Mimpi Maroko Terhenti di Piala Dunia, Tak Ada Air Mata, Hanya Kebanggaan

RABU malam di Stadion Al Bayt adalah perpanjangan dari mimpi Maroko.

Penggemar di seluruh dunia, dan bukan hanya orang Maroko, menekan tombol untuk membiarkan mimpi itu bertahan sedikit lebih lama, memperpanjangnya di menit-menit ekstra.

Maroko, walaupun kalah dari Prancis, telah melampaui ekspektasi dengan mencapai semifinal Piala Dunia di Qatar 2022, mengalahkan Belgia, Kanada, Spanyol, dan Portugal. Wow, keren ya!

Pada Rabu malam itu, antara mereka dan Argentina di Stadion Lusail, berdiri raksasa sepak bola dunia lainnya: pemenang dua kali Piala Dunia sekaligus juara bertahan, Prancis – bisa dibilang ujian terbesar, paling keras dan paling benar apakah Qatar 2022 adalah mimpi atau kenyataan bagi Maroko.

Sejak mengalahkan Belgia, Maroko masuk slot 16 besar. Harapan tumbuh ketika mereka mengalahkan Spanyol. Fantasi berubah menjadi keyakinan setelah mengalahkan Portugal.

BACA JUGA: Pelatih dan 5 Pemain Timnas Maroko yang Bikin Melting Warganet

Tetapi pada hari Rabu di Stadion Al Bayt itu mimpi itu tidak terwujud seperti yang diinginkan Maroko.

Di lapangan, Prancis memastikan Al-Maghribi tidak akan finis lebih tinggi daripada posisi ketiga di Piala Dunia.

“Ini sepak bola, begitulah cara kerjanya,” kata Fatima, seorang pendukung Maroko, setelah kalah 2-0 oleh Les Bleus. “Tapi kami sangat bangga dengan tim. Sepak bola Maroko telah berubah total sekarang. Ini bukan kekalahan. Kami adalah pemenang.”

Saat peluit akhir dibunyikan, tim di lapangan terbelah. Prancis merayakan kemenangan mereka ke final kedua kalinya secara berturut-turut. Maroko, sementara itu, tenggelam dalam kemuliaan, rasa hormat, dan ketinggian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Teriakan “Maroko, Maroko” dan “go, go” terdengar dari tribun, meski tidak serempak seperti pertandingan sebelumnya. Mayoritas supporter dalam balutan merah dan hijau tetap kembali, bertepuk tangan kepada para pemain yang melakukan sujud syukur terakhir dalam doa di lapangan.

“Bangga, bangga, bangga. Itulah yang saya rasakan saat ini,” kata Amine, pendukung Maroko lainnya. “Kami membuat sejarah, kami tim yang masih muda dan sekarang kami memiliki ambisi untuk Piala Dunia di masa depan. Kami tidak akan menyerah sekarang. Ini adalah perubahan pola pikir, ada mentalitas pemenang yang ditanamkan pada para pemain, tim, dan negara. Ini akan mengubah generasi masa depan kami.”

Bagi Youssra, penampilan lah yang utama dan bukan hasil di lapangan yang membuatnya menangis.

“Saya agak emosional tetapi tidak kecewa,” katanya. “Sejauh ini luar biasa. Kami sangat senang dan sangat bangga. Kami telah membuat sejarah. Kami adalah pejuang. Kami mendukung para pemain sampai akhir, apa pun yang terjadi.”

Namun bagi Shaima yang merupakan kelahiran Prancis, kemenangan Tim Ayam Jantan adalah sesuatu yang pahit.

“Orang tua saya berasal dari Maroko jadi saya mendukung Maroko malam ini. Mereka melakukan sesuatu yang hebat. Mereka menunjukkan kepada dunia bahwa tim dari Afrika benar-benar dapat mencapai sesuatu yang hebat.”

Maroko akan kembali untuk satu pertandingan terakhir pada hari Sabtu di playoff perebutan tempat ketiga melawan Kroasia, tim yang juga merajut dongeng di Qatar 2022.

Bagi sebagian besar orang Maroko, menang atau kalah pada hari Sabtu nanti tidak akan menghilangkan “mimpi”.

“Kami sangat, sangat bangga dengan negara kami,” kata Lamia. “Tidak seorang pun dari kami dapat bermimpi bahwa tim kami akan mencapai semifinal Piala Dunia. Kami benar-benar ingin memenangkan tempat ketiga tetapi tidak apa-apa jika itu tidak terjadi. Kami telah melakukan lebih daripada apa yang dapat kami bayangkan.”

Masih akan ada teriakan semangat di dalam Stadion Internasional Khalifa, dengan semangat baru dan harapan kebuntuan melawan lawan yang sama di bulan November. Go go, Maroko! []

SUMBER: AL JAZEERA / ISLAMPOS

Fikih Haji (8): Kesalahan-Kesalahan Seputar Haji

KESALAHAN-KESALAHAN SEPUTAR HAJI

Kesalahan ketika ihram

  1. Melewati miqot tanpa berihram seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji Indonesia dan baru berihram ketika di Jeddah.
  2. Keyakinan bahwa disebut ihram jika telah mengenakan kain ihram. Padahal sebenarnya ihram adalah berniat dalam hati untuk masuk melakukan manasik.
  3. Wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas meninggalkan ihram karena menganggap ihram itu harus suci terlebih dahulu. Padahal itu keliru. Yang tepat, wanita haidh atau nifas  boleh berihram dan melakukan manasik haji lainnya selain thawaf. Setelah ia suci barulah ia berthawaf tanpa harus keluar menuju Tan’im atau miqot untuk memulai ihram karena tadi sejak awal ia sudah berihram.

Kesalahan dalam thawaf

  1. Membaca doa khusus yang berbeda pada setiap putaran thawaf dan membacanya secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pemandu. Ini jelas amalan yang tidak pernah diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Melakukan thawaf di dalam Hijr Isma’il. Padahal thawaf harus dilakukan di luar Ka’bah, sedangkan Hijr Isma’il itu berada dalam Ka’bah.
  3. Melakukan roml pada semua putaran. Padahal roml hanya ada pada tiga putaran pertama dan hanya ada pada thawaf qudum dan thawaf umrah.
  4. Menyakiti orang lain dengan saling mendorong dan desak-desakan ketika mencium hajar Aswad. Padahal menyium hajar Aswad itu sunnah (bukan wajib) dan bukan termasuk syarat thawaf.
  5. Mencium setiap pojok atau rukun Ka’bah. Padahal yang diperintahkan untuk dicium atau disentuh hanyalah hajar Aswad dan rukun Yamani.
  6. Berdesak-desakkan untuk shalat di belakang makam Ibrahim setelah thawaf. Padahal jika berdesak-desakkan boleh saja melaksanakan shalat di tempat mana saja di Masjidil Haram.
  7. Sebagian wanita berdesak-desakkan dengan laki-laki agar bisa mencium hajar Aswad. Padahal ini adalah suatu kerusakan dan dapat menimbulkan fitnah.

Kesalahan ketika sa’i

  1. Sebagian orang ada yang meyakini bahwa sa’i tidaklah sempurna sampai naik ke puncak bukit Shafa atau Marwah. Padahal cukup naik ke bukitnya saja, sudah dibolehkan.
  2. Ada yang melakukan sa’i sebanyak 14 kali putaran. Padahal jalan dari Shafa ke Marwah disebut satu putaran dan jalan dari Marwah ke Shafa adalah putaran kedua. Dan sa’i akan berakhir di Marwah.
  3. Ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah sambil bertakbir seperti ketika shalat. Padahal yang disunnahkan adalah berdoa dengan memuji Allah dan bertakbir sambil menghadap kiblat.
  4. Shalat dua raka’at setelah sa’i. Padahal seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
  5. Tetap melanjutkan sa’i ketika shalat ditegakkan. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah melaksanakan shalat jama’ah terlebih dahulu.

Kesalahan di Arafah

  1. Sebagian jamaah haji tidak memperhatikan batasan daerah Arafah sehingga ia pun wukuf di luar Arafah.
  2. Sebagian jamaah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam. Yang wajib bagi yang wukuf sejak siang hari, ia diam di daerah Arafah sampai matahari tenggelam, ini wajib. Jika keluar sebelum matahari tenggelam, maka ada kewajiban menunaikan dam karena tidak melakukan yang wajib.
  3. Berdesak-desakkan menaiki bukit di Arafah yang disebut Jabal Rahmah dan menganggap wukuf di sana lebih afdhol. Padahal tidaklah demikian. Apalagi mengkhususkan shalat di bukit tersebut, juga tidak ada dalam ajaran Islam.
  4. Menghadap Jabal Rahmah ketika berdo’a. Padahal yang sesuai sunnah adalah menghadap kiblat.
  5. Berusaha mengumpulkan batu atau pasir di Arafah di tempat-tempat tertentu. Seperti ini adalah amalan bid’ah yang tidak pernah diajarkan.
  6. Berdesak-desakkan dan sambil mendorong ketika keluar dari Arafah.

Kesalahan di Muzdalifah

  1. Mengumpulkan batu untuk melempar jumroh ketika sampai di Muzdalifah sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’. Dan diyakini hal ini adalah suatu anjuran.  Padahal mengumpulkan batu boleh ketika perjalanan dari Muzdalifah ke Mina, bahkan boleh mengumpulkan di tempat mana saja di tanah Haram.
  2. Sebagian jama’ah haji keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam. Seperti ini tidak disebut mabit. Padahal yang diberi keringanan keluar dari Muzdalifah adalah orang-orang yang lemah dan itu hanya dibolehkan keluar setelah pertengahan malam. Siapa yang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam tanpa adanya uzur, maka ia telah meninggalkan yang wajib.

Kesalahan ketika melempar jumroh

  1. Saling berdesak-desakkan ketika melempar jumroh. Padahal untuk saat ini lempar jumroh akan semakin mudah karena kita dapat memilih melempar dari lantai dua atau tiga sehingga tidak perlu berdesak-desakkan.
  2. Melempar jumroh sekaligus dengan tujuh batu. Yang benar adalah melempar jumroh sebanyak tujuh kali, setiap kali lemparan membaca takbir “Allahu akbar”.
  3. Di pertengahan melempar jumroh, sebagian jama’ah meyakini bahwa ia melempar setan. Karena meyakini demikian sampai-sampai ada yang melempar jumroh dengan batu besar bahkan dengan sendal. Padahal maksud melempar jumroh adalah untuk menegakkan dzikir pada Allah, sama halnya dengan thawaf dan sa’i.
  4. Mewakilkan melempar jumroh pada yang lain karena khawatir dan merasa berat jika mesti berdesak-desakkan. Yang benar, tidak boleh mewakilkan melempar jumroh kecuali jika dalam keadaan tidak mampu seperti sakit.
  5. Sebagian jama’ah haji dan biasa ditemukan adalah jama’ah haji Indonesia, ada yang melempar jumrah di tengah malam pada hari-hari tasyrik bahkan dijamak untuk dua hari sekaligus (hari ke-11 dan hari ke-12).
  6. Pada hari tasyrik, memulai melempar jumroh aqobah, lalu wustho, kemudian ula. Padahal seharusnya dimulai dari ula, wustho lalu aqobah.
  7. Lemparan jumroh tidak mengarah ke jumroh dan tidak jatuh ke kolam. Seperti ini mesti diulang.

Kesalahan di Mina

  1. Melakukan thawaf wada’ dahulu lalu melempar jumrah, kemudian meninggalkan Makkah. Padahal seharusnya thawaf wada menjadi amalan terkahir manasik haji.
  2. Menyangka bahwa yang dimaksud barangsiapa yang terburu-buru maka hanya dua hari yang ia ambil untuk melempar jumrah yaitu hari ke-10 dan ke-11. Padahal itu keliru.  Yang benar, yang dimaksud dua hari adalah hari ke-11 dan ke-12. Jadi yang terburu-buru untuk pulang pada hari ke-12 lalu ia ia melempar tiga jumrah setelah matahari tergelincir dan sebelum matahari tenggelam, maka tidak ada dosa untuknya.

Kesalahan ketika Thawaf Wada’

  1. Setelah melakukan thawaf wada’, ada yang masih berlama-lama di Makkah bahkan satu atau dua hari. Padahal thawaf wada’ adalah akhir amalan dan tidak terlalu lama dari meninggalkan Makkah kecuali jika ada uzur seperti diharuskan menunggu teman.
  2. Berjalan mundur dari Ka’bah ketika selesai melaksanakan thawaf wada’ dan diyakini hal ini dianjurkan. Padahal amalan ini termasuk bid’ah.

Demikian beberapa penjelasan haji yang bisa kami ulas dalam tulisan yang sederhana ini.

Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai disusun di Ummul Hamam, Riyadh KSA

5 Dzulhijjah 1432 H (1 hari sebelum safar ke Mina)

Referensi Kitab

  1. Al Hajj Al Muyassar, Sholeh bin Muhammad bin Ibrahim As Sulthon, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H.
  2. Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, sumber dari Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman sesuai cetakan).
  3. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islam Kuwait.
  4. Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Muassasah Al Amiyah Al ‘Anud.
  5. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi-Beirut, cetakan kedua, 1392 H.
  6. Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr-Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
  7. An Nawazil fil Hajj, ‘Ali bin Nashir Asy Syal’an, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1431 H.
  8. Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, Majalah Al Bayan, terbitan 1429 H.
  9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
  10. Mursyid Al Mu’tamir wal Haaj waz Zaair fii Dhouil Kitab was Sunnah, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan ketiga, 1418 H.
  11. Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, 1422 H.
  12. Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blansia, cetakan pertama, 1424 H.
  13. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Maktabah At Taufiqiyah.
  14. Shifatul Hajj wal ‘Umrah, terbitan bagi pengurusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cetakan keduabelas, 1432 H.
  15. Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1424 H.

Referensi Buku Indonesia

  1. Meneladani Manasik Haji dan Umrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, terbitan Pustaka Imam Asy Syafi’i, cetakan ketiga, 1429 H.

Referensi Mawqi’

  1. Mawqi’ Islam Web:

http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=58685

  1. Mawqi’ resmi Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz : http://www.binbaz.org.sa/mat/3737
  2. Mawqi’ Dorar.net:

http://www.dorar.net/art/379

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10209-fikih-haji-8-kesalahan-kesalahan-seputar-haji.html

Di Balik Musibah yang Menimpa

Musibah merupakan suatu fenomena yang sering kita dengar, bahkan telah akrab di telinga kita dalam beberapa waktu terakhir ini, khususnya di bumi pertiwi. Musibah tersebut berupa gempa bumi, banjir, dan erupsi. Banyak pihak yang mengklaim bahwa musibah ini terjadi karena adanya ini dan itu. Namun, bagaimanakah Islam memandang musibah, apa penyebab, serta apa hikmahnya?

Sebab datangnya musibah

Hendaklah diketahui oleh setiap orang yang beriman bahwa musibah yang datang merupakan bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepadanya. Ujian tersebut dapat meninggikan derajat seorang muslim di sisi Allah. Bahkan bila ia bersabar, hal itu dapat menggugurkan dosa-dosanya. Ujian yang berat akan dibalas dengan pahala yang besar pula.

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian. Dan jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamjuga bersabda,

فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ

“Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398)

Musibah-musibah yang terjadi adalah akibat dosa-dosa yang diperbuat anak Adam. Dengan adanya musibah ini, semoga kita semakin ingat kepada Allah dan kembali bertobat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, tobat).” (QS. Ar Rum: 41)

Semua orang pasti diuji

Ujian itu tak pandang bulu, entah ia kaya atau miskin, tua atau muda, semua pasti sedang atau akan mendapatkan ujiannya masing-masing. Bentuk ujian pun bermacam-macam, dapat berupa kesulitan atau kelapangan. Setiap hamba akan kembali kepada Allah Ta’ala untuk dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, apakah dia bisa bersabar dengan ujian yang diberikan atau dia malah kufur kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Ujian tak hanya berupa musibah, ada yang diuji dengan himpitan finansial, kekerasan dalam rumah tangga, dan berbagai macam ujian. Jadi, kita sebagaimana manusia yang lain, juga ditimpa musibah atau ujian yang beraneka ragam. Bisa jadi ujian yang dialami orang lain lebih berat dan lebih besar.

Musibah yang kita alami sekarang tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan musibah yang dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para nabi sebelumnya. Dari Mush’ab bin Sa’id (seorang tabi’in) dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ

Para Nabi, kemudian yang semisalnya, dan semisalnya lagi …(HR. Tirmidzi no. 2398)

BACA JUGA: Tauhid dan Terangkatnya Musibah

Kamu mampu, ujian ini akan menumbuhkan banyak kebaikan

Terkadang musibah yang melanda bisa mendatangkan banyak kebaikan. Selain dapat meninggikan derajat dan menghapus dosa, ujian yang hadir menyadarkan kita akan lemahnya diri ini dan butuhnya kita terhadap Allah Ta’ala. Ada juga yang tersadarkan bahwa kebanggaan (ujub) terhadap harta dunia yang ia miliki tiba-tiba sirna dalam sekejap mata.

Maka, yakinlah saudaraku, bahwa di balik ujian dan musibah yang menimpamu, ada kebaikan dan hikmahnya. Bahkan, sekiranya ujian tersebut tidak datang, bisa jadi kondisimu akan lebih buruk. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 216)

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,

فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Maka mungkin kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa: 19)

Tak ada kegembiraan sempurna, kecuali di akhirat

Dunia adalah tempatnya ujian dan cobaan. Tidak ada manusia yang hidup terlepas dari keduanya. Selama kita masih hidup di dunia, maka kita harus bersiap dengan segala ujian yang menghadang. Maka, bersabarlah saudaraku, tiada istirahat yang paripurna dan tidak ada kegembiraaan yang sempurna, melainkan hanya di akhirat kelak.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81330-di-balik-musibah-yang-menimpa.html

Doa Memohon Ampun dari Setiap Kesalahan

Dalam menjalani hidup terkadang seseorang tak sadar telah melanggar syariat agama.

Dalam menjalani hidup terkadang seseorang tak sadar telah melanggar syariat agama. Itu terjadi karena kurangnya ilmu yang dilatarbelakangi kemalasan menuntut ilmu sehingga diri diliputi dengan kebodohan. 

Terkadang seseorang juga terlalu berlebih-lebihan dalam suatu perkara sehingga mengabaikan amal lainnya. Misalnya seseorang berlebih-lebihan dalam menggunakan waktunya sehari-hari untuk beribadah dan iktikaf di masjid, sementara anak dan istinya ditelantarkan.

Atau seseorang yang berlebih-lebihan menggunakan waktunya seharian penuh untuk bekerja namun mengabaikan sholat yang menjadi kewajibannya sebagai hamba. Bahkan kadang seseorang terlalu berlebihan bercanda dengan saudaranya, hingga tak sadar telah menyinggung atau menyakiti saudaranya dengan candanya itu.  

Maka sebagai seorang Muslim hendaknya tak luput untuk terus bermuhasabah atas setiap perbuatan yang telah dilakukan. Bila terdapat kesalahan kepada sesama makhluk hendaknya untuk segera meminta maaf dan keridhaannya.

Dan teruslah memohon ampun kepada Allah dari setiap kesalahan yang telah diperbuat. Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa pada umatnya agar Allah mengampuni setiap kesalahan. Berikut doanya. 

Doa Memohon Ampun dari Setiap Kesalahan 

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي هَزْلِي وَجِدِّي وَخَطَايَايَ وَعَمْدِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي

Allahummagfirli khothiatiy wa jahliy wa isrofiy amriy wa maa anta a’lamu bihi minniy. Allahummaghfirliy hazliy wajidiy wa khothooyaaya wa ‘amdiy wa kulli dzalika ‘indiy

“Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan-kesalahanku, kebodohanku, perbuatanku yang melampaui batas di setiap urusanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku, canda tawaku, kesungguhanku, kesalahanku, kesengajaanku dan setiap perkara yang ada padaku.”

Doa ini terdapat pada hadits nabi Muhammad SAW yang dapat ditemukan pada kitab Sahih Bukhari nomor hadits 5920 versi Al alamiyah atau nomor 6399 versi fathul bari.

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa dan Dzikir Agar Bebas dari Lilitan Utang Sesuai Tuntunan Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad mengajarkan doa agar bebas dari utang.

Suatu ketika Abu Umamah, salah seorang sahabat dari Anshar, duduk termenung di masjid di luar waktu sholat dengan tatapan mata yang kosong jauh menerawang. Kemudian, tidak beberapa lama, Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam masjid dan menghampiri Abu Umamah.  

Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Umamah, aku melihatmu duduk di masjid di luar waktu shalat, apa yang terjadi denganmu?” Abu Umamah menjawab, “Ya Rasulullah, saat ini aku dalam kesulitan membayar utang.” 

Nabi Muhammad berkata, “Aku akan mengajarkanmu beberapa perkataan positif, jika engkau mengucapkannya, mudah-mudahan Allah SWT akan menghilangkan segala kesulitanmu dan melunasi utang-utangmu. Bacalah doa ini pada pagi dan sore hari.” 

Doa bebas dari utang

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ 

Kemudian, Rasulullah SAW melafazkan doa, “Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazani wa a’udzu bika minal ‘ajzi wal kasali wa a’udzu bika minal jubni wal bukhli wa a’udzu bika min ghalabatid daini waqahrir rijal.” 

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.  

Menurut pengakuan Abu Umamah RA, setelah ia mengamalkan dan membaca doa yang diajarkan Nabi tersebut, Allah menghilangkan kebingungan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, ketakutan, dan utang-utangnya dapat dilunasi. (HR Abu Daud).

Di samping mengamalkan dan membaca doa yang diajarkan Rasulullah SAW ini, ketika seseorang diterpa banyak masalah, dirundung kegundahan, dan impitan hidup, Rasulullah SAW juga mengajarkan dzikir, sebagai berikut.

Dzikir agar bebas dari utang dan saat diterpa masalah

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

“Hasbunallah wani’mal-wakil, ni’mal-mawla, wani’man-nashir.”

Artinya: Cukuplah Allah tempat berserah diri bagi kami, sebaik-baik pelindung kami, dan sebaik-baik penolong kami.

Sebagaimana terdapat dalam hadits bahwa ketika seseorang datang menghampiri Nabi lalu berkata, “Rasulullah, sesungguhnya orang-orang non-Muslim telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangmu, maka takutlah kepada mereka. Kemudian, Nabi SAW mengucapkan, ‘Hasbunallah wani’mal-wakil.‘”

Setelah kejadian ini, Allah menurunkan surah Ali Imran (3) ayat 173: 

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًا ۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“Ketika seseorang berkata kepada Rasulullah, orang-orang Quraisy telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, ternyata ucapan itu justru menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.'” (HR Bukhari).

Oleh karenanya, seorang Muslim dianjurkan selalu melibatkan Allah dalam mengatasi kegundahan hidup yang dihadapi. Bukankah Allah menjanjikan: 

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا 

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا 

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS asy-Syarh [94]: 5-6)

KHAZANAH REPUBLIKA

Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya

Makna nama Allah As-Sittiir

Di antara nama Allah adalah As-Sittiir. Nama ini terdapat penetapannya dalam hadis yang shahih, dikisahkan oleh sahabat Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ بِلاَ إِزَارٍ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ 

 إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ  

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang mandi di tempat terbuka tanpa mengenakan kain  penutup. Beliau pun naik mimbar, lalu memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Hayiyun (Yang Mahamalu), Sittir (Yang Maha Menutupi). Allah mencintai sifat malu dan sifat menutupi. Jika seseorang di antara kalian mandi, maka hendaklah dia menutupi dirinya dari pandangan orang lain.“ (HR. Abu Dawud, shahih)

Kata  (سِتِّيرٌ) bisa dibaca dengan mengkasrah huruf sin dan huruf ta’ dikasrah dengan tasydid (As-Sittiir) atau bisa dibaca juga dengan  memfathah huruf sin dan mengkasrah huruf ta’ tanpa tasdid (As-Satiir).

Al-Baihaqi rahimahullah menjelaskan, “Allah As-Sittiir (سِتِّيرٌ) maksudnya adalah Dia banyak menutupi aib hamba-hamba-Nya dan tidak menampakkannya di hadapan manusia lain. Demikian pula, Allah Ta’ala menyukai para hamba yang menutup aib mereka sendiri dan meninggalkan hal-hal yang menghinakan dirinya sendiri. Allahu a’lam.“ (Dinukil dari An-Nahju Al-Asmaa’)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan makna nama Allah ini dalam bait-bait Nuniyyah-nya,

وَهُوَ الْحَيِيُّ فَلَيْسَ يَفْضَحُ عَبْدَهُ      عِنْدَ التَّجَاهُرِ مِنْهُ بِالْعِصْيَانِ

لَكِنَّهُ يُلْقِي عَلَيْهِ سِتْرَهُ       فَهُوَ السِّتِّيْرُ وَصَاحِبُ اْلغُفْرَانِ

“Dan Dialah Al-Hayyu (Yang Maha Pemalu), Dia tidak akan membuka aib hamba-Nya saat hamba tersebut terang-terangan dalam bermaksiat.

Namun, Dia justru melemparkan tirai penutupnya, dan Dialah As-Sittiir (Yang Maha Menutupi) dan mampu memberikan ampunan.” (Dinukil dari An-Nahju Al-Asmaa’)

Allah tidak menyukai orang yang menampakkan kemaksiatan

Allah menyukai menutup aib hamba-Nya apabila berbuat dosa dan Allah tidak suka dengan hamba yang membeberkan aibnya sendiri. Bahkan, Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang sengaja menampakkan dan terang-terangan dalam melakukan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap ummatku dimaafkan, kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Sesungguhnya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah seseorang berbuat suatu perbuatan maksiat di malam hari kemudian di pagi harinya dia menceritakan perbuatannya tersebut, padahal Allah sendiri telah menutupinya. Dia mengatakan, ‘Hai Fulan! Tadi malam saya berbuat demikian dan demikian.’ Sepanjang malam Tuhannya telah menutupi aibnya, tetapi ketika pagi hari dia justru membuka penutup yang telah Allah tutupkan padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

“Sesungguhnya, orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19)

Allah menutup aib hamba di dunia dan di akhirat

Apabila seorang mukmin terjatuh dalam perbuatan dosa, hendaknya dia berusaha menutupinya dan tidak membeberkan aibnya. Allah Ta’ala akan menutupinya dengan sebab-sebab yang telah Dia siapkan. Setelah itu, Allah Ta’ala akan memaafkan dan mengampuninya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyalllahu ‘anhuma,

إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mendekatkan seorang mukmin kepada-Nya, lalu Allah menutupkan untuk hamba tersebut penutup-Nya. Allah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah kamu juga mengetahui dosa ini?’ Hamba itu pun mengatakan, ‘Ya, wahai Rabbku.’ Sampai kemudian ketika Allah Ta’ala meminta dia agar mengakui dosanya dan dia pun menyangka dirinya akan celaka, maka Allah Ta’ala mengatakan kepadanya, ‘Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia, dan pada hari ini Aku ampuni dosamu.’” (HR. Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga bersabda,

لاَ يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِى الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Allah menutupi dosa seorang hamba di dunia, maka Allah akan menutupinya pula pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)

Hal ini menunjukkan kabar gembira bagi orang beriman, bahwasanya barangsiapa yang Allah tutup aibnya di dunia, maka ini merupakan pertanda bahwa Dia pun akan menutup aibnya kelak di akhirat.

Jangan mengumbar aib orang lain

Selain menutup aib sendiri, hendaknya kita juga memiliki sifat agar tidak membuka dan membeberkan aib orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang hamba menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat nanti.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR Muslim)

Bahkan, Nabi secara khusus melarang untuk mencari-cari dan membuka aib orang lain sebagaimana disebutkan dalam hadis,

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتاَبوُا الـْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِـعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian berbuat ghibah kepada kaum muslimin dan janganlah mencari-cari aurat (aib) mereka! Karena siapa saja yang suka mencari-cari aib kaum muslimin, maka Allah pun akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hasan shahih)

Berdoa memohon agar Allah menutup aib kita 

Hendaknya kita pun banyak berdoa kepada Allah agar Allah menutup aib dan dosa kita. Di antara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan adalah membaca doa berikut ini sekali setiap pagi dan setiap petang,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِي، وَآمِنْ رَوْعَاتِي…

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon maaf serta keselamatan di dunia dan di akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon maaf dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga, dan harta bendaku. Ya Allah, tutupilah auratku …” (HR. Abu Dawud, shahih)

Syekh ‘Abdurrozzaq hafidzahullah menjelaskan bahwa dalam doa di atas terdapat permohonan agar aurat kita senantiasa ditutupi Allah, baik aurat yang sifatnya fisik maupun non fisik. Aurat fisik adalah bagian tubuh yang tidak boleh ditampakkan kepada orang lain. Bagi kaum wanita adalah seluruh badannya, sedangkan aurat laki-laki adalah antara lutut hingga pusar. Adapun aurat non fisik adalah aib, kekurangan, dan setiap perbuatan yang jelek apabila ditampakkan. Kita memohon agar kedua jenis aurat tersebut selalu ditutupi Allah Ta’ala.

Kita berdoa semoga Allah Ta’ala senantiasa menutup aib-aib kita dan mengampuni dosa-dosa kita.

***

Penulis: Adika Mianoki

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81266-allah-maha-menutupi-aib-hamba-nya.html

Cara Rasulullah Menahan Rasa Marah

Seorang lelaki berkata kepada Rasulullah, ”Berpesanlah kepadaku.” Lalu, Rasul bersabda, ”Jangan marah.” Beliau mengulangi perkataannya itu berkali-kali (HR Bukhari).

Ada tiga hal yang diperingatkan Allah SWT dan Rasul-Nya agar kita tidak tergelincir dalam kehinaan. Salah satunya adalah marah. Pada prinsipnya, Islam tidak melarang kita marah sebab hal itu sangat manusiawi. Dalam Islam, marah terbagi dua, tercela dan terpuji. Marah yang tercela adalah kemarahan yang lahir dari dorongan nafsu. Rasulullah melarang marah yang timbul dari nafsu sebab dapat membutakan seseorang dari kebenaran dan menjadi pemicu semua keburukan.

Rasulullah bersabda, ”Marah adalah awal segala keburukan.” (Muttafaq Alaih). Marah tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan dapat memperkeruh masalah. Pada kali lain, Rasulullah bersabda, ”Marah adalah api setan yang menyala, yang mencelakakan dan membongkar aib seseorang. Orang yang menahan marah ibarat memadamkan api dan yang membiarkannya berarti telah menyalakan api dengan kemarahan.”

Rasulullah mengajarkan beberapa hal agar dapat menahan kemarahan. Pertama, selalu melatih diri untuk menahan marah. ”Orang yang kuat bukan yang jago gulat, tetapi yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR bukhari Muslim).

Kedua, berwudhu. ”Sesungguhnya, marah itu dari setan. Setan diciptakan dari api. Api hanya bisa dipadamkan dengan air. Maka, jika salah seorang dari kamu marah, hendaklah ia berwudhu.” (HR Abu Daud).

Ketiga, jika sedang berdiri, duduklah. Jika sedang duduk, tidurlah miring. Ini untuk mendekatkan tubuh orang yang sedang marah ke tanah sehingga ia sadar akan asal penciptaannya dan merasa hina. Lalu, menahan diri dari marah sebab marah timbul dari kepongahan. Keempat, diam. Kelima, berfikir tentang keutamaan orang yang menahan amarah dan bersikap arif kepada orang lain.

Keenam, meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari tipu daya setan. Tidak semua bentuk kemarahan dilarang. Dalam kondisi tertentu, marah malah dibutuhkan dan sangat terpuji. Marah yang terpuji adalah marah yang muncul karena Allah SWT. Kemarahan umat Islam terhadap pelecehan Nabi Muhammad adalah kemarahan yang niscaya. Sebab, ia adalah ekspresi dari ghirah terhadap simbol-simbol agama dan bentuk cinta kepada Rasulullah.

Oleh: M Mahbubi Ali

IHRAM

Islam Larang Frustasi, Apalagi Bunuh Diri

Agama Islam mengajarkan bahwa bala’ (cobaan) sebagai sifat yang melekat pada diri manusia. Manusia sehebat apapun tidak bisa lepas dari cobaan selama hidup di dunia. Dunia adalah tempat cobaan sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Muluk bahwa Allah menciptakan kehidupan dan kematian adalah untuk mencoba makhluknya manakah dari mereka yang terbaik amal perbuatannya. Seandainya ada yang bisa selamat (terhindar) dari cobaan maka para Nabi adalah orang-orang yang selamat tersebut. Mereka sebaik-baik makhluk di satu sisi, dan di sisi lain paling berat cobaannya. Mereka memiliki kesadaran bahwa rumah sejati adalah rumah akhirat sebagaimana manusia tidak diciptakan kecuali untuk mencari bekal akhirat dengan beribadah kepada Allah.

Sejarah mencatat bahwa cobaan para Nabi sangat berat. Diantara mereka ada yang diuji sakit selama dua puluh tahun sampai  kehilangan istri dan anaknya, ada yang terpaksa pergi dari negaranya, ada yang didurhakai oleh istri dan anaknya, ada yang dituduh gila, ada yang dipukul dan dilukai, ada yang dipenjara, ada yang dilempar ke kubangan api, ada yang digergaji dan ada yang dibunuh. Semua ini tidak membuat mereka putus asa, frustasi dan putus misi. Mereka terus memperjuangkan misi dakwah hingga akhirnya menemukan kebahagiaan dan kemenangan.

Hal ini tidak berbeda dengan manusia yang lain. Tidak ada manusia hidup di dunia ini kecuali dia diuji dirinya, keluarganya, anaknya, hartanya, agamaya atau yang lain meskipun telah diberi kerajaan seperti Sulaiman, diberi hikmah seperti Lukman, diberi harta seperti Qarun dan sebagainya. Artinya, takdir Allah pasti terjadi dan tidak ada seorang pun yang mampu menolaknya. Terlebih bagi orang yang beriman, perjuangan hidup adalah keniscayaan. Berjuang mencari ilmu, berdakwah maupun mencari rejeki yang halal.

Oleh karena itu, Islam melarang siapapun untuk putusa asa, frustasi apalagi bunuh diri. Bunuh diri bukanlah solusi masalah. Berdo’a meminta mati kepada Allah hukumnya makruh sebab Allah telah memperluas rahmatnya bagi siapa yang bisa bersyukur. Nabi Muhammad telah memberikan contoh kesabaran di tengah kehidupan yang begitu ganas dengan tetap bersyukur sebagaimana riwayat Nabi shalat malam hingga kaki Nabi membengkak.

Selain itu, bunuh diri tidaklah menyelesaikan manusia dari penderitaan sebab kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan awal kehidupan baru yang tidak ada akhirnya. Justru orang yang bunuh diri melanjutkan siksaannya di akhirat. Dirinya akan masuk neraka Jahanam dan membunuh dirinya sendiri dengan cara yang digunakan saat bunuh diri di dunia. Siksaan akhirat, selain menyakitkan juga menghinakan.

Ilmu hikmah mengajarkan kepada setiap muslim agar bersabar, mawas diri dan ridla sehingga satu musibah tidak menjadi dua musibah, yaitu musibah dunia ditambah musibah akhirat. Pada prinsipnya, apa yang telah ditakdirkan oleh Allah kepada umat Islam adalah baik meskipun dianggap buruk. Allah memberikan cobaan bukan untuk menyiksa atau balas dendam, melainkan untuk memberikan kasih sayang atas hati yang kotor dan prilaku mereka yang buruk. Guru Besar Ilmu Hadis Universitas al-Azhar, Mesir Prof. Ibahim al-Asymawi menegaskan bahwa cobaan meskipun terasa keras dan menekan sesungguhnya adalah rahmat (kasih sayang) karena menghapus keburukan, menambah kebaikan, mengangkat derajat, mengganti sifat, merubah kebiasaan dan meningkatkan kualitas diri. Diantara tanda rahmat tersebut adalah meningkatnya rasa kasih sayang kepada sesama dan penjagaan diri dari hal-hal tercela.

Dengan demikian, sabar adalah kunci. Semua yang telah terjadi pasti akan berlalu dan rahmat Allah diberikan agar setiap mukmin mengukir masa depannya agar menjadi teladan bagi keturunan dan generasi-generasi setelahnya. Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa orang-orang sabar diberikan pahala yang tidak terhitung jumlahnya. Sedangkan berputus asa dari rahmat Allah termasuk dalam dosa besar sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf ayat 87;

“Hak anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir”.

Para ulama menyebut adanya ancaman yang begitu pedih bagi orang yang putus asa atau frustasi. Tidak sedikit orang melakukan aksi bunuh diri disebabkan oleh frustasi. Termasuk dalam hal ini frustasi dengan keadaan yang tidak sesuai harapan dan espektasi. Oleh karena itu, Islam mengajarkan resep agar selalu tenang dengan merutinkan dzikir sehingga kehidupan bisa selalu seimbang antara antara semangat ikhtiar dan spirit tawakkal, antara sikap idealis dan realistis. Keseimbangan ini mengantarkan kepada kesabaran, dan kesabaran mengantarkan kepada keberuntungan. Wallahu A’lam.

ISLAM KAFFAH

Salah Kaprah Jihad ala Teroris, Inilah Makna Jihad dalam Islam

Manusia sebagai khalifah (wakil) Tuhan di Bumi. Salah satu tugas manusia adalah untuk menciptakan tatanan kehidupan sebagaimana kehendak Tuhan atau sunnatullah. Diantara kehendak Tuhan itu adalah keragaman manusia; agama, suku, etnis, bangsa dan golongan.

Tuhan tidak menurunkan perintah kepada manusia untuk membunuh manusia yang lain karena alasan perbedaan. Yang ada hanyalah perintah untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Tegas kata, kedamaian dan kemakmuran bumi merupakan tugas inti manusia sebagai khalifah.

Akan tetapi, manusia terkadang bertindak melebihi kehendak Tuhan itu. Membunuh manusia karena berbeda agama dan keyakinan adalah perbuatan melawan kodrat Tuhan, seperti melakukan aksi bom bunuh diri. Dalam agama Islam membunuh secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at Islam hukumannya adalah dibunuh juga (qishash).

Memang ada istilah jihad dalam Islam. Akan tetapi maknanya tidak terbatas hanya perang, ia memiliki makna yang luas. Jihad dengan makna perang hanya berlaku dalam dua kondisi; ketika umat Islam diperangi karena agama dan kalau umat Islam hendak diusir dari kampung halaman atau tanah kelahiran. Oleh karena itu, penting untuk selalu membaca pengertian jihad yang benar supaya tidak menyangka kejahatan seperti bom bunuh diri adalah jihad.

Makna Jihad dalam Islam

Secara literal, jihad berasal dari jaahada, bermakna bersungguh-sungguh. Pengertian jihad dalam terminologi fikih adalah berjuang dengan bersungguh-sungguh di jalan Allah sesuai aturan syari’at Islam. Jihad memiliki tujuan untuk menegakkan dan menjag agama Allah (Islam) dengan mengikuti cara Rasulullah dan al Qur’an.

Dengan demikian, jihad memiliki pengertian yang sangat luas, seperti telah dijelaskan sebelumnya, yaitu wujud kesungguhan seorang hamba dalam menghambakan dirinya terhadap Tuhan. Tugas ini wajib dijalankan oleh setiap individu sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Tentang jihad yang bermakna perang, salah satunya adalah firman Allah: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi jangan melewati batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Al Baqarah: 190).

Syaikh Ali al Shabuni dalam tafsirnya Rawa’iul Bayan; Tafsir Ayatil Ahkam minal Qur’an menjelaskan, jihad dengan pengertian sebagai perang adalah alternatif terakhir untuk menolak atau menghilangkan kedzaliman, penganiayaan dan memberi pelajaran terhadap kelompok musyrikin yang melanggar perjanjian dengan umat Islam.

Jihad atau perang bukan untuk membunuh atau menumpas orang yang berbeda pemahaman serta keyakinan, untuk menumpahkan darah, untuk memperoleh harta rampasan, atau untuk menghancurkan suatu negara. Jihad membunuh lawan hanya berlaku di Medan perang. Apabila ada musuh yang menghindar dari medan perang mereka tidak boleh dibunuh atau diperangi.

Dalam al Qur’an: “Oleh sebab itu, barang siapa menyerang kalian, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kalian. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (Al Baqarah: 194)

Sekalipun dalam kondisi tertentu Islam mewajibkan jihad sebagai alternatif terakhir karena darurat, namun jihad tersebut harus dilakukan dengan tetap memperhatikan kerahmatan dan kasih sayang ajaran Islam. Karenanya, Islam melarang membunuh perempuan, anak-anak, lansia, orang sakit dan pendeta.

Kesimpulannya, jihad dengan konotasi perang hanya berlaku untuk dua kondisi; ketika diserang karena agama dan ketika musuh bermaksud mengusir umat Islam dari tanah kelahirannya. Ketika terjadi perang ada aturan yang harus dipatuhi oleh tentara Islam, yakni tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, lansia, orang sakit dan tidak boleh menebang pohon kurma. Musuh yang menyerah tidak boleh dibunuh dan aturan-aturan lainnya.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa bom bunuh diri sangat jauh dari makna jihad yang sebenarnya. Sebaliknya, merupakan tindakan kejahatan kemanusiaan yang tidak diajarkan dalam agama Islam. Naif kalau beranggapan, apalagi sampai menjadi pelaku bom bunuh diri, sebab hal itu merupakan dosa besar dan kekejaman.

ISLAM KAFFAH

Memberi Hadiah dalam Utang Piutang

Assalamualaiakum wr.wb ustadz , permisi saya ingin bertanya , saya ingin meminjam uang kepada si X, tetapi sebelumnya saya bilang bahwa nanti saya bayarkan lebih 200rb dari jumlah yang saya pinjam tadi . Dan 200 ribu itu tadi niatnya sebagai hadiah , apakah itu termasuk riba ? terimakasih wasalamualaiakum wr.wb

Jawaban :

Wa alaikumus salam wr wb.

Aqad pinjam-meminjam murni tidak boleh ada syarat atau pemberian lebih dari jumlah pinjaman. Pinjam meminjam adalah murni tolong menolong yang pahalanya sangat besar. Jika di dalam aqad tersebut ada tambahan disaat mengembalikan, jatuhnya menjadi riba. Walaupun niatnya adalah hadiah.

Jika peminjam membayar hutang lalu kemudian memberi hadiah sebagai bentuk terima kasih, itu boleh saja namun tidak ada perjanjian sebelumnya.

Wallahu a’lam

PUSAT KAJIAN HADIST