Kekuatan Istighfar: Penyebab Kemenangan dalam Perang

BETAPA banyak peperangan antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir  yang sedang berlangsung pada saat ini, baik berupa perang urat syaraf, perang informasi, perang peradaban, perang pemikiran, maupun perang militer sebagaimana yang terjadi di Palestina, Libanon, Iraq, Afghanistan, Cechnya, Somalia, Sudan  dan lain-lainnya.

Para tentara Islam sangat memerlukan istighfar agar diberikan kekuatan oleh Allah dan dikuatkan kedudukan mereka. Allah berfiman :

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا اسْتَكَانُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَوَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلاَّ أَن قَالُواْ ربَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS: Ali Imran : 146-147).

Dari sini, kita mengetahui bahwa kekalahan-kekalahan yang diderita kaum Muslimin dalam segala bidang, termasuk dalam bidang militer, karena banyaknya dosa yang mereka kerjakan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika menerangkan sebab kekalahan yang diderita kaum Muslimin dalam Perang Uhud :

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّن بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الآخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ وَاللّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah mema’afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.” (QS: Ali Imran : 152).

Allah juga berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْاْ مِنكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُواْ وَلَقَدْ عَفَا اللّهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

”Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi ma’af kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS: Ali Imran : 155).

Dua ayat dari surat Ali Imran di atas, menerangkan kepada kita bahwa sebab utama kekalahan yang diderita kaum Muslimin pada perang Uhud adalah karena sebagian dari pasukan panah tidak taat kepada perintah Rasulullah ﷺ untuk tetap berada di atas bukit. Dan kalau diselidiki lebih jauh lagi, ternyata yang mendorong mereka menyelisihi perintah Rasulullah adalah keinginan mereka untuk ikut mengumpulkan harta rampasan perang. Allah mengungkapkannya dengan kalimat: ”minkum man yuridu dunya“ (sebagian dari kamu menginginkan dunia).

Kemudian pada ayat 155 dari Surat Ali Imran di atas, Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang lari terbirit-birit pada Perang Uhud penyebabnya adalah dosa-dosa yang pernah mereka kerjakan pada masa lalu.  Berkata Ibnu Katsir  di dalam tafsirnya (2/146) :

ببعض ذنوبهم السالفة، كما قال بعض السلف: إن من ثواب الحسنة الحسنة بعدها، وإن من جَزَاء السيئةَ السيئة بعدها

“(Mereka digelincirkan syetan dan kalah) disebabkan karena dosa-dosa mereka yang terdahulu (sebelum berperang), sebagaimana perkataan para ulama salaf : “Sesungguhnya balasan dari perbuatan baik adalah kebaikan sesudahnya, dan sesungguhnya balasan perbuatan jelek adalah kejelekan sesudahnya,“ demikian kutip Ibnu Katsir.*/Dr. Ahmad Zain An-NajahPusat Kajian Fiqih (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Konsisten Beramal Shalih

Peribahasa mengatakan: ada asap, ada api. Jadi, “api” apakah yang mengepulkan “asap” kemuliaan dari dalam diri mereka? Kita berharap dapat menguak sedikit rahasia ini, dan meraih manfaat dengan meneladaninya.

Di dalam Al-Qur’an, sebenarnya Allah telah mengisyaratkan rahasia di balik semangat mereka, dengan berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218).

Perasaan senada juga diabadikan oleh Allah dalam surah Al-Ma’idah ayat 83-84: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui; seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi. Mengapa kami tidak mau beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?”

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pengharapan kepada rahmat dan karunia Allah-lah yang mendorong seseorang konsisten di jalan-Nya. Pengharapan adalah bahan bakar bagi api iman, sehingga terus berkobar, menerangi, menghangatkan. Tanpa pengharapan, iman akan padam dan membeku sehingga mandul dan tidak menghasilkan amal shalih. Maka, wajar jika salah satu aspek terpenting dalam iman adalah ar-raja’ (pengharapan).

Bayangkanlah seseorang yang berlari 42 km dalam lomba marathon, atau menempuh ratusan kilometer dalam lomba balap sepeda. Mengapa mereka terus maju, walau pun didera kelelahan yang amat sangat?

Ya, karena mereka berharap bisa sampai ke garis finis dan mengambil hadiahnya, atau tujuan-tujuan lain. Jika saja tidak ada harapan apa pun di balik kerja kerasnya, padahal ia terus berjuang mati-matian, maka kita pantas mempertanyakan kewarasan akalnya.

Namun, semata-mata memiliki pengharapan kepada Allah tidak selalu mencukupi untuk melecut semangat beramal shalih. Fakta menunjukkan betapa banyaknya orang yang cita-citanya setinggi langit, namun usahanya tidak pantas dihargai.

Mengapa mereka berani memelihara angan-angan hebat, dan pada saat bersamaan tidak malu untuk duduk berpangku tangan, enggan memeras keringat guna mewujudkannya? Ya, karena mereka tidak merasa takut terhadap akibat perbuatannya.

Maka, Islam memperkenalkan konsep al-khauf (takut), sebagai penyeimbang dari ar-raja’ (pengharapan). Keduanya harus setimbang dalam diri seorang muslim, agar ia konsisten beramal shalih.

Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhir (ulama’ Tabi’in) bercerita: kami pernah mendatangi Yazid bin Shauhan, dan beliau berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, bermurah hatilah dan berbuat baiklah; karena sesungguhnya sarana seorang hamba untuk sampai kepada Allah itu ada dua saja, yaitu takut dan harap.” (Riwayat al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab).

Abu ‘Ali Ahmad bin Muhammad ar-Rudzabari (w. 322 H) juga berkata, “Takut dan harap itu ibarat sepasang sayap burung. Jika keduanya sejajar, maka burung pun akan seimbang dan sempurnalah terbangnya. Jika salah satu dari keduanya berkurang, maka akan berkurang pulalah keseimbangan dan kesempurnaan terbangnya. Jika kedua-duanya lenyap, maka burung itu pasti terancam kematian. Oleh karenanya ada dikatakan: ‘seandainya takut dan harap dalam (hati) seorang mukmin itu ditimbang, niscara akan sejajar.” (Riwayat al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab).

Perasaan takut dan harap memang harus dijaga agar tetap seimbang. Sebab, jika jiwa seseorang cuma didominasi ketakutan, ia akan menjadi gila. Sebaliknya, jika hanya dipenuhi pengharapan, ia akan lalai dan sembrono. Hanya saja, apa yang seharusnya diharapkan dan ditakuti, agar semangat beramal shalih senantiasa terpelihara?

لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤمِنُ مَا عِنْدَ الله مِنَ العُقُوبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الكَافِرُ مَا عِنْدَ الله مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أحَدٌ

“Seandainya seorang Mukmin mengetahui adzab yang ada di sisi Allâh, niscaya tidak ada seorang pun yang akan terlalu berambisi untuk meraih Surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui kasih sayang Allâh, niscaya tidak ada seorang pun yang akan berputus asa dari meraih Surga-Nya.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah).

Jadi, jangan merasa aman dari ancaman hukuman dan siksa Allah yang tiada taranya. Sebab kita bukan makhluk yang bersih dari kesalahan dan dosa.

فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُۥٓ أَحَدٌ

وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُۥٓ أَحَدٌ

Allah berfirman: “Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (QSL:  Al-Fajr: 25-26).

Akan tetapi, jangan segan untuk bernaung di bawah keteduhan rahmat-Nya yang lebih lapang dari seluruh jagad raya. Rasulullah ﷺ bersabda:

ن لله مائة رحمة أنزل منها رحمة واحدة بين الجن والإنس والبهائم والهوام، فيها يتعاطفون، وبها يتراحمون، وبها تعطف الوحش على ولدها، وأخر الله تسعا وتسعين رحمة يرحم بها عباده يوم القيامة

“Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu di antaranya diturunkannya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tetumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad dari Abu Sa’id).

Semoga seimbangnya perasaan takut dan harap ini mampu mendorong kita beramal shalih, dan konsisten di dalamnya. Amin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Alimin Mukhtar, Pengasuh PP Arrahmah-Malang

HIDAYATULLAH

Amalan Tukang Sol Sepatu Kalahkan Haji Ratusan Ribu Orang

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, ia tertidur di Masjidil Haram. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, kemudian yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang berhaji pada tahun ini?”. “Enam ratus ribu,” jawab yang lain. 

Lalu, ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?” Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq.” 

Ketika Abdullah bin Mubarak men dengar percakapannya itu, maka ter bangun lah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat menuju Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq. Ketika bertemu dengan Muwaffaq, Abdullah bin Mubarak menceritakan mimpinya dan bertanya, “Kebaikan apakah yang telah Engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?” 

Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji, tapi tidak terlaksana karena ke adaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang tiga ratus dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini. Pada saat itu istriku sedang hamil maka suatu hari, dia mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin mencicipi makanan itu. Aku pun pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuanku kepadanya.” 

Tetanggaku kemudian menjelaskan, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anakku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong bagian tubuhnya dan aku bawa pulang untuk dimasak. Adapun makanan ini halal bagi kami dan haram untukmu.” 

Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan meng ambil uang tiga ratus dírham, dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya agar membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim, yang ada dalam pemeliharaannya itu. 

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” ujar Muwaffaq menutup kisahnya. Allahu Akbar. (Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita, kaum Muslimin, bahwa sesungguhnya haji adalah amalan yang utama. Berjihad juga amalan utama, tetapi menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang telantar merupakan amalan yang lebih utama dan mulia. Beribadah haji itu untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberikan makan kepada fakir miskin, menjadi ibadah sosial yang manfaatnya itu lebih besar. Meskipun belum berangkat haji, hal itu menyebab kan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya. 

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran 92).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu keperluan saudaranya maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Oleh Imam Nur Suharno

IHRAM

Menjaga Semangat Berkurban

Semangat berkurban ini hendaknya menjadi spirit kolektif dalam membangun bangsa dan negara.

Tidak terasa kaum Muslimin akan kembali merayakan Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Meski masih dalam kondisi pandemi Covid-19, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat, semangat berkurban tidak boleh luntur dari kehidupan kaum Muslimin.

Semangat berkurban ini hendaknya menjadi spirit kolektif dalam membangun bangsa dan negara serta dalam upaya untuk mencegah wabah Covid-19. Siapa pun dan apa pun profesinya, seluruh elemen bangsa harus semangat berkurban dengan melepaskan egonya dan bersinergi dalam mengelola bangsa.

Sebagai penggiat media cetak, elektronik dan sejenisnya, berkurban dengan menyajikan informasi dan berita yang menyejukkan (bukan provokatif) dan dapat dipertanggungjawabkan (bukan hoaks).

Seorang pengusaha, berkurban dengan bisnis yang halal dan memberikan hak kepada karyawan sebelum keringatnya mengering. Sebagai orang yang berpunya (kaya), berkurban dengan banyak berderma.

Sebagai orang tua, berkurban dengan menjadikan keluarga sebagai ladang penyiapan generasi yang berakhlakul karimah. Sebagai anak, berkurban dengan berbakti kepada orang tua, membahagiakan, dan menjaga nama baik keluarga.

Sebagai guru, berkurban dengan mengerahkan seluruh potensi untuk membentuk siswa yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Sebagai siswa, berkurban dengan mengerahkan seluruh potensi untuk menyerap ilmu dan mengamalkan, berbakti kepada guru, menjaga nama baik almamater, dan mempersiapkan diri untuk turut dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai pemimpin, berkurban dengan memberikan hak dan tidak menelantarkan rakyatnya, dan akan bekerja keras untuk mengantarkan kepada kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan sejahtera.

Sebagai rakyat, berkurban dengan mengerahkan kemampuan untuk mendukung setiap program dan kebijakan yang berorientasi untuk kemaslahatan rakyat dan akan mengingatkan terhadap segala bentuk penyimpangan.

Sebagai politisi (anggota legislatif), berkurban dengan memeras pikiran dan tenaga untuk kemaslahatan rakyat yang memberi mandat, bukan memanfaatkan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya.

Sebagai pejabat, berkurban dengan memberikan pelayanan prima, bukan malah memanfaatkan untuk memperkaya diri dengan meminta imbalan, padahal telah digaji oleh negara yang berasal dari uang rakyat.

Sebagai apa pun kita, berkurban untuk memberikan manfaat kehidupan yang lebih besar kepada umat, bangsa, dan negara. Puncak kebaikan itu manakala seseorang mampu memberikan manfaat seluas-luasnya untuk kepentingan umat.

Jika semangat berkurban ini dijadikan spirit dalam membangun bangsa dan mengendalikan wabah Covid-19 maka dapat mengantarkan kepada kehidupan yang lebih baik dan terbebas dari wabah Covid-19.

Wallahu a’lam.

OLEH IMAM NUR SUHARNO

KHAZANAH REPUBLIKA

Para Sahabat Nabi yang Wafat Akibat Terjangkit Wabah Amwas

Pandemi Corona tak kunjung usai menimpa Indonesia. Virus ini terus bermutasi.  Melahirkan virus varian baru. Jauh lebih ganas dan lebih mematikan. Angka terjangkit Covid-19 pun tembus dua jutaan. Kini, tsunami Covid-19 melanda Indonesia. Ngerinya, Corona kini menjalar ke pelbagai daerah. Rumah sakit penuh. Petugas medis kewalahan.

Pandemi akibat wabah, bukanlah hal baru bagi umat Islam. Tercatat, wabah Tha’un Amwas, sempat melanda pada masa awal Islam. Wabah ini terjadi masa tampuk kekuasaan di bawah Khilafah Umar bin Khattab. Wabah thaun amwas terjadi di tahun 18 Hijriah.

Syaikh Al Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan, mengatakan wabah ini dinamakan dengan Tha’un ‘Amwas, karena wabah ini muncul dari sebuah daerah bernama Amwas. Sebuah wilayah yang terletak di negeri Syam—atau lebih dikenal sekarang dengan sebutan Suriah.

Wabah penyakit Amwas yang terjadi pada tahun 18 Hijriah menimbulkan korban jiwa yang banyak. Dalam Wabah ini menelan korban hingga 15.000 Jiwa. Syaikh Al Baladzuri menyebutkan banyak para sahabat Nabi yang meninggal dunia akibat virus Amwas.

Berikut daftar nama sahabat Nabi yang wafat akibat pandemi Amwas.

  • Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Seorang sahabat Nabi, teman karib Umar bin Khattab. Kala itu, Abubaidah menjabat sebagai panglima perang seluruh pasukan Islam di Syam. Ia menghembuskan nyawa di usia 58 tahun.
  • Muadz bin Jabal. Sahabat Nabi yang warak dan alim. Banyak meriwayatkan hadis dari Baginda Nabi. Ia wafat di daerah Aqhuwan bagian Yordania dalam usia cukup muda 38 tahun. Menurut satu riwayat, ketika Abu Ubaidah sedang sakit, ia menunjuk Muadz bin Jabal sebagai pengganti sebagai komando perang.
  • Al Fadhal bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, seorang sepupu Nabi Muhamad. Ia memiliki kuniyah (panggilan) Abu Muhammad. Keluarga terdekat Nabi Muhammad. Anak paman Nabi bernama Abbas bin Abdul Muthalib. Ia meregang nyawa akibat kekejaman wabah Amwas.
  • Syurahbil bin Hasanah , memiliki panggilan akrab dengan nama Abu Abdillah. Ia sahabat Nabi yang ikut dalam penaklukan Syam, dan mati dalam usia 69 tahun.
  • Harist bin Hisyam bin Mughiroh Al Makhzumi. Ia wafat terkena wabah Amwas. Namun ada juga yang meriwaytakan cerita versi lain, Harist bin Hisyam mati syahid dalam peperangan Ajnadain.
  • Suhail bin Amru, mati akibat pandemi Ia memilki kuniyah Abu Yazid. Semasa hidupnya, Suhail orang yang terpandang dari Bani Luay.

Inilah Para sahabat yang gugur akibat wabah Amwas. Tentu, bukan ini saja daftar sahabat yang meninggal. Masih banyak yang lain. Mereka yang mati akibat ganasnya pandemi.

BINCANG SYARIAH

Amal dan Iman

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baaz

Pertanyaan:

Samahatus Syaikh, sebagian orang ada yang berpendapat bahwa amal bukan termasuk rukun (pilar) keimanan. Menurut mereka, amal adalah bagian penyempurna (iman) saja. Sejauh mana kebenaran pendapat ini?

Jawaban:

Dalam masalah amal, ada perinciannya. Sebagian amal ada yang termasuk pokok keimanan, dan sebagian yang lain termasuk penyempurna atasnya. Iman adalah ucapan dan amalan, ia bertambah dan berkurang. Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari ucapan dan amalan. Ia bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

Salat adalah iman. Zakat adalah iman. Puasa adalah iman. Haji adalah iman. Amar ma’ruf dan nahi munkar pun (termasuk) iman. Demikian seterusnya. Meskipun demikian, sebagian diantaranya ada yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya tergolong pelaku maksiat (dan tidak menjadi kafir, pent).

Orang yang tidak menunaikan zakat (misalnya) menjadi termasuk pelaku maksiat dan bukan kafir. Atau orang yang membatalkan puasa Ramadan tanpa uzur, maka dia pun termasuk pelaku maksiat namun tidak menjadi kafir berdasarkan pendapat yang benar. Atau orang yang menunda-nunda ibadah haji padahal dia mampu, maka dia termasuk pelaku maksiat dan tidak menjadi kafir.

Adapun orang yang meninggalkan salat, maka menurut pendapat yang benar (lebih kuat) dia adalah kafir. Melakukan sujud kepada selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir. Orang yang mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, dia pun dihukumi kafir. Menyembelih untuk -persembahan kepada- selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir.

Penerjemah: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/66867-amal-dan-iman.html

Setelah Salat Tahiyatul Masjid Apakah Perlu Shalat Qabliyah Subuh?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah yang perlu dilakukan oleh orang yang ketika waktu subuh memasuki masjid, apakah dia salat sunnah tahiyatul masjid dulu kemudian salat sunnah qobliyah subuh? Ataukah cukup baginya salat sunnah qobliyah subuh?

Jawaban:

Yang lebih utama adalah cukup salat sunnah qobliyah subuh saja, kerena 2 rakaat salat sunnah qobliyah subuh telah mewakili salat tahiyatul masjid. Sebagaimana salat fardhu telah mewakili salat tahiyatul masjid. Contohnya: jika Engkau datang ke masjid, sedangkan salat fardhu sedang dilaksanakan, maka Engkau langsung ikut melaksanakan salat fardhu bersama jama’ah. Sehingga hal tersebut juga telah mewakili salat tahiyatul masjid.

Yang diperintahkan oleh syariat adalah tidak boleh duduk di masjid kecuali telah melaksanakan salat 2 rakaat. Dengan demikian, maka salat sunnah qobliyah subuh telah mencukupi hal tersebut. Jika Engkau datang ke masjid, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan salat fardhu berjamaah, lalu Engkau ikut melaksanakan salat fardhu, maka salat fardhu tersebut telah mencukupi perintah tersebut sehingga tidak perlu lagi salat tahiyatul masjid.

Namun, apabila Engkau tetap mau melaksanakan salat tahiyatul masjid dulu, kemudian dilanjutkan dengan salat sunnah qobliyah subuh, maka ini hukumnya boleh-boleh saja. Akan tetapi, ini meninggalkan cara yang lebih utama. Yang lebih utama adalah cukup dengan 2 rakaaat salat sunnah qobliyah subuh saja, karena itu telah mewakili salat tahiyatul masjid. Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu ketika subuh hanya melaksanakan 2 rakaat salat sunnah qobliyah subuh saja (kemudian salat fardhu subuh). Oleh karenanya, setiap salat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan ketika masuk waktu subuh maka itu adalah salat sunnah qobliyah subuh.

Maka sekali lagi yang lebih utama adalah tidak menambah dari 2 rakaat. Apabila kita salat 2 rakaat dengan niat salat sunnah qobliyah subuh, maka juga mencukupi sehingga tidak perlu salat tahiyatul masjid lagi.

Akan tetapi, jika Engkau salat rawatib di rumah, semisal salat sunnah qobliyah subuh di rumah, kemudian Engkau datang ke masjid sebelum iqamah dikumandangkan, maka pada saat itu Engkau salat tahiyatul masjid sebelum Engkau duduk. Karena pada saat itu Engkau tidak lagi memiliki kesempatan untuk salat sunnah qobliyah subuh dikarenakan telah melaksanakannya di rumah. Maka cukup engkau salat tahiyatul masjid, kemudian duduk.

Sumberhttps://binbaz.org.sa/fatwas/17857/

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Sumber: https://muslim.or.id/66797-setelah-shalat-tahiyatul-masjid-apakah-perlu-shalat-qabliyah-subuh.html

Muslim Kenya Sedih tak Bisa Berhaji Tahun Ini

Umat Muslim di Kenya merasakan kesedihan yang dalam ketika mendengar kabar tentang penyelenggaraan pelaksanaan haji tahun ini  kembali ditiadakan. Rajab Rama seorang pengusaha Muslim Kenya berusia 48 mengaku kecewa ketika ia mengetahui pupusnya kesempatan berhaji tahun ini.

Ia bersama Muslim lainnya mengetahui kabar itu dalam pelaksanaan sholat Jumat di Masjid Al Aksa Kenya pekan lalu. Peniadaan haji tahun ini bagi jamaah luar negeri karena kebijakan pembatasan Covid-19 yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi. 

Ketua Dewan Tertinggi Muslim Kenya (Supkem) Hassan Ole Naado mengonfirmasi kepada Muslim Kenya dewan tersebut telah menerima berita tentang pembatalan haji 2021 untuk jamaah haji internasional sebagai tanggapan atas pandemi virus corona. Ole Naado mengatakan kepada media lokal salah satu pelajaran pembatalan haji tahun lalu dan tahun ini adalah bahwa itu adalah ketetapan ilahi. Ia menambahkan hanya Allah yang memilih mereka yang akan menjadi tamu-Nya untuk haji.

“Dewan Tertinggi Muslim Kenya telah menerima berita tentang pembatalan haji bagi jemaah haji internasional untuk musim 2021. Kami telah menerima itu adalah desain ilahi Allah bahwa orang banyak akan lagi tahun ini tidak melakukan haji. Kerajaan Arab Saudi hanya memainkan naskah yang ditahbiskan oleh Pencipta kita jauh sebelum penciptaan alam semesta,” katanya.

Ole Naado meminta Muslim Kenya berserah kepada Allah agar dapat diterima untuk haji di masa depan. Hafeez Mohammed (62 tahun) yang berkecimpung dalam bisnis mobil juga mengungkapkan kekecewaannya.

“Saya sudah beberapa kali pergi umroh. Setiap ada kesempatan, saya selalu berangkat umroh dan haji. Secara pribadi, saya merasa seperti saya benar-benar terbiasa menerima ini begitu saja. Sekarang saya sedih untuk semua orang yang selalu ingin pergi haji. Saya bersyukur kepada Allah atas kesempatan yang saya miliki,” katanya.

“Arab Saudi telah bekerja dengan baik untuk memerangi pandemi. Betapa saya berharap jumlah (orang Nigeria yang diizinkan untuk pergi haji) bisa 10 kali atau bahkan 20 kali lebih banyak. Ini adalah tempat yang besar, berventilasi baik dan dapat menampung banyak orang tanpa menyebarkan penyakit,” katanya.

Pemerintah Saudi mengatakan dalam siaran pers baru-baru ini haji tahun ini akan dibatasi untuk penduduk dan ekspatriat di Kerajaan Arab Saudi. Jumlah total jamaah haji tahun ini dibatasi hanya 60 ribu orang, termasuk semua kebangsaan dan warga negara di dalam Kerajaan Arab Saudi.

IHRAM

Jika Allah Maha Penyayang, Mengapa Masih Ada Penderitaan?

Allah SWT ‘digambarkan’ sebagai Yang Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Penyayang, sebagaimana yang dikemukakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut.

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hijr (15): 86.)

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. al-Mulk (67): 1.)

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ۖ هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hasyr (59): 22.)

Dengan demikian, berarti Allah yang Maha Mengetahui, maka Allah tahu bahwa kita menderita. Allah yang Maha Kuasa, berarti Allah bisa menghentikan penderitaan kita. Allah yang Maha Penyayang, berarti Allah tidak ingin kita menderita. Namun, pada kenyataannya, kita masih menderita. Apakah Allah tidak benar-benar memiliki sifat-sifat tersebut?

Tidak sedikit orang yang religius, shalatnya rajin, akan tetapi nasibnya apes melulu, sementara dia yang berfoya-foya hingga lupa shalat malahan tajir melintir dan merasa senang sekali kehidupannya. Seorang mahasiswa yang jujur jadinya tidak lulus-lulus, sementara dia yang menyontek bisa lulus malahan dapat A. Apa salahnya orang Palestina sehingga dari dulu hingga sekarang masih saja diberi serangan-serangan yang amat kejam dari Israel? Tega sekali.

Pembahasan mengenai problem-problem tersebut dalam dunia filsafat dinamakan “Teodisi”. Istilah tersebut dimunculkan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman, Gotfried von Leibniz, dalam sebuah karya berbahasa Prancis. Tujuan esai itu untuk menunjukkan bahwa kejahatan di dunia yang menjadikan lahirnya penderitaan itu tidak bertentangan dengan kebaikan Allah. Meskipun banyak kejahatan, dunia tetap dalam kondisi paling indah dan menyenangkan, begitulah ungkapnya.

Problem mengenai kejahatan tersebut diinspirasi oleh filsuf dari zaman Hellenistik yaitu Epicurus dengan ungkapkannya sebagaimana berikut.

“Apakah Tuhan mau, tapi tidak mampu melenyapkan kejahatan? Berarti Tuhan tidak Maha Kuasa. Apakah Tuhan mampu, tapi tidak mau melenyapkan kejahatan? Berarti Tuhan tidak Maha Penyayang atau Maha Baik. Jika Tuhan mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada kejahatan? Atau jika Tuhan tidak mampu dan tidak mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih disebut Tuhan?”

Untuk menunjukkan bahwa kejahatan di dunia yang menjadikan lahirnya penderitaan itu tidak bertentangan dengan kebaikan Allah, Leibniz berasumsi bahwa Allah itu tidak akan menciptakan dunia yang sempurna sebab hanya Dia-lah yang sempurna. Sedangkan yang diciptakan Allah adalah “Dunia terbaik yang mungkin ada”. Dunia ini sudah pas bagi manusia, sudah porsional dan proporsional, lebih atau kurang dari ini sudah tidak baik lagi. Baginya, tidak ada sesuatu yang benar-benar jahat, segala hal ada alasannya. Selalu ada hikmah dibalik segala sesuatu yang terjadi di dunia ini yang menjadikan kita lebih baik lagi ke depannya.

David Hume, filsuf Inggris masa pencerahan, membantah argumen tersebut. Model Leibniz, dengan keimanannya, kalau Allah Maha Baik diasumsikan kalau Allah pasti punya dasar baik, punya alasan yang baik. Mungkin seolah-olah logis, padahal tidak. Kejahatan dengan sifat-sifat Tuhan itu jelas sangat kontras. Kalau kita meyakini kejahatan itu ada, berarti kita harus menerima kalau Tuhan itu Tidak Maha Kuasa atau Tidak Maha Penyayang.

Tokoh filsuf sekaligus teolog di era skolatik, Thomas Aquinas, setuju akan adanya kejahatan secara logis membawa kepada kesimpulan tidak kuasanya Allah tidak penyayangnya Allah. Meskipun demikian, kalau Hume menjadi ateis, Aquinas tetap beriman kepada Tuhan. Alasannya, argument logis itu hanya valid kalau kita menerima konsep kebaikan Tuhan yang tidak terbatas sebagai bagian dari definisi tentang Tuhan, dan saat kita berbicara tentang kebaikan Tuhan, kita menunjuk kepada kebaikan manusia.

Kita meyakini Allah itu Maha Baik, kebaikan Allah itu seperti apa? Itu lah kata kuncinya. Kita memahami kebaikan, itu ya versi manusia. Versi Allah sendiri mungkin berbeda. Lihatlah pada sesuatu yang versi kita tidak baik, sementara versi hewan baik, juga berlaku sebaliknya. Contohnya bagi kita, membunuh itu tidak baik, akan tetapi laba-laba setelah kawin pasti yang jantan dibunuh, itu hukum alamnya dan mungkin memang baik bagi laba-laba itu sendiri.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah (2): 216)

Allah Sang Pencipta segalanya, Dia Maha Kuasa lagi Maha Penyayang, mengapa ada kejahatan yang menderitakan, pertanyaannya adalah manusia itu bebas, bukan? Saat dia memilih untuk melakukan kejahatan, mengapa Allah harus bertanggung jawab? Kalau manusia diberi kebebasan memilih, maka harus ada pilihan. Sungguh tidak mungkin hanya yang baik saja yang tersedia. Kebebasan untuk memilih mau yang baik, yang sangat baik, yang biasa-biasa saja, yang buruk, atau yang keji. Kalau kebebasan dikatakan ada, tanpa adanya opsi untuk dipilih, ya, sama saja bohong. Bukan begitu?

Tanpa adanya kejahatan, tidak akan ada yang namanya kebaikan. Berterimakasihlah pada yang jelek sehingga menjadikan kita cakep; andaikata tidak ada mereka, kita ya biasa saja; kasarannya semacam itu. Ketika bohong tidak ada, maka kejujuran tidak ada nilainya. Kejujuran, ketulusan, kedermawanan, dan lain sebagainya yang dikonotasikan sebagai yang baik menjadi berharga sehingga kita diusahakan untuk bisa bersifat demikian itu baik oleh diri sendiri atau tekanan norma dalam hidup bersama, karena ada sebaliknya. Lantas bagaimana dengan bencana alam, sehalnya COVID-19 yang tak kunjung tuntas?

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah (2): 29.)

Alam semesta didedikasikan untuk manusia dan sebagai media menuju kesempurnaan moral manusia. Hadirnya COVID-19, merupakan ujian menuju kesempurnaan moral bagi yang mengalami. Karena ketika kita sedang enak mungkin dengan mudahnya kita mengklaim lillahi ta’ala dan qona’ah atas segala yang diberikan Allah, namun saat kita susah apakah kita tetap teguh atau malah akan merengek-rengek?

Selain itu, secara umum hadirnya bencana alam merupakan moral-warning, peringatan dan pembelajaran bagi yang tidak mengalaminya. Kadang kala bencana alam datang sebagai hukuman bagi mereka yang durhaka dan tidak bermoral.

Dengan demikian, kita ketahui bahwa dalam kehidupan itu harus ada kekacauan, kejahatan, yang semua itu membawa pada penderitaan bahkan kesengsaraan, setelah semua itu selesai maka lahirlah keseimbangan yang menuju kebaikan yang lebih dari sebelumnya. Dan karena manusia terbatas dengan aksesnya, Allah-lah yang bisa melihatnya secara holistik. Dunia ini pun berawal dari kekacauan, bukan? Atau maukah kita hidup berbarengan dengan dinosaurus?

Allah tahu, berkuasa, dan sayang kepada kita semua atas penderitaan itu, akan tetapi jangan lupa bahwa Allah itu bijaksana. Dengan hukum alam atau sunatullah yang diciptakan-Nya semua itu menggambarkan keteraturan dan keharmonisan yang indah. Tetap adanya penderitaan itu supaya manusia dengan kesadarannya menyadari bahwa dirinya itu terbatas. Allah bisa sewaktu-waktu intervensi terhadap hukumnya itu. Maka, ayolah lebih-lebih mendekat lagi pada Allah!  (AN)

Wallahu a’lam.

ISLAMI

Hukum Hutang Piutang dalam Islam

 Hukum hutang piutang dalam Islam itu boleh (mubah). Memberi pinjaman hutang bisa menjadi sunah karena dengan memberi pinjaman, kreditor (pemberi pinjaman) bisa memberikan manfaat kepada debitur (peminjam), memenuhi kebutuhannya dan membantu menyelesaikan masalahnya.

Hukum dasar tersebut bisa berubah sesuai dengan kondisi debitur, jika debitur adalah orang yang sangat membutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup, dan kreditor adalah orang yang mampu, maka dia wajib memberi pinjaman hutang.

Jika kreditor tahu bahwa debitur akan menggunakan uang pinjaman tersebut untuk kebutuhan yang haram atau makruh, maka memberi pinjaman hukumnya haram atau makruh.

Jika berhutang untuk menambah modal usaha supaya bisnisnya tamba maju dan mendapat keuntungan lebih, maka memberi pinjaman hukumnya adalah mubah.

Kemudian hukum berhutang berikutnya, jika debitur yang merasa mampu mengembalikan dan beriktikad untuk mengembalikan, hukum berhutang adalah mubah. Jika sudah memperkirakan tidak mampu segera membayar, maka tidak diperbolehkan berhutang, kecuali dalam kondisi darurat.

Konsekuensi dari akad hutang piutang adalah, debitur diwajibkan membayar hutangnya. Jika hutang tersebut tidak tempo, maka wajib segera membayar ketika ditagih selama debitur mampu membayar. Jika hutangnya tempo, debitur tidak wajib membayar sebelum jatuh temponya, namun diperbolehkan membayar sebelum jatuh tempo, dan dengan demikian tanggungan debitur telah gugur.

BINCANG SYARIAH