Khotbah Jumat: Jangan Sampai Amalan Sunah Melalaikan dari Yang Wajib

(NASIHAT RAMADAN)

JANGAN SAMPAI AMALAN SUNNAHMU MELALAIKAN DARI YANG WAJIB!

Khotbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Terutama menjaga ketakwaan kita di bulan Sya’ban ini, agar nantinya diri kita siap menyambut datangnya bulan Ramadan yang mulia.

Ramadan sebentar lagi akan menghampiri kita, bulan yang penuh berkah dan keutamaan, bulan di mana setiap amalan di dalamnya dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Ta’ala, dan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dosanya dari bulan-bulan sebelumnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyebutkan,

المعاصي في الأيام المعظمة والأمكنة المعظمة تغلظ معصيتها وعقابها بقدر فضيلة الزمان والمكان

“Maksiat yang dilakukan di waktu atau tempat yang mulia, dosa dan hukumannya dilipatkan, sesuai tingkatan kemuliaan waktu dan tempat tersebut.” (Al-Adab As-Syar’iyah, 3: 430)

Ada banyak dalil yang mendukung kaidah ini. Di antaranya, firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

“Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya (kota Mekah) untuk melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25)

Kita bisa perhatikan, baru sebatas keinginan untuk melakukan tindakan zalim di tanah haram Mekah, Allah Ta’ala beri ancaman dengan siksa yang menyakitkan. Sekalipun jika itu dilakukan di luar tanah haram, tidak akan diberi hukuman sampai terjadi kezaliman itu. Alasannya, karena orang ini melakukan kezaliman di tanah haram, berarti bermaksiat di tempat yang mulia, yang dijaga kehormatannya oleh syariat. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 535).

Begitu pula dengan bermaksiat di bulan Ramadan, maka dia telah melakukan dua kesalahan:

Pertama, melanggar larangan Allah.

Kedua, menodai kehormatan Ramadan dengan maksiat yang dia kerjakan.

Sehingga dosanya lebih berat dari bermaksiat di selain bulan Ramadan.

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dirahmati Allah.

Di antara keteledoran dan kesalahan yang sering dilakukan oleh seorang muslim di dalam bulan Ramadan adalah salah prioritas di dalam beribadah. Entah itu karena ketidaktahuan ataupun karena terlalu semangatnya dia di dalam melakukan amalan, seringkali akhirnya orang tersebut mengorbankan dan mengalahkan ibadah yang wajib karena terlalu disibukkan dengan amalan-amalan sunah.

Sering kita jumpai, mereka yang rajin melaksanakan qiyamullail dan salat tarawih, tetapi bermalas-malasan melaksanakan salat wajib lima waktu secara berjemaah di masjid. Bergadang malam di bulan Ramadan untuk membaca Al-Qur’an, namun terlewat dari salat subuh berjemaah. Tentu saja hal seperti ini adalah keliru.

Sungguh banyak sekali ayat dan hadis yang menunjukkan tentang wajibnya salat lima waktu secara umum, dan tentang keutamaan salat berjemaah secara khusus. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)

Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah salatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ

“Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Jika salatnya baik, maka seluruh amalnya baik dan jika salatnya rusak, maka seluruh amalnya rusak.” (HR. Ath-Thobrani, Ash-Shahihah: 1358)

Adapun hadis-hadis mengenai keutamaan salat jemaah secara khusus adalah:

Pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً.

“Salat berjemaah itu lebih utama 27 (dua puluh tujuh) derajat daripada salat sendirian.”  (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)

Kedua, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الْـجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ.

‘Barangsiapa pergi (berangkat) ke masjid baik di waktu pagi atau sore hari, maka Allah menyediakan baginya hidangan di surga setiap kali ia berangkat di waktu pagi atau sore hari.” (HR. Bukhari no. 662 dan Muslim no. 669)

Ketiga, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِـيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.

“Barangsiapa salat jemaah dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama (takbiratul ihram), maka ia dibebaskan dari dua perkara: dibebaskan dari neraka dan dibebaskan dari kemunafikan.” (Hasan. HR. At-Tirmidzi no. 241. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2652)

Dari ayat dan hadis di atas jelas sekali menyebutkan bahwa salat wajib lima waktu merupakan kewajiban yang harus diprioritaskan oleh seorang mukmin, terlebih di bulan Ramadan. Sehingga ketika ia mengorbankan salat wajib ini karena ibadah yang sifatnya sunah, sungguh itu merupakan kesalahan dan kezaliman di dalam beribadah. Wal’iyyadzu Billah …

Maasyiral Mukminin rahimakumullah

Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah pernah ditanya tentang permasalahan ini, lalu beliau memberikan nasehat yang sangat indah,

“Ini adalah kesalahan besar. Seorang muslim harus lebih menjaga kewajiban dan lebih memperhatikannya, rajin melakukan apa yang Allah wajibkan, waspada dan menghindari  apa yang dilarang Allah. Dan apabila ia diberikan rezeki oleh Allah Ta’ala di dalam perihal menjaga dan  memperhatikan amalan sunah, maka ini merupakan kebaikan setelah kebaikan. Akan tetapi, kewajiban haruslah lebih ia perhatikan, seperti salat wajib, zakat, puasa Ramadan, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Kemudian haruslah dia berhati-hati dari bermalas-malasan dan bermudah-mudahan di dalam perkara yang wajib. Adapun amalan sunah, maka perkaranya lebih luas. Jika Allah mudahkan baginya untuk melakukannya, maka hendaklah ia memuji Allah Ta’ala. Adapun jika ia tidak bisa dan tidak mampu, maka tidak ada keberatan dan dosa baginya.”

Terdapat sebuah hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasannya Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلِيَّ عَبْدِيْ بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلِيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ،

“Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunah) hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502)

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Hadis ini menekankan bahwasanya tidak ada amalan yang lebih utama dari apa-apa yang telah Allah wajibkan kepada hambanya. Sehingga tidak masuk akal ada seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan suatu amalan yang mubah ataupun sunah, namun di waktu yang sama orang tersebut meremehkan yang wajib. Padahal hal ini sudah Allah Ta’ala perintahkan dan wajibkan baginya. Maka, tidaklah terwujud ketaatan kepada Allah Ta’ala, kecuali dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya. Karena hal tersebut merupakan pembeda antara hamba yang taat dan hamba yang suka maksiat.

Sedangkan amalan nawafil (sunah) tidaklah Allah Ta’ala syariatkan, kecuali sebagai pelengkap dan penyempurna ketaatan pada hal yang wajib dan sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta’ala serta bukti cinta kita kepada Allah Ta’ala.

Dalil lain yang menunjukkan tentang pentingnya mendahulukan yang wajib dari yang sunah adalah hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

قيلَ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ و سلَّمَ : يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَهابلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ

“Dikatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah rajin salat sunah malam, puasa di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, tetapi ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tiada kebaikan padanya. Dia termasuk penghuni neraka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) salat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorang pun?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dia termasuk penghuni surga.’” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrod: 119)

Banyaknya perempuan tersebut di dalam melakukan amalan (sunah) tidaklah menyelamatkan dirinya dari api neraka, dikarenakan pada waktu bersamaan dia abai dan lalai dari hak-hak tetangganya (yang mana hal tersebut hukumnya wajib untuk diperhatikan). Sungguh Allah Ta’ala tidak akan mencintai seseorang yang lalai dalam perkara wajibnya walaupun amalan sunah yang ia kerjakan sangatlah banyak.

Maasyiral Mukminin rahimakumullah.

Sungguh miris, pengetahuan skala prioritas dalam beribadah seperti ini sangatlah tidak diperhatikan oleh kaum muslimin di zaman sekarang. Semoga Allah Ta’ala menjadikan diri kita hamba yang cerdas dalam beribadah, hamba yang mengetahui skala prioritas dalam beribadah, sehingga diri kita lebih bijak di dalam beramal, Amiin Ya Rabbal Aalamiin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penulis: Muhammad Idris Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/73076-khotbah-jumat-amalan-sunah-melalaikan-dari-yang-wajib.html

Meniru Perilaku “Cinta” Nabi Ibrahim

CINTA adalah anugerah yang Allah berikan kepada setiap makhluk-Nya, terkhusus manusia. Ketika rasa itu telah merasuk pada setiap diri bani Adam, maka semua yang diterima, atas konsekuensi cintanya, akan terasa indah lagi menyenangkan, sekalipun realitasnya balasan yang didapat sangat membebani fisik, pikiran dan perasaan. Menyitir pribahasa anak muda saat ini, “Kalau sudah cinta, tahi kucing pun terasa cokelat,” ujar mereka.


Ini merupakan satu ungkapan, yang berupaya menjelaskan akan keunikan cinta. Sehingga, hal yang sangat sukar sekalipun (tahi kucing), akan terasa seolah cokelat. Ya begitulah, tak ada istilah pamrih bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Semua perjuangan yang dilakukan dibangun atas ‘keikhlasan’ yang tinggi, karena ingin membuktikan kebenaran cinta yang ada di dalam dada. Dan itu bukanlah sebuah kekeliruan. Justru, itulah ekspresi ataupun ‘akrobat’ dasar yang ditimbulkan cinta murni, yang tumbuh dari jiwa nan suci.


Ketika cinta tidak melahirkan ekspresi yang demikian dahsyat/spektakuler, maka patut dipertanyakan, apakah benar cinta yang dipersembahkan merupakan cinta yang tulus murni, atau, sebaliknya, hanya pemanis mulut saja, tapi hati berkata tidak? Istilahnya, ada udang di balik batu. Atau, yang lebih ekstrim lagi, munafik.
Untuk menakar kemurnian itu, bisa kita lihat dari tindak-tanduk sang pecinta dalam memenuhi hajat yang dicintai, ketika ‘sang-dipuja’ menuntut pengorbanan. Apabila dia melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh penuh semangat, ikhlas, tanpa keluh kesah, maka bisa diprediksi bahwa cintanya tulus dan murni.


Namun, apa bila yang terjadi justru sebaliknya, banyak protes, ogah-ogahan, baru menapaki jalan yang sedikit terjal sudah tidak kuat melangkahkan kaki barang setapak, maka, kita sendiri bisa mengecap, cinta model apakah ini?


Kisah Cinta Sejati Ibrahim pada Allah
‘Rumus’ (Menguji kemurnian cinta) di atas bisa kita temukan di al-Quran yang menjelaskan bahwa tidak lah cukup bagi seorang hamba membuktikan cinta (imannya) kepada Allah, hanya dengan mengungkapkan di bibir semata, bahwa dia telah beriman kepada Allah, kemudian mereka dibiarkan begitu saja. Sekali-kali tidak. Mereka perlu membuktikan akan keafsahan apa yang telah mereka ikrarkan. Karenanya, mereka akan diuji dengan beberapa ujian, sehingga nampaklah yang benar-benar beriman dan yang munafik di antara mereka.


Firman Allah: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al‘Ankabut:2-3).


Dalam perjalanan, tidak sedikit manusia yang gagal dalam menjalani ‘tes-tes’ kemurnian cinta, yang Allah berikan. Banyak di antara mereka yang ‘gugur’ di pertengahan jalan. Bahkan, tidak sedikit pula yang berjatuhan di saat ‘genderang’ ujian baru ‘ditabuh’. Potret pribadi-pribadi macam ini, sampelnya, bisa kita temukan pada sosok orang-orang munafik, yang memisahkan diri dari barisan pasukan perang kaum muslimin, pada perang Badar.


Saat itu, dengan mudahnya mereka menyatakan kesetian kepada baginda Rosul. Siap membela beliau baik dalam kondisi suka maupun duka, lapang ataupun sempit. Namun apa yang terjadi ketika ikrar tersebut diuji, mereka gagal. Nampak jelas kebusukkan hati mereka. Sumpah setia yang mereka umbar, hanyalah pemanis bibir semata. Sungguh, kecelakaan hiduplah bagi mereka.


Setali tiga uang, mereka yang sukses melewati ujian-ujian tersebut, pun banyak, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit dari mereka yang gagal. Dan salah satu di antaranya adalah Nabi Ibrahim ’Alaihi Salam.

Nabi Ibrohim, selain mendapat gelar sebagai ‘Abu Al-Anbiya’ (Bapaknya para Nabi), beliau juga termasuk Nabi dalam kategori ‘Ulul ‘Azmi’. Tentu saja, sederet gelar tersebut tidak serta-merta menempel di pundaknya, tanpa melalui proses perjuangan yang tinggi.

Ujian cinta beliau terhadap Allah, sangatlah terjal. Namun, sekalipun demikian getirnya, dengan sabar dan disertai ketulusan yang sangat, hanya untuk mengharapkan ridho Allah, beliau hadapi ujian itu tanpa harus berkeluh-kesah.


Salah satu ujian yang harus beliau hadapi adalah menerima kenyataan, di mana perintah menyembelih anak semata wayangnya, Ismail. Padahal, jauh sebelum itu, ketika anak laki-laki tersebut masih dalam buaian, beliau tinggalkan bersama sang-ibu, di padang sahara yang tak ada aura kehidupan, tanpa bekal yang berarti.


Dan kini, setelah anak itu tumbuh dewasa menjadi pribadi yang sholeh, taat kepada orangtua, datanglah perintah untuk menyembelihnya. Siapa pun dia, sebagai orang tua, tentu galau menerima perintah demikian. Tak terkecuali Nabi Ibrahim. Karenanya, setelah mendapat mimpi demikian selama tiga kali, beliau kemudian menuturkan prihal mimpinya kepada sang-buah hati.


Subhanallah, setelah mendapat penjelasan dari sang-ayah, Ismail dengan mantap berujar, “Wahai ayahanda, sekiranya itu benar-benar perintah dari Allah, maka laksanakanlah. Mudah-mudahan engkau menemukanku termasuk orang yang bersabar.”


Singkat cerita, Ibrahim pun melaksanakan titah Allah SWT. Namun, dalam prosesnya kelak, Allah memrintahkan Ibrahim untuk mengganti penyembelihan Ismail, dengan binatang ternak (lembu). Dengan peristiwa ini, luluslah Ibrahim dari ujian cinta yang Allah berikan. Sebesar apapun cinta beliau terhadap Ismail, sebagai orang tua yang telah lama menanti kehadirannya, namun, tidak sebanding dengan cinta beliau kepada Allah. Karenanya, perintah penyembelihanpun beliau laksanakan, demi membuktikan kemurnian cintanya pada Allah. Inilah tauladan cinta sejati itu.


Bukan Cinta Buta
Cinta yang menghujam dalam diri Ibrohim, bukanlah cinta buta. Cinta yang beliau miliki adalah cinta murni nan tulus yang tumbuh dan memekar dalam hati (bukan dilandasi nafsu). Dan itu terjadi karena proses yang beliau lalui dalam menghadirkan cinta, itu benar, yaitu melalui pengenalan yang mendalam.


Kita tentu sangat akrab dengan pernyataan para pujangga, “Tidak kenal maka tidak sayang. Tidak sayang, maka tidak cinta”. Dan proses itulah yang telah melahirkan makrifat cinta Ibrohim yang begitu mendalam terhadap Tuhannya. Tak ubah pohon yang akarnya menghujam ke dasar tanah yang paling dalam, sehingga tidak mudah digoyahkan oleh badai sekalipun.


Hal tersebut, tersirat dalam proses pencarian Tuhan yang dilakukan Ibrohim. Dan keyakinan itu dipertabal kembali, dengan dikabulkannya permintaan/do’a Ibrohim, untuk menyaksikan secara nyata, bagaimana Allah menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya. Kemudian, Allah memerintahkannya untuk menyembelih beberapa ekor burung, kemudian, diletakkan di atas bukit. Ketika Ibrohim menyeru keduanya, mereka pun datang memenuhi panggilan. Subhanallah. Dengan peristiwa ini, tambah mengakarlah cinta Ibrohim kepada Allah.

Sebagai penutup, marilah kita intropeksi diri, sudahkah kita mengenal Allah, Tuhan kita, secara utuh, sehingga melahirkan mahabbah (rasa cinta) yang benar-benar terhadap-Nya? Sebab realitas saat ini, banyak orang mengaku Muslim, tapi mereka tampil sebagai penentang Tuhan yang mereka sembah. Boleh jadi hal ini disebabkan dangkalnya makrifat mereka terhadap Allah sehingga berdampak minimnya stok cinta yang mereka miliki. Banyak orang mengaku cinta pada agamanya dan cinta pada Allah, namun antara lisan dan hatinya tak sesuai dengan ucapannya. Banyak orang memburu wanita pujaanya, bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri. Namun ketika mereka mengaku cinta pada agama dan Tuhannya, tak mampu mengorbankan dirinya sebagai ungkapan “cinta” itu. Semoga bisa meniru Nabiullah Ibrahim alaihi salam. [Robinsah/hidayatullah.com]

HIDAYATULLAH

Ada Apa dengan Sya’ban (2): Peristiwa Bersejarah di Bulan Sya’ban

Apa yang ada di benak kita ketika mengingat suatu peristiwa bersejarah? Semua peristiwa atau kejadian dimasa lampau pasti mengandung hikmah atau pelajaran yang bisa diambil. Apalagi kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan sesosok manusia teragung yang menjadi teladan umat Islam. Ingatan akan kejadian atau peristiwa itu memberi kesan seolah-olah terjadi baru saja. Minimal, kita mengingat Baginda Nabi.

Itulah kenapa peristiwa bersejarah yang berhubungan dengan umat Islam selalu dicatat dan disampaikan berulang-ulang oleh para ulama. Kita, mestinya seperti itu juga, tidak bosan membaca atau menyampaikan peristiwa bersejarah tersebut untuk membuka ruang kesadaran akan pentingnya mengetahui dan mengambil hikmah dibalik peristiwa bersejarah. Salah satunya adalah peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Sya’ban.

Peristiwa Bersejarah yang Terjadi di Bulan Sya’ban

Ada beberapa peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan yang penting untuk selalu diingat, diperhatikan, dilestarikan dan diperingati. Demikian Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menjelaskan dalam kitabnya “Madza fi Sya’ban”.

Diantara peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Sya’ban adalah peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah. Perpindahan arah kiblat ini memang sangat dinantikan dan diharapkan oleh Nabi. Begitu besarnya harapan itu, tiap hari beliau sering berdiri menatap langit berharap ada wahyu yang diturunkan kepadanya terkait keinginannya tersebut.

Allah merespon harapan kekasih-Nya:

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (Al Baqarah: 144).

Ayat ini sebagai pembuktian terhadap janji Allah kepada Rasulullah: “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”. (Al Dhuha: 5).

Respon Allah terhadap keinginan Nabi tersebut juga pernah dikatakan oleh Sayyidah Aisyah. Sebelumnya ia berkata kepada Nabi, “Saya tidak melihat Tuhanmu, kecuali mengabulkan keinginanmu”. (HR. Bukhari).

Abu Hatim al Busti mengutip perkataan Imam Qurthubi dalam kitabnya  al Jami’ li Ahkam al Qur’an mengatakan, “Ketika di Madinah umat Islam shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Hal ini karena Nabi datang ke Madinah pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal. Kemudian, pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban tahun ke 2 Hijriah, Nabi shalat menghadap Ka’bah setelah mendapat wahyu”.

Catatan Amal Dilaporkan kepada Allah

Di antara keistimewaan bulan Sya’ban yang lain adalah pada bulan ini seluruh catatan amal manusia; catatan amal baik dan jelek, dilaporkan kepada Allah. Disebut “pelaporan amal akbar”. Semua catatan amal manusia selama setahun diserahkan oleh Malaikat kepada Allah.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Usamah bin Zaid, ia bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, saya tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain seperti di bulan Sya’ban”. Nabi menjawab: “Banyak orang yang lupa dengan bulan Sya’ban; bulan diantara Rajab dan Ramadhan. Padahal, pada bulan Sya’ban seluruh catatan amal dilaporkan kepada Allah, dan saya sangat senang ketika amalku dilaporkan saya sedang berpuasa”. (HR. Nasa’i). Menurut Sayyid Muhammad Alawi al Maliki hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.

Disebut pelaporan amal paripurna, karena pada bulan Sya’ban yang dilaporkan adalah seluruh catatan amal. Sedangkan diselain bulan Sya’ban pelaporan catatan amal juga dilakukan, namun tidak semuanya. Hal ini berdasarkan informasi dari hadits-hadits Nabi. Ada yang dilaporkan tiap hari, tiap malam dan seterusnya. Namun perlu diingat, semua catatan itu tidak ada perbedaan. Kenapa tidak dilaporkan sekali saja di bulan Sya’ban? Semua ada hikmah disebaliknya.

Dari Abu Musa, Nabi berpesan kepada kami lima hal: “Allah tidak tidur dan tidak butuh tidur, menurunkan neraca timbangan dan menaikkannya, amal di malam hari dilaporkan sebelum amal siang hari, amal siang hari dilaporkan sebelum amal malam hari. Proses tersebut dihalangi oleh cahaya (tidak bisa dilihat), sebab, andaikan hijab itu disingkap oleh Allah, cahaya itu akan membakar semua makhluk yang melihatnya”.

Imam Munawi menjelaskan, maksud hadis ini adalah amal siang hari dilaporkan kepada Allah pada awal malam, dan amal di malam hari dilaporkan pada awal siang. Demikian pula, ada amal yang dilaporkan seminggu sekali.

Kemudian, secara keseluruhan amal-amal manusia dilaporkan kepada Allah pada bulan Sya’ban. Inilah salah satu sebab kenapa bulan Sya’ban disebut bulan istimewa.

ISLAM KAFFAH

Rasulullah Mengingatkan Jangan Melalaikan Bulan Syaban

Nabi Muhammad banyak mengisi bulan Syaban dengan berpuasa.

Umat Islam telah melewati bulan Rajab dan memasuki bulan Syaban sebelum bulan suci Ramadhan. Nabi Muhammad SAW mengingatkan umatnya agar jangan melalaikan Syaban sekaligus memberi contoh bagaimana seharusnya Muslim yang baik di bulan Syaban.

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) KH Ahmad Khusairi Suhaili mengatakan bulan Syaban posisinya di antara dua bulan yang mulia, yaitu Rajab dan Ramadhan. Sebagaimana diketahui Rajab termasuk dalam bulan yang mulia. Setelah Syaban, ada bulan Ramadhan yang diketahui sebagai bulan yang sangat mulia serta banyak keistimewaan di dalamnya.

“Nabi Muhammad SAW dalam hadist sahih mengingatkan, karena posisi Syaban yang terjepit di antara (Rajab dan Ramadhan), jadi (Syaban) bulan yang sering terlalaikan oleh banyak masyarakat,” kata Kiai Suhaili kepada Republika, Selasa (8/3/2022).

Ia menerangkan, mungkin banyak orang yang merasa sudah cukup berbuat baik saat bulan Rajab, jadi mereka hanya fokus untuk berbuat banyak kebaikan lagi di Ramadhan. Maka Nabi Muhammad dalam hadistnya mengingatkan agar jangan sampai terjebak dengan pikiran seperti ini sehingga melalaikan bulan Syaban.

Untuk itu, Rasulullah SAW langsung memberikan contoh yang baik dalam menyikapi bulan Syaban. Dalam kesaksian Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi Muhammad SAW banyak melakukan puasa saat memasuki Syaban.

“Artinya kalau Ramadhan puasa satu bulan penuh, di bulan Syaban ini Nabi Muhammad SAW banyak melaksanakan puasa, bukan puasa sebulan penuh tapi hari-hari di bulan Syaban banyak diisi dengan puasa,” ujarnya.

Menurut Kiai Suhaili, memperbanyak puasa di bulan Syaban sebagai bagian dari pemanasan atau pembiasaan menjelang Ramadhan. Sehingga saat masuk Ramadhan, seseorang yang sudah pemanasan sejak Syaban bisa langsung mengoptimalkan ibadahnya di bulan Ramadhan.

Artinya, Nabi Muhammad SAW sudah memberikan contoh yang jelas bagaimana memanfaatkan bulan Syaban menjelang Ramadhan. Maka yang harus dilakukan umat Islam saat Syaban di antaranya memperbanyak puasa supaya terbiasa puasa sebelum tiba Ramadhan dan tarhib Ramadhan atau mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

Kiai Suhaili menambahkan, di bulan Syaban juga menjadi waktu yang tepat untuk kembali memberikan pemahaman terkait Ramadhan kepada keluarga, tetangga dan masyarakat. Mereka diingatkan kembali bahwa di bulan suci Ramadhan umat Islam tidak sekedar puasa, menahan haus dan lapar semata.

“Ada hal-hal yang perlu kita perhatikan bagaimana mewujudkan dan merealisasikan hakikat puasa supaya benar-benar mengantarkan kita menjadi pribadi yang bertakwa, masyarakat yang bertakwa, bangsa yang bertakwa,” jelasnya.

Ia menegaskan, maka penting di bulan Syaban ini mempersiapkan diri menyambut Ramadhan, memahami dan mengenal kembali Ramadhan, dan memahami cara puasa yang baik dan benar.

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Rasulullah Larang Tidur Tengkurap, Ini Alasannya

Salah satu anjuran dalam Islam yang dikenal umat adalah menjauhkan diri dari tidur dengan posisi tengkurap. Sekretaris Lembaga Fatwa Mesir, Dar Ifta, Syekh Ahmed Wissam membenarkan bahwa Nabi melarang tidur dengan posisi tengkurap. Tidur tengkurap dilarang karena Nabi menyebut perilaku itu sebagai tindakan yang dibenci Allah SWT.

Dilansir dari Elbalad, Rabu (/3/2022), Syekh Ahmed kemudian merinci bahwa larangan itu tidak sampai mengharamkan tidur tengkurap. Tidur tengkurap dikatakannya makruh dilakukan dan jika seseorang memang membutuhkannya, seperti dalam terapi atau pengobatan, maka boleh tidur dengan kondisi tersebut.

Syekh Ahmed mengutip hadist sebagaimana riwayat dari Ya’isy bin Thakhfah Al Ghifariy, dari ayahnya, dia berkata:

فَبَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعٌ فِى الْمَسْجِدِ مِنَ السَّحَرِ عَلَى بَطْنِى إِذَا رَجُلٌ يُحَرِّكُنِى بِرِجْلِهِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ ضِجْعَةٌ يُبْغِضُهَا اللَّهُ ». قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- 

Artinya: “Saat aku sedang berbaring tengkurap di masjid di waktu sahur, lalu tiba-tiba ada seseorang menggerak-gerakkan aku dengan kakinya. Dia pun berkata, “Sesungguhnya ini adalah cara tidur yang dibenci oleh Allah.” Kemudian aku pandang orang tersebut, ternyata ia adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Adapun ulama lain dari Al-Azhar, Dr. Ibrahim Reda mengatakan seorang Muslim sudah sepatutnya mencontoh cara tidur Nabi Muhammad SAW. Dia menjelaskan, Nabi jika ingin tidur, dia akan berwudhu dan berdo’a:

اللهم بك وضعت جنبي وبك أرفعه فإذا أمسكت روحي فارحمها وإذا أرسلتها فاحفظها بحفظك

Latin: Allahumma wa dho’tu janbii, wa bika arfa’uhu, in amsakta nafsii farhamhaa, wa in arsaltahaa fahfazhhaa bimaa tahfazhu bihi ‘ibaadakash-sholihiin.

Artinya: “Dengan nama Engkau, wahai Tuhanku, aku meletakkan lambungku. Dan dengan namaMu pula aku bangun daripadanya. Apabila Engkau menahan rohku (mati), maka berilah rahmat padanya. Tapi apabila Engkau melepaskannya, maka peliharalah, sebagaimana Engkau memelihara hamba-hambaMu yang shalih.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).  

“Kita harus mengikuti sunah Nabi SAW, tidur dengan wudhu, kemudian mengulangi dzikir dan tidurlah menghadap je kanan. Jika seseorang tidur, dia boleh tidur dalam posisi apapun yang dia suka setelah itu, karena setelah itu dia tidak merasakan apa yang dia lakukan, “kata Syekh Ibrahim. Alkhaledi kurnialam 

IHRAM

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 14): Muliakan Ulama

Bismillah

Ulama itu ibarat ayah untuk ruh, seperti bapak adalah ayah untuk jasmani. Sebagaimana dikatakan oleh ulama kita,

الشيخ أب للروح كما أن الوالد أب للجسد

“Ulama/guru/ustadz adalah ayah untuk ruh, sebagaimana bapak adalah ayah untuk jasad.”

Sebagaimana kita wajib menghormati ayah kandung, demikian pula para ustaz, kyai, atau ulama yang telah mengajarkan ilmu kepada kita juga harus dihormati.

Kita simak bagaimana keteladanan para ulama dalam menghormati guru mereka. Kita coba resapi ungkapan Syu’bah bin Hajaj Rahimahullah ini,

كل من سمعت مته حديثا فأنا له عبد

“Siapa pun yang pernah aku dengarkan hadis darinya, maka aku adalah budaknya.”

Dalil memuliakan ulama

Muhammad bin Ali Al-Udfuwi Rahimahullah mengungkap sebuah ayat yang mendasari ucapan Syu’bah Rahimahullah di atas,

إذا تعلم الإنسان من العالم واستفاد منه الفوائد فهو له عبد، قال تعالى (وإذ قال موسى لفتاه)، وهو يوشع بن نون، ولم يكن مملوكا له، وإنما كان متلمذا له متبعا له، فجعله الله فتاه لذلك

“Bila seorang belajar kepada seorang berilmu (alim), lalu dia mendapat manfaat dari ilmunya, maka dia adalah budak bagi orang alim itu. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ

‘Ingatlah ketika Musa berkata kepada budaknya‘ (QS. Al-Kahfi : 60).

Budak yang dimaksud adalah Yusya’ bin Nun. Padahal sebenarnya Yusya’ bukanlah budaknya Musa. Sejatinya beliau adalah murid dan pengikut setia Musa. Namun, ternyata Allah Ta’ala menyebut Yusya’ sebagai hamba sahayanya Musa.”

Kita semua mengenal siapakah Yusya’ bin Nun ‘Alaihissalam. Beliau juga nabi sebagaimana Musa ‘Alaihissalam. Meskipun beliau juga nabi, saat beliau berguru kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Ta’ala menyebut Yusya’ sebagai hamba sahayanya Musa ‘Alaihissalam. Beliau yang nabi saja seperti itu kedudukannya di hadapan gurunya, bagaimana lagi kita orang yang bukan nabi dan bukan orang saleh? Wallahu a’lam. Oleh karena itu, kita lebih butuh lagi untuk memuliakan para guru dan ulama kita.

Islam secara tegas memerintahkan kita memuliakan para ulama. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis dari sahabat Ubadah bin Shomit Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليس من أمتي من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه

“Bukan termasuk umatku, siapa saja yang tidak mengormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, atau tidak tahu hak-hak para alim ulamanya umat kami.”

Contoh adab memuliakan ulama

Pertama, berperilaku tawadu’ (rendah hati) di depannya.

Kedua, memperhatikan dan mendengarkan petuahnya.

Ketiga, perhatian kepadanya.

Keempat, berbicara santun dan sopan saat mengobrol dengannya.

Kelima, mengharumkan nama guru saat bercerita tentangnya dengan pemuliaan yang wajar kepada guru yang juga manusia.

Keenam, berterima kasih atau merasa berhutang budi karena ilmu yang telah beliau ajarkan.

Ketujuh, tidak menampakkan ketidaktertarikan pada kajian atau nasihat-nasihatnya.

Kedelapan, berhati-hati dengan tidak menyakiti beliau, baik dengan ucapan ataupun perbuatan.

Kesembilan, mengingatkan beliau jika salah dengan cara yang santun dan lembut.

Enam sikap beradab sebagai respon terhadap kesalahan guru

Murid juga perlu mengingatkan gurunya dengan cara yang santun dan lembut jika gurunya melakukan kesalahan. Hal ini karena beliau juga manusia, walaupun setinggi apapun ilmu dan ketakwaannya. Manusia adalah tempatnya salah dan aib. Ada saatnya juga guru itu berbuat salah. Sebagaimana murid juga bisa berbuat salah.

Syekh Sholih Al-‘Ushoimi Hafidzohullah menerangkan ada enam sikap beradab sebagai respon terhadap kesalahan guru/ustaz, yakni:

Pertama, tabayun atau mencari penjelasan apakah benar sang guru melakukan kesalahan tersebut.

Kedua, berikutnya mencari penjelasan apakah benar kesalahan tersebut benar-benar tepat dinilai sebagai kesalahan. Bisa jadi sebab kesalahan yang dituduhkan adalah karena salah paham. Padahal apa yang dituduhkan kepada sang guru sejatinya bukan kekeliruan. Seperti kata penyair,

وكم من عائب قولا صحيحا    #    وآفاته من الفهم السقيم

“Betapa banyak orang menyalahkan ucapan yang benar, sebabnya hanya salah paham.”

Cara tabayun langkah ke dua ini adalah dengan bertanya kepada ustaz yang lain atau orang yang dipandang berilmu. Karena hanya orang berilmu yang tahu apakah kesalahan yang dituduhkan adalah benar kesalahan ataukah tidak.

Ketiga, tetap kita katakan salah jika guru terbukti melakukan kesalahan, meskipun yang melakukan adalah orang yang sangat kita hormati dan kita pandang berilmu.

Keempat, berusaha keras mencari alasan untuk berpikir positif.

Kelima, menyampaikan masukan dengan cara yang santun dan lembut. Jangan bersikap dan berkata kasar, apalagi memviralkan ketergelinciran guru.

Keenam, tidak merendahkan nama baik guru, walaupun guru telah terjatuh pada kesalahan. Tetap jagalah nama baiknya di hadapan kaum muslimin. Agar kebaikan yang beliau dakwahkan tetap bermanfaat untuk masyarakat luas.

Sekian penjelasan dari kami. Wallahul muwaffiq, semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kami dan pembaca sekalian untuk dapat memuliakan guru dan ulama.

***

Referensi :

Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, karya Syekh Sholih Al-‘Ushoimi Hafidzohullah.

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72718-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-14-muliakan-ulama.html

Tauhid, Fitrah Seluruh Manusia

Terkadang terbesit satu pertanyaan pada diri seseorang, “Mengapa Allah Ta’ala tidak menciptakan seluruh manusia dalam keadaan muslim? Mengapa Allah Ta’ala menciptakan mereka, sedangkan Dia mengetahui bahwasanya mereka akan mengingkari dan kufur terhadap-Nya?”

Perlu kita ketahui dan kita perhatikan, pentingnya dan wajibnya kita beradab kepada Allah Ta’ala. Karena sejatinya, tidak ada yang menjadi kewajiban bagi Allah untuk Dia tunaikan dan lakukan terhadap hamba-hamba-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Sehingga kita tidak boleh menanyakan dan mengatakan “mengapa” terhadap apa-apa yang diperbuat oleh Allah Ta’ala. Karena Dialah Zat Mahakuasa yang melakukan apapun yang Dia kehendaki. Tidak boleh menghakimi keputusan-Nya. Tidak boleh menghalangi ketetapan-Nya. Tidak boleh bertanya tentang apa yang Dia lakukan. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’: 23)

وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلْوَدُود ، ذُو ٱلْعَرْشِ ٱلْمَجِيدُ ، فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ

“Dialah Yang Mahapengampun lagi Mahapengasih, yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia, Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Buruj 14-16)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَاللّٰهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهٖۗ وَهُوَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. Dia Mahacepat perhitungan-Nya.” (QS. Ar-Ra’d: 41)Daftar Isisembunyikan 1. Fitrah Manusia adalah Beribadah dan Mentauhidkan Allah Ta’ala 2. Lalu Apa yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir?

Fitrah Manusia adalah Beribadah dan Mentauhidkan Allah Ta’ala

Setelah mengetahui bahwa di antara adab kepada Allah Ta’ala adalah tidak boleh menghakimi keputusan-Nya, tidak boleh menghalangi ketetapan-Nya, dan tidak boleh bertanya tentang apa yang Dia lakukan, maka wajib untuk kita ketahui bahwasanya Allah Ta’ala memberikan fitrah kepada manusia dan menciptakan mereka agar hanya menyembah kepada-Nya serta mentauhidkan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰه

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia barada di atas (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)

Makna (Al-Fithrah) adalah agama Islam sebagaimana tafsir dari Mujahid (Diriwayatkan oleh Ath-Thabary dalam tafsirnya 20/97).

Di dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah disebutkan, Dan teguhlah di atas agama Islam. Ia merupakan agama Allah yang manusia diciptakan Allah dengan agama Islam sejak kelahiran mereka. Maka, janganlah merubah fitrah yang telah Allah tetapkan bagi hamba-Nya itu. Namun, teguhlah di atas agama yang agung dan jalan yang dapat mengantarkan kepada keridaan Allah. Akan tetapi, mayoritas hamba tidak mengetahui keagungan agama yang benar ini.”

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

As-Sa’di Rahimahullah di dalam tafsirnya berkata, “Inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia. Dan Allah mengutus semua rasul untuk menyeru kepada tujuan tersebut. Tujuan tersebut adalah menyembah Allah yang mencakup berilmu tentang Allah, mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. Semua tujuan itu tergantung pada ilmu tentang Allah. Sebab kesempurnaan ibadah itu tergantung pada ilmu dan ma’rifatullah. Dan Allah menciptakan mereka bukan karena mereka diperlukan oleh Allah.”

Bahkan, semenjak masih menjadi janin, sejatinya seluruh manusia telah bersaksi bahwa Allah Ta’ala adalah sesembahan satu-satunya. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).’” (QS. Al-A’raf: 172)

Oleh sebab itu, setiap manusia yang lahir, maka dia lahir dalam keadaan Islam, mengenal Allah Rabb semesta alam, dan mengakui-Nya sebagai sesembahannya.

Lalu Apa yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir?

Saat Allah Ta’ala telah menciptakan seluruh janin dengan kondisi mereka telah menjadi muslim, lalu bagaimana bisa ada orang yang kafir?

Di dalam sebuah hadis qudsi Allah Ta’ala berfirman,

إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hunafa’ (Islam) semuanya. Kemudian setan datang. Lalu memalingkan mereka dari agama mereka, mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangannya.” (HR. Muslim no. 2865)

Allah Ta’ala mengabarkan dalam hadis qudsi ini bahwa kita pada asalnya diciptakan dalam keadaan hunafa’. Makna (hunafa’) adalah dalam keadaan Islam sebagaimana penjelasan An-Nawawi Rahimahullah (lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 247). Kemudian setan dari kalangan jin dan manusialah yang menjadikan manusia berubah fitrahnya.

Di antara faktor terbesar yang menjadikan seorang manusia itu menjadi kafir adalah orang tuanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ

“Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah. Maka, bapak ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, atau menjadikannya Nasrani, atau menjadikannya Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah Engkau lihat hewan itu terputus telinganya?” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658)

Maksudnya, hewan ternak itu semula lahir dalam keadaan sehat tanpa cacat. Kemudian setelah lahir, terjadi perubahan, telinganya putus karena dipotong oleh manusia. Demikian pula manusia, ia terlahir dalam keadaan fitrah, tetapi karena keadaan orang tuanyalah atau karena pola pendidikan orang tuanyalah hingga terjadi perubahan pada diri anak manusia yang tidak sesuai dengan fitrahnya.

Orang tua yang Yahudi, Nasrani, atau Majusi akan dapat mengubah anaknya berubah menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bukan itu saja, bahkan orang tua yang muslim pun akan dapat mengubah fitrah buah hatinya dari Islam menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi, atau minimal berkarakter seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Kenapa bisa begitu?

Lemahnya keislaman orang tua, serta ketidakmampuan mereka di dalam mendidik dan mengarahkan anaknyalah yang akan menyebabkan perubahan fitrah seorang anak. Dan hal itu akan berpengaruh besar bagi perkembangan negatif fitrah anak-anaknya.

Orang tua yang demikian tidak pernah peduli terhadap pendidikan Islam anak-anaknya. Jangankan berpikir tentang pendidikan keislaman anaknya, untuk berpikir tentang keislaman dirinya sendiri pun tidak peduli.

Tidak heran jika mereka menyerahkan pendidikan putra-putrinya kepada orang atau lembaga yang cita-cita tertingginya adalah sukses duniawi. Bukan membentuk anak saleh atau salehah yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpikir tentang sukses akhirat. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan oleh-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Ibnu Katsir Rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, Penjagaan terhadap diri dan keluarga dari siksa api neraka adalah dengan memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik kepada keluarga termasuk putra-putrinya.”

Semoga Allah Ta’ala senantiasa meneguhkan kita di atas fitrah yang lurus, memberikan kita kekuatan di dalam beribadah dan bertauhid kepada-Nya, serta menjaga seluruh keluarga kita dan anak cucu kita di dalam kalimat tauhid. Amiin Ya Rabbal Aalamiin.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72768-tauhid-fitrah-seluruh-manusia.html

Hukum Puasa Ayyamul Bidh di Bulan Sya’ban

Dalam setiap bulan Hijriyah, kita disunnahkan untuk berpuasa tiga hari pada tanggal 13, 14 dan 15. Puasa yang dilakukan pada tanggal 13, 14 dan 15 ini disebut dengan puasa Ayyamul Bidh. Hal ini karena pada tanggal tersebut bulan sedang bercahaya dengan terang. Namun bagaimana jika kita puasa Ayyamul Bidh di bulan Sya’ban, apakah boleh?

Berpuasa Ayyamul Bidh di bulan Sya’ban hukumnya boleh dan dianjurkan. Kita dianjurkan untuk melakukan puasa Ayyamul Bidh dalam setiap bulan kecuali di bulan Ramadhan. Jika di bulan Ramadhan, maka tidak ada puasa sunnah apapun karena bulan Ramadhan merupakan bulan puasa wajib yang tidak boleh dicampur dengan puasa sunnah.

Selain di bulan Ramadhan, maka kita dianjurkan untuk melakukan puasa Ayyamul Bidh, termasuk di bulan Sya’ban. Tidak ada larangan dalam Islam untuk melakukan puasa Ayyamul Bidh di bulan Sya’ban, bahkan dianjurkan. Ini sebagaimana hadis riwayat Imam Al-Nasai danAl-Tirmizi dari Abu Zar, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi Saw berwasiat kepada Abu Hurairah agar jangan pernah meninggalkan puasa Ayyamul Bidh. Ini menunjukkan bahwa puasa Ayyamul Bidh sangat besar keutamaannya, dan sangat dianjurkan untuk dilakukan setiap bulan, termasuk bulan Sya’ban. 

Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, dia berkata;

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

Kekasihku (Rasulullah Saw) mewasiatkan kepadaku tiga nasehat yang aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku mati, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan, mengerjakan shalat Dhuha, dan mengerjakan shalat Witir sebelum tidur.

Selain itu, yang dilarang oleh para ulama untuk berpuasa di bulan Sya’ban adalah jika sudah melewati separuh akhir bulan Sya’ban, yaitu terhitung sejak tanggal 16 Sya’ban. Sementara puasa Ayyamul Bidh dilakukan pada 13, 14, dan 15 Sya’ban. Karena itu, berpuasa Ayyamul Bidh di bulan Sya’ban ini tetap dianjurkan untuk dikerjakan karena belum melewati separuh akhir bulan Sya’ban. 

BINCANG SYARIAH

Kapan Adzan Boleh Nyaring dan Kapan Harus Pelan, Ini Tinjauan Fikih

SE Menag soal pengaturan volume Toa sampai hari ini terus menuai perdebatan, sebagian bahkan sampai mempolitisir pernyataan Menag dengan penafsiran yang menyudutkan. Niat baik menjaga harmonisasi kehidupan di tengah masyarakat Indonesia yang multi agama berubah menjadi atmosfer adu wacana yang saling mengejek dan ada yang sampai menuduh Menag mendustakan agama.

Karenanya, penting untuk menghadirkan pemahaman tentang fenomena ini sebagaimana mestinya. Suatu pemahaman yang didalilkan kepada argumen-argumen keagamaan sehingga penilaian terhadap keputusan Menag tidak didasarkan pada emosi, kebencian, dan faktor-faktor lain.

Dalam kitab Shahih Bukhari ada satu hadis yang menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan. Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah mendapat informasi dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Nabi menganjurkan mengeraskan suara adzan karena pada hari kiamat nanti makhluk apapun yang mendengarnya akan menjadi saksi yang baik bagi muadzdzin.

Begitu jelas, Nabi menganjurkan supaya adzan dilantunkan dengan suara yang keras. Namun demikian, tentu harus bijak menilai hadist ini dan tidak boleh begitu saja ditafsirkan secara literal.

Perlu dipahami anjuran disini menggunakan suara tanpa alat bantu. Bagaimana kalau mengeraskan adzan dengan alat bantu pengeras suara seperti toa yang lazim dipakai saat ini? Apakah masih masuk dalam kesunnahan hadis?

Untuk selain ibadah berlaku kaidah, “Hal apa saja boleh kalau tidak ada dalil yang mengharamkan”. Artinya, apa saja boleh lakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Seperti toa yang digunakan sebagai alat bantu untuk mengeraskan suara adzan. Meskipun alat ini tidak ada pada masa Nabi, karena tidak ada dalil yang melarangnya hukumnya menjadi boleh.

Kaidah lain mengatakan, “Semua yang berfungsi sebagai perantara hukumnya sama dengan objek yang dituju”. Karena mengeraskan suara adzan merupakan anjuran, maka penggunaan toa secara otomatis juga sunnah. Sebab, penggunaan toa tidak membawa mafsadah dan sesuai dengan kemaslahatan agama. Karenanya, selama membawa kemaslahatan dan tidak menimbulkan kemadharatan penggunaan pengeras suara boleh, malahan sunnah.

Akan tetapi, kalau penggunaan toa atau pengeras suara bisa mendatangkan kemudharatan hukumnya beda lagi. Kaidah fikih berbunyi, “Hukum Islam dibangun atas prinsip menolak mafsadat dan mendatangkan kemaslahatan”. Maka, jika toa atau pengeras suara menjadi sebab datangnya kemudharatan hukumnya tidak boleh/haram.

Zain bin Muhammad bin Husein al Idrus dalam karyanya I’lamul Khas wal ‘Am bi anna Iz’ajan Nasi bil Mikrufon Haram, mengutip pendapat Sayyid Muhammad Alawi al Maliki, penggunaan mikrofon dalam ketika khutbah jum’at dan shalat memiliki kemaslahatan yang tidak diragukan lagi. Fatwa Sayyid Muhammad Alawi al Maliki tentang bolehnya memakai mikrofon konteksnya adalah mikrofon dengan speaker dalam seperti ini.

Sedangkan penggunaan mikrofon dengan speaker luar mafsadat dan kerusakannya telah jelas, tidak samar lagi bagi mereka yang berakal sehat (mengganggu orang lain). Karenanya, menurut Sayyid Muhammad Alawi al Maliki, kalau efeknya bisa menggangu orang lain maka wajib menghentikannya karena tujuan awalnya terabaikan.

Pendapat ini dikatakan oleh Sayyid Muhammad Alawi al Maliki dalam karyanya Majmu’ Fatawa wa Rasail.

Dengan demikian sangat jelas, bahwa pengaturan volume toa sejatinya berangkat dari kerangka berpikir yang berpijak pada dalil-dalil syariat Islam. Apalagi dalam konteks ke Indonesia an yang multi agama. Pertimbangan kemudharatan dan kemaslahatannya menjadi sangat penting supaya dalam menjalankan syariat Islam tidak malah melanggar syariat itu sendiri.

ISLAM KAFFAH

Hati-hati Kurma ‘Israel’, Ini Daftarnya

PEMUKIMAN ‘Israel’ yang dibangun di atas tanah Palestina yang dirampok oleh Zionis telah dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Internasional. Di tanah jajahan ini, ‘Israel’ membangun perumahan, pabrik, dan menjadilan lahan warga Palestina yang dirampas untuk perkebunan.

Sekitar 60% kurma ‘Israel’ ditanam di pemukiman semacam ini, dan menjadi tanaman paling menguntungkan mereka yang berkontribusi signifikan terhadap kelangsungan hidup ekonomi mereka.

Delapan puluh persen dari kurma yang dihasilkan ‘Israel’ diekspor, Inggris menjadi pasar terbesar kedua ‘Israel’. Jika Anda menentang ‘Israel’, targetkan kurma mereka.

Perusahaan dan Merk ‘Israel’

Kurma yang paling banyak mereka ekspor adalah kurma jenis Medjool. Kurma jenis ini sangat mendunia karena memiliki tekstur yang empuk, lembut, manis dan legit. Kurma yang dikenal sebagai ‘Raja Kurma’ atau ‘Berlian Kurma’ ini juga mengandung fruktosa dan glukosa alami yang merupakan sejenis karbohidrat sederhana yang baik untuk meningkatkan energi saat berpuasa.

Kurma Medjool ini hanya bisa tumbuh di Lembah Yordan dan sedikit di wilayah selatan ‘‘Israel’’. Lembah Yordan sendiri merupakan wilayah paling subur di Tepi Barat. Banyak perkebunan ilegal Zionis berada di atas tanah curian dari rakyat Palestina ini.

ekitar 75% dari kurma Medjool di dunia diproduksi di ‘Israel’ (2016). Setiap tahun ‘Israel’ memperluas pangsa pasar kurmanya. Sejak tahun 2012, produksi negara Zionis itu melampaui Arab Saudi dan sekarang menjadi eksportir kurma terbesar ketiga di dunia setelah Tunisia dan Iran dan nilai ekspor mencapai 181 juta AS dolar pada tahun 2017.

Setelah Prancis, Inggris adalah pasar terbesar ‘Israel’ untuk kurma dengan nilai 30 juta AS dolar pada tahun 2017 dengan hampir 9.000 ton kurma ‘Israel’ diekspor ke Inggris.

Hadiklaim, adalah eksportir kurma terbesar ‘Israel’, yang mencakup perkebunan ilegal di Lembah Jordania, menjual 65% dari semua kurma ‘Israel’. Di bawah ini beberapa merk kurman produk ‘Israel’ yang dirilis inmind:

  1. Jordan River
  2. King Solomon
  3. Tamara Barhi Dates
  4. Desert Diamond
  5. Rapunzel
  6. Bomaja
  7. Shams
  8. Delilah

Selain itu mereka juga memasok kurma ‘Israel’ ini ke supermarket yang memasarkan kembali dengan merk mereka sendiri. Di bawah ini jaringannya;

  1. Marks & Spencer
  2. Sainsbury
  3. Tesco
  4. Asda
  5. Morrisons
  6. Waitrose

Bahkan terkadang mereka diberi label “Diproduksi di Tepi Barat”, namun ingat, ini bukanlah kurma Palestina. Hadiklaim juga telah menjual kurma Afrika Selatan dengan keuntungan untuk ‘Israel’, namun karena boikot mitra Afrika Selatan mereka, Karsten Farms telah memutuskan hubungan dan bersumpah tidak akan bermitra dengan entitas ‘Israel’ yang terlibat dalam penjajahan.

Mehadrin, pengekspor produk segar terbesar ‘Israel’, sesumbar penjualan kurma mereka akan berlipat ganda melihat permintaan yang kuat selama Ramadhan. Kurma mereka bermerk Premium Medjoul, Fancy Medjoul, Royal Treasure, Red Sea dan Bonbonierra. Terkadang kemasan mereka menyatakan “Ditumbuhkan oleh Petani Palestina”, ini merujuk pada buruh ‘budak’ Palestina yang ditemukan di perkebunan ‘Israel’.

Tnuvot Field (Field Produce Marketing Ltd) adalah pengekspor Medjool ke-3 terbesar di ‘Israel’. Nama-nama mereknya termasuk Paradise dates, dan Star dates.

Tidak cukup hanya membaca label

Sayangnya membaca label tidak lagi cukup karena Hadiklaim mengakui bahwa sejak 2012 mereka telah mengirimkan kurma dari Lembah Jordania yang diberi label ‘Made in Palestine’ ke Eropa dan Dubai.

Al-Jazeera pada Agustus 2012 mewawancarai seorang manager ekspor pertanian ‘Israel’ di pemukiman Mahola, salah satu pemukiman ilegal ‘Israel’ di Tepi Barat di mana Hadiklaim mendapatkan kurma Medjoolnya. Dia menjelaskan kotak kurma di gudang pengemasannya berlabel “Palestina – Jericho” dengan mengatakan bahwa “terkadang Inggris menolak [membeli dari kam] Kami hanya menghindari menulis ‘‘Israel’’ di kotak, kami seringkali mencetak kotak khusus atas permintaan pembeli, terkadang mereka meminta kami untuk mengubah nama negara asal kotak tersebut.”*

HIDAYATULLAH