Berhaji Harus Ikhlas dan Sesuai Tuntunan

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Seperti diketahui bahwa syarat-syarat diterimanya amal ibadah ada dua yaitu; ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

{قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا }

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al Kahfi: 110).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ketika mengomentari ayat di atas,

وَهذانِ ركُنَا العملِ المتقَبَّلِ. لاَ بُدَّ أن يكونَ خالصًا للهِ، صَوابُا  عَلَى شريعةِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.

“Ini adalah dua rukun diterimanya amalan yaitu harus ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir.

Sedangkan Ibnul Qayyim mengatakan suatu perkataan yang sangat indah dan penuh makna,

أي كَما أنهُ إلهٌ واحدٌ لاَ إلهَ سواهُ فَكذلكَ ينبغِي أَنْ تكُونَ العبادةُ لهُ وحدَهُ فَكمَا تَفَرَّدَ بِالالهيةِ يُحِبُّ أنْ يُفردَ بِالعبوديةِ فالعملُ الصالحُ هوَ الْخالِى مِن الرياءِ المُقَيَّدُ بِالسُّنةِ وَكان مِنْ دُعَاء عمرِ بنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِى كلَّهُ صَالحِاً وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصاً وَلاَ تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئاً

 “Sebagaimana Allah adalah sembahan satu-satu-Nya, tidak ada sesembahan selain-Nya, maka demikian pula seharusnya ibadah hanya milik-Nya semata, sebagaimana Allah satu-satu-Nya di dalam perkara kekuasaan, maka Dia menyukai disendirikan dalam hal peribadatan. Jadi, amal shalih adalah amal perbuatan yang terlepas dari riya’ dan yang terikat dengan sunnah. Termasuk doa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah “Allahummaj’al ‘amali kullaha shoolihan waj’al liwajhika kholishon wa la taj’al li ahadin fihi syai-an” (Wahai Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal shalih/baik dan jadikanlah amalanku hanya murni untuk wajah-Mu dan janganlah jadikan dalam amalku sedikitpun untuk seorang makhluk). Lihat Kitab Al Jawab Al Kafi.

Dan demikian pula dalam ibadah haji, harus:

Pertama: Ikhlas, yaitu mengerjakan amal ibadah murni hanya kepada Allah Ta’ala saja bukan kepada yang lain.

Dan ikhlas adalah,

الإِخْلاَصُ أَلاَّ تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شاَهداً غَيْرَ اللهِ ، وَلاَ مُجَازِياً سِوَاهُ

 “Tidak mencari yang melihat atas amalmu adalah selain Allah dan tidak mencari yang memberi ganjaran atas amalmu selain-Nya”. Lihat Madarij As Salikin.

Orang yang ikhlas tidak akan pernah suka dipuji oleh manusia dan tidak akan pernah berharap apa yang ada ditangan manusia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

لاَ يَجْتَمعُ الإِخلاصُ فيِ الْقلْبِ وَمحبةُ الْمَدحِ وَالثَّنَاءِ وَالطَّمَعِ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ إِلاَّ كَمَا يَجْتَمِعُ المْاءُ والنارُ والضَّبُ والحُوتُ

“Tidak akan berkumpul di dalam hati, keikhlasan dengan kecintaan terhadap pujian dan ketamakan terhadap yang ada di tangan manusia kecuali seperti berkumpulnya air dengan api atau biawak dengan ikan”. Lihat kitab Al Fawaid, karya Ibnul Qayyim.

Amalan yang tidak ikhlas tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaraka wa Ta’ala  berfirman: “Aku Maha tidak butuh kepada sekutu, barangsiapa beramal suatu amalan yang dia menyekutukan-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan amalan itu bersama apa yang dia sekutukan”. (HR. Muslim)

Khusus mengenai ikhlas dalam ibadah haji, Allah Ta’ala berfirman,

{وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud“. (QS. Al Hajj: 26).

Kedua: Mutaba’ah, yaitu amalan ibadah tersebut hendaklah sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim).

Khusus di dalam pelaksanaan ibadah haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِى هَذَا

“Wahai manusia, ambilah manasik kalian (dariku), karena sesungguhnya aku tidak mengetahui mungkin saja aku tidak berhaji setelah tahun ini”. (HR. Muslim dan lafazh ini dari riwayat An Nasai).

 خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى أَنْ لاَ أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ

 “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR. Muslim).

Tidak akan lurus perkataan, perbuatan dan niat kecuali mengikuti sunnah. Sufyan bin Sa’id Ats Tsaury rahimahullah berkata,

” كان الفقهاءُ يَقُولُونَ : لاَ يَسْتَقِيْمُ قَولٌ إِلاَّ بِعَملٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ ونيةٌ إِلاَّ بِمُوَافقةِ السُّنَّةِ”.

 “Para Ahli Fikih berkata: “Tidak akan lurus perkataan kecuali dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan mengikuti ajaran (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”. Lihat kitab Al Ibanah, karya Ibnu Baththah.

Siapa yang beribadah menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ibadahnya akan melenceng dari kebenaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

من فارق الدليل ضل السبيل، ولا دليل إلا بما جاء به الرسول – صلى الله عليه وسلم –

 “Barangsiapa yang menjauhi dalil maka ia telah tersesat jalan, dan tidak ada dalil kecuali dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Miftah Dar As Sa’adah

Jadi hajipun harus ikhlas dan harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberi kita semua kaum muslim haji mabrur.

Rabu, 23 Syawwal 1432 H, Dammam KSA

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10261-haji-mabrur-1-berhaji-harus-ikhlas-dan-sesuai-tuntunan.html

Banyak yang Berangkat Haji, Sedikit yang Berhaji

Kita diperintah untuk ikhlas dalam amalan dan bukan hanya terus menerus memperbanyak amal. Niat kita mesti diluruskan dalam setiap beramal. Termasuk pula dalam amalan mulia semacam haji.

Ada seseorang yang pernah berkata pada Ibnu ‘Umar mengenai banyaknya orang yang berhaji. Ibnu ‘Umar berujar, “Memang banyak yang berangkat haji, namun sedikit yang berhaji.” Syuraih juga berkata, “Yang berhaji itu sedikit , namun yang berangkat haji itu banyak.” Maksudnya adalah banyak orang yang berbuat baik, namun sedikit yang bisa ikhlas dalam ibadah, yaitu hanya mengharap wajah Allah.

Dalam beramal kita dituntut untuk melakukan dua perkara yaitu murni dalam beribadah pada Allah (alias: ikhlas) dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110).

Fudhail bin ‘Iyadh ditanya mengenai ayat,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2). Kata Fudhail, yang dimaksud adalah akhlashuhu wa ashwabuhu, yaitu yang paling ikhlas dan paling mengikuti tuntunan nabi.

Semoga Allah memberi kita taufik dan hidayah agar terus beribadah kepada Allah dengan ikhlas.

(*) Dikembangkan dari kitab “Ahwalus Salaf fil Hajj”, karya: Dr. Badr bin Nashir Al Badr, hal. 24-25, terbitan Darul Fadhilah.

@ Sakan 27, KSU, Riyadh, KSA, 15 Syawal 1433 H

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/2781-banyak-yang-berangkat-haji-sedikit-yang-berhaji.html

Bolehkah Berdagang Sambil Berhaji?

Berhaji bagi yang mampu melaksanakannya adalah kewajiban yang ditentukan agama. Namun bolehkah kita berhaji sambil berniaga atau berdagang?

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau menceritakan tentang Ukazh, Majinnah, Dzul Majaz dahulu merupakan pasar-pasar di masa jahiliah. Dan saat Islam datang, para pedagangnya merasa berdosa jika melakukan perniagaan dalam musim-musim haji.

Untuk itu, mereka pun bertanya kepada Rasulullah SAW. Rasul tidak langsung menjawab, maka turunlah firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 198:

“Laysa alaikum junahun an tabtaghu fadhlan min Rabbikum. Fa idza afadhtum min arafatin fadzkurullaha indal-masy’aril harami, Wadzkuruhu kama hadakum wa in kuntum min qablihi lamina-dholin,”.

Yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikir kepada Allah di Masya’aril Haram. Dan berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana yang ditujukanNya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat,”.

Dalam kitab Asbabun Nuzul karya Imam As-Suyuthi dijelaskan, seseorang berkata pada Ibnu Umar tentang boleh tidaknya menyewakan tanah pada waktu yang sama dalam berhaji. Mendengar hal itu, Ibnu Umar pun menjelaskan.

Dia berkata: “Telah datang seseorang kepada Nabi SAW dan bertanya hal yang sedang engkau tanyakan kepadaku sekarang. Tetapi Rasulullah SAW tidak langsung menjawab. Hingga turun Jibril menyampaikan kepadanya perihal ayat (Al-Baqarah ayat 198).
Bahwa sejatinya, tidak ada dosa untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan dari Tuhanmu). Kemudian, kata Ibnu Umar, Rasulullah SAW memanggil orang yang bertanya padanya itu dan bersabda: “Kalian dapat menunaikan haji,”.

IHRAM

Inilah Daftar Kasus Jamaah Haji Gagal Berangkat di Indonesia

Pemerintah melalui Kementerian Agama pada Selasa (2/6), telah mengumumkan keputusan tidak memberangkatkan jamaah haji dari Indonesia ke Arab Saudi pada musim haji 2020. Hal tersebut lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 dan Arab Saudi yang tak kunjung memutuskan apakah perhelatan haji tahun ini jadi atau tidak.

Namun ternyata, kasus jamaah haji gagal berangkat asal Indonesia tidak hanya terjadi di tahun ini. Meskipun, skalanya tidak sebesar jamaah haji gagal berangkat pada 2020 ini yang sifatnya nasional. Berikut ini adalah beberapa kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia.


*1456
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Manshur Shah. Gagal berangkat karena menunggu kapal yang tidak kunjung tiba

*1477
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Shah. Gagal berangkat jarena kapal tidak datang


*1940-1945
Tak ada pengiriman jamaah haji dari Hindia Belanda karena larangan penjajah Belanda dan Jepang akibat perang dunia kedua


*1945-1948

Tak ada pengiriman jamaah haji dari Indonesia secara resmi. Hal ini berdasarka fatwa KH Hasyim Asyari yang mengharamkan pergi haji karena kemerdekaan bangsa terancam direbut kembali oleh penjajah. Fatwa ini menjadi dasar pijakan Menag Fathurrahman Kafrawi untuk mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama No. 4/1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang.


*1967

a. Yayasan Dana Bantuan dan Tabungan Haji Indonesia (YDBTHI)  gagal memberangkatkan jamaah hajinya karena sistem yang dilakukan tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan yayasan.

b.  Yayasan Al-Ikhlas gagal memberangkatkan ratusan jamaah haji karena tidak berkoordinasi dengan pihak pelayaran ada tahun 1966.

*1970

Yayasan Muawanah Lil Muslimin (Ya Muallim) gagal berangkatkan 1.000 jamaah haji karena belum daftarkan jamaahnya pada PT Arafat sebagai penyelenggara perjalanan haji melalui kapal laut.

*1978

Banyak  jamaah haji yang telah mendaftar dan masuk dalam manifest keberangkatan PT Arafat, namun tak berangkat. Ini karena izin operasionalnya dicabut oleh Departemen Perhubungan.

*1995

Jumlah jamaah haji pada saat itu telah melebih kuota sebanyak 180.000 jamaah. Sehingga, terdapat ribuan jamaah yang terpaksa tidak bisa berangkat dan waktu itu menjadi keresahan nasional. Itulah yang kemudian menghilhami dibangunnya Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat).

*2004

Hal serupa terjadi lagi pada 2004 ketika Pemerintah RI meminta tambahan kuota kepada Pemerintah Arab Saudi sebanyak 30 ribu jamaah. Sayangnya, pemerintah terlanjur mengumumkan dan mempersiapkan tambahan kuota tersebut. Padahal, Pemerintah Arab Saudi belum mengabulkan. Hal tersebut cukup menghebohkan, sehingga penyelenggaraan haji kala itu dikritik dan mendapat catatan dari masyarakat. Sebanyak 30 ribu jamaah haji tidak jadi berangkat dan diprioritaskan pada tahun berikutnya.

*2020

Kementerian Agama memutuskan tidak memberangkatkan 221 ribu jamaah haji yang siap berangkat. Ini lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 yang membuat Arab Saudi tak kunjung memutuskan nasib penyelenggaraan haji. Sehingga, persiapan yang dilakukan Kemenag RI untuk melayani jamaaj habi tak akan terkejar.

photo
infografis deretan kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia. – (Republika)



Sumber: Haji Dari Masa ke Masa (2012) / Kemenag

IHRAM

Keutamaan Menunaikan Ibadah Haji (2-Habis)

 Haji merupakan ibadah yang dirindukan setiap muslim di atas bumi ini. Ada banyak cerita tentang kerinduan kaum muslimin terhadap ibadah haji.

Dikutip dari buku Bekal Haji karya Dr. Firanda Andirja, Lc, MA, penulis menyebutkan sebagian dalil-dalil dari Alquran maupun hadist shahih yang menyebutkan keutamaan berhaji.

Kelima, bagi laki-laki, haji mabrur merupakan amalan terbaik setelah jihad.
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang amal apa yang paling afdal. Kata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ‘Iman kepada Allah dan Rasul-Nya’. Kemudian beliau ditanyakan lagi, ‘Kemudian amal apa lagi yang afdal setelah itu?’ Beliau menjawab ‘(yaitu) jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala’, Kemudian ditanyakan lagi, ‘Lalu apa lagi yang paling afdal setelah itu?’ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  berkata, ‘Haji yang mabrur'”, (hadist riwayat Bukhari dan Muslim)

Keenam, haji mabrur menghapuskan seluruh dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang berhaji karena Allah dan dia tidak melakukan rafats dan tidak melakukan kemaksiatan maka dia akan kembali sebagaimana hari dia dilahirkan dari perut ibunya”, (hadist riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Rafats misalnya mengucapkan kata-kata keji, melakukan jimak ketika ihram, atau berkata dan melakukan perbuatan yang dapat mengantarakan seorang pada jimak kepada istri. Hal ini karena orang yang berhaji dilarang melakukan perkara-perkara yang dapat menjadikan syahwat atau nafsunya bergejolak.

Tentang haji mabrur, Ibnu Hajar radhiyallahu anhu berkata:
“Sesungguhnya haji mabrur tampak pada akhir haji. Jika ia kembali setelah haji dalam kondisi lebih baik daripada sebelumnya, diketahui bahwa hajinya mabrur”.

Hadits tersebut merupakan dalil kuat yang menunjukkan bahwa orang yang berhaji, jika hajinya mabrur (memenuhi persyaratan), ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak melakukan rafats atau kemaksiatan, seluruh dosanya akan diampuni.

Ibnu Hajar radhiyallahu anhu berkata:
“Dan zahir hadist ini adalah diampunkannya dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar, bahkan dihapuskan dampak-dampak dari dosa-dosa tersebut (di akhirat).

Meskipun demikian, ada perselisihan di antara para ulama, apakah haji yang mabrur hanya menghapuskan dosa-dosa kecil atau juga menghapuskan dosa-dosa besar? Mayoritas atau jumhur ulama berpendapat bahwa dosa yang dihapuskan oleh ibadah haji hanya dosa-dosa kecil. Sementara itu, dosa-dosa besar harus disertai tobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak cukup hanya berhaji. Salah satu dalil tersebut adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

“Salat lima waktu, Jumat yang satu dengan Jumat berikutnya, Ramadhan yang satu hingga Ramadan berikutnya, akan menghapuskan dosa-dosa di antara keduanya jika dijauhi dosa-dosanya besar”, (hadist riwayat Muslim).

Hadist tersebut merupakan dalil bahwa yang dihapuskan adalah dosa-dosa kecil karena menjauhi dosa-dosa besar merupakan persyaratan dihapuskannya dosa-dosa kecil. Hal ini selaras dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala.

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang kalian dialrang melakukannya, kami akan menghapuskan keburukan-keburukan kalian…”, Alquran surah An Nisa ayat 31.

Meskipun demikian, wallahu a’alam bi shawab, pendapat yang lebih kuat justru menyatakan haji mabrur juga menhapuskan dosa besar. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hajar radhiyallahu anhu dan juga Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin radhiyallahu anhu.

Ketujuh, pahala yang berlimpah bagi orang yang berhaji, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

⁣”Sesungguhnya baginya semenjak ia (orang yang berhaji) keluar dari rumahnya, tidaklah hewan tunggangannya melangkahkan kakinya selangkah, kecuali dicatat baginya sebuah kebaikan atau dihapuskan baginya satu keburukan.

Jika ia wuquf di Arafah, Allah turun ke langit dunia, lalu berkata: ‘Lihatlah hamba-hamba-Ku datang memenuhi panggilan-Ku dalam kondisi rambut semrawut dan penuh dengan debu. Maka, saksikanlah (wahai para malaikat), sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka meskipun sebanyak butiran-butiran air hujan, meskipun sebanyak butiran-butiran pasir yang menjulang.

Jika melempar jamarat, ia tidak tahu ganjaran yang akan diperolehnya hingga Allah memenuhi ganjarannya pada hari kiamat.

Jika ia menggunduli kepalanya, setiap helai rambut yang jatuh dari kepalanya akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.

Jika ia telah selesai dari putaran tawafnya yang terakhir, ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya”, (Shahih Ibnu Khuzaimah).

IHRAM

Keutamaan Menunaikan Ibadah Haji (1)

 Haji merupakan ibadah yang dirindukan setiap muslim di atas bumi ini. Ada banyak cerita tentang kerinduan kaum muslimin terhadap ibadah haji.

Dikutip dari buku Bekal Haji karya Dr. Firanda Andirja, Lc, MA, penulis menyebutkan sebagian dalil-dalil dari Alquran maupun hadist shahih yang menyebutkan keutamaan berhaji.

Pertama, Haji merupakan rukun islam yang kelima. “…melaksanakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (QS:Ali Imran:97).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadatain, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa pada bulan Ramadhan”, (HR Bukhari dan Muslim).

Kelima perkara ini merupakan pondasi utama islam. Oleh sebab itulah, seorang berusaha mendirikan bangunan islamnya dengan sesempurna mungkin. Semakin sempurna bangunan islamnya, semakin sempurna keimanannya dan makin baik surganya di akhirat.

Kedua, balasan haji adalah surga. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa-dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga”, (HR Bukhari dan Muslim)

Dalil tersebut merupakan bukti bahwa haji yang mabrur akan mendapatkan balasan yang setara, yaitu surga. Hal tersebut berbeda dengan umrah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membedakan umroh dengan haji.

Umroh yang satu dengan yang lainnya akan menghapuskan dosa-dosa di antara kedua umroh tersebut. Sementara itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebut bahwa haji yang mabrur, dalam hal ini ada perbedaan antara pahala haji dengan pahala umrah akan mendapatkan balasan yang setimpal, yaitu surga.

Ketiga, haji menghilagkan dosa dan kemiskinan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tunaikanlah haji dan umroh secara silih berganti, karena haji dan umroh itu bisa menghilangkan kefakiran dan juga bisa menghilangkan dosa-dosa sebagaimana alat tiup pandai besi untuk menghilangkan kotoran besi/karat besi, emas, dan perak,” (HR At-tirmidzi dan An-Nasai)

Kata-kata ‘Tunaikanlah haji dan umrah secara silih berganti’ dapat diartikan bahwa ketika menjadikan atau mengerjakan salah satunya, jadikanlah atau kerjaan yang lainnya. Dalam hal ini jika sudah berhaji maka umrahlah dan jika sudah berumrah maka berhajilah. Hadits tersebut memperlihatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk menyertakan haji dan umrah bagi orang yang mampu. Hal ini karena, ‘haji dan umrah itu bisa menghilangkan kefakiran dan juga bisa menghilangkan dosa-dosa’.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan keutamaan haji dan umrah bukan hanya berkaitan dengan masalah akhirat atau sekedar menghilangkan dosa-dosa, melainkan juga menghilangkan kefakiran. Jadi, apabila seseorang ingin agar kesejahteraan ekonominya bertahan, ia hendaknya berhaji dan umrah karena keduanya akan menghilangkan kefakiran pada dirinya.

Keempat, haji merupakan jihad bagi kaum wanita. Ummul Mukminin Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Wahai Rasulullah, kami (para wanita) melihat jihad merupakan amalan yang paling utama, apakah kami (kaum wanita) tidak berjihad?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Laa (Tidak), bagi kalian (para wanita) ada jihad yang terbaik, yaitu haji mabrur” (HR Bukhari).

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan olh Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya, Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah wajib bagi para wanita untuk berjihad?’ kata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ‘Iya, wajib bagi kalian untuk berjihad yang tidak ada peperangan di dalamnya: (yaitu) haji dan umrah'”.

Hadits di atas merupakan dalil bahwa haji dan umrah khususnya haji, merupakan jihad bagi wanita. Hal ini tentu benar mengingat beratnya kondisi para wanita dalam melaksanakan ibadah haji, apalagi pada zaman sekarang.

Dahulu yang memberatkan para wanita adalah safar atau perjalanan menempuh medan yang berat dan jarak yang jauh untuk melaksanakan ibadah haji. Pada zaman sekarang ini, hal yang memberatkan adalah kepadatan jamaah haji. Mereka harus berdesakan atau saling dorong serta menghadapi kemacetan yang luar biasa.

Bukan hanya haji reguler yang mengalami kesulitan, bahkan haji plus yang biayanya lebih mahal pun tetap merasakan kesulitan. Apalagi bagi para jamaah wanita. Oleh karena itu, haji dan umrah dianggap jihad untuk para wanita.

IHRAM

Jumlah Haji yang Dilakukan Rasulullah Setelah Hijrah

Berapa kali Nabi Muhammad SAW  berhaji dalam hidupnya? Diriwayatkan dari Abu Ishaq, ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Berapa kali kamu berperang menyertai Rasulullah SAW?” Dia menjawab, “Tujuh belas kali.” Kata Abu Ishaq, “Kemudian Zaid bin Arqam bercerita kepadaku bahwa Rasulullah SAW
pernah berperang sembilan belas kali, dan beliau berhaji sekali setelah beliau berhijrah, yaitu haji wada’.” (Muslim bab Haji Nabi SAW).

Sementara itu Jabir bin Abdullah ra. meriwayatkan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah tinggal di Madinah selama sembilan tahun namun beliau belum berhaji.

Kemudian pada tahun kesepuluh beliau mengumumkan bahwa beliau akan berhaji, sehingga banyak orang yang hadir ke Madinah yang kesemuanya ingin turut serta bersama Rasulullah SAW dan melakukan amal ibadah seperti beliau.” (Muslim bab haji Nabi SAW)

IHRAM

Faktor Keamanan Bisa Jadi Variabel Penting Istithaah Haji

Ketika itu perjalanan ke tanah suci sangat menyita waktu, tenaga dan harta. Banyak orang yang meregang nyawa karena lelahnya perjalanan dan rawannya menuju rumah Allah SWT di kota Makkah.

Rasulullah SAW mengalami bagaimana sulitnya melakukan perjalanan ibadah haji dari Madinah ke Makkah. Rintangan yang dilalui Rasulullah ketika itu buka hanya terik matahari di tengah padang pasir, melainkan dari orang yang memusuhinya karena Rasulullah menyampaikan risalah Agama Islam.

Ustaz Ahmad Sarwat, Lc, MA dalam bukunya “Ibadah Haji Syarat-syarat” menceritakan, ketika itu kesulitan yang dialami rombongan haji Rasulullah bukan hanya medan yang dilalui, akan tetapi orang-orang di dalam kota Makkah yang juga membahayakan Rasulullah. “Di masa Rasulullah SAW, beliau sendiri mengalami masa di mana keadaan tidak aman,” katanya.

Menurutnya, keadaan tidak aman bukan hanya di padang pasir melainkan justru di dalam kota Makkah sendiri yang ketika saat itu masih dikuasai para pemeluk agama berhala. Dalam kisah Bait Ridwan, disebutkan bahwa beliau SAW datang bersama tidak kurang dari 1.500 jamaah haji dari Madinah. “Semua sudah berihram dan bertalbiyah menjawab panggilan Allah SWT,” katanya.

Dan tentunya, mereka tidak membawa senjata, karena ibadah haji melarang seseorang berburu, apalagi membunuh manusia.

Namun beberapa kilometer menjelang masuk Kota Makkah, mereka dihadang Khalid bin Walid yang saat itu masih musyrik bersama pasukan musyrikin Makkah dengan senjata lengkap.

“Sesungguhnya menghalangi tamu-tamu Allah yang mau berhaji merupakan hal yang tabu dilakukan oleh penduduk Makkah, karena biar bagaimana pun mereka masih menghormati Kabah Baitullah,” katanya.

Namun, kata Ustadz Ahmad, karena kebencian mereka kepada agama Islam, sampai tega melakukan perbutan naif menghalangi jamaah haji, Rasulullah SAW beserta 1.500 jamaah haji mengurungkan niat mereka untuk menunaikan ibadah haji di tahun itu. 

“Padahal mereka sudah menempuh perjalanan panjang dari Madinah. Dan saat itulah terjadi perjanjian Hudaibiyah menjadi menjadi momentum kemenangan Islam berikutnya,” katanya.

Sehingga secara hukum fiqih, kondisi keamanan baik di jalan maupun di tempat tujuan, menjadi salah satu bagian dari syarat istithaah atau kemampuan. Maka dari itu di masa lalu urusan keamanan dalam perjalanan ini menjadi penting, mengingat perjalanan haji umumnya akan menembus padang pasir.

“Di mana keamanan di sepanjang jalan sangat besar resikonya. Karena di masa lalu, di tengah padang pasir itulah para penyamun berkeliaran,” katanya.

Dan pihak keamanan negara tidak mungkin menjaga seluruh sudut penjuru padang pasir. Sehingga banyak kisah perjalanan haji di masa lalu seringkali dihiasi dengan kisah duka.

Karena rawannya perjalanan menuju tanah suci, ada setiap kafilah haji membutuhkan pengawalan ketat dari pihak-pihak keamanan. Di masa sekarang ini nyaris tidak ada lagi orang yang berangkat haji dengan menembus padang pasir naik unta.

“Karena di tengah padang pasir itu membentang jalan-jalan tol yang lebar dengan aspal yang mulus. Dan sebagian besar jamaah haji datang menggunakan pesawat terbang,” katanya.

IHRAM

Haji Zaman Sekarang Berbeda dengan Waktu Silam

MELAKSANAKAN ibadah haji di zaman sekarang sangat berbeda dengan haji di masa silam. Untuk bisa berhaji di masa silam, orang harus menyediakan waktu yang sangat lama dan tenaga yang besar. Mengingat keterbatasan sarana transportasi ketika itu. Sehingga jumlah jamaah haji masih terbatas.

Berbeda dengan zaman sekarang, fasilitas untuk haji semakin lengkap, sehingga sangat mudah bagi siapapun yang memiliiki kemampuan finansial untuk melakukannya. Ini berakibat meledaknya jumlah jamaah haji. Atas dasar inilah, pemerintah menetapkan, orang yang boleh melakukan haji hanyalah mereka yang memiliki permit haji (Tashrih). Dengan cara ini bisa semakin menertibkan dan mengatur populasi jamaah haji.

Sehingga, adanya syarat tashrih untuk kegiatan haji, sangat memberikan maslahat bagi pelaksanaan haji. Anda bisa bayangkan ketika semua orang diberi kebebasan berangkat haji tanpa permit haji? Ini bisa berpotensi membahayakan kondisi jamaah haji sendiri.

Bagaimana Hukum Haji Tanpa Tashrih?

Sebelumnya perlu anda bedakan antara ibadah yang sah dengan berdosa saat ibadah. Bisa jadi ada orang yang melakukan suatu ibadah dan statusnya sah, namun di saat yang sama, dia juga berdosa. Seperti orang yang berpuasa dan sepanjang berpuasa rajin bermaksiat. Puasanya bisa jadi sah, karena dia tidak melakukan pembatal. Namun dia menuai dosa, karena puasanya diiringi dengan maksiat.

Mentaati aturan pemerintah dalam hal ini adalah kewajiban. Apalagi itu ditetapkan untuk kemaslahatan pelaksanaan haji. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mendengar dan taat kepada pemerintah menjadi kewajiban setiap muslim, baik untuk keputusan yang dia sukai maupun yang dia benci, selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari 7144, Ahmad 6278 dan yang lainnya)

Kaitannya dengan haji tanpa tashrih, ada 2 rincian yang bisa kita berikan,

[1] Haji sunah

Yang dimaksud haji sunah adalah haji setelah kesempatan pertama, misalnya haji untuk yang kedua, ketiga, atau kesekian kalinya. Para ulama menegaskan tidak boleh melakukan haji sunah tanpa tashrih. Imam Ibnu Utsaimin ditanya mengenai hukum haji tanpa tashrih. Jawaban beliau,

“Andai pemerintah mengatakan kepada orang yang belum melaksanakan haji wajib, “Jangan berhaji!” padahal syarat wajibnya sudah sempurna, maka dalam kasus ini tidak boleh ditaati, karena ini maksiat. Allah yang mewajibkannya untuk segera haji, namun pemerintah mengatakan, “Jangan haji!”.

Kemudian beliau menegaskan, “Sementara untuk haji nafilah, bukan haji wajib. Sementara mentaati pemerintah dalam hal yang tidak meninggalkan kewajiban atau melanggar yang haram hukumnya wajib.” Fatwa yang lain pernah disampaikan Syaikh Dr. al-Fauzan hafidzahullah beliau pernah ditanya mengenai haji tanpa permit khsusus.

Jawaban beliau, “Hajinya sah, namun berdosa. Dia menyalahi aturan yang ditetapkan pemerintah untuk kemaslahatan masyarakat dan jamaah haji. Mentaati pemerintah, wajib. Karena beliau menghendaki untuk kemaslahatan masyarakat dan menertibkan kegiatan haji. Hajinya sah, namun dia bermaksiat, dan berdosa ketika haji. Dan tidak boleh seseorang melakukan dosa untuk menjalankan sunah. Haji yang lebih dari sekali hukumnya sunah, sementara tidak mentaati pemerinth, hukumnya haram. Jangan melanggar yang haram untuk mengamalkan yang sunah.” (https://www.alfawzan.af.org.sa/en/node/15766)

[2] Haji wajib

Haji wajib adalah haji yang pertama kali. Ulama berbeda pendapat, apakah haji wajib harus segera dilakukan ataukah boleh ditunda. Pendapat pertama mengatakan, haji wajib segera dikerjakan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Sementara pendapat kedua mengatakan, pelaksanaan haji bagi yang mampu boleh ditunda. Ini merupakan pendapat Imam as-Syafii, al-Auzai, dan Muhammad bin al-Hanafiyah.

Jika anda mendaftar haji reguler, anda akan tertunda keberangkatannya sekian tahun sesuai antrian. Terlepas dari perbedaan di atas, kalaupun seseorang punya uang, lalu segera dia gunakan untuk mendaftar haji, dan harus mengantri, apakah ini termasuk menunda?

Di negara kita, hanya ini yang bisa kita lakukan. Sementara mengikuti haji plus atau furoda dananya sangat besar. Sehingga, menurut kami, mengantri di sini bukan termasuk mengakhirkan haji. Sehingga bentuk segera bagi mereka yang mampu adalah segera mendaftar haji, agar antriannya lebih di depan. Bisa saja, anda berangkat haji tanpa melalui jalur yang sah dengan visa travel (ziarah), sehingga anda lebih cepat berangkatnya. Namun harus dilakukan dengan cara mengelabuhi seperti yang disebutkan di atas.

Kesimpulannya, yang kami pahami dari aturan pemerintah, mereka tidak melarang yang wajib haji untuk segera haji. Namun mengingat keterbatasan kuota dan mempertimbangkan sisi kemanusiaan, untuk mengatur populasi haji, harus dibuat antrian. Dan jalur inilah yang akan mendapatkan permit resmi.

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Berangkatkan Haji Orangtua tapi Diri Sendiri Belum

HAJI Allah wajibkan bagi mereka yang mampu. Allah berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Orang yang sudah memiliki kemampuan untuk haji, maka harus segera mendaftar haji. Dan tidak boleh ditunda.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Segerakanlah berangkat ke kota Mekah (untuk haji), karena kalian tidak tahu, barangkali akan ada halangan sakit atau kebutuhan lainnya.” (HR. Abu Nuaim dalam al-Hilyah, al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, dan dihasankan al-Albani dalam Sahih al-Jami, no. 3990).

Jika Dananya Terbatas, Daftar Haji untuk Diri Sendiri ataukah Mendahulukan Ortu?

Haji adalah fardhu ain, kewajiban bagi setiap individu. Sehingga, baik anak dan bapak, semuanya mendapat kewajiban ini. Karena itu, para ulama mengatakan, dahulukan kewajiban pribadi, sebelum membantu orang lain melaksanakan kewajibannya. Meskipun andaikan ada anak yang mendahulukan haji orang tuanya, status hajinya sah.

Ada pertanyaan yang diajukan ke Lajnah Daimah, “Bolehkah seorang anak memberangkatkan haji orang tuanya, padahal dia juga belum berangkat haji?”

Jawaban Lajnah Daimah, “Haji adalah kewajiban begi setiap muslim merdeka, berakal, baligh, dan memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan menuju ke tanah suci. Kewajiban sekali seumur hidup. Sementara itu, berbakti kepada kedua orang tua dan membantunya untuk melaksanakan yang wajib, adalah amal yang disyariatkan sesuai kemampuan. Hanya saja, kamu wajib melaksanakan haji untuk diri anda sendiri terlebih dahulu, kemudian anda bisa membantu orang tua anda, jika dananya tidak cukup untuk memberangkatkan haji semua. Andai kamu dahulukan orang tuamu untuk haji dari pada dirimu, haji mereka sah.”

Hanya milik Allah segala taufiq. (Fatawa al-Lajnah Daimah, 11/70).

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK