Rasulullah Saw. adalah Rahmat Bagi Semesta, Termasuk Lingkungan Hidup

Kita sering mendengar kalau Rasulullah adalah rahmat bagi semesta, atau dalam bahasa Arabnya, rahmatan lil ‘aalamiin. Bagaimana penjelasan soal itu?

Syekh Ali Jum’ah dalam bukunya al-Bii’ah wa al-Hifaazhu ‘alayhaa min Manzhurin Islamiyyin menyebutkan sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis perintah untuk bersikap baik dan menebar kasih kepada sesama ciptaan Allah. Diantara dalilnya adalah surah al-Anbiya’ ayat 107,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tidaklah kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai kasih kepada seluruh alam.

Para ahli tafsir berbeda pendapat siapa yang dimaksud dengan kata al-‘aalamiin disana. Apakah ia dikhususkan untuk orang-orang beriman saja ataukah mencakup orang yang beriman atau seluruhnya. Diskusi ini misalnya direkam oleh at-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wiil Aayi al-Qur’an. Namun menurut at-Thabari, pendapat yang paling kuat adalah riwayat Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah adalah rahmat bagi semesta alam, termasuk manusia, beriman atau tidak.

Tapi yang jelas, menurut Syaikh ‘Ali Jum’ah, Rasulullah Saw. adalah rahmat bagi semesta alam. Beliau adalah rahmat bagi semua, baik ia manusia, jin, rahmat bagi hewan, tumbuh-tumbuhan, hingga benda-benda mati seperti batu. Batu, karena ada hadis dimana batu menyapa Nabi Saw. Tapi kasih tersebar Rasulullah untuk alam semesta adalah hidayah bagi manusia untuk mengetahui adanya pencipta dan kesadaran bahwa kita makhluk-Nya. Lalu, bimbingan beliau bagaimana makhluk harusnya beribadah kepada pencipta, serta rahmat-Nya bahwa ciptaan-Nya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kehidupan.

BINCANG SYARIAH

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 5)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata, “Dan dengan itulah (beribadah kepada Allah pent.) Allah perintahkan seluruh manusia dan Allah ciptakan mereka untuk melaksanakannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Penjelasan:

Apa yang disampaikan oleh penulis dalam risalah ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tauhid merupakan kewajiban terbesar bagi umat manusia. Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ وَٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 21).

Hal ini juga ditegaskan di dalam ayat yang lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا

“Dan Rabbmu telah menetapkan; bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan hendaklah kalian berbuat baik dengan sebaik-baiknya kepada kedua orang tua” (QS. Al-Isra: 23).

Begitu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ’anhuma).

Hal ini juga semakin mempertegas bahwa asas semua ajaran para nabi adalah tauhid. Sebab tauhid inilah tujuan penciptaan jin dan manusia. Tidak ada seorang pun nabi yang diutus kecuali mendakwahkan tauhid dan memperingatkan dari bahaya syirik.

Kemudian, Syekh Rahimahullah melanjutkan,

“Apabila kamu telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali jika disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya salat, tidak dinamakan salat kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik masuk ke dalam suatu ibadah, maka ibadah itu menjadi rusak, sebagaimana hadats yang menimpa pada thaharah.”

Penjelasan:

Dari keterangan beliau ini kita mendapatkan sebuah pelajaran berharga bahwa tidak semua ibadah itu bisa diterima. Sebab ibadah yang diterima adalah yang memenuhi syaratnya. Di antara syarat utama agar ibadah bisa diterima oleh Allah adalah ia harus dilandasi dengan tauhid. Tanpa tauhid, maka sebanyak apa pun amal tidak akan diterima.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar: 65).

Hal ini menunjukkan bahwa ibadah membutuhkan kepada akidah yang benar. Tanpa lurusnya akidah, maka amal ibadah dan ketaatan sebesar gunung sekali pun tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, setiap perintah beramal selalu disertai dengan larangan berbuat syirik. Allah Ta’ala berfirman,

مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun” (QS. Al-Kahfi: 110).

Hakikat tauhid adalah memurnikan ibadah untuk Allah semata. Tidak menujukan ibadah sekecil apapun kepada selain-Nya. Dalam risalah Ushul Tsalatsah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang Allah perintahkan adalah tauhid; yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah.”

Maka tidak mengherankan apabila Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyusun buku khusus yang menyajikan pembahasan ilmiah mengenai tauhid ibadah ini yang telah diakui oleh para ulama mengenai keagungan dan faidahnya yang sangat besar, yaitu Kitabut Tauhid. Di dalamnya beliau menjelaskan berbagai kaidah pokok dalam tauhid dengan membawakan dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan beliau juga menjelaskan berbagai bentuk ibadah dan berbagai jenis perusaknya berupa syirik besar maupun syirik kecil.

Apabila seorang muslim begitu bersemangat menjaga salatnya agar tidak tertolak di hadapan Allah, maka tentu dia akan lebih bersemangat untuk menjaga tauhidnya agar ibadah-ibadahnya bisa diterima oleh Allah dan memasukkannya ke dalam surga. Kedudukan tauhid bagi amal ibadah sebagaimana thaharah bagi salat. Bahkan lebih penting daripada itu karena tauhid merupakan syarat diterimanya semua bentuk amal dan ketaatan hamba.

Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pembahasan tauhid tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tazkiyatun nufus atau penyucian jiwa. Karena tauhid inilah sebab utama bersihnya hati seorang hamba. Bagaimana tidak? Sedangkan Allah mengutus rasul untuk membacakan kepada umatnya ayat-ayat Allah dan menyucikan jiwa mereka serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak bisa dipisahkan pembahasan tauhid ini dengan pengajaran nilai-nilai Al-Quran. Sebab pada hakikatnya semua bagian dari Kitabullah itu membicarakan tentang tauhid dari berbagai sudut pandang; sebagaimana diterangkan oleh para ulama kita.

Dan tidak berlebihan pula jika kita katakan bahwa tidak bisa dipisahkan pembahasan tauhid ini dengan pembahasan fikih dan sejarah Islam. Karena tauhid kepada Allah merupakan fikih yang terbesar di dalam agama Islam dan karena tauhid inilah para nabi dan rasul mengharumkan nama Islam dengan seruan dakwahnya. Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah Radhiyallahu’anhu).

Dan tidak pula berlebihan jika kita katakan bahwa pembahasan tauhid inilah bagian pokok di dalam pembuktian kecintaan seorang muslim kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam; karena tauhid inilah inti ajaran Islam yang beliau sebarkan.  Lantas bagaimana mungkin seorang mengaku cinta kepada Rasul dan memuliakan beliau tetapi di saat yang sama justru jauh dari hakikat tauhid dan malah gandrung dengan berbagai bentuk pemberhalaan?!

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ

“Katakanlah, ‘Jika kalian mengaku mecintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’” (QS. Ali-Imran: 31).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘Alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan (agama) akan bisa tegak berdiri di atasnya” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16).

Semoga bermanfaat.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69544-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-6.html

Mustafa Kemal Ataturk: Pemeran Utama Sekularisasi di Kesultanan Utsmani

PADA malam hari di Ankara, Turki 29 Oktober 1923 Musthafa Kemal Ataturk mengumpulkan para anggota Majelis Nasional Turki. Setelah pada siang harinya Mustafa Kemal mendeklarasikan kelahiran Republik Turki dan mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin pertama negara baru itu.

“Tuan-tuan! Kita akan mendeklarasikan republik besok,” ujar Mustafa Kemal kepada anggota Parlemen dalam acara makan malam 29 Oktober 1923. Besoknya dalam sidang Majelis Nasional Turki, anggota sidang secara resmi republik Turki yang sekuler disahkan dan Mustafa Kemal  dinasbihkan sebagai Presiden pertama.

Hari itu Kesultanan Utsmani yang telah berusia 623 tahun resmi runtuh. Salah satu negara super-power yang berdiri dalam kurun 1299-1923 dan memiliki wiliyah yang terbentang dari Eropa Tenggara, Kaukasus sampai Afrika Utara dan semenanjung Afrika Timur ini dihapus.

Republik Turki sebenarnya telah berdiri secara de facto tiga tahun sebelumnya. Tepatnya sejak berdirinya Majelis Nasional Turki pada 23 April 1920.

Majelis nasional ini berdiri di Ankara ketika Istanbul ibukota Kesultanan Ustmani diduki oleh pasukan Sekutu.

Istanbul diduduki oleh Inggris, Prancis, Italia dan Yunani pada 13 November 1918. Pendudukan ini akibat kekalahan Kesultanan Utsmani dalam partisipasinya di perang dunia pertama.

Inggri secara resmi membekukan pemerintahan Utsmani di Istanbul dan memaksa Kesultanan Ustmani menandatangani Perjanjian Sevres pada 10 Agustus 1920. Di saat bersamaan pihak sekutu setuju untuk mengakui pemerintahan dari Majelis Nasional Turki dengan ketuanya Mustafa Kemal yang berpusat di Ankara.

Dalam proses peralihan yang dramatis dari model kesultanan ke republik ini, salah satu pameran utama adalah Mustafa Kemal. Ia berhasil mengkonsolidasikan kekuatan untuk memisahkan peran agama dalam pemerintahan dengan membangun identitas Turki baru yang sekuler.

Ia juga berhasil menuliskan namanya dalam lembaran sejarah Turki modern dan menasbihkan untuk dihormati sebagai bapak bangsa. Nama “Ataturk” secara harfiah berarti “bapak orang Turki”.

Mustafa Kemal lahir di Thessaloniki, Yunani –daerah yang saat ia dilahirkan masih di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmani. Nama aslinya Ali Reza Oglu Mustafa (Mustafa putra Ali Reza), ia juga dikenal sebagai Mustafa Kemal Pasha. Kehidupan awal Mustaga Kemal dipengaruhi oleh memudarnya kekuatan Utsmani di Eropa.

Ia juga banyak dipengaruhi oleh gerakan intelektual yang berpandangan wordview Barat.

Ada banyak perdebatan tentang etnis asal Mustafa Kemal. Ayahnya dianggap oleh beberapa orang berasal dari Albania, meskipun yang lain menyatakan bahwa dia adalah orang Turki.

Latar belakang ibunya juga menjadi bahan perdebatan sengit apakah dia orang Turki atau bukan.  Namun beberapa orang menyatakan bahwa asal Mustafa Kemal adalah dari Yahudi atau Bulgaria.

Rentetan upaya sekularisasi oleh Barat di Kesultanan Utsmani sebenarnya sudah berjalan panjang. Dimulai sejak abad ke 18 dari Sultan Salim III, kemudian berlanjut dari generasi ke generasi.

Upaya infiltrasi ini sempat mendapatkan perlawan yang kuat di masa Sultan Abdul Hamid II.  Dari proses itu Mustafa Kemal hadir dalam plot akhir sebagai pameran utama untuk menyempurnakan proses ini.

Mustafa Kemal berambisi memodernisasi Turki sesuai pandangan kelompok mereka. Modernisasi dalam pandangan mereka adalah pem-Baratan secara total dengan memutuskan antara Turki dan agamanya.

Adapun cara pertama yang dilakukan Mustafa Kemal adalah penghapusan Khalifah secara resmi. Pada tanggal 3 Maret 1924 Majelis Nasional Turki menyetujui tiga buah undang-undang yang telah dipersiapkan.

Pertama, menghapus Kekhalifahan, menurunkan Khalifah dan mengasingkannya beserta keluarga. Kedua, menghapus Kementrian Syariah dan Wakaf. Ketiga, menggabungkan sistem pendidikan di bawah Kementrian Pendidikan.

Bagi Mustafa Kemal dan kaum sekuler, agama dan ulama adalah penghalang kemajuan suatu negara. Sehingga Islam, simbol  dan tokoh-tokohnya harus dipisahkan dari masalah-masalah politik, sosial dan kebudayaan.

Sejarawan Ali Muhammad Ali Shalabi menyebut dalam al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt, bahwa sebenarnya  pemikiran kaum sekuler Turki tentang agama penghalang kemajuan merupakan suatu pemikiran yang tidak mendasar. Bahkan berimplikasi pada perpecahan dalam kekuatan Turki sendiri serta mereka harus berkerjasama dengan Barat sehingga terjadi kemunduran.

Adapun bentuk kerjasama dapat dilihat dari isi perjanjian antara Mustafa Kemal dengan Negara-negara Barat. Rancangan perjanjian itu dikenal sebagai syarat-syarat Carson, diambil dari nama ketua delegasi Inggris. Isi perjanjian tersebut antara lain;

Pertama, pemutusan semua hal yang berhubungan dengan Islam dari Turki. Kedua, penghapusan kekhalifahan Islam untuk selama-lamanya. Ketiga, mengeluarkan Khalifah, para pendukung Khalifah, dan Islam dari Turki serta mengambil harta Khalifah. Keempat, menjadikan undang-undang sipil sebagai pengganti dari undang-undang Turki yang lama.

Ali Hasun menjelaskan Mustafa Kemal menetapkan kebijakan sekularisasi secara total. Dalam ‘Awāmil Inhiyar al-Daulat al-‘Utsmāniyyah, Ali Hasun menyebut kebijakan tersebut, antara lain;

Pertama, menghapus Kesultanan Utsmani dan mendirikan negara yang mengadopsi hukum-hukum Barat.

Kedua, menutup seluruh lembaga-lembaga keagamaan serta melarang menulis dengan bahasa Arab dan diganti dengan bahasa Turki.

Ketiga, menghapus hukum-hukum syar’i dan menggantinya dengan undang-undang sekular.

Keempat, mengganti kelender Hijrah dengan Masehi.

Kelima, menghapus Kementrian Urusan Agama dan Waqaf.

Kelima, melarang memakai pakain-pakai Islami, seperti Hijab, Ṭarbūsy. Keenam, memerintahkan kepada para Khatib untuk memuji pemerintah sekular ketika khutbah Jum’at.

Ketujuh, membatasi masjid-masjid yang boleh digunakan untuk melaksanakan sholat, dan mengosongkan Masjid Aya Shofiyah dan Masjid Al-Fatih, kemudian dijadikannya sebagai meseum.

Kedelapan, menghapus rasa persaudaraan sesama agama dengan fanatik nasionalisme dengan jargon liberlal (al-Hurriyah wa al-Musāwah).

Namun karena adanya kehadiran mayoritas Muslim di Turki dan praktik berislam yang kental, sangat bertentangan dengan gagasan Mustafa Kemal tentang negara sekuler. Saat itu, identitas Muslim Sunni menjadi bagian penting dalam menjadi orang Turki.

Sehingga pendekatan pemerintahan Mustafa Kemal adalah kepemimpinan otoriter. Ia mewariskan Republik Turki yang kental dipengaruhi oleh militer.

Bahkan dalam Undang Undang Dasar Turki, militer diberi peran sebagai penjaga sekularisme. Maka tak heran jika dalam sejarah Turki modern, sudah ada 5 kali kudeta militer.*/Rofi Munawwar

HIDAYATULLAH

Benarkah Banyak Wanita Karir Tanda Kiamat Sudah Dekat?

Ada sebagian kalangan Muslim yang memahami bahwa semakin banyak wanita karir itu tanda kiamat sudah dekat. Mereka memahami hal tersebut dari sebuah hadis dari sahabat Abdullah bin Mas’ud yang mendengar Rasulullah saw. bersabda,

بين يدَي الساعةِ تسليمُ الخاصَّةِ وفشوُ التجارةِ حتى تعينَ المرأةُ زوجَها على التجارةِ وتُقطعُ الأرحامُ

Menjelang hari Kiamat nanti akan terjadi: (1) pengucapan salam keapda orang tertentu saja (2) maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang (3) pemutusan hubungan tali silaturrahim, (4) munculnya persaksian palsu, dan (5) penyembunyian persaksian yang benar.” (HR.Ahmad dalam Musnad Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).

Secara validitas, hadis ini berkualitas hasan menurut Syekh Syu’aib al-Arnauth. Tapi bagaimanakah cara kita memahami hadis ini? Apakah hadis ini melarang wanita berkarir?

Pertama, terjadinya sesuatu hal yang kemudian dikaitkan dengan kiamat itu tidak mesti sesuatu hal yang buruk. Nabi Muhammad wafat itu juga termasuk salah satu tanda kiamat kecil. Ini riwayatnya terdapat dalam Shahih al-Bukhari dari sahabat Auf bin Malik. Begitu juga perempuan yang membantu suaminya berdagang atau mencari uang. Bahkan perempuan yang membantu ekonomi keluarganya itu mendapatkan dua pahala, pertama adalah pahala membantu beban suaminya, kedua pahala bersedekah pada keluarganya.

Kedua, secara fikih ini menunjukkan bahwa perempuan itu boleh bekerja dan memilih untuk berkarir. Dalam catatan sejarah Islam awal, tidak sedikit perempuan yang memilih untuk berkontribusi dalam dunia entrepreneur, pendidikan, dan kesehatan.

Istri Nabi ibunda Khadijah itu merupakan saudagar kaya. Zainab istri sahabat Abdullah bin Mas’ud juga saudagar kaya. Ibunda Aisyah juga merupakan perempuan intelektual. Ummu Sulaim, ibunda sahabat Anas bin Malik, merupakan perawat bagi para sahabat Nabi yang terluka.

Ketiga, ketika dalam hadis atau teks bahasa Arab mengatakan dekat itu bukan berarti besok atau lusa akan terjadi, bisa jadi berpuluh atau beratus tahun yang akan datang. Dalam bahasa Arab, sesuatu yang sudah terjadi itu akan dikatakan sesuatu yang sudah lama. Tapi sesuatu yang akan datang atau belum terjadi itu dikatakan dekat. Begitulah logika bahasa Arab yang diajarkan oleh para ahli bahasa Arab klasik.

BINCANG SYARIAH

Refleksi Cinta Nabi

Seberapa besar cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW, pemilik syafaatul udzma?

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW berkata, “Di hari kiamat, kudatangi pintu surga, lalu kuminta dibukakan. Malaikat penjaga surga bertanya, ‘Siapakah engkau?’ Lalu, kujawab, ‘Muhammad.’ Dia berkata, ‘Karena engkaulah aku diperintahkan agar tidak membuka pintu surga bagi seorang pun sebelummu.’”

Hadis tersebut menggambarkan keistimewaan Nabi Muhammad SAW dibanding makhluk yang lain di sisi Allah SWT. Maka, berbahagialah manusia yang menjadi umatnya, terlebih umat yang pernah hidup di zamannya, yaitu para sahabat yang mencintainya.

Dalam hadis lain, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW pun adalah satu-satunya Nabi yang diberikan kesempatan untuk memberikan syafaatul udzma pada hari kiamat. Pada saat itu, manusia dikumpulkan di sebuah tempat yang begitu panas. Mereka menjadi sangat cemas, lelah, dan tersiksa diliputi ketidakpastian.

Mereka ingin segera masuk pada fase selanjutnya, yaitu hari perhitungan amal (yaumul hisaab), namun mereka bingung kepada siapa harus mengadu meminta bantuan (syafaat) agar segera terlepas dari kondisi yang tidak menyenangkan itu.

Mereka mendatangi Nabi Adam AS, namun Nabi Adam pun tidak bisa memberikan syafaat, Nabi Adam berkata “Nafsi, nafsi, nafsi” (masing-masing) sambil merekomendasikan untuk mendatangi Nabi Nuh AS.

Saat menyampaikan permintaan yang sama, ternyata Nabi Nuh AS pun memberikan jawaban yang sama pula. Nabi Nuh AS kemudian merekomendasikan untuk mendatangi Nabi Ibrahim AS, selanjutnya ke Nabi Musa, lalu kepada Nabi Isa AS.

Permintaan yang sama mereka ajukan, namun semua nabi yang direkomendasikan memberikan jawab yang sama. Masing-masing sedang berjuang untuk keluar dari impitan kesusahan yang dirasakan.

Akhirnya, Nabi Isa AS merekomendasikan mereka untuk mendatangi Nabi Muhammad SAW. Lalu, Nabi Muhammad SAW bersujud di bawah Arsy. Allah SWT berfirman, “Angkatlah kepalamu, mintalah maka akan Aku beri, mintalah syafaat maka akan Aku beri syafaat.” Lalu Nabi Muhammad SAW meminta syafaat untuk umatnya dengan mengatakan, “ummatii, ummatii, ummatii.”

Subhanallah walhamdulillah, betapa besar cinta Rasulullah SAW kepada umatnya. Kalaulah Rasul begitu cinta pada umatnya, lalu alasan apa yang menghalangi umatnya untuk mencintai Rasul? Bukankah syafaat itu pun hanya diberikan kepada umat yang mencintainya?

Lalu, seberapa besar cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW, pemilik syafaatul udzma? Mari refleksi dan evaluasi sebelum kita menyesal nanti. Mari perbanyak shalawat dan mengikuti sunah serta ajaran-ajarannya seraya meninggalkan apa-apa yang tidak disukainya sebagai salah satu bentuk rasa cinta kepadanya. Allahumma shalli wasallim alaih.

Wallahu a’lam.

OLEH ADE ZAENUDIN

KHAZANAH REPUBLIKA

Kisah Maulid: Sejarah Muhammad Muda Jadi Delegasi Damai

Kisah maulid Nabi Muhammad SAW masa muda

Selain pernah ikut terlibat  dalam pertempuran Fijar, kisah hidup Nabi Muhammad muda juga sempat menjadi delegasi damai. Atas anjuran Zubair bin ‘Abdul-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan acara itu yang dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym.

“Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihakyang teraniaya sampai orang itu tertolong,” tulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad. 

Husen Haekal menuturkan, Muhammad muda  menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf’l-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.” 

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. 

Pahit getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum-minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya.  

Pertanyannya, adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? 

“Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi,” katanya. 

Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Makkah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Makkah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu.

“Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apakah Amal Pelaku Bid’ah Tidak Diterima?

Di antara bahaya bid’ah adalah menyebabkan amal menjadi tertolak atau tidak diterima. Namun, apakah seluruh bagian amalannya tertolak atau hanya bagian yang bid’ah saja yang tertolak? Simak uraian berikut ini.

Tertolaknya amalan bid’ah

Hal ini didasari oleh banyak dalil. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada dasar di dalamnya, maka amal itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Sebagaimana juga perkataan sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkaitan tentang bid’ah qadariyyah (sekelompok orang yang berbuat bid’ah dalam perkara akidah dengan mengingkari takdir),

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي» ، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Apabila kamu bertemu mereka, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku. Dan demi Zat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya salah seorang dari mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya sedekahnya tidak akan diterima hingga dia beriman kepada takdir (baik dan buruk).” (HR. Muslim no. 8)

Juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan kelompok Khawarij,

يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari busur panah.“

Setelah sebelumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ، وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ، وَيَقْرَءُونَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ

“Akan muncul suatu kaum di tengah-tengah kalian yang kalian akan meremehkan salat kalian bila melihat salat mereka, begitu juga dengan puasa kalian jika melihat puasa mereka, serta amal kalian jika melihat amal mereka. Mereka membaca Al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan.” (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5058, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063)

Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kondisi orang-orang khawarij yang sangat gemar beribadah. Kuantitas salat, puasa, atau amal mereka secara umum itu lebih dari amal yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus tubuh hewan (sasaran panah) karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat dari busur panah.

Oleh karena itu, jika telah ditetapkan bahwa amal sebagian pelaku bid’ah (dalam hal ini adalah qadariyyah dan khawarij) itu tidak diterima, maka setiap pelaku bid’ah perlu merasa khawatir akan memiliki nasib yang sama.

Rincian amalan bid’ah yang tertolak

Penjelasan Syekh Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan

Dalam kitab “Diraasatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in” [1], dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan bahwa ada dua kemungkinan maksud dari “amal pelaku bid’ah tidak diterima”, yaitu:

Kemungkinan pertama

Semua amal ibadahnya tidak diterima sama sekali, baik amal yang sesuai dengan sunnah (tidak tercampur bid’ah) atau amal yang merupakan bid’ah. Kemungkinan pertama bisa saja terjadi dalam salah satu dari tiga bentuk berikut ini:

Pertama, semua status amalan pelaku bid’ah dihukumi sesuai zahir dalil-dalil di atas. Yaitu semua pelaku bid’ahbid’ah apapun itu, maka amalnya tidak diterima sama sekali. Baik amal tersebut dimasuki bid’ah ataukah tidak.

Kedua, seluruh amalannya tertolak jika bid’ah yang dilakukan itu terjadi pada salah satu landasan pokok agama, sedangkan banyak amalan yang bercabang dari landasan tersebut.

Sebagaimana jika seseorang memiliki keyakinan bahwa tidak boleh mengamalkan hadis ahad secara mutlak. Karena mayoritas taklif (pembebanan syariat) dibangun di atas hadis-hadis tersebut. Dan beban syariat itu diberlakukan kepada seseorang, atas dasar dalil Al-Qur’an dan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika dalilnya ditolak, maka konsekuensinya, semua amalannya juga tertolak.

Ketiga, dalam sebagian perkara ta’abbudiyah dan juga beberapa perkara lainnya, terkadang keyakinan bid’ah-nya tersebut akan menyeretnya untuk melakukan takwil (merubah makna dalil). Kemudian takwil ini akan mempengaruhi akidahnya sehingga menjadi lemah, dan berujung membatalkan semua amalnya karena lemah dan rusaknya akidah.

Bentuk ketiga ini bisa diperjelas dengan beberapa contoh berikut ini:

Contoh pertama, seseorang yang melakukan bid’ah, terkadang lama kelamaan ia akan meyakini bahwa selain dalil, akal juga bisa menetapkan syariat. Dan dalil itu hanya sebagai penguat dari apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Sehingga pelaku bid’ah ini menjadikan dalil itu sebagai pendukung dan penguat saja, bukan penentu utama dalam penetapan hukum syar’i. Namun, penentu utamanya adalah akal. Sehingga semua amal yang dia lakukan dibangun di atas apa yang ditunjukkan atau ditetapkan oleh akalnya, bukan atas apa yang ditunjukkan oleh dalil. Ini adalah akidah yang rusak dan menyimpang. Sehingga, dalam kondisi inilah, seseorang bisa tertolak semua amalannya karena rusaknya akidah.

Contoh kedua, orang yang melakukan bid’ah, ia menganggap bid’ah itu sebagai sebuah kebaikan. Konsekuensinya, ia beranggapan bahwa syariat Islam itu belum sempurna sehingga perlu ditambah dan dimodifikasi kembali. Ini akan menyeret dia untuk mengingkari atau men-takwil firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Dalam kondisi inilah, seseorang bisa tertolak semua amalannya karena menolak atau mentakwil ayat Al-Qur’an.

Keempatbid’ah yang menyebabkan seluruh amal tertolak adalah jika seseorang terjerumus dalam bid’ah yang sampai pada level kekufuran. Misalnya, bid’ah qadariyyah seperti yang disebutkan dalam riwayat di atas. Orang yang tidak beriman kepada takdir, maka dia kafir. Dan sebanyak apa pun amal ibadah orang kafir, tidak akan diterima amalannya.

Kemungkinan kedua

Amalan yang tidak diterima adalah hanya amalan yang tercampur dengan bid’ah. Adapun amal lain yang sesuai dengan sunnah, maka tetap diterima. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada dasar di dalamnya, maka amal itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Di dalam riwayat Muslim dengan lafaz,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka dia tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Penjelasan Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri

Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri menjelaskan bahwa terkait dengan tertolak tidaknya suatu amal ibadah yang mengandung bid’ah, terdapat rincian yang perlu diperhatikan:

Pertama, jika bid’ah itu 100% murni baru, tidak ada asal usulnya sama sekali dari syariat. Jika ini yang terjadi, maka keseluruhan ibadah baru tersebut tertolak. Misalnya, jika seseorang berbuat bid’ah dengan mendirikan salat wajib keenam dalam sehari semalam.

Kedua, jika ibadah tersebut pada asalnya ada tuntunan dari syariat, namun dilakukan dengan suatu tata cara yang bid’ah. Jika ini yang terjadi, ada dua rincian:

Rincian pertama, jika bid’ah tersebut menyebabkan bentuk lahiriah dari suatu ibadah berubah. Misalnya, seseorang mendirikan salat zuhur lima rakaat. Rakaat kelima dalam hal ini adalah bid’ah yang menyebabkan bentuk lahiriah salat zuhur berubah. Oleh karena itu, yang tertolak bukan hanya rakaat kelima saja, namun keseluruhan salat zuhur yang didirikan orang tersebut juga tertolak.

Rincian kedua, bid’ah yang ada tidak sampai menyebabkan berubahnya bentuk lahiriah dari suatu ibadah. Misalnya, seseorang salat zuhur dengan membaca niat “usholli … “ dengan suara keras. Bacaan usholli dengan suara keras sebelum salat tidaklah mengubah bentuk lahiriah salat. Dalam kondisi ini, yang tertolak hanyalah amalan bid’ah-nya saja (yaitu, bacaan usholli), sedangkan amal yang tercampur dengan bid’ah (yaitu, salat zuhur) tidaklah tertolak. [2]

Penjelasan Syekh Abdul Karim Al-Khudhair

Syekh Abdul Karim Al-Khudhair juga menjelaskan, “Apakah salat yang mengandung bid’ah dianggap satu bagian seluruhnya? Apakah kita katakan bahwa salat itu satu bagian sejak awal takbir sampai salam? Apakah dengan adanya praktek bid’ah dalam salat lalu membuat semua bagian salatnya batal? Karena teks hadis “maka amalannya tertolak” bisa berkonsekuensi membuat seluruh salatnya batal.

Kita katakan, masalah ini terkait dengan kaidah, “Jika ada amalan makruh atau haram dalam salat, maka salatnya batal dan tertolak.” Ini merupakan kaidah ulama zahiriyah. Yang mereka memandang bahwa adanya perkara yang dilarang dalam suatu amalan, akan berkonsekuensi batalnya amalan. Namun, jumhur ulama tidak demikian. Mereka merinci hal ini. Jika perkara terlarang yang dilakukan itu terkait dengan bagian inti dari ibadah, atau terkait dengan syarat dari suatu ibadah, maka ibadahnya batal.

Namun, perkara terlarang yang dilakukan itu terkait dengan perkara eksternal dari ibadah tersebut, apakah ibadahnya menjadi batal?

Contohnya, jika seseorang lelaki salat menggunakan surban dari sutra. Jika mengikuti kaidah ulama zahiriyah, salat orang tersebut batal dan ia adalah mubtadi‘ dalam masalah ini. Karena ia mengamalkan amalan yang tidak Nabi tuntunkan dalam salat. Namun, jumhur ulama tidak berpendapat demikian. Menurut jumhur ulama, salat orang tersebut sah, namun ia mendapat dosa karena memakai kain sutra. Berbeda jika ia melakukan perkara terlarang pada bagian inti dari salat. Seperti orang yang mengerjakan salat sunnah pada waktu yang terlarang tanpa sebab, atau seorang wanita salat dalam keadaan haid, atau salat dalam keadaan junub, maka ini semua batal salatnya. Demikian juga, sebagaimana orang yang puasa di hari ‘Id, ini juga tertolak puasanya. Karena ia melakukan perkara yang terlarang yang terkait dengan inti amalan.

Demikian juga, jika melakukan perkara yang terlarang yang terkait dengan syarat amalan. Padahal syarat adalah sesuatu yang menyebabkan amalan menjadi tidak sah tanpanya. Maka ketika itu, salat menjadi batal, ibadahnya batal, dan akadnya batal.

Namun, jika melakukan perkara terlarang yang bersifat eksternal, maka ini tidak membatalkan amalannya. Ia mendapatkan pahala, salatnya sah, tidak tertolak ketika itu, namun ia mendapatkan dosa.” [3]

Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabbnya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Referensi:[1] Disarikan dari kitab Diraasatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syekh Dr. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan, penerbit Daarul Minhaj KSA, cetakan pertama tahun 1436 H (hal. 88-91). [2] Penjelasan ini dinukil secara makna oleh guru kami, Ustadz Dr. Aris Munandar hafizhahullah, dalam website beliau di sini. [3] Ar-Riyadhuz Zakiyyah Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah, karya Syekh Abdul Karim Al-Khudhair, cetakan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama tahun 1438 H, hal. 120. [4] Penulis mengucapkan jazakallahu khairan kepada Ustadz Yulian Purnama, S.Kom yang telah memberikan saran dan koreksi atas draft artikel ini.

Sumber: https://muslim.or.id/69538-apakah-amal-pelaku-bidah-tidak-diterima.html

Metode Beriman kepada Malaikat (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Metode Beriman kepada Malaikat (Bag. 1)

Beriman secara keseluruhan, tanpa membeda-bedakan

Termasuk dalam iman kepada malaikat secara global (mujmal) adalah beriman kepada seluruh malaikat, tanpa membeda-bedakan, hanya beriman kepada malaikat tertentu, dan mengingkari malaikat yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 136)

Oleh karena itu, wajib beriman terhadap seluruh malaikat, tanpa membeda-bedakan satu pun di antara malaikat dalam masalah keimanan ini. Membeda-bedakan ini bisa jadi dalam masalah jumlah (kuantitas) dan bisa jadi dalam masalah sifat.

Dalam masalah jumlah (kuantitas), misalnya hanya beriman kepada sebagian malaikat saja, dan mengingkari sebagian malaikat yang lain. Yang semacam ini berarti bertentangan dengan ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, bahwa keimanan kepada malaikat itu mencakup iman kepada seluruh malaikat, tanpa membeda-bedakan.

Beberapa bentuk terlarang yang terkait dengan melekatkan sifat tertentu kepada malaikat

Beberapa bentuk terlarang yang terkait dengan melekatkan sifat tertentu kepada malaikat adalah:

Pertama, keyakinan bahwa malaikat itu memiliki hak untuk diibadahi

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk beriman kepada malaikat, dan juga memerintahkan kita untuk tidak menjadikan malaikat sebagai Rabb yang disembah, dan melarang kita dari menjadikan mereka sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285)

Allah Ta’ala memperingatkan,

وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُواْ الْمَلاَئِكَةَ وَالنِّبِيِّيْنَ أَرْبَاباً أَيَأْمُرُكُم بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali ‘Imran [3]: 80)

Malaikat tidaklah memiliki sifat yang hanya khusus dimiliki oleh Allah Ta’ala, baik dalam hal uluhiyyah maupun rububiyyah. Malaikat tidak memiliki sifat rububiyyah dan uluhiyyah, yang itu khusus untuk Allah Ta’ala. Sehingga kita katakan, “Jangan sujud kepada malaikat, jangan shalat kepada malaikat, dan jangan berdoa meminta kepada malaikat.” Inilah hakikat tauhid. Dan perkataan semacam ini tidaklah menunjukkan rendahnya kedudukan malaikat atau berarti mencela mereka. Sama sekali tidak.

Kedua, keyakinan bahwa malaikat itu adalah anak perempuan Allah

Ini adalah keyakinan sebagian kaum musyrikin Arab. Ketika mereka meyakini bahwa malaikat itu berjenis perempuan, lalu mereka meyakini bahwa malaikat itu adalah anak perempuan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءاً إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ مُّبِينٌ

“Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah).”

أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُم بِالْبَنِينَ

“Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki.”

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلاً ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ

“Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah, jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.” (orang musyrik dulu sangat benci memiliki anak perempuan, pent.)

أَوَمَن يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.”

وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثاً أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban.”

وَقَالُوا لَوْ شَاء الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُم مَّا لَهُم بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan mereka berkata, “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 15-20)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala menceritakan tiga perkataan mereka berkaitan dengan malaikat yang mencapai puncak kekafiran dan kedustaan. Pertama, (1) mereka menjadikan malaikat sebagai anak perempuan Allah. Sehingga (2) mereka meyakini Allah memiliki anak. Dan anak Allah itu berjenis perempuan. Kemudian (3) mereka menyembah malaikat di samping menyembah Allah. Setiap perkataan itu cukup menjadikan mereka kekal di neraka. Kemudian Allah berkata dalam rangka mengingkari keyakinan mereka,

أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ

“Apakah Tuhan memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki?” (QS. Ash-Shaaffat [37]: 153)

Maksudnya, apa yang menyebabkan Allah lebih memilih (memiliki) anak perempuan daripada anak laki-laki?” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 42)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَأَصْفَاكُمْ رَبُّكُم بِالْبَنِينَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلآئِكَةِ إِنَاثاً إِنَّكُمْ لَتَقُولُونَ قَوْلاً عَظِيماً

“Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).” (QS. Al-Isra’ [17]: 40)

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang musyrik yang membuat kebohongan atas nama Allah sebagaimana yang kami sebutkan, “Sesungguhnya kalian, wahai manusia, sungguh perkataan kalian “malaikat itu anak perempuan Allah” adalah perkataan yang amat besar (dosanya). Kalian membuat kebohongan atas nama Allah Ta’ala.” (Tafsir Ath-Thabari, 17: 453)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Haqiqatul Malaikat karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najarhal. 35-38. Kutipan-kutipan dalam artikel di atas adalah melalui perantaraan kita tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/69524-metode-beriman-kepada-malaikat-bag-2.html

Stiker Jaga Jarak Dihapus, Jamaah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Rapatkan Shaf

Petugas mulai membuka stiker sosial distancing (pembatasan sosial) di koridor dalam dan gedung Masjidil Haram sejalan dengan pelonggaran prosedur operasional standar (SOP) terkait Covid-19. Saudi Press Agency melaporkan langkah penghapusan tanda pembatas juga merupakan bagian dari persiapan untuk menyambut jamaah umrah dan pengunjung Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang dibuka dengan kapasitas penuh mulai hari Ahad ini.

Ini adalah salah satu dari enam kebijakan pelonggaran Covid-19 terbaru yang diumumkan oleh pemerintah Arab Saudi Jumat lalu. Melalui infografis yang diunggah di laman Twitter resminya, Kementerian Dalam Negeri (MOI) Arab Saudi menginformasikan bahwa pemerintah tidak lagi mewajibkan penggunaan masker setengah wajah di tempat terbuka, kecuali di tempat-tempat tertentu dan tertutup, termasuk di dua tempat tersebut, termasuk dua masjid suci.

“Karyawan dan pengunjung dua masjid suci itu tetap wajib menggunakan masker selama berada di dalam, selain wajib mendaftar melalui aplikasi Eatmarna atau Tawakkalna,” ujarnya.

Kementerian juga memberikan izin kepada sistem transportasi umum, restoran, bioskop, dan ruang acara untuk beroperasi dengan kapasitas penuh tanpa tunduk pada perintah penahanan fisik. Namun, hanya individual yang sudah menerima dua suntikan vaksin yang diizinkan memasuki lokasi.

Izin ini juga diberikan kepada mereka yang dikecualikan dari pengambilan vaksin karena faktor kesehatan dengan wajib memakai masker setengah wajah.  Menurut kementerian, pembatasan fisik dan pemakaian masker setengah wajah masih wajib di tempat-tempat di mana status kesehatan pengunjung tidak dapat dikonfirmasi melalui aplikasi Tawakkalna.

Pemilik tempat umum dan pribadi diharuskan untuk mengkonfirmasi tingkat vaksinasi pengunjung melalui aplikasi Tawakkalna sebelum mereka diizinkan memasuki tempat masing-masing.

Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Masjidil Haram, Dr Saad bin Mohammed Al Muhaimid, mengatakan bahwa sebuah rencana telah dilaksanakan agar masjid dapat beroperasi dengan kapasitas penuh sambil memastikan keselamatan semua orang.  Sejauh ini, lebih dari 20,6 juta dari 34,8 juta penduduk negara itu telah divaksinasi.

“Ini adalah berita bagus,” kata Naushad Mohammed, seorang warga negara Inggris yang tinggal di kerajaan itu,” dikutip TheNationalNews. “Arab Saudi telah melakukan pekerjaan yang mengesankan dan luar biasa dalam merawat rakyatnya, baik itu penduduk atau warga negara selama pandemi. Kami semua diberi perawatan medis dan vaksin gratis dan sangat beruntung telah berada di sini selama pandemi. Saya senang kita sedang membuka babak baru dan berharap dunia bisa kembali normal,” tambahnya.

“Mulai hari ini, fasilitas Kementerian Olahraga akan menerima penggemar olahraga dalam kapasitas penuh,” lapor media pemerintah. Kafe, mal, aula pernikahan, bioskop, dan restoran juga akan menampung tamu dengan kapasitas penuh tanpa jarak sosial.

Arwa Bashaen, warga negara Saudi, mengatakan: “Jujur saya sangat lega mendengar bahwa kami akhirnya dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari kami tanpa menggunakan masker dan jarak sosial. Kami belum dapat menyelenggarakan pernikahan di keluarga karena kami ingin semua orang yang kami cintai berada di sana. Ini baru saja membuat keluarga kami sangat bahagia.”

Sementara itu, para orang tua berharap sekolah di kerajaan akan mengizinkan siswa sekolah dasar untuk bergabung dengan kelas mulai minggu depan.

“Karena semuanya terbuka, saya berharap hal yang sama berlaku untuk sekolah juga,” kata Ayesha Abdullah, warga Saudi yang tinggal di Jeddah. “Sejauh ini, hanya sekolah menengah yang menerima anak-anak kembali. Saya berharap anak-anak saya, yang berusia 4 dan 6 tahun dapat melanjutkan sekolah di sekolah mulai minggu depan sesuai dengan apa yang kami diberitahukan,” katanya.

Menurut rencana, murid sekolah akan kembali ke kelas pada bulan Agustus di tengah tindakan pencegahan.*

HIDAYATULLAH

Sang Legenda, Muhammad Ali

Muhammad Ali yang nama lahirnya adalah Cassius Marcellus Clay, Jr, lahir 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Ia lahir dari keluarga kulit hitam yang miskin. Di saat isu rasial begitu menyeruak.

Saat ia sedang bermain di tempat olahraga di Kentucky, seseorang mencuri sepedanya. Ia benar-benar jengkel dengan pencuri itu dan mengancam akan menghajarnya hingga remuk. “Akan kuhajar hingga hancur dan kupukuli hingga terluka parah, kalau ia ditemukan,” kata anak kurus tinggi itu di hadapan polisi. Polisi tidak menanggapi serius amarah si anak. Mereka malah mengatakan, kalau mau menghajar orang sampai babak belur, ya belajar tinju dulu. Kejadian inilah yang mengubah kehidupannya. Ali mulai latihan tinju pada tahun 1954, saat itu ia baru berusia 12 tahun.

Menjadi Petinju Profesional

Muhammad Ali memulai debut profesionalnya di dunia tinju pada tahun 1960. Setelah memenangkan mendali emas di Olimpiade Roma. Saat itu ia tengah menginjak usia 18 tahun. Pada tahun 1964, dunia dikejutkan dengan kemenangan Ali atas Sonny Litson. Ali, pemuda 22 tahun yang tidak dikenal dan sama sekali tak diunggulkan, bahkan diprediksi akan mati di atas ring karena mulut besarnya yang mengejek Litson, berhasil mengalahkan petinju yang menakutkan.

Kemenangan Ali atas Sonny Litson menjadikannya seorang bintang. Dan karirnya terus melesat. Ia menjadi idola dan pahlawan bagi pemuda kulit hitam Amerika.

Di puncak karirnya tahun 1966, Ali menolak bergabung di pasukan Amerika dalam Perang Vietnam. Konsekuensinya izin bertandingnya di cabut di semua negara bagia Amerika dan paspornya dicabut. Selama 4 tahun (1967-1970), dari umur 25 tahun hingga 29 tahun, Muhammad Ali tidak melakukan satu pun pertandingan tinju professional.

Pada tahun 1970, Ali kembali mendapatkan izin bertanding. Pertandingan perdananya setelah ‘pengasingan’ adalah menghadapi Oscar Bonavena. Ali berhasil meng-KO Oscar dalam pertandingan itu. Kemenangan ini membawanya pada pintu kejayaan kembali dengan menantang juara dunia Joe Frazier. Pertandingan dua juara dunia yang kala itu digadang sebagai Fight of the Century. Dalam pertandingan ini Ali dipaksa menerima kekalahan professional pertamanya. Pada pertemuan berikutnya Ali berhasil mengalahkan Frazier.

Pada tahun 1974, Muhammad Ali kembali menyabet gelar juara dunia setelah berhasil mengalahkan George Foreman.

Karir tinju profesionalnya mencatatkan rekor 57 kali menang, 37 di antaranya menang dengan KO.

Memeluk Islam

Muhammad Ali mengumumkan keislamannya pada tahun 1975. Lalu ia mengganti nama baptisnya Cassius Marcellus Clay, Jr. menjadi Muhammad Ali Clay. Ketika ditanya apa yang membuatnya mengganti keyakinan menjadi seorang muslim. Ali menjawab dengan jawaban yang luar biasa, “Aku belum pernah melihat begitu banyak cinta. Saling pelukan dan cium antar mereka. Shalat 5 waktu dalam sehari. Wanita memakai pakaian yang panjang. Cara mereka makan. Engkau bisa pergi ke negara manapun dengan menyapa ‘assalamu’alaikum – wa’alikumussalam. Kau punya rumah. kau punya saudara. Aku memilih Islam karena itu bisa menghubungkanku (persaudaraan kepada siapa saja). Sebagai seorang Kristen di Amerika, aku tidak bisa pergi ke gereja orang kulit putih…”

Ia melanjutkan, “(Dalam Islam) Aku merasakan kebaikan. Aku merasakan kebebesan. Islam membuatku terhubung dengan Saudi Arabia. Persaudaraan Islam menghubungkanku dengan Pakistan, Maroko, Syiria. Aku bisa tinggal di istana-istana (pemimpin muslim dunia) karena aku seorang muslim. Menjadi penganut Kristen aku tidak pernah duduk (setara) dengan pemimpin-pemimpin. Sebagai seorang muslim, aku duduk bersama (Anwar) Sadad, (Gamal Abdul) Naser, Marcos Presiden Filipina. Raja-raja (Arab), Sultan Abu Dhabi, dan masyarakat menyambutku layaknya seorang saudara… Oleh karena itu, aku memilih agama Islam.”

Pelajaran bagi kita kaum muslimin, jangan lupakan ucapan salam sesama umat Islam. Karena salam menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

لَا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا ، وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkanlah salam di antara kalian.”

Sabda Nabi ﷺ dirasakan sendiri oleh Muhammad Ali ketika ia masih beragama Kristen. Ia melihat begitu banyak cinta dan persaudaraan pada umat Islam dengan ucapan salam.

Peranan Sebagai Seorang Muslim

Pada tahun 2005 ia mendirikan Muhammad Ali Center di kampung halamannya Louisville. Tempat ini berfungsi sebaga pusat dakwah. Mungkin untuk memancing daya tarik orang-orang berkunjung kemudian mempelajari Islam, Muhammad Ali menaruh sebagian benda-benda koleksinya di sini. Tempat ini juga beroperasi sebagai organisasi non-profit untuk menyebarkan ide-ide perdamaian, kesejahteraan sosial, membantu orang yang membutuhkan, dan nilai-nilai luhur yang  Muhammad Ali yakini.

Upacara pembukaan tempat ini dihadiri oleh sejumlah besar penggemar Muhammad Ali yang datang dari berbagai belahan dunia, termasuk mantan Presiden AS Bill Clinton.

Muhammad Ali mengatakan, “Saya ingin tempat ini mendorong seseorang untuk memberikan yang terbaik dalam bidang pilihan mereka.”

Sejak aktif di dunia sosial, Muhammad Ali telah mengunjungi banyak negara untuk membantu program kesehatan anak dan orang-orang miskin. Di antara negara yang telah ia kunjungi adalah Maroko, Pantai Gading, Indonesia, Meksiko, dll.

Ia juga memperhatikan masyarakat bawah di Amerika Seirka, terutama kalangan Afrika Amerika yang sering mengalami diskriminasi.

Ucapan-Ucapan Ali

“Mengapa mereka harus memintaku untuk mengenakan seragam dan pergi sepuluh ribu mil dari rumah untuk menjatuhkan bom dan peluru pada orang-orang coklat di Vietnam sementara yang disebut orang negro di Louisville diperlakukan seperti anjing dan menolak hak asasi manusia sederhana?” Ali, Februari, 17, 1966.

“Orang-orang mengatakan aku berbicara begitu lambat sekarang. Tidak mengherankan. Aku menghitung sudah melakukan 29.000 pukulan. Tapi aku mendapatkan $ 57.000.000 dan disimpan setengah dari itu. Jadi aku melakukan beberapa pukulan keras. Apakah Anda tahu berapa banyak laki-laki hitam dibunuh setiap tahun oleh senjata dan pisau tanpa sepeser pun untuk nama-nama mereka? aku mungkin bicara lambat, tapi pikiranku baik-baik saja.” – Ali, 20 Januari, tahun 1984.

Ketika terjadi penyerangan di Paris yang diklaim dilakukan kelompok ISIS, Muhammad Ali angkat bicara,

“Aku seorang Muslim. Tidak ada ajaran Islam tentang membunuh orang yang tidak bersalah di Paris, San Bernardino, atau di mana pun di dunia ini. Muslim sejati tahu bahwa kekerasan dan kekejaman yang disebut Jihadis Islam sangat bertentangan dengan ajaran agama kita.” – Ali, 2015.

Aku tidak merokok, tapi aku selalu membawa korek api di kantong celana. Setiap kali hatiku tergerak untuk berbuat dosa, maka kubakar satu batang korek api. Kurasakan panasnya di telapa tangan. Kukatakan dalam hati, “Ali, menahan panasnya korek api ini saja kau tak sanggup. Bagaiamana dengan dahsyatnya panas api neraka?”

Wafat

Muhammad Ali meninggal pada hari Sabtu, 4 Juni 2016, di usia 74 tahun. Mantan juara dunia kelas berat ini meninggal di sebuah RS di Kota Phoenix negara bagian Arizona, setelah dirawat sejak Kamis.

Ali menderita gangguan pernapasan, karena komplikasi yang disebabkan oleh penyakit Parkinson yang dideritanya.

Pihak keluarga menyatakan, pemakaman akan dilakukan di kampung halaman Ali di Louisville, Kentucky.

Sumber:
– https://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Ali
– http://islamstory.com/ar/الملاكم_الأمريكي_محمد_علي_كلاي
– Video-video wawancara dengan Muhammad Ali

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/5527-sang-legenda-muhammad-ali.html#more-5527