Tahun ini, Kerajaan Arab Saudi menyelenggarakan haji bagi jamaah internasional. Ini merupakan kabar baik bagi Muslim di seluruh dunia. Sejauh ini, Kerajaan masih mempersiapkannya dengan baik.
Indonesia menjadi negara paling banyak mendapat kuota haji, yaitu 100.051 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 92.825 haji reguler dan 7.226 haji khusus. Urutan kedua datang dari Pakistan dengan 81.132 jamaah dan India di urutan ketiga dengan 79.237 jamaah. Sementara Bangladesh akan mengirimkan jumlah jamaah haji terbesar keempat dengan kuota 57.585.
Persiapan sebelum haji harus matang, seperti mengetahui syarat dan rukunnya. Untuk rukun haji ada lima. Yakni, ihram, tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, dan mencukur sebagian rambut atau tahalul. Sebenarnya, rukun umroh sama dengan haji, kecuali satu, wukuf.
Menurut buku Rahasia Haji oleh Imam Al-Ghazali, ada hal-hal yang wajib dilaksanakan dalam manasik haji. Jika itu tidak dilaksanakan, jamaah akan mendapat hukuman berupa membayar dam. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan:
Pertama: memulai ihram dari miqat. Apabila jamaah tidak melakukannya dan melewati tempat miqat, maka wajib untuk membayar dam dengan menyembelih seekor kambing.
Kedua: melempar jumrah. Bagi orang yang tidak melempar jumrah wajib untuk membayar dam. Para ulama sepakat membayar dam karena meninggalkan ihram dan jumrah hukumnya wajib.
Ketiga: wukuf di Arafah hingga terbenam matahari.
Keempat: mabit atau bermalam di Muzdalifah.
Kelima: mabit di Mina
Keenam: tawaf wada’.
Enam hal tersebut jika ditinggalkan, wajib diganti dengan dam menurut satu pendapat. Sementara pendapat lain menyatakan membayar dam dari empat hal tersebut hukumnya sunah.
Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan mencoba membahas terkait hamba yang bersyukur. Berikut pembahasan lengkapnya.
Apakah Makna Syukur?
Syukur secara bahasa,
الثناء على المحسِن بما أَوْلاكَهُ من المعروف
“Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih.
Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:
الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Semisal Qarun yang berkata,
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (QS. Al-Qashash: 78).
Syukur Adalah Salah Satu Sifat Allah
Ketahuilah bahwa syukur merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang husna. Yaitu Allah pasti akan membalas setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya, tanpa luput satu orang pun dan tanpa terlewat satu amalan pun. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya Allah itu Ghafur dan Syakur” (QS. Asy-Syura: 23).
Seorang ahli tafsir, Imam Abu Jarir Ath-Thabari, menafsirkan ayat ini dengan riwayat dari Qatadah, “Ghafur artinya Allah Maha Pengampun terhadap dosa, dan Syakur artinya Maha Pembalas Kebaikan sehingga Allah lipat-gandakan ganjarannya” (Tafsir Ath Thabari, 21/531).
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Allah itu Syakur lagi Haliim” (QS. At-Taghabun: 17).
Ibnu Katsir menafsirkan Syakur dalam ayat ini, “Maksudnya adalah memberi membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8/141).
Sehingga orang yang merenungi bahwa Allah adalah Maha Pembalas Kebaikan, dari Rabb kepada Hamba-Nya, ia akan menyadari bahwa tentu lebih layak lagi seorang hamba bersyukur kepada Rabb-Nya atas begitu banyak nikmat yang ia terima.
Syukur Adalah Sifat Para Nabi
Senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas limpahan nikmat Allah, walau cobaan datang dan rintangan menghadang, itulah sifat para Nabi dan Rasul Allah yang mulia. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh ‘Alaihissalam,
ذرية من حملنا مع نوح إنه كان عبدا شكور
“(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Nuh adalah hamba yang banyak bersyukur” (QS. Al-Isra: 3).
Allah Ta’ala menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam:
إن إبراهيم كان أمة قانتا لله حنيفا ولم يك من المشركين* شاكرا لأنعمه اجتباه وهداه إلى صراط مستقيم
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik, Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus” (QS. An-Nahl: 120-121).
Dan inilah dia sayyidul anbiya, pemimpin para Nabi, Nabi akhir zaman, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak luput dari syukur walaupun telah dijamin baginya surga. Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah Radhiallahu’anha,
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، إذا صلَّى ، قام حتى تفطَّر رجلاه . قالت عائشةُ : يا رسولَ اللهِ ! أتصنعُ هذا ، وقد غُفِر لك ما تقدَّم من ذنبك وما تأخَّرَ ؟ فقال ” يا عائشةُ ! أفلا أكونُ عبدًا شكورًا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no. 1130, Muslim no. 2820).
Syukur Adalah Ibadah
Allah Ta’ala dalam banyak ayat di dalam Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون
“Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah ingkar” (QS. Al Baqarah: 152)
Allah Ta’ala juga berfirman,
يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (QS. Al Baqarah: 172).
Maka bersyukur adalah menjalankan perintah Allah dan enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.
“Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (HR. Muslim no.7692).
Merupakan Sebab Datangnya Ridha Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وإن تشكروا يرضه لكم
“Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (QS. Az-Zumar: 7).
Merupakan Sebab Selamatnya Seseorang Dari Azab Allah
Allah Ta’ala berfirman,
ما يفعل الله بعذابكم إن شكرتم وآمنتم
“Tidaklah Allah akan mengadzab kalian jika kalian bersyukur dan beriman. Dan sungguh Allah itu Syakir lagi Alim” (QS. An-Nisa: 147).
Merupakan Sebab Ditambahnya Nikmat
Allah Ta’ala berfirman,
وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim: 7).
Ganjaran Di Dunia dan Akhirat
Janganlah Anda menyangka bahwa bersyukur itu hanya sekedar pujian dan berterima kasih kepada Allah. Ketahuilah bahwa bersyukur itupun menuai pahala, bahkan juga membuka pintu rezeki di dunia. Allah Ta’ala berfirman,
وسنجزي الشاكرين
“Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Al Imran: 145).
Imam Ath Thabari menafsirkan ayat ini dengan membawakan riwayat dari Ibnu Ishaq, “Maksudnya adalah, karena bersyukur, Allah memberikan kebaikan yang Allah janjikan di akhirat dan Allah juga melimpahkan rizki baginya di dunia” (Tafsir Ath Thabari, 7/263).
Tanda-Tanda Hamba yang Bersyukur
Mengakui dan Menyadari Bahwa Allah Telah Memberinya Nikmat
Orang yang bersyukur senantiasa menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala. Ia senantiasa menyadari bahwa hanya atas takdir dan rahmat Allah semata lah nikmat tersebut bisa diperoleh. Sedangkan orang yang kufur nikmat senantiasa lupa akan hal ini. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata,
“Ketika itu hujan turun di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Nabi bersabda, ‘Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata, ‘Inilah rahmat Allah.’ Orang yang kufur nikmat berkata, ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.73).
Menyebut-Nyebut Nikmat yang Diberikan Allah
Mungkin kebanyakan kita lebih suka dan lebih sering menyebut-nyebut kesulitan yang kita hadapi dan mengeluhkannya kepada orang-orang. “Saya sedang sakit ini.” “Saya baru dapat musibah itu..” “Saya kemarin rugi sekian rupiah..”, dll. Namun sesungguhnya orang yang bersyukur itu lebih sering menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah berikan. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya” (QS. Adh-Dhuha: 11).
Namun tentu saja tidak boleh takabbur (sombong) dan ‘ujub (merasa kagum atas diri sendiri).
Menunjukkan Rasa Syukur dalam Bentuk Ketaatan kepada Allah
Sungguh aneh jika ada orang yang mengaku bersyukur, ia menyadari segala yang ia miliki semata-mata atas keluasan rahmat Allah, namun di sisi lain melalaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya, ia enggan shalat, enggan belajar agama, enggan berzakat, memakan riba, dll. Jauh antara pengakuan dan kenyataan. Allah Ta’ala berfirman,
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Ali Imran: 123).
Maka rasa syukur itu ditunjukkan dengan ketakwaan.
Tips Agar Menjadi Hamba yang Bersyukur
Senantiasa Berterima Kasih kepada Orang Lain
Salah cara untuk mensyukuri nikmat Allah adalah dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لا يشكر الله من لا يشكر الناس
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
“Barangsiapa yang telah berbuat suatu kebaikan padamu, maka balaslah dengan yang serupa. Jika engkau tidak bisa membalasnya dengan yang serupa maka doakanlah ia hingga engkau mengira doamu tersebut bisa sudah membalas dengan serupa atas kebaikan ia” (HR. Abu Daud no. 1672, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
Oleh karena itu, mengucapkan terima kasih adalah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
مَن صُنِعَ إليهِ معروفٌ فقالَ لفاعلِهِ : جزاكَ اللَّهُ خيرًا فقد أبلغَ في الثَّناءِ
“Barangsiapa yang diberikan satu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan, ‘Jazaakallahu khair’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya” (HR. Tirmidzi no.2167, ia berkata: “Hadits ini hasan jayyid gharib”, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Merenungkan Nikmat-Nikmat Allah
Dalam Al-Qur’an sering kali Allah menggugah hati manusia bahwa banyak sekali nikmat yang Ia limpahkan sejak kita datang ke dunia ini, agar kita sadar dan bersyukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl: 78).
Qana’ah
Senantiasa merasa cukup atas nikmat yang ada pada diri kita membuat kita selalu bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, orang yang senantiasa merasa tidak puas, merasa kekurangan, ia merasa Allah tidak pernah memberi kenikmatan kepadanya sedikitpun. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
كن وَرِعًا تكن أعبدَ الناسِ ، و كن قنِعًا تكن أشْكَرَ الناسِ
“Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi hamba yang paling bersyukur”(HR. Ibnu Majah no. 3417, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Sujud Syukur
Salah satu cara untuk mengungkapkan rasa syukur ketika mendapat kenikmatan yang begitu besar adalah dengan melakukan sujud syukur.
عن أبي بكرة نفيع بن الحارث رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جاءه أمر بشر به خر ساجدا؛ شاكرا لله
“Dari Abu Bakrah Nafi’ Ibnu Harits Radhiallahu’anhu ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggemberikan beliau bersimpuh untuk sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah” (HR. Abu Daud no.2776, dihasankan oleh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil).
Berdzikir
Berdzikir dan memuji Allah adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Ada beberapa dzikir tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah khusus mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
من قال حين يصبح: اللهم ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك، فلك الحمد ولك الشكر. فقد أدى شكر يومه، ومن قال ذلك حين يمسي فقد أدى شكر ليلته
“Barangsiapa pada pagi hari berdzikir: Allahumma ashbaha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka wahdaka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy syukru.” (Ya Allah, atas nikmat yang Engkau berikan kepada ku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, maka sungguh nikmat itu hanya dari-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untuk-Mu) Maka ia telah memenuhi harinya dengan rasa syukur. Dan barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari, ia telah memenuhi malamnya dengan rasa syukur” (HR. Abu Daud no.5075, dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul Muhadditsin).
Cara Bersyukur yang Salah
Bersyukur kepada Selain Allah
Sebagian orang ketika mendapat kenikmatan, mereka mengungkapkan rasa syukur kepada selain Allah, semisal kepada jin yang mengaku penguasa lautan, kepada berhala yang dianggap dewa bumi, atau kepada sesembahan lain selain Allah. Kita katakan kepada mereka,
“Apakah engkau kufur kepada Dzat yang telah menciptakanmu dari tanah kemudian mengubahnya menjadi nutfah lalu menjadikanmu sebagai manusia?” (QS. Al-Kahfi: 37).
Allah Ta’ala yang menciptakan kita, menghidupkan kita, dari Allah sematalah segala kenikmatan, maka sungguh ‘tidak tahu terima kasih’ jika kita bersyukur kepada selain Allah. Dan telah kita ketahui bersama bahwa syukur adalah ibadah. Dan ibadah hanya pantas dan layak kita persembahkan kepada Allah semata. Tidak ada sekutu baginya. Allah Ta’ala juga berfirman,
بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Beribadahlah hanya kepada Allah dan jadilah hamba yang bersyukur” (QS. Az-Zumar: 66).
Ritualiasasi Rasa Syukur yang Tidak Diajarkan Agama
Mengungkapkan rasa syukur dalam bentuk ritual sah-sah saja selama ritual tersebut diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Misalnya dengan sujud syukur atau dengan melafalkan dzikir. Andaikan ada bentuk lain ritual rasa syukur yang baik untuk dilakukan tentu sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabat. Lebih lagi sahabat Nabi yang paling fasih dalam urusan agama, paling bersyukur diantara ummat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mereka jumlahnya puluhan ribu dan di antara mereka ada yang masih hidup satu abad setelah Rasulullah wafat, sebanyak dan selama itu tidak ada seorang pun yang terpikir untuk membuat ritual semacam perayaan hari ulang tahun, ulang tahun pernikahan, syukuran rumah baru, sebagai bentuk rasa syukur mereka. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
Segala anugerah yang Allah beri patutnya kita syukuri. Sebab syukur membuat hati senantiasa tenang dan membuat rezeki makin bertambah. Seperti yang Allah telah firmankan dalam Alquran surat Ibrahim ayat 7,
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
Dalam sebuah Hadis disebutkan:
“Sesungguhnya seorang hamba itu dihalangi dari rizki ialah disebabkan dosa (yang ia perbuat)” (HR. Ahmad)
Kadang-kadang kita lebih mudah mengeluh daripada bersyukur disebabkan hanya melihat musibah yang menimpanya daripada nikmat yang Allah berikan yang justru lebih banyak. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk berdoa agar senantiasa hati kita terpaut pada Allah dan memanjatkan doa agar senantiasa bersyukur, dan memohon dituntun oleh Allah untuk berbuat kebaikan. Doa tersebut diajarkan oleh Nabi Sulaiman yang tercantum pada surat an-Naml: 19,
“Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”
Dalam Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Katsir bahwa doa ini dipanjatkan oleh Nabi Sulaiman saat melihat seekor semut tatkala ia dan pasukannya melewati segerombolan semut. Nabi Sulaiman memohon kepada Allah agar tetap menysukuri segala nikmat yang telah Allah berikan berupa kemampuan berbicara dengan hewan, dan nikmat atas iman. Nabi Sulaiman juga memohon kepada Allah agar senantiasa dituntun melakukan amal sholih, dan kelak di akhirat dikumpulkan bersama orang-orang yang sholih.
Doa ini bisa diamalkan siapa saja untuk memohon kepada Allah agar diberi ilham untuk senantiasa bersyukur, berbuat sholih dan dikumpulkan dengan orang-orang sholih.
Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana ini.
Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala,
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat lainnya,
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)
Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat: 50)
Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]
Ucapkanlah “Tahmid”
Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami’ no. 3014).
Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika itu,
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).
Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]
Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat.
Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[4]
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1] mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).
“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”[6]
Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)
Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[7]
Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar merenungkan hal ini.[8]
Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145)
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim: 7)
Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri.
Diselesaikan atas taufik Allah di Pangukan-Sleman, 23 Rabi’ul Akhir 1431 H
Umumnya yang beredar di masyarakat, Nabi Isa As diangkat ke langit, dan beliau tidak pernah turun lagi, kecuali kelak di akhir zaman. Namun ternyata ada fakta lain yang diungkapkan oleh seorang sejarawan Islam ternama, yakni Ibnu Asakir.
Dijelaskan bahwasanya Nabi Isa As itu pernah turun lagi ke bumi, pasca kejadian diangkatnya ke langit. Lalu, Kapan dan bagaimana kronologi peristiwa ini terjadi? Simak penjelasan keterangan berikut:
Ibnu Asakir (pengarang kitab Tarikh Dimasyq) menyampaikan suatu riwayat yang berasal dari Tariq bin habib bahwasanya Nabi Isa itu pernah turun lagi ke bumi. diriwayatkan bahwasanya ibunya Nabi Isa as, yakni Sayyidah Maryam, pasca 7 hari kejadian, bertanya kepada seseorang perihal kejadian penyaliban anaknya.
Lalu beliau diberi tahu bahwasanya anaknya dikubur di suatu tempat, syahdan beliau menyangka bahwa memang anaknya disalib. kemudian Maryam mengajak ibunya Nabi Yahya As untuk menziarahi pusara anaknya.
Lalu pergilah keduanya ke suatu tempat, di tengah jalan keduanya bertemu dengan Malikat Jibril. Kemudian beliau menanyai keduanya hendak pergi kemana, dijawablah hendak menziarahi pusara anaknya.
Kemudian malaikat Jibril menjelaskan bahwasanya pusara tersebut itu bukanlah anaknya, sebab Allah telah mengangkat Nabi Isa As pada kejadian itu. Pusara tersebut merupakan pusaranya orang yang wajahnya diserupakan seperti nabi Isa As, buktinya keluarga dari orang yang diserupakan anaknya menjadi nabi Isa itu kehilangan dia, dan mereka menangisi anaknya yang hilang.
Lalu malaikat Jibril menyuruh Maryam untuk mendatangi pekarangan yang ada di sana, kemudian Maryam menuruti perintahnya. Syahdan ternyata di sana sudah ada Nabi Isa As, ketika Maryam melihatnya, spontan beliau berlari mendatangi Nabi Isa As. Sayyidah Maryam langsung memeluk putranya dan mencium keningnya.
Kemudian Nabi Isa As menjelaskan bahwasanya ia tidaklah dibunuh, Allah telah mengangkatnya ke langit. Nabi Isa menyampaikan juga bahwasanya ibunya itu akan meninggal, syahdan Nabi Isa memberikan wejangan kepada ibunya untuk selalu bersabar dan berdzikir kepada Allah SWT. Setelah ini, Nabi Isa As langsung naik ke langit.
Dan ini adalah pertemuan yang terkahir kalinya di antara keduanya, sampai Sayyidah Maryam meninggal dunia.
Ada yang memberi tahuku bahwasanya selang 5 tahun dari pertemuan tersebut, Sayyidah Maryam itu meninggal dunia. Umur Sayyidah maryam ketika meninggal itu umur 53, semoga Allah meridhainya. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wa Al-Nihayah II/94)
Penjelasan Ibnu Katsir ini termaktub juga dalam karya-karya lainnya, semisal Qasas al-Anbiya’ (Juz 2 halaman 456 Cetakan Matba’ah Dar Al-Ta’lif). Dan nukilan ini agak berbeda redaksinya dengan keterangan yang ada di Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir (Cetakan Dar Al-Fikr Beirut, Juz 70 halaman 122), hanya saja maknanya tetap serupa.
Demikian penjelasan mengenai kisah turunnya Nabi isa As ke bumi pasca kejadian diangkatnya ia ke langit. Setelah itu beliau tidak pernah turun lagi, dan kelak di akhir zaman, beliau akan turun lagi ke bumi. Wallahu A’lam.
Islam merupakan agama yang dibangun di atas rahmat dan kasih sayang serta toleransi. Dalam banyak hal, termasuk di dalamnya ialah perihal toleransi antar keyakinan tiap umat beragama, merupakan salah satu bentuk “sikap” Islam terhadap pemeluk agama lain. Nah berikut ada tiga ayat toleransi beragama dalam Al-Qur’an dan tafsirnya.
Hal tersebut tercermin oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengarahkan bagaimana Allah menuntun Nabi Muhammad Saw (yang juga termasuk umatnya tentunya) untuk bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain.
Ayat Toleransi Beragama dalam Al-Qur’an
Ada banyak ayat al-Qur’an yang dapat menjadi tendensi atas toleransi keberagaman tersebut di antaranya, berikut penulis hadirkan beserta tafsirnya.
Pertama, Q. S. Yunus: ayat 40, ketika Allah memberikan penjelasan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa tidak semua umat manusia yang ia ajak akan beriman dan mengikutinya. Hal tersebut sudah menjadi ketentuan yang digariskan oleh Allah dan tidak bisa diganggu gugat. Agama dan keyakinan tidak bisa dipaksakan kepada setiap manusia.
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitabnya “Safwat at-Tafasir Juz I” hal 585 dalam menafsiri ayat tersebut memberikan penjelasan demikian:
“Di antara mereka orang-orang yang engkau diutus kepada mereka wahai Muhammad, ada yang beriman dengan al-Qur’an ini dan mengikutimu serta mengambil kemanfaatan terhadap yang engkau bawa.
Di antara mereka (juga) ada yang tidak mengimaninya, mereka mati dengan membawa keyakinan mereka dan juga akan dibangkitkan. Sedang Allah mengetahui terhadap mereka yang berbuat kerusakan (Allah mengetahui mereka yang berhak mendapatkan hidayah sehingga Allah memberi mereka hidayah dan Allah mengetahui (pula) mereka yang berhak mendapatkan dhalal sehingga Allah memberikan dhalal kepada mereka)”,
Ayat tersebut selain memberikan penjelasan mengenai “ketentuan Allah” terhadap keberagaman keyakinan agama manusia juga tak lain merupakan “tasliyah”, penghibur bagi Nabi, serta “tanbih” atau pengingat bahwa tugas Nabi Saw hanyalah mengajak umat manusia. Sedang memberi hidayah ialah bagian Allah Swt.
Oleh karenanya, pada ayat setelahnya Allah memerintahkan kepada Nabi untuk melepas diri terhadap amal perbuatan mereka, karena Nabi Saw sendiri telah melaksanakan tugasnya sebagai pembawa risalah.
Kedua, Q.S. Yunus: ayat 99, ketika Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa jika Ia menghendaki, Ia akan membuat seluruh umat manusia yang ada di muka bumi beriman. Hal tersebut mudah saja bagi Allah.
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?”
Ayat tersebut secara tidak langsung menjelaskan kepada kita akan pentingnya bersikap “toleran” terhadap umat agama lain. Semuanya telah digariskan oleh Allah, tidak boleh ada paksaan dalam beragama.
Hal tersebut sebagaimana sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni dalam menafsiri ayat tersebut yang kira-kira sebagai berikut:
“Jika Allah menghendaki maka seluruh umat manusia bisa saja beriman, akan tetapi Allah tidak menghendaki hal tersebut karena hikmah yang terkandung di dalamnya. Allah menginginkan keimanan secara sukarela dari hambanya, bukan keimanan yang timbul dari paksaan.
Apakah engkau wahai Muhammad akan memaksa mereka untuk beriman dan masuk ke dalam agamamu?”
Ketiga, Q.S. Hud: ayat 118, dalam ayat ini Allah juga menjelaskan kepada Nabi Saw bahwa keberagaman agama umat manusia merupakan ketetapan yang digariskan.
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat)”.
Dalam menafsiri ayat tersebut, syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitabnya “Safwat at-Tafasir Juz II” hal 37 menjelaskan dengan “gamblang” bagaimana Allah memberi ketetapan keberagaman keyakinan kepada umat manusia. Ia menjelaskan sebagai berikut:
“Jika Allah mengendaki, Ia dapat menjadikan seluruh umat manusia beriman dan beragama Islam, akan tetapi Allah tidak melakukannya karena hikmah.
Mereka (umat manusia) akan terus beragam dalam agama yang berbeda-beda, keyakinan yang berbeda-beda: antara Yahudi, Nasrani, Majusi. Kecuali mereka (umat manusia) yang Allah dengan anugerah-Nya beri hidayah..”
Dari ketiga ayat tersebut, dapat dipaham bahwa hidayah adalah hak prerogratif Allah sebagai Tuhan sekalian alam, bukan hak manusia untuk ikut campur di dalamnya. Apalagi memaksa umat agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Dan dari pemahaman tersebut pula seharusnya umat Islam sadar bahwa jika memang keberagaman sudah digariskan, maka seyognyanya bagi umat Islam untuk bersikap toleran terhadap keyakinan agama lain.
Demikian, di antara ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan terkait toleransi beragama dan keyakinan. Wallahu a’lam.
Kantor Wilayah Kementerian Agama Riaumenyebutkan Arab Saudi memasuki musim panas saat pelaksanaan ibadah haji. Suhu udara bisa mencapai 50 derajat Celsius sehingga calon jamaah haji (Calhaj) perlu mempersiapkan diri dan menjaga kesehatan.
“Calhaj Riau agar mempersiapkan diri sedini mungkin dengan menjaga kesehatan dan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Arab Saudi, apalagi Arab Saudi memasuki musim panas,” kata Kepala Kanwil Kemenag Riau Mahyudin kepada wartawan, Kamis (26/5/2022).
Dia mengatakan seluruh calhaj juga perlu memperhatikan asupan makanan bergizi dan kondisi kesehatan menjelang keberangkatan. Biasakan diri untuk beradaptasi dengan situasi yang ekstrem, suhu udara yang ekstrem.
Mahyudin juga meminta calhaj untuk tetap disiplin protokol kesehatan menggunakan masker, mencuci tangan, di samping itu juga segera memenuhi persyaratan yang minta dalam pelaksanaan ibadah haji. “Ketika akan diberangkatkan segera penuhi persyaratan yang diminta seperti vaksin dan tes PCR serta persyaratan lainnya yang dibutuhkan,” katanya.
Ia juga menyebutkan tercatat 40 calhaj Riau yang tidak melakukan pelunasan BPIH, sehingga kuota bagi calhaj yang batal berangkat akan digantikan oleh calhaj yang porsinya masuk cadangan. “Sebanyak 40 calhaj tidak melakukan pelunasan karena alasan sakit dan berpisah dengan mahram maka kekosongan kuota tersebut akan diisi oleh jamaah yang berada pada daftar cadangan sesuai peringkatnya yang sudah melakukan pelunasan,” katanya.
Ramalan cuaca memperingatkan lebih banyak badai pasir akan terjadi setelah Riyadh kembali diselimuti debu yang menyesakkan.
Pusat Meteorologi Nasional mengeluarkan peringatan cuaca untuk ibu kota Saudi, meluas ke wilayah Madinah dan gubernur Yanbu, Al-Rais dan Yanbu Al-Nakhl. Juga akan ada badai debu di AlUla dan Khaybar.
“Partikel debu di wilayah utara, tengah, dan selatan dan interior masih terjadi,” kata juru bicara pusat Hussain Al-Qahtani, dilansir Arab News, Rabu (25/5/2/2022).
Lebih dari 1.200 orang bulan ini pergi ke rumah sakit di Kerajaan karena menderita kesulitan bernapas, tetapi fenomena ini meluas ke seluruh wilayah. Badai pasir parah telah menyelimuti bagian dari Iran, Irak, Suriah dan Kuwait selama sebulan terakhir.
Badai telah mengirim ribuan orang ke rumah sakit dan mengakibatkan setidaknya satu kematian di Irak dan tiga di Suriah timur. Badai pasir biasa terjadi di akhir musim semi dan musim panas, didorong oleh angin musiman, tetapi tahun ini di Irak terjadi hampir setiap minggu.
Kementerian Kesehatan Irak menimbun tabung oksigen di fasilitas di daerah yang terkena dampak parah. Di Suriah, departemen medis disiagakan saat badai pasir menghantam provinsi timur Deir Ezzor.
Iran menutup sekolah dan kantor pemerintah di Teheran pekan lalu saat badai pasir melanda negara itu. Badai pasir melanda paling parah di wilayah gurun barat daya Khuzestan, di mana lebih dari 800 orang mencari pengobatan untuk kesulitan bernapas. Puluhan penerbangan dari Iran barat dibatalkan atau ditunda.
Untuk kedua kalinya bulan ini, Bandara Internasional Kuwait menangguhkan semua penerbangan karena debu. Video menunjukkan jalan-jalan yang sebagian besar kosong dengan visibilitas yang buruk.
“Ini adalah masalah di seluruh wilayah tetapi setiap negara memiliki tingkat kerentanan dan kelemahan yang berbeda,” ucap ahli geoarkeolog di Universitas Al-Qadisiyah di Baghdad Jaafar Jotheri.
Umar bin Khattab radhiallahu’anhu seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah membawa Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma yang juga sahabat Rasulullah yang saat itu masih muda, ke perkumpulan orang-orang tua yang pernah ikut perang Badar.
Orang-orang tua ini berkata kepada Umar, “Kenapa kau bawa anak kecil ini? di rumah kita juga ada”. Umar menjawab, “Yaa, begitulah”.
Sampai satu saat Umar bin Khattab sengaja mengumpulkan orang-orang tua tersebut dan turut mengundang pula Ibnu Abbas. Umar bertanya kepada orang-orang tua tersebut, “Apa komentar kalian tentang ayat,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)?
Sebagian orang-orang tua itu menjawab, “Allah menyuruh kita untuk memuji dan minta ampun kepada-Nya ketika datang pertolongan Allah”. Sebagian lainnya diam saja.
Kemudian Umar bin Khattab bertanya kepada Ibnu Abbas, “Benar begitu Ibnu Abbas?”. Ibnu Abbas menjawab, “Tidak!”. Umar menyahut, “Lantas bagaimana?”.
Ibnu Abbas menjawab, “Ayat itu adalah sinyalemen tentang dekatnya kematian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah memberitahunya dengan ayatnya, “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda ajalmu Muhammad, oleh karena itu “Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”
Umar mengatakan, “Nah, ini tafsir yang saya tahu”.
Jadi, jangan remehkan anak muda, lihat bagaimana Ibnu Abbas muda punya ilmu yang tidak ada pada orang-orang tua. Tapi, perlu diingat pula, anak muda jangan belagu “petantang petenteng”, lihat bagaimana Ibnu Abbas muda tidak mau “pamer” ilmu kecuali setelah ditanya oleh Umar bin Khattab.
Cerita ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-Nya(4294), dapat dibaca pula di tafsir Ibnu Katsir tentang surat An Nashr.
Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.
Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan seluruh ketaatan yang telah Allah Ta’ala perintahkan kepada kita, maupun meninggalkan seluruh larangan Allah Ta’ala. Allah berfirman,
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. At-Talaq: 4)
Jemaah salat jumat yang berbahagia, ketahuilah bahwa masa muda adalah fase terpenting dalam kehidupan manusia, karena ia merupakan pintu yang dapat membawa seseorang menuju dua arah yang berbeda, jalan kesuksesan ataupun jalan kehancuran. Oleh karena itu, pemuda mendapatkan perhatian khusus di berbagai negara, karena mereka adalah harapan, cita-cita, serta angan-angan sebuah bangsa.
Masa muda sungguh merupakan benih yang berharga, bila ia terlanjur tercerai berai dan tersisa-siakan, maka kecil kemungkinannya ia akan kembali bersemi dan membuahkan hasil panen yang baik. Semakin dewasa, yang tersisa hanyalah penyesalan dan kerugian. Oleh karena itu, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sejak jauh hari sudah memperingatkan umatnya akan hal ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اغتنمْ خمسًا قبل خمسٍ شبابَك قبل هرمكَ وصحتَك قبل سَقمِكَ وغناكَ قبل فقرِك وفراغَك قبل شغلِك وحياتَكَ قبل موتِكَ
“Jagalah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: (1) mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, (4) kayamu sebelum miskinmu, dan (5) hidupmu sebelum matimu.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya di dalam kitab Al-Qasru Al-Amal no. 111 dan Al-Hakim no. 7846 dan Al-Baihaqi di dalam Syu’abu Al-Iman no. 10248)
Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, masa muda sangat mudah sekali dipengaruhi dengan pengaruh positif maupun negatif. Begitu besarnya dorongan hati dan rasa penasaran pada seorang pemuda membuat mereka sangat mudah terombang-ambing. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pengarahan khusus bagi mereka yang menggerakkan dakwah dan bergerak di bidang pendidikan agar mengarahkan pemuda menuju kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, sehingga tertutup semua pintu keburukan dari mereka karena tersibukkan dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Di dalam sebuah hadis, nabi menyebutkan perihal 7 golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat. Salah satu di antara mereka adalah golongan pemuda. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ
“Seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 1031)
Allah Ta’ala juga memberikan pertanyaan khusus terkait pertanggungjawaban seorang manusia atas masa mudanya di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari (ilmu) yang ia ketahui.” (HR. Tirmidzi no. 2416 dan Thabrani 9772)
Al-Qur’an kitab suci kita bahkan telah mengabadikan perihal pendidikan yang seharusnya diajarkan kepada seorang pemuda. Di antaranya terdapat di dalam kisah wasiat Luqman untuk anaknya, di mana wasiat tersebut terfokus pada pentingnya tauhid, esensi ibadah di dalam kehidupan, dan pentingnya berhias dengan akhlak terpuji saat bermuamalah dengan manusia lainnya. Allah Ta’ala berfirman menceritakan wasiat tersebut,
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Lukman: 13)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14)
“(Luqman berkata), ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Luqman: 16)
Di surat yang lain Allah menceritakan kepada kita tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Bagaimana perjuangannya melawan kaumnya. Bagaimana caranya membantah syubhat kebatilan mereka dengan dalil dan petunjuk yang dapat dinalar oleh akal ketika mereka menyembah benda-benda langit. Dari kisah Nabi Ibrahim tersebut kita belajar bahwa seorang pemuda yang cerdas sewajarnya membekali dirinya dengan pengetahuan dan wawasan yang sejalan dengan zamannya, agar hujjah yang ia sampaikan semakin kuat dan mudah diterima, di samping juga harus membekali dirinya dengan akhlak yang baik.
Oleh karena semua itu, maka tugas orang tua, mereka yang lebih senior, mereka yang terjun langsung mendidik pemuda, untuk mau duduk bersama mereka, lapang dada di dalam menerima pendapat mereka yang lebih muda, dan mendengar keluh kesah mereka. Mengajarkan mereka untuk mengimbangi antara nalar dan dalil sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika datang seorang pemuda kepadanya dan mengatakan, “Wahai Rasulullah izinkan aku untuk berzina!” Sebuah permintaan yang tentu saja membuat mereka yang mendengarnya tercengang dan terkaget-kaget, sehingga para sahabat mendatangi pemuda tersebut dan menegurnya.
Akan tetapi, jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, lihatlah bagaimana Rasulullah menyikapinya. Sungguh sikap Rasulullah dan tanggapan beliau menunjukkan dan mengajarkan tingginya akhlak beliau, serta bagaimana besarnya perhatian beliau terhadap pemuda. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
“Mendekatlah.” Pemuda itu pun mendekat lalu duduk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah Engkau jika ibumu dizinai orang lain?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” sahut pemuda itu.
“Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai.”
Lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Relakah Engkau jika putrimu dizinai orang?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” pemuda itu kembali menjawab.
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai.”
“Relakah Engkau jika saudari kandungmu dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.” “Relakah Engkau jika bibi – dari jalur bapakmu – dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!.”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai
“Relakah Engkau jika bibi – dari jalur ibumu – dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina. (HR. Ahmad, no. 22211)
Rasulullah tidak memarahi pemuda tersebut, tidak pula menghardiknya. Akan tetapi, beliau menjelaskan jawaban pertanyaan pemuda tersebut dengan cara diskusi, dan menggunakan sesuatu yang dapat dinalar oleh akal.
Sungguh, Nabi telah mengajarkan bagaimana caranya berinteraksi dan menyikapi kegelisahan para pemuda, yaitu dengan penuh kesabaran dan sikap yang cerdas. Karena jika bukan kita yang duduk berdiskusi dengan para pemuda dan mendengarkan kegalauan mereka, bisa dipastikan orang-orang yang sesatlah yang akan mendekati dan mempengaruhi mereka. Tentu kita tidak mau hal tersebut menimpa para pemuda kaum muslimin.
Baca Juga:
Jemaah salat jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.
Agama Islam sangat memperhatikan kebutuhan jasmani seorang pemuda, sehingga menganjurkan mereka untuk menjaga kehormatan diri mereka dengan menikah, karena kebanyakan maksiat muncul dan timbul karena sebab syahwat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya.” (HR. Bukhari no. 5056 dan Muslim no. 1400)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak menjadikan kefakiran sebagai penghalang dari dilangsungkannya sebuah pernikahan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah kemaslahatan. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 32)
Beliau sebagai suri teladan kita telah mencontohkan hal ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahkan putri-putri beliau dengan orang-orang saleh dari kalangan sahabat dan beliau menentukan mahar yang mudah dan ringan atas anak-anak perempuannya. Hal ini juga yang dipraktikkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Semoga Allah Ta’ala menjaga pemuda kaum muslimin dari besarnya gempuran fitnah di akhir zaman ini, menjaga mereka dari kerusakan dan terjatuh ke dalam fitnah syubhat dan syahwat. Semoga Allah Ta’ala memperbaiki kondisi pemuda muslim sehingga mereka bisa menjadi harapan dan lentera bagi yang lain di masa depan nanti. Amiin ya Rabbal ‘aalamiin.