Jamaah Umroh Keluar Saudi 100 Persen Negatif, Tiba di Indonesia Ada yang Positif Covid-19

Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kementerian Agama (Kemenag), Nur Arifin, menyampaikan jamaah umroh telah melaksanakan tes PCR sebelum kepulangan ke Indonesia. Hasil tes menunjukkan mereka negatif Covid-19 dan bisa meneruskan perjalanan.

“Menjelang kepulangan ke Indonesia (hari ke-9) mereka di PCR. Alhamdulillah hasilnya 100 persen atau semuanya negatif. Begitu tiba di Indonesia mereka dites PCR lagi. Nah, di sini baru ada yang positif,” kata dia saat dihubungi Republika, Rabu (19/1).

Selama perjalanan umroh, jamaah disebut melakukan tes PCR beberapa kali. Tes pertama dilakukan 414 jamaah di Asrama Haji Pondok Gede pada 8 Januari. Hasilnya, semua jamaah dinyatakan negatif Covid-19.

Tes berikutnya dilakukan sesampainya mereka di Saudi. Sesuai aturan Otoritas Bandara Saudi atau GACA, jamaah melakukan karantina selama lima hari. Pada hari keempat, mereka menjalani tes PCR dengan hasil 100 persen negatif.

“Karena negatif semua, maka mereka bisa melaksanakan umroh. Seluruh penyelenggara umroh yang menyertai jamaah senantiasa kita titip pesan untuk mengawal dan mengawasi jamaah, agar disiplin mematuhi protokol kesehatan dan terhindar dari Covid-19,” lanjutnya.

Nur Arifin juga menyampaikan pihaknya rutin melakukan pertemuan dengan Kementerian Kesehatan, untuk membahas perkembangan Covid-19 dan pelaksanaan umroh.

Adapun penerbangan untuk keberangkatan jamaah umroh disebut masih berjalan hingga hari ini. 305 jamaah disebut akan bertolak ke Saudi pukul 19:00 WIB hari ini, menggunakan maskapai Saudi Airlines.

Sebelumnya diberitakan Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmidzi, menyebut 87 jamaah umroh asal Indonesia dilaporkan positif terpapar Covid-19. Sepuluh jamaah di antaranya antaranya probable Omicron.

“Dari data ada 87 kasus positif dari jamaah umroh, tadinya ada 28 orang. Sepuluh yang probable Omicron,” kata dia.  

IHRAM

Pengaruh Lingkungan dalam Bersikap Adil dan Obyektif

Orang yang terlahir dalam lingkungan atau masyarakat yang memiliki keyakinan yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah, seperti memegang teguh mazhab takwil yang keliru, mazhab tasawwuf yang menyimpang, atau sejenisnya, tentu akan tumbuh dan berkembang dengan keyakinan tersebut. Keyakinan itu terasa akrab baginya, sehingga boleh jadi keyakinan itu menjadi standar untuk mendukung dan memusuhi pihak tertentu, karena ia hampir tidak mengenali keyakinan yang lain. Dengan demikian, apabila ada pihak lain menyampaikan keyakinan yang benar dan menjelaskan kekeliruan apa yang diyakininya selama ini, maka dengan cepat dia menyangkalnya dan bersikap fanatik terhadap keyakinannya.

Syekh As-Sa’diy Rahimahullah dalam menafsirkan ayat 43 dari surat An-Naml mengatakan,

قال الله تعالى: ” وَصَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ ” أي عن الإسلام وإلا فلها من الذكاء والفطنة, ما به تعرف الحق من الباطل, ولكن العقائد الباطلة, تذهب بصيرة القلب ” إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ ” فاستمرت على دينهم. وانفراد الواحد عن أهل الدين, والعادة المستمرة بأمر, يراه بعقله من ضلالهم وخطأهم, من أندر ما يكون, فلهذا لا يستغرب بقاؤها على الكفر.

“Maksud firman Allah Ta’ala, ‘dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, telah mencegahnya…’ adalah apa yang disembahnya telah mencegah Balqis untuk masuk Islam. Balqis memiliki kecerdasan dan kepandaian yang bisa digunakan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Namun, keyakinan-keyakinan yang keliru itu telah melenyapkan mata hatinya (bashirah), karena ‘sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir’. Ia pun tetap memeluk agama mereka. Seorang yang mengasingkan diri dari masyarakat yang mempraktikkan suatu agama dan tradisi yang telah mengakar, karena melihat kesesatan dan kekeliruan mereka, merupakan hal yang sangat jarang terjadi. Itulah mengapa tidak heran jika Balqis tetap memilih kekufuran” (Tafsir as-Sa’diy).

Empat nasihat berharga untuk kaum muslimin

Ada 4 nasihat yang ingin disampaikan terkait hal ini. Berikut ini masing-masing penjelasannya.

Nasihat pertama, bagi para dai yang menyuarakan kebenaran, harus jeli bersikap ketika menghadapi kondisi di atas. Dia harus berperilaku lemah lembut kepada mereka yang masih memeluk keyakinan yang keliru, karena mengeluarkan seorang yang terlahir, berkembang, dan terdidik di atas suatu keyakinan bukanlah hal yang mudah. Kondisinya semakin berat jika orang tersebut memperoleh fakta yang diputarbalikkan terkait keyakinan yang benar beserta pengusungnya. Oleh karena itu, selain berusaha menjadi pribadi yang mengenal kebenaran, setiap ahli sunnah hendaknya juga berusaha menjadi pribadi yang menyayangi setiap makhluk.

Nasihat kedua, bagi para dai yang menyuarakan kebenaran, hendaknya menyadari bahwa syarat penegakan hujjah adalah lenyapnya kerancuan (syubhat) yang dapat menghalangi seseorang untuk menerima kebenaran. Berdasarkan hal itu, tergesa-gesa dalam memvonis pihak yang menyelisihi kebenaran, dan kehilangan harapan dalam mendakwahi mereka adalah hal yang tidak patut.

Nasihat ketiga, bagi mereka yang tumbuh dan berkembang di atas keyakinan tertentu, tatkala dipaparkan keyakinan lain yang bertopang pada Al-Quran dan As-Sunnah, hendaknya berlaku adil dan objektif. Tidak terburu-buru melakukan pengingkaran dan penolakan sebelum meminta kejelasan dan menimbang keyakinan yang berbeda dengan timbangan Al-Quran dan As-Sunnah.

Demikian pula, jika keyakinan yang selama ini diyakini terbukti keliru berdasarkan dalil yang dipaparkan oleh pihak lain, maka ia wajib menerima dan tunduk pada  kebenaran. Jika telah mengetahui kekeliruan dan kerusakan keyakinan yang dipeluknya, ia tak boleh menolak kebenaran dengan alasan mengikuti kebiasaan masyarakat dan bersikap fanatik terhadap keyakinan yang telah mendarah daging. Fanatisme hanyalah boleh ditujukan pada kebenaran.

Perlu dicamkan, bahwa tetap berada di atas kesalahan, dengan beralasan lingkungan dan masyarakat sekitar juga mempraktikkan hal yang serupa, merupakan alasan yang juga disampaikan oleh kaum musyrikin. Kaum musyrikin tidak bosan dan selalu mengulang-ulang pernyataan di telinga para nabi bahwa keyakinan mereka adalah produk turun-temurun yang berkembang di masyarakat.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka” (QS. Az-Zukhruf: 22).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَكَذٰلِكَ مَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍ ۙ اِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَآ ۙاِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ

“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum Engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama), dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka’” (QS. az-Zukhruf: 23).

Apakah patut kaum musyrikin menjadi teladan dalam hal ini?!

Nasihat keempat, bagi mereka yang memperoleh rahmat dan taufik Allah Ta’ala, hendaknya memuji Allah Ta’ala atas nikmat tersebut. Allah memberinya petunjuk untuk menerima keyakinan yang benar dan meninggalkan keyakinan yang keliru, meski keyakinan yang keliru tersebut tersebar luas di masyarakat. Kemudian hendaknya ia bersungguh-sungguh melakukan upaya untuk mengajak masyarakat pada ajaran agama yang benar dengan sikap yang hikmah. Bukan mengajak mereka dengan perkataan, perbuatan, dan interaksi yang justru membuat mereka menolak kebenaran. Salah satu bentuk sikap tidak hikmah adalah dengan bersikap arogan karena berada di atas kebenaran, dan bersikap meremehkan dan menghina keyakinan mereka. Semua itu justru akan memprovokasi mereka dan menghalangi mereka untuk menerima kebenaran.

Hikmah yang bisa dipetik dari Adz-Dzahabi Rahimahullah

Terakhir, kami ingin menyampaikan perkataan Adz-Dzahabi Rahimahullah, yang menjelaskan bagaimana sekelompok orang bisa tumbuh dan berkembang menjadi Nashibi dan Syi’i. Ternyata lingkungan berpengaruh dalam membentuk mereka; dan menjadi faktor penghalang bagi mereka, sehingga mereka tidak mampu bersikap adil dan objektif. Adz-Dzahabi Rahimahullah menyampaikan,

وخلف معاوية خلق كثير يحبونه ويتغالون فيه ويفضلونه، إما قد ملكهم بالكرم والحلم والعطاء، وإما قد ولدوا في الشام على حبه، وتربى أولادهم على ذلك، وفيهم جماعة يسيرة من الصحابة، وعدد كثير من التابعين والفضلاء، وحاربوا معه أهل العراق، ونشئوا على النصب -نعوذ بالله من الهوى- كما قد نشأ جيش علي رضي الله عنه ورعيته إلا الخوارج منهم على حبه، والقيام معه، وبغض من بغى عليه، والتبرؤ منهم، وغلا خلق منهم في التشيع.

فبالله كيف يكون حال من نشأ في إقليم لا يكاد يشاهد فيه إلا غالياً في الحب مفرطاً في البغض؟! ومن أين يقع له الإنصاف والاعتدال؟! فنحمد الله على العافية، الذي أوجدنا في زمان قد انمحص فيه الحق، واتضح من الطرفين، وعرفنا مآخذ كل واحدة من الطائفتين، وتبصرنا فعذرنا واستغفرنا، وأحببنا باقتصاد، وترحمنا على البغاة بتأويل سائغ في الجملة، أو بخطأ إن شاء الله مغفور، وقلنا كما علمنا ربنا: {وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ} [الحشر:10]، وترضينا أيضاً عمن اعتزل الفريقين: كـ سعد بن أبي وقاص، وابن عمر، ومحمد بن مسلمة، وسعيد بن زيد وخلق، وتبرأنا من الخوارج المارقين، الذين حاربوا علياً، وكفروا الفريقين

“Di belakang Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu terdapat banyak orang yang mencintainya; mengultuskan dan memprioritaskannya daripada sahabat yang lain. Hal ini dikarenakan sejumlah alasan, yaitu Mu’awiyah telah memikat hati mereka dengan kedermawanan, kesantunan, dan kelembutannya. Selain itu, mereka terlahir di negeri Syam dalam kondisi mencintai Mua’wiyah. Demikian pula dengan anak-anak mereka, terdidik untuk mencintai beliau. Di antara mereka terdapat beberapa sahabat serta sejumlah tabi’in dan para tokoh. Bersama Mu’awiyah, mereka memerangi penduduk Irak dan berkembang menjadi Nashibi. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu (yang condong kepada keburukan, ed.).

Demikian pula, pasukan dan rakyat Ali Radhiallahu ‘anhu tumbuh dan berkembang untuk mencintai beliau, kecuali Khawarij yang berada di antara mereka. Mereka berjuang bersama Ali; memusuhi dan berlepas diri dari setiap orang yang membencinya; dan tidak sedikit di antara mereka yang mengultuskan Ali, sehingga terjerumus dalam paham Syi’ah. Demi Allah, menurut Anda, bagaimana kiranya kondisi seseorang yang terlahir di suatu daerah dan menonton sikap yang berlebihan dalam mencintai dan membenci? Apakah ia bisa bersikap adil dan objektif terhadap pihak lain?

Maka kami bersyukur kepada Allah atas keselamatan yang diberikan, karena telah menghidupkan kami di saat kebenaran di antara kedua kubu tersebut telah nyata dan terklarifikasi. Kami pun mengetahui pijakan dari setiap kubu. Kami pun menilai, memberikan pemaafan, memohonkan ampunan, dan mencintai kedua kubu secara objektif. Kami memohon agar para pemberontak memperoleh rahmat, karena perbuatan mereka didorong oleh interpretasi yang beralasan atau kesalahan yang insyaallah diampuni. Ucapan kami sebagaimana yang diajarkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’ (QS. Al-Hasyr: 10).

Kami pun mendoakan agar keridaan Allah Ta’ala tercurah kepada para sahabat yang mengasingkan diri dan tidak memihak ke salah satu kubu, di antara mereka adalah Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdullah ibn Umar, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Zaid, dan banyak lagi. Kami pun berlepas diri sekte Khawarij yang menyempal dari ajaran agama, yang memerangi kubu Ali ibn Abi Thalib dan mengafirkan kedua kubu” (Siyar A’lam an-Nubala, 3: 128).

Demikian yang dapat dituliskan. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Sumber: https://muslim.or.id/71821-pengaruh-lingkungan-dalam-bersikap-adil-dan-obyektif.html

Salah Satu Gerakan Sholat ini Terbukti Menjadi Penangkal Covid-19

Wabah covid 19 yang semakin meluas menyebabkan para dokter dan ahli kesehatan kewalahan dalam menangani pasien. Berbagai cara pun mereka teliti untuk mengurangi pertumbuhan angka positif Corona. Di antara cara itu adalah penanganan terhadap kegagalan pernafasan yang menjadi salah satu ciri-ciri covid-19. Penanganan tersebut bisa dilakukan memposisikan tubuh seperti sedang sujud.

Bagi seorang muslim, sujud adalah posisi berlutut atau membungkuk dengan penuh penghayatan di hadapan Sang Pencipta. Rasullah bersabda: “Aku diperintah (oleh Allah) bahwa aku sujud di atas tujuh anggota; di atas dahi dan diisyarat dengan tangannya di atas hidungnya, dan dua tangan dan dua lutut dan perut-perut anak jari dua kaki.” (HR.Muttafaqun Alaih).

Posisi sujud adalah saat yang paling dekat dengan Allah Ta’ala, gerakannya sebagai bukti pengabdian, menyatakan kehinaan manusia di kehadapan-Nya, orang yang paling mulia adalah orang yang paling suka berlama-lama dalam sujud, memurnikan penyembahan hanya kepada Allah, memohon kepada-Nya di saat yang mustajab.

Para ahli telah meneliti dan menemukan manfaat besar dari posisi sujud. Sebuah posisi yang mirip dengan gerakan yoga, yakni child’s pose. Dalam posisi tersebut tubuh menungging dengan meletakkan kedua siku di depan kepala serta menempatkan lutut, ujung kaki, dan dahi pada lantai.ketika di posisi tersebut akan terjadi pengiriman oksigen ke bagian bawah paru-paru. Covid-19 akan menyerang ke bagian bawah paru-paru, membentuk cairan tebal yang akan memblokir paru-paru dan menyebabkan lemas serta berujung pada kegagalan pernafasan.para ahli telah membuktikan bahwa cara terbaik untuk mengirim oksigen ke paru-paru adalah dengan posisi tengkurap (sujud).

Dan ketika posisi tadi bisa ditambah dengan berdehem (batuk-batuk) pagar lendir tebal tadi bisa segera mencair, berpindah dan tersaring di paru-paru. Cara ini di dalam ilmu kedokteran disebut dengan teknik proning. Tetapi, tehnik ini bukanlah solusi untuk menyembuhkan covid-19 secara total. Melainkan hanya sebagai langkah yang dilakukan tim medis untuk menyelamatkan kegagalan pernapasan pada pasien berciri-ciri atau bahkan positif Covid-19.

Namun meskipun kegiatan sujud itu merupakan hal kecil, jangan disepelekan begitu saja. Karena pada kenyataannya banyak sekali manfaat yang terkandung di dalamnya.kitapun sudah sepatutnya untuk menjadikan posisi itu sebagai kebiasaan. Dan posisi itu pun sebenarnya sudah kita terapkan setiap hari, bahkan beberapa kali dalam sehari. Yakni pada saat kita shalat. Ketika kita bisa berada pada posisi sujud yang sempurna, maka kita juga telah mempraktekkan teknik proning dengan sempurna. Sehingga, secara tidak langsung kita telah ikut membantu para dokter, ahli kesehatan, dan tim medis dalam memperkecil angka positif covid-19 di dunia.

ISLAM KAFFAH

Sembuh dari Sakit, Ini Ucapan Syukur yang Sunah Dibaca

Setiap orang pasti adakalanya sehat, juga adakalanya sakit. Ketika sakit, seseorang dianjurkan untuk berusaha menyembuhkan penyakitnya, baik dengan pergi ke dokter, minum obat dan lain sebagainya. Selanjutnya, ketika mengalami sembuh dari sakit yang diberikan oleh Allah, maka dianjurkan untuk membaca doa berikut;

الْحَمد لله الَّذِي بعزته وجلاله تتمّ الصَّالِحَات

Alhamudu lillaahil ladzii bi ‘izzatihii wa jalaalihii tatimmush shoolihaat.

Segala puji bagi Allah, melalui kemuliaan dan keaguangan-Nya kebaikan-kebaikan menjadi sempurna.

Doa ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Hakim dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم مَا يمْنَع أحدكُم إِذا عرف الْإِجَابَة من نَفسه فشفي من مرض أَو قدم من سفر أَن يَقُول الْحَمد لله الَّذِي بعزته وجلاله تتمّ الصَّالِحَات

Rasulullah Saw bersabda; Apa yang mencegah salah satu dari kalian ketika mengetahui doanya diijabah dari dirinya sehingga disembuhkan dari penyakit atau datang dari perjalanan untuk mengucapkan, ‘Alhamudu lillaahil ladzii bi ‘izzatihii wa jalaalihii tatimmush shoolihaat (Segala puji bagi Allah, melalui kemuliaan dan keaguangan-Nya kebaikan-kebaikan menjadi sempurna).

BINCANG SYARIAH

Tafsir Surah Luqman Ayat 13-15: Nasihat Pertama Luqman Terhadap Anaknya

Salah satu hal terpenting yang menjadi kewajiban orang tua dalam Islam ialah mendidik dan mengajarkan anak-anaknya tentang kewajibannya sebagai seorang manusia. Terutama kewajibannya kepada Tuhannya.

Hal tersebutlah merupakan nasihat yang pertama kali diungkapkan Luqman pada anaknya. Sebagai seorang hamba, Luqman mendidik anaknya untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Pasalnya, tindakan menyekutukan Allah adalah dosa besar. Yang tak diampuni. Allah berfirman;

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللهِ, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Luqman: 13)

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Qur’anul al- Adzim, Jilid VI,halaman 336, menjelaskan  dengan mengutip pendapat Al-Suhaili, bahwa nama lengkap Luqman sendiri ialah Luqman bin Unaqa’a bin Sadun sedang anaknya bernama Tsaran.

Ia mengatakan tafsir surah Luqman tersebut, bahwa Allah mengisahkan Luqman yang menasihati anaknya supaya tidak menyekutukan Allah. Luqman AL Hakim menasehati anaknya hal yang paling fundamental dalam agama, yakni tidak memperbolehkan anaknya berbuat syirik, karena syirik merupakan kezaliman yang besar.

Kenapa Luqman mengatakan syirik dengan kezaliman yang besar? Syekh Fakhr ad-Din ar-Razi dalam kitab, Mafatih Al-Ghaib Juz XXV, halaman 147” menjelaskan  sebagai berikut;

“Kesyirikan merupakan kezaliman, karena syirik berarti meletakkan jiwa yang mulia yang dimuliakan dengan firman Allah: “Dan Kami muliakan keturunan Adam” (Al-Isra: 70), untuk menyembah sesuatu yang hina (selain Allah) atau karena ia telah meletakkan ibadah pada selain tempatnya yaitu selain kepada Allah dan jalan-Nya.

Adapun kenapa kemudian disebutkan “yang besar”  karena ia telah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Syirik berarti melakukan penyembahan kepada selain Allah sedangkan tidak ada yang berhak disembah selain Allah”.

Kemudian, pada ayat selanjutnya Allah mengungkapkan nasihat yang diucapkan Luqman kepada anaknya, untuk selalu berbakti kepada orang tua. Terutama ibu yang telah bersusah payah mengandung selama sembilan bulan, melahirkan dengan taruhan nyawa, menyusui selama dua tahun dan kemudian merawatnya sehingga anaknya tumbuh dewasa.

Lebih lanjut, Allah menyandingkan bersyukur kepada-Nya dengan bersyukur (berbakti) kepada orang tua. Ini bukti bahwa Allah sangat memperhatikan bahkan mewanti-wanti agar seorang anak terus menghormati dan menjaga kehormatan serta terus berbakti kepada orang tua.

Dan bahkan meski orang tua mengajak kepada keburukanpun, anak harus tetap berbuat baik kepada orang tuanya dan menolak ajakan tersebut dengan cara yang baik. Allah berfirman;

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِى وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَىَّ ٱلۡمَصِيرُ وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengenai tafsir surah Luqman, dengan mengutip perkataan At-Thabarani dalam kitabnya Al-Asyarah dari riwayat Saad bin Malik berkata bahwa ayat 15 surat Luqman, menjelaskan bahwa Saad adalah seorang anak berbakti kepada ibunya.

Ketika ia masuk Islam, ibunya berkata kepadanya: “Wahai Saad! Hal apa yang telah engkau aku lihat perbuat? Tinggalkan agamamu tersebut atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku meninggal”. Sa’ad kemudian dicela karenanya dan ia dicap sebagai “pembunuh ibunya”.

“Jangan engkau lakukan itu wahai ibuku, aku tidak akan meninggalkan agamaku karena apapun”, Saad memohon kepada ibunya. Ibunya kemudian tidak makan apapun selama sehari semalam sehingga ia melemah disusul hari setelahnya sehingga ia bertambah payah.

Di tengah keadaan sakit, Saad menjenguk ibunta seraya berkata: “Wahai Ibuku, ketahuilah! Demi Allah kalaupun ada seratus nyawa yang engkau miliki kemudian nyawa tersebut keluar satu persatu aku tidak akan meninggalkan agamaku karena apapun, jika engkau menginginkan makan maka makanlah, jika tidak, maka tidak”. Kemudian ibunyapun makan.

Demikian penjelasan Tafsir Surah Luqman Ayat 13-15, yang berisi nasihat pertama Luqman terhadap anaknya. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Menag: Jika Haji Digelar Tahun Ini, Calhaj 2020 Prioritas Berangkat

Pemerintah belum mendapatkan kepastian terkait penyelenggaraan ibadah haji 1443 H / 2022 M.

Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, memastikan jika ibadah haji digelar maka jamaah yang berhak berangkat adalah calon haji (calhaj) yang tertunda berangkat pada 2020 lalu.  

“Jmaah haji yang akan diberangkatan pada penyelenggaraan ibadah haji 1443H/2022M adalah jamaah haji yang berhak berangkat tahun 1441H/2022M,” kata Yaqut di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/1). 

Menag mengatakan pemerintah terus berkoordinasi dengan pemerintah Arab Saudi. Sebab digelar atau tidaknya ibadah haji 2022 merupakan kewenangan pemerintah Arab Saudi. 

“Kami terus berkoordinasi dan hasil koordinasi ini sampai saat ini kepastian tentang ada atau tidaknya penyelenggaran ibadah haji pada tahun 1443H/2022H belum dapat diperoleh sebagaimana yang telah disampaikan pada raker sebelumnya,” ujarnya. 

Yaqut mengatakan rencana kloter pertama ibadah haji dijadwalkan akan diberangkatkan pada 4 Dzulqadah atau bertepatan dengan 5 Juni 2022. Artinya persiapan penyelenggaran ibadah haji hanya berkisar empat bulan.  

“Mengingat ruang lingkup pelayanan penyelenggaraan ibadah haji yang luas, maka waktu yang tersisa sangat terbatas. Sehingga berbagai persiapan harus segera kita lakukan,” ucapnya. 

Pemerintah juga menyiapkan tiga opsi penyelenggaraan ibadah haji. Opsi pertama yaitu opsi penuh atau memberangkatkan seluruhnya sesuai kuota. Opsi kedua kuota terbatas, dan opsi ketiga tidak memberangkatkan jamaah haji sama sekali. 

“Pemerintah sampai saat ini tetap bekerja untuk menyiapkan opsi pertama dengan kuota penuh. Tentu kita semua berharap agar wabah ini segera berakhir sehingga penyelenggaran ibadah haji dapat berjalan secara normal, seperti penyelenggaran ibadah haji pada tahun-tahun sebelum pandemi,” ungkapnya. 

IHRAM

Fatwa-Fatwa Nabi Muhammad SAW tentang Haji dan Umroh

Banyak fatwa atau hadist Nabi Muhammad yang menjadi rujukan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh. Fatwa Rasulullah ini dirangkum oleh Syaikh Sa’id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar dama kitabnya Al-Mughnie.

Ada sekitar 57 fatwa yang Syaikh Sa’id kumpulkam. Berikut beberapa hadistnya. 

1. Dari sahabat Abu Hurairah ra Rasulullah SAW pernah ditanya, “Amal-amal apa sajakah yang paling utama? Beliau menjawab,“Beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab,“Ibadah haji yang mabrur.”(HR Imam Bukhari).

2. Siti ‘Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Menurut pandangan kami, jihad fi sabilillah adalah amal yang paling utama. Apakah kami kaum wanita tidak boleh berjihad?” Rasulullah SAW menjawab, “Bagi kamu semua kaum wanita,ada perbuatan yang lebih utama dari jihad, yaitu ibadah haji yang mabrur. (HR Imam Bukhari).

3. Siti ‘Aisyah RA pernah bertanya pula kepada Rasulullah SAW, “Apakah atas kaum wanita ada kewajiban ber-jihad?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, atas mereka ada kewajiban ber-jihad yang tidak ada baku tembaknya, yaitu menunaikan haji dan umroh. (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

4. Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang dan berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya saya ini seorang pengecut dan orang yang lemah.” Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Mari kita berangkat ke medan jihad yang di dalamnya tidak ada senjata, yaitu ibadah haji.” (HR Imam Daruquthni, Imam Baihaqi, dan Imam Thabrani).

5. Rasulullah SAW pernah ditanya, “Ibadah haji yang bagaimanakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Al’Ajju.” (HR Imam Tirrmudzi dari hadis sahabat Abu Bakar ash Shiddiq dan beliau, Imam Tirmudzi, berkata, ” Hadis ini gharib/asing) .

Al Ajju meninggikan suara sewaktu membaca talbiyyah. Ats Tsajju adalah menyembelih unta.

6. Rasulullah SAW pernah ditanya, “Faktor apa sajakah yang mewajibkan melaksanakan ibadah haji?” Beliau menjawab, “Perbekalan dan kendaraan.” (HR Imam Turmudzi, hadis dari sahabat Ibnu Umar dan Imam Turmudzi berkata, “Hadits hasan.”)

7. Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya isteriku telah keluar pergi untuk menunaikan haji, sedangkan aku telah terdaftar untuk ikut berperang di peperangan ini dan itu.” Rasulullah SAW menjawab, “Barangkatlah kamu dan berhajilah bersama isterimu.” (HR. Mutwfaqun’ alaih dari hadis sahabat Ibnu Abbas).

8. Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seorang perempuan yang sudah bersuami dan mempunyai harta kekayaan, sedangkan si suami tidak mengizinkannya untuk menunaikan haji. Rasulullah bersabda, “Perempuan tersebut tidak berhak pergi haji kecuali seizin suaminya.” (HR Imam Daruquthni, Imam Baihaqi, dan Imam Thabrani dalam kirab Junush Shagir).

9.Rasulullah SAW pernah ditanya tentang hukum umrah, ‘Apakah umrah wajib?” Beliau menjawab, “Tidak wajib, tetapi jika kamu berumrah, itu lebih utama.” (HR Imam Tirrmudzi dari hadis sahabat Jabir, dan beliau-Imam Tirrmudzi-berkata, “Hadis hasan”).

10. Rasulullah SAW pernah ditanya seorang perempuan, “Ibadah apakah yang pahalanya senilai dengan menunaikan haji bersamamu?” Rasulullah SAW menjawab, “Berumroh pada bulan suci Ramadhan. (HR Imam Ahmad).

IHRAM

Fatwa: Seputar Pemberian Orang Tua kepada Anak

Hukum Mengkhususkan Seorang Anak dalam Pemberian

Fatwa Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Sesungguhnya saya anak pertama dan saya memiliki empat saudari. Bapak saya –walhamdulillah– orang yang berkecukupan dan banyak harta. Ia memiliki beberapa ladang tani dan dua rumah. Bapak saya ingin menghibahkan kepada saya sepetak tanah seluas dua qirat (sekitar 350 m2), sehingga tidak tersisa dari miliknya, kecuali sedikit (sangat kurang dari sepertiga). Ini pun dilakukan dengan jalan jual beli, dengan akad jual beli. Saya tidak membayar sepeser pun untuk tanah ini  karena saya adalah anak laki-laki satu-satunya. Sungguh saya sangat yakin saudari-saudari saya mencintai saya dan mereka tidak akan merasa keberatan. Namun, saya belum bermusyawarah dengan mereka dalam hal itu.

Apakah boleh orangtua saya melakukan hal tersebut dengan pertimbangan bahwa saya adalah anak laki-laki satu-satunya? Atau saya harus membayar untuknya harga atas tanah ini? Atau haruskah saya untuk mengambil persetujuan dari saudari-saudari saya dengan baik dan rida mereka atas jual-beli ini tanpa saya membayar sepeser pun untuk tanah tersebut?

Jawaban:

Tidak diperbolehkan bagi Ayah Anda untuk mengkhususkan Anda dengan pemberian tanpa dibagi juga kepada saudari-saudari Anda. Walaupun dengan nama jual-beli. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اتقوا الله، واعدلوا بين أولادكم

“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anak kalian. (HR. Bukhari – Muslim)

Akan tetapi, jika saudari-saudarimu rida dan mereka sudah diberitahu bahwa ayah Anda mengkhususkan Anda dengan sesuatu pemberian, maka tidak mengapa. Dengan syarat keridaan mereka sahih (benar-benar), bukan paksaan atau takut, atau hal semacamnya yang menyebabkan bersepakatnya mereka atas pengkhususanmu tanpa rida mereka.

Sifat adil dalam pemberian itu adalah dengan menyamaratakan pemberian di antara anak-anak. Namun, jika mereka berbeda jenis kelamin, ada yang laki-laki dan ada yang perempuan, maka diberikan untuk laki-laki semisal dua bagian dari perempuan sebagaimana aturan dalam warisan.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua.

Sumber: http://iswy.co/e109ef

Hukum Mengutamakan Anak yang Lebih Berbakti dalam Pemberian

Fatwa Syekh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Sebagian orang membeda-bedakan salah seorang anak atas anak-anaknya yang lain berdasarkan tingkat bakti dan kasih sayangnya kepada orangtuanya. Ia khususkan anaknya dengan bakti yang lebih tinggi dan memberikan pemberian berdasarkan tingkatan baktinya. Apakah termasuk adil jika orang tua memberi dengan membeda-bedakan anak berdasarkan tingkat baktinya sebagai imbalan dari baktinya?

Tidak ragu lagi bahwa sebagian anak lebih baik dari sebagian yang lain. Ini adalah perkara yang maklum. Akan tetapi, tidaklah patut bagi orang tua untuk mengutamakan sebagiannya dengan sebab tersebut. Bahkan, ia wajib untuk berbuat adil berdasarkan sabda Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam,

اتقوا الله واعدلوا في أولادكم

“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, tidak boleh baginya untuk membeda-bedakan dengan dalih bahwa anak yang ini lebih baik dari yang itu, dan lebih berbakti dari yang lain. Bahkan, dia wajib berbuat adil di antara mereka dan menasihati semuanya sampai mereka istiqomah di atas kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Tidak boleh membeda-bedakan sebagian di atas sebagian yang lain dalam pemberian. Tidak boleh memberi wasiat harta untuk sebagian dengan meninggalkan sebagian yang lain. Semuanya sama dalam hak waris dan pemberian. Sesuai dengan kadar yang diatur dalam syariat tentang warisan dan pemberian.

يعدل بينهم كما جاء في الشرع فللرجل مثل حظ الأنثيين، فإذا أعطى الرجل من أولاده ألفاً يعطي المرأة خمسمائة، وإذا كانوا مرشدين وتسامحوا، وقالوا أعط أخانا كذا، وسمحوا سماحاً واضحاً، فإذا قالوا نسمح أن تعطيه سيارة أو تعطيه كذا ويظهر له أن سماحهم حقيقة ليس مجاملة ولا خوفاً منه، فلا بأس.

Seseorang hendaknya berbuat adil di antara mereka (anak-anaknya) sebagaimana telah diatur dalam syariat. Maka, untuk seorang laki-laki setara dengan bagian dua orang perempuan. Apabila ia memberikan untuk seorang laki-laki dari anak-anaknya 1000 (seribu), maka ia berikan untuk yang perempuan 500 (lima ratus).

Namun, jika mereka (anak-anaknya) sudah balig dan mereka saling berbesar hati, sehingga mereka mengatakan (misalnya), “Tidak apa, berikan (saja) kepada saudara kita (ini) sekian dan sekian.” Jika mereka jelas-jelas memberi izin, seperti mereka berkata, “Kami menyetujui bahwa Engkau memberinya mobil atau memberinya ini dan itu.” Dan orang tua melihat sangat jelas pemakluman mereka tersebut, bukan sekedar ingin bermanis muka atau takut kepada orang tua, maka tidak mengapa memberi lebih kepada saudaranya tadi.

Maksudnya, hendaknya ia berusaha untuk berbuat adil, kecuali jika anak-anaknya menunjukkan kerelaan mereka, baik laki-laki atau perempuan, dan mereka berlapang dada kepada sebagian dari mereka untuk diberikan sesuatu karena sebab-sebab tertentu, maka tidak mengapa. Itu hak mereka.

Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Juz 9

Sumber: http://iswy.co/e109dh

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/71776-fatwa-seputar-pemberian-orang-tua-kepada-anak.html

Allah SWT Turun di Sepertiga Malam Akhir, Ini Alasan dan Penjelasannya

Allah SWT membuka pintu rahmat-Nya untuk hamba di sepertiga malam akhir

Waktu sepertiga malam terakhir adalah sangat istimewa. Salah satunya, Allah ﷻ akan turun ke langit dunia. Allah ﷻ yang bersemayam di atas ‘Arsy, dan turun ke langit dunia di waktu yang telah ditetapkan. 

Dikutip dari buku Jangan Takut Hadapi Hidup karya Dr Aidh Abdullah Al-Qarny, Allah Ta’ala berfirman, … وَٱلْمُسْتَغْفِرِينَ بِٱلْأَسْحَارِ “…dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS Ali Imran ayat 17). 

Ada alasan mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menyebut waktu sahur, yaitu bahwa waktu tersebut adalah waktu ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke bumi. Waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala turun dengan cara yang sesuai dengan keagungan-Nya, menuju langit dunia dan menyeru dengan suara ilahi.

هل من داعي فأستجيبَ له هل من تائبٍ فأتوبَ عليه هل من مستغفِرٍ فأغفرَ له

“Adakah orang yang mau meminta? Maka aku akan memberinya. Adakah orang yang mau berdoa? Maka aku akan mengabulkannya. Adakah orang yang meminta ampunan? Maka aku akan mengampuninya.” (HR Bukhari dan Muslim) 

Turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala ke langit dunia yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah turun yang layak dan sesuai dengan keagungan-Nya. Manusia tidak tahu bagaimana prosesnya, dan tidak bisa menyerupakan atau mengira-ngira sesuai dengan akal. Karena Allah Ta’ala berfirman,  

…لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ  

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Mahamelihat.” (QS Asy Syura ayat 11)  

Mereka selalu meminta ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktu Sahur, waktu di pengujung malam. Mereka senantiasa meminta ampunan, karena hanya seorang Muslim yang meminta ampunan kepada-Nya di pengujung malam. 

Momentum istimewa tersebut tentu sangat sayang jika dilewatkan. Padahal, pada waktu itu ampunan dan segala permohonan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengar langsung dan Allah akan kabulkan.

Dengan demikian, betapa bijaksananya jika setiap Muslim menata hidupnya sedemikian rupa sehingga pada akhir malam dapat meraih kemuliaan yang dapat menyolusikan segala macam problematik hidup yang dihadapinya. 

Keistimewaan yang sedemikian ini menjadikan Rasulullah ﷺ tak pernah mau meninggalkan akhir malam melainkan dengan sholat, sekalipun diirnya dalam keadaan kurang sehat. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Jenazah Tidak Boleh Ditinggal Sendirian?

Di sebagian masyarakat, terdapat sebuah kepercayaan bahwa jenazah sebelum dikuburkan tidak boleh ditinggalkan sendirian. Melainkan harus ditemani dan ditunggui, baik oleh satu orang atau lebih. Alasannya beragam, di antaranya adalah agar tidak dilompati kucing, jika ditinggalkan sendirian maka akan ditunggui setan, dan lain sebagainya. Benarkah jenazah tidak boleh ditinggal sendirian?

Menurut sebagian ulama, meninggalkan jenazah sendirian di dalam kamar, mushalla, dan lainnya, sebelum jenazah tersebut dikuburkan, hukumnya adalah makruh. Sebelum jenazah dikuburkan, sebaiknya ia dijaga dan ditunggui oleh keluarganya, baik oleh satu orang atau lebih.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf berikut;

فوائد الأولى قال الآجري فيمن مات عشية يكره تركه في بيت وحده بل يبيت معه أهله

Faidah pertama, Imam Al-Ajuri berkata mengenai orang yang mati di waktu sore hari; Dimakruhkan meninggalkan jenazah tersebut di dalam kamar sendirian. Melainkan sebaiknya ditunggui oleh keluarganya.

Dalam kitab Kasy-syaf Al-Qina’, Imam Al-Bahuti menyebutkan sebagai berikut;

قال الإمام الآجري فيمن مات عشية: يكره تركه في بيت وحده، بل يبيت معه أهله. وقال النخعي: كانوا لا يتركونه في بيت وحده، يقولون: يتلاعب به الشيطان

Imam Al-Ajuri berkata Faidah pertama, Imam Al-Ajuri berkata mengenai orang yang mati di waktu sore hari; Dimakruhkan meninggalkan jenazah tersebut di dalam kamar sendirian. Melainkan sebaiknya ditunggui oleh keluarganya. Imam Al-Nakha’i berkata; Mereka tidak meninggalkan jenazah sendirian di dalam kamar. Mereka beralasan bahwa jenazah tersebut diganggu oleh setan.

Alasan ini diperkuat dengan sebuah riwayat yang disebutkan dalam kitab Al-Kafi. Riwayat tersebut bersumber dari Abu Abdillah, dia berkata;

ليس من ميت يموت ويترك وحده إلا لعب الشيطان في جوفه

Tidak satu pun mayit yang meninggal lalu ditinggal sendirian melainkan setan akan bermain-main di dalam perutnya.

Dengan demikian, memang benar bahwa terdapat sebagian ulama yang memakruhkan meninggalkan jenazah sendirian di dalam kamar tanpa ditunggui oleh siapa pun. Ini karena meninggalkan jenazah sendirian akan menyebabkan jenazah tersebut diganggu oleh setan.

BINCANG SYARIAH