Silaturahmi tidak memiliki makna tunggal, yang berarti kunjungan dan pertemuan saja. Akan tetapi silaturahmi dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tingkat kemampuan, dan tuntutan kondisi di lapangan. Lantas apa arti silaturrahmi dalam Islam? Untuk menjawab itu, berikut 2 arti silaturahmi menurut Imam Al-Qurthubi.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Saffarini dalam karyanyaGhidha ul Albabi Bi Sharh Mandhumatil Aadabi Juz 1, halaman 356, mengutip pernyataan Imam Al-Qurthubi tentang 2 arti silaturahmi. Adapun kutipannya sebagai berikut:
قال القرطبي: الرحم التي توصل عامة وخاصة، فالعامة رحم الدين وتجب مواصلتها بالتواد والتناصح والعدل والإنصاف والقيام بالحقوق الواجبة والمستحبة
Artinya: Imam Al-Qurthubi berkata, hubungan kasih sayang yang bisa menyambung tali persaudaraan ada dua, yaitu, kasih sayang secara umum maupun secara khusus. Adapun kasih sayang secara umum itu kasih sayang yang disebabkan oleh hubungan agama, maka menyambungnya dengan cara saling mengasihi, saling menasehati, berbuat adil, mengakui kesalahan, memenuhi hak-hak yang bersifat wajib maupun sunnah.
وأما الرحم الخاصة فتزيد النفقة على القريب، وتفقد أحوالهم، والتغافل عن زلاتهم، وتتفاوت مراتب استحقاقهم في ذلك كما في الحديث والأقرب فالأقرب
Adapun kasih sayang yang bersifat khusus adalah menambah dengan memberikan nafkah kepada keluarga dekat, memperhatikan kondisi mereka, berusaha melupakan kesalahan mereka, dan hal itu tingkatnya berbeda-beda dalam pemenuhannya sebagaimana dijelaskan dalam hadis, jadi yang didahulukan adalah kerabat yang hubungan kekerabatannya paling dekat kemudian kerabat yang selanjutnya.
Menurut penuturan Imam Al-Qurthubi di atas, tali silaturahmi itu ada dua, yaitu, umum dan khusus. Dan untuk merealisasikan keduanya, kita harus mempererat tali persaudaraan, dan menjunjung tinggi solidaritas antar sesama.
Silaturahmi yang bersifat umum, yaitu, hubungan yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Hubungan keagamaan dapat mempererat tali silaturahmi, karena agama mengajarkan untuk saling mengasihi dan menyayangi. Orang yang mendalami agama pasti mempunyai rasa kasih sayang yang tinggi, ia tidak angkuh dan congkak, ia suka menolong atau membantu orang lain.
Agama Islam menganjurkan untuk saling menasehati, berlaku adil dan tidak pilih kasih dalam memutuskan suatu perkara. Berani mengakui kesalahan, tekun atau istiqamah dalam menjalankan kewajiban.
Adapun silaturahmi yang bersifat khusus, yaitu, berkaitan dengan materi. Seperti memberi nafkah kepada keluarga. Orang yang sudah berkeluarga (menikah) diwajibkan baginya untuk menafkahi Istri dan anaknya. Dan wajib baginya memperhatikan kondisi famili terdekatnya, Dan memaafkan kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat.
Demikian arti silaturahmi dalam Islam dan dalam pandangan Imam Qurthubi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada perbuatan baik yang diajarkan Islam, kecuali memiliki banyak keutamaan baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Silaturahmi merupakan salah satu perbuatan baik yang paling nampak dan paling penting, karena kebaikannya ditujukan langsung kepada kerabat kita sendiri dan bukan orang lain. Di dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,
“Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah, sedangkan terhadap keluarga sendiri mendapatkan dua pahala: sedekah dan silaturahmi.” (HR Tirmidzi no. 658, Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah 1844)
Pentingnya menyambung silaturahmi terbukti dari bagaimana Allah Ta’ala memberikan ganjaran bagi pelakunya di dunia dan di akhirat serta memberikan hukuman bagi mereka yang memutus silaturahmi, baik di dunia maupun di akhirat.
Keutamaan silaturahmi di dunia
Pertama: Memotivasi diri kita untuk lebih mencintai, menyayangi, dan mendahulukan kerabat dekat.
Kedua: Memperkuat hubungan kekeluargaan antar kerabat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979).
Ketiga: Meluaskan rezeki dan memanjangkan umur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571)
Bertambahnya umur di dalam hadis tersebut adalah perpanjangan yang hakiki. Namun, ini berdasarkan ketetapan dan pengetahuan Allah Ta’ala Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam kitab Majmu’ Fatawa mengatakan,
والأجل أجلان ” أجل مطلق ” يعلمه الله ” وأجل مقيد ” وبهذا يتبين معنى قوله صلى الله عليه وسلم ((مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ)) فإن الله أمر الملك أن يكتب له أجلا، وقال :”إن وصل رحمه زدته كذا وكذا ” والملك لا يعلم أيزداد أم لا ؛ لكن الله يعلم ما يستقر عليه الأمر فإذا جاء ذلك لا يتقدم ولا يتأخر”.
“Ajal ada dua jenis: (1) ajal mutlak, yaitu ajal yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala dan (2) ajal muqayyad (terikat). Dengan klasifikasi ini, maka jelaslah makna hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturrahmi.’ Sesungguhnya Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal seseorang. Dia mengatakan, ‘Jika orang ini menyambung silaturahminya, maka tambahlah usianya begini dan begini,’ Dan malaikat tidak mengetahui apakah usia orang tersebut akan bertambah atau tidak. Yang mengetahui perkara tersebut secara pasti hanyalah Allah semata. Dan jika ajal orang tersebut benar-benar telah datang, maka tidak akan dimajukan dan ditunda lagi.”
Keempat: Allah Ta’ala akan menyambung silaturahmi dengan mereka yang menyambung silaturahmi kepada kerabatnya.
إن الله تعالى خلق الخلق حتى إذا فرغ منهم قامت الرحم فقالت: هذا مقام العائذ بك من القطعية. قال: نعم. أما ترضين أن أصل من وصلك، وأقطع من قطعك؟ قالت: بلى، قال: فذلك لك.
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Dan jika telah usai darinya, rahim berdiri lalu berkata, ‘Ini adalah tempat berlindung dari pemutusan silaturahmi.’ Maka Allah berfirman, ‘Ya, bukankah kamu merasa senang aku akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambungmu, dan akan memutus orang yang memutuskan denganmu?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Demikian itu hakmu.’” (HR. Muslim no. 2554)
Keutamaan silaturahmi di akhirat
Pertama: Silaturahmi merupakan sebab masuk surga. Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أنَّ رَجُلًا قالَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرْنِي بعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الجَنَّةَ، قالَ: ما له ما له. وقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ.
“Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.” Orang-orang pun berkata, “Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Biarkanlah urusan orang ini.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 1396)
Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan kerjakanlah salat pada waktu malam ketika manusia sedang tidur. Niscaya, kalian akan dimasukkan ke dalam surga dengan keselamatan.” (Lihat Shahihul Jaami’ no. 7865 karya Al-Albani)
Dari kedua hadis ini jelaslah bahwa silaturahmi merupakan salah satu sebab masuk ke dalam surga dan inilah keinginan serta harapan seluruh kaum muslimin. Cukuplah hal ini sebagai keutamaan yang diharapkan dari menyambung tali silaturahmi.
Kedua: Silaturahmi merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah serta merupakan usaha untuk mendapatkan keridaan Allah Ta’ala, karena Allahlah yang memerintahkan kita untuk melakukannya.
Ketiga: Silaturahmi akan menambah pahala dan kebaikan bagi pelakunya setelah ia meninggal dunia. Mengapa? Karena kerabat dan orang-orang kesayangannya akan selalu mendoakannya setiap kali disebutkan nama orang tersebut dan bagaimana kebaikan serta silaturahmi yang telah ia lakukan sebelum kematiannya.
Hukuman bagi yang memutus silaturahmi di dunia
Pertama: Hukuman memutus silaturahmi yang Allah segerakan di dunia.
“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali kerabat.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902)
Kedua: Amalan orang yang memutus silaturahmi tertolak
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إن أعمال بني آدم تعرض كل خميس ليلة الجمعة فلا يقبل عمل قاطع رحم
‘Sesungguhnya amal ibadah manusia diperlihatkan setiap hari Kamis malam Jumat. Maka tidak diterima amal ibadah orang yang memutuskan hubungan silaturahmi.’” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad no. 61 dan Ahmad di dalam Musnad-nya no. 10277)
Cukuplah hadis ini sebagai pengingat agar diri kita terhindar dari memutus hubungan silaturahmi terhadap kerabat dekat yang telah Allah Ta’ala perintahkan.
Ketiga: Memutus tali silaturahmi menjauhkan pelakunya dari keberkahan rezeki dan panjangnya umur.
Imam At-Thibii rahimahullah mengatakan,
إن الله يبقي أثر واصل الرحم طويلا ؛ فلا يضمحل سريعا كما يضمحل أثر قاطع الرحم
“Allah akan mempertahankan efek menjalin silaturahmi dalam jangka waktu yang lama, dan itu tidak akan cepat menghilang sebagaimana hilangnya efek memutus silaturahmi.” (Fathul Baari karya Ibnu Hajar, 10: 416)
Efek dari memutus silaturahmi adalah dengan dijauhkannya si pelaku dari keberkahan rezeki dan panjangnya umur.
Hukuman memutus silaturahmi di akhirat
Pertama: Memutus tali silaturahmi merupakan sebab pelakunya terlarang dari masuk surga.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قال سفيان: قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 2556)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadis ini memiliki 2 makna:
Yang pertama, hadis ini dimaksudkan untuk mereka yang menghalalkan memutus silaturahmi tanpa sebab dan tanpa ada faktor dan ia mengetahui akan keharamannya (keharaman memutus silaturahmi tanpa sebab). Maka orang tersebut dihukumi kafir dan akan kekal di neraka.
Yang kedua, mereka yang memutus silaturahmi tidak akan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam surga bersama orang-orang yang masuk surga pertama kali. Akan tetapi, Allah hukum terlebih dahulu sampai batas waktu yang Allah inginkan.”
Kedua: Pemutus tali silaturahmi akan diazab di hari kiamat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan kerabat.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902)
Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemutus tali silaturahmi akan diazab di akhirat di samping ia akan mendapatkan hukuman yang disegerakan di dunia.
Dalam Islam, kita dianjurkan untuk selalu menyambung silaturrahmi dengan keluarga, teman, dan saudara muslim lainnya. Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berkunjung, mengadakan halal bihalal, buka bersama, saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Namun, di saat pandemi covid-19, kita perlu tetap menjaga protokol kesehatan yang diwajibkan oleh para dokter. Kita juga perlu niat ketika hendak bersilaturrahmi.
Di antara manfaat bersilaturrahmi, selain melapangkan rezeki, juga bisa mengantarkan kita pada surga Allah. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Ayyub Al-Anshari, dia berkisah;
Ada seseorang berkata; Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka. Rasulullah Saw bersabda; Sungguh dia telah diberi taufik atau sungguh dia telah diberi hidayah, apa tadi yang kamu katakan? Lalu orang itu mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Saw bersabda; Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, melaksanakan shalat, membayar zakat, dan kamu menyambung silaturahmi. Setelah orang itu pergi, Nabi Saw; Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga.
Adapun niat ketika hendak bersilaturrahmi, sebagaimana disebutkan oleh Sayid Muhammad bin Alawi bin Umar Al-Idrus dalam kitab Al-Niyyat, adalah sebagai berikut;
Nawaitut tawadduda wat taqorruba ilaihim was su-aala ‘an ahwaalihim wa idkholas suruuri ‘alaihim wa tholbad du’aa-i minhum.
Aku berniat (bersilaturrahmi) untuk memperlihatkan kasih sayang dan kedekatan kepada mereka, bertanya mengenai keadaan mereka, memberikan kebahagiaan pada mereka, dan meminta doa dari mereka. Wallahu a’lam bis shawab.
Menghargai tamu tanpa membedakan status sosial-ekonominya memerlukan latihan tertentu. Nabi Ibrahim tidak mau makan sendirian. Jika tidak ada tamu yang menemaninya, ia pergi ke pasar mencari orang yang mau diajak makan bersama.
Nabi Muhammad SAW menegaskan dan sekaligus mencontohkan dirinya sebagai orang yang sangat mencintai tamu tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, dan agama. Bagi umat Islam, memuliakan tamu sudah merupakan suatu keharusan sebagaimana ditegaskan Rasulullah: “Akrim al-dhaif walau kana kafiran” (muliakanlah tamunya walaupun ia seorang kafir).
Dalam kitab-kitab hadits ditemukan suatu bab khusus tentang kemuliaan tamu (takrim al-dhaif). Suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu non-Muslim berjumlah 60 orang, 14 orang di antaranya dari kelompok Kristen Najran.
Rombongan tamu dipimpin Abdul Masih. Rombongan ini diterima di masjid dengan penuh persahabatan. Bahkan, menurut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam, juz II, hlm 426-428, ketika waktu kebaktian tiba, rombongan tamu Rasulullah ini melakukan kebaktian di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. Ia tidak membeda-bedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial.
Suatu ketika, Rasulullah menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semiprimitif. Tiba-tiba tamu ini beranjak ke sudut masjid lalu kencing berdiri di situ. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud memukulnya. Namun, Rasulullah menahannya dan memerintahkan agar kencingnya ditimbun dengan pasir. Bahkan, pernah suatu ketika Rasulullah menerima tamu tak diundang, seorang yang sudah lama dicari-cari masyarakat karena terkenal sebagai tukang onar.
Salah seorang sahabat menghunus pedang untuk membunuh orang tersebut, tetapi ditahan Rasulullah dan mengatakan, “Biarkan kita dengarkan apa maksud kedatangannya di sini.” Sang tamu menyadari kalau dia seorang penjahat dan telah melakukan berbagai macam dosa dan maksiat. Ia menjelaskan tujuannya datang menjumpai Rasulullah, siapa tahu pada masa lalunya pernah mengerjakan suatu kebaikan, maka ia akan menghibahkan kebaikan itu kepada orang yang ditunjuk Rasulullah SAW.
Semua sahabat yang hadir di masjid tertegun mendengarkan penjelasan itu. Akhirnya, kasus ini menyebabkan turunlah QS Hud [11]:114: إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ “Innal hasanat yudzhibna al-sayyi’at” (Sesungguhnya amal kebajikan itu menghapuskan dosa-dosa/perbuatan buruk).
Dalam kasus lain, ketika Rasulullah SWT sedang melayani tamu dari pembesar Quraisy, tiba-tiba datang tamu lain yang kebetulan buta (Abdullah bin Ummi Maktum) lalu Rasulullah berpaling daripadanya demi menghargai pembesar Quraisy.
Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS ‘Abas [80]:1-2: عَبَسَ وَتَوَلّٰٓى اَنۡ جَآءَهُ الۡاَعۡمٰ “‘Abasa watawalla, ‘an jaahul a’ma” (Dia bermuka masam dan berpaling. Karena, telah datang seorang buta kepadanya).” Kita sebagai umatnya, selayaknya mencontoh etika dan pribadi Rasulullah terhadap tamu. Tamu tidak pernah mengurangi jatah dan rezeki kita, bahkan para tamu mengundang turunnya berkah dan rezeki dari langit.
Oleh Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
ADA banyak aktifitas yang mungkin kita bisa isi di akhir pekan ini. Boleh jadi meneruskan pekerjaan yang belum usai, merapikan rumah, menghadiri undangan pernikahan saudara atau teman, menjenguk orang sakit, dan lain-lain. Atau, mungkin yang kerap dilakukan pembaca Mozaik Inilah di akhir pekan adalah mengunjungi taman-taman surga? Masya Allah.
Satu aktifitas lain yang tidak kalah bermanfaat bagi akhirat dan dunia kita adalah menyambung tali silaturahmi. Menyambung dalam arti memperbaiki yang rusak atau putus. Karena sebaik-baik silaturahmi adalah mengunjungi kerabat yang memutus silaturahmi. Atau bisa juga dimaksudkan, mengunjungi saudara meski hubungan sedang baik-baik saja (tidak ada masalah/pertikaian). Hal ini mungkin lebih tepat menjaga silaturahmi ya.
Abdullah bin Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang menyambung silaturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturami setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain,” (HR. Bukhari no. 5991).
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan, “Silaturahmi dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.”
Dalam sepekan kita telah menghabiskan lima hari untuk kegiatan mencari nafkah. Tentu kita harus menyediakan waktu untuk menjenguk atau sekadar bermain ke saudara kita yang relatif jauh jaraknya atau membutuhkan perjalanan tertentu, untuk menjaga dan mengeratkan tali persaudaraan. Meski sesama saudara, terkadang boleh jadi terjadi perselisihan, maka mengunjunginya adalah cara terbaik dalam meredam dan menyelesaikan perselisihan.
Jarangnya atau bahkan tidak pernahnya kita saling berkunjung sesama saudara bisa menyebabkan kerenggangan tertentu. Sikap sedikit kaku. Dan tidak tahunya perkembangan saudara kita tentang kesehatannya, keluarganya, pekerjaannya, dan lain-lain. Mungkin saudara kita sedang membutuhkan bantuan orang lain. Sedangkan kita sebagai saudaranya, lebih wajib memberi bantuan daripada orang lain.
Barangkali saudara kita segan meminta langsung ke kita. Apalagi jarak yang menjauhkan. Tentu dengan kedatangan kita menyambung tali silaturahmi, akan semakin melenturkan hubungan dan komunikasi kita. Saudara kita pun akan lebih merasa diperhatikan dan tidak akan sungkan untuk meminta bantuan saat kita di rumahnya. Hal ini berbeda bila saudara kita datang ke rumah kita untuk langsung meminta bantuan.
Menyambung dan menjaga silaturahmi atau silaturahmi antarsaudara, juga akan semakin menguatkan ingatan dan persaudaraan satu nasab. Nasab sendiri dalam agama kita sangat diperhatikan untuk dijaga hubungannya. Sebagaimana pula agama kita sangat membenci dan melarang hal perusak nasab seperti perzinahan. Maka dari itu hendaknya setiap kita meniatkan menjaga silaturahmi sebagai bagian dari menegakkan syariat Allah.
Abdurrahman ibnu Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, Shahih lighoirihi).
Selain hadits di atas, masih banyak terdapat dalil yang menjelaskan manfaat silaturahmi. Akan memakan tempat kalau dijabarkan satu per satu. Sebagai akhir tulisan ini, kami sampaikan dua hadits lain tentang manfaat silaturahmi. Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturahmi”. (HR. Bukhari No. 5985 dan Muslim No. 2557)
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod No. 58, Hasan).
Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita untuk menjalankan salah satu syariat Allah, yakni yang berhubungan dengan saudara kita ini.
Ustaz Khalid Basalamah saat mengisi pengajian komunitas Maa Haa Dzaa di Masjid al-Ikhlas Kompleks Karang Tengah Permai Ciledug, Tangerang, Banten, belum lama in, menjelaskan,
dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Said al-Khudri RA disebutkan, Zai nab, istri dari Ibnu Mas’ud RA, pernah datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata, “Ya Nabi Allah, hari ini engkau menyuruh kami untuk bersedekah. Kebetulan, aku punya perhiasan. Aku ingin me nyedekahkan perhiasan ini, tapi (sua miku) Ibnu Mas’ud mengklaim bahwa dia dan anak-anaknya lebih berhak menerima sedekah dariku.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud. Suamimu dan anakmu lebih berhak mendapatkan se dekahmu itu.” (HR al-Bukhari).
“Hadis di atas menjelaskan kepada kita tentang keutamaan berbuat baik kepada para kerabat,” ucap Khalid. Islam juga mengajarkan umatnya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua. Bahkan, ketika seseorang tidak lagi memiliki salah satu atau kedua orang tuanya maka kewajibannya adalah menjaga silaturahim dengan ke rabat ayah maupun kerabat ibunya.
Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi da lam kitab Minhajul Muslim menga takan, seorang Muslim hendaklah berpegang teguh dengan adab-adab terhadap kera batnya sebagaimana ia berpegang teguh dengan adab-adab terhadap kedua orang tua, anak-anak, dan saudara-sauda ra nya. Sebagai contoh, ia hendaknya memperlakukan saudara perempuan ibunya seperti ia memperlakukan ibunya sen diri. Begitu pula, ia memperlakukan sau dara laki-laki ayahnya layaknya ia memperlakukan ayahnya sendiri.
Adab tersebut, kata dia, sejalan de ngan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bara bin Azib RA, “Khalah (saudara perempuan ibu) adalah dalam kedudukan ibu.” (HR at-Tirmidzi). Da lam satu riwayat diceritakan, Ali bin Abi Thalib RA sering kali mendatangi pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib RA. Dalam setiap pertemuan mereka, Ali se lalu du duk di dekat Abbas dan mencium tangan laki-laki itu sambil berkata, “Wa hai Pa man, maafkanlah kesalahan-ke salahanku.”
“Dari riwayat di atas, dapat kita ke tahui bahwa kedudukan saudara laki-laki ayah adalah seperti ayah kita sendiri. De ngan demikian, bagi anak yang ayah nya sudah meninggal, baktinya teralih kan ke pada saudara laki-laki ayahnya atau pa mannya. Sementara, bagi anak yang ibu nya sudah meninggal, baktinya teralihkan kepada saudara perempuan ibunya atau bibinya,” ujar Khalid.
SAHABAT berkata kepada Rasulullah saw, “Ajari aku sebuah amalan agar umurku panjang.”
Rasul pun memberi resepnya, “Jika kau ingin umurmu panjang, sambunglah silaturahmi !”
Kita sering mendengar hadis dari Rasulullah saw tentang “Silaturahmi Memperpanjang Umur”. Panjang umur ini memiliki dua makna, umurnya yang telah ditentukan diberi tambahan oleh Allah atau diberi tambahan keberkahan dalam umurnya.
Mungkin kita bertanya, bukankah umur manusia telah ditentukan? Bagaimana bisa umur kita berubah atau bertambah?
Memang umur manusia adalah sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah. Namun Allah memiliki wewenang untuk merubahnya, bukankah Allah berfirman,
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia Kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab.” (QS.Ar-Rad:39)
Dan pada ayat lainnya Allah Mengisyaratkan pula tentang penambahan umur manusia.
“Sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Dia Mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan.” (QS.Nuh:3-4)
Jangan bertanya, “apakah bisa umurku bertambah” sementara kita sendiri tidak tau berapa batas umur kita. Mungkin ketentuan umur kita adalah 40 tahun tapi masih hidup hingga umur 45 tahun, tanpa kita sadari sisa umur itu adalah bonus tambahan dari Allah swt.
Jika kau ingin umurmu panjang, sambunglah silaturahmi. Resep yang amat singkat dari lisan suci Rasulullah saw. Karena silaturahmi termasuk amalan yang akan dibalas langsung di dunia seperti halnya berbakti kepada orangtua.
Bentuk dari silaturahmi juga bermacam-macam. Ada yang berupa kunjungan kepada kerabat yang mungkin telah lama tak bertemu dan bisa pula berbentuk bantuan kepada kerabat yang membutuhkan.
Silaturahmi juga ada tingkatannya. Jika kita sedang datang kepada kerabat yang membutuhkan, maka wujud silaturahmi kita adalah membantunya sesuai dengan kemampuan kita. Jika hanya menengok lalu membiarkannya dalam kesulitan tanpa ada usaha untuk membantu (padahal kita mampu untuk membantunya), lalu apa gunanya silaturahmi?
Jangan pernah bersedih jika kita telah menyambung silaturahmi tapi tidak ada balasan atau respon yang baik dari orang yang kita kunjungi. Jangan menyesal dan marah karena kita sedang berurusan dengan Allah bukan dengan mereka.
Jika kita bersilaturahmi karena orangnya, maka kita akan kecewa jika tidak ada balasan yang baik. Namun jika kita silaturahmi karena Allah dan Rasul-Nya, maka kita hanya berharap pahala dan balasan dari-Nya.
Dan orang-orang yang paling berhak dikunjungi dan dibantu adalah keluarga terdekat. Mereka harus mendapat perhatian lebih dari kita. Jangan sampai memperdulikan orang lain tapi menelantarkan sanak famili.
Silaturahmi memang punya pahala tersendiri, namun silaturahmi kepada sanak famili memiliki pahala dua kali lipat. Apalagi sanak famili itu juga menjadi tetangga kita, maka akan mendapat pahala 3 kali lipat. Maka perhatikanlah orang terdekatmu dahulu dan jangan lupa untuk memperhatikan kaum muslimin yang lainnya.
Karena itulah, mari kita sambung kembali tali silaturahmi yang mungkin mulai renggang. Kita harmoniskan kembali hubungan kita dengan sesama, terutama dengan kerabat dekat kita. Karena siapa yang memutus hubungan silaturahmi maka Allah akan Memutus hubungan dengannya di Hari Kiamat. [khazanahalquran]
“Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang,” (HR At-Thabrani)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasih dan sayang dua sifat yang lebih sering disebut sebagai satu kata meski maknanya agak berbeda. Sifat kasih yang berarti mengasihi sesama, tak memandang suku, ras, agama, yang biasanya tercermin dari sifat peduli dan mau berbagi. Sedangkan sayang, sifat yang melekat dalam diri individu yang sifatnya lebih personal, seperti sayangnya orangtua ke anak, atau sebaliknya. Dua sifat tersebut (kasih dan sayang) sudah sepatutnya melekat dalam diri kita sebagai makhluk yang tercipta dengan amat sempurna.
Kesempurnaan itu terlihat dari keberadaan panca indera lengkap dengan fungsinya. Tidak hanya panca indera, organ-organ tubuh lainnya juga membuat manusia mampu bertahan hidup setiap hari demi menjalani fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dan satu hal lagi yang tak terlupa dan membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya ialah akal. Manusia sempurna karena akal yang dianugerahi Allah Subhanahu Wata’alaa, jika akal tersebut digunakan untuk berpikir merenungi kebesaran Allah dan hal-hal yang mengandung kemaslahatan
Dalam Alquran, Allah menganjurkan kita untuk menjaga tali silaturrahim (hubungan kasih sayang kepada sesama). Silaturrahim yang merupakan terjemah dari bahasa Arab—terdiri atas dua kata yaitu shilah dan rahim—bisa dimaknai dengan serangkaian tanggung jawab Muslim dengan Muslim lainnya—dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari—yakni saling menebar salam, memenuhi undangan, menjenguk saudara yang sakit, mengantar jenazah, hingga menjawab (dengan doa) jika saudara kita bersin dan ia memuji Allah.
Dalam hadits shahih Imam Bukhari yang lain pun demikian. Rasulullah Saw menganjurkan jika salah satu di antara kita jika memasak sayur, maka perbanyaklah airnya. Memperbanyak air yang beliau maksudkan disini dapat dimaknai dengan memperbanyak kuantitasnya sehingga sayur itu tidak hanya bisa disantap oleh yang membuat atau keluarganya saja, namun juga bisa dibagi ke para tetangga. Sebab, dengan memberi itulah menjadi salah satu jalan untuk menguatkan hubungan baik dan mempererat silaturrahim.
Dalam surah AN-Nisa, Allah membukanya dengan perintah untuk bertaqwa dan menjaga tali kasih sayang kepada sesama, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan- mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan) mempergunakan (nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan) peliharalah (hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Bukan tanpa alasan Allah dan Rasulnya memerintahkan kita untuk pandai menjaga silaturahim. Salah satu alasannya ialah karena dengan berbuat baik, maka kita menpraktikkan salah satu sifat Allah, yang terus menerus berbuat baik untuk para hamba-Nya, seperti yang tertera dalam surah Al-Qashash ayat 77 di bawah ini.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 77)
Memiliki hati yang penuh kasih dan sayang serta berusaha untuk selalu berbuat baik terkadang memang tidaklah mudah. Ego diri dan emosi kerap melanda hati manusia jika saja mereka jauh dari Allah Swt. Padahal, dengan memiliki kedua sifat di atas kita takkan pernah merugi. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw, “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Tirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)
Sabda Nabi—rahmatilah yang ada di bumi— ini disepakati oleh para ulama sebagai konteks yang sifatnya umum, kaidah ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa kata ‘man’ atau siapa berlaku keumuman. Maka dengan sifat keumuman ini, anjuran berkasih sayang mencakup seluruh jenis makhluk hidup, siapa saja, yang ada di bumi; seperti rahmat kepada sesama muslim, orang non muslim, hewan, tumbuhan, bahkan orang fajir (memiliki banyak dosa sekalipun) harus kita sayangi; bukan justeru diacuh dan dijauhkan sehingga membuat mereka merasa tidak dipedulikan.
Sifat berkasih sayang dalam hadits di atas yang konteksnya umum, juga diperjelas dalam satu hadits yang menggambarkan anjuran kasih sayang kita kepada binatang, “Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR. Bukhari). Hal tersebut menunjukkan bahwa, menyembelih hewan saja ada aturan dan tata caranya agar tidak menyakiti dan menyiksa binatang tersebut. Jika dengan hewan saja harus memiliki tata krama dan kasih sayang, bagaimana dengan sesama manusia?
Terakhir, satu kisah yang mungkin bisa kita jadikan pelajaran adalah sifat kasih sayangnya seorang pelacur kepada anjing yang ternyata dengan sifat kasih sayangnya itulah menghantarkan perempuan pezina tersebut mendapatkan hadiah pengampuan dari Allah Subhanahu Wata’alaa. “Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)
Dengan anjuran berkasih sayang yang sifatnya umum inilah mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa Islam tidak menentukan tanggal tepat kapan manusia dapat mencurahkan kasih sayangnya, justeru, Islam menganjurkan pemeluknya untuk menyayangi siapa saja, dimana saja dan kapan saja.