakilkan kepada seseorang agar membelikan binatang gternak  untuk mereka di Mekkah sebagai aqiqah atau kurban dan agar menyembelihnya di Makkah, sementara orang-orang tersebut yang melakukan ibadat tersebut berada di Jawa. Apakah hal demikian itu sah atau tidak? Mohon diberikan fatwa.

Jawabannya “Ya, demikian itu sah. Diperbolehkan mewakilkan dalam pembelian hewan kurban dan juga aqiqah dan juga penyembelihnya, sekalipun tidak dilaksanakan di negara orang yang berkurban atau beraqiqah itu.

Dan beberapa guru kami telah menjelaskan tentang diperbolehkannya mewakilkan orang yang penyembelihannya sah menurut syariat Islam dalam penyembelihan hewan kurban, dan mereka juga menjelaskan tentang diperbolehkannya mewakilkan atau berwasiat untuk membeli hewan ternak sekaligus penyembelihannya, meskipun sesungguhnya hadirnya orang yang berkurban itu hukumnya Sunnah, dan tidak wajib.

Prkatik menyerahkan uang kepada panitia kurban untuk mencari atau membelikan hewan kurban disebut dengan wakalah. Praktik wakalah diperbolehkan dalam Islam. Pasalnya praktik wakalah ini membantu manusia yang ingin berkurban. Terlebih bagi mereka yang sibuk dan tak mengerti seluk-beluk hewan. Pendapat ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni, ia berakata;

وَأَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى جَوَازِ الْوَكَالَةِ فِي الْجُمْلَةِ وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إلَى ذَلِكَ ؛ فَإِنَّهُ لَا يُمْكِنُ كُلَّ وَاحِدٍ فِعْلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، فَدَعَتْ الْحَاجَةُ إلَيْهَا

Artinya; Para Ulama  telah sepakat atas “boleh” wakalah secara umum, pasalnya karena adanya hajat yang menuntut adanya praktik wakalah.  Karena sesungguhnya setiap orang tidak mungkin menangani segala keperluannya sendiri, untuk itu maka ia sejatinya memerlukan perwakilan untuk memudahkan hajatnya.

Demikian penjelasan terkait bolehkah menyerahkan atau transfer uang pada panitia kurban? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bila Langgar Prokes Berarti Berani Mati

Seruan warga agar taati protes terus bergaung. Bahkan, Komandan Lapangan RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Letkol Laut Muhammad Arifin, menyampaikan pernyataan tegas agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan (prokes) pencegahan Covid-19. Sebab, jika masyarakat abai prokes, Wisma Atlet akan segera dan terus penuh. 

Di tempat terpisah, Dokter spesialis jantung di sebuah rumah sakit di kawasan Tangerang Selatan, Berlian Idris, meminta warga jangan lagi meremehkan Covid-19 tak ada atau bersikap meremehkannya. Sebab, pada kenyataannya saat ini angka orang yang terpapar Covid-19, apalagi khususnya di Jabobatek, terus-menerus meningkat dari hari ke hari.

”Saya himbau masyarakat jangan lagi remehkan dan anggap Covid-19 tak ada. Kenyataan ini jelas salah. Kenyataanya kini rumah sakit dan paramedis kewalahan memberikan layanan perawatan kepada yang terpapar. Ketersediaan kamar perawatan terus menipis. Bahkan di DKI tingkat ketersediannya sudah mulai mengkhawatirkan karena tingkat keterisiannya sudah mencapai 84 persen,” kata dr Berlian Idris dalam perbincangan dengan Republika.co.id, Jumat malam (18/6).

Menurut Billy, sekarang tidak lagi ada tempat untuk terus memperdebatkan sumber atau penyebab dari naiknya Covid-19 itu. Ini karena yang sekarang penting serta mutlak dilakukan adalah tindakan nyata dari warga, para medis, dan pemerintah untuk bahu membahu mengatasi keadaan. Masyarakat misalnya harus taat pada prokes (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, mengurangi mobilitas). 

”Jadi tak hanya bergantung pada pemerintah dan para medis saja. Tapi masyarakat juga harus paham dan mentaati segala aturan pencegahan pandemi Covid-19. Ingat, naiknya Covid-19 kali ini bukan hanya karena mudik atau mobilitas saja, tapi karena banyak individu masyarakat yang tak peduli, serta juga adanya virus Covid-19 varian baru yang datang dari  India. Jadi semua pihak harus saling bantu sebab Covid kali ini lebih ganas dan cepat menular,” ujarnya.

Kepada masyarakat, Billy kemudian meminta agar terus menjaga kesehatan dirinya masing-masing. Caranya harus menjaga makanan, berolaraga dengan terkena matahari secara teratur, mengkonsumsi sayuran dan buah.

Ketua Sub Bidang Mitigasi Perubahan Perilaku Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, Irwan Amrun, mengatakan bahwa kondisi penyebaran covid-19 di Indonesia saat ini sudah sangat mencekam. Dirinya mengibaratkan kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini sudah siaga satu.

“Saya kan background TNI ya, kalau siaga satu itu sudah pakai peralatan lengkap ya. Senjata sudah di tangan,” kata Irman dalam diskusi daring, Sabtu (19/6).

Ketua Sub Bidang Mitigasi Perubahan Perilaku Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, Irwan Amrun, mengatakan bahwa kondisi penyebaran covid-19 di Indonesia saat ini sudah sangat mencekam. Dirinya mengibaratkan kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini sudah siaga satu.

“Saya kan background TNI ya, kalau siaga satu itu sudah pakai peralatan lengkap ya. Senjata sudah di tangan,” kata Irman dalam diskusi daring, Sabtu (19/6).

Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi mengatakan, memang diperlukan kesadaran dan kesungguhan dari seluruh masyarakat untuk disiplin menjalankan protokol kesehatan. Dengan dilakukan secara serentak dan terorganisasi, katanya, lonjakan kasus dapat ditekan. 

“Jika ada yang tidak menjajakan protokol kesehatan dengan sungguh-sungguh, ya akan sia-sia. Sebab, untuk menghentikan sebaran Covid-19 harus dilakukan secara serentak, kompak dan terorganisasi. Jika tidak, maka tidak akan efektif,” kata Heroe yang juga Ketua Harian Satgas Penanganan Covid-19 Kota Yogyakarta tersebut.

Pihaknya juga mengetatkan posko PPKM mikro yang ada di tingkat RT/RW dalam rangka membatasi aktivitas warga yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Patroli di tiap wilayah juga dimaksimalkan agar pelaksanaan protokol kesehatan berjalan dengan baik, terutama di fasilitas umum, warung makan hingga tempat wisata. 

“Dilakukan sweeping acak di tempat wisata, tempat parkir atau pencegatan kendaraan yang berasal dari zona merah untuk memeriksa kelengkapan surat-surat kesehatan terkait Covid-19. Di Malioboro ada beberapa bus yang dilarang menurunkan penumpang karena berasal dari zona merah dan tidak dilengkapi surat kesehatan bagi wisatawan,” ujarnya. 

Ia juga meminta warga agar membatasi mobilitas, terutama ke luar daerah. Walaupun diharuskan untuk bepergian dalam hal mendesak, surat kelengkapan bebas dari Covid-19 harus disertakan. 

“Terlebih dari daerah zona merah, sehingga upaya untuk menjaga wilayah agar warga Kota Yogya menjalankan protokol kesehatan juga dijalankan oleh wisatawan yang berlibur atau bertamu atau bekerja di Kota Yogyakarta,” jelasnya. 

IHRAM