Doa dari Syekh Abu Bakar Syatha Dimyati Agar Terhindar dari Penyakit Mata dan Buta

Mata anugerah terindah Tuhan pada manusia. Dua biji mata membuat manusia mampu melihat alam semesta dan keindahannya. Pun dengan bola mata, manusia bisa tadabbur, akan kebesaran ciptaan Tuhan.

Nah, bila mata sakit, manusia akan mengeluh. Rasa sakit yang dirasa. Dengan segera mencari dokter untuk berobat. Atau mendatangi tabib untuk meminta ramuan. Apa sebab? Tak mampu melihat merupakan sesuatu yang menakutkan.

Untuk itu segala hal dilakukan manusia untuk  menjaga matanya agar tak sampai sakit, apalagi sampai mengalami rabun. Terlebih mengalami kebutaan. Nah, para ulama Islam memberikan amalan dan doa agar terhindar dari penyakit mata dan buta.

Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha al Dimyati al Bakri  dalam kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, memuat doa agar terhindar dari penyakit mata dan buta. Doa itu dibaca ketika muazzin selesai mengucapkan “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah”. Berikut penjelasan lengkapnya;

وفى الشنواني ما نصه من قال حين يسمع قول المؤذن أشهد أن محمدا رسول الله مرحبا بحبيبي وقرة عيني محمد بن عبد الله صلى الله عليه وسلم ثم يقبل إبهاميه ويجعلها على عينيه لم يتم ولم يرمد أبدا

Artinya; penjelasan dari kitab asy-Syanwani disebut: siapa saja diketika mendengar muazzin pada azannya melantunkan kalimat, Asyhadu anna Muhammad Rasulullah, kemudian ia membaca do’a di bawah ini kemudian ia cium kedua ibu jarinya dan di usapkan kedua ibu jari tersebut pada dua matanya maka dengan dengan izin Allah swt ia akan terhindar dari buta dan sakit mata untuk selamanya.

Nah adapun doa tersebut adalah sebagai berikut ini :

مَرْحَبًا بِحَبِيْبِيْ وَقُرَّةِ عَيْنِيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Marhaban bi habibi wa qurrata ‘aini Muhammad ibni ‘Abdillah

Artinya; Selamat datang kekasih dan penyejuk mataku, Muhammad bin Abdullah

Nah sejatinya doa ini cocok diamalkan mereka yang juga terkena penyakit mata. Diamalkan secara rutin setiap hari. Dengan rahmat dan bantuan, sakit mata tersebut bisa sembuh. Pun juga  dianjurkan diamalkan mereka yang sehat, agar senantiasa terlindungi dari sakit mata dan kebutaan.

Demikian, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Jangan Mengobrol dan Nyanyi Saat Buang Hajat, Ini Alasannya

Rasulullah SAW mengajarkan tak mengobrol saat buang hajat

Ketika buang air kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB) di jamban maka janganlah membuat kegaduhan. 

Semisal BAK atau BAB sambil ngobrol dengan orang lain yang berada di luar jamban, atau berteriak-teriak di jamban, atau pun bernyanyi. Maka semua perbuatan tersebut dilarang dilakukan oleh Muslim.  

Dan sering terjadi di toilet umum adalah orang mengobrol dengan temannya yang sama-sama sedang BAK. Ini sangat dilarang dalam Islam. Bahkan mengobrol ketika buang air itu bisa menjadi sebab datangnya murka Allah SWT.  Sebagaimana kitab At-Targhib wa At-Tarhib menjelaskan:

وَكَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنِ التَّحَدُّثِ عَلَى قَضَاءِالْحَاجَةِ وَيَقُوْلُ لَا يَخْرُجُ الرَّجُلَا نِ يَضْرِبَانِ الْغَائِطَ كَاشِفَيْنِ عَوْرَتَيْهِمَا يَتَحَدَّثَانِ فَاِنَّ اللَّهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ.

Rasulullah ﷺ melarang mengobrol ketika buang hajat. Dan Nabi bersabda: Janganlah dua orang bersama-sama membuang hajat sambil keduanya membuka aurat lalu sambil mengobrol keduanya. Karena sesungguhnya Allah membenci atau memurkai perbuatan itu.  

Dari keterangan di atas maka ketika buang air kecil atau besar lakukanlah dengan memusatkan perhatian pada buang hajat. Jika telah selesai maka segeralah beristinja dan jangan sampai ada najis yang masih melekat atau menempel atau tersisa. 

Lebih baik mengabaikan sejenak orang yang mengajak berbicara ketika kita sedang buang air kecil atau besar terlebih ketika berada di toilet umum.   

KHAZANAH REPUBLIKA

8 Wasiat Nabi Muhammad SAW Agar Jadi Umat Terbaik

Rasulullah SAW memiliki wasiat bagi pengikutnya agar menjadi umat terpilih dan umat terbaik yang menjadi teladan bagi segenap umat manusia. 

Kedelapan wasiat tersebut di antaranya sebagaimana disarikan dari sejumlah hadits Rasulullah SAW seperti dikutip dari elbaladnews:  

Pertama, sebaik-baiknya orang adalah dia yang paling baik memperlakukan keluarganya. Dalam hadits riwayat Tirmidzi disebutkan:  

خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي Aisyah RA bersabda, “Rasulullah SAW berasabda, “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.

Perlakuan Rasulullah terhadap istri-istrinya pun menjadi teladan. Beliau sering membantu pekerjaan sang istri, dalam satu hadits dikisahkan:  

 الأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصْنَعُ فِى أَهْلِهِ قَالَتْ كَانَ فِى مِهْنَةِ أَهْلِهِ ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ

Dari Al Aswad, dia bertanya pada Aisyah RA, “Apa yang Nabi SAW lakukan ketika berada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah SAW biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu sholat, beliau berdiri dan segera menuju sholat.” (HR  Bukhari)

Kedua, memilih makanan yang baik 

خياركم من أطعم الطعام ورد السلام “Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan dan menjawab salam.”

Ketiga, fokus akhirat 

خيركم من لم يترك آخرته لدنياه “Sebaik-baik kalian adalah yang tidak meninggalkan akhiratnya untuk dunia.”

Keempat, mengajarkan Alquran 

خيركم من تعلم القرآن وعلمه “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Alquran.”

Kelima, memilih pasangan

خياركم خياركم لنسائهم خلقًا “Sebaik kalian adalah yang mampu memilih pasangan terbaik dengan melihat akhlak seorang wanita.“

Keenam,  tidak menebar kejahatan

 خيركم من يؤمن شره “Sebaik-baik kalian adalah yang keburukannya aman dari orang lain.”  

Ketujuh, menebar kebaikan 

خيركم من يرجى خيره “Sebaik-baik kalian adalah yang kebaikannya senantiasi dinantikan orang lain.”

Kedelapan, akhlak baik 

خياركم أحاسنكم أخلاقًا إذا فقهوا “Sebaik-baiknya orang adalah memiliki akhlak yang paling baik jika mereka mengerti.”    

Sumber: elbalad 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jangan Memaksa, Apalagi Berlagak Memberikan Hidayah

Tidak ada paksaan dalam beragama. Begitu titah Tuhan dalam surat Al-Baqarah 255. Penegasan ini sangat tegas menggambarkan bagaimana Islam dengan misi dakwahnya tidak pernah sedikitkan mempunyai tendensi untuk memaksa orang lain untuk mengikuti Islam.

Apabila dilihat dari asbabun nuzulnya pun lebih jelas menggambarkan bagaimaan sesungguhnya pilihan keyakinan adalah hak setiap manusia. Orang tidak bisa memaksakan orang lain untuk memeluk apa yang kita peluk. Bahkan orang tua tidak boleh memaksakan keyakinan anaknya ketika sudah memantapkan pada keyakinan tertentu. Itulah, paling tidak salah satu versi sebab turunnya ayat tersebut.

Jadi, Islam menempatkan beragama sebagai hak asasi yang tidak boleh disentuh orang lain melalui pemaksaan apalagi jalur kekerasan. Beragama adalah pilihan seseorang yang tidak boleh dikotori oleh pemaksaan. Begitu indahnya Islam yang sangat maju pada zamannya hingga saat ini.

Lalu, apa pentingnya dakwah jika demikian? Pertama harus dipahami bahwa dakwah adalah esensinya mengajak. Ingat dakwah adalah mengajak, bukan memaksa apalagi menghardik. Mengajak berarti memberikan suatu yang indah tentang Islam, bukan memberikan ketakutan dan kepanikan tentang jati diri Islam.

Jika dakwah tidak membuahkan hasil, apa tidak boleh melakukan pemaksaan? Tuhan menjawab dengan sangat tegas :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan jikalau Tuhan menghendak, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Yunus [10]:99).

Bukan tidak mampu Tuhan menjadikan semuanya beriman kepadaNya. Bukan hal mustahil bagi Sang Pencipta untuk menjadikan satu umay secara seragam. Itulah bagian dari cara Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia yang berakal. Manusia sebagai makhluk sempurna untuk membedakan hak dan batil yang sudah jelas adanya.

Jika demikian, engkau masih mau berlagak ingin mengislamkan semua orang dengan paksaan? Sindiran Tuhan sudah sangat jelas bahwa sekali lagi persoalan keyakinan bukan dengan cara memaksa.

Apakah Allah tidak bisa menyatukan umat menjadi satu warna? Tuhan Maha Kuasa dan Maha Pencitpa, tidak akan sulit bagi-Nya untuk menjadikan umat manusia dalam satu umat. Tetapi Allah mempunyai rencana yang berbeda:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS: al Maidah [5]: 48).

Bukan Memaksa, Ini Kunci Sukses Berdakwah

Sampai di sini sudah sangat jelas bagaimana Tuhan mengajarkan kepada umat untuk tidak memaksa. Perbedaan adalah keniscayaan. Lalu, Tuhan akhirnya memberikan kunci sukses dalam mengajak orang lain.

Islam telah mengajarkan bagaimana mengajak dan mengingatkan orang yang dalam kategori kita sedang melakukan kesalahan dan kesesatan. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS: al-Nahl [16]125).

Inilah sebenarnya yang dilupakan ketika berdakwah. Prinsip menyeru dalam kebaikan dengan cara yang baik. Mengajak, berjuang, mendidik dan berdakwah di jalan Allah bukan berarti menghalalkan segala cara. Tujuan mulia harus dilakukan dengan cara yang mulia.

Jangan pernah mengotori dakwah yang suci dengan tindakan yang keji. Itulah kesalahan memaknai dakwah, selalu mementingkan tujuan, tetapi melupakan cara untuk meraih tujuan. Tuhan memberikan panduan untuk tidak boleh memaksa apalagi berlagak mengislamkan seluruh manusia.

Tuhan mengajak seluruh umat manusia berlomba-lomba dalam kebaikan dalam perbedaan. Kita tidak boleh merasa angkuh melebihi keangkuhan Tuhan? Hanya Allah yang berhak memberikan hidayah yang menentukan keimanan dan kekafiran? Tugas umat Islam adalah berdakwah dengan baik dengan sikap lembut dan menghargai perbedaan.

Wallahu’alam

ISLAM KAFFAH

Warga Palestina Ubah Pesawat Jadi Restoran

Wilayah Tepi Barat tidak memiliki bandara sipil dan warga Palestina yang mampu membeli tiket pesawat harus mengejar penerbangan di negara tetangga Yordania. Hanya saja, beberapa orang Palestina di wilayah yang diduduki bisa naik pesawat berkat sepasang saudara kembar di luar kota utara Nablus.

Khamis dan Ata al-Sairafi  telah mengubah Boeing 707 tua menjadi kafe dan restoran untuk dinaiki pelanggan. “99 persen warga Palestina tidak pernah menggunakan pesawat terbang. Hanya duta besar, diplomat, menteri, dan walikota kami yang menggunakannya. Sekarang mereka melihat pesawat terbang dan itu sesuatu untuk mereka,” kata Khamis.

Setelah seperempat abad berusaha, kedua saudara ini membuka “Restoran Maskapai Penerbangan Palestina-Yordania dan Kedai Kopi al-Sairafi” pada 21 Juli. Keluarga, teman, dan pasangan muncul untuk minum di kafe yang terletak di bawah badan pesawat. Banyak orang lain datang untuk mengambil foto di dalam dengan harga lima shekel per orang.

Pelanggan mengatakan mereka termotivasi untuk berkunjung setelah melihat foto-foto pesawat yang direnovasi beredar secara daring. “Sudah lama saya ingin melihat tempat ini. Saya berharap saya pernah melihat tempat ini sebelum diubah menjadi kafe,” kata pelanggan Majdi Khalid.

Kedua bersaudara ini bermimpi mengubah pesawat menjadi kafe dan restoran lahir pada akhir 1990-an ketika Khamis melihat pesawat Boeing yang terlantar di dekat kota Safed, Israel utara. Pada saat itu, pesawat sudah memiliki sejarah yang terkenal.

Pesawat itu digunakan oleh pemerintah Israel dari 1961 hingga 1993. Menurut //Channel 12 TV// Pesawat ini menerbangkan Perdana Menteri Menachem Begin ke Amerika Serikat pada 1978 untuk menandatangani perjanjian damai bersejarah Israel dengan Mesir.

Kemudian pesawat tersebut dibeli oleh tiga mitra bisnis Israel yang bermimpi mengubahnya menjadi sebuah restoran. Namun proyek itu ditinggalkan menyusul ketidaksepakatan dengan pihak berwenang setempat.

Setelah melacak salah satu pemilik pesawat, kedua saudara berusia 60 tahun ini setuju untuk membelinya seharga 100.000 dolar AS pada 1999. Mereka menghabiskan tambahan 50.000 dolar AS untuk lisensi, izin, dan untuk mengangkutnya ke Tepi Barat.

Khamis mengatakan walikota Nablus saat itu, Ghassan Shakaa, dengan cepat menyetujui transportasi dan renovasi pesawat. Memindahkan pesawat ke Nablus adalah operasi selama 13 jam, karena membutuhkan pembongkaran sayap dan penutupan sementara jalan di Israel dan Tepi Barat. Pada saat itu, Israel dan Palestina terlibat dalam pembicaraan damai dan pergerakan bolak-balik relatif mudah.

Terlebih lagi, mereka merupakan pedagang besi tua yang sukses ini memang secara teratur melakukan perjalanan ke dan dari Israel untuk membeli potongan-potongan logam yang kemudian dijual dan lebur di Tepi Barat.  Kondisi ini membuat rencana memindahkan pesawat dan menyulapnya menjadi restoran bisa terlaksana.

Tapi, mereka mengatakan proyek ditunda setelah pecahnya pemberontakan Palestina kedua pada akhir 2000. Sebuah pos pemeriksaan militer Israel dibangun di dekatnya, mencegah pelanggan dari kota terdekat Nablus mencapai lokasi. Pos pemeriksaan tetap bertahan selama tiga tahun dan militer Israel mengambil alih situs tersebut, proyek impian tersebut pun runtuh.

“Mereka bahkan membangun tenda di bawah sayap pesawat,” kata Ata.

Selama hampir 20 tahun, pesawat dan situs itu ditinggalkan. Setelah pemberontakan mereda pada pertengahan 2000-an, keduanya melanjutkan bisnis pembuangan limbah dan taman hiburan kecil di Nablus pada 2007.

Setelah lebih dari satu dekade menabung, mereka memutuskan pada 2020 untuk mulai membangun kembali apa yang hilang, kali ini dimulai dengan renovasi pesawat. Krisis virus korona, yang mencakup beberapa penguncian, memukul ekonomi Palestina dengan keras dan menyebabkan penundaan lebih lanjut.

Setelah berbulan-bulan bekerja, pesawat hampir siap untuk layanan penuh. Interiornya baru dicat, dilengkapi dengan listrik, dan sembilan meja dan pintu-pintunya terhubung ke dua jalur jet tua yang memungkinkan pelanggan untuk naik dengan aman. Hidung pesawat dicat dengan warna bendera Palestina dan ekornya dengan warna Yordania.

Kafe sudah buka dan kedua bersaudara ini berharap untuk membuka restoran bulan depan. Mereka berencana memasang dapur di bawah badan pesawat untuk menyajikan makanan kepada pelanggan di dalamnya.

Tapi, tujuan jangka panjang mereka untuk membangun kembali taman hiburan dan kolam renang masih jauh. Pasangan ini mengatakan bahwa kecewa karena tidak menerima dukungan keuangan dari pemerintah kota dan sedang mencari investor.

“Insya Allah, saya berharap proyek ini berhasil dan menjadi yang terbaik,” kata Ata.

IHRAM

Penyebab Gelap dan Terangnya Hati

Dalam kitabnya yang berjudul Nashaihul ‘Ibad terbitan Mueeza, Syekh Nawawi mengatakan, Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu pernah berkata,

أزبعة من ضلمة القلب: بطن شبعان من غير مبالاة، وصبحة الضالمين، ونسيان الذنوب الماضية، وطول الأمل

“Empat hal yang termasuk penyebab gelapnya hati,”

Pertama, perut yang terlalu kenyang. Menurut Syekh Nawawi, kenyangnya ini lebih dari sepertiga isi usus sebagaimana batas kenyang yang disyariatkan.

Kedua, berteman dengan orang-orang zalim. Menurut Syekh Nawawi, orang yang zalim tersebut maksudnya adalah orang yang melampaui batas menuju kebatilan.

Ketiga, melupakan dosa yang pernah dilakukan. Dengan demikian, menurut Syekh Nawawi, orang tersebut kembali mengerjakan dosanya tersebut tanpa merasa menyesal.

Keempat, panjang angan-angan. Artinya, mengharap sesuatu yang sulit dicapat. Menurut Syekh Nawawi, Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda,

“Sesungguhnya sesuatu yang sangat aku khawatirkan atas kalian ada dua, yaitu: mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu berarti menjauhi kebenaran, sedangkan panjang angan-angan mencerminkan cinta dunia.” (HR Ibn Abi al-Dunya).

Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu juga berkata,

وأربعة من نور القلب: بطن جائع من حذر، وصبحة الصالحين، وحفظ الذنوب الماضية، وقصر الأمل

“Ada empat hal yang termasuk penyebab terangnya hati.”

Pertama, yaitu perut lapar karena tindakan hati-hati. Menurut Syekh Nawawi, maksud dair pekataan itu adalah melaparkan perut untuk bersikap waspada dan hati-hati.

Kedua, berteman dengan orang-orang saleh, yaitu orang yang selamat dari segala kerusakan.

Ketiga, mengingat dosa yang pernah dilakukan. Menurut Syekh Nawawi, orang tersebut selalu mengingat dosanya sembari menyesal telah melakukannya.

Keempat, tidak panjang angan-angan. Artinya, orang tersebut menahan dan membastasi angan-angannya.

Ulama asal Banten yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram Makkah, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab gelapnya hati dan terangnya hati. Saat mengajarkan hal ini, Syekh Nawawi mengutip perkataan Abdullah ibn Mas’ud.

IHRAM

Apakah Sekufu dalam Pernikahan itu Wajib?

Setelah memahami makna sekufu dan apa saja standar memenuhinya (baca: makna sekufu dalam pernikahan perspektif empat madzhab), mari kita lihat apakah sekufu itu merupakan syarat sah dalam pernikahan? Apakah sekufu dalam pernikahan wajib hukumnya?

Tidak ada ulama yang menjadikan sekufu sebagai syarat sahnya pernikahan. Namun dalam hal ini ada dua pendapat dari para ulama, sebagian mengatakan sekufu adalah syarat lazim atau syarat yang harus ada meskipun tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan. Sebagian ulama mutlak tidak menjadikan sekufu sebagai syarat.

Sebagian ulama dari golongan mazhab Hanafi, seperti Imam at-Tsauri, Hasan al-Bashri, al-Karkhi tidak menjadikan sekufu sebagai syarat dalam pernikahan. Sebab sejatinya manusia itu sederajat, dan keunggulan manusia diukur dari ketakwaan. Mereka berargumen berdasarkan dalil Alquran surat al-Hujurat ayat 13,

اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”

Dan juga pada ayat 54 surat al-Furqon,

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاۤءِ بَشَرًا

Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air”

Dua ayat ini dimaknai sebagai maksud menyetarakan kedudukan manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk yang sederajat apapun status sosialnya. Dan keunggulannya tidak dilihat dari itu, tapi dari ketakwaannya. Sedangkan kelebihan manusia yang dianggap sebagai keunggulan dalam standar sosial adalah kelebihan yang Allah anugerahi. Hal itu berdasarkan dalil pada syrat an-Nahl ayat 71,

وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ

Artinya: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki”

Begitu juga diceritakan dalam sebuah hadis saat Bilal bin Rabah, seorang sahabat Nabi yang merupakan mantan budak dan berkulit hitam melamar seorang gadis dari kalangan Anshor. Akan tetapi mereka menolak lamaran Bilal. Bilal lantas mengadukan itu pada Rasulullah, Lalu Rasulullah bersabda,

قل لهم: إن رسول الله يأمركم أن تزوجوني

Artinya: Katakan pada mereka, sesungguhnya Rasulullah memerintahkan kalian untuk menikahkan aku.

Hal ini menjadi dasar ketiadaan sekufu bagi pasangan suami istri. Melihat status sosial Bilal dan perempuan yang akhirnya dinikahinya berbeda.

Sedangkan pendapat ulama selain mereka, yaitu dari kalangan empat mazhab dan sebagian mazhab Hanafi mengatakan bahwa sekufu adalah syarat yang harus ada. Ia tidak menjadi syarat sah dan mempengaruhi keabsahan, tapi sekufu menjadi syarat yang harus dipertimbangkan sebelum melangkah ke pernikahan.

Berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli. Pertama, mereka merujuk pada hadis,

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهُ ‏ “‏ يَا عَلِيُّ ثَلاَثٌ لاَ تُؤَخِّرْهَا الصَّلاَةُ إِذَا آنَتْ وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدْتَ لَهَا كُفْؤًا

Artinya: Dari Ali bin Abi Thalib, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama mengatakan kepadanya, “Wahai Ali, tiga hal yang jangan engkau tunda pelaksanaannya; apabila waktu shalat telah datang, jenazah yang hadir (segera dimandikan), dan (pernikahan) seorang perempuan yang telah menemukan seseorang yang cocok. (HR. Tirmizi)

Hadis lain adalah tentang kisah Barirah yang telah merdeka sedangkan, Mugits, suaminya masih berstatus budak. Nabi Muhammad pun menawarkan pilihan apakah tetap ingin bersama suaminya atau memilih berpisah, Barirah memilih berpisah dari suaminya.

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِى ، وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لِعَبَّاسٍ « يَا عَبَّاسُ أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا » . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لَوْ رَاجَعْتِهِ » . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِى قَالَ « إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ » . قَالَتْ لاَ حَاجَةَ لِى فِيهِ

Artinya: Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Barirah adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah ke mana ia pergi sambil menangis (karena mengharapkan cinta Barirah). Air matanya mengalir membasahi jenggotnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta Mughits kepada Barirah namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Barirah, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!” Barirah mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, “Aku hanya ingin menjadi perantara (syafi’).” Barirah mengatakan, “Aku sudah tidak lagi membutuhkannya” (HR. Bukhari no. 5283)

Hadis ini menunjukkan bahwa status budak dan merdeka tidaklah setara yang berarti sekufu adalah syarat yang diperlukan dalam pernikahan. Tapi sekufu ternyata bukan hal yang wajib, sebab Nabi pun memberi pilihan kepada Barirah untuk lanjut atau tidak, bukan mewajibkan kepada Barirah.

Dua pendapat para ulama ini merupakan pertimbangan yang bisa dijadikan rujukan bagi setiap pasangan untuk melanjutkan pernikahan. Dan jikalau melihat dua pendapat ini, standar sekufu bagi setiap pasangan bersifat personal. Artinya, keduanyalah yang bisa mengukur apakah merasa pantas atau tidak untuk bersanding.

BINCANG MUSLIMAH

Bisakah Seorang Anak Menolong Orang Tuanya di Akhirat?

 Konsep childfree masih ramai diperbincangkan di media sosial. Masing-masing melontarkan pendapatnya dan alasan untuk memperkuat pendapat tersebut. Sebagian berpendapat bahwa anak adalah investasi bagi orang tua. Sedangkan sebagian lainnya menyangkan jika anak disebut sebagai investasi. Bagaimana Islam memandang anak dengan orang tua, termasuk peran anak saat di akhirat? Apakah bisa anak menolong orang tuanya saat di akhirat?

Anjuran menikah dan anjuran memiliki anak serta mendidiknya dengan baik tentu telah disabdakan oleh Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Orang tua memiliki peran dan tanggung jawab yang besar untuk mendidik seorang anak. Maka dari itu, sebagai orang tua harus bertanggung jawab atas pendidikan dan kebutuhan sang anak. Bahkan, sahabat Umar pernah menjustifikasi seseorang sebagai orang tua yang durhaka karena semena-mena dalam mendidik anaknya.

Anak yang baik, berbudi, dan berilmu adalah anak yang dididik dengan pendidikan yang baik dan tentu merupakan tanggung jawab orang tua kepada anak. Anak pun memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh orang tuanya (baca: hak-hak anak dalam Islam), salah satunya adalah pendidikan yang baik. Hak-hak anak yang wajib dipenuhi oleh orang tua antara lain sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat Umar saat seseorang mengadukan kedurhakaan anaknya dan sang anak membantahnya. Saat ditanya, apa saja hak anak yang mesti dipenuhi oleh orang tua, Umar menjawab,

 أن ينتقي أمه، ويحسن اسمه، ويعلمه الكتاب

Artinya: Memilih ibu yang baik, memberi nama yang baik, dan mengajarkan Alquran.

Dalam mengajarkan Alquran, artinya ada peran orang tua dalam pendidikan anaknya terutama pendidikan agama. Tentu, pendidikan agama bisa diberikan dengan baik jika orang tua juga memiliki kapasitas pengetahuan agama yang baik. Maka dari itu, perlu persiapan yang panjang dan matang dalam mengasuh anak dan menjadi orang tua. Tidak serta merta menuntut anak banyak hal sedangkan semua tidak dimulai dari diri sendiri.

Adapun peran anak untuk orang tua terutama saat di akhirat adalah mendoakannya. Sebab masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya, dan anak tidak bisa menolong kecuali dengan mendoakannya. Sebagaimana hadis Nabi riwayat Abu Hurairah,

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

Artinya: Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “apabila seseorang telah meninggal tidaklah terputus amalnya (ganjarannya) kecuali tiga perkara; sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim)

Dalam Syarh Nawawi ‘ala Muslim dijelaskan yang dimaksud anak shalih yang mendoakan orang tuanya adalah termasuk apa yang diajarkan mereka kepada anaknya,

فإن الولد من كسبه ، وكذلك العلم الذي خلفه من تعليم أو تصنيف

Sesungguhnya anak itu tergantung dari usaha (pengasuhan) orang tuanya, begitu juga ilmu yang diajarkan kepadanya berupa pengajaran atau karya.

Dalam hal ini, Imam Nawawi menjelaskan bahwa anak adalah tanggung jawab dari orang tuanya. Hadis ini mendorong siapapun untuk mendidik anaknya dengan pendidikan terbaik, sebab kelak mereka akan mendoakan orang tuanya dan doa itu sampai kepada orang tuanya. Jika seorang anak telah diberi pendidikan yang baik oleh orang tuanya, tentu ia akan memiliki rasa berterima kasih dengan terus mendoakan orang tuanya dan mengajarkan ilmu yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Ilmu yang diajarkan kepada anak juga yang menjadi bagian sedekah yang tak terputus, begitu penjelasan Imam Nawawi.

Hadis ini masuk dalam bab wakaf. Ketiga perkara yang disebutkan oleh Rasulullah adalah perkara yang mengalirkan pahala sekalipun seseorang telah wafat. Karena tiga perkara tersebut memberikan dampak dan manfaat seterusnya bahkan setelah ia wafat.

Jelaslah bahwa seorang anak bisa menolong orang tuanya di akhirat, manakala ia terus mengamalkan kebaikan yang diajarkan oleh orang tuanya, dan terus mendoakan kebaikan untuk kedua orang tuanya. Hal tersebut juga dikuatkan dengan sabda Nabi bahwa permohonan ampun seorang anak untuk orang tuanya bisa mengangkat derajat mereka di akhirat,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Artinya: “dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga, hamba itu kemudian berkata; ‘Wahai Rabb, dari mana semua ini? ‘ maka Allah berfirman; ‘Dari istighfar anakmu.” (HR. Ahmad)

Demikian penjelasan mengenai peran anak untuk orang tua. Menjadi orang tua tidaklah mudah. Untuk itu teruslah memperbaiki diri agar kelak bisa mendidik anak dan mengajarkannya dengan kebaikan. Sebagai anak, banyak-banyaklah berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa orang tua dan mengangkat derajat mereka di akhirat.

Wallahu a’lam bisshowab.

BINCANG MUSLIMAH

Sederhana dalam Beribadah yang Diajarkan Rasulullah

Pernahkah kita dengar apa yang dimaksud sederhana dalam beribadah? Sebelum menjawab itu, saya ingin menyampaikan bahwa beribadah adalah pokok utama kehidupan seorang muslim. Bahkan, ulama mengatakan ibadah diperuntukkan bagi kalangan jin dan manusia yang menginginkan kebahgaiaan, dan kemaksiatan diperuntukkan bagi mereka yang ditakdirkan untuk mengemban kesengsaraan. Hal tersebut setidaknya yang disampaikan oleh Al-Baghawy saat menafsirkan ayat berisi perintah ibadah pada surat al-Dzariyat ayat 56.

Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alim al-Tanzil menjelaskan bahwa beribadah berarti merendahkan diri di hadapan sang pencipta. Setiap makhluk tunduk kepada keputusan Allah Swt, pasrah atas segala kehendaknya tanpa punya otoritas untuk keluar dari suratan-Nya. Ulama lain menjelaskan bahwa beribadah berarti mengesakan Allah Swt, orang beriman adalah mereka yang mengesakan Allah baik pada masa susah dan senang, sedangkan kafir adalah mereka yang mengesakan Allah pada masa sulit dan melupakan-Nya pada masa senang.

Ibadah yang kita tunaikan kadang proporsional, namun dalam beberapa hal terkadang berlebihan. Dalam beberapa kasus, seorang muslim bertindak berlebihan dalam beribadah. Hal ini biasanya terjadi lantaran tidak didampingi dengan ilmu pengetahuan. Beribadah harus menggunakan ilmu, agar kuat pijakannya.

Sebagai contoh adalah yang terjadi di Lembah Bamiyan, Afghanistan. Sebagaimana diungkapkan oleh Agustinus Wibowo dalam catatan perjalanannya mengelilingi Afghanistan, ia berkisah dalam bukunya Selimut Debu bahwa di Lembah Bamiyan terdapat segolongan umat Islam yang mempercayai bahwa dengan menceburkan diri ke dalam danau (danau Band e-Amir) di daerah tersebut maka akan disembuhkan penyakitnya dan mendapat banyak rahmat. Padahal, danau yang dimaksud memiliki air yang sangat dingin dan menyiksa badan, bahkan bisa berujung kepada kematian. Namun mereka kerap melakukan hal tersebut. Ritual yang mereka laksanakan semata-mata didasari oleh mitos yang menyebar di kalangan mereka (Agustinus, 2011:431-434)

Contoh lain adalah orang yang berlebihan beribadah adalah ia memaksakan diri demi menunaikan suatu ibadah, dan mengabaikan dispensasi yang berhak baginya. Seperti seorang yang diberikan keleluasaan untuk berbuka puasa dalam perjalanan. Karena ingin mendapatkan keutamaan, ia memaksa untuk berpuasa, padahal dirinya sudah sangat kelelahan. Akhirnya, keesokannya ia sakit dan tidak mampu menunaikan kewajiban-kewajiban lain dengan maksimal.

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani menjelaskan bahwa Anjuran agar tidak berlebihan dalam beribadah bukan bermaksud mencegah kita untuk memaksimalkan ibadah kita, hal tersebut malah mulia. Yang dimaksud dari larangan  memaksa diri berlebihan dalam beribadah adalah mencegah kita dri hal yang berlebihan sehingga bisa mengantarkan kepada keletihan atau kebosanan

Jamal Ahmed Badi, dalam syarahnya atas kitab Arbain al-Nawawi berjudul Commentary of Forty hadiths Of An-Nawawi, saat menjelaskan makna hadis nomor 3 dalam kitab tersebut  mengatakan bahwa beribadah haruslah dipandu oleh syarat-syarat, rukun-rukun serta adab-adab yang sudah diatur oleh syariat. Hal ini penting karena amalan tanpa dasar syariat akan tertolak.

Rasulullah Saw bersabda,

“Barangsiapa melakukan suatu perkata baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari Muslim)

Perlunya Sederhana dan Proporsional dalam Beribadah

Dalam kitab Riyadh al-Shalihin, Imam al-Nawawi membuat sebuah bab khusus berjudul Al-Iqtishad fi al-Ibadah, sederhana dalam beribadah. Melalui ayat-ayat dan hadis-hadis yang disitirnya, Imam al-Nawawi secara eksplisit menegaskan bahwa dalam beribadah seorang muslim dianjurkan untuk sederhana dan proporsional, bekerja sesuai ritme, sehingga ibadah yang dilaksanakan mampu berlangsung maksimal dan khidmat.

Terdapat 2 ayat dan 11 hadis yang dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam bab tersebut yang diambil dari berbagai kitab induk hadis.

Dua ayat yang dinukil oleh Imam al-Nawawi dalam bab ini adalah surat Thaha ayat 1 dan surat surat al-Baqoroh ayat 185, masing-masing memiliki terjemahan sebagai berikut,

مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ

 “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.”

يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Melalui dua ayat tersebut, Imam al-Nawawi hendak menegaskan bahwa beragama perlu dilaksanakan dengan maksimal, namun ia tidak mesti menjadikan susah orang yang melaksanakannya.

Melengkapi maksud ayat di atas, dicantumkan berikutnya hadis-hadis yang bersinggungan dengan tema terkait. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw,

Suatu Ketika datang sekelompok orang menuju rumah isteri-isteri Nabi, mereka menanyakan perihal ibadah Nabi Saw. Tatakla mereka diberitahukan soal ibadah Nabi, mereka menilai hal tersebut sebagai sedikit. Dan seorang dari mereka berkata, “Di mana posisi kita dibanding Nabi Saw? Sedangkan beliau adalah sosok yang telah diampuni dosa yang telah lampau dan yang akan datang!

Kemudian berkata salah seorang dari mereka, “Saya akan shalat sepanjang malam penuh tanpa jeda!” yang lain berkata, “Saya akan puasa selama setahun penuh tanpa berbuka!” yang lain berkata, “Saya akan menjahui perempuan dan tidak akan menikah selamanya!” Kemudian datang Rasulullah Saw dan berkata kepada mereka, “Kalian yang ngomong seperti tadi? Demi Allah Adapun saya adalah orang paling takut di antara kalian kepada Allah Swt dan saya adalah yang paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Barangsiapa yang benci akan sunnahku maka ia bukan bagian dariku.” (HR. Bukhari).

Segenap sahabat yang menginginkan ibadah tanpa henti tersebut ditegur oleh Rasulullah Saw langsung agar tetap stabil dalam beribadah, tidak memaksa diri sehingga melalaikan yang lain. Hal ini tentu merupakan salah satu upaya Nabi menjelaskan bahwa syariat Islam tetap berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan, dan bahwa koridor tersebut telah disesuaikan dengan kadar kemampuan kita sebagai manusia yang memiliki berbagai kesibukan kehidupan, sehingga ia tidak memberatkan. Bayangkan jika Rasulullah membenarkan seseorang tersebut untuk berpuasa selama setahun tanpa berbuka sedangkan badannya perlu diasup makanan, untuk shalat sepanjang malam tanpa tidur sedangkan besoknya ia berkewajiban mencari nafkah, untuk tidak menikah selamanya sedangkan pengadaan keturunan manusia harus terus berlanjut?

Mustafa Said al-Khan dalam Nuzhat al-Muttaqien Syarh Riyadh al-Shalihin memetik pelajaran dari hadis tersebut perihal perlunya moderat dan sederhana dalam beribadah dan agar senantiasa mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Saw dalam memahami hakikat beribadah kepada Allah Swt (1987:167)

Hadis lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu juhayfah Wahb ibn Abdullah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Saw mempersaudarakan Salman al-Farisi dengan Abu al-Darda’. Suatu ketika Salman mengunjungi Abu al-Darda’, ia mendapati bahwa Umm al-Darda’ berpakaian ala kadarnya (tidak bersolek). Kemudian ia berkata, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu al-Darda’ tidak ada minat terhadap dunia.”

Kemudian datang Abu al-Darda’, membuatkan untuk Salman seporsi makanan, kemudian ia berkata, “Makanlah, wahai Salman, sesungguhnya saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sampai kamu juga ikut makan,” maka kemudian ia ikut makan. Tatkala tiba malam, Abu al-Darda’ bangun (hendak melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata, “Tidurlah” Kemudian ia tidur. Kemudian Abu al-Darda’ hendak bangun lagi (dengan niat yang sama, yakni melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata padanya, “Tidurlah”

Kemudian, tatkala tiba akhir malam, Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sekarang bangunlah,” maka keduanya menunaikan shalat malam bersama. Kemudian Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliku hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, maka tunaikanlah setiap hak tersebut pada tempatnya” Kemudian datang Rasulullah Saw dan ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi, Nabi bersabda, “Telah benar Salman.”

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas menjelaskan posisi Nabi yang membenarkan Salman melarang saudaran Abu al-Darda’ untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, jika dengan hal tersebut malah akan memudaratkannya. Hal ini sebagaimana disimpulkan oleh Mustafa Said al-Khan dari hadis tersebut perihal kebolehan pelarangan pelaksanaan ibadah-ibadah mustahabb (yang dianjurkan, sunnah) jika hal tersebut berdampak pada penghilangan hak-hak yang seharusnya ditunaikan.

Ibadah yang kita lakukan seyogyanya dilaksanakan dengan khidmat dan sesuai dengan kadar kondisi dan kemampuan kita. Selain dituntut mengerjakan hal-hal yang wajib, kita juga sangat dianjurkan melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai pelengkap ibadah wajib kita. Kendati demikian, kita tetap perlu menakar diri agar ibadah yang kita lakukan tidak membuat kita bosan, kita perlu menjaga ritme ibadah kita agar senantiasa terasa khidmat, dan kita perlu berhati-hati agar tidak menjadi golongan yang berlebihan dalam beribadah.

Rasulullah Saw bersabda,

“هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang-orang yang ekstrim (berlebihan)!” Beliau mengucapkannya tiga kali.” (Hadis Riwayat Muslim)

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Nawawi, makna berlebihan dalam hadis di atas adalah melebihkan sesuatu (ibadah) bukan pada tempatnya. Semoga kita semua tergolong sebagai umat Rasulullah Saw yang mampu mengikuti sunnah-sunnahnya dengan khidmat dan maksimal.

BINCANG SYARIAH

Kencing Tidak Tuntas

Assalamu’alaikum Warahmatullah. Saya selalu setelah buang air kecil atau kencing pasti tidak tuntas. Kata ustadz saya, ini namanya hadats abadi. Bagaimana dengan sholat saya? Bolehkah saya tidak berganti celana tapi memperbaharui wudhu saja, kan repot kalau ganti celana terus? Wassalam. ( Anjar | Semarang)

Wa’alaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh

Usaha Anda mau bertanya kepada ustadz sebagai pertanda besarnya perhatian Anda terhadap masalah penting yang terkait dengan amal ibadah. Masalah buang air kecil ini sebenarnya hal mudah, tapi memang tidak bisa dianggap kecil, karena jika salah dapat berkonsekwensi menimbulkan hal yang tidak ringan.

Abdullah bin ‘Abbas r.a bercerita:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ «مَرَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: إنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا: فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ: فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً، فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ، فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا».

“Rasulullah ﷺ  melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena sesuatu yang besar. Yang satu disiksa karena tidak berlindung disaat kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba.” Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?” beliau menjawab: “Semoga siksa keduanya diringankan selama dahan pohon ini masih basah.” (HR: Al Bukhari dan Muslim).

Mengenai hal yang menimpa Anda yaitu hadats abadi dengan kencing tidak tuntas (beser kencing) adalah  bila memang air kencing itu keluar dengan sendirinya, tidak bisa dikontrol atau dikendalikan pada waktu yang tidak tentu.

Jika itu adalah terusan dari setiap kali kencing yang terkontrol besar kemungkinan itu adalah hanya kencing yang belum tuntas, bukan beser. Semestinya Anda menunggu dan melakukan gerakan yang bisa membantu keluarnya kencing dengan tuntas.

Sebagian dokter menyarankan bila Anda hendak kencing lepaslah semua celana, luar maupun dalam. Jika air kencing sudah berhenti keluar –sebagian ulama mengatakan- tekanlah dengan jari bagian bawah buah dzakar yang memanjang ke anus. Lakukan itu dalam keadaan jongkok dan berdiri, insyaallah tuntas.

Selanjutnya terkait dengan ibadah dan hal lain yang Anda tanyakan, maka dapat dijawab sebagai berikut:

a. Sholat Anda selama ini tetap sah, sepanjang Anda dalam usaha mencari tahu dan berusaha mengatasi hal itu.

b. Keadaan Anda belum bisa dikatakan beser. Toh kalaupun beser semestinya yang Anda lakukan adalah membalut jalan depan (qubul) itu dengan kain atau kapas setiap selesai membersihkan diri dari kencing hingga tidak tembus ke celana. Kemudian berwudhu bila waktu sholat telah tiba.

Untuk sholat fardhu berikutnya bila sudah masuk waktu, harus mmebersihkan diri dari najis dan mengganti pembalut tadi kemudian berwudhu dan melaksanakan satu sholat fardhu, serta boleh sholat sunnah tanpa batas. Tetapi jika kencing itu biasanya berhenti pada akhir waktu, maka sholatnya harus diakhirkan demi mencari waktu bersih atau minim dari najis.* (dalam Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: I/288-294).

c. Anda wajib berobat, berkonsultasilah ke dokter. Dan dalam proses pengibatan itu, lakukanlah sebagaimana yang disarankan di atas dalam upaya menuntaskan kencing. Bila belum juga sembuh lakukan cara sebagaimana pada jawaban poin b.

Dengan demikian semoga Anda segera mendapatkan kesembuhan dan ketenangan ibadah.

*/Ustad Abd Kholik, LC

HIDAYATULLAH