Cuma Alquran Kitab Suci yang Bisa Dihafal

TIDAK banyak yang tahu, bahwa Alquran adalah satu-satunya buku di dunia ini yang dihafal luar kepala oleh ratusan juta umat manusia. Sementara Paus di Roma belum pernah kita dengar menghafal luar kepala Biblenya itu. Demikian juga, kita belum pernah mendengar ada pemuka agama apa pun di dunia ini yang pernah menghafal luar kepala kitab sucinya.

Yang menarik, tidak ada satu pun terjadi perbedaan bacaannya. Bila seorang imam salat salah baca satu ayat Quran, maka semua makmum akan langsung meralat dan membetulkannya. Sehingga kita boleh bilang bahwa sebenarnya kita tidak perlu lagi dengan cetakan Alquran, karena sudah dihafal luar kepala oleh ratusan juta manusia.

Bahkan anak-anak usia 10 tahunan di berbagai belahan dunia Islam sudah menghafal 6000-an ayat luar kepala. Ini bukan cerita khayal, melainkan realita. Di negeri kita ada banyak pesantren yang juga mengajarkan hafal Quran, salah satunya Pesantren Yanbu’ul Quran di Kudus, Jawa Tengah.

Di pesantren ini, anak kelas 1 SD ditergetkan menghafal 5 juz, kelas 2 10 juz, kelas 3 menghafal 15 juz, kelas 4 menghafal 20 juz, kelas 5 menghafal 25 juz dan kelas 6 menghafal 30 juz. Jadi begitu lulus SD (12 tahun) 30 juz Alquran sudah ada di dalam memori otak mereka.

Belum pernah ada sebuah kitab suci di dunia yang bisa dihafal oleh anak SD. Tetapi di Kudus, tiap tahun di wisuda anak-anak SD dengan 30 juz di dalam kepalanya. Sebenarnya masih banyak bukti-bukti sederhana yang memastiakan bahwa Alquran adalah kitab suci dari Allah Ta’ala yang asli dan tidak bisa dipalsukan. Namun sementara, ini saja dulu yang bisa kami sampaikan.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Bertawakal Setelah Berdoa, Jangan Tergesa Pengabulan-Nya

APABILA kita sudah mengetahui bahwasanya doa adalah inti dari ibadah, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, hendaklah kita juga mengetahui bahwa doa adalah inti dari isti’anah (permintaan tolong kepada Allah).

Tidak masuk akal jika kita meminta pertolongan kepada seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tetapi dengan tidak mengucapkan satu kalimat permintaan sedikit pun. Namun, antara permintaan kepada manusia dan permohonan kepada Allah terdapat perbedaan yang sangat jauh.

Terkadang manusia menolak satu permintaan, terkadang pula ia mau memberi suatu permintaan. Akan tetapi, ketika kita memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia akan senantiasa memenuhi permintaan Anda, dan memberikan apa yang diinginkan melebihi apa yang diminta.

Sungguh benar perkataan seorang penyair:

Jangan sekali-kali Anda meminta dari anak Adam untuk satu keperluan

Mintalah kepada Dzat yang pintu-Nya senantiasa terbuka

Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan marah jika Anda tidak meminta kepada-Nya

Sementara anak Adam akan marah ketika diminta

Di berbagai tempat dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, di antaranya firman Allah:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’.” (Al-Mu’min [40]: 60)

Baca: Doa “Ampuh” Imam Ahmad

Firman Allah yang lain:

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf [7]: 55)

Berdoa tidak hanya dilakukan di saat genting saja. Karena hal tersebut adalah sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, baik dalam keadaan senang maupun susah. Rasulullah pernah bersabda:

“Kenalilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di kala senang, niscaya Dia pasti akan mengetahuimu ketika susah.” (HR Ahmad).

Seorang hamba hendaknya banyak berdoa kepada Allah dan selalu mengulang-ulang (baca; mendesak) doanya, karena Allah menyukai hamba-Nya yang mengulang-ulang dalam doanya sebagaimana firman-Nya:

فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“…Maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…” (Al-Baqarah[2]: 186).

Lafazh ‘idza’ (diterjemahkan dengan apabila-edt) berfungsi sebagai tahqiq (benar-benar melakukannya) dan katsrah (sering mengulang-ulang). Berbeda dengan lafazh `in‘ yang berfungsi mewakili perasaan syak (keraguan) dan menunjukkan bahwa tindakan tersebut jarang dilakukan.

Dengan demikian, Allah menyeru hamba-Nya untuk ilhah (mengulang-ulang/mendesak) ketika berdoa dan Dia menjanjikan mereka jawaban yang baik. Hendaklah setiap hamba mengetahui bahwa doanya tidak akan pernah sia-sia.

Rasulullah bersabda:

“Tidak ada seorang muslim pun di bumi ini yang berdoa kepada Allah  kecuali Allah akan memenuhi permohonannya, atau Dia akan memalingkannya dari kejelekan yang setimpal dengan doanya, selama dia tidak berdoa untuk kesalahan (dosa) atau memutuskan silaturrahim.” Seorang laki-laki berkata, ‘Kalau begitu, kami akan banyak melakukannya (berdoa).’ Beliau bersabda, ‘Allah akan lebih banyak lagi (mengabulkannya)’.” (HR At-Tirmidzi).

Oleh sebab itu, jika seorang muslim berputus asa dari dikabulkannya doanya, niscaya doanya juga tidak akan dikabulkan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

“Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa, (yaitu) ia berkata, Aku telah berdoa kepada Rabb-ku, namun doaku belum juga dikabulkan’.”

Allah tidak tergesa-gesa sebagaimana ketergesaan anak Adam, namun setiap keputusan (takdir) yang ada di sisi-Nya mempunyai waktu tertentu. Alangkah indahnya perkataan Imam Syafi’i:

Apakah engkau menyepelekan dan meremehkan doa

Sementara engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh doa

Panah di waktu malam tidak akan salah sasaran

Namun dia memiliki jarak, dan ia mesti ditempuh

Telah disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Nabi Musa alaihis salam ketika berdoa untuk kecelakaan pengikut Fir’aun, beliau berdoa:

رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُواْ حَتَّى يَرَوُاْ الْعَذَابَ الأَلِيمَ

“… Wahai Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka. Maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Yunus [10]: 88)

Kemudian Allah berfirman kepada beliau:

قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا

“…Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua…” (Yunus [10]: 89)

Allah baru mewujudkan doa beliau setelah empat puluh tahun kemudian, dengan ditenggelamkannya pengikut Fir’aun dan diberikannya kekuasaan kepada Bani Israil.

Apakah Nabi Allah, Musa, menganggap doanya terlambat dikabulkan? Tidak, beliau mengetahui bahwa keputusan Allah mempunyai waktu tertentu. Dengan itu, beliau memberikan kabar gembira kepada kaumnya:

رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“…Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya). Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (Al-A’ raf [7]: 129)

Sesungguhnya hakikat isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) tampak pada sikap hamba ketika meminta kepada Rabbnya. Dia meyakini bahwa semua kebaikan berada di tangan Allah,  Dia Maha Pemurah yang memberi tanpa menghitung.

 

Dengan meminta kepada Allah, ia tidak perlu lagi meminta kepada sesama manusia. Dia menjadi mulia karena Rabbnya dan bertawakal kepada-Nya. Para shahabat –semoga Allah meridhai mereka semua–memohon semua keperluan mereka kepada Allah sampai pada urusan tentang makanan ternaknya.

Apa yang menarik dari hal ini? Benar, di dalam jiwa mereka telah tertanam kuat hakikat yang besar bahwasanya Allah adalah Raja Yang Maha Pemurah, Dia tidak pernah menolak orang yang meminta kepada-Nya. Tidak pernah seorang hamba mengangkat kedua tangannya ke langit untuk meminta kepada Rabb-nya, kecuali Dia akan memberikannya.

Allah  Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah [2]: 186)

Rasulullah telah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menghadap (meminta) kepada Allah dalam segala hajat yang kita perlukan, baik keperluan itu datangnya dari Allah atau dari seorang makhluk-Nya, baik untuk kepentingan dunia atau akhirat.

Namun, seorang hamba tidak boleh tergesa-gesa untuk meminta agar doanya segera dikabulkan. Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya. Dia mengetahui kapan memberinya dan kapan menahannya. Hal ini disebutkan dalam hadits Rasulullah:

“Barang siapa yang berwudhu dan memperbagus wudhunya kemudian dia shalat dua rakaat dengan sempurna, Allah akan memberikan apa yang dia minta, baik dengan segera atau ditunda.” (Al-Bukhari, Ahmad, dan Ath-Thabrani dari Abu Darda’).*

 

/Dr. Hani Kisyik, dari bukunya Kunci Sukses Hidup Bahagia

HIDAYATULLAH

Asal-Usul Nama Jakarta dari Surat Al-Fath

Raja Sunda Pajajaran pada masa itu, Sri Baduga Maharaja, tidak resah mengetahui agama Islam merembes masuk ke wilayah kerajaannya karena tampak berlangsung secara damai tanpa kekerasan senjata. Bahkan menurut cerita, ada beberapa keluarga istana yang memeluk agama Islam seperti Kean Santan yang berguru kepada Syekh Quro di dataran Karawang sekarang.

Daerah Cirebon pun sampai dikuasai oleh kaum muslimin di bawah pimpinan Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan (Sunan) Jati. Hal yang membuat Sri Baduga miris adalah sepak terjang Kesultanan Demak yang agresif dan pada waktu itu telah menundukkan Majapahit yang dikenal cukup tangguh.

Selain itu; hubungan Demak dan Cirebon semakin kukuh berkat perkawinan putra-putri dari kedua belah pihak. Persekutuan Demak dan Cirebon ini mencemaskan Sri Baduga yang kemudian mengutus putra mahkota, Surawisesa, agar mengupayakan hubungan diplomatik dengan orang-orang Portugis di Malaka yang telah menguasai Malaka di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Sebaliknya, upaya Pajajaran ini justru mencemaskan pihak Demak.

Sri Baduga Maharaja memerintah selama 39 tahun dan kemudian digantikan oleh Surawisesa. Baik sumber Portugis maupun Nagara Kretabhumi, mengisahkan bahwa ia pernah diutus ayahnya untuk menghubungi Alfonso d’Albuquerque di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali, yaitu tahun 1512 dan 1521. Hasil kunjungan pertama ialah kunjungan penjajakan pihak Portugis dan hasil kunjungan kedua ialah kedatangan utusan Portugis ke Pakuan. Perutusan ini dipimpin oleh Hendrik de Leme, ipar Alfonso. Dalam kunjungan tersebut telah tercapai persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan serta keamanan.

Selain itu, dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Pajajaran. Kemudian saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos (kira-kira seberat 351 kuintal).

Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Trenggana yang waktu itu menjadi Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara sebelah selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam terputus (W. Fruin Mees, Geschiedenis van Java).

Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fatahillah, sasaran utamanya adalah Banten pintu masuk Selat Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, pasukan Kesultanan Demak berhasil menguasai Sunda Kalapa yang didukung oleh penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah yang setelah wafat lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati, setelah mengalahkan penguasa Kalapa, Ratu Sangiang (adik Surawisesa).

Pada 1527 datanglah pasukan Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa. Bantuan Portugis ini datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Orang Portugis tidak mengetahui jika Sunda Kalapa sudah dikuasai oleh Fatahillah. Pasukan Portugis turun dengan sekoci-sekocinya untuk merapat ke pelabuhan Sunda Kalapa dengan sekoci-sekoci.

Setelah merapat, mereka disergap oleh Fatahillah dan pasukannya. Namun, Francisco de Sa berhasil melarikan diri karena dia tidak ikut turun bersama pasukannya. Setelah dikuasai sepenuhnya oleh Fatahillah, nama Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta yang mengandung arti kemenangan atau kesejahteraan mutlak. Ada juga yang menulis atau menggunakan Jayakerta atau Jakerta, kemudian umum disebut Jakarta.

Mengenai penggantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta hingga kini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat. Menurut Dr. Soekanto, Fatahillah merebut Sunda Kalapa pada akhir Februari 1527. Beberapa hari kemudian datang armada Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa yang bermaksud membangun benteng di Sunda Kalapa. Armada ini digempur oleh Fatahillah kira-kira pada pertengahan Maret 1527.

Dengan tercapainya kemenangan itu, maka setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdasarkan penanggalan pranatamangsa (penanggalan yang hidup di kalangan rakyat dan berhubungan dengan pertanian), Fatahillah mungkin sekali memilih tanggal 1 pranatamangsa sebagai hari untuk mengganti nama Sunda Kalapa dengan nama Jayakarta. Tanggal 1 pranatamangsa tersebut menurut penanggalan Masehi jatuh pada 22 Juni 1527. Seperti yang sudah dikemukakan di atas, arti Jayakarta adalah kemenangan penuh Fatahillah terhadap orang-orang Portugis, musuh yang sangat dibenci oleh orang Islam pada masa itu.

Sanggahan terhadap pendapat Dr. Soekanto dikemukakan oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat. Menurutnya, berdasarkan sumber dari penulis sejarah bangsa Eropa, armada Fransisco de Sa berangkat dari Malaka menuju Sunda Kalapa pada 23 Oktober 1526. Pada Desember 1526 ketika perayaan Natal di Cochij (India), diperoleh kabar bahwa rombongan itu telah kembali dan pada akhir Desember 1526, Fransisco de Sa bertolak ke India.

Berdasarkan hal tersebut, Prof. Hoesein Djajadiningrat berpendapat jatuhnya Sunda Kalapa terjadi pada Desember 1526. Jika jatuhnya Sunda Kalapa ke tangan Fatahillah bertepatan dengan hari raya atau hari peringatan Islam, maka dapat diduga bahwa pada hari raya Islam yang paling dekat di akhir Desember 1526 adalah Hari Maulud 12 Rabiulawal 933 Hijriah yang jatuh pada Senin, 17 Desember 1526.

Besar kemungkinan Fatahillah merenungkan kemenangannya, ia teringat kepada kemenangan Muhammad yang terpenting yaitu merebut Kota Mekkah dan teringat pula kepada ayat pertama dari surat Al-Fath yang berbunyi “Inna fatahna laka fathan mubinan” (sesungguhnya kami telah memberikan kemenangan kepadamu kemenangan yang tegas).

Oleh karena itu, Fatahillah lalu mendapat ilham untuk menamai dirinya Fathan (nama ini kemudian karena salah dengar dan salah tulis, dijadikan Falatehan oleh orang Portugis) sedangkan nama Sunda Kalapa lalu diganti dengan terjemahan kata fathan mubinan yaitu, Jayakarta. Demikian dua pendapat mengenai penamaan dan penanggalan digantinya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.

Cerita selanjutnya adalah jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC dan namanya kemudian diganti menjadi Batavia.

Pada masa pendudukan tentara Jepang, nama Jakarta dihidupkan kembali. Hal itu diumumkan dalam Kang Po (berita pemerintah balatentara Jepang) No. 9 thn. I bulan 12 tanggal 8 Desember 1942 untuk waktu yang tidak terbatas.

Oleh  M. Sholich Mubarok

BERSAMA DAKWAH

Apakah Sikat Gigi Termasuk Siwak dalam Hadis? (2)

PENDAPAT Syafiiyah dan Malikiyah adalah yang lebih tepat. Hal ini karena alasan berikut:

Pertama, dari tinjauan bahasa arab. Secara bahasa, siwak dapat diartikan tindakan menggosok gigi, tanpa membatasi benda yang dipergunakan. Imam Az-Zubaidi rahimahullah menjelaskan, “Saaka asy-syai, yasuukuhu-saukan, yang artinya menggosok sesuatu. Dari kata tersebutlah diambil penamaan untuk alat menggosok gigi.” (Taj Al-Arus 27/215).

Dalam kitab Aunul Mabud Ala Sunan Abi Dawud diterangkan, “Siwak dimaknai tindakan menggosok gigi dan dimaknai benda untuk menggosok gigi. Namun makna yang dimaksud dalam hal ini adalah makna yang pertama.” (Aunul Mabud, 1/59).

Kedua, bersiwak bukanlah ibadah mahdoh (perbuatan yang murni ibadah). Akan tetapi, siwak adalah ibadah gahoiru mahdoh (tidak murni ibadah), karena tujuan dari bersiwak dapat dicerna oleh akal (maqulatulmana), yaitu membersihkan mulut. Dan tujuan ini, dapat dicapai menggunakan benda apa saja, seperti sikat gigi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Bersiwak diperintahkan, untuk tujuan memperindah, mensucikan dan membersihkan mulut.” (Syarah Umdah Al-fiqh 1/203)

Ketiga, nabi shallallahualaihi wa sallam tidak membatasi siwak beliau menggunakan benda tertentu saja, seperti kayu arok (kayu siwak) saja. Disebutkan dalam hadis dari Aisyah radhiyallahuanha, saat menceritakan detik-detik sebelum Nabi meninggal dunia, beliau bersiwak menggunakan dahan kurma, “Abdurrahman bin Abu Bakr berlalu dengan membawa kayu kurma di tangannya. Nabi shallallahualaihi wa sallam melihat kepadanyanya. Sayapun mengira beliau butuh pada dahan kurma itu. Lalu saya ambil, saya kunyah ujungnya, kemudain saya bersihkan. Lalu saya berikan ke beliau.” (HR. Bukhori).

Sebagai penutup, kami sertakan fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini. Beliau pernah ditanya tentang hukum menggosok gigi dengan sikat gigi dan odol, apakah bisa mendapatkan keutamaan siwak?

Iya, menggunakan sikat gigi dan odol cukup untuk bersiwak. Bahkan hasilnya lebih bersih dan suci daripada siwak. Jika seorang menggosok gigi dengan sikat gigi dan odol, maka dia telah melakukan amalan sunah. Karena intinya bukan pada benda yang digunakan. Akan tetapi pada perbuatan dan hasilnya. Sikat gigi dan odol, lebih besar hasilnya daripada sekedar memakai siwak.

Wallahualam bis showab. [Ustadz Ahmad Anshori, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Apakah Sikat Gigi Termasuk Siwak dalam Hadis? (1)

BEBERAPA hadis menerangkan keutamaan bersiwak, diantaranya sabda Nabi shallallahualaihiwasallam berikut ini, “Siwak dapat membersihkan mulut dan mendapat keridhaan Rabb.” (HR. Ahmad, Irwaul Ghalil no 66).

Namun timbul pertanyaan, apakah bersiwak yang dimaksud pada hadis ini, harus menggunakan kayu siwak, atau boleh menggunakan benda lain seperti sikat gigi? Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:

Pertama, Syafiiyah dan Malikiyah, bersiwak boleh menggunakan benda apa saja, asal dapat menghilangkan kotoran mulut. Meski menggunakan kayu arok (kayu siwak), ranting dan kayu bassyam (Sejenis tumbuhan berduri yang memiliki aroma harum, tumbuh di Saudi Arabia dan sekitarnya), itu lebih utama.

Dalam Kifayatul Akhyar, fikih ringkas mazhab Syafii dinyatakan, “Ketahuilah bahwa bersiwak itu bisa dilakukan dengan potongan kain atau segala benda kasar, yang dapat menghilangkan kotoran. Namun bersiwak menggunakan ranting atau kayu arok itu lebih utama.” (Kifayatul Akhyar, hal. 15).

Ibnu Abdil Bar Al-Maliki rahimahullah, menyatakan, “Siwak yang biasa dipakai oleh masyarakat dahulu adalah kayu arok dan bassyam, juga setiap benda yang dapat membersihkan gigi, dan tidak mencederainya.” (Al-Istidzkar 3/272)

Kedua, Hanafi dan Hambali, dikatakan bersiwak bila menggunakan kayu arok, ranting tumbuhan dan yang sejenisnya. Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin; salahsatu referensi fikih hanafi diterangkan, “Siwak, dengan (huruf sin) dibaca kasrah, maknanya adalah sepotong batang yang digunakan untuk bersiwak. Siwak juga dapat dimaknai mashdar (kata kerja yang dibendakan). Dalam kitab Ad-Durar dikatakan, “Makna inilah yang dimaksud dalam hal ini. Maka tidak perlu memaknai siwak dengan tindakan mempergunakan siwak.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/232).

Al-Buhuti, seorang ulama bermazhab hambali, menjelaskan dalam Syarah Muntaha al-Iradat, “Bab tentang bersiwak. Kata siwak merupakan bentuk mashdar dari kata tasawwuk, yang maknanya adalah menggosok gigi menggunakan ranting. Dan inilah makna siwak. Sedangkan uud adalah benda untuk bersiwak (ranting).” (Syarah Muntahal Iradat 1/72)

Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan:
1. Menurut mazhab Syafii dan Maliki, hakikat siwak adalah fungsinya, yakni dapat membersihkan mulut, bukan benda yang digunakan. Sehingga, seorang yang membersihkan gigi menggunakan sikat gigi, mendapatkan keutamaan bersiwak yang tertera pada hadis di atas.
2. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, hakikat siwak adalah benda yang dipergunakan. Sehingga, yang mendapatkan keutamaan bersiwak adalah mereka yang mempergunakan kayu siwak dalam membersihkan gigi.
3. Seluruh ulama empat mazhab sepakat, bahwa bersiwak menggunakan kayu arok (kayu siwak), kayu bassyam, ranting tumbuhan dan yang semisalnya, adalah lebih utama.

Pendapat Syafiiyah dan Malikiyah adalah yang lebih tepat. Hal ini karena alasan berikut…

 

INILAH MOZAIK

Wakil Menteri Saudi Lepas Cadar Tuai Respons Beragam

Wakil Menteri Pendidikan Anak Perempuan Kerajaan Arab Saudi Haya al-Awad kini tampil di hadapan umum tanpa niqabnya (cadar atau penutup wajah). Tidak ada perincian terkait keputusan al-Awad melepas niqabnya.

Namun demikian, langkah al-Awad telah memancing reaksi yang beragam, terutama di media sosial. Banyak pengguna media sosial menyerang keputusan tersebut. Mereka menilai itu tidak mengikuti tradisi agama dan sosial.

Sejumlah tokoh agama dan intelektual di Arab Saudi memuji dan membela keputusan al-Awad. Mereka percaya al-Awad tidak melakukan kesalahan apa pun.

Sulaiman al-Tareefi, seorang pengkhutbah, mengatakan, al-Awad hidup sesuai dengan keyakinannya dalam kerangka pluralisme yurisprudensi yang signifikan. “Adat istiadat atau hukum kita telah memutuskan masalah ijtihad, penalaran independen yang bertentangan dengan imitasi, tidak dapat dihentikan,” kata Tareefi, dilansir di Gulf News, Selasa (17/4).

Penasihat media dan pendidikan Saud al-Musaibeeh mengatakan, dia memuji al-Awad karena mengadopsi sikap para ulama yang mengizinkan perempuan tidak menutupi wajah mereka. “Dia mengikuti apa yang dia yakini benar, terlepas dari apa yang harus dia tanggung dari orang-orang yang menentang pandangannya,” kata al-Musaibeeh.

Di sisi lain, ada pula orang-orang yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyerang seorang pejabat wanita dan menghasut publik terhadapnya. Al-Musaibeeh mengingatkan agar orang-orang benar-benar berhati-hati tentang upaya subversi semacam itu, yang dihasilkan oleh mereka yang bersembunyi di balik komputer mereka.

Kritikus sastra Abdullah al-Ghadami mengatakan, al-Awad telah mengikuti pandangan agama yang berwenang. Dia mengatakan, siapa pun yang menyerangnya akan melanggar hak-hak yurisprudensi.

Seorang narablog bernama Hatoon Qadhi mengatakan, meskipun al-Awad biasanya menjaga jaraknya dari masalah yang terkait dengan hijab, niqab, dan burka, dia merasa dia harus bergabung dalam perdebatan setelah serangan memalukan terhadap seorang wanita terhormat yang memegang posisi tinggi.

“Haya tidak membutuhkan siapa pun membelanya karena dia tidak melakukan kesalahan. Bahkan, saya berharap dia akan terus maju dan mengadili semua orang yang telah menyiksanya,” unggah Qadhi.

 

REPUBLIKA

Perekrutan Hafiz Quran Masuk Akpol Sebuah Kebanggaan

Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Muhsinin, Labuhanbatu, Sumatera Utara Dr H Muhammad Umar Syadat Hasibuan mengatakan, trobosan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komjen Syafruddin, yang mencanangkan perekrutan lulusan Pesantren untuk masuk Akademi Kepolisian (Akpol) maupun sekolah calon Bintara, merupakan kebahagiaan yang patut disyukuri.

“Sebagai pimpinan Pesantren Daarul Muhsinin, Labuhanbatu, Sumut, tentu saya sangat mengapresiasi hal tersebut,” katanya dalam keterangannya yang disampaikan kepada Republika.co.id, Selasa (17/4).

Selain itu, kata dia, pernyataan Wakapolri yang akan merekrut hafiz Alquran pada tahun ini untuk masuk Akpol adalah sebuah kebanggaan bagi seluruh Pesantren di Indonesia. “Pesantren-pesantren di Indonesia wajib merespons program Polri ini dengan mempersiapkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas bagi santri-santri agar lulusan pesantren mampu bersaing memasuki Akpol maupun Bintara,” ujarnya.

Selama ini, kata dia, lulusan pesantren terkesan dianaktirikan untuk memasuki sekolah kedinasan tersebut. Padahal, berkat didikan Pondok Pesantren yang mengutamakan kedisiplinan, tidak hanya kecerdasan emosional, tetapi mengutamakan kematangan emosional dan spiritual, sehingga lulusannya mampu dan unggul untuk menjadi taruna-taruna Kepolisian yang handal.

Pondok Pesantren juga menekankan pendidikan bertaraf Internasional, namun tidak lupa kebudayaan dan kearifan lokal. Hal ini menjadi kekhasan Pondok Pesantren. Pendidikan yang diberikan tidak menjauhkan santri-santri dari realitas keseharian. Hal ini adalah dasar SDM yang dibutuhkan Polri yang Promoter (Profesional, Modern dan Terpercaya)

“Saya mengapresiasi langkah Wakapolri yang rajin mengunjungi Pondok Pesantren dan ulama. Semoga hubungan Polri dengan Umat Islam semakin baik,” ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komjen Polisi Syafruddin mencanangkan, perekrutan lulusan pesantren untuk masuk Akademi Kepolisian (Akpol) maupun sekolah calon bintara.

“Pada tahun ini, kami canangkan merekrut para lulusan pesantren untuk masuk Akpol maupun bintara. Akan tetapi, karena memang karena di sana-sini belum sempurna, kami masih perlu melakukan revisi,” katanya selepas memberikan perkuliahan di Pondok Pesantren Modern Tazakka di Batang, Selasa (17/4).

Ia mengatakan, Polri akan memberikan kemudahan bagi lulusan ponpes yang akan masuk sekolah kepolisian. “Nanti kami atur regulasinya dan aturannya. Pada tahun ini, Polri akan merekrut hafiz Alquran untuk menjadi anggota Polri,” katanya.

 

REPUBLIKA

Keikhlasan akan Mengabadikan Kemanfaatan Amal

MENGAPA amal perbuatan para tokoh agama zaman dulu dikenang menjadi pelajaran hidup hingga kini? Salah satu jawabannya adalah karena mereka berbuat dengan penuh tulus ikhlas, bukan karena keinginan diri untuk dikenal dan dikenang.

Saya seringkali mendengar kisah orang baik yang “kepergok” sedang berbuat baik yang kemudian berkata kepada yang memergoki agar tidak bilang kepada siapa-siapa, agar tak memberitakan kebaikannnya. Hebat, bukan?

Kini, zaman sudah berbeda. Semua kebaikan langsung muncul pada saat yang sama di beberapa media sosial. Bukan hanya berita, foto dan video kebaikan diviralkan di mana-mana oleh orang yang disuruh dan dibayar, oleh para pendukung fanatis buta, dan bahkan oleh dirinya sendiri. Semoga masih ada nilai keikhlasannya, walau secara nalar bermakna ada “karena” dan “demi” yang bukan diperuntukkan tulus untuk Allah.

Kira-kira, bagaimanakah nasib kebaikan yang penuh rekayasa atau pencitraan? Jawabannya akan kita temukan dalam lembaran sejarah. Para bijak berkesimpulan: “Amal kebaikan yang dilakukan diam-diam akan bersuara lebih lantang melampaui amal kebaikan yang diiklankan secara lantang. Semua hanya masalah WAKTU.”

Kisah para kiai yang tawadlu’ dan ikhlas pada zaman dahulu semakin nyaring terdengar hingga kini dari mulut ke telinga setiap orang. Zaman itu belum ada media massa dan media sosial yang meliput seperti kini. Mari belajar ikhlas seperti mereka.

Teringat dawuh: “Menjadi orang baik, orang dermawan, orang teladan bukanlah sebuah kontes popularitas. Tak perlu dipamerkan. Lakukanlah penuh ikhlas hanya untuk membuat Allah senang dan ridla.”

 

INILAH MOZAIK

Menelusuri Jejak Shalawat Tarhim

Berpuluh tahun, shalawat Tarhim semacam jadi ciri khas akustik Islam di Tanah Air, dari Sabang sampai Merauke. Apa cerita di baliknya? Kapan ia mula-mula dilantangkan? Siapa pendarasnya? Mengapa ia sedemikian manjur membuat hati terenyuh? Wartawan Republika, Andrian Saputra, Dadang Kurnia, Adinda Pryanka, dan Fitriyan Zamzami mencari tahu soal itu. Berikut tulisan bagian keduanya.

Terlepas dari kejernihan suaranya, kepingan-kepingan piringan hitam Syekh Syekh Mahmoud Khalil Al-Husary yang terdapat di Lokananta merupakan kopian. Koordinator Produksi Lokananta, Bembi Ananto tak mengetahui di mana saat ini master dari kepingan tersebut, terutama yang berisi Shalawat Tarhim. Hanya saja, dari dokumentasi Lokananta mencatat tahun rekaman dari kepingan berisi Shalawat Tarhim itu pada 1959.

Bembi tak berani memastikan Syekh Al-Husary pernah berkunjung ke Lokananta dan membuat rekaman, sebab tak ada dokumen pasti tentang hal tersebut. “Di sini kopiannya kalau masternya saya tak tahu dan belum pernah menjumpai, bisa jadi yang meng-handle rekamannya saat itu RRI, bisa di Solo kalau tidak di Jakarta,” tutur Bembi saat ditemui Republika.

Dari keterangan pihak Lokananta, Republika mengunjungi RRI Solo untuk mencari tahu awal mula rekaman Shalawat Tarhim. Sayang, RRI pun tak lagi menyimpan piringan maupun kaset Shalawat Tarhim. RRI juga tak mempunyai dokumen jelas tentang asal Shalawat Tarhim bisa diperoleh hingga diputar dan didengarkan masyarakat luas.

 

shalawat Tarhim selalu diputar RRI sebelum kumandang azan Maghrib dan azan Subuh.

Sejumlah narasumber yang ditemui Republika tak mengetahui kapan RRI pertama kali memutar shalawat itu. Terlebih, lantunan shalawat yang sering diputarkan RRI sebelum kumandang azan Maghrib jauh sebelum era 1990-an itu kini sudah diganti.

Operator Teknik RRI Solo, Giarto pun tak menemukan file tentang Shalawat Tarhim dalam komputernya. Ada satu file bertuliskan “Tarhim adzan & puasa” namun saat diputar, isinya tak sesuai dengan lirik Tarhim gubahan Syekh Al-Husary.

Di ruang operator RRI lainnya, meski tak menemukan file Shalawat Tarhim, RRI masih tersimpan soft file azan khas Syekh Al-Husary. “Masalahnya sudah ganti orang semua, jadi sejarah perekaman di mana dan kapan ndak ada yang tahu,” tutur Operator Teknik RRI Solo, Giarto.

Petugas Divisi Pemberitaan RRI Solo, Bahruddin tak asing dengan lantunan Shalawat tarhim yang diperdengarkan Republika melalui ponsel pintar. Ia hafal betul, shalawat itu selalu diputar RRI sebelum kumandang azan Maghrib dan azan Subuh. Tak hanya itu, Shalawat itu juga diputar berkali-kali saat Ramadhan, menanti waktu berbuka puasa.

Namun menurut Bahruddin, Shalawat Tarhim sudah lama tak diputarkan lagi oleh RRI. Memang, menurutnya Shalawat Tarhim dan azan Syekh Al-Husary sempat menjadi ciri khas RII. Meski begitu, ia tak mengetahui lengkap tentang asal Shalawat Tarhim bisa diputar RRI.

“Dulu pernah diputar, sekarang langsung azan. Saya tak tahu persis dokumennya, dulu memang ada kaset tapi sudah rusak-rusak tak tahu di mana,” kata dia. Ia juga tak berani memastikan RRI yang memopulerkan shalawat itu hingga jamak diputar di berbagai masjid di Tanah Air.

Saat Republika bertandang ke RRI Jakarta, salah satu petugas editing,Mirda, mengatakan, hanya ada dua dokumen suara dengan kata kunci Shalawat Tarhim pada komputernya. Yang pertama merupakan rekaman asli milik RRI, sementara file kedua merupakan hasil unduhan dari Youtube. Dari detail file yang pertama, terlihat rekaman dibuat pada Agustus 2017.

Komputer Mirda membutuhkan waktu setidaknya setengah jam untuk memutarkan dokumen pertama. Suaranya terdengar jernih dan halus dengan lafal shalawat yang lembut. “Ini direkam langsung di situ,” ujar Mirda sembari menunjuk ruang kaca di hadapannya.

Mirda sendiri tidak tahu siapa yang melantunkannya. Ia hanya bisa memastikan rekaman berdurasi sekitar lima menit itu bukan suara Syekh Al-Husary. Perempuan berdarah Minang, Sumatra Barat, itu mengatakan, suara tersebut milik salah seorang ustaz yang ia lupa namanya.

Ketika mencoba mencari dengan kata kunci Syekh Al-Husary, Mirda juga tidak bisa menemukan file lain. Kondisi yang sama juga terjadi ketika Mirda mencoba mencari di ruangan operator RRI lain. “Sepertinya nggak ada. Hanya yang tadi saja,” ucap perempuan yang sudah puluhan tahun bekerja di RRI itu.

Beranjak dari RRI Jakarta, Republika mencoba mencari rekaman suara ke Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang masih berada dikawasan Jakarta Pusat. Pasalnya, menurut sistem katalog Online Public Access Catalog,terdapat rekaman suara Syekh Al-Husary dengan kode 297.14 TAR.

Dalam detail katalog yang terpampang di salah satu komputer, tertulis bahwa rekaman suara tersebut diterbitkan Lokananta Surakarta. Hanya, menurut Arin, petugas Perpusnas yang ditemui Republika, rekaman tersebut merupakan kopian.

“Kami mendapatkan dalam bentuk CD, sesuai dengan deskripsi fisik yang ada di detail katalog ini,” tuturnya.

Detail katalog juga memperlihatkan tampilan fisik CD yang diterbitkan atas kerjasama Lokananta Recording dengan Perum PNRI Cabang Surakarta tersebut. Sampulnya berwarna hijau dengan tulisan Tarhim berada pada bagian bawah. Terdapat tiga CD dalam satu kemasan.

Selain suara Syekh Al-Husary yang melantunkan Shalawat Tarhim, terdapat rekaman Ustadz Abdul Aziz Muslim dan Noor Asyiah Jamil. Mereka membacakan kumpulan surat-surat, termasuk at-Thoriq dan al-‘Ala serta al-Haddid ayat 18 sampai 24.

Pencarian data terkait Syekh Al-Husary tidak terhenti pada dokumen suara.

Republika mencoba mencari informasi dari Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia guna menggali kepastian kedatangan Syekh Al-Husary ke Indonesia untuk merekam Shalawat Tarhim. Konselor di Kedutaan Mesir untuk Indonesia, Ahmad Eid, mengatakan, dirinya belum bisa memastikan kedatangan Syekh Al-Husary. Sebab, menurut dia, dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk mendapatkan data konkrit terkait kejadian yang berlangsung lebih dari lima dekade lalu.

“Setahu saya, beliau memang ke sini (Indonesia) tapi saya tidak mengetahui pasti kapannya,” ucap Ahmad.

Satu hal yang bisa dipastikan Ahmad adalah Grand Syekh Al-Azhar Mahmud Shaltut sempat datang ke Indonesia pada 1959 (sebagian pihak lain mencatat pada 1960). Beliau datang guna memenuhi undangan ulama besar Buya Hamka meresmikan Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang sekarang berdiri berdampingan dengan Universitas Al-Azhar. Bagaimanapun, Ahmad tak mengetahui apakah Syekh Al-Husary ikut datang saat itu.

Terlepas dari asal muasal yang tak rinci itu, Shalawat Tarhim sudah telanjur melegenda di Tanah Air. Lalu dari mana ia mula-mula terkenal? Untuk menjawab hal itu, mari ke Surabaya, Jawa Timur.

 

REPUBLIKA

Shalawat Tarhim, Melisma yang Memantik Rindu

Berpuluh tahun, shalawat Tarhim semacam jadi ciri khas akustik Islam di Tanah Air, dari Sabang sampai Merauke. Apa cerita di baliknya? Kapan ia mula-mula dilantangkan? Siapa pendarasnya? Mengapa ia sedemikian manjur membuat hati terenyuh? Wartawan Republika Andrian Saputra, Dadang Kurnia, Adinda Pryanka, dan Fitriyan Zamzami mencari tahu soal itu. Berikut tulisan bagian keempat dan terakhirnya.

 

Asshalatu wassalamun ‘alaik, ya imamal mujahidin, ya Rasulallah

Ashalatu wassalamun ‘alaik, ya nashiral huda ya khaira kholqilllah

Tak terbilang kerinduan yang disulut bait-bait tersebut. Buat sebagian masyarakat Indonesia, ia bisa jadi memicu kenangan soal kampung halaman. Saat jadi pertanda buat bangun kala subuh maupun berhenti bermain untuk bersiap ke langgar atau mushala dan masjid terdekat. Buat lainnya, seperti persis yang dimaksudkan bait-bait itu, ia memunculkan kerinduan mendalam terhadap junjungan, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam.

Ahli Qiraat Indonesia Akhsin Sakho Muhammad mengatakan, ada tiga poin yang menyebabkan Shalawat Tarhim begitu istimewa. Salah satunya, karena ada ikatan batin yang kuat antara shalawat tersebut dengan Indonesia.

“Shalawat ini pertama kali dilantunkan oleh Syekh Mahmud Khalil Al-Husary yang kabarnya direkam di Indonesia pada 1960-an,” tuturnya ketika dihubungi Republika, Jumat (23/3).

Meski tidak mendengar secara langsung, atau bukan dengan sistem suara kelas atas pun, Akhsin mengakui rekaman suara lantunan Shalawat Tarhim langsung menyentuh kalbunya. Menurutnya,dengan suara Syekh Al-Husary yang lembut tapi tegas, Shalawat Tarhim meninggalkan bekas mendalam bagi siapapun yang mendengarkan.

Keistimewaan kedua adalah fungsi Shalawat Tarhim yang digunakan sebagai penanda akan masuknya waktu shalat. Sebelum adanya shalawat ini, Akhsin menambahkan, orang Indonesia belum menemukan satu bentuk lantunan yang pas untuk pengingat.

“Tapi, setelah adanya Shalawat Tarhim, kita menggunakan ini di mana-mana untuk mengukur waktu sebelum shalat,” ucapnya.

Rintihan Syekh Al-Husary tentang kerinduannya terhadap jejak Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam menjadi keistimewaan Shalawat Tarhim berikutnya bagi Akhsin. Meski terdengar singkat, apabila diuraikan, shalawat ini bisa bermakna panjang dan mendalam karena menceritakan perjalanan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam yang penuh bermakna.

 Asshalatu wassalamun ‘alaik, ya imamal mujahidin, ya Rasulullah

Ashalatu wassalamun ‘alaik, ya nashiral huda ya khaira kholqilllah

Secara lirikal, Shalawat Tarhim berisi pujian-pujian terhadap kebesaran pribadi Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Shalawat itu kemudian mengutip sejumlah kejadian dalam Isra Mi’raj guna menegaskan keutamaan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Sebagian pendengar di Indonesia bisa jadi tak paham dengan isi shalawat sehubungan terbatasnya penguasaan Bahasa Arab. Pertanyaannya, mengapa mereka tetap tergugah?

Peneliti kawakan seni membaca Alquran dari Universitas Texas, Prof Kristina Nelson mencatat, gaya membaca Alquran ala Mesir mulai meretas jalannya menuju dominasi gaya di dunia pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Masa-masa itu seiring Tarhim mulai direkam di Indonesia. Kala itu, mucul qari-qari handal semacam Syekh Al-Husary, Syekh Muhammad Rifat, Syekh Abdul Basit Abdul Samad, Syekh Muhammad Salamah, Syekh Kamil Yusuf al-Bathimi, dan legenda-legenda lainnya.

Yang istimewa dari para pendaras di Mesir, tulis Nelson dalam bukunya The Art of Reciting the Qur’an (1985), mereka menerapkan maqamat alias skala melodik khas musik Arab dalam pembacaan. Dibanding skala musik Barat, maqamat lebih kerap menggunakan not-not renik (ajnaz) pada setengah, bahkan seperempat nada.

Ciri khas lainnya dari maqamat adalah penggunaan melisma. Ia adalah teknik menyanyikan satu silabel dalam rangkaian beberapa nada alih-alih menyanyikan satu silabel dalam satu nada saja. Selain itu, ada juga kekhasan maqamat soal bagaimana ia menutup larik, teknik yang dalam seni musik dikenal sebagai cadence.

Dampak dari rerupa teknik dalam maqamat itu, jenis emosi pendengar yang coba dipantik bisa jauh lebih beragam ketimbang sekadar not mayor dan minor pada musik Barat. Maqam Rast, misalnya, biasanya digunakan memicu rasa bangga yang maskulin, Maqam Bayati yang memicu kebahagiaan feminin, Maqam Saba untuk menggambarkan nelangsa dan kesedihan.

Para qari di Mesir, kata Nelson, sangat ahli menerapkan rerupa variabel seperti pilihan nada, tempo dan jeda, melisma, gaya qiraah, pilihan ayat, serta konteks dalam tilawah Alquran mereka untuk memicu emosi-emosi tertentu dari pendengar.

Dalam Shalawat Tarhim, Syekh Al-Husary terbilang efektif menerapkan teknik-teknik tersebut. Dari segi konteks, ia memilih lirik-lirik penuh kerinduan, menyanyikannya dengan nada yang tak sekalipun meleset dari skema, kemudian menutup masing-masing larik dengan melisma panjang yang menuruni tangga nada tetapi naik tetiba pada akhir cadence.

Syekh Hussary juga menjeda bacaannya dan kerap memulai secara dramatis. Kombinasi hal-hal tersebut menimbulkan kesan bahwa Syekh Al-Husary bersungguh-sungguh. Bahwa rindu dan penghormatannya pada Nabi Muhammad SAW tak dibuat-buat.

Ada ikatan batin yang kuat antara Shalawat Tarhim dengan Indonesia.

Cara menutup larik dengan melisma menuruni tangga nada seperti pada Tarhim juga jamak digunakan para musisi Blues di Amerika Serikat guna memicu kerinduan dan nelangsa dalam aransemen musik mereka. Bukan rahasia, seperti dicatat profesor sejarah Afrika-Amerika, Sylfiane Diouf, musik Blues punya akar dari tradisi melisma yang dibawa para budak dari Afrika Barat yang sebagian besar beragama Islam.

Secara saintifik, getaran jiwa yang dipicu nada-nada yang menggerakkan kerap disebut frisson dari bahasa Prancis yang terjemahannya kurang lebih ‘getaran estetika’. Frisson ini bukan hanya bisa datang dari musik. Ia juga bisa datang dari karya-karya seni dan sastra lainnya.

Sejauh ini, telah banyak penelitian soal mengapa manusia merasakan frisson saat mendengarkan musik tertentu. Seorang ahli neurosaintik dari Estonia, Jakk Panksepp, misalnya, menyimpulkan lewat penelitiannya bahwa manusia lebih mudah tergetar dengan musik-musik dengan alunan perlahan dan melisma yang cenderung menurun nadanya.

Pada akhirnya, rerupa konteks dan variabel membuat Shalawat Tarhim begitu istimewa. Keindahannya serta rasa dan nuansa yang ia pantik membuatnya mampu bertahan sekian lama mewarnai lanskap suara Tanah Air. Seiring waktu, lantunan seorang qari yang luar biasa berbakat asal Mesir tersebut malih menjadi kekhasan Islam di Indonesia. Jadi pengingat kampung halaman, jadi pemicu rindu yang mendalam terhadap Penghulu Para Nabi.

 

REPUBLIKA