Pernahkah kita dengar apa yang dimaksud sederhana dalam beribadah? Sebelum menjawab itu, saya ingin menyampaikan bahwa beribadah adalah pokok utama kehidupan seorang muslim. Bahkan, ulama mengatakan ibadah diperuntukkan bagi kalangan jin dan manusia yang menginginkan kebahgaiaan, dan kemaksiatan diperuntukkan bagi mereka yang ditakdirkan untuk mengemban kesengsaraan. Hal tersebut setidaknya yang disampaikan oleh Al-Baghawy saat menafsirkan ayat berisi perintah ibadah pada surat al-Dzariyat ayat 56.
Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alim al-Tanzil menjelaskan bahwa beribadah berarti merendahkan diri di hadapan sang pencipta. Setiap makhluk tunduk kepada keputusan Allah Swt, pasrah atas segala kehendaknya tanpa punya otoritas untuk keluar dari suratan-Nya. Ulama lain menjelaskan bahwa beribadah berarti mengesakan Allah Swt, orang beriman adalah mereka yang mengesakan Allah baik pada masa susah dan senang, sedangkan kafir adalah mereka yang mengesakan Allah pada masa sulit dan melupakan-Nya pada masa senang.
Ibadah yang kita tunaikan kadang proporsional, namun dalam beberapa hal terkadang berlebihan. Dalam beberapa kasus, seorang muslim bertindak berlebihan dalam beribadah. Hal ini biasanya terjadi lantaran tidak didampingi dengan ilmu pengetahuan. Beribadah harus menggunakan ilmu, agar kuat pijakannya.
Sebagai contoh adalah yang terjadi di Lembah Bamiyan, Afghanistan. Sebagaimana diungkapkan oleh Agustinus Wibowo dalam catatan perjalanannya mengelilingi Afghanistan, ia berkisah dalam bukunya Selimut Debu bahwa di Lembah Bamiyan terdapat segolongan umat Islam yang mempercayai bahwa dengan menceburkan diri ke dalam danau (danau Band e-Amir) di daerah tersebut maka akan disembuhkan penyakitnya dan mendapat banyak rahmat. Padahal, danau yang dimaksud memiliki air yang sangat dingin dan menyiksa badan, bahkan bisa berujung kepada kematian. Namun mereka kerap melakukan hal tersebut. Ritual yang mereka laksanakan semata-mata didasari oleh mitos yang menyebar di kalangan mereka (Agustinus, 2011:431-434)
Contoh lain adalah orang yang berlebihan beribadah adalah ia memaksakan diri demi menunaikan suatu ibadah, dan mengabaikan dispensasi yang berhak baginya. Seperti seorang yang diberikan keleluasaan untuk berbuka puasa dalam perjalanan. Karena ingin mendapatkan keutamaan, ia memaksa untuk berpuasa, padahal dirinya sudah sangat kelelahan. Akhirnya, keesokannya ia sakit dan tidak mampu menunaikan kewajiban-kewajiban lain dengan maksimal.
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani menjelaskan bahwa Anjuran agar tidak berlebihan dalam beribadah bukan bermaksud mencegah kita untuk memaksimalkan ibadah kita, hal tersebut malah mulia. Yang dimaksud dari larangan memaksa diri berlebihan dalam beribadah adalah mencegah kita dri hal yang berlebihan sehingga bisa mengantarkan kepada keletihan atau kebosanan
Jamal Ahmed Badi, dalam syarahnya atas kitab Arbain al-Nawawi berjudul Commentary of Forty hadiths Of An-Nawawi, saat menjelaskan makna hadis nomor 3 dalam kitab tersebut mengatakan bahwa beribadah haruslah dipandu oleh syarat-syarat, rukun-rukun serta adab-adab yang sudah diatur oleh syariat. Hal ini penting karena amalan tanpa dasar syariat akan tertolak.
Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa melakukan suatu perkata baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari Muslim)
Perlunya Sederhana dan Proporsional dalam Beribadah
Dalam kitab Riyadh al-Shalihin, Imam al-Nawawi membuat sebuah bab khusus berjudul Al-Iqtishad fi al-Ibadah, sederhana dalam beribadah. Melalui ayat-ayat dan hadis-hadis yang disitirnya, Imam al-Nawawi secara eksplisit menegaskan bahwa dalam beribadah seorang muslim dianjurkan untuk sederhana dan proporsional, bekerja sesuai ritme, sehingga ibadah yang dilaksanakan mampu berlangsung maksimal dan khidmat.
Terdapat 2 ayat dan 11 hadis yang dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam bab tersebut yang diambil dari berbagai kitab induk hadis.
Dua ayat yang dinukil oleh Imam al-Nawawi dalam bab ini adalah surat Thaha ayat 1 dan surat surat al-Baqoroh ayat 185, masing-masing memiliki terjemahan sebagai berikut,
مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ
“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.”
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Melalui dua ayat tersebut, Imam al-Nawawi hendak menegaskan bahwa beragama perlu dilaksanakan dengan maksimal, namun ia tidak mesti menjadikan susah orang yang melaksanakannya.
Melengkapi maksud ayat di atas, dicantumkan berikutnya hadis-hadis yang bersinggungan dengan tema terkait. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw,
“Suatu Ketika datang sekelompok orang menuju rumah isteri-isteri Nabi, mereka menanyakan perihal ibadah Nabi Saw. Tatakla mereka diberitahukan soal ibadah Nabi, mereka menilai hal tersebut sebagai sedikit. Dan seorang dari mereka berkata, “Di mana posisi kita dibanding Nabi Saw? Sedangkan beliau adalah sosok yang telah diampuni dosa yang telah lampau dan yang akan datang!
Kemudian berkata salah seorang dari mereka, “Saya akan shalat sepanjang malam penuh tanpa jeda!” yang lain berkata, “Saya akan puasa selama setahun penuh tanpa berbuka!” yang lain berkata, “Saya akan menjahui perempuan dan tidak akan menikah selamanya!” Kemudian datang Rasulullah Saw dan berkata kepada mereka, “Kalian yang ngomong seperti tadi? Demi Allah Adapun saya adalah orang paling takut di antara kalian kepada Allah Swt dan saya adalah yang paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Barangsiapa yang benci akan sunnahku maka ia bukan bagian dariku.” (HR. Bukhari).
Segenap sahabat yang menginginkan ibadah tanpa henti tersebut ditegur oleh Rasulullah Saw langsung agar tetap stabil dalam beribadah, tidak memaksa diri sehingga melalaikan yang lain. Hal ini tentu merupakan salah satu upaya Nabi menjelaskan bahwa syariat Islam tetap berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan, dan bahwa koridor tersebut telah disesuaikan dengan kadar kemampuan kita sebagai manusia yang memiliki berbagai kesibukan kehidupan, sehingga ia tidak memberatkan. Bayangkan jika Rasulullah membenarkan seseorang tersebut untuk berpuasa selama setahun tanpa berbuka sedangkan badannya perlu diasup makanan, untuk shalat sepanjang malam tanpa tidur sedangkan besoknya ia berkewajiban mencari nafkah, untuk tidak menikah selamanya sedangkan pengadaan keturunan manusia harus terus berlanjut?
Mustafa Said al-Khan dalam Nuzhat al-Muttaqien Syarh Riyadh al-Shalihin memetik pelajaran dari hadis tersebut perihal perlunya moderat dan sederhana dalam beribadah dan agar senantiasa mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Saw dalam memahami hakikat beribadah kepada Allah Swt (1987:167)
Hadis lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu juhayfah Wahb ibn Abdullah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Saw mempersaudarakan Salman al-Farisi dengan Abu al-Darda’. Suatu ketika Salman mengunjungi Abu al-Darda’, ia mendapati bahwa Umm al-Darda’ berpakaian ala kadarnya (tidak bersolek). Kemudian ia berkata, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu al-Darda’ tidak ada minat terhadap dunia.”
Kemudian datang Abu al-Darda’, membuatkan untuk Salman seporsi makanan, kemudian ia berkata, “Makanlah, wahai Salman, sesungguhnya saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sampai kamu juga ikut makan,” maka kemudian ia ikut makan. Tatkala tiba malam, Abu al-Darda’ bangun (hendak melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata, “Tidurlah” Kemudian ia tidur. Kemudian Abu al-Darda’ hendak bangun lagi (dengan niat yang sama, yakni melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata padanya, “Tidurlah”
Kemudian, tatkala tiba akhir malam, Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sekarang bangunlah,” maka keduanya menunaikan shalat malam bersama. Kemudian Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliku hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, maka tunaikanlah setiap hak tersebut pada tempatnya” Kemudian datang Rasulullah Saw dan ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi, Nabi bersabda, “Telah benar Salman.”
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas menjelaskan posisi Nabi yang membenarkan Salman melarang saudaran Abu al-Darda’ untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, jika dengan hal tersebut malah akan memudaratkannya. Hal ini sebagaimana disimpulkan oleh Mustafa Said al-Khan dari hadis tersebut perihal kebolehan pelarangan pelaksanaan ibadah-ibadah mustahabb (yang dianjurkan, sunnah) jika hal tersebut berdampak pada penghilangan hak-hak yang seharusnya ditunaikan.
Ibadah yang kita lakukan seyogyanya dilaksanakan dengan khidmat dan sesuai dengan kadar kondisi dan kemampuan kita. Selain dituntut mengerjakan hal-hal yang wajib, kita juga sangat dianjurkan melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai pelengkap ibadah wajib kita. Kendati demikian, kita tetap perlu menakar diri agar ibadah yang kita lakukan tidak membuat kita bosan, kita perlu menjaga ritme ibadah kita agar senantiasa terasa khidmat, dan kita perlu berhati-hati agar tidak menjadi golongan yang berlebihan dalam beribadah.
Rasulullah Saw bersabda,
“هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakalah orang-orang yang ekstrim (berlebihan)!” Beliau mengucapkannya tiga kali.” (Hadis Riwayat Muslim)
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Nawawi, makna berlebihan dalam hadis di atas adalah melebihkan sesuatu (ibadah) bukan pada tempatnya. Semoga kita semua tergolong sebagai umat Rasulullah Saw yang mampu mengikuti sunnah-sunnahnya dengan khidmat dan maksimal.
BINCANG SYARIAH