Abdullah bin Umar Memberikan Daging Kurban untuk Tetangganya Beragama Yahudi

Relasi Islam dan non muslim telah ada sejak dahulu. Para sahabat Nabi berdampingan dengan penuh toleransi dengan kalangan non muslim. Bahkan sahabat Nabi, sekaligus anak Umar bin Khattab,  Abdullah bin Umar saban Idul Adha memberikan daging kurban untuk tetangganya beragama Yahudi.

Syahdan, manusia hakikatnya hidup dalam keberagaman. Kemajemukan merupakan realitas kehidupan. Tak dapat tidak, manusia terdiri dari suku, budaya, etnik, keyakinan, bahasa, maupun agama.

Pluralitas manusia itu buka barang baru. Ia sudah ada sejak dahulu. Keberagaman agama misalnya,  merupakan suatu keniscayaan pada era awal Islam. Yahudi, Kristen, Bahai, pagan dan Zoroaster terlebih dahulu hidup dan berkembang dalam masyarakat Arab.

Ketika Islam datang dibawa Nabi Muhammad pluralitas agama itu tetap hidup. Ada di tengah masyarakat yang dipimpin Nabi. Mereka hidup harmonis. Saling menjaga satu sama lain. Ketika pun ada gesekan, itu bukan sebab perbedaan teologis agama. Lebih dari itu, konflik dan perang itu didasari oleh pengkhianatan terhadap perjanjian dan tanah air.

Pun setelah baginda Nabi telah wafat, Islam pun semakin berkembang, relasi antar Islam dan non muslim tetap terjalin harmonis. Hidup dan saling menjaga satu sama lain. Ada kewajiban yang harus ditunaikan, dan ada pula hak yang wajib diperoleh.

Kaum non muslim dilindungi harta, martabat, dan marwahnya dijaga oleh kaum muslimin. Hidup dalam kedamaian, tak boleh disakiti, apalagi dihalangi dalam beribadah. Mun’im Sirry dalam Disertasi berjudul Reformis Muslim Approaches to the Polemics of the Qur’an against Other Religions, menerangkan, dalam masyarakat Islam klasik hubungan erat antara muslim dan non muslim didasarkan pada konsep dzimmah.

Adapun konsep dzimmah berarti kontrak, keamanan, perlindungan, dan kewajiban. Dalam pengertiannya, adanya perjanjian permanen antara kaum non muslim dengan penguasa Islam untuk mendapatkan perlindungan, keamanan, dan hak sebagai warga negara yang sah. Tetapi kaum non muslim itu dikenakan bayar jizzah (pajak).

Kewajiban bayar pajak ini, kata Mun’im Sirry sebagai ganti bela negara. Kaum non muslim yang tinggal di negara muslim ini disebut sebagai ahl al dzimmah atau dzimmiyun. Praktik politik ini muncul dalam praktik politik kaum Muslim paling awal.  

Terkait pembayaran pajak (jizyah) oleh non muslim, Fazlur Rahman dalam buku Non Muslim Minorities in Islamic State, mencatat kewajiban itu sebagai ganti wajib miletr bagi kalangan non muslim. Pasalnya, kaum non muslim tak bisa diharapkan ikut serta dalam jihad bersama orang muslim lainnya. Dengan begitu mereka membayar pajak, sebagai gantinya. Yang juga sebagai jaminan keamanan diri, harta, dan keluarga mereka.

Kaum non muslim itu sangat istimewa di hadapan baginda Nabi Muhammad. Sebagai pembawa risalah Islam, Nabi dalam pelbagai hadis menegaskan larangan tegas untuk menyakiti non Muslim. Pasalnya, itu perbuatan yang tercela.

Lebih dari itu, rasul mengatakan orang yang menyakiti non muslim, maka sama saja ia menyakiti Nabi. Hadis ini menegaskan tentang keistimewaan non muslim  dihadapan Nabi. Dalam hadis riwayat Imam Abu Daud, Nabi Saw bersabda;

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: Ketahuilah, bahwa  siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-Muslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat Muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.

Dalam hadis lain riwayat Imam Thabrani disebutkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda;

مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ

Artinya: Barang siapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.

Daging Kurban Disalurkan pada Non Muslim

Para sahabat Nabi di masa awal Islam memuliakan kaum non muslim. Meskipun bukan saudara dalam akidah, tetapi saudara dalam kemanusiaan. Praktik kemanusiaan ini dipraktikan oleh Abullah bin Umar. Seorang sahabat Nabi yang alim dan kaya ilmu pengetahuan. Anak dari khalifah Umar bin Khattab.

Dalam kitab Goiru al Muslim fi almujtama’ al Islamikarya Dr. Yusuf Qardhawi termaktub wasiat Ibn Umar pada anaknya. Wasiat itu selalu diulang-ulang oleh Abdullah bin Umar setiap saat. Sehingga anaknya, sudah hafal betul. Apa isi wasiat itu?

Isi wasiat itu adalah saban hari Raya Qurban (Idul Adha), agar anaknya jangan lupa memberikan sebagian hewan kurban itu pada tetangga mereka yang beragama Yahudi. Ternyata Abdullah bin Umar memiliki tetangga yang beragam Yahudi. Ia sangat menyayangi Yahudi tersebut.

Suatu waktu Abdullah bin Umar ditanya anaknya, terkait alasan ia begitu menyayangi Yahudi tersebut. Padahal tetangga itu seorang Yahudi. “Kenapa ayah begitu menyayangi Yahudi itu?” tanya anaknya. “Apakah rahasia dari pertolongannya terhadap Yahudi tersebut?,” lanjut anaknya tak sabar.

Ibn Umar menjawab, “Memuliakan tetangga merupakan perintah Rasul. Sekalipun terhadap Yahudi,” katanya.  Ibn  lants membacakan Hadis Nabi;

قال ابن عمرو: إن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه

Artinya: Ibn Umar berkata, sesungguhnya Nabi bersabda; Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepada ku tentang tetangga ku, sehingga aku menyangka (tetangga ku) adalah keluarga ku.

Kata Yusuf Qardhawi, kisah itu termaktub dalam riwayat Imam Abu Daud, Imam turmidzi, dan juga terdapat dalam riwayat Imam Bukhari. Status hadis ini adalah hadis marfu. Dalam ilmu musthalah hadis, status marfu adalah muttafun alaihi. (Baca: Definisi dan Pembagian Hadis Marfu’). Qardhawi berkata;

القصة رواها أبو داود في كتاب الأدب من سننه، والترمذي في البر والصلة، والبخاري في الأدب المفرد. أما الحديث المرفوع فهو متفق عليه

Artinya:  Kisah ini riwayatnya Abu Daud, terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud pembahasan Kitabil adab, Riwayat Imam Turmidzi dalam pembahasan al bir dan silah, dan Imam Bukhari dalam pembahasan adab dan mufrad. Adapun hadis ini tergolong hadis marfu, maka status hadis marfu, adalah hadis muttafakun alaih.

Tak hanya memuliakan non muslim yang masih hidup, para sahabat Nabi juga konsisten memuliakan non muslim yang telah meninggal. Meski mereka berbeda keyakinan. Tetapi para sahabat tetap mengunjunginya ketika telah meninggal.

Dalam kitab Fiqh Zakat, Qardhawi memuatkan kisah seorang nasrani meninggal dunia dunia. Ia bernama Ummu Haris bin Abi Rabiah. Seorang Kristen tulen sejak lahir. Mendengar si Umum Harisah wafat, para sahabat kemudian berbondong-bondong untuk mentakziahi dan mengantarkannya pada peristirahatan terakhir.

وماتت أم الحارث بن أبي ربيعة وهي نصرانية، فشيَّعها أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم

Artinya; Meninggal dunia Ummu Haris bin Rabiah—seorang Nasrani—, maka mengantarkannya sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Demikian kisah Abdullah bin Umar yang memberikan daging kurban pada tetangganya beragam Yahudi. Dan juga kisah, sahabat Nabi yang menjenguk seorang Kristen yang meninggal dunia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Perumpamaan Dunia dan Akhirat seperti Air Laut dan Jari

Dari Al-Mustaurid bin Syaddad –semoga Allah meridhoinya- ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868).

Dalam hadits lain disebutkan;

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمِثْلِ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يَرْجِعُ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ

“Perumpamaan antara dunia dgn akhirat ibarat seorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke dalam lautan, maka hendaklah ia melihat apa yang menempel padanya. Lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya”. (HR. Ahmad)

HIDAYATULLAH

Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara

Sebelas hari Zionis Israel membombardir Gaza, setelah sebelumnya menyerang jamaah i’tikaf Masjid Al Aqsha. Sedikitnya 232 warga Palestina gugur syahid dalam serangan udara itu. Termasuk 65 anak-anak dan 39 wanita.

Namun, tiba-tiba Zionis Israel ‘menyerah’ dengan bersegera gencatan senjata. Setelah roket-roket Hamas mampu menembus pertahanan utama Iron Dome. Hingga jatuh di Tel Aviv, ibukota sekaligus jantung Zionis Israel.

Maka, Rakyat Palestina pun merayakan kemenangannya. Demikian pula masyarakat anti penjajahan yang sebelumnya sudah mengutuk Zionis Israel, turut berbahagia dengan kemenangan itu. Di media sosial seperti Twitter, kemenangan Palestina membahana.

Apa yang melatari perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Saif Al Aqsha itu? Dan mengapa justru yang menang adalah Palestina?

Buku Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Bukan hanya kronologi Perang Saif Al Aqsha 2021 dan mengapa Palestina keluar sebagai pemenang dalam perang sebelas hari itu, tetapi juga akar masalah Palestina vs Israel selama ini.

Dalam membahas akar masalah tersebut, buku ini tidak hanya memaparkan secara historis, tetapi juga menghadirkan pendekatan Al-Qur’an. Juga alasan-alasan mengapa kita harus membela Palestina.

Selain itu, di dalam buku ini diungkapkan kisah-kisah keteladanan bangsa Palestina dalam melawan kezaliman dan penjajahan. Juga ada kisah keajaiban perjuangan Palestina yang akan terus membara hingga batu bicara.

Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama, #PalestinaUnderAttack 2021. Kedua, Keajaiban Sikap Palestina. Ketiga, Akar Masalah. Keempat, Mengapa Kita Membela Palestina. Dan kelima, Bela Palestina Hingga Batu Bicara.

Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara merupakan buku kelima yang ditulis oleh Muchlisin BK. Sejak mahasiswa, Pembina Ikadi Gresik dan Koordinator Divisi Jarcab FLP Jawa Timur ini memiliki perhatian serius pada Palestina dan terlibat aktif dalam aksi pembelaan untuk Palestina.

Yang berbeda dari buku kebanyakan, 100 persen keuntungan buku ini akan didonasikan untuk Palestina melalui ACT. Jadi, setiap membeli buku ini, Anda turut berdonasi untuk Palestina. []

Identitas Buku:
Judul buku: Palestina: Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara
Penulis: Muchlisin BK
Penerbit: Haura
Tanggal Terbit: Mei 2021
ISBN: 978-623-320-302-9
Tebal halaman: 102 halaman
Dimensi: 14×20 cm

BERSAMA DAKWAH

Kemenag: Pembatalan Haji Bukan Keputusan Terburu-buru

Kemenag membantah penilaian bahwa membatalkan pemberangkatan jemaah haji sebagai keputusan yang terburu-buru. Keputusan itu sudah dilakukan melalui kajian mendalam.

“Keputusan itu tentu berdasarkan kajian mendalam, baik dari aspek kesehatan, pelaksanaan ibadah, hingga waktu persiapan. Tidak benar kalau dikatakan terburu-buru,” tegas Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Khoirizi di Jakarta, Jumat (4/6/2021). “Pemerintah bahkan melakukan serangkaian pembahasan, baik dalam bentuk rapat kerja, rapat dengar pendapat, maupun rapat panja haji dengan Komisi VIII DPR,” sambungnya.

Menurut Khoirizi, Kemenag tentu berharap ada penyelenggaraan haji. Bahkan, sejak Desember 2020, Kemenag sudah melakukan serangkaian persiapan, sekaligus merumuskan mitigasinya. Beragam skenario sudah disusun, mulai dari kuota normal hingga pembatasan kuota 50%, 30%, 25% sampai 5%.

Bersamaan dengan itu, persiapan penyelenggaraan dilakukan, baik di dalam dan luar negeri. Persiapan layanan dalam negeri, misalnya terkait kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik.

Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya. Namun, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.

Menag, kata Khoirizi, bahkan sempat berkoordinasi secara virtual dengan Menteri Haji Arab Saudi saat itu, yakni Saleh Benten, tepatnya pada pertengahan Januari 2021 untuk mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji. Sebelumnya, Menag juga bertemu Duta Besar (Dubes) Arab Saudi Esam Abid Althagafi, dan mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji.

“Saya pada 16 Maret lalu juga berkoordinasi dengan Dubes Saudi di kantornya, membicarakan masalah penyelenggaraan ibadah haji. Semua upaya kita lakukan, meski faktanya, sampai 23 Syawwal 1442 H, Kerajaan Arab Saudi belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M,” tegasnya. “Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota, karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan,” lanjutnya.

Kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan. Padahal, dengan kuota 5% dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari.

“Demi melakukan kajian lebih matang sembari berharap pandemi segera berakhir, Kemenag menunda hampir 10 hari untuk mengumumkan pembatalan. Tahun lalu, pembatalan diumumkan 10 Syawwal, tahun ini kami lakukan pada 22 Syawal,” tegasnya. “Dan kondisinya masih sama. Pandemi masih mengancam jiwa, Saudi juga tidak kunjung memberi kepastian. Kita lebih mengutamakan keselamatan jemaah dan memutuskan tidak memberangkatkan,” tandasnya. *

Rep: Ahmad

HIDAYATULLAH

Kekuatan Istighfar Mendatangkan Rezeki dan Anak

Assalamu’alaikum Ustadzi,

Saya menikah sudah 7 tahun dan belum dikaruniai anak. Seorang teman menasehati agar saya banyak-banyak beristighfar. Mohon penjelasan hubungan istighfar dan keinginan punya anak ini

Wassalam

Umi Pekalongan

Masalah rezeki, uang dan anak merupakan masalah yang menjadi perhatian  seluruh manusia yang hidup di dunia ini. Berapa banyak manusia yang stres, bahkan tidak sedikit dari mereka yang bunuh diri akibat memikirkan harta dan keluarga. Berapa banyak rakyat  kecil yang hidupnya susah, karena sulitnya mencari uang.

Berapa banyak pasangan suami istri di dunia ini yang mengorbankan uang dan tenaga yang tidak sedikit demi untuk mendapatkan seorang anak. Dan berapa banyak orang melakukan kejahatan dan pembunuhan hanya ingin mendapatkan harta dengan cara cepat.

Bukankah dunia ini rusak dan kacau akibat ulah manusia yang berlomba-lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan hak-hak orang lain? Kenapa mereka semua itu tidak kembali kepada ajaran-ajaran Al Qur’an yang telah menjelaskan cara-cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan?

Dalam Surat Nuh, Allah telah menjanjikan kepada siapa saja yang mau beristighfar dan memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan diturunkan kepadanya rezeki yang melimpah dan diberikan kepadanya keturunan yang membawa berkah.

Allah berfirman :

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَارًاوَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

”Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh : 10-12).

Berkata Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya (18/302):

في هذه الآية والتي في “هود” دليل على أن الاستغفار يستنزل به الرزق والأمطار

“Ayat ini dan yang terdapat di dalam Surat Hud (ayat 3) merupakan dalil yang menunjukkan bahwa al-Istighfar akan menyebabkan turunnya rezeki dan hujan.“

Hujan lebat pada ayat di atas maksudnya adalah  rezeki yang banyak, karena hujan akan membuat tanah subur dan menumbuhkan banyak tumbuh-tumbuhan sehingga manusia dan hewan bisa makan darinya, negara menjadi makmur, kekeringan bisa terhindar, air minum yang bersih bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dari hujan yang lebat tersebut, kebun-kebun menjadi hijau dan sungai-sungaipun mengalir sebagaimana yang disebutkan di bagian akhir dari ayat di atas.

Oleh karena itu, ketika Kota Madinah mengalami kekeringan pada masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau keluar bersama-sama penduduk Madinah untuk memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Umar waktu itu tidak banyak berdo’a kecuali dengan memperbanyak istighfar saja.

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim (8/233):

ولهذا تستحب قراءة هذه السورة في صلاة الاستسقاء لأجل هذه الآية. وهكذا روي عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب: أنه صعد المنبر ليستسقي، فلم يزد على الاستغفار، وقرأ الآيات في الاستغفار. ومنها هذه الآية { فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا } ثم قال: لقد طلبت الغيث بمجاديح السماء التي ستنزل بها المطر.

“Oleh karena itu dianjurkan membaca surat ini di dalam sholat al-Istisqa’ (sholat meminta hujan) karena terdapat ayat tersebut. Dan demikianlah yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau naik mimbar untuk berdo’a meminta hujan, tidaklah ada yang diucapkan kecuali beristighfar, kemudian membaca ayat-ayat yang berkenaan dengan istghfar, diantaranya adalah ayat ini. (”Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat ) Kemudian beliau berkata: Saya memohon hujan melalui pintu-pintu langit yang dengannya akan turun hujan.

Ayat di atas juga mengajak siapa saja yang sudah menikah dan belum dikarunia anak, agar memperbanyak istighfar. Begitu juga bagi yang sulit mencari pekerjaan agar selalu banyak istighfar agar Allah memberikannya rezeki yang melimpah.

Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya ( 18/302 ) :

وقال ابن صبيح : شكا رجل إلى الحسن الجدوبة فقال له : استغفر الله. وشكا آخر إليه الفقر فقال له : استغفر الله. وقال له آخر. ادع الله أن يرزقني ولدا ؛ فقال له : استغفر الله. وشكا إليه آخر جفاف بستانه ؛ فقال له : استغفر الله. فقلنا له في ذلك ؟ فقال : ما قلت من عندي شيئا ؛ إن الله تعالى يقول في سورة “نوح” : {اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً. مِّدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

Berkata Ibnu Shabih : “Ada seorang laki-laki mengadu kepada al-Hasan al-Bashri tentang kegersangan bumi, maka beliau berkata kepadanya : “’Ber-istighfar-lah kepada Allah.”Kemudian datang orang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka beliau berkata kepadanya : “Ber-istighfar-lah kepada Allah! Dan orang lain berkata kepadanya, ‘Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya: “Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya, maka beliau mengatakan (pula) kepadanya : “ Ber-istighfar-lah kepada Allah!” Mak kami menanyakan tentang jawaban tersebut kepadanya.  Maka al-Hasan al-Bashri menjawab : “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam Surat Nuh. (“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai.” (QS: Nuh:  10-12].*/Dr. Ahmad Zain An-Najah, MAPusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Menutup Jalan yang Dapat Mengantarkan Menuju Keharaman adalah Seperempat Agama

Ibnul-Qayyim rahimahullah membagi perkara-perkara di dalam syari’at ini menjadi dua jenis, yaitu:

Pertama: al-Ma’murat (المأمورات), yaitu perkara-perkara yang diperintahkan.

Kedua: al-Manhiyyat (المنهيات), yaitu perkara-perkara yang dilarang.

Adapun al-ma’murat atau perkara-perkara yang diperintahkan, maka terbagi lagi menjadi dua jenis:

Pertama, al-Maqashid, yaitu perkara-perkara yang memang diperintahkan dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya.

Kedua, al-Wasa’il, yaitu perkara-perkara yang diperintahkan karena ia adalah jalan yang dapat mengantarkan kepada perkara-perkara yang merupakan al-maqashid.

Contoh: Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Misalnya dalam firman-Nya di al-Qur’an,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Beribadahlah kalian kepada Allah, dan janganlah berbuat syirik.” [QS. an-Nisa’: 36]

Beribadah kepada Allah Ta’ala adalah perkara yang diperintahkan dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya. Wajib bagi kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah al-maqashid.

Itu mengapa, di saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, agar kita dapat beribadah kepada Allah dengan baik. Kita juga diperintahkan untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak, agar kita dapat melangsungkan kehidupan kita di dunia ini sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan baik. Ini semua adalah al-wasa’il.

Adapun al-manhiyyat atau perkara-perkara yang dilarang, maka terbagi pula menjadi dua jenis:

Pertama, al-Maqashid, yaitu perkara-perkara yang memang dilarang dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya.

Kedua, al-Wasa’il, yaitu perkara-perkara yang dilarang karena ia adalah jalan yang dapat mengantarkan kepada perkara-perkara yang merupakan al-maqashid.

Contoh: Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kita untuk berbuat kesyirikan, sebagaimana pada ayat yang telah kita bawakan di atas. Ini adalah al-maqashid.

Oleh karena itu, di saat yang sama, kita juga dilarang untuk bersikap ghuluw atau berlebih-lebihan kepada para ulama’ dan orang-orang saleh. Karena hal itu adalah jalan yang dapat mengantarkan menuju kesyirikan. Kita juga dilarang untuk membangun kuburan, karena itu juga adalah jalan yang dapat mengantarkan menuju kesyirikan. Kita juga dilarang untuk mencela tuhan-tuhan dan sesembahan-sesembahan orang kafir dan musyrik, jika itu akan berujung pada celaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini semua adalah al-wasa’il.

Menutup jalan yang dapat mengantarkan menuju keharaman itu dikenal dalam literatur para ulama’ dengan istilah saddudz-dzari’ah (سَدُّ الذَّرِيْعَةِ). Karena perkara agama berdasarkan penjelasan di atas terbagi menjadi empat:

  1. al-Ma’murat yang merupakan al-maqashid,
  2. al-Ma’murat yang merupakan al-wasa’il,
  3. al-Manhiyyat yang merupakan al-maqashid,
  4. al-Manhiyyat yang merupakan al-wasa’il,

dan karena letak dari saddudz-dzari’ah adalah pada poin keempat, maka itulah mengapa Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau I’lamul-Muwaqqi’in mengatakan bahwa saddudz-dzari’ah adalah seperempat dari agama.

Ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memperhatikan kaidah saddudz-dzari’ah ini, sehingga wajib bagi kita untuk menutup setiap jalan yang dapat mengantarkan menuju perkara yang haram. Kaidah saddudz-dzari’ah ini banyak sekali penerapannya dalam berbagai bab agama, yang insya Allah akan kami bahas dalam kesempatan berikutnya.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66509-menutup-jalan-yang-dapat-mengantarkan-menuju-keharaman-adalah-seperempat-agama.html

Kaitan Antara Makanan Halal dan Terkabulnya Doa

Doa tidak diterima kecuali orang makan dari sumber yang halal.

Terdapat sebuah hadits yang mengisyaratkan doa tidak diterima kecuali orang yang berdoa memakan makanan dari sumber yang halal.

Allah SWT juga memerintah para Rasululullah SAW dan umatnya memakan makanan yang baik dan halal kemudian mengerjakan amal saleh. Perintah ini tertulis pada Surah Al-Mu’minuun ayat 51 yang artinya, “Wahai para Rasul makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh.”

Abu Hurairah berkata Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul.

Maka Allah Ta’ala berfirman: Wahai para Rasul makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shaleh (surah al-Mu’minuun Ayat 51). Kemudian Allah Ta’ala berfirman: Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu (surat al-Baqarah ayat 172).

Kemudian Nabi Muhammad SAW menyebutkan orang yang lama bepergian, rambutnya kusut, berdebu dan menengadahkan kedua tangannya ke langit (untuk berdoa); Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan terkabul? (HR Muslim).

Mengutip Syarah Arba’in Nawawi, dalam hadis tersebut terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal. Makanan haram dapat merusak amal dan membuatnya tidak diterima.

KHAZANAH REPUBLIKA

Sudahlah Maafkanlah Dia Agar Allah Memaafkan Kita

Maafkanlah dia agar Allah memaafkan kita. Semoga kita bisa menghilangkan dendam, kesalahan orang lain tak perlu kita tuntut di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22)

Penjelasan ayat

Disebutkan oleh Aisyah saat ujian yang menimpanya ketika difitnah berselingkuh, ia mengatakan,

“Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan sepuluh ayat (terbebasnya Aisyah dari tuduhan selingkuh), maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu–beliau adalah orang yang memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah radhiyallahu ‘anhu karena masih ada hubungan kerabat dan karena ia orang fakir–berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.’ Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat berikut (yang artinya), “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

“Lantas Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Baiklah. Demi Allah, sungguh aku suka bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.’ Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai persoalanku. Beliau berkata, ‘Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui atau yang kamu lihat?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, ‘Dialah di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaingiku dalam hal kecantikan, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindunginya dengan sifat wara’. Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha bertentangan dengannya. Maka, binasalah orang-orang yang binasa.” (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)

Pelajaran penting yang bisa dipetik dari ayat di atas tentang memaafkan:

  1. Memaafkan orang lain adalah sebab Allah memberikan ampunan kepada kita.
  2. Wajibnya memberikan maaf ketika ada yang mau bertaubat dan memperbaiki diri.
  3. Kejelekan tidaklah dibalas dengan kejelekan, balaslah kejelekan dengan kebaikan. Berikanlah maaf kepada orang yang berbuat jelek kepada kita. Inilah ayat-ayat dan hadits yang memerintahkan untuk memaafkan yang lain walau berat untuk memaafkan.

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asyu-Syura: 40)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin membuatnya mulia. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588)

  1. Memaafkan yang salah berlaku jika yang salah tersebut tahu akan kesalahan dan kezalimannya, ini dianjurkan. Begitu pula ketika dengan memaafkannya, maka akan lebih menyelesaikan masalah dan kita yang mengalah. Hal ini tidak berlaku jika yang berbuat zalim terus menerus zalim dan melampaui batas. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS. Asy-Syura: 39)

Baca kisah berikut, keutamaan orang yang tidak hasad dan dendam

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun berkata, ‘Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga.’ Maka munculah seseorang dari kaum Anshar, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya, “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?” Maka orang tersebut menjawab, “Silakan.”

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya,

“Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia pun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh. ‘Abdullah bertutur, ‘Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.’

Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka aku pun berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali bahwa akan muncul kala itu kepada kami seorang penduduk surga. Lantas engkaulah yang muncul, maka aku pun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku teladani. Namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Lantas apakah yang telah membuatmu memiliki keistimewaan sehingga disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Orang itu berkata, ‘Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat.’ Abdullah bertutur,

فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ

Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepada yang lain.’ Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.” (HR. Ahmad, 3: 166. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Maafkan dan Hapuslah Dendam

Kesimpulan mudahnya dari ayat yang kita bahas, maafkanlah orang yang berbuat salah kepada kita, semoga Allah memaafkan kesalahan kita pula. Tak perlu kita menuntut balasan kesalahan dia di akhirat, karena kita juga belum tentu selamat. Kalau kita masih kurang puas dengan alasan ini, ingat saja bahwa Allah itu Maha Pengampun. Semua dosa kita itu dimaafkan oleh Allah ketika kita mau bertaubat nashuha walaupun itu dosa syirik dan dosa besar. Lantas kenapa kita sebagai manusia tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, padahal bisa jadi itu hanya kesalahan kecil atau kesalahan yang hanya sekali atau itu kesalahan yang bisa dimaafkan agar tidak membuat hati kita sakit.

Semoga kita bisa memaafkan dan menghilangkan rasa dendam, walaupun sebagian kita merasakan berat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Tonton video bahasan memaafkan di sini:

https://youtube.com/watch?v=yvhEbeNlAg8%E2%80%94

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber https://rumaysho.com/28515-sudahlah-maafkanlah-dia-agar-allah-memaafkan-kita.html

Ini Bacaan Zikir Setelah Shalat Jenazah

Dalam kitab Al-Wasa-il Al-Syafi’ahSayid Muhammad bin Ali Al-Husaini menyebutkan bahwa setelah shalat jenazah, kita dianjurkan untuk membaca bacaan zikir berikut;

سُبْحَانَ الْمَلِكِ اْلقُدُّوْسِ سُبْحَانَ اْلحَيِّ الَّذِى لَا يَمُوْتُ اَبَدًا سُبْحَان البَاقِيْ بَعْدَ فَنَاءِ خَلْقِهِ

Subhaanal malikil qudduus, subhaanal ladzii laa yamuutu abadaa. Subhaanal baaqii ba’da fanaa-i kholqihii.

Maha Suci Dzat Yang Maha Merajai Alam. Maha Suci Dzat Yang Maha Hidup, Dzat yang tidak akan pernah mati selamanya. Maha Suci Yang Maha Kekal setelah rusaknya makhluk-Nya.

Kemudian setelah membaca zikir ini, dianjurkan untuk membaca doa sebagaimana doa yang dibaca dalam shalat jenazah. Doa dimaksud adalah sebagai berikut;

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ  وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ

Ya Allah, ampunilah dosanya, rahmatilah, selamatkan, maafkan, muliakan tempat persinggahannya, luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air, salju, dan embun, bersihkan dia dari segala kesalahan sebagaimana Engkau membersihkan pakaian putih dari kotoran, gantikan rumahnya dengan rumah yang lebih baik, keluarganya dengan keluarga yang lebih baik, istri/suaminya dengan istri/suami yang lebih baik, masukkanlah dia ke dalam surga, dan lindungilah dia dari siksaan kubur – atau dari siksaan neraka.”

BINCANG SYARIAH

Amalan Setara Haji

Rasulullah SAW menunjukkan beberapa amalan yang insya Allah diganjar pahala setara berhaji.

Dalam pekan ini, masyarakat Muslim di Tanah Air menerima kabar yang kurang menyenangkan. Pada Kamis (3/6) lalu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas telah memastikan bahwa pemerintah tidak memberangkatkan jamaah haji Indonesia untuk tahun 1442 H/2021 M.

Menurutnya, di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia, kesehatan dan keselamatan jiwa jamaah lebih utama dan harus dikedepankan.

Ada yang kecewa atau mungkin pasrah dengan keputusan pemerintah itu. Memang, haji merupakan sebuah ibadah yang selalu diidam-idamkan setiap Muslim. Setiap orang Islam ingin menjadi tamu-Nya di Baitullah. Melihat Ka’bah dari dekat sekali tentu menimbulkan perasaan haru dalam diri insan yang beriman.

Akan tetapi, Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW telah menyatakan, pergi haji adalah bagi yang mampu. Kesanggupan itu pun mencakup perkara-perkara yang luas, tidak hanya dalam aspek finansial, tetapi juga kesehatan fisik dan mental.

Untuk itu, Rasulullah SAW menunjukkan beberapa amalan yang insya Allah diganjar pahala setara berhaji. Berikut adalah kebajikan-kebajikan itu.

Anak Berbakti

Dari Anas RA, dikatakan bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW. Lelaki ini sangat ingin pergi berjihad, tetapi sayangnya tidak mampu. Nabi SAW pun bertanya kepadanya, “Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?”

“Ibuku masih ada,” jawabnya.

Rasulullah SAW pun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dengan berbuat baik kepada ibumu. Jika engkau berbuat baik kepadanya, statusnya adalah seperti berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Ausath).

Hadis di atas menunjukkan, bakti seorang anak kepada orang tuanya adalah amalan yang mulia. Bahkan, kebajikan itu insya Allah diganjar dengan pahala setara pergi ke Baitullah.

Bagaimana dengan seorang yatim atau piatu? Bukti baktinya dapat ditunjukkan dengan kebiasaan mendoakan kebaikan bagi orang tuanya. Sebab, salah satu amalan yang tak putus mengalirkan pahala ialah doa dari anak yang saleh.

Majelis Ilmu

Dari Abu Umamah RA, diketahui bahwa Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang berangkat ke masjid, sedangkan yang diinginkannya hanyalah belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya.” (HR ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir).

Menurut hadis tersebut, seorang penuntut ilmu-ilmu agama dapat memperoleh pahala setara berhaji ke Tanah Suci. Itu insya Allah terjadi ketika dirinya menghadiri kajian-kajian keislaman di masjid.

Rasulullah SAW memuji umatnya yang suka menuntut ilmu. Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Apabila kalian berjalan melewati taman-taman surga, perbanyaklah berzikir.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman surga itu?” Nabi SAW menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).”

Berzikir

Ada kaum miskin menghadap Nabi SAW. Mereka berkata, “Orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat, seperti kami shalat. Mereka puasa, seperti kami berpuasa. Namun, mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah.”

Rasulullah bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengannya kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian itu dan dengannya pula dapat terdepan dari mereka? Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir shalat sebanyak 33 kali.”

Seorang sahabat bertanya tentang bacaan zikir. Nabi menjelaskan, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai 33 kali.” (HR Bukhari).

OLEH HASANUL RIZQA

KHAZANAH REPUBLIKA