Pesan singkat yang masuk ke telepon Siti Nur Hayati, menggetarkan hatinya. Seketika tubuhnya kaku, air matanya mengalir membaca pesan itu.
Pesan singkat itu berisi kabar duka yang ditulis kerabat orang tuanya di Tanah Suci Makkah. “Saya dapat WA, dikabari ibu meninggal,” Kata Nur mengisahkan kepergian orang tuanya pada Republika.co.id, Kamis (7/9) sore .
Ia pun meneruskan kabar duka itu pada saudara-saudaranya. Tak berapa lama, Nur bisa berkomunikasi dengan ayahnya yang juga berada di Makkah. Percakapan singkat itu diwarnai tangis, kepergian Hajah Sumiyati (72 tahun), atau akrab disapa mbah putri, membuat keluarga besar Nur berkabung hari itu.
Dari yang diceritakan ayahnya, Haji Soedarso, saat berkomunikasi ditelepon, mbah putri meninggal setelah melaksanakan ibadah lempar jumrah di Mina pada Sabtu (2/9) siang waktu Arab Saudi. Ia meninggal di tenda sesaat setelah berbincang dengan suaminya.
“Habis lempar jumrah itu Mbah Putri bilang pengen istirahat, lalu di temani Mbah Kakung ke tenda. Mbah Kakung pergi ke belakang sebentar, saat pulang ke tenda lagi dia bangunkan Mbah Putri, tapi Mbah Putri sudah meninggal,” terangnya.
Masih basah tangis duka keluarga besar Nur di kampung Gonilan, Kartasura, Sukoharjo, kabar duka kembali datang. Sehari setelah kepergian ibunya, kali ini, telepon dari sahabat dekat ayahnya di Tanah Suci mengabarkan kondisi Haji Soedarso yang terus menurun. Jamaah haji yang berusia 82 tahun itu harus mendapat perawatan khusus. Ayah Nur diinfus di pemondokan jamaah haji.
Selang beberapa jam, Haji Soedarso dikabarkan meninggal dunia. “Mbah Kakung pulang dari masjid habis Subuh lalu lemas badannya, sampai pemondokan diinfus. Jam sembilan pagi saya dikabari lagi, Mbah Kakung sudah tidak ada,” terang Nur.
Kepergian dua sejoli itu pun membuat duka seluruh rombongan jamaah haji Indonesia, khususnya teman-teman serombongan mbah kakung dan mbah putri dari Kelompok Terbang ke-36 asal Kota Solo. Jamaah kehilangan sosok sepasang suami istri yang selalu mengajarkan nilai-nilai kesabaran, keikhlasan dan memberikan motivasi satu sama lainnya untuk kuat dalam menjalankan ibadah haji.
Kepala Penyelenggara Haji dan Umroh Kementerian Agama Kota Solo, Rosyid Ali Safitri menuturkan sejak awal keberangkatan kloter 36, dua sejoli itu menyita perhatian banyak orang. Rosyid menyaksikan betapa ikhlas dan sabarnya Soedarso mendampingi istrinya yang menggunakan kursi roda saat berangkat ke Tanah Suci.
Kabar yang diterimanya dari Makkah, suami istri yang tergolong jamaah berisiko tinggi (risti) itu sedikit pun tak melewatkan waktu untuk beribadah. Keduanya khusuk menjalani wukuf di Arafah, Mabid di Musdhalifah dan bermalam di Mina. Sudaraso dan Sumyati juga tak menyerah dengan kondisi panas di Tanah Suci yang menantang semangat setiap jamaah haji.
Rosyid mengungkapkan meski petugas pendamping haji membantu segala kebutuhan dan kepeluan jamaah, terlebih bagi Sumyati, namun Sudarso tetap turut mengurus segala keperluan istrinya yang duduk di kursi roda selama pelaksanaan ibadah haji. Mulai dari menyuapi saat makan, memandikan, hingga mengganti pakaian. Keduanya pun menjadi tauladan bagi jamaah lainnya. “Ini jadi pelajaran bagi kita semua, kesetiaan mbah kakung terhadap istrinya,” kata Rosyid.
Secuil Perjuangan Haji Dua Sejoli
Sumyati dikenal warga sebagai sosok nenek yang enerjik. Meski sudah sepuh, ia masih mampu mengikuti senam yang diselenggarakan warga setiap akhir pekan. Ia juga menjadi penggerak warga kampung Gonilan untuk bahu membahu membangun taman kanak-kanak Aisiyah.
Sedangkan Soedarso adalah pensiunan pegawai negeri sipil. Ia juga salah satu tokoh yang disegani warga, Sudarso kerap memberikan wejangan-wejangan menyejukan saat berkumpul bersama warga sekitar.
Sudah lama, keduanya mendambakan bisa pergi melaksanakan rukun iman kelima, pergi haji ke Baitullah. Niat itu pun disampaikan pada putra-putrinya. Dengan secuil tabungannya, Soedarso meminta anak-anaknya agar membantu mewujudkan mimpi terbesarnya.
Pada 2011, keduanya pun mendaftarkan diri sebagai calon jamaah haji dari Kota Solo. Namun pada 2016, panggilan berangkat hanya ditujukan pada Soedarso. Ia pun menolak, dan memilih kesempatan berhaji tahun itu diberikan pada jamaah lainnya. Sebab Soedarso ingin ibadah hajinya dilakukan bersama-sama dengan istri tercintanya.
Do’a pasusi itu terkabul, ia kembali mendapat panggilan berangkat haji bersama istrinya di tahun berikutnya. Keduanya pun mempersiapkan segala sesuatunya. Penuh semangat Sumyati dan Soerdaso menjalani rentetan prosesi persiapan ibadah haji termasuk latihan manasik haji.
Namun sepekan jelang keberangkatan, Sumyati mendadak drop, tubuhnya lemah lunglai. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit. Meski sempat pesimistis, namun suaminya menguatkan. “Waktu di Rumah sakit Mbah Kakung terus yakinin Mbah Putri bisa berangkat haji. Dia bilang, ayo ta enteni, mangkat bareng mulih bareng, ndang mari. (Saya tunggu, berangkat bareng, pulang bareng, cepat sembuh),” tutur Putut Edi Surtosno, putra Soedarso dan Sumyati.
Kondisi Sumyati pun perlahan membaik, meski sejak saat itu ia harus duduk di kursi roda. Namun tak menyurutkan semangatnya untuk melaksanakan ibadah haji. Keduanya pun akhirnya bisa berangkat ke Makkah pada 7 Agustus lalu.
Dari Tanah Suci, keduanya pun sering mengirim kabar pada anak-anaknya. Sampai pada percakapan sebelum keduanya wafat, Soedarso dan Sumyati meminta putra putrinya itu agar membersihkan rumah, menyiapkan makanan dan minuman, seraya memberi pesan agar menyambut baik setiap tamu yang datang kerumahnya saat keduanya telah selesai melaksanakan ibadah haji.
Tak lupa, anak-anaknya juga diminta untuk menjaga tali silaturahmi, rukun, dan saling mendoakan. “Setelah Mbah Putri wafat, Mbah Kakung kabarnya banyak diam. Jamaah banyak yang mengingatkan untuk bersabar dan iklas, tapi Mbah Kakung bilang, kula sampun ikhlas namung langkung sae menawi kula nderek mbah putri (Saya ini sudah iklas, tapi akan lebih bagus saya ikut istri saya),” katanya.
Almarhum Sumyati dan Sudarso di shalatkan di Masjidil Haram dan dimakamkan di Sarayya, Makkah. Selamat jalan Mbah.
REPUBLIKA