Lebih dari 2.500 calon haji dari Indonesia berencana melaksanakan sunah tarwiyahpada 8 Dzulhijjah, sebelum puncak pelaksanaan ibadah haji 1443 Hijriah.
“Saat ini baru terdaftar 2.536 jamaah yang akan ikut tarwiyah,” kata Kepala Seksi Bimbingan Ibadah Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji Daerah Kerja Makkah Ansor di Makkah, Arab Saudi, Sabtu.
Dia mengatakan bahwa pada pelaksanaan ibadah haji tahun 2019, saat Indonesia mendapat kuota haji penuh untuk sekitar 218 ribu orang, hingga menjelang Hari Tarwiyah(8 Dzulhijjah) ada 6.000 anggota jamaah yang terdata hendak melaksanakan sunah tarwiyah.
“Karena (kuota haji tahun ini)persentasenya hanya 46 persen, ini sudah mendekati puncak, kita pikir mungkin di bawah 4.000 (yang tahun ini melaksanakan ibadah sunah tarwiyah),” kata Ansor.
Pada masa Rasulullah SAW, jamaah haji mengisi perbekalan air di Minapada Hari Tarwiyah, tanggal 8 Dzulhijjah, untuk melakukan perjalanan menuju ke tempat wukuf di Arafahpada 9 Dzulhijjah. Pada masa ini, sebagian jamaah haji mengikuti sunah tersebut dengan berangkat dari penginapan menuju ke Minapada 7 Dzulhijjah kemudian berdiam di Minapada8 Dzulhijjah dan melanjutkan perjalanan menuju ke Arafah pada 9 Dzulhijjah.
Namun, sunah tarwiyahtidak tidak termasuk rukun dan wajibhaji.Ansor mengatakan bahwa pemerintah tidak melarang jamaah haji melaksanakan sunahtarwiyah, tapi juga tidak memberikan fasilitasi.
Anggota jamaah Indonesiayang hendak melaksanakan sunah tarwiyahdiwajibkan membuat pernyataan berkenaan dengan penanggungjawab keselamatan mereka.”Mereka diminta membuat pernyataan, surat pernyataan tarwiyah. Untuk memudahkan mereka dapat mengisi google form, ditandatangani yang bersangkutan, ada juga surat dalam bentuk fisik bermaterai,” kata Ansor.
Meski tidak memfasilitasi jamaah melaksanakan sunah tarwiyah, pemerintah akan menempatkan beberapa petugas untuk memantaukondisi jamaah yang melaksanakan amalan tersebut.
Terdapat banyak riwayat, baik hadis Nabi Saw., perkataan sahabat dan ulama salaf yang menjelaskan keutamaan berpuasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dalam kitab Kanzun Najah Was Surur terdapat keterangan, hari Tarwiyah, hari Arafah dan hari Idul Adha menjadi sebab kemulian sepuluh hari pertama Dzulhijjah daripada hari-hari yang lain. Apa saja kemuliaan orang yang berpuasa Dzulhijjah?
Karena itu, Syaikh Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitabnya Alfatawa Alkubra;
“Sepuluh hari-hari pertama Dzulhijjah lebih utama daripada sepuluh hari-hari terakhir Ramadan. Sepuluh malam-malam terakhir Ramadan lebih utama daripada sepuluh malam-malam pertama Dzulhijjah.”
Oleh karena itu, sunah memuliakan sepuluh hari pertama Dzulhijjah dengan berbagai ibadah, di antaranya dengan puasa. Terdapat ketarangan dalam kitab Durratun Nashihin, sebagian ulama mengatakan bahwa jika seseorang memuliakan sepuluh hari pertama Dzulhijjah dengan puasa, maka Allah akan memuliakan dengan 10 kemulian orang yang berpuasa Dzulhijjah berikut.
Pertama, keberkahan dalam umur.
Kedua, tambahan harta.
Ketiga, dosa-dosa terhapus.
Keempat, kebaikan terlipatgandakan.
Kelima, mudah dalam menghadapi sakaratul maut.
Keenam, kuburan bercahaya.
Ketujuh, amal timbangan berat nanti di hari kiamat.
Kebingungan masyarakat mengenai waktu pelaksanaan puasa Arafah dimulai dari anggapan bahwa puasa Arafah itu baru bisa dilaksanakan apabila jemaah haji di Makkah sudah melakukan wukuf di Arafah. Benarkah anggapan bahwa puasa Arafah harus sesuai dengan wukuf di Arab Saudi tersebut? Kiai Ma’ruf Khozin, konsultan di Aswaja Center menguraikan kebingungan masyarakat tersebut sebagai berikut:
Nabi Saw. hanya melaksanakan ibadah haji satu kali, sekaligus disebut haji wada. Maka wukuf Arafah yang dilakukan oleh Nabi juga hanya sekali. Tahun-tahun sebelum Nabi haji wada sudah diketahui oleh para Sahabat bahwa Nabi berpuasa pada 9 Dzulhijjah:
Dari Ummu Fadl binti Harits Sahabat berbeda pendapat di sisi Ummu Fadl pada hari Arafah tentang puasa Nabi Saw. Sebagian sahabat mengatakan berpuasa, sebagian lagi mengatakan tidak. Lalu saya kirimkan segelas susu kepada Nabi saat beliau Wukuf di atas untanya, lalu Nabi meminumnya” (HR Bukhari)
Para Sahabat Nabi saw. berbeda pendapat dalam puasa Nabi shalallahu alaihi wasallam. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah sudah diketahui di kalangan Sahabat dan menjadi kebiasaan mereka saat tidak bepergian (Fathul Bari 4/237)
Hadis ini, juga yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar, menunjukkan bahwa pada 9 Dzulhijah Nabi dan para Sahabat sudah berpuasa di hari itu meskipun belum disyariatkan ibadah haji dan Wukuf di Arafah.
Arafah nama tempat atau nama hari?
Di samping 9 Dzulhijjah bertepatan dengan hari Wukuf di Arafah, ternyata tanggal 9 Dzulhijjah juga disebut hari Arafah berdasarkan kisah mimpi penyembelihan di masa Nabi Ibrahim:
Ibrahim bermimpi di malam Tarwiyah (8 Dzulhijjah) seolah ada yang berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk menyembelih anakmu”. Di pagi harinya Nabi Ibrahim berfikir apakah mimpi ini dari Allah atau dari syetan? Maka hari itu disebut Hari Tarwiyah.
Pada malam kedua Nabi Ibrahim bermimpi seperti malam sebelumnya. Di pagi hari Nabi Ibrahim tahu (bahasa Arabnya ‘Arofa) bahwa mimpi itu dari Allah. Maka hari itu disebut Hari Arafah. Pada malam ketiga Nabi Ibrahim bermimpi lagi lalu beliau bertekad akan menyembelih putranya pada hari Qurban [10 Dzulhijjah]” (Al-Qurthubi 5/102)
Kesimpulan, berpuasa 9 Dzulhijjah tidak harus bertepatan dengan hari Wukuf di Arafah. Sebab 9 Dzulhijjah juga disebut sebagai nama Arafah sejak masa Nabi Ibrahim. Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sudah melakukan puasa 9 Dzulhijjah jauh sebelum dilaksanakan Wukuf di Arafah.
Di antara amalan ibadah yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah berpuasa sejak hari pertama hingga hari kesembilan. Terdapat dalam sebuah hadis bahwa Nabi Saw. tidak pernah meninggalkan puasa 9 hari bulan Dzulhijjah. Apa sajakah keutamaan puasa 9 hari bulan Dzulhijjah?
Hadis tersebut adalah riwayat Imam Ahmad, Attirmidzi dan Ibnu Hibban dari Sayidah Hafshah, dia berkata;
أربع لم يكن يدعهن رسول الله صلى الله عليه وسلم صيام يوم عاشوراء والعشر وثلاثة أيام من كل شهر والركعتين قبل الغداة.
“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Saw., yaitu puasa ‘asyura, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, salat sunah sebelum salat subuh.”
Dalam kitab Durratun Nashihin terdapat sebuah riwayat terkait keutamaan berpuasa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Riwayat tersebut bersumber dari Ibnu Abbas, Nabi Saw. bersabda;
اليوم الذي غفر الله فيه لآدم عليه السلام أوَّل يوم من ذي الحِجَّة، من صام ذلك اليوم غفَر الله له كل ذنب
Allah mengampuni Nabi Adam pada hari pertama Dzulhijjah. Siapa yang berpuasa pada hari itu, maka Allah akan mengampuni dosanya.
واليوم الثاني استجاب الله فيه لدعاء سيِّدنا يونس عليه السلام، فأخرجه من بطن الحوت ومن صام ذلك اليوم كان كمن عبَدَ اللهَ سنةً لم يعصِ له طرْفة عين،
Pada hari kedua Allah mengabulkan doa Nabi Yunus dan mengeluarkannya dari perut ikan hut. Siapa yang berpuasa pada hari itu, sama seperti beribadah setahun tanpa maksiat.
اليوم الثالث استجاب الله فيه دعاء زكريا؛ من صام ذلك اليوم استجاب الله دعاءَه
Pada hari ketiga Allah mengabulkan doa Nabi Zakariya. Siapa yang berpuasa pada hari itu, maka Allah kabulkan doanya.
اليوم الرابع اليوم الذي وُلد فيه سيدنا عيسى عليه السلام من صام ذلك اليوم نفَى الله عنه البؤس والفقرفكان يوم القيامة مع السفرة البررة الكرام
Pada hari keempat Nabi Isa lahir. Siapa yang berpuasa pada hari itu, maka akan hilang dari kesusahan dan kefakiran, dan nanti di hari kiamat akan kumpul bersama orang-orang mulia.
واليوم الخامس اليوم الذي وُلد فيه سيدنا موسى عليه السلام, ومن صام ذلك اليوم برئ من النفاق او من عذاب القبر
Pada hari kelima Nabi Musa lahir. Siapa yang berpuasa pada hari itu, dia akan terlepas dari kemunafikan atau siksa kubur.
اليوم السادس اليوم الذي فتَح الله فيه لنبيه أبواب الخيرمَن صامه نظر الله إليه برحمة
Pada hari keenam Allah membuka pintu kebaikan kepada para nabi. Siapa yang berpuasa pada hari itu, Allah akan memandangnya dengan penuh rahmat.
اليوم السابع اليوم الذي تُغلق فيه أبواب جهنم، ولا تفتح حتى تمضي أيام العشر ومن صامه أَغلق الله عنه ثلاثين بابًا من العسر, وفتح له ثلاثين بابًا من اليُسر
Pada hari ketujuh pintu neraka jahanam tertutuo dan tidak akan terbuka hingga selesai 10 Dzulhijjah. Siapa yang berpuasa pada hari itu, Allah akan menghindarkannya dari 30 kemalaratan dan membuka 30 kemudahan.
اليوم الثامن اليوم الذي يسمى يوم التروية, من صامه أعطاه الله من الأجر ما لا يعلمه إلا الله
Hari kedelapan bernama hari Tarwiyah. Siapa yang berpuasa pada hari itu, Allah akan memberinya pahala yang tidak tahu hitungannya kecuali Allah.
اليوم التاسع اليوم الذي هو يوم عرفة من صامه كان كفَّارة للسنة الماضية والمستقبلة, وهو اليوم الذي نـزلت فيه الآية الكريمة: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ.
Hari kesembilan bernama hari Arafah. Siapa yang berpuasa pada hari itu, maka dosanya dihapus selama setahun yang telah lalu dan akan datang. Pada hari itu turun ayat berikut
‘الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ.’
اليوم العاشروهو يوم الأضحى؛ مَن قرَّب فيه قربانًا فبأول قطرة قطرت من دمه غفَر الله له ذنوبه وذنوب عياله ومن اطعم فيه مؤمنا ام تصدق فيه بصدقة بعثه الله تعالى يوم القيامة أمنا ويكون ميزانه اثقل من جبل احد.
Hari kesepuluh disebut hari kurban, siapa yang berkurban pada hari itu, maka setiap tetesan darah pertama hewan kurban tersebut Allah akan mengampuni dosanya dan dosa keluarganya. Siapa yang memberi makan orang beriman atau bersedekah, maka nanti di hari kiamat Allah akan membangkitkannya dalam keadan beriman dan timbangan amalnya lebih berat dibanding gunung Uhud.
Sebagian laki-laki ada yang terkena penyakit lemah syahwat dan tentu ini sangat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Mengingat hubungan seksual suami istri adalah kebutuhan primer dan pokok. Solusi yang terpikirkan oleh sebagian laki-laki adalah minum obat kuat. Tentu minum obat kuat bukanlah solusi paling utama karena secara umum lemah syahwat bisa disembuhkan dengan pola hidup sehat secara fisik dan psikis serta melatih otot-otot tertentu.
Terkait hukum fikihnya, apakah boleh hukumnya minum obat kuat? Perhatikan fatwa Syabakah Islamiyah asuhan Syekh Abdullah Al-Faqih berikut:
فلا حرج في استعمال الدواء المذكور إذا كان – كما قال السائل- لا يترتب على استعماله ضرر ، ولم يكن في تركيبته شيء محرم؛ لأن سرعة القذف تعتبر مرضا يفوت حسن معاشرة الزوجة المأمور به شرعا
“Tidak mengapa menggunakan obat tersebut (obat kuat) -sebagaimana yang ditanya oleh penanya- selama obat tersebut tidak menimbulkan bahaya dan tidak mengandung bahan yang haram. Lemah syahwat dianggap penyakit dan dapat menghilangkan keharmonisan rumah tangga yang diperintahkan dijaga oleh syariat.” (Fatwa no. 183499)
Secara ilmu medis obat kuat sebenarnya digunakan sebagai jalan terakhir untuk mengembalikan kepercayaan diri. Tetap saja pengobatan utama adalah dengan mengatur pola hidup seperti olahraga rutin untuk mengembalikan stamina karena berhubungan badan juga termasuk olahraga dan gerakan. Terutama melatih otot-otot sekitar panggul, perut, bokong dan sekitar, serta melakukan senam kegel. Tidak lupa mengatur pola makanan yang sehat sehat dan psikis yang sehat, jauh dari stres, cemas, dan depresi.
Minum obat kuat juga harus dengan pengawasan dokter karena obat ini memiliki efek samping serius apabila tidak digunakan sesuai dosis dan indikasi. Semisal gangguan jantung dan pembuluh darah dan dapat mengantarkan kepada heart attack (serangan jantung).
Salah satu thibbun nabawi yang dijelaskan ulama bisa menambah kekuatan jimak dan mengobati lemah syahwat adalah ‘ud al-hindi (pohon gaharu).
“Para tabib menyebutkan tujuh manfaat dari qistul hindi yaitu melancarkan haid, kencing, membunuh cacing usus, menetralkan racun, demam lanjutan, menghangatkan lambung, dan menguatkan syahwat jimak.” (Fathul Bari 10/149)
Demikian juga Ibnu Muflih menyebutkan beberapa makanan yang dapat menguatkan kekuatan jimak seperti:
الحلبة والفستق والخروب وبذر البطيخ وغيرها
“Hilbah, fustuk (jenis kacang), pohon khorub, biji semangka, dan lain-lainnya.” (lihat Adab Syari’iyyah karangan Ibnu Muflih (3/7), 2/370, 375)
Dari berbagai makanan, tumbuhan, dan herbal tersebut, hal terpenting adalah dosis yang tepat sesuai dengan usia, umur, berat badan, dan lain-lainnya.
“Ada seseorang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya (dalam riwayat lainnya: sakit diare).’
Nabi berkata, ‘Minumkan ia madu!’
Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya.
Nabi berkata, ‘Minumkan ia madu!’
Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga.
Nabi tetap berkata, ‘Minumkan ia madu!’ Setelah itu, orang itu datang lagi dan mengatakan, ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’
Nabi bersabda, ‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’
Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dijelaskan oleh seorang tabib dan ulama besar Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah. Beliau menekankan perlunya dosis dan sesuai dengan penyakitnya (indikasi). Beliau berkata,
وفي تكرار سقيه للعسل معنىً طبي بديع وهو: أن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب حال الداء
“Memberikan minum madu dengan berulang kali menunjukkan mengenai ilmu kedokteran, yaitu obat harus sesuai dosis dan jumlahnya sesuai dengan keadaan penyakitnya.” (Thibbun Nabawi hal 29, Darul Hilal)
Demikian juga penjelasan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau menjelaskan dengan lebih rinci bahwa obat sesuai dosisnya dengan umur, kebiasaan, kombinasinya dengan apa saja, dan lain-lainnya. Beliau berkata,
فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر
“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan, dan daya tahan fisik karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit. Jika dosisnya berkurang, maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih, dapat menimbulkan bahaya yang lain.” (Fathul Baari 10/169-170, Darul Ma’rifah)
Imam asy-Syaukani mengatakan, persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dalam Islam, begitu pula mengadapi perbedaan Idul Adha, wukuf dan Arafah
HARI ini umat dihadapkan perbedaan pendapat penentuaan Idul Adha, akibatperbedaan keputusan awal Dzulhijjah yang otomatis berbeda juga hari Arafah antara Pemerintah Saudi Arabia dan pemerintah kita. Peristiwa ini mengingatkan kita para Idul Adha tahun 1439 H atau 2018 M, dimana saat itu terjadi perbedaan keputusan antara Saudi dengan Indonesia.
Saat itu, Arab Saudi menetapkan Idul Adha 21 Agustus, dan Indonesia tanggal 22 Agustus. Sementara wukuf di Arafah berlangsung pada 20 Agustus 2018.
Tahun ini, sesuai hasil sidang isbat awal Dzulhijah yang digelar Kemenag pada 29 Dzulkaidah 1443 H atau hari Rabu (29/6/2022), pemerintah memutuskan pelaksanaan Idul Adha pada Ahad 10 Juli 2022. Sedangkan PP Muhammadiyah menetapkan 1 Dzulhijah 1443 hijriah jatuh pada hari Kamis, 30 Juni 2022, dan Hari Arafah 9 Zulhijah 1443 hijriah jatuh pada hari Jumat, 8 Juli 2022.
Kaum musliminin biasanya akan berbeda pendapat dalam sikap sebagai berikut:
Ada yang ikut pemerintah dalam Arafah dan idhul adha secara mutlak.
Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arafah dan idhul adha secara mutlak.
Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arafah saja, sedangkan idhul adha tetap ikut pemerintah.
Masalah ini masalah yang diperselisihkan ulama. Adapun pendapat yang kuat menurut kami adalah tetap ikut negara masing-masing dengan beberapa argumen kuat sebagai berikut:
Pertama, hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah ﷺ:
الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ والأضحى يوم يضحي الناس
Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya Idul Fitri itu hari manusia berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha itu hari manusia berhari raya Idhul Adha.
Perhatikanlah, Nabi tidak membedakan antara Idul Fitri dan Idhul Adha. Abul Hasan as-Sindi berkata dalam Hasyiyah Ibnu Majah: “Dhohir hadits ini bahwa masalah-masalah ini (puasa, Idul Fitri dan Idhul Adha) bukan urusan pribadi, tetapi dikembalikan kepada imam dan jama’ah. Dan wajib bagi personil untuk mengikuti imam dan jama’ah. Oleh karenanya, apabila seorang melihat hilal lalu imam menolak persaksiannya, hendaknya dia tidak mengikuti pendapatnya tetapi dia harus mengikuti jama’ah dalam hal itu.”
Kedua, hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah Islam:
حُكْمُ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
“Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.”
Oleh karenanya, para fuqaha’ menegaskan bahwa hukum/keputusan pemerintah dalam masalah ini menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat, karena hal ini akan membawa kemaslahatan persatuan kaum muslimin yang juga merupakan kaidah agung dalam Islam. (Lihat Al-Istidzkar Ibnu Abdil Barr 10/29 dan Rosail Ibnu Abidin 1/253).
Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syaukani tatkala mengatakan: “Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta membendung segala celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dan pokok di antara pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh setiap orang yang mempelajari petunjuk Nabi yang mulia dan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah”. (dalam Al-Fathur Robbani 6/2847-2848).
Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhu Masyakhina Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, beliau berkata: “Demikian juga hari Arafah, ikutilah negara kalian masing-masing.” Kata beliau juga: “Hukumnya satu, sama saja (baik dalam Idul Fitri maupun Idhul Adha)”.(dalam Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/41, 43).
Jawaban terhadap pendapat yang tidak mengikuti pemerintah
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Arafah ikut Saudi karena Arafah itu berkaitan dengan tempat, sedangkan Arafah hanya ada di Saudi Arabia, maka pendapat ini perlu ditinjau ulang kembali, karena beberapa hal:
Pertama: Akar perbedaan ulama dalam masalah ini bukan karena Arafah itu berkaitan dengan tempat atau tidak, tetapi kembali kepada masalah ru’yah hilal Dzulhijjah, apakah bila terlihat di suatu negara maka wajib bagi negara lainnya untuk mengikutinya ataukah tidak? Dengan demikian, maka patokan Arafah adalah tanggal sembilan Dzulhijjah, adapun istilah “Arafah” hanya sekedar mim bab Taghlib (kebanyakan saja).
“Apabila hilal Dzulhijjah telah terlihat, dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga ia menyembelih kurbannya.” (HR: Muslim)
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa patokannya adalah terlihatnya hilal Dzilhijjah.
Kedua: Kalau akar permasalahannya adalah karena tempat, hal itu berarti semua kaum muslimin harus mengikuti ru’yah Dzulhijjah Saudi Arabia. Sedangkan hal ini tidak mungkin kalau tidak kita katakan mustahil, karena para ulama falak -seperti dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- telah bersepakat bahwa mathla’ hilal itu berbeda-beda.
Dengan demikian maka mustahil bila semua kaum muslimin di semua negara ikut ru’yah Saudi Arabia, karena dimaklumi bersama bahwa antara jarak antara negara bagian barat dan timur sangat jauh sehingga menyebabkan perbedaan tajam tentang waktu terbit dan tenggelamnya matahari, mungkin matahari baru terbit di suatu tempat sedangkan dalam waktu yang bersamaan matahari di tempat yang lain akan terbenam?! Lantas, bagaimana mungkin semua kaum muslimin sedunia bisa berpuasa dan hari raya dalam satu waktu? (Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, Muhammad Burhanuddin hlm. 98-99. Lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/47).
Ketiga: Kalau semua kaum muslim sedunia harus mengikuti ru’yah Saudi dalam Arafah, kita berfikir jernih dan bertanya-tanya: Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang dulu yang tidak memiliki Hp atau telpon seperti pada zaman sekarang?! Apakah mereka menunggu khabar dari saudara mereka yang berada di Arafah saat itu?! Apakah perbedaan seperti ini hanya ada pada zaman kita saja?! Bukankah perbedaan seperti sudah ada sejak dahulu?!
Al-Hafizh Ibnu Rojab menceritakan bahwa pada tahun 784 H terjadi perselisihan di Negerinya tentang hilal Dzul Qo’dah yang secara otomatis terjadi perbedaan tentang hari Arafah dan idhul adha-nya. (Risalah fi Ru’yati Dzil Hijjah (2/599 –Majmu Rosail Ibnu Rojab-).
Karenanya, di zaman Ibnu Hajar terjadi perbedaan antara penduduk mekah dan penduduk Mesir dalam menentukan hari Arafah dan hari raya Idul Adha. Demikian juga Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau berkata: “Tatkala itu wuquf (padang Arafah) di Makkah hari Jum’at -setelah terjadi perselisihan-, sementara hari raya Idhul Adha di Qahirah (Mesir) adalah hari Jum’at”. (Inbaa’ Al-Ghomr bi Abnaa’ al-Umr fi At-Taariikh 2/425).
Seandainya para ulama dulu ikut ru’yah Saudi Arabia, lantas kenapa masih ada perselisihan semacam ini?
Keempat : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di Padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong (Papua), yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam? Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam.
Dan tatkala penduduk Makkah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Makkah-, maka di Sorong sudah jam 6 Maghrib? Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf?
Kelima: Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama’ah haji tidak bisa wukuf di padang Arafah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama’ah yang wukuf di padang Arafah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Keenam: berhari raya dengan hasil rukyah negara masing-masing adalah amalan Sahabat dan Tabi’in, dan salah satu pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i. Bahkan Syeikh Utsaimin, ulama Arab Saudi yang banyak dirujuk Salafi juga menfatwakan hal yang sama.
Imam Muslim meriwayatkan dari Kuraib– bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib meceritakan: “Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah.”
Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas ra. bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan:
Artinya: “Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?” Ibnu Abbas ra menjawab:
لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR: Muslim no. 1087).
Maka Ibnu Abbas yang berada di Madinah berpuasa dengan rukyah Madinah, tidak dengan hasil rukyah Negeri Syam (Khalifah Muawiyah). Padahal beliau sudah diberitahu hasil rukyah Negeri Syam. Dan tidak main-main Ibnu Abbas memberikan jaminan dan menyatakan: “Begitu Rasulullah ﷺ mengajarkan.”
Imam An Nawawi ra. menyatakan tentang hadits Kuraib ini, “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.” (Syarah Nawawi).
Ketujuh: Puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Zulhijah. Bukan puasa ketika orang wukuf di Arafah. Sebab, syariat Idul Adha dan puasa 9 Zulhijjah lebih dahulu dari pada syariat kewajiban haji.
Idul Adha sudah disyariatkan pada tahun ke 2 Hijriah. Sedangkan Ibadah haji baru disyariatkan pada tahun ke 6 Hijriah. Dan Rasulullah ﷺ baru berhaji pada tahun ke 10 H.
Jadi, Rasulullah sudah beridul Adha dan puasa 9 Dzulhijah jauh sebelum wajibnya ibadah haji, jauh sebelum adanya wukuf di Arafah.
Dan kalau puasa Arafah itu puasanya harus bersamaan dengan saat orang wukuf di Arafah, maka kaum muslimin yang berada di negara yang berbeda 10 jam atau lebih dari Arab Saudi, tidak akan pernah bisa melaksanakan puasa Arafah. Karena, saat mereka berpuasa, wukuf sudah selesai, dan Arafah sudah kosong.
Ala kulli hal (bagaimanapun juga), kami sangat menyadari bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyyah mu’tabar, namun sebagai usaha persatuan kaum muslimin, kami menghimbau agar kaum muslimin tidak menyelisihi pemerintah mereka masing-masing karena hal itu berdampak negatif yang tidak sedikit, apalagi ini merupakan himbaun Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kemenag yang dalam hal ini mewakili pemerintahan Indonesia. (Lihat Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia hlm. 42).
Sebagaimana juga kami menghimbau kepada para dai dan mubaligh serta para ustadz untuk menanamkan kepada masyarakat agar cerdas dalam menyikapi perbedaan dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan seperti ini.
Bila ada yang berkata: “Pendapat ini berarti menjadikan pemerintah sebagai Tuhan selain Allah”. Maka kami katakan: Ini meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, ucapan ini kalau memang pemerintah merubah ketentuan syari’at lalu kita mengikutinya, adapun masalah kita sekarang adalah masalah ijtihadiyyah dan khilafiyyah yang mu’tabar, maka sangat tidak tepat sekali ucapan di atas diletakkan dalam masalah ini. Wallahu A’lam. (lihat Risalah fi Hilal Dzil Hijjah karya Ibnu Rojab 2/608).* (artikel diambil dari Buku Kumpulan Fatwa Majelis Syuro Hidayatullah)
Bagaimana hukum ganja untuk medis? Atau hukum ganja atau marijuana untuk kepentingan medis? Pasalnya, belakangan ini publik digegerkan oleh wanita berhijab yang hendak mencari ganja untuk keperluan medis anaknya, bagaimana pandangan fikih atas fenomena ini?
Perlu diketahui, bahwa ganja termasuk dari sesuatu yang bisa memabukkan. Maka dari itu, ia akan terdampak beberapa hukum fikih.
Bahan Obat dalam tinjauan hadits Nabi
Sebelum membahasnya, ada baiknya kita mendengarkan sabda Rasulullah Saw berikut:
Artinya: sesungguhnya Allah menurunkan obat dan penyakit, dan di setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka kalian berobatlah, namun jangan berobat dengan perkara yang haram.
Secara tegas, Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis. Beliau mengatakan:
Yang artinya: Rasulullah SAW melarang untuk berobat dengan sesuatu yang “buruk”.
Dari sekian hadis di atas, secara leksikal kita mendapat pemahaman berarti kita tidak diperbolehkan untuk berobat dengan perkara yang haram atau memabukkan.
Takwil Hadist Bahan Obat Harus Halal
Namun, hadis ini ditakwil oleh seorang ulama. Beliau mengatakan:
Menurut Imam Al-Baihaqi, jika kedua hadis tersebut merupakan hadis yang sahih, maka maknanya akan diarahkan pada pelarangan berobat dengan sesuatu yang bisa memabukkan dan sesuatu yang haram, dengan tanpa adanya darurat.
Konsep ini merupakan hasil kompromi di antara dua hadis tersebut dan hadisnya uraniyyin, wallahu a’lam. (Imam Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Juz 9 hal. 53).
Pandangan Imam Nawawi Bahan Obat dari Khamar
Salah seorang elit ulama Syafi’iyyah, Imam al-Nawawi, mengatakan:
Berobat dengan sesuatu yang najis (selain khamr), hukumnya adalah boleh. Baik semua najis, kecuali khamr saja. Ini merupakan nash madzhab, dan pendapat inilah yang menjadi pedoman oleh mayoritas ulama.
Hanya saja ada salah satu wajah yang tidak memperbolehkannya, dengan berpedoman pada hadis riwayat bersumber dari Ummu Salamah. Wajah yang ketiga berpendapat bahwa boleh berobat dengan mengkonsumsi air seninya Unta secara khusus, sebab ada nash hadits yang menjelaskan demikian, sehingga dengan selainnya tetap tidak boleh hukumnya.
Kedua pendapat berasal dari Imam Al-Rafii, namun keduanya merupakan pendapat yang syadz. Jadi yang benar adalah boleh secara mutlak berobat dengan sesuatu yang najis, dengan berpedoman pada hadis riwaya oleh Anas bin Malik RA.
Ashab kami juga berpendapat bahwa boleh berobat dengan sesuatu yang najis, jika tidak dapat ditemukan obat suci yang efektifitasnya sama dengan obat najis tadi. Sehingga jika dia menemukannya, maka haram baginya untuk berobat dengannya. Ulama tidak berbeda pendapat dalam konteks ini.
Adapun hadis yang berbunyi “sesungguhnya Allah tidaklah membuat suatu obat dari sesuatu yang telah haram bagi kalian” Oleh para ulama telah mengarahkan pada konsep tersebut. Yakni jika masih menemukan obat suci lain yang efektifitasnya sama, maka haram untuk mengkonsumsi obat najis. Dan sebaliknya. (Imam Al-Nawawi, Al-majmu’ syarh al-Muhadzzab, Juz 9 hal. 51).
Hukum Ganja untuk Kepentingan Medis
Demikian menurut penuturan ulama Syafi’iyyah. Guru besar Al-Azhar bidang Syariah dan Qanun, Syekh Abdul Fattah Mahmud Idris menjelaskan permasalahan ini dalam ranah lintas madzhab.
Ringkasnya beliau mengatakan sebagaimana dalam redaksi berikut: ulama konsensus bahwa haram berobat dengan sesuatu yang haram (termasuk yang memabukkan, semisal dalam bahasan ini adalah Ganja), jika tidak ada kebutuhan yang mendesak dan masih ada obat lain yang tidak haram untuk dikonsumsi.
Hanya saja, jika sudah taraf kebutuhan mendesak, atau dalam istilah fikihnya, populer dengan nomenklatur darurat, maka Ulama berbeda pendapat. (Baca:Hand Sanitizer Beralkohol, Sucikah Untuk Shalat?).
Golongan pertama membolehkannya, yakni sebagian Hanafiyyah memperbolehkan jika tiada lagi obat mubah yang seefektif dengan obat yang haram, juga sependapat dan ada dukungan oleh Ulama Syafi’iyyah, hanya saja mereka mengecualikan berobat dengan sesuatu yang berpotensi memabukkan.
Adapun golongan yang kedua, mereka tetap tidak memperbolehkan. Yaitu sebagian Hanafiyyah yang lain, Salah satu wajah (pendapat) di madzhab Syafi’i, Malikiyyah dan Hanabilah. (Majallah al-Bayan, hal. 4)
Keterangan Syekh ini merujuk pada beberapa kitab indukan masing-masing madzhab. Penulisannya dalam catatan kaki, bahwa beliau dalam menukil pendapat golongan pertama, beliau mengutip kitab radd al-muhtar (Juz 4 hal. 215) sebagai representasi madzhab Hanafi, dan beliau mengutip kitab Majmu’ (Juz 4 hal. 330), Raudh al-thalibin (Juz 3 hal. 285) dan Mughni al-muhtaj (Juz 4 hal. 188) sebagai representasi Madzhab Syafi’i.
Adapun mengenai pendapat kelompok yang terakhir, beliau juga mengutip radd al-muhtar (Juz 4 hal. 215) sebagai representasi madzhab Hanafi, lalu beliau mengutip Al-Kafi fi fikh ahl al-madinah (hal.188) dari madzhab Maliki.
Kemudian beliau menukil salah satu wajah madzhab Syafi’i yang lain dalam kitab yang serupa, sedangkan dalam madzhab Hambali beliau mengutip Al-mughni (Juz 8 hal. 605) dan Kasyyaf al-qinna’ (Juz 6 hal. 200).
Kesimpulan Hukum Ganja untuk Kepentingan Medis
Demikianlah penjelasan ulama’ fikih, karena ini berkaitan dengan kedokteran, maka ilmuwan dokter juga berperan penting dalam pemberlakuan hukum ini. Yakni jika dalam pandangan mereka belum ada obat yang bisa mengobati anaknya, maka boleh memakai ganja.
Namun, jika ada obat yang mubah untuk dikonsumsi, dan sifat efektivitasnya sama dengan ganja, maka ia harus memakai obat tersebut terlebih dahulu. Namun jika sifatnya hanya sebatas efektifitas saja, tentunya ganja tidak masuk pada konteks darurat dalam fikih.
Dengan demikian, penggunaan hukum ganja hanya untuk kepentingan dalam kondisi-kondisi tertentu, termasuk medis sebagaimana yang telah jelas di atas. Sebagai kesimpulan, ganja untuk medis hukumnya boleh, dengan beberap persyaratan tertentu. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Saat melaksanakan ibadah haji, jamaah pasti akan mengunjungi Kota Madinah. Setelah tinggal selama 8-9 hari di Madinah, baru jamaah haji menuju Makkah. Saat berkunjung ke Madinah, satu tempat yang paling penting di kunjungi adalah Masjid Nabawi di mana terdapat makam Rasulullah SAW.
Namun, saat akan ziarah ke Kota Madinah, ada beberapa adab yang perlu diketahui jamaah. Di antaranya, hendaknya memperbanyak shalawat.
Seperti dijelaskan dalam buku Haji: Rahasia dan Keutamaannya terjemahan dari kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjelaskan saat ingin berziarah ke Madinah, hendaklah dalam perjalanannya memperbanyak shalawat kepada Rasulullah SAW. Apabila pandangan matanya melihat dinding dan pepohonan di Madinah, hendaklah dia membaca doa,
Allahumma haadzaa haraamu rasuulila waj’alhu waqaayatan minan naari wa amanatan minal ‘adzaabi wa suu’al hisaabi.
Artinya: “Ya Allah, Tuhanku, inilah Tanah Suci Rasul-Mu Muhammad SAW, maka jadikanlah dia (Rasul) penyelamat bagiku dari neraka dan penyelamat dari azab dan hisab yang jelek.”
Selain itu, menurut al-Ghazali, saat memasuki Mandinah hendaklah umat Islam merendahkan diri (tawadhu) seraya mengagungkan Madinah dan membaca doa berikut:
بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا
Artinya: “Dengan nama Allah dan atas nama agama Rasulullah SAW, ya Tuhanku, masukkanlah aku pada tempat masuk yang benar dan keluarkanlah aku pada tempat keluar yang benar dan turunkanlah kepadaku pertolongan dari-Mu.”
Setelah itu, jamaah hendaknya masuk ke dalam masjid dan mengerjakan sholat dua rakaat, lalu datang ke makam Rasulullah SAW dan berhenti di sisi muka atau kepala Rasulullah SAW antara makam dan tiang, serta menghadap kiblat.
Kemudian, hendaklah jamaah mengagungkan dan memuji-muji Allah SWT serta memperbanyak shalawat kepada Nabi SAW sebagaimana seharusnya. Lalu, jamaah datang ke ar-Raudhah, yaitu suatu tempat di antara mimbar dan makam Nabi SAW di dalam Masjid Madinah. Kemudian, di sana mengerjakan sholat dua rakaat dan berdoa.
Rasulullah SAW bersabda, “Tempat yang berada di antara makamku dan mimbarku adalah salah satu taman (Raudhah) surgawi, dan mimbarku berada di atas telagaku.”
Selanjutnya, jamaah disunnahkan datang ke Bukit Uhud pada Kamis, lalu berziarah kepada para syuhada di pekuburan Baqi’. Kemudian, disunnahkan pula datang ke Masjid Quba’ setiap Sabtu dan melaksanakan sholat di dalamnya.
Kemudian, setelah semuanya dijalankan dan akan keluar dari Madinah, maka seharusnya jamaah mendatangi lagi makam Rasulullah SAW dan mengulangi doa ziarah kepada-Nya seperti yang telah Imam Ghazali jelaskan sebelumnya.
Suhu panas dan kelembaban yang rendah selain menyebabkan dehidrasi, juga membuat kulit kering dan pecah-pecah. Kondisi kulit kering dapat menimbulkan rasa tidak nyaman bahkan dapat menyebabkan terjadinya penyakit.
Dokter spesialis dermatologi dan venereologi KKHI Makkah, Milany Harirahmawati mengatakan, penyakit kulit yang sering terjadi pada jamaah haji di antaranya xerosis kutis, dermatitis atopik, dan selulitis. Penyakit kulit ini, kata dia dapat dicegah dengan senantiasa menjaga kesehatan kulit antara lain dengan menjaga kelembabannya.
Milany menjelaskan xerosis kutis ciri-cirinya kulit teraba kasar, kering, terlihat bersisik dan pecah-pecah. Jika jamaah mengalami gejala ini maka segera perhatikan kembali intake cairan, mengoleskan pelembab dan selalu menggunakan alat pelindung diri dari paparan sinar matahari langsung.
“Jamaah disarankan senantiasa memperhatikan tiga hal ini untuk menjaga kesehatan kulitnya selama di tanah suci,” kata Milany Harirahmawati seperti dilaporkan Republika, Jumat (1/7/2022).
Sementara itu dermatitis atopik, kata Milany adalah kelainan kulit yang didasari oleh adanya riwayat atopi atau alergi. Jika jamaah mengalami kasus seperti ini maka yang harus dilakukan adalah, selain menggunakan pelembab, diberikan juga zat yang bersifat anti inflamasi.
“Anti inflamasi ini untuk mengurangi rasa gatal akibat pelepasan histamin dari dalam tubuh yang mengalami alergi,” katanya.
Milany menyarankan, jamaah haji tidak membiarkan kulitnya kering, agar tidak terjadi luka pada kulit yang berakibat timbulnya selulitis. Selulitis merupakan peradangan jaring sub kutis akibat infeksi bakteri.
“Untuk itu jamaah haji terutama yang memiliki risiko tinggi terhadap terjadi penyakit kulit seperti penderita diabetes dan gangguan imunitas lainnya, dia harus lebih peduli dengan kesehatan kulitnya. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati,” katanya.
Penderita diabetes sering kali mengalami kondisi diabetic foot. Di mana aliran darah perifer di sekitar kaki tidak lancar, sehingga kulit kaki menjadi sensitif dan tampak kehitaman.
Apakah Anda menginginkan anak saleh? Tentu setiap orang akan menjawab iya. Semua orang tua pasti berharap anaknya menjadi anak yang saleh. Sudah barang tentu untuk mewujudkannya perlu usaha yang harus dilakukan. Berikut penjelasan Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahullah mengenai 10 kiat yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak agar menjadi anak yang saleh.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)
Ayat ini merupakan dasar penting mengenai wajibnya mendidik anak. Orang tua wajib mewujudkan pendidikan anak, yaitu mengajarkan mereka kebaikan dan menjauhkan dari perbuatan kemaksiatan sehingga tidak terjerumus ke dalam neraka. Perkara ini merupakan tanggung jawab besar bagi kedua orang tua.
Untuk bisa membantu suksesnya proses pendidikan dalam rangka mewujudkan generasi anak saleh -bi’idznillah-, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan:
Pertama: Senantiasa meminta pertolongan Allah dengan doa
Hendaknya orang tua senantiasa meminta pertolongan dengan doa agar Allah memberi hidayah, memberi kebaikan, memberikan bimbingan, serta menjauhkan dari fitnah dan keburukan pada anak-anak mereka, sehingga mereka kelak menjadi keturunan yang saleh. Bahkan, berdoa dimulai sejak sebelum sang anak lahir agar kelak setelah lahir, mereka bisa menjadi anak yang saleh.
Di antara doa yang bisa dipanjatkan adalah yang diajarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an,
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.“ (QS. Al-Furqan :25)
Begitu pula doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.“ (QS. Ash-Shaffat: 100)
“Ada tiga doa yang tidak tertolak, yaitu: (1) doa orang tua, (2) doa orang yang berpuasa, dan (3) doa seorang musafir.” (HR. Al-Baihaqi, shahih)
Maka, orang tua hendaknya senantiasa mendoakan kebaikan untuk anaknya. Para orang tua perlu waspada, jangan sampai mendoakan keburukan untuk anak-anaknya, karena doa orang tua mustajab. Sebagian orang tua karena terlalu emosi terkadang mendoakan kejelekan untuk anak-anaknya. Yang seperti ini harus dihindari karena doa orang tua adalah doa yang mustajab untuk anaknya.
Mari perbanyak doa kebaikan untuk anak kita, karena ini merupakan modal utama untuk mewujudkan keturunan yang saleh.
Kedua: Menjadi teladan yang baik
Orang tua hendaknya semangat untuk menjadi teladan yang baik bagi para anaknya. Berusaha untuk terus memperbaiki diri dengan melaksanakan kewajiban dan perintah agama, menjaga dari perbuatan kemaksiatan, serta berhias diri dengan akhlak mulia. Umumnya anak akan meniru orang tuanya, dia akan melihat dan mencontoh perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya. Sudah merupakan tabiat anak, akan mencontoh orang terdekat yang ada di rumahnya, yaitu kedua orang tuanya. Oleh karena itu, kedua orang tua harus menjadi teladan yang baik di dalam rumahnya. Yang paling penting, orang tua harus bisa menjadi contoh dalam menjalankan kewajiban agama, melaksanakan ibadah, dan meninggalkan berbagai kemaksiatan.
Ketiga: Membutuhkan kesabaran
Dalam mendidik anak, kita perlu bersungguh-sungguh dan membutuhkan kesabaran. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mengerjakan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.“ (QS. Thaha: 132)
Kesabaran ini dibutuhkan dalam setiap kondisi. Sabar dalam menghadapi perilaku anak yang beragam, yang terkadang melakukan kesalahan. Hendaknya orang tua maklum dan memaafkan kesalahan anak sambil tetap menasihatinya. Allah Ta’ala berfirman,
“Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.“ (QS. Al-A’raf : 199)
Sabar juga dibutuhkan di dalam mendidik, mengarahkan, dan menasihati setiap hari. Jika anak melakukan kebaikan, hendaknya dipuji. Jika melakukan kemungkaran, diperingatkan dan dilarang. Demikian pula, sabar ketika memerintahkan mereka untuk melakukan kewajiban atau menyuruh mereka untuk melakukan ibadah. Semua proses ini membutuhkan kesungguhan dan kesabaran.
Keempat: Menyediakan sarana kebaikan
Orang tua hendaknya menyediakan sarana yang bermanfaat bagi anak. Di zaman ini, banyak terdapat wasilah kerusakan, namun banyak juga sarana yang tidak ada sebelumnya yang bisa memberikan manfaat. Sebagaimana terdapat banyak sarana kejelekan, banyak pula sarana menuju kebaikan seperti kaset, video, buku-buku, dll yang mendidik dan bermanfaat. Melalui sarana yang ada, anak bisa menonton dan mendengarkan pengajian atau acara yang bermanfaat.
Kelima: Menjauhkan dari sarana yang merusak
Orang tua harus senantiasa bertakwa kepada Allah dengan menjauhkan anak dari sarana-sarana kejelekan. Di antaranya adalah kejelekan dari dampak internet yang bisa membinasakan dan merusak. Jika terpaksa menggunakan untuk beberapa kondisi tertentu, maka harus dipantau dan diawasi dengan baik. Hal ini karena di dalam dunia maya, banyak terdapat syubhat yang merusak pemikiran dan syahwat yang merusak agama.
Keenam: Memilihkan teman yang baik
Semangat dalam mengarahkannya untuk memilih teman bergaul yang baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat, siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud, shahih)
Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang peran dan dampak teman bergaul dalam sabda beliau,
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk adalah ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau Engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Kalau pun tidak, Engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Kalau pun tidak, Engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Teman akan berpengaruh pada seseorang. Maka, penting di sini memilih teman bergaul yang baik untuk membantunya mendapatkan manfaat bagi masalah dunia ataupun akhiratnya. Hati-hati, jangan sampai anak-anak berteman dengan temen jelek yang bisa merusak.
Ketujuh: Ingatlah bahwa mendidik anak adalah kewajiban orang tua yang akan ditanya di akhirat
Ingatlah wahai ayah ibu, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab agama yang akan ditanya dan dihisab oleh Allah. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أدب ابنك فإنك مسئول عنه
“Didiklah anakmu karena Engkau akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.“
Setiap orang tua akan ditanya tentang apa yang diajarkan kepada anak-anaknya. Orang tua akan ditanya tentang apa yang sudah dilakukan untuk mendidik anak-anaknya.
Kedelapan: Mencontoh generasi saleh terdahulu dalam mendidik anak
Membaca kisah orang saleh terdahulu tentang bagaimana mereka mendidik anak-anak mereka. Barangsiapa yang membaca kisah mereka, maka dia akan mendapati metode yang bagus mengenai bagaimana mereka mendidik, mengarahkan, dan menasihati anak untuk senantiasa berada di jalan ketaatan kepada Allah. Hal ini akan membantu kita untuk mendidik anak menjadi generasi saleh. Contoh terbaik tentu adalah para nabi kemudian orang-orang saleh terdahulu.
Kesembilan: Jangan terburu-buru menginginkan hasil baik
Jangan terburu-buru menginginkan hasil yang baik. Dalam mendidik anak, perlu proses yang panjang dan berulang-ulang. Apabila ada kemungkaran, perlu nasihat berulang-ulang. Terkadang dinasihati sekali, dua kali, tiga kali, bahkan lebih. Jangan putus asa untuk terus menasihati anak. Hendaknya menasihati dengan sabar, lemah lembut, dan dengan pandangan kasih sayang.
Problem yang banyak terjadi, orang tua menginginkan segala sesuatunya terjadi secara instan. Mereka tidak sabar dalam mengarahkan anak dan bersikap keras serta sering marah kepada mereka ketika anak melakukan kesalahan. Dampaknya justru terkadang anak membuat kesalahan yang lebih besar lagi. Namun, apabila orang tua menasihatinya dengan lemah lembut, bersikap sabar, maka dengan izin Allah akan membuahkan hasil yang baik.
Kesepuluh: Memperhatikan masalah salat
Hendaknya orang tua menaruh perhatian yang besar tentang salat dan benar-benar menjaganya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,