Apakah Musafir Sebaiknya Puasa atau Mengambil Rukhsah?

Apakah musafir sebaiknya puasa atau mengambil rukhsah? Ini menjadi persoalan penting menjelang pulang kampung atau mudik. Nah ini penjelasannya.

Saat berpuasa di bulan Ramadhan, seorang muslim boleh membatalkan puasanya jika memenuhi beberapa syarat untuk mendapat rukhsah ini. Seperti sakit atau bepergian jauh.

Namun saat ini, zaman modern dan moda transportasi sudah canggih, apakah tetap boleh membatalkan puasa saat perjalanan melebihi 80 kilometer? Bagi musafir, apakah sebaiknya tetap melaksanakan puasa atau mengambil rukhsah untuk batal saja?

Keutamaan rukhsah dijelaskan dalam hadis yang menyebutkan bahwa Allah mencintai hambaNya yang menjalankan rukhsah. Kecintaan tersebut setara dengan kebencian Allah pada hambaNya yang berbuat maksiat.

Dalam sebuah hadis Nabi riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu,

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن الله يحب أن تؤتى رخصُه كما يكرَه أن تؤتى معصيته رواه أحمد، وصححه ابن خزيمة وابن حبان

Artinya: Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: Sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang melaksanakan rukhsah, sebagaimana Allah membenci hambaNya melakukan maksiat.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Berlainan dengan itu, dalam ayat 184 surat al-Baqarah disebutkan bahwa berpuasa lebih baik daripada menjalankan rukhsah yang karena beberapa alasan yang disebutkan. Begini ayatnya,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan kamu berpuasa lebih baik jika kamu mengetahui.

Bagaimana memahami maksud ayat tersebut?  Dalam tafsir al-Qurthubi, ada beberapa rincian mengenai ayat ini. Tapi mari kita pahami konteks kalimat “dan kamu berpuasa lebih baik jika kamu mengetahui.

” Berdasarkan kalimat ini, ulama berbeda pendapat tentang keutaman berpuasa bagi musafir. Sebagian berpendapat, lebih utama tetap berpuasa bagi yang kuat. Sebagian lainnya berpendapat lebih utama menjalankan rukhsah karena Allah mencintai HambaNya yang menjalankan rukhsah.

Imam Malik dan Imam Syafi’i, dalam sebagian riwayat mengatakan bahwa berpuasa lebih utama dilakukan bagi yang kuat. Sedangkan ulama dari kalangan Mazhab Maliki malah memberi pilihan untuk tetap melanjutkan puasa atau membatalkannya, tidak ada yang lebih utama.

Begitu juga ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa ini sifatnya opsional, tidak ada yang lebih utama. Para ulama mazhab tersebut merujuk pada hadis riwayat Anas bin Malik,

سافرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في رمضان فلم يعب الصائم على المفطر ولا المفطر على الصائم أخرجه مالك والبخاري ومسلم

Artinya: Kami berpergian bersama Rasulullah di bulan Ramadhan, kemudian yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

Perbedaan pendapat ini memberikan kita pilihan untuk meyakini salah satunya. Secara fikih, membatalkan puasa dalam perjalanan yang sudah melebihi jarak safar adalah boleh. Yang berbeda adalah mengenai keutamaan bagi musafir yang apakah sebaiknya tetap melaksanakan puasa atau menjalankan rukhsah. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Tanda-Tanda Lailatul Qadar

Para ulama telah bersepakat bahwa Lailatul Qadar terjadi sekali dalam satu tahun, dan itu ada di dalam bulan Ramadhan. Mengenai rincian waktu keberadaan Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan, para ulama berbeda pendapat.

Meski demikian, setidaknya ada beberapa tanda yang dapat diketahui mengenai Lailatul Qadar. Ada empat tanda Lailatul Qadar sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam riwayat yang shahih.

Tanda pertama, matahari terbit di pagi hari tanpa sinarnya, seperti yang disabdakan Nabi SAW: “Matahari terbit pada pagi hari (yang malamnya merupakan malam Lailatul Qadar) tanpa cahaya yang menyilaukan. Ini seakan-akan seperti belanga hingga meninggi.” (HR Muslim)

Tanda kedua, yakni pada saat Lailatul Qadar, bulan terbit dengan menampakkan hanya separuhnya, seperti setengah mangkok. Dalam riwayat Abu Hurairah RA, dia berkata, “Kami pernah berdiskusi tentang Lailatul Qadar di sisi Rasulullah SAW. Kemudian beliau SAW bersabda, “Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR Muslim)

Tanda ketiga, yaitu terkait hawa udara dan suasana langit malam. Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ini (Lailatul Qadar) adalah malam yang cerah. Tidak panas maupun dingin. Kemudian, di pagi harinya (setelah melewati Lailatul Qadar), matahari bersinar dengan warna merah yang lemah.” (Disahihkan al-Albani)

Tanda keempat, ialah pemandangan langit malam dari bumi tampak cerah dan tidak tampak bintang yang dilempar ke setan-setan.

Diriwayatkan dari Watsilah bin Asqa’, Rasulullah SAW bersabda, “Lailatul Qadar ialah malam yang tenang. Tidak panas dan tidak pula dingin. Tidak ada mendung, hujan dan angin. Juga tidak ada bintang yang dilemparkan.” (HR Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)

IHRAM

Pesan Menag untuk Persiapan Haji 2022

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta jajarannya untuk bekerja cepat dan cermat dalam mempersiapkan ibadah haji 2022. Hal ini ia sampaikan saat memimpin Rapat Koordinasi Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1443H/2022M.

“Saya tidak mau ada yang santai-santai, sebanyak apapun pengalaman yang dimiliki dalam penyelenggaraan ibadah haji,” kata Menag, Kamis (21/4/2022). 

Hadir dalam rapat tersebut Sekretaris Jenderal Kemenag Nizar, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief, Staf Khusus Menteri Agama, Staf Ahli Menteri Agama, serta jajaran pejabat eselon II Ditjen PHU. 

Sebelumnya, Menag telah mengumumkan tahun ini Indonesia akan memberangkatkan 100.051 jamaah haji disertai 1.901 petugas. Pemberangkatan kelompok terbang (kloter) pertama jemaah haji Indonesia akan dilaksanakan pada 4 Juni 2022. 

Ia menegaskan, kecepatan dan kecermatan dalam persiapan penyelenggaraan haji harus dilakukan. Hal tersebut penting, mengingat ini adalah kali pertama Indonesia memberangkatkan jamaah haji pada masa pandemi. 

“Karena haji kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak beberapa hari lalu kita sudah bersusah payah untuk mendapatkan kuota haji, kali ini kita harus bersusah payah agar pelaksanaan haji bisa berjalan dengan baik dan lancar,” lanjutnya. 

Ia bahkan menyebut kemungkinan jajarannya tidak bisa cuti dan libur meski instansi-intansi lain sedang libur. Waktu yang dimiliki untuk penyelenggaraan ibadah haji kali ini semakin dekat dan terbatas.

Dalam rapat tersebut, Dirjen Penyelenggaran Haji dan Umroh Hilman Latief memaparkan beberapa hal yang menjadi pembahasan. Di antaranya mengenai linimasa atau timeline penyelenggaraan ibadah haji, yang meliputi persiapan transportasi, persiapan petugas, persiapan visa, persiapan pembinaan manasik, persiapan asuransi, persiapan layanan akomodasi di Arab Saudi, serta persiapan vaksinasi jemaah haji. 

“Kami sudah siapkan tahapan-tahapan pemberangkatannya. Sudah kita susun sebagaimana target yang Pak Menteri sampaikan kepada publik, yaitu pada tanggal 4 Juni 2022 untuk pemberangkatan pertama,” ujar Hilman.

Selain itu, dibahas pula mengenai penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), serta usulan skema penempatan jamaah haji Indonesia selama di Arab Saudi.  

IHRAM

Khotbah Jumat: Nasihat Ramadhan, Saatnya Memacu Kembali Semangat Kita

Khotbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan oleh Allah.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Terlebih lagi di bulan Ramadan yang mulia ini.

Tak lupa, puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, atas semua limpahan nikmat dan rezeki yang telah Allah berikan kepada kita semua. Di antaranya adalah nikmat iman, nikmat kesehatan, dan yang tak kalah penting, nikmat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan.

Tak terasa, Alhamdulillah kita sudah melewati setengah awal dari bulan Ramadan, semoga Allah Ta’ala menerima seluruh amal ibadah yang selama ini telah kita lakukan. Layaknya seorang pelari yang sudah mendekati garis finis, pastinya ia akan menambah kecepatan larinya, memompa semangat juangnya, dan mengerahkan sisa nafasnya untuk meraih garis finis dengan hasil yang memuaskan. Seperti itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Tentunya ia harus semakin bersemangat, semakin kencang di dalam melakukan ketaatan, dan tidak mau kalah dari saudaranya agar menjadi salah satu hamba yang sukses melewati tantangan bulan Ramadan.

Lihatlah bagaimana semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila memasuki sepuluh hari (yang terakhir di bulan Ramadan), beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan kainnya.’” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)

An-Nawawi di dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim menyebutkan, “Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ‘mengencangkan kain’ ada yang berpendapat maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah dengan meningkatkan (kualitas dan kuantitas) ibadahnya dari yang biasa beliau lakukan. Pendapat lainnya memaknainya sebagai at-tasymiir (bersegera) dalam ibadah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi adalah menjauhi istri-istrinya dalam rangka menyibukkan dirinya dalam beribadah.”

Di hadis yang lain disebutkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Jemaah salat Jumat yang dimuliakan oleh Allah.

Para sahabat, ulama terdahulu, dan orang-orang saleh mereka semua berusaha keras untuk bisa meniru apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bahkan, apa yang dilakukan Rasulullah di dalam hadis tersebut merupakan kebiasaan ‘Umar bin Khattab yang beliau lakukan sehari-hari dan tidak hanya di bulan Ramadan saja. Dahulu kala beliau bangun terlebih dahulu untuk melakukan salat malam, barulah ketika masuk pertengahan malam, ia akan membangunkan seluruh keluarganya untuk melakukan salat malam, sembari beliau membaca ayat,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan salat jika mereka mampu. (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 331)

Dahulu kala Qatadah, salah seorang tabi’in, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali. Jika Ramadan tiba, maka beliau mengkhatamkannya setiap tiga hari sekali. Dan ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, beliau mengkhatamkannya sekali setiap malam.

Jemaah Jumat yang dirahmati oleh Allah Ta’ala.

Dari dalil-dalil yang telah ada, para ulama bersepakat bahwa malam lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam yang penuh pengampunan ini terletak di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

تَحرّوْا لَيْلةَ القَدْرِ في الوتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَواخِرِ منْ رمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar itu dalam malam ganjil dari sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan (yakni malam ke 21, 23, 25, 27, dan 29).” (HR. Bukhari no. 2017)

Keutamaan malam lailatul qadar ini sangatlah agung. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن  يَقُمْ  ليلةَ  القَدْرِ إيمانًا  واحتسابًا، غُفِرَ له ما تَقدَّمَ من ذَنبِه

Barangsiapa berdiri salat dalam bulan Ramadan karena didorong keimanan dan keinginan memperoleh keridaan Allah, maka diampunkanlah untuknya dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Bukhari no. 35 dan Muslim no. 760)

Oleh karenanya, jika kita mendapatkan malam lailatul qadar ini, Nabi menganjurkan umatnya untuk membaca doa, “Allahumma Innaka Afuwwun Tuhibbul Afwa Fa’fu Anni”. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَعَنْ عَائِشَة قَالَتْ : قُلْتُ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِن عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ القَدْرِ ما أَقُولُ فيها ؟ قَالَ : « قُولي : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العفْوَ فاعْفُ عنِّي ».

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah jika aku mengetahui bahwa malam itu adalah lailatul qadar, apa yang harus aku ucapkan waktu itu?’ Rasulullah bersabda, “Ucapkanlah: (yang artinya) Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun, gemar memberikan pengampunan, maka ampunilah saya.” (HR. Tirmidzi no. 3513, Nasa’i di dalam As-Sunan Al-Kubraa no. 7712 dan Ibnu Majah no. 3850 dengan sedikit perbedaan)

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala.

Agungnya 10 malam terakhir dan malam lailatul qadar inilah yang menjadi motivasi dan sebab disyariatkannya iktikaf. Yaitu niat berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beriktikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)

Apa keutamaannya?

Saat seorang muslim menjalankan sunah iktikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan ini, maka ia berpeluang besar mendapatkan malam lailatul qadar sedang ia dalam kondisi siaga.

Iktikaf juga akan memudahkan pelakunya di dalam mengerjakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Sehingga insyaAllah ia tercatat sebagai salah satu hamba yang beruntung, hamba yang diberi keluasan ampunan oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena konsistennya di dalam beramal hingga akhir Ramadan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رغِمَ أَنفُ رجلٍ ذُكِرتُ عندَهُ فلم يصلِّ عليَّ ، ورَغِمَ أنفُ رجلٍ دخلَ علَيهِ رمضانُ ثمَّ انسلخَ قبلَ أن يُغفَرَ لَهُ ، ورغمَ أنفُ رجلٍ أدرَكَ عندَهُ أبواهُ الكبرَ فلم يُدْخِلاهُ الجنَّةَ.

“Celakalah seseorang, aku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan selawat kepadaku. Dan celakalah seseorang, (karena) bulan Ramadan menemuinya kemudian ia keluar sebelum ia mendapatkan ampunan. Dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut, namun kedua orang tuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam surga (karena kebaktiannya).” (HR. Tirmidzi no. 3545, hadits hasan shahih)

Akhir kata, ketahuilah wahai saudaraku, sepuluh malam terakhir merupakan penutup bulan Ramadan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إنما الأعمال بالخواتيم

“Sesungguhnya amalan-amalan (seorang hamba) itu tergantung pada amalan-amalan penutupnya.” (HR. Ahmad (37: 488) dan Imam Ath-Thabrani di dalam Al-Kabiir (6: 143))

Jangan sampai di penghujung Ramadan nanti, setelah semua ibadah yang kita kerahkan, baik rajinnya kita menghadiri salat tarawih di awal-awal bulan, rajinnya kita tadarus Al-Qur’an, dan berbagai macam ibadah-ibadah lainnya, menjadi sia-sia hanya karena di akhir bulan ini kita menjadi bermalas-malasan, hilang semangat dan teralihkan dengan perkara dunia yang tidak bermanfaat. Sehingga tidak bisa menutup bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya.

Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari perkara-perkara yang dapat melalaikan dan menyibukkan kita dari melakukan ketaatan di sisa-sisa bulan Ramadan ini.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hambanya yang sukses mencapai garis akhir Ramadan ini dengan prestasi yang membanggakan. Yaitu mendapatkan ampunan-Nya yang sangatlah luas.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua.

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74456-khotbah-jumat-nasihat-ramadan-waktunya-memacu-kembali-semangat-kita.html

Mudik Lebaran Penuh Berkah

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, sebentar lagi bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan ini akan segera berakhir, dan akan segera datang hari raya yang dinanti-nanti kaum muslimin yaitu ‘Idul Fithri. Banyak di antara kaum muslimin yang hidup di perantauan kembali ke kampungnya untuk merayakan lebaran bersama sanak keluarganya. Lantas hal-hal apa sajakah yang harus kita siapkan agar mudik kita berbarokah? Simaklah tips-tips ketika melakukan perjalanan jauh berikut ini dan semoga bermanfaat.

Persiapan Sebelum Mudik

Seseorang yang hendak mudik atau melakukan perjalanan jauh bukan hanya mempersiapkan barang-barang dan bekal untuk perjalanan. Persiapan lain yang hendaknya dilakukan di antaranya: [1] Melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan. [2] Bertaubat kepada Allah dari berbagai kemaksiatan karena kita tidak mengetahui apa yang terjadi ketika di perjalanan nanti. [3] Menyelesaikan berbagai persengketaan seperti utang-piutang, nafkah yag wajib, dan wasiat kepada ahli waris. [4] Mencari teman perjalanan karena dapat menimbulkan bahaya jika berjalan sendiri (HR. Bukhari) [5] Mencari teman perjalanan yang sholeh yang dapat menjaga agama dan menegurnya jika berbuat salah. [6] Dianjurkan untuk melakukan perjalanan jauh pada hari kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari & Abu Daud), juga pada pagi hari karena Allah memberkahi umat ini di waktu paginya (HR. Abu Daud & Tirmidzi, Hasan), dan boleh juga pada awal malam karena pada waktu itu bumi dilipat artinya didekatkan jaraknya (HR. Abu Daud & Hakim, shohih). [7] Berpamitan dengan orang yang ditinggalkan sambil berdo’a kepada mereka: “Astawdi’ullaha diinaka, wa amanataka, wa khowatiima ‘amalika (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)” (HR. Ahmad & Tirmidzi, shohih) (Lihat Adab Harian Muslim Teladan, 61-69)

Ketika Dalam Perjalanan

Hendaknya ketika dalam perjalanan membaca do’a sebagaiman do’a yang diajarkan oleh suri tauladan kita sebagai berikut: “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Subhanalladzi sakhkhoro lana hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamunqolibuun. Allahumma inni nas’aluka fi safarina hadzal birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alaina safarona hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shohibu fis safar, wal kholifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsa’is safar wa kaabatil manzhori wa su’il munqolabi fil maali wal ahli.” (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Allah yang menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada keluarga dan harta), dan ketika kembali dari perjalanan jauh ucapkanlah do’a: Ayibuna taa’ibuna ‘abiduna lirobbina hamidun (Kami kembali, kami selamat, bertaubat, tetap beribadah dan tetap memuji Rabb kami) (HR. Muslim). (Lihat Hisnul Muslim)

Jangan lupa dalam perjalanan ketika melewati jalan mendaki untuk membaca ‘Allahu Akbar’ dan ketika ketika melewati jalan menurun membaca ‘Subhanallah’. Juga jangan lupa untuk banyak berdo’a ketika safar karena di antara tiga do’a yang pasti dikabulkan adalah do’a seorang musafir. Maka perbanyaklah do’a ketika itu karena sesungguhnya Allah selalu mendengar do’a seorang hamba dan Allah Maha Mengabulkan do’a. (Lihat Adab Harian Muslim Teladan, 69-72)

Beberapa Keringanan Ketika Safar

Ada beberapa keringanan yang boleh dilakukan musafir ketika bepergian jauh yang dianggap oleh masyarakat (secara ‘urf) sebagai perjalanan jauh tanpa melihat jarak yang ditempuh. Di antaranya: [1] Apabila seorang musafir tidak mengalami kesulitan ketika melakukan perjalanan jauh maka lebih baik baginya untuk berpuasa. Namun jika mendapatkan kesulitan, maka lebih baik tidak berpuasa. (Lihat Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 198) [2] Mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua raka’at dan ini hukumnya wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, dan Utsman selalu mengqoshor shalat ketika safar hingga mereka wafat. (Lihat Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 143-144) [3] Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap ke arah yang dituju oleh kendaraan (HR. Abu Daud & Ibnu Hibban, hasan). Sedangkan shalat fardhu hendaknya dikerjakan dengan turun dari kendaraan (HR. Bukhari & Ahmad) dan jika tidak mampu untuk turun, “Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun [64] : 16) [4] Menjama’ shalat jika tidak mampu mengerjakan shalat di setiap waktunya. Jadi, menjama’ shalat bukanlah keharusan ketika safar. Ketika seseorang itu mampu mengerjakan shalat di tiap waktunya maka tidak perlu ada jama’ ketika safar. (Lihat Minhajul Muslim, 190)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa meneguhkan kita dalam keimanan dan memberkahi serta memudahkan safar kita. Amin Ya Mujiibas Saa’iliin.

***

Penyusun: Bagus P. Setiawan & Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/362-mudik-lebaran-penuh-berkah.html

Mengapa Alquran Diturunkan ke Langit Dunia Lebih Dulu?

Sebagian ulama sepakat Alquran diturunkan dalam dua fase. Pertama, wahyu tersebut diturunkan secara keseluruhan, dan kedua diturunkan secara terpisah-pisah.

Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fath al-Baari menyampaikan, pendapat itulah yang disepakati kebenarannya. Pendapat ini diperkuat hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.

Hadits pertama, dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, “Alquran diturunkan dari Az-Zikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia, kemudian Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.” (HR Imam Nasa’i, al-Hakim, al-Thabrani)

Hadits kedua, diriwayatkan dari Said bin Jabir, dari Ibnu Abbas RA, bahwa dia berkata, “Alquran diturunkan ke langit dunia (langit terbawah) secara utuh pada waktu Lailatul Qadar, kemudian Allah SWT menurunkannya secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW.” (HR al-Baihaqi dan al-Hakim)

Meski Alquran diturunkan pada Malam Qadar atau Lailatul Qadar, tidak diketahui di tahun kapan Lailatul Qadar itu terjadi. Apakah sebelum kenabian Muhammad SAW, atau setelah kenabian beliau SAW. Sebab, memang tidak ada nash yang menyebutkan atau menentukan kapan persisnya waktu Lailatul Qadar.

Abu Shama al-Maqdisi menjelaskan tentang rahasia mengapa Alquran diturunkan ke langit yang paling bawah (langit dunia). Dia mengatakan, hal tersebut untuk mengumumkan kepada para penghuni tujuh langit bahwa Alquran adalah kitab terakhir yang diwahyukan atau diturunkan kepada penutup para nabi, yaitu Nabi Muhammad SAW.

“Seandainya tidak ada kebijaksanaan ilahiyah, tentunya Alquran akan turun ke bumi secara keseluruhan, seperti semua kitab suci yang diturunkan sebelumnya,” kata dia.

Karena itu, menurut pandangan Abu Shama al-Maqdisi, Alquran diturunkan tidak langsung ke bumi tetapi ke langit terendah terlebih dulu. Dengan demikian, Alquran diturunkan secara keseluruhan (ke langit terendah atau langit dunia), lalu diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Dan ini hanyalah salah satu kemuliaan Nabi Muhammad SAW.

IHRAM

5 Cara Salaf dalam Menghidupkan 10 Hari Terakhir Ramadhan

Imam Ibnu Al-Jauziy menuturkan kisah menarik yang menunjukkan betapa seriusnya persiapan para salafush-shalih dalam menghadapi 10 hari terakhir bulan Ramadhan

Pada bulan Ramadhan secara umum, salafush-shalih mengisinya dengan penuh kesungguhan. Terlebih ketika sudah memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Dalam kitab “at-Tabshirah”, Imam Ibnu Al-Jauziy menuturkan kisah menarik yang menunjukkan betapa seriusnya persiapan para salafush-shalih dalam menghadapi sepuluh terakhir bulan Ramadhan yang mana di dalamnya ada Lailatul-Qadar (Malam Kemulian).

Mereka bukan saja menyiapkan diri dengan aneka ibadah dan kebersihan batin, tapi juga persiapan fisik dengan wewangian dan baju bagus di samping kebersihan hati dan batin mereka. Simak catatan Ibnu Jauzi berikut ini:

وَقَدْ كَانَ السَّلَفُ يَتَأَهَّبُونَ لَهَا

“(Generasi) salaf mempersiapkan diri untuknya.” Maksudnya, pada 10 hari terakhir Ramadhan untuk memburu Lailatul-Qadar.

Membeli Baju Terbaik dan Khatam Al-Quran

Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh. Sahabat bernama Tamim Ad-Dariy misalnya, memiliki baju bagus dan baru seharga seribu dirham yang dipakai pada malam yang berpotensi besar turun Lailatul-Qadar. Dalam kitab “Shifatu Shafwah” karya Ibnu Jauzi dijelaskan juga bahwa Tamim ini juga mampu mengkhatamkan Al-Qur`an dalam satu rakaat, sebagaimana penuturan Muhammad bin Sirin.

Mandi dan Memakai Parfum

Rupanya bukan hanya baju yang dipersiapkan, mereka juga mandi, memakai wewangian, di samping baju yang terbaik yang dimiliki. Sebagaimana yang dilakukan oleh Tsabit bin Humaid.

Keterangan ini senada dengan cerita Ibnu Jarir. Kata beliau mereka, maksudnya salafush-shalih, biasa mandi pada setiap 10 malam terakhir Ramadhan. Contohnya adalah An-Nakhai. Beliau mandi, memakai minyak wangi, dan seterusnya untuk menyambut malam kemuliaan pada sepuluh akhir Ramadhan. (Ibnu Rajab, Lathaaifu al-Ma’aarif, I/189).

Anas bin Malik juga memiliki kebiasaan unik seperti itu. Apabila sudah masuk malam 24, beliau mandi, memakai wewangian kemudian memaka baju khusus yang hanya dipakai khusus pada malam-malam yang berpotensi besar Lailatul-Qadar turun. Ketika baju itu selesai dipakai, paginya dilipat kembali dan akan dipakai lagi di masa mendatang.

Sedangkan Ayyub as-Sikhtiyani mandi pada malam 23 dan 24. Beliau memakai dua baju baru. Demikian juga Tsabit Al-Bannaaniy dan Hamid Thawil, beliau berdua memaka baju terbaik yang dimiliki serta memakai wewanginan dan menyemprot masjid dengan wewangian asap dan semacamnya pada malam yang berpotensi besar turun Lailatul-Qadar.

Pakaian dari Kain Kafan

Ada juga kisah yang cukup mencengangkan. Menurut penuturan Hisyam yang bersumber dari Hafshah, dikatakan bahwa Hafshah binti Sirin memiliki kain kafan yang dipakai saat sedang haji, ihram demikian juga dipakai ketika 10 hari terakhir bulan Ramadhan pada malam hari. Perhatikan persiapan beliau, seoalah-olah sudah siap menyambut kematian pada sepuluh akhir bulan Ramadhan dengan memakai pakaian dari kain kafan. (Shifatu ash-Shafwah, Ibnu Jauzi)

Banyak Mengkhatamkan Al-Quran

Pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan mereka juga gencar membaca Al-Quran. An-Nakha’i misalnya pada momen seperti ini khatam tiap dua malam sekali. Adapun Qatadah bisa mengkhatamkan Al-Quran setiap hari pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan (Lathaifu al-Ma’arif).

Bahkan ada seorang bernama Kahmas bin Hasan mampu mengkhatamkan Al-Quran sepanjang bulan Ramadhan sebanyak 90 kali. Bayangkan apa yang dilakukan beliau saat 10 terakhir bulan Ramadhan? (at-Tabshirah, I/380) Imam Syafi’i juga sangat intens dalam membaca al-Quran. Sebulan Ramadhan bisa mencapai 60 kali khatam.

Mereka tidak melawatkan 10 hari dan malam terakhir Ramadhan. Hal ini sesuai dengan teladan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh terakhir (Ramadlan), maka beliau menghidupkan malam-malamnya (dengan qiyamullail) dan membangunkan keluarganya serta mengencangkan ikatan kainnya (menjauhi isterinya untuk lebih konsentrasi beribadah).” (HR. Muslim)

Iktikaf

Mereka melakukan juga iktikaf, berbagai aneka ibadah yang disyariatkan dan mempersiapkan dengan persiapan terbaik yang bisa mereka persembahkan seolah-olah itu adalah Ramadhan terakhir mereka.*

Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Divisi Siber Polisi Ungkap Beberapa Aplikasi Azan dan Shalat Curi Data Pribadi

Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya mengimbau masyarakat agar mewaspadai pencurian data pribadi dari beberapa aplikasi shalat dan azan di Play Store.

Imbauan tersebut disampaikan melalui unggahan di akun Instagram @siberpoldametrojaya pada Rabu (20/4/2022). Dalam unggahan itu, polisi menyampaikan bahwa beberapa aplikasi tersebut telah diunduh lebih dari 10 juta pengguna.

“Waspada Aplikasi Shalat dan Azan Pencuri Data Pribadi Beredar di Play Store, Sudah Diunduh 10 Juta Pengguna!,” demikian keterangan dalam unggahan tersebut, sebagaimana dilihat oleh Hidayatullah.com, Kamis (21/4/2022).

Polisi juga menyampaikan bahwa sebuah analisis melaporkan tentang serangkaian aplikasi di Google Play Store yang mengumpulkan data sensitif pengguna dan telah diunduh oleh lebih dari 45 juta pengguna.

Data para pengguna tersebut, lanjutnya, berpotensi disalahgunakan akibat keamanan server atau database yang buruk.

Dalam unggahan yang sama, dilaporkan pula bahwa aplikasi itu mencuri data melalui pengembangan perangkat lunak (SDK) pihak ketiga yang mencakup kemampuan untuk menangkap konten clipboard, data GPS, alamat e-mail, nomor telepon, dan bahkan alamat MAC router modern pengguna dan SSID jaringan.

Polisi memuat daftar 11 aplikasi shalat dan azan di Play Store yang mencuri data pribadi pengguna, sebagai berikut:

  1. Speed Camera Radar
  2. Al-Moazin Lite (Prayer Times)
  3. WiFi Mouse (remote control PC)
  4. QR & Barcode Scanner
  5. Qibla Compass – Ramadan 2022
  6. Simple Weather & Clock Widget
  7. Handcent Nex SMS-Text w/MMS
  8. Smart Kit 360
  9. Al Quran MP3 – 50 Reciters & Translation Audio
  10. Full Quran MP3 – 50+ Language & Translation Audio
  11. Audiosdroid Audio Studio DAW

HIDAYATULLAH

Kisah Dialog Buya Hamka dengan Habib dan Ustad yang Tertipu Dukun

Tahun 80-an, Panji Masyarakat memfasilitasi dialog Buya Hamka dengan dukun perempuan dijuluki Pangrukti Aji alias Putri Sakti

PADA tanggal 28 Oktober 80-an ada seorang perempuan dijuluki Pangrukti Aji (Alias Putri Sakti), nama aslinya Wartingingsih, kabarnya ia adalah seorang dukun wanita, mengaku mengalami hal ghaib laiknya wali. Ia mengaku bertemu dengan Sunan Kalijogo dan diberi nama Pangrukti Aji.

Awalnya Pangrukti Aji ini melihat tulisan misterius dalam kaca. Isinya: “Yaa ayyuhalladzina aamanu ittaqullaha haqqa tuqaatih.”

Kemudian, ia mengaku bertemu Sunan Kali Jogo dan mendapat cerita otentik dari beliau mengenai Wali Songo. Karena itulah, ia ingin membuat film Wali Songo yang bersumber dari cerita langsung Sunan Kali Jogo.

Rupanya, yang percaya pada cerita ini juga seorang tokoh cukup terkenal, yaitu Mas Agung. Bahkan ada Habib bernama Nuh Al-Haddad dan seorang Ustadz bernama Ahmad Rifa’i. Didirikan pula Yayasan Sinar Terang untuk menyokongnya.

Pada tanggal 28 Oktober 1980, Mas Agung, Pangrukti Aji, Habib Sayyid Al-Haddad dan Ustadz Ahmad Rifa’i bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), ketika itu mereka ditemui Buya Hamka dan perwakilan pengurus MUI untuk melakukan dialog terkait masalah ini.

Anehnya, yang menceritakan kejadian ini adalah Ustadz Rifa’i yang tidak pernah menyaksikan langsung kejadiannya dan hanya mendengar dari Pangrukti Aji. Dia percaya ini sebagai kejadian luar biasa. Ia sangat kagum dan yakin sekali atas pengalaman Pangruti Aji.

Ketika hal ini ditanyakan kepada Buya Hamka maka secara umum beliau katakan bahwa sangat sulit mempercayai seorang bisa bertemu langsung dengan orang yang telah meninggal. Apalagi, disertai dawuh dan wangsit.

“Karena tidak ada yang mengontrol, orang bisa saja mengatakan bahwa ia telah bertemu Nabi Muhammad, namun perkataan itu betul2 tidak dijamin kebenarannya,” demikian kaya Buya Hamka. “Kalau Nabi Muhammad memang ada hadits, misalnya riwayat Muslim yang menunjukkan bahwa orang yang bermimpi bertemu Nabi Muhammad berarti benar, karena setan tidak bisa menyerupai beliau.”

Buya Hamka pun kemudian memberondong Ustadz Rifa’i dengan beberapa pertanyaan, apa sama martabat Wali Songo dengan Nabi? Siapakah yang datang sebenarnya kepada Pangruti Aji dan menyampaikan dawuh wangsit itu. Kata Buya Hamka, kemungkinan besar hantu dan jin.

Giliran Mas Agung kemudian yang berkata. Dia dapat pemberian nama langsung dari Sunan Kalijogo dengan sebutan Bawono Aji. Ia mengaku bisa mengobati segala  macam peyakit yang tidak dapat diobati orlah dokter sekalipun.

“Mungkin itu benar, mungkin Tuhan memberkati saudara, tapi agama Islam itu bukan perdukunan, soal-soal semacam itu adalah hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan,” pungkas Buta Hamka.

Tidak lupa beliau mengingatkan ungkapan Arab yang menganjurkan agar kita fokus pada syukur terhadap pemberi nikmat, bukan pada nikmat.

Singkat cerita, mereka tidak mendapat apa-apa. Izin untuk membuat film Wali Songo versi wangsit atau dawuh Sunan Kali Jogo pun tak mendapat restu, kecuali jika dari sumber jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.  Kisah ini diliput dalam majalah Panji Masyarakat No. 307 (XXII/1980) dengan judul “DIALOG WANGSIT, ANTARA MAS AGUNG DAN BUYA HAMKA.”

***

Rupanya pertemuan itu tidak memuaskan. Maka pada hari Kamis 13 November 1980, bertempat di Restoran Nusa Indah, gedung Kartika Chandra diadakan konferensi pers antara Pengurus Yayasan Jalan Terang dengan wartawan Ibu Kota.

Yang hadir di antaranya: Pangratu Aji, Mas Agung, Fuad Muntako, Habib Nuh Al-Haddad dan Ustadz Ahmad Rifa’i. Mungkin juga ini sebagai bentuk klarifikasi. Hadir juga pada waktu itu pihak kepolisian dan Departemen Agama.

Acara molor satu jam dan baru bisa dimulai pada jam 11 siang. Awalnya dibuka oleh Mas Agung kemudian disampaikan oleh Pangruti Aji yang akan membacakan penjelasannya setebal 20 halaman. Judulnya “PENJELASAN PANGRUTI AJI KEPADA PERS TENTANG BUKTI KEBENARAN PETUNJUK GHAIB YANG DITERIMANYA SEJAK TAHUN 1963”.

Kemudian dia banyak menceritakan hal ghaib dengan Sunan Kali Jogo. Banyak terjemahan ayat yang dijadikan sandarannya. Kemudian dia agak blunder ketika menyebutkan ada ayat Al-Qur`an yang artinya: “Hanya para Wali saja yang mengetahui sejarah ke-Waliannya.”

Saat ditanyakan masalah ini oleh wartawan, maka dia kelabakan tidak bisa menyebutkan ayat berapa. Malah dikomentari oleh Habib Nuh Al-Haddad bahwa itu Surah Yunus. Lucunya dibantah oleh Ustadz Rifa’i bahwa itu bukan ayat tapi hadits.

Dan ketika itu ditanyakan sebagai hadits shahih atau bukan, ternyata Ustadz Rifa’i menjawab: lupa.

Dalam dialog itu Pangruti Aji terlihat malu dan menundukkan kepala. Habib dan Ustadz yang sedianya menjadi penyokong malah saling menyalahlan. Audiens pun bergemuruh.

Akhirnya rencana awal Konferensi Pers untuk memulihkan nama Pangrukti AJi gagal total. Ia tidak mampu meyakinkan khalayak mengenai keghaiban yang dialaminya. Berita ini diliput Irfan Hamka dalam majalah Panji Masyarakat No. 308 (XXII/1980) dengan judul “TANGGAL 13 ANGKA SIAL BAGI PANGRUKTI AJI”.

***

Kisah-kisah seperti tampaknya terus berulang. Ada yang mengaku wali, mendapat berita ghaib dan seterusnya.

Anehnya, ada juga tokoh percaya. Yang tidak habis pikir, seorang yang mengaku habib dan ustadz pun juga mempercayainya dengan dicarikan pembenaran dalil dari Al-Qur`an dan Hadits.

Pada akhirnya mereka malu sendiri. Sebab mereka terpaku pada yang ghaib, tapi syariat diabaikan.

Kisah dialog ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi segenap level masyarakat. Khususnya umat Islam, bahkan untuk para habaib, ustadz atau pemuka agama Islam yang diiakui keilmuannya; agar tidak gampang percaya kepada orang yang mengumumkan kewalian dan hal-hal ghaib.

Apalagi sampai mengaku Imam Mahdi bahkan Nabi. Saya jadi teringat tulisan KH. Haysim Asy’ari yang pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat yang intinya bahwa wali sejati itu menyembunyikan diri bukan memplokamirkannya.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Pentingnya Bersangka Baik Terhadap Allah, Berikut Penjelasan Syekh Abdul Qadir Jailani

Dalam Islam, seorang dianjurkan untuk bersangka baik terhadap Allah. Nah berikut penjelasan Syekh Abdul Qadir Jailani terkait pentingnya bersangka baik terhadap Allah. Tuhan Pencipta manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sering terjebak dengan pandang keliru di dalam memaknai takdir Tuhan. Kita sering tidak menerima dengan kenyataan yang kita hadapi.

Beragam masalah selalu menyertai kita. Belum sempat menyelesaikan satu masalah telah muncul masalah selanjutnya. Pada gilirannya, kita dituntut harus menyelesaikan beragam masalah terlepas apakah kita mampu menyelesaikannya atau tidak.

Ingin sekali merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan itu dirasakan oleh orang lainlain tetapi kita belum berhasil meraihnya. Telah mencoba dan berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya masih biasa-biasa saja.

Dari sana mulai muncul pikiran-pikiran negatif terhadap Tuhan. Sebuah pikiran yang seharusnya tidak dilakukan, karena apa yang dipikirkan akan menghantam dirinya sendiri.

Dalam istilah sebuah ilmu itu disebut Law Of Attraction, yaitu apa yang kita fikirkan, maka seluruh energi akan terfokus pada yang dipikirkan, kemudian alam semesta akan meresponnya sehingga apa yang dipikirkan akan menghantam dirinya sendiri.

Ketika terlintas dalam pikiran tentang sesuatu, baik positif maupun negatif, maka alam semesta akan meresponnya. Dan, cepat atau lambat sesuatu itu akan mewujud dalam kehidupannya (Rusdin S. Rauf, 2021: 6).

Bagaimana pandang Syekh Abdul Qadir Jailani di dalam merespon persoalan seperti ini? Ternyata, beliau juga memiliki pandang yang tidak jauh berbeda dengan pandang di atas.

Jauh sebelum muncul istilah Law of Attraction tersebut, melalui Karya-karyanya, Syekh Abdul Qadir Jailani yang mendapat gelar Sultanul Auliya’ tersebut telah membahasnya.

Dalam hal ini beliau mengutip sebuah hadis qudsi yang berbunyi

وقال الله تعالى في الحديث القدسي ان علم الباطن هو سر من سري، اجعله في قلب عبدي، ولا يقف عليه احد غيري. كما قال تعالى، انا عند ظن عبدي بي وانا معه حين يذكرني ان ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وان ذكرني في ملعب ذكرته في ملعب احسن منه

Artinya: “Allah berfirman dalam hadis qudsi, ilmu batin adalah salah satu dari siri-Ku yang Aku tempatkan di dalam kalbu hamba-Ku dan tidak ada yang tahu mengenainya kecuali Aku.

Allah SWT juga berfirman: ‘Aku sesuai sangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika mengingat-Ku. Ketika dia mengingat-Ku di dalam Kalbunya, Aku mengingatnya di dalam dzat-Ku. Ketika dia mengingat-Ku di dalam majlis, Aku mengingatnya di dalam majlis yang lebih baik darinya“.

Menurut beliau, seorang hamba yang memiliki pemikiran brilian, ia merupakan salah satu dari manusia pilihan. Orang yang memiliki motivasi agar lebih baik lagi kedepannya, maka orang tersebut adalah lebih baik dari beribadah ibadah 70 tahun.

Sebegitu pentingnya etika berpikir positif, dan Allah akan memberinya balasan yang setimpal sesuai dengan hasil dan ketekunan. Dari sini, penulis semakin paham maksud bahwa, ketika di antara kita memiliki pemikiran positif yang terus berlanjut dan konsisten, maka Allah akan merespon sesuai dengan kadar semangat dan ketekunan dalam mewujudkannya.

Ketika melihat ada seseorang yang kemudian meragukan dirinya sendiri, sehingga tidak memiliki semangat karena telah memiliki kekecewaan tingkat tinggivdan menganggap bahwa dirinya memang telah ditakdirkan seperti itu.

Dalam menyikapi masalah seperti ini, Syekh Abdul Qodir Jailani kembali menegaskan agar tidak ikut campur memikirkan masalah rahasia takdir. Yang diperlukan dari dirinya adalah berusaha sekuat tenaga, kemudian diiringi dengan percaya diri dan positif thinking.

Seseorang tidak boleh berburuk sangka terhadap kekuasaan Allah yang Maha Bijaksana tersebut. Dan segala sesuatu yang dilihat manusia di muka bumi, seperti kefakiran, kemunafikan dan fisik dan semacamnya adalah hikmah-hikmah yang dengannya Allah hendak menampakkan kuasa dan kebijaksaan-Nya.

Dan, ketika dari kita, misalnya, mengalami kesulitan, atau di antara kita melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah, seperti bermaksiat, misalnya, jangan sampai kita menyandarkan perbuatan maksiat tersebut sebagai takdir Allah yang dengannya menjadikan alasan bolehnya meninggalkan amal sholeh. Karena perbuatan yang seperti itu menyerupai perbuatan iblish.

Menurut beliau, Iblish menolak berbuat baik karena alasan rahasia takdir sehingga ia dilaknat karena itu. Berbeda dengan Iblish, Nabi Adam menyandarkan kesalahan dirinya akibat dari kecerobohannya sendiri sehingga ia selamat dan mendapatkan rahmat Allah.

Dengan demikian, seseorang ketika melihat kemampuan dirinya melakukan perkara baik karena hal itu merupakan pertolongan Allah, dan amal buruk yang telah dikerjakannya adalah merupakan kesalahannya sendiri. Ini sesuai dengan firman Allah:

” والذين اذا فعلوا فاحشة او ظلموا انفسهم ذكروا الله فاستغفروا لذنوبهم ومن يغفر الذنوب الا الله

Artinya: ”

“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah” (QS. Ali Imran (3): 135).

Alhasil, kita mesti diberikan akal agar dengan akal itu dapat digunakannya dalam upaya melahirkan sesuatu yang lebih bermakna yang dapat mendorong kita pada semangat cinta ibadah kepada Allah.

Demikian penjelasan terkait pentingnya bersangka baik terhadap Allah, berikut penjelasan Syekh Abdul Qadir Jailani. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH