Doa Melihat Kabah yang Selalu Membuat Haru Jamaah Haji atau Umroh

Melihat Kabah menyisakan keharuan tersendiri bagi jamaah haji atau umroh

Ketika pertama kali melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci Makkah, umat Islam pasti akan merasakan kebahagiaan. Bagi mereka, melihat Kabah adalah seolah-olah mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan.

Setelah memasuki Masjidil Haram, para jamaah akan bisa melihat Kabah berselimut kiswah hitam yang berdiri kokoh di antara arus jamaah yang sedang tawaf. Setelah melihat kiblat umat Islam itu, para jamaah pun membaca doa berikut:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ Allahumma antas salam, wa minka salam, wa hayyina rabbana bis salam

Artinya, “Ya Allah, Engkau adalah keselamatan. Dari-Mu keselamatan berasal. Wahai Tuhan kami, berikan kehormatan pada kami melalui keselamatan.”

Jamaah haji yang merasakan takjub biasanya akan terus mengulang doa-doa itu, tak memalingkan sedikit pun pandangannya ke rumah Allah SWT.

Ada beberapa versi dari doa saat melihat Ka’bah. Dikutip dari buku Kumpulan Do’a Sehari-Hari terbitan Kementerian Agama (Kemenag), berikut doa yang juga bisa dibaca umat Islam saat melihat Ka’bah.

اللَّهُمَّ زِدْ هَذَا الْبَيْتَ تَشْرِيفًا وَتَعْظِيمًا وَتَكْرِيمًا وَمَهَابَةً، وَزِدْ مَنْ شَرّفَهُ وَكَرّمَهُ مِمَّنْ حَجَّهُ أَوِاعْتَمَرَهُ تَشْرِيفًا وَتَكْرِيمًا وَتَعْظِيمًا وَبِرًّا 

Artinya: “Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan wibawa pada Bait (Ka’bah) ini. Dan tambahkan pula pada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan dan menghormatinya di antara mereka yang berhaji atau yang berumroh dengan kemuliaan, keagugan, kehormatan dan kebaikan.”

Jika kita memuliakan, mengagungkan dan menghormati Ka’bah tatkala melaksanakan ibadah haji, maka kita tentu akan termasuk dalam orang-orang yang di doakan oleh siapapun yang membaca doa tersebut. Kita didoakan  orang dari berbagai penjuru dunia, dari masa lalu hingga masa depan. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bahaya Salah Niat dalam Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu adalah ibadah yang agung. Kemuliaan ilmu janganlah dinodai dengan niat yang salah ketika mempelajarinya. Di antara penghalang penuntut ilmu adalah salah niat, yaitu menuntut ilmu karena selain Allah. Salah niat dalam belajar akan menyebabkan seorang terhalang dari mendapatkan ilmu, bahkan bisa menyebabkan dosa dan kerugian bagi dirinya di dunia dan di akhirat.

Pentingnya ikhlas dalam belajar agama

Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mewanti-wanti tentang pentingnya niat yang ikhlas. Beliau bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

لو أن أهل العلم صانوا العلم ووضعوه عند أهله لسادوا به أهل زمانهم ولكنهم بذلوه لأهل الدنيا لينالوا به من دنياهم فهانوا عليهم سمعت نبيكم  صلى الله عليه وسلم  يقول من جعل الهموم هما واحدا هم آخرته كفاه الله هم دنياه ومن تشعبت به الهموم في أحوال الدنيا لم يبال الله في أي أوديتها هلك

Seandainya para ahli ilmu menjaga ilmu dan memberikannya kepada yang berhak, maka niscaya mereka akan berkuasa pada waktu tersebut dengan ilmu mereka. Akan tetapi, mereka telah memberikannya kepada pecinta dunia untuk mendapatkan dunia mereka, maka mereka menjadi hina di hadapan para pecinta dunia tersebut. Aku telah mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa menjadikan cita-citanya untuk menggapai akhirat, maka Allah akan mencukupkan baginya dunianya. Barangsiapa cita-citanya hanya untuk mencari dunia, maka Allah tidak peduli di lembah mana dia akan binasa.’“  (HR. Ibnu Majah, shahih)

Bahaya salah niat dalam belajar agama

Sesungguhnya yang paling penting untuk diperhatikan para penuntut ilmu adalah perkara niat serta berusaha untuk terus memperbaikinya dan menjaganya dari hal-hal yang merusak niat. Hal ini karena ilmu hanyalah menjadi mulia ketika niat mempelajarinya ditujukan ikhlas karena Allah. Adapun ketika ditujukan untuk selain-Nya, maka tidak ada lagi keutamaan di dalamnya, bahkan akan menjadi fitnah dan mala petaka, serta akan berakibat buruk bagi pelakunya. Telah kita ketahui bersama bahwa diterimanya amal adalah sesuai dengan keikhlasan dan benarnya amal sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. “ (QS. Al Bayyinah : 5)

Apabila penuntut ilmu menuntut ilmu untuk tujuan mendapat dunia, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah, merusak dirinya sendiri, mendapatkan dosa, dan tidak akan mendapatkan bagian dunia, kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya.

Al-Hasan Al-Bashri  rahimahullah mengatakan,

من طلب العلمَ ابتغاء الآخرة أدركَها، ومن طلب العلمَ ابتغاء الدنيا فهي حظُّه منه

Barangsiapa mencari ilmu karena akhirat, maka dia akan mendapatkannya. Sedangkan barangsiapa mencari ilmu karena ingin mendapatkan dunia, maka dia hanya akan mendapat jatah dunianya saja.

Lebih jelas dalam masalah ini adalah penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya diharapkan dengannya wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun dia justru mempelajarinya hanya untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, shahih)

Yusuf bin Al-Husain berkata, “Aku mendengar Dzun Nuun Al-Mishri berkata, ‘Dahulu para ulama saling nasihat-menasihati di antara mereka mengenai tiga perkara:

Pertama: Barangsiapa berbuat baik ketika sendirian, maka Allah akan menjadikan dirinya baik di hadapan manusia.

Kedua: Barangsiapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia.

Ketiga: Barangsiapa yang memperbaiki urusan akhiratnya, maka Allah akan memperbaiki urusan dunianya.’”

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,

أول العلم النية، ثم الاستماع، ثم الفهم، ثم الحفظ، ثم العمل، ثم النشر

Permulaan ilmu adalah niat, kemudian mendengarkan, kemudian memahami, kemudian menghafal, kemudian mengamalkan, dan kemudian menyebarkan.

Niat adalah perkara yang hendaknya menjadi perhatian. Banyak para ulama salaf mengatakan,

كُنَّا نَطْلُبُ الْعِلْمَ لِلدُّنْيَا فَجَرَّنَا إلى الآخرة

Dahulu kami menuntut ilmu karena dunia, namun ia menuntun kami kepada akhirat.”

Sebagian yang lain mengucapkan,

طلبنا هذا الأمر وليس فيه نية ثم جاءت النية بعد

Kami menuntut ilmu tanpa disertai niat yang benar, kemudian niat datang setelah kami mempelajarinya.“

Ada juga yang mengatakan,

و من طلب العلم لغير اللّه يأ بى عليه حتى يصيره إلى اللّه

Barangsiapa menuntut ilmu untuk selain Allah, maka niscaya ilmu akan enggan, sampai (niatnya) menuju Allah.“

Dan ungkapan yang semisal ini sangatlah banyak, yang menunjukkan pentingnya niat dalam mempelajari ilmu.

Demikian juga disebutkan dalam sebuah kisah bahwa ada seorang laki-laki yang hendak melamar seorang wanita yang memiliki nasab baik dan cantik jelita. Wanita itu menolak karena lelaki tersebut miskin dan kurang baik nasabnya. Lelaki tersebut memikirkan dua di antara yang akan dia raih apakah harta ataukah kemuliaan. Maka, dia memilih kemuliaan, sehingga dia menuntut ilmu sampai akhirnya dia menjadi orang yang memiliki kedudukan dan kemuliaan. Kemudian wanita tersebut mengirim utusan kepada lelaki tersebut dalam rangka untuk menawarkan dirinya agar dinikahi. Maka lelaki tersebut kemudian mengatakan, “Aku tidak akan mendahulukan ilmu di atas apapun.“ Demikianlah, ilmu menjadi petunjuk baginya untuk membenarkan niat dan amal saleh, sesuai dengan firman Allah,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahapengampun.” (QS. Fathir: 28)

Maka, dia bersikap wara’ dengan meninggalkan wanita tersebut karena dulu dia menuntut ilmu karena dirinya. Hal ini dilakukan sebagai tanda jujur niatnya dan lurus tujuannya dalam menuntut ilmu.

Hati-hati dengan syirik niat

Berhati-hatilah dengan syirik dalam niat, karena Allah Ta’ala mengingatkan dalam sebuah hadis qudsi,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Aku tidaklah butuh adanya persekutuan dalam bentuk apapun. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dalam keadaan menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dan persekutuannya tersebut.” (HR. Muslim)

Kebinasaan akan terjadi jika kondisi jiwa seseorang kosong dan tidak terjalin hubungan antara dirinya dengan Allah. Dalam kondisi demikian, maka setan akan mengisi kekosongan tersebut dan membuka cabang menuju jalan kesesatan sehingga mengantarkannya ke jalan neraka.

Hamdan bin Salamah rahimahullah berkata ,

مَنْ طَلَبَ الْحَدِيْثَ لِغَيْرِ اللهِ مُكِرَ بِهِ

“Barangsiapa yang mencari hadis bukan kerana Allah maka akan dibuat makar kepadanya.”

Jika seseorang benar niatnya dalam menuntut ilmu, maka akan semakin besar pertolongan untuk mendapatkannya sebagaimana perkataan Abu ‘Abdillah Ar-Rudabari,

العلم موقوف على العمل والعمل موقوف على الإخلاص والإخلاص لله يورث الفهم عن الله تعالى

Ilmu itu terhenti pada amal, amal itu terhenti pada ikhlas, dan ikhlas itu mewariskan pemahaman dari Allah Ta’ala.”

Disebutkan dalam Sunan Ad-Darimi dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa dia berkata,

من ابتغى شيئًا من العلم يبتغي به وجه الله عز وجل، أتاه الله منه ما يكفيه

Barangsiapa yang mencari ilmu dalam rangka mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan ilmu baginya.

Semoga menjadi renungan bagi kita untuk terus menata niat dalam belajar agama.

*****

Penyusun : Adika Mianoki

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76464-bahaya-salah-niat-dalam-menuntut-ilmu.html

Doa Al-Quran: Surat Ali Imran Ayat 8 untuk Ketetapan Hati dalam Iman

Ketetapan hati menjadi karakter khusus setiap hamba terbaik yang memperoleh petunjuk dan kasih sayang dari Allah SWT. Dengan ketetapan hati, setiap hamba dapat mengarungi kehidupannya sebaik mungkin. Di dalam Al-Quran dijelaskan tentang bagaimana seorang hamba memohon kepada Allah SWT tentang ketetapan hati. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran Ayat 8:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ ٨

Rabbanaa Laa tuzigh quluubanaa ba’da idzhadaitanaa wahablanaa min ladunka rahmatan innaka antal wahhaab

Artinya: “(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (Surat Ali Imran Ayat 8)

Dalam kitab tafsir Min Wahyil Quran karya Muhammad Husain Fadhlullah, dijelaskan bahwa pada ayat ini menjelaskan tentang doa yang dipanjatkan oleh “war raasikhuuna fil ‘ilmi” orang-orang yang ilmunya mendalam (disebutkan dalam ayat sebeumnya Surat Ali Imran Ayat 7). Yakni, golongan orang-orang yang perangainya baik, berilmu dengan penuh ketawadhuan dan berhati-hati dalam mengkonsumi makanan. Kelompok ini juga dalam praktik ibadahnya melebihi kualitas ibadah orang biasa dan masih banyak lagi kelebihan kelompok ini.

Dikisahkan di dalam ayat tersebut golongan “war raasikhuuna fil ‘ilmi” melantunkan doanya sebagai ungkapan syahdu dalam memohon kepada Allah SWT. Pada ayat ini diawali dengan kata “Rabbanaa” sebagai bukti kedekatan seorang hamba dengan Sang Pencipta tentang permohonannya. Lalu pada ayat ini, lafadz “Laa tuzigh quluubana” dimaknai sebagai ketersesatan seseorang, didahului oleh subjektivitas yang tersesat yang memulai ketersesatannya.

Lafadz “Ba’da idzhadaitanaa” pada ayat ini membuktikan bahwa setiap orang telah mendapatkan petunjuk bisa saja tergelincir atau berpaling kembali dalam lubang keburukan. Konsistensi dalam meneguhkan hati pun tergoyahkan kembali karena beberapa penyebab seperti kesalahan atau dosa yang dilakukan.

Maka dari itu, seorang hamba yang totalitas dalam beribadah kepada-Nya akan memohon dengan sungguh-sungguh agar diberi keteguhan atau ketetapan hati. Seperti halnya doa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinika

Artinya: ”Wahai (Rabb) yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi)

Hati itu ibarat benda yang dikepal di antara dua telapak tangan, mudah untuk dibolak-balikkan. Maka dari itu, betapa pentingnya setiap dari kita memohon kekuatan kepada Allah SWT agar dikaruniakan ketetapan hati untuk mengarungi kehidupan yang dijalani.

Kemudian, “Wahablanaa min ladun karahmah” dimaknai sebagai permohonan yang berisi pemberian yang diberikan secara spontan dan cepat (ilmu) serta kasih sayang yang paripurna dari Allah SWT. Lalu, “Innaka antal wahhaab” dimaknai sebagai kebesaran Allah yang memiliki sifat “Al-Wahab” berarti Maha Pemberi. Memberikan banyak karunia kepada hamba-Nya atas dasar kasih sayang dengan tanpa pamrih.

Maka dari itu, “ar raasikhuuna fil ‘ilmi” ini memohon kepada Allah SWT agar setelah menerima hidayah atau petunjuk, tidak tergelincir dalam hal-hal yang salah atau dosa. Lalu, tidak menjauh dari hidayah atau petunjuk tersebut. Kemudian, memohon dikaruniakan kasih sayang dari Allah SWT Yang Maha Pemberi.

Dapat disimpulkan bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah SWT tentang segala apa pun yang kita perlukan, khususnya dalam meneguhkan hati dalam kebaikan untuk mengarungi kehidupan yang dijalani.

Doa ini pun hendaknya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bukti kita berniat sungguh-sungguh karena Allah, ikhlas dalam belajar ilmu apa pun yang baik untuk kebahagiaan di dunia dan di keabadian kelak. Wallahu a’lam.

Inilah Tiga Ciri Istri Sholehah yang Kini Mulai Langka

Salah satu ciri istri sholehah yang kini mulai langka yaitu kuat ibadah wajib dan sunnahnya ditambah memiliki ketegaran dalam mempertahankan prinsipnya

TIDAK sulit menemukan muslimah yang giat hadir dalam pengajian, bahkan kerap kali jumlah mereka lebih banyak dari kaum pria. Tetapi wanita yang mampu mengumpulkan antara kekuatan ibadah wajib dan sunnahnya dengan ketegaran dalam mempertahankan prinsipnya kini telah langka.

Adalah Nusaibah, wanita yang sanggup memompa semangat juang keempat putranya, hingga tatkala terdengar berita syahidnya keempat putranya dia bertahmid, Alhamdu lillahiladzi asyrafani biqathlihim (segala puji bagi Allah yang telah memuliakan diriku dengan syahidnya mereka).

Atau seperti Mu’adzah yang tatkala didatangi oleh kaum muslimah yang hendak takziyah lantaran terbunuhnya suami dan seorang anaknya dia berkata, “Jika kedatangan kalian adalah untuk mengucapkan selamat (atas syahidnya suami dan anaknya-pen), saya ucapkan selamat datang, namun jika bukan untuk itu (yakni untuk berbela sungkawa), maaf, silakan kalian kembali.”

Ketegaran inilah yang menjadikan ibadah lebih berarti, pahala terjaga dari segala penyakit dunia. Betapa banyak segunung amal menjadi sia-sia karena bobol benteng pertahanan imannya.

Tetapi juga ketegaran hatinya, stamina kesabarannya tatkala menghadapi segala kondisi yang menguji keimanannya. Inilah ciri-ciri istri sholehah yang mulai langka;

Istri Sholehah Tahan Godaan Dunia

Contoh yang mudah ketika seorang istri tak tahan untuk hidup seadanya, menahan diri dari apa yang tidak dimampui suaminya. Memang menjadi hak bagi istri untuk men dapatkan nafkah dari suami, namun bukanlah menjadi keharusan bagi suami untuk memenuhi apa yang di luar kesanggupannya.

Prahara rumah tangga seringkali berawal dari ketidaksabaran istri untuk menahan keinginannya. Terkadang tak hanya berujung pada tidak harmonisnya keluarga, namun juga rusaknya agama keduanya.

Bagi sang istri, ketika merasa apa yang menjadi keinginannya tak terpenuhi, maka kebaikan-kebaikan yang pernah diberikan suami kepadanya seakan sirna tak ada apaapanya. Jadilah dia sebagai seorang istri yang mengkufuri pemberian suaminya, padahal inilah potensi terbesar yang menyebabkan wanita masuk neraka.

Nabi ﷺ bersabda:

وأريــت النار فلم أر منظرا كاليوم قط أفظع ورأيت أكثر أهلها النساء قالوا بم يا رسول الله قال بكفر من قيل يكفرن بالله قال يكفرن العشير ويكفرن الإحســان لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كله ثم رأت منك شيئا قالت ما رأيت منك خيرا قط

“Dan diperlihatkan kepadaku neraka dan belum pernah aku melihat pemandangan yang lebih mengerikan dari itu, dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.” Beliau ditanya, “Dengan sebab apa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kekufuran mereka.” Beliau ditanya lagi, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Tidak, tapi karena kekufuran mereka terhadap pemberian dan kebaikan, jika engkau (suami) telah berbuat baik kepadanya selama setahun penuh kemudian dia melihat pada dirimu sesuatu yang tidak disukainya dia akan berkata, “Kami belum pernah berbuat baik kepadaku sedikitpun.” (HR: Al-Bukhari)

Amankah perasaan Anda jika dihinggapi musibah ini meski shalat Anda bagus, tahajud tak pernah putus, shaum jalan terus dan semangat beramal tak pernah pupus? Adapun bahaya bagi suami, ketika dia ingin menjaga gengsinya di hadapan istri, tidak mau dilecehkan usahanya oleh istri seringkali hal ini menggelincirkan ia untuk menempuh jalur pintas untuk mendapatkan keinginan sang istri.

Kasus terlalu banyak untuk disebutkan, kerajaan yang bangkrut gara-gara permaisuri atau pejabat nekat korupsi karena diprovokasi sang istri.

Istri yang Tahan Sanjungan

Banyak pula para gadis tergelincir ke lembah nista dan dan terperosok ke dalam lumpur dosa karena gila sanjungan dan popularitas. Ketika kritikan dan nasehat menghujaninya justru dia bertambah tegar di atas kemaksiatannya, bangga dengan dosa-dosa yang dilakukannya.

Padahal Nabi bersabda:

كل أنني معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملائه يصبح وقد ستره الله عليه فيقول يا فلان عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يسترهربه ويصبح يكثيف سيتر الله عنه “

“Semua umatku akan dimaafkan kecuali yang terang-terangan melakukan dosa, termasuk orang yang dianggap terang-terangan melakukan dosa adalah seseorang yang di malam harinya melakukan dosa di malam hari sedangkan Allah telah menutupinya hingga pagi hari, namun kemudian dia berkata, “Wahai fulan, saya telah melakukan ini dan itu kemarin malam,”Allah telah menutupinya pada alam hari namun dia sendiri yang membuka penutup tersebut.” (HR: Al-Bukhari)

Jika orang yang menceritakan dosanya (bukan karena ingin meminta nasehat) saja dianggap terang-terangan melakukan dosa, terlebih lagi jika seseorang bangga dengan dosa-dosanya. Para penyanyi, penari latar dan pengumbar aurat adalah contohnya, kecuali yang akhirnya diberi hidayah oleh Allah dan meninggalkannya.

Bukankah apa yang mereka kerjakan mendapat ancaman dari Nabi “laa yad-hulnal jannata walaa yajidna riihaha”, mereka tidak masuk jannah dan bahkan tidak mencium baunya?

Istri yang Tahan Menghadapi Musibah

Ibadah (dengan makna khusus) yang berkesinambungan tanpa dilengkapi dengan kekuatan menahan beban penderitaan seringkali menghasilkan nilai kurang dan terkadang hasilnya “nihil”. Pahala bias sirna tak tersisa karena digerogoti oleh dosa yang jauh lebih besar dari pahalanya.

Niyahah (meratap) ketika anggota keluarga meninggal adalah contoh peristiwa yang banyak terjadi di kalangan wanita. Demikian pula keputusan untuk menempuh segala cara untuk menghilangkan penderitaan dan mendapatkan sesuatu yang telah hilang biasanya karena tidak tahannya seorang wanita menyandang beratnya kesabaran.

Sebagian bertanya kepada dukun dan tukang ramal padahal Allah tidak menerima shalatnya selama empat puluh hari empat puluh malam, bahkan umumnya mereka membenarkan berita dari tukang ramal padahal Nabi menyebutnya sebagai bentuk kekufuran terhadap risalah yang dibawa oleh Muhammad.

Istri Sholehah adalah Wanita Perkasa

Maka wanita yang perkasa bukan sekedar kuat ibadah dan amaliahnya, namun juga tabah menanggung segunung beban penderitaan, sanggup mengarungi selaut halangan dan rintangan, tegar ditimpa selangit hujan cobaan dan ujian, dan tak goyah oleh sebumi badai fitnah yang menggodanya, sabar dan syukur adalah senjata andalannya. Wallahu a’lam bishawwab.*/Abu Umar Abdillah

HIDAYATULLAH

Sudah Layakkah Aku Menikah?

Pertanyaan:

Ustadz, sebenarnya kapan seseorang dikatakan layak untuk menikah? Jazakumullah khayran.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Jawaban atas pertanyaan ini perlu melihat tiga sisi pandang:

  1. Sisi hukum syar’i.
  2. Sisi batasan usia minimal.
  3. Sisi waktu ideal untuk menikah.
  4. Sisi hukum syar’i.

Kapan seseorang layak untuk menikah? Ini tergantung apa hukum menikah bagi dia. Dalam al-Qur’an dan hadis, kita dapati perintah untuk menikah. Allah ta’ala berfirman:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. an-Nur: 32).

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari Kiamat)” (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2383).

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah menikah itu wajib ataukah sunnah menjadi 3 pendapat:

  1. Pendapat pertama, mazhab Zhahiri berpendapat bahwa hukum menikah adalah wajib, dan orang yang tidak menikah itu berdosa. Mereka berdalil dengan ayat di atas, yang menggunakan kalimat perintah وَأَنْكِحُوا (dan nikahkanlah..) dan perintah itu menunjukkan hukum wajib.

Mereka juga mengatakan bahwa menikah adalah jalan untuk menjaga diri dari yang haram. Dan kaidah mengatakan:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib”.

  1. Pendapat kedua, madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum menikah adalah mubah, dan orang yang tidak menikah itu tidak berdosa. Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa menikah itu adalah sarana menyalurkan syahwat dan meraih kelezatan syahwat (yang halal), maka hukumnya mubah saja sebagaimana makan dan minum.
  2. Pendapat ketiga, pendapat jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali berpendapat bahwa hukum menikah itu mustahab (sunnah) dan tidak sampai wajib.

Mereka berdalil dengan beberapa poin berikut:

* Andaikan menikah itu wajib maka tentu ternukil riwayat dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan hal itu karena menikah adalah kebutuhan yang dibutuhkan semua orang. Sedangkan kita temui, di antara para sahabat Nabi ada yang tidak menikah. Demikian juga kita temui orang-orang sejak zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga zaman kita sekarang ini ada yang sebagian yang tidak menikah sama sekali. Dan tidak ternukil satupun pengingkaran beliau terhadap hal ini.

* Jika menikah itu wajib, maka seorang wali boleh memaksakan anak gadisnya untuk menikah. Padahal memaksakan anak perempuan untuk menikah justru dilarang oleh syariat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

لا تُنكحُ الأيِّمُ حتى تُستأمرَ ، و لا تُنكحُ البكرُ حتى تُستأذنَ ، قيل : و كيف إذْنُها ؟ قال : أنْ تسكتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan sampai ia menyatakan persetujuan dengan lisan, dan tidak boleh seorang perawan dinikahkan sampai ia menyatakan persetujuan”. Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana persetujuan seorang perawan?”. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “dengan diamnya ketika ditanya” (HR. Bukhari & Muslim).

Yang rajih adalah bahwa hukum menikah itu tergantung kondisi masing-masing orang. Al-Qurthubi berkata: “Para ulama kita berkata, hukum nikah itu berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing orang dalam tingkat kesulitannya menghindari zina dan juga tingkat kesulitannya untuk bersabar. Dan juga tergantung kekuatan kesabaran masing-masing orang serta kemampuan menghilangkan kegelisahan terhadap hal tersebut. Jika seseorang khawatir jatuh dalam kebinasaan dalam agamanya atau dalam perkara dunianya, maka nikah ketika itu hukumnya wajib. Dan orang yang sangat ingin menikah dan ia memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar untuk menikah hukumnya mustahab baginya. Jika ia tidak memiliki sesuatu yang tidak bisa dijadikan mahar, maka ia wajib untuk isti’faf (menjaga kehormatannya) sebisa mungkin. Misalnya dengan cara berpuasa, karena dalam puasa itu terdapat perisai sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih” (Tafsir al-Qurthubi, 12/201).

Maka ketika seseorang sudah termasuk kategori mustahab atau bahkan wajib, hendaknya segeralah menikah.

  1. Kadar batasan usia minimal menikah.

Tidak terdapat batasan tertentu dalam syariat terkait usia menikah. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menganjurkan para pemuda yang sudah bisa melakukan hubungan intim untuk segera menikah. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).

Dalam hadis ini, yang diserukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah asy-syabab. Dalam bahasa Arab, asy-syabab adalah rentang usia setelah baligh sampai 30 tahun. Ini menunjukkan beliau memotivasi para pemuda dalam rentang usia tersebut untuk segera menikah. Oleh karena itu, hendaknya para pemuda tidak menunda menikah sehingga usianya lebih dari 30 tahun.

Dan kata ba’ah dalam hadis ini, secara bahasa artinya: al-jima’ (hubungan intim). Secara istilah, ba’ah juga maksudnya adalah kemampuan untuk menyediakan mahar dan nafkah bagi calon istri (lihat Manhajus Salikin, dengan ta’liq Syaikh Muhammad al-Khudhari, hal. 191). Maka pemuda yang sudah mampu melakukan hubungan intim, mampu menyediakan mahar, dan mampu memberi nafkah, hendaknya mereka segera menikah.

Adapun wanita, terdapat dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang sahnya pernikahan wanita yang masih kecil yang sudah mumayyiz walaupun belum baligh. Allah ta’ala berfirman:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ 

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid” (QS. ath-Thalaq: 4).

Ayat ini bicara tentang masa iddah, yaitu masa menunggu bagi seorang istri jika dicerai oleh suaminya. Salah satu yang disebutkan dalam ayat ini adalah wanita yang belum haid. Sehingga ini menunjukkan bahwa wanita yang belum haid boleh menikah.

Aisyah radhiyallahu ’anha juga berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَبَنَى بِهَا وَهْىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ 

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menikahi Aisyah ketika beliau berusia 6 tahun. Dan beliau tinggal serumah bersama Aisyah ketika ia berusia 9 tahun” (HR. Bukhari no.5134).

Dan ulama ijma’ (sepakat) tentang bolehnya menikahi anak wanita yang masih kecil walau belum baligh.

  1. Sisi waktu ideal untuk menikah.

Walaupun syariat memotivasi para pemuda dan pemudi untuk segera menikah, namun bukan berarti ini membolehkan untuk tergesa-gesa menikah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّأنِّي من اللهِ و العجَلَةُ من الشيطانِ

“Berhati-hati itu dari Allah, tergesa-gesa itu dari setan” (HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra [20270], dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 1795).

Tergesa-gesa adalah melakukan sesuatu sebelum datang waktu yang seharusnya. Al-Munawi rahimahullah menjelaskan:

العجلة فعل الشيء قبيل مجيء وقته

“Tergesa-gesa itu melakukan sesuatu sebelum datang waktu yang seharusnya” (Faidhul Qadir, 6/72).

Definisi lain dari tergesa-gesa adalah melakukan sesuatu tanpa berpikir dan tanpa memperhatikan dengan seksama terlebih dahulu. Syaikh Ibnu al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

يأخذ الإنسان الأمور بظاهرها فيتعجَّل ويحْكُم على الشَّيء قبل أن يتأنَّى فيه وينظر

“(Tergesa-gesa adalah) seseorang mengambil lahiriyah dari sesuatu semata dan menghukumi sesuatu sebelum berhati-hati menilainya dan sebelum memperhatikan dengan seksama” (Syarah Riyadhis Shalihin, 3/573).

Maka yang ideal, orang yang menikah hendaknya menyiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam pernikahan:

* Menyiapkan diri untuk memahami ilmu agama yang mendasar, seperti ilmu tauhid dasar, fiqih shalat, fiqih thaharah, fiqih puasa, dll sebagai bekal untuk menjalani agama dalam rumah tangga.

* Menyiapkan diri untuk memahami ilmu terkait hak dan kewajiban suami istri dalam Islam.

* Menyiapkan mental untuk menjadi suami dan istri dengan segala tanggung jawabnya kelak.

* Menyiapkan mahar, dan mahar itu tidak harus mahal.

* Menyiapkan walimatul ursy, dan walimatul ursy itu tidak harus mewah.

* Menyiapkan rencana seputar nafkah, tempat tinggal, dll yang terkait dengan kewajiban-kewajiban pasca pernikahan.

* Mendiskusikan dengan orang tua tentang kesiapan untuk menikah.

Jika seseorang sudah menyiapkan semua poin di atas, insyaAllah sudah termasuk siap dan layak untuk menikah. Dan inilah bentuk ihsan (muamalah yang baik) dalam menyiapkan pernikahan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ 

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal” (HR. Muslim).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

Referensi: https://konsultasisyariah.com/38638-sudah-layakkah-aku-menikah.html

Hasil Jualan Tahu Tempe Ditabung Emas, Pasutri Ini Berangkat Haji ke Tanah Suci

Pasangan suami istri dari Kota Padang Panjang, Amril dan Nurmanetti, memetik hasil dari buah kesabaran yang telah disemai selama bertahun-tahun. Tahun ini, mereka berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Amril dan Nurmatetti adalah pasangan penjual tahu dan tempe. Keduanya giat menabung dan telah mendaftar haji sejak 2011 lalu.

“Kami menyisihkan rezeki sedikit demi sedikit dan meluruskan niat beribadah ikhlas karena Allah,” kata Amril, Senin (27/6/2022).

Amril telah melakoni profesi sebagai pedagang tahu, tempe dan toge sebelum menikah dengan Nurmanetti. Profesi itu tetap ia jalankan setelah menikahi istrinya itu pada 1999 silam.

Pasca menikah, keduanya bertekad menunaikan ibadah haji bersama-sama. Caranya tak lain adalah dengan menabung hasil penjualan tahu, tempe dan toge.

“Sedikit demi sedikit kami simpan, lalu kami belikan emas hingga bisa terkumpul 45 emas,” ujar Amril.

Sebanyak 45 emas itu kemudian dijadikan uang. Lantas digunakan untuk mendaftarkan haji di tahun 2011.

Setelah pelunasan tahun 2020, semestinya mereka telah berangkat haji. Namun pandemi Covid-19, jadwal  itu tertunda dan terlaksana kembali tahun ini. setelah wabah itu melandai.

Amril dan Nurmanetti yang tergabung dalam 37 orang Jemaah Calon Haji (JCH) Kota Padang Panjang yang dilepas secara resmi hari ini di Balai Kota Padang Panjang.

IHRAM

15 Benda Bawaan Terlarang bagi Jamaah Haji

Kementerian Haji dan Umrah telah mengungkapkan dalam sebuah pernyataan, bahwa terdapat 15 barang yang dilarang dibawa oleh jamaah saat bepergian dengan pesawat untuk menunaikan haji.

Dilansir dari laman Saudi Gazette pada Kamis (23/6/2022) Dalam keterangannya, kementerian membagi barang-barang dan alat-alat terlarang yang dilarang dibawa oleh jamaah haji dalam kopernya menjadi empat  bagian, yaitu:

Pertama,  alat tajam, yang meliputi gunting, pisau, pisau bedah dan pisau tajam.

Kedua, perkakas kerja atau tangan, yang meliputi kunci pas, bor, palu dan paku baja.

Ketiga, semua jenis senjata api, yang meliputi senjata, senjata api, kembang api, dan pistol setrum.

Keempat, alat lain seperti: zat beracun, bahan yang mudah terbakar dan produk terkompresi.

Adapun Pemerintah Arab Saudi membuka pelayanan ibadah haji bagi satu juta orang pada musim haji 1443 Hijriyah/2022 Masehi. Hal ini dilakukan setelah selama dua tahun menerapkan pembatasan ketat untuk mencegah penularan Covid-19.

Sementara itu, jamaah yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah tahun ini harus berusia di bawah 65 tahun.

Menurut pengumuman sebelumnya oleh Kementerian Haji dan Umrah Saudi, jamaah haji asing akan memiliki prosentase 85 persen dari total jumlah jamaah yang melakukan haji tahun ini. Sebanyak 850 ribu jamaah haji asing akan diizinkan untuk melakukan haji, sementara jumlah jamaah haji domestik dibatasi hingga 150 ribu.

IHRAM

Doa yang Bisa Dibaca Saat Minum Air Zamzam

Air Zamzam adalah yang memancar di kota Mekkah hingga kini, tanpa henti. Air tersebut hingga kini dikonsumsi tidak hanya oleh orang Mekkah, tapi juga umat muslim seluruh dunia yang mengambilnya saat melaksanakan ibadah haji. Tulisan ini akan membahas doa yang bisa dibaca saat minum air Zamzam dan sekilas sejarah mengenainya. 

Nabi Muhammad memang tidak mewariskan doa khusus saat meminumnya. Adapun Rasulullah pernah bersabda melalui penuturan sahabat Jabir,

ماء زمزم لما شرب له

Artinya: air zamzam itu tergantung dari apa yang diniatkan (oleh yang meminumnya). 

Sufyan bin Uyainah, seoarang ahli hadis abad ke-8 Masehi, dalam kitab al-Adzkiya karya Imam Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa hadis ini shahih. Sebagian ulama lainnya mengatakan derajat hadis ini hasan.

Artinya, doa saat mmeinumnya bersifat umum. Ia bisa menjadi perantara dikabulkannya doa si peminum. Jika seseorang meminta untuk diberkahi maka Allah akan berkahi, jika minta kesembuhan, Allah akan sembuhkan, dan seterusnya.

Adapun berdasarkan Atsar sahabat, ada doa yang dibaca oleh Ibnu Abbas saat minum air Zamzam. Doanya sebagai berikut, 

اللهم إني أسألك علماً نافعاً، ورزقاً واسعاً، وشفاءً من كل داء 

ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WA RIZQAN WAASI’AN WA SYIFAA-AN MIN KULLI DA-IN. 

Artinya: Ya Allah aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas dan obat dari segala penyakit (HR. ad-Daruquthni)

Doa ini bisa kita baca saat minum air zamzam dan menambahkannya dengan doa lain sesuai hajat dan keinginan kita.

Adapun dalam sejarahnya, kemunculan air ini bermula dari hentakkan kaki Nabi Ismail yang kehausan setelah Ibunda Hajar mencari sumber air dengan berlari antara Safa dan Marwa. 

Ribuan tahun setelah peristiwa itu, air ini terus mengalir dan menjadi sumber kehidupan manusia sekitarnya. Kala itu, Mekkah adalah tanah yang kering, tidak ada tumbuhan dan kehidupan manusia. Atas kehendak Allah, peristiwa Hajar dan Nabi Ismail menjadi permulaannya. 

Demikian ulasan mengenai doa yang bisa dibaca saat minum air Zamzam dan sejarah singkatnya.

BINCANG MUSLIMAH

Matan Taqrib: Hukum Gadai dalam Islam

Kali ini kita pelajari hukum gadai dalam Islam dari Matan Taqrib.

Dalam Matan Taqrib disebutkan:

أَحْكَامُ الرَّهْنِ:

وَكُلُّ مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ فِي الدُّيُوْنِ إِذَا اسْتَقَرَّ ثُبُوْتُهَا فِي الذِّمَّةِ وَلِلرَّاهِنِ الرُّجُوْعُ فِيْهِ مَا لَمْ يُقْبِضْهُ وَلاَ يَضْمَنْهُ المُرْتَهِنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَإِذَا قَبَضَ بَعْضَ الحَقِّ لَمْ يَخْرُجْ شَيْءٌ مِنَ الرَّهْنِ حَتَّى يَقْضِيَ جَمِيْعَهُ.

Hukum Rahn (Menggadaikan Barang)

Semua barang yang boleh dijual, boleh pula digadaikan sebagai jaminan utang, apabila utang itu tetap (tidak berubah) selama masa perjanjian (penjaminan). Si penggadai (rahin) boleh membatalkan gadaiannya selama barang tersebut belum diserahkan. Si penerima gadaian (murtahin) tidak menanggung barang gadaian kecuali karena adanya pelanggaran (ta’addi). Apabila si penerima gadaian baru menerima sebagian cicilan utang dari si penggadai, maka masa penggadaian belum dianggap rampung hingga si penggadai telah melunasi seluruh utangnya.

Pengertian Gadai

Secara bahasa, ar-rahnu (gadai) berarti ats-tsubuut, tetap.

Secara istilah syari, ar-rahnu (gadai) berarti:

جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ الوَفَاءِ

Menjadikan suatu harta (‘ain maaliyah) sebagai jaminan (kepercayaan, watsiiqah) terhadap utang (dayn) di mana sebagian utang bisa terbayarkan dari harta tersebut ketika ada uzur untuk melunasi.

Dalil Tentang Gadai

Dalil mengenai disyariatkannya gadai adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai (berutang), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa baju besi.” (HR. Bukhari, no. 2068 dan Muslim, no. 1603).

Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan dan hal ini telah dilakukan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, dan tidak ada yang mengingkarinya.

Beberapa Catatan tentang Gadai

– Gadai ini nantinya digunakan untuk melunasi kewajiban pada orang yang memberikan pinjaman (ad-daain) ketika yang berutang (al-madiin) itu bangkrut (aflasa). Barang yang jadi gadaian itu dijual agar yang memberikan pinjaman bisa mendapatkan haknya ketika penunaian utang.

– Jaminan pada hak ini ada tiga yaitu: (1) syahadah (saksi) adanya utang, (2) rahn (gadaian), (3) dhaman (jaminan). Saksi ini untuk mencegah kekhawatiran adanya penentangan adanya utang. Sedangkan rahn (gadaian) dan dhaman (jaminan) untuk jaga-jaga apabila terjadi iflaas (kebangkrutan).

– Rahn itu boleh ketika safar maupun hadir (tidak bersafar), walaupun ayat menyebutkan tentang keadaan safar.

– Rahn adalah sebagai gantian dari kitabah (penulisan utang) yang mengambil hukum sunnah.

Rukun Akad Rahn (Gadai)

  1. Marhuun (yang digadaikan)
  2. Marhuun bihi (dayn, yaitu utang)
  3. Raahin (al-madiin, yang berutang, yang menyerahkan gadai)
  4. Murtahin (ad-daain, yang memberikan utang, penerima gadai)
  5. Shighah (ada ijab dan qabul)

Yang boleh dijadikan marhuun (barang gadai) adalah segala sesuatu yang dibolehkan untuk diperjualbelikan sebagai jaminan dari penunaian utang. Khamar dan benda najis lainnya tidaklah sah dijadikan sebagai marhuun (barang gadai).

Syarat Raahin dan Murtahin

  1. Atas pilihan sendiri, tidak dipaksa
  2. Ahliyah tabarru’ (dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang atas pilihan sendiri, baligh, bukan yang sedang dihajr, diboikot untuk tidak boleh membelanjakan hartanya).

Syarat Marhuun (Barang Gadai)

  1. ‘Ain, sesuatu yang berbentuk. Jika barang gadaian berupa utang, maka tidaklah sah karena tidak bisa diserahterimakan.
  2. Sah untuk diperjualbelikan, yaitu segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan, maka boleh dijadikan barang gadai. Anjing, babi, atau khamar tidaklah bisa dijadikan barang gadai.

Syarat Marhuun Bihi (Utang)

  1. Utangnya itu ada. Jika gadai dengan sesuatu yang dipinjamkan, dirampas (magh-shuubah), atau dicuri diam-diam (masruuqah), tidaklah sah karena tidak ada yang jadi watsiqah (jaminan, kepercayaan) sehingga bisa melunasi ketika ada uzur pelunasan.
  2. Marhuun bihi (utang) diketahui oleh kedua pihak yang berakad. Utang tersebut diketahui dalam bentuk jumlah dan sifat, sehingga tidaklah sah jika masih majhuul (tidak diketahui).
  3. Syarat shighah (ijab dan qabul) seperti dalam perihal jual beli.

Beberapa Pembahasan Terkait Gadai

  • Orang yang menyerahkan gadai (raahin) boleh meminta barang gadaian (marhuun) selama penerima gadai (murtahin) belum qabdh (memegang, serah terima). Jika murtahin telah qabdh (memegang barang gadai), maka tidaklah boleh barang gadai itu dikembalikan hingga utang lunas atau barang gadai (marhuun) dijual untuk melunasi utang.
  • Penerima gadai (murtahin) ketika memegang barang gadai (marhuun) adalah barang amanah. Murtahin barulah mengganti jika ada kerusakan pada barang gadai hanya ketika terjadi ta’addi atau melampaui batas.
  • Jika pemberi gadai (yang berutang) melunasi sebagian dari utangnya, ia tetap belum boleh meminta barang gadaiannya atau sebagiannya. Barang gadai barulah diserahkan ketika utang lunas.
  • Barang gadai itu masih jadi milik orang yang berutang (pemberi gadai) dan dialah yang punya kewajiban untuk mengeluarkan biaya untuk perawatan barang gadainya. Misalnya, barang gadai berupa sapi, maka susunya masih miliki raahin (pemberi gadai), ia tetap yang memberi makan, memeras susunya, dan membersihkan kandangnya.
  • Barang gadai tidak boleh disewakan, dihibahkan, dipinjamkan, atau dimanfaatkan yang sifatnya bisa menghabiskan.
  • Jika penerima gadai (murtahin) memanfaatkan barang gadai seperti hewan tunggangan yang jadi gadai ditunggangi, maka dianggap sebagai ta’addi (melampaui batas), maka harus ada ganti rugi ketika ada kerusakan atau musnah.
  • Jika barang gadai berupa sapi betina melahirkan dan memiliki anak atau barang gadai berupa pohon itu berbuah, maka hasil tadi adalah milik raahin (pemberi gadai) yang keluar dari barang gadainya. Raahin (pemberi gadai) punya kewajiban untuk merawatnya (menanggung biayanya).
  • Jika murtahin (penerima gadai) meminta barang gadai dijual atau meminta untuk dilunasi utangnya jika memang sudah jatuh tempo, jika raahin (pemberi gadai) mengalami kendala, maka qadhi (hakim) boleh memaksanya untuk menjual barang gadai.
  • Murtahin (penerima gadai) boleh menjual marhuun (barang gadaian) dengan izin raahin (pemberi gadai) sebelum penulasan utang jatuh tempo dan gadai jadi bebas.

Gadai dianggap selesai dengan:

  1. Melunasi utang.
  2. Raahin (pemberi gadai) dianggap utangnya selesai, artinya murtahin (penerima gadai) memaafkan atau memutihkan utang.
  3. Barang gadai lenyap atau rusak.
  4. Barang gadai tidak layak lagi diperjualbelikan, seperti hasil ekstraksi yang berubah menjadi khamar. Namun, khamar jika berubah lagi sendirinya menjadi cuka, maka gadai dianggap balik kembali.

Referensi:

Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.

Sabtu siang, 11 Dzulqa’dah 1443 H, 11 Juni 2022

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/33986-matan-taqrib-hukum-gadai-dalam-islam.html

Hari Janda Internasional; Perintah Rasulullah Menyayangi Janda

Pada tanggal 23 Juni, merupakan Hari Janda Internasional. Penetapan ini merupakan ketetapan dari Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) pada 2011. Padahal, jauh sebelum ada peringatan Hari Janda Internasional, telah ada perintah Rasulullah menyayangi para janda. (Baca juga: Kisah Hikmah; Faedah Menyantuni Para Janda).

Bahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah tak tangggung-tanggung mengumpamakan seseorang yang menyayangi dan menyantuni janda dengan seseorang yang berjihad di jalan Allah, beribadah sepanjang malam, dan berpuasa sepanjang siang.

Perintah Rasulullah Menyayangi Para Janda

Hal ini menunjukkan betapa besar ganjaran yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang menyantuni janda tersebut. Sebagaimana hadis riwayat Bukhari melalui penuturan sahabat Abu Hurairah,

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza’ah, telah menceritakan kepada kami Malik dari Tsaur bin Zaid dari Abul Ghaits dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang memberi kecukupan kepada para janda dan orang-orang miskin, maka ia seperti halnya seorang mujahid di jalan Allah atau seorang yang berdiri menunaikan qiyamul lail dan berpuasa di siang harinya.”

Realitanya, masih banyak janda yang menggantungkan finansial keluarganya hanya kepada suami. Saat suami meninggal atau bercerai darinya, seorang perempuan yang kemudian menjadi janda akhirnya kesulitan secara ekonomi.

Hadis ini tertuju kepada sa’i,  yaitu, seseorang yang memberi kecukupan finansial atau bantuan ekonomi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Maka dari, janda disejajarkan dengan kaum yang ekonominya berada di kelas menengah ke bawah.

Hadis ini juga tercatat dalam kitab Shahih Bukhari dengan lafaz yang sedikit berbeda. Ibnu Bathol dalam karyanya, Syarah Shahih Bukhari menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mampu melakukan jihad, beribadah sepanjang malam, atau berpuasa sepanjang siang maka amalkanlah hadis ini. Betapa besar ganjaran pahala dari memberdayakan janda dan orang-orang miskin.

Syarah Hadits Anjuran Menyantuni Janda

Akan tetapi, dalam mengambil nilai dan hikmah dari hadis ini kita bisa mensejajarkannya dengan perintah memberdayakan mereka. Dalam artian, memberi kesempatan pada janda untuk bekerja di publik sebagaimana perempuan lainnya tanpa memberi stigma negatif. Tidak memandang mereka sebagai kaum yang rendah apalagi hina.

Jika masyarakat masih memberi stigma negatif dan membatasi gerak mereka baik dalam ruang kerja atau lainnya, maka tentulah masyarakat berlawanan dari anjuran yang Nabi bawakan.

Ajaran Tuhan melalui Nabi Muhammad adalah ajaran penuh cinta dan kasih. Bukan ajaran yang mendiskriminasikan golongan tertentu dengan bentuk penghinaan atau kekerasan, termasuk pada para janda. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Anbiya` ayat 107,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Demikian penjelasan terkait Hari Janda Internasional. Semoga momentum Hari Janda Internasional, kita bisa bersama  mengingat bahwa ada Perintah Rasulullah untuk menyayangi para janda.

BINCANG SYARIAH