UAS Jelaskan Cara Sholat Idul Fitri di Rumah Saat Pandemi

Menurut UAS, sholat Idul Fitri di rumah saat pandemi Covid-19 tetap sah.

Ulama asal Pekanbaru, Riau, Ustadz DR Abdul Somad Lc MA, memberikan penjelasan soal cara sholat idul fitri di tengah pandemi covid-19. Hal ini jika wabah Covid-19 belum berakhir dan aturan serta imbauan untuk tidak sholat Idul Fitri berjamaah di masjid atau di lapangan masih berlaku.

“Selesai Ramadhan, malam Idul Fitri, besoknya kita (bertanya) sholat Idul Fitri di mana? Andai (Covid-19) tidak selesai, tapi kita harap selesai. Semoga video ini (penjelasan UAS) selesai (bisa menjelaskan),” kata UAS dalam video pribadinya, Ahad (3/5) malam.

Dalam penjelasanya, UAS mengutip penjelasan dari Imam al-Muzani yang merupakan murid Imam Syafii. Penjelasan itu diterangkan dalam ringkasan kitab Al Umm, kitab induk Imam Syafii.

Menurut UAS, dalam kitab itu disebutkan boleh sholat Idul Fitri maupun Idul Adha seorang diri saja. “Pagi Idul Fitri gak bisa pulang kampung. Sendirian di rumah kos-kosan. Sholat Idul Fitri di situ sendiri. Allahu Akbar. Di rumahmu,” kata UAS.

“Yang gak bisa mudik, gak boleh mudik, mudik pulang kampung ditangkap di tol. Sedih, jangan sedih. Sholat sendiri di rumah,” kata UAS menambahkan.

Menurut UAS, berdasarkan penjelasan kitab itu, orang yang sholat Idul Fitri ini juga berlaku untuk hamba sahaya (budak) yang pada zaman dahulu tuannya tidak membolehkannya keluar. Kemudian, hal ini juga berlaku untuk perempuan yang tidak bisa keluar rumah karena takut tak ada muhrimnya.

Selain boleh sholat Idul Fitri sendirian, UAS juga menjelaskan jika sholat Idul Fitri nanti bisa dilakukan berjamaah di rumah dengan orang yang terbatas. “Di rumah itu ada bapak, ada anaknya, ada ponakannya, ada istrinya, keluarganya. Sesungguhnya sholat Idul Fitri, Idul Adha, sah dilaksanakan empat orang,” kata UAS.

Menurut UAS, empat itu merupakan batas minimal jamak. Jadi, menurut UAS, tidak ada alasan untuk tidak sholat Idul Fitri dan Idul Adha di rumah, baik itu sendiri maupun berjamaah.

Kemudian, untuk khatib sholat Idul Fitri di rumah nanti, UAS menjelaskan, rukun khutbahnya sama seperti khutbah Idul Adha dan khutbah Jumat. “Cuma lima saja,” kata UAS.

UAS menjelaskan, khatib harus berdiri. Kemudian, takbir, mengucap alhamdulillah, setelah itu membaca shalawat (Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa’ala ali sayyidina Muhammad).

Setelah itu, membaca ayat Alquran ( Ya ayyuhalladzina amanu ittaqullah). Jika tidak hafal, boleh membaca qul huwallāhu aḥad Allahus somad. Setelah itu, wasiat takwa (Usikum wanafsi bitaqwallahi). Jika tidak bisa bahasa Arab, sebutkan, “Kuwasiatkan kepada kamu, takutlah kepada Allah.”

Kemudian, duduk sebentar. Sebab, khutbahnya terdiri atas dua khutbah.

“Setelah itu, berdiri lagi dan ulang lagi. Alhamdulillah, shalawat, membaca qul huwallāhu aḥad Allahus somad, jamaah sekalian mari kita tingkatkan takwa, mudah-mudahan kita smeakin takwa kepada Allah,” kata UAS.

Selanjutnya membaca doa (Allahumma muslimin). Kalau tidak bahasa Arab, bisa berdoa, “Ya Allah lepaskan bencana ini,” dan ditutup kalimat Alhamdulillahirabbil alamin. “Selesai, habis,”kata UAS.

“Tidak ada alasan untuk tidak beribadah. Mudah-mudahan bermanfaat, terima kasih,” kata UAS.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 2)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 185

Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. al-Baqarah: 185]

Makna Ayat

Ketika Allah Ta’ala mengkhususkan bulan Ramadhan dengan ibadah puasa, Dia menjelaskan alasan pengkhususan tersebut, bahwa Allah Ta’ala menurunkan al-Qur’an dalam bulan tersebut [Tafsir ar-Razi 5/251].

Makna ayat di atas adalah bahwa hari-hari yang ditentukan itu adalah hari-hari di bulan Ramadhan, dimana al-Qur’an diturunkan di saat itu [1]. Al-Qur’an ini merupakan pembimbing dan petunjuk bagi manusia ke jalan kebenaran. Memuat ayat-ayat yang jelas dengan kandungan yang nyata dalam menjelaskan kebenaran, sehingga mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu, setiap orang yang hadir di negeri tempat tinggalnya, dia wajib berpuasa di bulan Ramadhan ini. Dan setiap orang yang dalam kondisi sakit dan bersafar, kemudian tidak berpuasa, dia wajib mengqadha puasa di hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Alasan Allah Ta’ala memberi keringanan untuk tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan bersafar adalah karena Allah Ta’ala suka memberi kemudahan para hamba-Nya dan ingin meringankan ketentuan hukum atas mereka.  Allah ingin agar hamba-Nya menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan dengan mengqadha hari-hari yang ditinggalkan serta mengagungkan Allah dengan mengucapkan “Allahu Akbar” setelah menuntaskan bulan Ramadhan. 

Hal ini karena limpahan nikmat yang telah diberikannya berupa kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan; pensyari’atan puasa dan hukum-hukumnya di bulan ini; taufik dalam menjalankan dan menyempurnakan puasa; mampu menjadi orang bersyukur atas limpahan nikmat-Nya dengan berpuasa di bulan ramadhan; serta atas kemudahan hukum-hukum-Nya di bulan ini yang diberikan kepada para hamba [Tafsir Ibnu Jarir 3/187-222; Tafsir Ibnu Katsir 1/501-505; Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/332-336]. 

Faidah-Faidah Ayat

  1. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran”, dan juga firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” [QS. al-Qadr: 1], menunjukkan bahwa Lailatul Qadr terjadi di bulan Ramadhan, bukan bulan yang lain [Al-Iklil hlm. 40].
  2. Kata “Ramadhan” dikaitkan dengan kata “bulan” pada redaksi ayat (yang artinya) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”

Sementara pada sejumlah hadits, kata “Ramadhan” disebutkan tanpa disertai kata “bulan”. Hal ini seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

”Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [HR. al-Bukhari: 2009 dan Muslim: 759]

Perbedaan antara kedua redaksi tersebut berdasarkan keterangan alim ulama adalah maksud dari kata Ramadhan ketika disandarkan pada kata bulan adalah sebagian bulan Ramadhan. Sedangkan jika tidak disandarkan berarti yang dimaksud seluruh bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan al-Qur’an turun di sebagian malam-malam bulan Ramadhan, bukan di seluruh bulan. Berbeda dengan pelaksanaan qiyam Ramadhan yang dianjurkan di seluruh bulan [Nataij al-Fikr fi an-Nahwi hlm. 294, 297; Ithaf as-Saadah al-Muttaqin 4/177].  

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” terdapat penetapan sifat al-‘Uluw (Allah ada di atas) bagi Allah Ta’ala, karena Dia yang telah menurunkan al-Qur’an dan aktivitas menurunkan hanya terjadi dari atas [Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/332]
  2. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” mengandung ketentuan bahwa kesulitan menimbulkan adanya kemudahan, karena sakit dan safar itu menyulitkan [Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/324].
  3. Sebagian alim ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” untuk menyatakan bahwa qadha puasa tidak harus segera dilakukan [Al-Iklil hlm. 39].
  4. Sebagian alim ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” untuk menyatakan bahwa puasa pada hari yang waktu siangnya lebih pendek cukup untuk menggantikan puasa yang ditinggalkan di hari yang waktu siangnya lebih panjang [Al-Iklil hlm. 39]. 
  5. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” menunjukkan bahwa tidak perlu membayar fidyah jika telah mengqadha [Al-Iklil hlm. 39].
  6. Firman Allah Ta’ala “فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ” tidak diungkapkan dengan redaksi “فصيام أيام أخر” sebagai penegasan atas kewajiban berpuasa sebanyak bilangan hari yang ditinggalkan ketika sakit dan bersafar, karena bilangan hari untuk mengganti puasa ditentukan sama dengan jumlah hari yang ditinggalkan [Tafsir Ibnu Asyur 2/164].
  7. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” secara tekstual menerangkan bahwa setiap orang yang menunda qadha puasa hingga Ramadhan tahun berikutnya tiba, tidak memiliki kewajiban selain mengqadha puasa yang  ditinggalkannya dahulu [Tafsir Abu Hayyan 2/187].
  8. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”, adalah penetapan sifat al-iradah bagi Allah Ta’ala. Dan sifat al-iradah yang dimaksud adalah al-iradah asy-syar’iyah yang berarti al-mahabbah (kecintaan) [Tafsir Ibnu Utsaimin –al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/335-339].
  9. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya” adalah dalil untuk mempertimbangkan bilangan hari dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan apabila hilal tidak dapat dilihat. Sehingga dalam kondisi tersebut tidak perlu berpatokan pada perkataan ahli hisab dan astronomi [Al-Iklil hlm. 41].
  10. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah” merupakan dalil pensyari’atan takbir di saat Idul Fitri, dimana waktunya bermula ketika bilangan hari Ramadhan telah terpenuhi, yaitu di saat matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadhan [Al-Ilklil hlm. 41].

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Kata “البينات” diungkapkan dengan kata “الفرقان” dan Allah tidak berfirman dengan redaksi “من الهدى و البينات” sehingga tidak bersesuaian dengan redaksi awal “هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ”. Alasan hal ini adalah karena adanya tambahan makna yang melekat pada kata “البينات”. Dengan demikian, setiap kali sesuatu itu nyata dan jelas, pasti akan muncul perbedaan dengan yang lain.. Selain itu, dengan menggunakan kata “الفرقان” akan terjadi keseragaman bunyi kata dengan kata pemisah sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala “شَهْرُ رَمَضَانَ”, kemudian firman-Nya “شَهْرُ رَمَضَانَ” , kemudian diakhiri dengan “هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ”. Dengan begitu, terwujud keragaman bunyi kata dengan pemisah-pemisah tersebut, sehingga kata “الفرقان” lebih cocok digunakan ketimbang kata “البينات” dari segi lafazh dan makna [Tafsir Abu Hayyan 2/196].
  2. Redaksi “فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ” tidak diungkapkan dengan redaksi “شَهِدَه مِنْكُمُ فَلْيَصُمْهُ فَمَنْ”  sebagai bentuk pujian, pemuliaan, dan pengagungan terhadap bulan Ramadhan [Tafsir Abu Hayyan 2/197].
  1. Redaksi “أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ” tidak diungkapkan dengan redaksi “أَوْ مسافرا” sebagai pemberitahuan bahwa safar itu adalah sesuatu yang bisa dikendalikan karena musafir bisa memilih untuk bersafar atau tidak. Berbeda dengan sakit yang menimpa tanpa manusia bisa memilih. Sehingga, safar itu seolah-olah tunggangan dan manusia berada di atasnya untuk mengendalikan [Tafsir Abu Hayyan 2/184; ad-Durr al-Mashun 2/270].
  2. Redaksi “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ” disusul dengan kalimat penafianوَلَا يُرِيدُ بِكُمُ” الْعُسْرَ” sebagai bentuk penegasan [Tafsir Ibnu Asyur 2/175].
  3. Pada firman Allah Ta’ala “وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ” terdapat fungsi ta’diyah terhadap aktivitas bertakbir dengan menggunakan huruf “عَلَى” karena ada makna pujian yang terkandung di dalamnya. Seolah-olah Allah Ta’ala hendak menyampaikan, “وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ حامدين عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ”, “Dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah seraya memuji-Nya atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu” [Tafsir Abu as-Su’ud 1/200].
  4. Ayat di atas ditutup dengan redaksi “وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ” karena sebelumnya telah disebutkan keringanan berbuka di bulan Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir dan firman-Nya “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ”. Hal ini berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya seperti setelah firman Allah Ta’ala “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ” disebutkan firman Allah “لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”. Dan juga sebagaimana sebelumnya, ayat “وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ” diakhiri dengan firman Allah Ta’ala “لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”, karena puasa dan qishash di antara perkara syari’at yang paling berat pelaksanaannya. 

Demikianlah perbedaan gaya bahasa al-Qur’an dalam menerangkan perkara yang memberatkan dan perkara yang meringankan dan memudahkan. Hal ini merupakan bentuk keindahan penjelasan dalam al-Qur’an yang mulia [Tafsir Abu Hayyan 2/204-205].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Catatan kaki:

[1] Dalam hal ini terdapat dua tafsiran. Pertama, bahwa al-Qur’an diturunkan secara sempurna darl al-Lauh al-Mahfuzh menuju langit dunia pada Lailatul Qadr di bulan Ramadhan. Kedua, bahwa permulaan turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi pada Lailatul Qadr di bulan Ramadhan.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56275-ayat-ayat-shiyam-bag-3.html

Pelajaran Penting Dari Ayat Kewajiban Puasa

Salah satu ayat yang banyak dibaca dan dibahas pada Bulan Ramadhan adalah surat Al Baqarah ayat 183 yang menjelaskan tentang kewajiban puasa Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman :   

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.“ (Al Baqarah : 183)

Ayat di atas setidaknya mengandung enam pelajaran dan faidah yang penting: 

Pelajaran Pertama

Ayat ini menujukkan pentingnya kedudukan puasa dalam Islam, karena Allah memulainya dengan panggilan iman. Ini menunjukan bahwa puasa merupakan tuntutan keimanan karena Allah menyerukannya kepada orang-orang yang beriman. Barangsiapa meninggalkannya tentu akan rusak dan cacat keimanannya. Setiap ayat yang dimulai dengan panggilan terhadap orang-orang yang beriman memiliki keistimewaan tersendiri. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah memberi nasehat dalam menyikapi ayat-ayat seruan keimanan:

إذا سمعت الله يقول} :يا أيها الذين آمنوا {فأرعها سمعك؛ فإنه خير يأمر به، أو شر ينهى عنه

“ Jika Anda mendengar Allah berfirman (يا أيها الذين آمنوا,) maka persiapkan pendengaran Anda , karena sesungguhnya ada kebaikan yang akan diperintahkan atau keburukan yang akan dilarang-Nya” (H.R Bukhari dan Muslim)

Demikian pula ayat ini, Allah mulai dengan seruan kepada orang yang beriman dan diikuti dengan perintah puasa yang menunjukkan pentingnya ibadah ini.

Pelajaran Kedua

Puasa adalah kewajiban seorang muslim, karena Allah berfirman (كُتِبَ), yang maknanya adalah diwajibkan. Yang dimaksud puasa adalah ibadah kepada Allah dengan meninggalkan pembatal-pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Puasa yang hukumnya wajib dalam ayat  ini adalah puasa di Bulan Ramadhan. Bahkan puasa juga termasuk rukun Islam yang merupakan pondasi ajaran agama Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ .رواه البخاري و مسلم .

” Islam dibangun di atas lima perkara : persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim) 

Pelajaran Ketiga 

Ayat ini menunjukkan bahwa uasa juga merupakan kewajiban umat-umat sebelum kita, karena Allah berfirman :

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ

“ sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian 

Puasa merupakan kewajiban umat terdahulu, termasuk kaum Yahudi, Nashrani, dan umat lain sebelumnya. Diwajibkan bagi mereka semua menunaikan ibadah puasa, meskipun bisa saja ada perbedaaan waktu dan tata caranya dengan puasa yang kita lakukan saat ini. 

Pelajaran Keempat

Disebutkan bahwa kewajiban puasa juga merupakan kewajiban umat terdahulu, agar umat ini tidak merasa berat dalam melaksanakannya karena ini juga merupakan kewajiban umat terdahulu. Selain itu juga sebagai bentuk Allah menyempurnakan keutamaan umat ini dengan kewajiban puasa sebagaimana umat terdahulu mendapatkan keutamaan dengan menunaikan ibadah puasa ini. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah ibadah yang utama. Orang yang berpuasa dia bersabar dari makan, minum, dan berbagai syahwat karena Allah Ta’ala. Oleh karena itu Allah mengkhususkan amal ibadah puasa hanya untuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

“ Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku.” (H.R Bukhari)

Pelajaran Kelima

Hikmah dan tujuan syariat puasa adalah agar seorang hamba bisa meraih takwa, karena Allah berfirman : 

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 agar kalian bertakwa.

Ini adalah hikmah syar’iyyah ibadah puasa yang paling penting. Adapun hikmah puasa yang lain seperti kebaikan bagi kesehatan badan, kebaikan bagi kehidupan masyarakat, dan kebaikan lainnya merupakan hikmah tambahan.

Pelajaran Keenam

Ayat ini menunjukkan keutamaan takwa. Hendaknya seseorang menempuh sebab-sebab untuk meraih takwa, karena Allah mewajibkan puasa untuk tujuan ini. Hal ini menunjukkan bahwa takwa adalah tujuan yang agung. Yang menunjukkan keagungan takwa adalah bahwa takwa merupakan wasiat Allah bagi orang yang beriman terdahulu maupun sekarang. Allah berfirman :

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللّهَ

“ Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu: bertakwalah kepada Allah.” (An Nisaa’ : 131).

Referensi : Tafsiir Al Qur’an Al Kariim Surat Al Baqarah ayat 183, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56182-pelajaran-penting-dari-ayat-kewajiban-puasa.html

Safinatun Najah: Masuk Ramadan dan Syarat Sah Puasa

Bagaimana masuk Ramadhan dan syarat sah puasa?

[KITAB PUASA]

[Kapan Wajib Puasa?]

يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ بِأحَدِ أمُوْرِ خَمْسَةٍ:

أحَدُهَا: بِكَمَالِ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمَاً.

وَثَانِيْهَا: بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ فِيْ حَقِّ مَنْ رَآهُ، وَإنْ كَانَ فَاسِقاً.

وَثَالِثُهَا: بِثُبُوْتِهِ فِيْ حَقِّ مَنْ لَمْ يَرَهُ بِعَدْلِ شَهَادَةٍ.

وَرَابِعُهَا: بِإِخْبَارِ عَدْلِ رِوَايَةٍ مَوْثُوْقٍ بِهِ، سَوَاءٌ وَقَعَ فِيْ الْقَلْبِ صِدْقُهُ أمْ لاَ. أوْ غَيْرِ مَوْثُوْقٍ بِهِ، إِنْ وَقَعَ فِيْ الْقَلْبِ صِدْقُهُ.

وَخَامِسُهَا: بِظَنِّ دُخُوْلِ رَمَضَانَ بِالاجْتِهَادِ فِيْمَن أشْتَبَهَ عَلَيْهِ ذَلِكَ.

Fasal: Puasa Ramadan wajib dengan sebab salah satu dari 5 hal, yaitu [1] sempurnanya bilangan bulan Syakban 30 hari, [2] rukyatul hilal(melihat hilal) dengan kejujuran yang melihatnya meskipun orang fasik, [3] menetapkannya dengan kejujuran orang yang tidak melihatnya tetapi persaksiannya adil (jujur), [4] khabar dari riwayat orang adil yang terpercaya baik hatinya membenarkan atau tidak, atau tidak terpercaya tetapi hatinya membenarkannya, dan [5] dugaan masuknya Ramadan dengan ijtihad bagi yang tersamar akan hal tersebut (di atas).

[Syarat Sah Puasa]

شَرُوطُ صِحَّتِهِ أرْبَعَةُ أشْيَاءَ:

1-إٍسْلاَمٌ.

وَ2- عَقْلٌ.

وَ3- نَقَاءٌ عَنْ نَحْوِ حَيْضٍ.

وَ4- عِلْمٌ بِكَوْنِ الْوَقْتِ قَابِلاً لِلصَّوْمِ.

Fasal: Syarat sah puasa ada 4, yaitu: [1] Islam, [2] berakal, [3] suci dari semisal haidh, dan [4] mengerti waktu puasa.

Mukadimah

Pengertian Puasa

Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al-imsak) dari sesuatu. Hal ini masih bersifat umum, baik menahan diri dari makan dan minum atau berbicara. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam,

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا

Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Rabb Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam: 26). Yang dimaksud berpuasa yang dilakukan oleh Maryam adalah menahan diri dari berbicara sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat,

فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26).

Sedangkan secara istilah, puasa adalah:

إِمْسَاكُ مَخْصُوْصٍ مِنْ شَخْصٍ مَخْصُوْصٍ فِي وَقْتٍ مَخْصُوْصٍ بِشَرَائِطَ

“Menahan hal tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan memenuhi syarat tertentu.” (Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).

Dalil Kewajiban Puasa

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.

Yang diwajibkan secara khusus adalah puasa Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185). Al-Qur’an dalam ayat ini diterangkan sebagai petunjuk bagi manusia menuju jalan kebenaran. Al-Qur’an itu sendiri adalah sebagai petunjuk. Al-Qur’an juga petunjuk yang jelas dan sebagai pembimbing untuk membedakan yang halal dan haram. Al-Qur’an pun disebut Al-Furqan, yaitu pembeda antara yang benar dan yang batil. Siapa yang menyaksikan hilal atau mendapatkan bukti adanya hilal ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar), maka hendaklah ia berpuasa.

Dari hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji, (5) puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari, no. 8 dan Muslim, no. 16).

Begitu pula yang mendukungnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seorang Arab Badui. Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah bahwa orang Arab Badui pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun bertanya,

أَخْبِرْنِى بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الصِّيَامِ قَالَ « شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا »

Kabarkanlah padaku mengenai puasa yang Allah wajibkan.” Rasul menjawab, “Yang wajib adalah puasa Ramadhan. Terserah setelah itu engkau mau menambah puasa sunnah lainnya.” (HR. Bukhari, no. 1891 dan Muslim, no. 11).

Bahkan ada dukungan ijmak (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan. (Lihat At-Tadzhib, hlm. 108 dan Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).

Catatan Dalil

Pertama: Penentuan awal Ramadan dengan rukyatul hilal atau bulan Syakban digenapkan menjadi 30 hari

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Syakban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1900 dan Muslim, no. 1080)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Jika hilal tertutup bagi kalian, maka genapkan bulan Syakban menjadi 30 hari.” (HR. Muslim, no. 1080)

Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Genapkanlah bulan Syakban menjadi 30 hari.”  (HR. Bukhari, no. 1907)

Dalam Shahih Bukhari pada hadits Abu Hurairah disebutkan, “Genapkanlah bulan Syakban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari, no. 1909)

Kedua: Cukup satu orang saksi untuk penentuan awal Ramadan

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ

Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud, no. 2342; Ibnu Hibban, 8:231; Al-Hakim, 1:423. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 6:236, Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 6:276; Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, 4:16. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:15)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata,

إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

“Aku telah melihat hilal.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” (HR. Abu Daud dalam Bab “Persaksian satu orang untuk rukyat hilal Ramadan”; Tirmidzi, no. 691; An-Nasai, 4:132; Ibnu Majah, no. 1452; Ibnu Khuzaimah, no. 1923; Ibnu Hibban, 8:229-230. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini dikuatkan oleh hadits Ibnu ‘Umar sebelumnya yang sahih sehingga menjadi kuatlah hadits mursal ini).

Ketiga: Puasa bagi orang kafir

Orang kafir tetap diseru untuk menjalankan syariat, di antaranya puasa. Akan tetapi ini dibebankan baginya di akhirat. Sedangkan jika di dunia, ia berpuasa sedangkan ia dalam keadaan kafir, maka puasanya tidaklah sah sama sekali. Karena puasa itu cabang dari iman dan akidah, dan butuh niat.

Begitu juga orang yang murtad tidak sah puasanya ketika ia murtad. Namun ketika bertaubat dan masuk kembali dalam Islam, ia diminta untuk mengqadha puasa Ramadan yang pernah luput. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:172.

Keempat: Puasa bagi orang berakal dan hukum puasa bagi anak-anak

Puasa tidaklah diwajibkan kecuali pada orang baligh dan berakal. Namun puasa tersebut sah dilakukan oleh anak kecil yang sudah tamyiz, yang sudah mencapai tujuh tahun. Adapun yang belum tamyiz, maka tidak sah puasanya walaupun ia berpuasa.

Dalil bahwasanya anak kecil diajak puasa adalah hadits berikut ini.

Dalam puasa, dari Rabi binti Mu’awwid radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأَنْصَارِ الَّتِى حَوْلَ الْمَدِينَةِ : مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ) ، فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ، وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الإِفْطَارِ

“Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusannya pada siang hari ‘Asyura (sepuluh Muharam) ke desa-desa kaum Anshar di sekitar Madinah untuk mengumumkan, ‘Barangsiapa telah berpuasa sejak pagi hari, hendaklah dia menyempurnakan puasanya. Barangsiapa yang pagi harinya tidak berpuasa, maka hendaknya puasa pada sisa harinya.’ Maka setelah itu kami berpuasa, dan kami membiasakan anak-anak kecil kami untuk berpuasa insya Allah. Kami pergi ke masjid, lalu kami buatkan untuk   mereka (anak-anak) mainan dari kapas yang berwarna. Kalau salah satu diantara mereka menangis karena (kelaparan). Kami berikan kepadanya (mainan tersebut) sampai berbuka puasa.” (HR. Bukhari, no. 1960 dan Muslim, no. 1136).

Adapun orang gila karena tidak disebut tamyiz dan berakal, tidaklah sah puasanya. Lihat bahasan Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:172.

Kelima: Wanita haidh tidak sah puasanya

Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Aisyah menjawab,

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.“ (HR. Muslim, no. 335)

Syaikh Muhammad Az-Zuhaily berkata, “Syarat sahnya puasa adalah bebas dari haidh dan nifas walaupun satu bagian dari siang hari.” (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:172)

Keenam: Mengetahui waktu puasa

Mengetahui waktu puasa, yaitu dengan masuknya bulan Ramadan berdasarkan rukyatul hilal atau menyempurnakan bulan Syakban menjadi 30 hari, sampai rukyatul hilal Syawal atau menggenapkan bulan Ramadan menjadi 30 hari.

Juga waktu puasa adalah dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari sebagaimana ayat,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:172.

Kesimpulan dari bahasan syarat sah puasa, Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu’, “Syarat sahnya puasa ada empat: suci dari haidh dan nifas, Islam, tamyiz, dan masuk waktunya berpuasa.”

Semoga bermanfaat.

Referensi:

  1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Cetakan kesepuluh, Tahun 1430 H. Dr. Musthafa Al-Khin, Dr. Musthafa Al-Bugha, ‘Ali Syarji. Penerbit Darul Qalam.
  2. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i.Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  3. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Catatan Ramadhan #03 @ Darush Sholihin, Panggang Gunungkidul

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/20414-safinatun-najah-masuk-ramadan-dan-syarat-sah-puasa.html

Aturan Shalat di Rumah Saat Pandemi Corona

Ada beberapa aturan shalat di rumah pada masa pandemi corona saat ini.

Beberapa aturan shalat di rumah saat corona

Pertama: Boleh mengkhususkan tempat shalat tertentu di dalam rumah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Dulu kebiasaan para salaf, mereka mengambil tempat khusus di rumah untuk shalat.” (Fath Al-Bari li Ibni Rajab, 3:169)

Kedua: Masjid tetap mengumandangkan azan. Sedangkan pelaksanaan shalat di rumah cukup dengan iqamah, lalu shalat.

Beberapa catatan tentang azan dan iqamah:

  1. Hukum azan dan iqamah adalah fardhu kifayah, walau ada beda pendapat terkait hukum ini. Yang menyatakan hukumnya itu fardhu kifayah adalah pendapat ulama Hambali, juga perkataan Muhammad bin Al-Hanafiyyah, satu pendapat dari Malikiyyah, pendapat sebagian ulama Syafiiyyah, pendapat Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Taimiyyah, dan Daud Azh-Zhahiri. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat. hlm. 158.
  2. Hukum shalat tanpa azan dan iqamah tetap sah berdasarkan kesepakatan empat madzhab. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat. hlm. 158.
  3. Wanita tidak mengumandangkan azan dan iqamah. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1:306) menyatakan, “Aku tidak mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah ini.”
  4. Bagi yang mengumandangkan azan hendaklah mengucapkan “SHOLLUU FII BUYUUTIKUM”, “ALAA SHOLLU FI RIHAALIKUM, “ALAA SHOLLU FIR RIHAAL”, ia bisa mengucapkan sekali atau dua kali, diucapkan di tengah atau bakda lafaz azan yang biasa diucapkan. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebut “Alaa shollu fii rihalikum” di tengah azan. Dalam hadits Ibnu Umar, disebut lafaz ini di akhir azan (bakda azan biasanya). Dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafii rahimahullah dalam kitab Al-Umm pada Bab Azan. Begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafiiyyah. Lafaz ini boleh diucapkan setelah azan maupun di tengah-tengah azan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah azan lebih baik, agar lafaz azan yang biasa diucapkan tetap ada.”
  5. Ucapan tambahan “SHOLLUU FII BUYUTIKUM” atau semisalnya tidak perlu dijawab dikarenakan ucapan tersebut hanyalah tambahan dengan maksud tanbih (mengingatkan) bahwa ada keringanan dan kemudahan dalam shalat. Sebagian ulama menyatakan bahwa kalau ucapan tersebut menggantikan hayya ‘alash shalaah, hayya ‘alal falaah, tetap dijawab dengan “LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH”.

Ketiga: Tidak perlu seorang muslim mendirikan shalat Jumat di rumah.

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menjelaskan, “Menurut kesepakatan ulama, shalat Jumat di rumah tidaklah sah. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sahnya shalat Jumat itu jika dihadiri oleh imam a’zham atau penggantinya. Ulama Malikiyyah menyaratkan bahwa shalat Jumat itu harus dilakukan di Masjid Jami’. Ulama Syafiiyah dan Hambali menyatakan bahwa shalat Jumat itu disyaratkan dengan jumlah empat puluh yang dihadiri oleh orang-orang yang diwajibkan shalat Jumat.” Lihat Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 18.

Yang tepat, jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.

Keempat: Syaikh ‘Ali bin Yahya Al-Haddadi berkata, “Termasuk bentuk tidak patuh pada pemerintah adalah sebagian orang di kampung berkumpul di suatu rumah tertentu untuk mendirikan shalat. Perbuatan ini juga menyelisihi fatwa para ulama. Tujuan menutup masjid pada saat pandemi ini adalah untuk menghindari perkumpulan. Perkumpulan ini yang menjadi sebab semakin tersebarnya wabah dan berpindah kepada yang lainnya.”

Beberapa poin tentang aturan shalat di rumah saat corona ini dikembangkan dari tulisan Syaikh ‘Ali bin Yahya Al-Haddadi dalam risalah singkat (bentuk PDF) dengan judul “Min Ahkam Ash-Shalaah fi Al-Buyuut wa Masail Tata’alluq bi Kuruunaa”.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24221-aturan-shalat-di-rumah-saat-pandemi-corona.html

Haji Tetap Jalan atau Ditunda? Dubes Saudi: Belum Diputuskan

Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Esam Abid Althagafi, mengatakan, pelaksanaan haji 2020 belum diputuskan.

Semua keputusan terkait pembukaan akses terhadap jamaah haji pun masih dibicarakan lebih jauh oleh Pemerintah Arab Saudi.

Mengingat pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) masih berlangsung di hampir mayoritas dunia, pelaksanaan atau tidaknya haji 2020 menjadi hal yang ditunggu-tunggu umat Muslim.

Namun demikian pada saat ini, Althagafi belum bisa memastikan ada atau tidaknya pelaksanaan haji tersebut. “Kami belum bisa mengkonfrimasi hal tersebut (pelaksanaan haji),” kata Althagafi kepada Republika.co.id, Jumat (1/5).

Dia menjelaskan, seluruh informasi terkait perkembangan pelaksanaan haji akan disampaikan apabila sudah ada keputusan pasti. Setiap negara, kata dia, akan dikabarkan terkait hal itu.

Perwakilan Kementerian Agama (Kemenag), Khoirul Huda Basir mengatakan, pemerintah akan mengikuti seluruh ketetapan yang diputuskan oleh Arab Saudi. Sambil menunggu keputusan tersebut, kata dia, Kemenag diklaim terus berupaya menyiapkan hal-hal yang perlu dipersiapkan.

“Prinsipnya, Indonesia selalu menyiapkan segala sesuatu yang perlu disiapkan sambil kita menunggu pengumuman kepastian dari Pemerintah Arab Saudi,” ujar dia.

Lebih lanjut, terkait dibukanya Haramain, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Dubes Thagafi membenarkan informasi terkait pembukaan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. 

“Betul informasi itu. Insya Allah dalam waktu dekat kedua masjid suci itu akan dibuka kembali,” kata Thagafi. 

Dia menjelaskan bahwa apabila Masjidil Haram dan Nabawi dibuka kembali maka dipastikan Pemerintah Arab Saudi akan menggunakan prosedur yang sangat ketat terhadap pengunjung yang masuk untuk beribadah.

Adapun para pengunjung ataupun jamaah nantinya yang diizinkan masuk hanya mereka yang telah dipastikan terbebas dari virus corona jenis baru (Covid-19).

Terkait dengan waktu pasti dibukanya kembali Masjid Haramain bagi jamaah, pihaknya belum dapat memastikan lebih lanjut. 

Yang pasti, kata dia, apabila proses tahap demi tahap yang tengah dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi telah rampung, maka pengumuman dibukanya kembali Masjid Haramain akan disampaikan.

“Kita akan sama-sama menunggu dalam waktu dekat Masjidil Haram dan Nabawi dibuka kembali. (Jika waktunya tiba) maka informasi ini akan kami sebarkan kepada seluruh jamaah di dunia,” ujar dia.

IHRAM

Muslim London Berusia 100 Tahun Keliling Kumpulkan Sedekah

Sedekah yang ia kumpulkan akan diberi kepada 26 badan amal.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Seorang warga London yang berusia 100 tahun, Dabir Choudhury, berkeliling sebanyak 100 putaran di sekitar taman untuk mengumpulkan sedekah sembari berpuasa. Uang yang terkumpul tersebut akan diberikan kepada 26 badan amal, termasuk yang mengirimkan bantuan ke Gaza, Suriah, dan Yaman. 

Mencapai usia 100 tahun itu sendiri merupakan prestasi yang langka dan menakjubkan. Namun, Dabir telah melakukan sesuatu yang lebih luar biasa dengan berjalan sembari mengumpulkan sedekah dari masyarakat untuk membantu sesama di bulan suci Ramadhan. 

Pria asal Assam, India tersebut awalnya hanya ingin mengumpulkan dana sebesar 1.000 poundsterling atau sekitar Rp 18 juta pada Ahad (26/4) lalu untuk korban Covid-19. Dia kemudian berkeliling 100 putaran di taman umum di dekat rumahnya sambil berpuasa selama Ramadhan.

Dalam sembilan jam pertama, Dabir berhasil mencapai targetnya, dan dalam 48 jam berikutnya donasi mulai mengalir dari seluruh negeri. Saat ini, total donasi atau sedekah yang dikumpulkan Dabir sudah mencapai lebih dari 6.000 poundsterling atau sekitar Rp 110 juta. 

Terkejut dengan hasil yang didapatkan, Dabir kini tidak akan berhenti berjalan untuk membantu para korban Covid-19 dan juga para pengungsi di Timur Tengah. Dia pun berterima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah menyumbangkan sebagian hartanya untuk membantu sesama di bulan Ramadhan.

“Terima kasih atas sumbangan Anda. Saya tidak berjuang sendirian untuk tersenyum pada anak-anak yang kelaparan, kami berjuang bersama. Uang ini akan membantu keluarga yang sangat membutuhkan di Inggris, Bangladesh, dan banyak negara lainnya,” kata Dabir dikutip dari laman Middle East Monitor, Sabtu (2/5).

KHAZANAH REPUBLIKA

Empat Dosa yang Harus Kamu Hindari di Bulan Ramadhan

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bi Abdillah mengatakan:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنْ الْكَذِبِ وَالْمَأْثَمِ وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِيْنَةٌ يَوْمَ صَوْمِكَ وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صَوْمِكَ سَوَاءً

“Jika anda berpuasa hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu juga berpuasa dari dusta dan dosa. Jangan sakiti budak. Hendaknya saat berpuasa anda memiliki sikap tenang berwibawa. Jangan sikapi hari berpuasa dan hari tidak berpuasa dengan sikap yang sama.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/422 nomor 8852)

Diantara bentuk memuliakan bulan Ramadhan dan kondisi berpuasa adalah dengan memberikan sikap yang berbeda antara saat puasa dan saat tidak berpuasa.

Saat berpuasa hendaknya lebih bersikap hati-hati dengan dosa.

Berbuat dosa itu terlarang baik pada bulan Ramadhan atau pun di luar Ramadhan, saat berpuasa ataupun tidak dalam kondisi berpuasa.

Namun dosa saat di bulan Ramadhan dan dalam kondisi berpuasa itu jauh lebih besar dibandingkan dosa yang dilakukan di luar bulan Ramadhan dan dalam kondisi tidak berpuasa.

Dosa yang dilakukan dalam kondisi berpuasa itu bisa menghilangkan pahala puasa. Akhirnya yang didapat dari puasa hanya lapar dan dahaga semata.

Ada empat dosa yang penting diwaspadai saat puasa:

Pertama: Dosa pendengaran. Waspadai obrolan berisi gunjingan dll.

Kedua: Dosa penglihatan. Waspadai tontonan di YouTube dll.

Ketiga: Dosa lisan terutama dusta.

Keempat: Dosa zalim semisal menyakiti bawahan. Orang yang berpuasa semestinya memiliki sikap tenang berwibawa yaitu tidak guyonan yang berlebihan, tidak teriak-teriak yang tidak perlu, tidak mengejek dan mengolok-olok dll

Moga Allah jadikan puasa penulis dan pembaca tulisan ini benar-benar berkualitas dan jauh lebih baik dibandingkan Ramadhan sebelumnya.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

Read more https://konsultasisyariah.com/36351-empat-dosa-yang-harus-kamu-hindari-di-bulan-ramadhan.html

Yuk Melakukan Amalan-amalan Ini di Bulan Ramadan

DARI Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu; juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasai).

Berikut ini adalah amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadan:

a. Puasa

Allah SWT memerintahkan berpuasa di bulan Ramadan sebagai salah satu rukun Islam. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Rasulullah SAW bersabda: “Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak Ilah yang berhak disembah selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul Allah SWT, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan pergi ke Baitul Haram.” (Muttafaqun alaih).

Puasa di bulan Ramadan merupakan penghapus dosa-dosa yang terdahulu apabila dilaksanakan dengan ikhlas berdasarkan iman dan hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya telah lalu.” (Muttafaqun alaih).

b. Membaca Alquran

Membaca Alquran sangat dianjurkan bagi setiap Muslim di setiap waktu dan kesempatan. Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah Alquran, sesungguhnya ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi ahlinya (yaitu, orang yang membaca, mempelajari dan mengamalkannya). (HR Muslim).

Dan membaca Alquran lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadan, karena pada bulan itulah diturunkannya Alquran.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS al-Baqarah [2]: 185).

Rasulullah SAW selalu memperbanyak membaca Alquran di hari-hari Ramadan, seperti diceritakan dalam hadis Aisyah RA, ia berkata: “Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW membaca Alquran semuanya, salat sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh, selain di bulan Ramadan.” (HR Ahmad).

Dalam hadis Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan al-Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan tadarus Alquran bersama Jibril AS di setiap bulan Ramadan.

c. Mendirikan salat Tarawih berjemaah

“Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau salat di masjid, dan salatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Ketika Nabi SWT mengerjakan salat (di malam kedua), banyaklah orang yang salat di belakang beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya. Di malam yang ketiga, jumlah jemaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu Rasulullah SAW keluar dan melaksanakan salatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jemaah, sehingga Rasulullah SAW hanya keluar untuk melaksanakan salat Subuh.

Tatkala selesai salat Subuh, beliau menghadap kepada jemaah kaum Muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda, “Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah sama bagiku, aku merasa khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya.” Rasulullah SAW wafat dan kondisinya tetap seperti ini. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA).

Kemudian, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA, salat Tarawih kembali dilakukan secara berjemaah di Masjid. Dan hal itu disepakati oleh semua sahabat Rasulullah SAW pada masa itu. Wallahu A’lam.

d. Menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan. Menurut pendapat paling kuat, malam kemuliaan itu terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, terlebih lagi pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan 29. “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS al-Qadar [97]: 3).

Malam itu adalah pelebur dosa-dosa di masa lalu, Rasulullah SAW bersabda: “Dan barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar semata-mata karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Bukhari).

Yang dimaksud dengan menghidupkan lailatul qadar adalah dengan memperbanyak salat malam, membaca Alquran, zikir, berdoa, membaca selawat, tasbih, istighfar, itikaf, dan lainnya. Aisyah RA berkata, Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan lailatul qadar, maka apa yang aku ucapkan? Beliau menjawab, Bacalah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Yang suka mengampuni, ampunilah aku.”

e. Memperbanyak sedekah

Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah, dan Rasul SAW lebih pemurah lagi di bulan Ramadan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan saat Jibril AS menemui beliau, ” (HR Bukhari).

f. Melaksanakan ibadah umrah

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadan adalah melaksanakan ibadah umrah. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nilai pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji. “Umrah di bulan Ramadan sama dengan ibadah haji.”

Demikianlah beberapa ibadah penting yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Ramadan dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang mendapat taufik dari Allah SWT untuk mengamalkannya, dan mendapatkan kebaikan serta keberkahan bulan Ramadan.

g. Memperbanyak Iktikaf

Iktikaf dalam bahasa adalah berdiam diri atau menahan diri pada suatu tempat, tanpa memisahkan diri. Sedang dalam istilah syari, itikaf berarti berdiam di Masjid untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara tertentu, sebagaimana telah diatur oleh syariat.

Itikaf merupakan salah satu perbuatan yang dikerjakan Rasulullah SAW, seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA: “Sesungguhnya Nabi SAW selalu itikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beritikaf sesudah beliau.” (Muttafaqun alaih).[]

INILAH MOZAIK

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 184

Allah Ta’ala berfirman,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah: 184]

Makna Ayat

Puasa ini diwajibkan atas kalian, wahai orang-orang beriman, hanya pada hari-hari yang berbilang, yang masanya dapat dihitung, yaitu di hari-hari bulan Ramadhan. Apabila di antara kalian ada yang sakit, bersafar, kemudian tidak berpuasa, maka dia berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar bulan Ramadhan). Dan setiap orang yang mampu berpuasa, namun tidak menunaikannya, berkewajiban menyerahkan fidyah berupa makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Apabila seseorang mengetahui kebaikan yang terdapat dalam ibadah puasa, sungguh dia tidak akan meremehkannya [Tafsir Ibnu Jarir 3/156-186; Tafsir Ibnu Katsir 1/498-500; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/320-324].  

Ketentuan yang disebutkan dalam ayat ini telah dianulir (mansukh). Tatkala Allah menetapkan kewajiban berpuasa di awal perkembangan Islam, umat muslim diberi pilihan antara melaksanakan puasa dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Apabila dia memilih berpuasa, sungguh hal itu lebih baik baginya. Kemudian Allah Ta’ala menghapus opsi tersebut bagi orang yang mampu berpuasa dengan firman-Nya,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” [QS. al-Baqarah: 185]

Dengan demikian, kewajiban berpuasa ditetapkan bagi orang yang mampu menjalankan. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu menjalankannya, dia boleh berbuka dan berkewajiban memberi makan orang miskin [An-Nasikh wa al-Mansukh hlm. 26; Syarh Umdah al-Fiqh – kitab ash-Shiyam- karya Ibnu Taimiyah 1/262-264; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Katsir 1/499-500]. 

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”, terdapat penetapan bahwa penyaluran fidyah hanya diberikan kepada orang miskin, sehingga berbeda dengan penyaluran zakat [Al-Iklil hlm. 39].
  2. Terdapat perbedaan tingkatan dalam amal berlandaskan firman Allah (yang artinya), “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Tentunya perbedaan tingkatan dalam suatu amal melazimkan adanya perbedaan kedudukan pelakunya di sisi Allah [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/330]. 

Aspek Balaghah pada Ayat

Firman Allah “أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ” diungkapkan dengan kata “أَيَّام” yang merupakan bentuk jamak qillah dan disifati dengan kata “مَعْدُودَاتٍ” yang juga berbentuk jamak qillah. Hal ini dimaksudkan sebagai isyarat bahwa berpuasa di bulan Ramadhan bagi hamba adalah hal yang ringan dan mudah. Hal ini karena hari-hari berpuasa dibatasi oleh bilangan yang dapat dihitung dan bukan dilaksanakan dalam waktu yang lama yang tidak dibatasi oleh bilangan [Tafsir Abu Hayyan 2/180; Tafsir Ibnu Asyur 2/161].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56273-ayat-ayat-shiyam-bag-2.html