Tata Cara Puasa Syawal

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.” (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.
Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.

Disusun di pagi hari penuh berkah, 2 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/17782-tata-cara-puasa-syawal.html

Fatwa Ulama: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal, padahal dia masih memiliki kewajiban qadha’ (membayar hutang puasa Ramadan)?

Jawaban:

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadan, kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim no. 1164)

Jika seseorang masih memiliki kewajiban qadha’ puasa Ramadan, kemudian dia berpuasa enam hari di bulan Syawal, apakah dia berpuasa Syawal sebelum atau sesudah puasa Ramadan?

Misalnya, seseorang berpuasa bulan Ramadan selama dua puluh empat hari, dan dia masih memiliki hutang enam hari. Jika dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum membayar hutang puasa Ramadan, maka tidak bisa dikatakan, “Sesungguhnya dia telah berpuasa di bulan Ramadan, kemudian melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal.” Karena tidaklah dikatakan “berpuasa di bulan Ramadan” kecuali bagi orang yang telah menyempurnakannya (berpuasa sebulan penuh dan tidak memiliki hutang puasa, pent.). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan ini, maka bagi orang yang berpuasa Syawal sedangkan dia masih memiliki hutang puasa Ramadan, orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Masalah ini bukanlah termasuk dalam perselisihan pendapat (ikhtilaf) di antara para ulama tentang apakah diperbolehkan seseorang berpuasa sunah sedangkan dia masih memiliki kewajiban qadha’ Ramadan? Karena perselisihan pendapat ini berkaitan dengan selain puasa sunah Syawal. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ini mengikuti puasa Ramadan. Dan tidak mungkin mendapatkan keutamaan pahalanya kecuali bagi mereka yang telah menyempurnakan puasa Ramadan.

Baca Juga:

***

@Rumah Kasongan, 27 Ramadan 1443/ 29 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75036-puasa-syawal-ketika-masih-memiliki-hutang-ramadan.html

Inilah 10 Kota di Dunia Rasa ‘Madinah’

Kota Madinah adalah kota paling dicintai Nabi dan kota yang terakhir akan hancur saat hari kimat, begitu legendarisnya sampai seluruh dunia ingin kotanya identik dengan Madinah

KOTA MADINAH merupakan kota tua dan berbenteng yang dibangun oleh orang Arab. Jalanan mereka yang sempit seperti labirin membingungkan dan memperlambat pasukan penyerang manapun.

Saat ini, banyak jalanan di Madinah yang bebas dari lalu lintas karena jarak jalan yang sempit. Selain itu, jalanan berkelok-kelok di Madinah juga sering membingungkan para wisatawan yang ingin mengunjungi kota bersejerah tersebut.

Berikut adalah beberapa tempat yang menakjubkan di Madinah dan masih bertahan hingga saat ini:

Kasbah Aljir (Aljazair)

Kasbah artinya benteng. Kasbah Aljir berada di atas bukit yang langsung menghadap ke arah laut. Nama tersebut masuk ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Prancis pada akhir abad ke-19 (Kamus Bahasa Inggris Oxford menyatakan 1895), dan dapat dieja “kasbah” atau “casbah”.

Dahulunya, kasbah adalah sebuah benteng perjuangan kemerdekaan yang bersejarah di Aljazair dan juga pusat dari pemberontakan pada masanya.   Bagi orang asing, kawasan ini bagaikan sebuah labirin dengan gang buntu yang diapit oleh rumah-rumah disekitanya.

Apabila seseorang tersesat disana, maka cukup kembali ke arah laut untuk menemukan tempat yang dituju. Pada tahun 1992, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyatakan Kasbah Aljir sebagai situs Warisan Budaya Dunia.

Kasbah Aljir adalah Madinah-nya Aljazair. Saat ini ada sisa-sisa benteng, masjid tua dan istana bergaya Utsmani (Ottoman) serta sisa-sisa bangunan tradisional dengan struktur perkotaan yang terkait dengan rasa komunitas yang mengakar.

Medina Tripoli (Libya)

Tripoli adalah ibukota Libya yang terletak di kota tua dan penghujung laut tengah, yang merupakan bagian kota yang paling menarik. Disinilah terbangun Masjid Gurgi dan the Arch of Marcus Aurelius yang menjadi satu-satunya monumen Romawi yang masih tersisa. Perancangan jalanan di kota Madinah telah ditetapkan oleh orang Romawi yang juga membangun tembok sebagai perlindungan terhadap serangan.

Medina Tunisia (Tunisia)

Medina Tunis atau Medina of Tunis, merupakan kawasan yang telah terbangun sejak abad ke-7 masehi. Dari abad ke-12 hingga ke-16, Tunis dianggap sebagai salah satu kota terbesar dan terkaya di dunia Islam dengan jumlah 700 monumen didalamnya termasuk, istana, masjid, makam, dan air mancur yang menjadi saksi luar biasa di masa lalu.

Meknes (Maroko)

Meknes merupakan tempat wisata popular yang banyak dikunjungi di Maroko. Meknes termasuk dalam salah satu dari empat kota kekaisaran Maroko yang nama dan ketenarannya berkaitan erat dengan nama Sultan Moulay Ismail.

Sultan mengubah Meknes menjadi kota yang indah dengan dikeliling tembok tinggi dan gerbang yang mengagumkan dalam gaya Spanyol-Moor.

Ghadames (Libya)

Ghadames merupakan kota oasis yang terletak di bagian barat Libya. Dinding Ghadames dirancang untuk menghadapi ekstremitas dramatis iklim Sahara dengan mengelilingi seluruh pemukiman yang padat serta jalanan yang tertutup. Seluruh penduduk Madinah telah pindah ke desa terdekat yang lebih modern pada tahun 1990-an namun mereka akan kembali ke kota lama  Madinah ketika musim panas menjadi sangat panas.

Mdina (Malta)

Mdina adalah kota kuno yang dihuni dan kota yang pertama yang dibentengi oleh Fenesia pada tahun sekitar 700 SM. Kemudian dilanjutkan oleh penguasa Arab Malta dan Norman yang menambahkan benteng yang lebih tinggi lagi di Mdina.

Setelah kedatangan Kesatria Hospitalaria pada pertengahan tahun 1500-an, kekuasaan Mdina semakin memudar secara perlahan. Selain menjadi ibukota lama Malta, Mdina juga disebut sebagai ‘kota sunyi’ yang hampir seperti kota hantu.

Mdina juga disebut sebagai ‘kota sunyi’ yang hampir seperti kota hantu

Saat ini sebagian besar Pallazo milik aristokrasi lama telah dipulihkan dan para wisatawan menghidupkan kembali tempat tersebut. Tetapi sayangnya hanya tersisa 300 penduduk yang masih menetap disana.

Sousse Medina (Tunisia)

Sousse yang terletak di pesisir pantai adalah tempat bagi banyaknya resort dan pantai pasir yang indah. Sebagai salah satu kota tua di Tunisia, kota ini juga menampilkan kota Sousse yang otentik dengan sejarah yang menarik.

Sousse berada di dataran tinggi di atas Pelabuhan Sousse yang dikelilingi oleh tembok yang dibangun pada tahun 859. Balok batu besar di tembok itu berasal dari bangunan Romawi kuno. Dari enam gerbang awalnya, kini hanya tersisa dua gerbang yang masih utuh.

Marrakech Medina (Maroko)

Terletak di kaki pegunungan Atlas, kota kekaisaran Marrakecch merupakan kota yng menari dan penuh dengan sejarah. Almovarid membangun Marrakech dan temboknya pada abad ke-11.

Selama periode Almoravida, Marrakech di masa yang sejahtera dan menjadi pusat ekonomi, politik serta kebudayaan Maroko. Di Marrakech dipenuhi dengan jalanan sempit yang bersambung, riad, dan toko-toko lokal.

Kota Lama Sana’a (Yaman)

Sana’a adalah ibukota Yaman yang telah dihuni selama lebih dari dua ribu tahun. Sana’a juga merupakan kota yang berbenteng dan memiliki kekayaaan arsitektur yang masih utuh.

Kota Sana’ah – madinahnya Yaman

Dikelilingi oleh tembok kuno, kota ini memiliki lebih dari seratus masjid, dua belas hammam (pemandian), dan lebih dari enam ribu rumah. Kebanyakan rumah di sini menyerupai gedung pencakar langit yang kuno dengan beberapa lantai dan atapnya yang datar. Semua dinding didekorasi dengan detail dengan bingkai yang terukir dengan sangat kompleks dan jendela kaca yang berwarna.

Fes el Bali (Maroko)

Fes el Bali merupakan kota yang telah berdiri sejak abad pertengahan dan masih utuh hingga saat ini. Dengan populasi penduduk sebanyak lebih dari seratus ribu jiwa.

Fes el Bali adalah kawasan perkotaan bebas mobil terbesar di dunia. Transpotasi yang tersedia adalah keledai, kereta dan sepeda motor. Seluruh Fes el Bali dikeliling oleh tembok tinggi dengan gebang kota yang bersejarah. Hanya terdapat satu alun-alun besar yang terletak dekat di pusat geografis kota lama. Alun-alun ini terhubung oleh jalan dan memberikan akses untuk bus dan kendaraan lainnya.

Fez el Bali – Madinah nya Maroko

Fes el Bali didirikan sebagai ibu kota dinasti Idrisid antara tahun 789 dan 808 M. UNESCO mendaftarkan Fes el Bali, bersama dengan Fes Jdid , sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 1981 dengan nama Medina of Fez.*/Annisa Yapsa Azzahra

HIDAYATULLAH

Kemenag Bantah Narasi Menag Minta Dana Haji untuk IKN: Hoaks dan Fitnah

Beredar tangkapan layar berita yang berasal dari media daring dengan judul yang menarasikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas minta masyarakat ikhlaskan dana haji dipakai pemerintah untuk IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara. Kementerian Agama menyampaikan bantahannya terkait narasi tersebut.

“Itu fitnah dan menyesatkan. Narasi Menag minta dana haji untuk IKN itu hoaks,” tegas Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi (HDI) Kemenag Ahmad Fauzin di Jakarta, Ahad (08/05/2022) melalui siaran pers Kemenag kepada hidayatullah.com dan wartawan lain.

Menurutnya, Menag tidak pernah mengeluarkan pernyataan terkait penggunaan dana haji di luar untuk keperluan penyelenggaraan Ibadah Haji. Sebab, hal itu bukan kewenangan Menag.

“Sejak 2018, Kementerian Agama tidak lagi menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam tata kelola dana haji,” jelas Fauzin.

Undang-Undang No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang terbit pada akhir masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengamanatkan dana haji dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Untuk itu, dibentuklah BPKH dan secara bertahap kewenangan pengelolaan dana haji diserahkan ke BPKH sesuai amanat UU 34/2014.

Pada 13 Februari 2018, lanjut Fauzin, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018. Peraturan ini mengatur tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Sejak saat itu, dana haji telah dialihkan sepenuhnya ke BPKH.

“Per-bulan Februari 2018, dana haji yang saat itu berjumlah Rp103 Triliun, semuanya sudah menjadi wewenang BPKH,” terang Fauzin.

Kemenag, sambung Fauzin, sekarang sudah tidak mempunyai Tupoksi untuk mengelola, apalagi mengembangkan dana haji dalam bentuk apapun. “Saya kira masyarakat sudah semakin cerdas, sudah bisa mengetahui info atau berita semacam ini tidak benar dan fitnah,” ujarnya.

“Bagi pihak-pihak yang menyebarkan berita hoaks dan fitnah ini kami akan pertimbangkan mengambil langkah hukum,” tandas Fauzin.*

HIDAYATULLAH

Musim Umrah akan Berakhir 31 Mei

Saudi bersiap menerima jamaah haji dari seluruh dunia setelah dua tahun.

Musim umrah saat ini bagi umat Islam yang bepergian ke Arab Saudi dari luar Kerajaan akan berakhir pada (31/5).

Kementerian Haji dan Umrah telah menetapkan 30 Syawal, bulan Islam saat ini setelah bulan suci Ramadhan dan bertepatan dengan 31 Mei dalam kalender Masehi, sebagai batas waktu bagi umat Islam di luar negeri untuk melakukan umrah.

Dalam sebuah pernyataan, kementerian mengatakan, “Batas waktu untuk mengajukan permohonan visa umrah bagi mereka yang berada di luar Kerajaan adalah 15 Syawal berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri Saudi.” 

Ini menunjukkan bahwa visa umrah untuk pengunjung asing dapat diajukan melalui platform online yang disetujui, menambahkan bahwa tanggal pendaftaran dan pengajuan untuk haji tahun ini akan diumumkan pada waktunya melalui saluran resmi. 

Saudi bersiap menerima jamaah haji dari seluruh dunia untuk pertama kalinya dalam dua tahun. Pandemi Covid-19 membuat haji tahun lalu dibatasi untuk 60 ribu jamaah, semuanya dari Arab Saudi, sementara jumlahnya dibatasi hanya 1.000 pada puncak krisis kesehatan global pada 2020. 

Pada bulan April, Kementerian Haji dan Umrah mengumumkan bahwa Saudi akan meningkatkan kapasitas haji tahun ini menjadi 1 juta jamaah  sebagai bagian dari upaya negara untuk meningkatkan jumlah jamaah di seluruh dunia untuk memenuhi kewajiban agama mereka. 

Namun, kementerian mencatat bahwa jumlah orang yang diizinkan untuk mengunjungi Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah akan ditentukan oleh pertimbangan kesehatan dan keselamatan pemerintah. Jamaah akan diminta untuk mengikuti langkah-langkah pencegahan saat melakukan haji mereka.

Kementrian Haji dan Umrah menambahkan bahwa mereka yang berusia di bawah 65 tahun akan diminta untuk mendapatkan imunisasi penuh terhadap Covid-19 dengan vaksin yang disetujui.

IHRAM

Haji Refleksi Kecintaan Kepada Rasulullah SAW

Melalui ibadah haji kaum muslimin secara sadar atau tidak sadar mengakui pentingnya petunjuk Nabi SAW serta keharusan untuk berpegang dengannya dalam segala amalan haji. Hal ini terlihat jelas dari semangat mereka menghadiri majelis-majelis ilmu untuk mempelajari sifat haji, tata caranya, rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya, dan hal-hal yang membatalkannya, dengan penuh perhatian dan sikap hati-hati.

Muhammad Lathif, Lc dalam bukunya “Haji dan Cinta Rasulullah” mengatakan, apabila seorang muslim konsisten dengan sunnah Nabi SAW dalam berhaji, maka dalam syariat yang lain sudah semestinya diberlakukan hal yang sama. Karena kesemuanya datang dari satu sumber yang tidak berbeda. 

“Sebagaimana setiap orang dalam hajinya harus mengikuti manasik beliau, maka demikian pula keharusan bagi setiap orang untuk mengikuti petunjuknya dalam seluruh bentuk ketaatan,” katanya.

Kedudukan cinta Rasulullah SAW Sesungguhnya termasuk dari kebahagiaan seorang hamba adalah di saat Allah menganugerahkan padanya kecintaan terhadap kekasihNya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tidak, kecintaan pada beliau adalah termasuk dari syarat keimanan. 

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku ada di TanganNya, tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai aku lebih ia cintai melebihi [kecintaannya] kepada ayah dan anaknya.” (HR. Bukhar).

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah beriman seorang hamba sampai aku lebih dicintainya melebihi [kecintaannya] kepada keluarga, harta dan seluruh manusia.” (HR. Muslim).

Cinta pada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga termasuk faktor utama dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu kecintaan pada beliau adalah salah satu sebab untuk mendapatkan lezatnya keimanan. 

Nabi SAW bersabda: “Ada tiga perkara, barang siapa yang ketiga perkara tersebut terdapat pada dirinya, maka ia akan mendapatkan kelezatan iman; yaitu ketika Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari selain keduanya, dan saat ia mencintai seseorang tidak lain kecuali karena Allah, serta dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah ia diselamatkan oleh Allah, sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke dalam api ( HR. Bukhari dan Muslim).

Makna kelezatan iman, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari, adalah “Merasakan kelezatan dalam ketaatan, tabah menanggung beban dalam menjalankan agama, dan lebih memprioritaskannya daripada kepentingan duniawi.” Kecintaan pada beliau merupakan sebab untuk dapat menemani beliau di surga yang penuh kenikmatan. 

Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa ada seseorang datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Apa pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum akan tetapi belum menjumpai mereka?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang itu [di surga] akan bersama dengan orang yang dicintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

IHRAM

Hukum Mendirikan Salat Jenazah di Dalam Masjid

Berkaitan dengan mensalatkan jenazah di dalam masjid, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِي الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ

“Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mensalatkan jenazah dua orang putra Baidla’ di dalam masjid, yaitu Suhail dan saudaranya (yaitu Sahl, pent.).” (HR. Muslim no. 973)

Dalam hadits di atas, ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala. Hal ini disebabkan ketika Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, ibunda ‘Aisyah meminta agar jenazahnya dibawa ke masjid supaya disalatkan oleh orang banyak. Para sahabat yang lain pun mengingkari permintaan ‘Aisyah tersebut. Karena menurut persangkaan mereka, bagaimana mungkin ada jenazah dimasukkan ke dalam masjid? Maka ibunda ‘Aisyah radhiyllahu ‘anha menjelaskan bahwa hal itu adalah satu sunah (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mensalatkan Sahl dan Suhail, dua anak dari Baidla’, di dalam masjid. (Lihat Tashiilul Ilmaam, 3: 47)

Perbedaan pendapat ulama tentang bolehkah salat jenazah di dalam masjid

Hadits di atas menunjukkan bolehnya mensalatkan jenazah di dalam masjid. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan jumhur (mayoritas) ulama rahimahumullah. (Lihat At-Tamhiid, 6: 344; Al-Majmu’, 5: 213; dan Al-Inshaf, 2: 538)

Adapun adanya pengingkaran dari para sahabat yang lain kepada ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah karena perbuatan tersebut tidaklah dikenal sebagai suatu kebiasaan yang rutin dilakukan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Bukanlah termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merutinkan mensalatkan jenazah di dalam masjid. Yang menjadi kebiasaan beliau adalah mensalatkan jenazah di luar masjid. Dan kadang-kadang, beliau mensalatkan jenazah di dalam masjid … “ (Zaadul Ma’ad, 1: 500)

Ibnul Munzir rahimahullah dan selainnya menyebutkan bahwa Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma itu disalatkan di masjid ketika meninggal dunia. (Lihat Al-Ausath, 5: 415)

Riwayat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu disalatkan di masjid disebutkan oleh Imam Malik (1: 230), ‘Abdurrazaq (no. 6577), dan Ibnu Abi Syaibah (3: 364), dari Nafi’, dari Ibnu Umar, beliau mengatakan,

صلي على عمر في المسجد

“Umar disalatkan di dalam masjid.”

Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizahullah mengatakan, “Sanadnya shahih.”

Adapun riwayat bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu disalatkan di masjid disebutkan oleh ‘Abdurrazaq (no. 6576) dan Ibnu Abi Syaibah (3: 364).

Adapun Imam Abu Hanifah dan Imam Malik rahimahumallah mengatakan bahwa salat jenazah tidak boleh (baca: makruh) dikerjakan di dalam masjid. (Lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2: 224 dan Al-Mudawwanah Al-Kubra, 1: 177)

Pendapat tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ

“Siapa saja yang mensalati jenazah di dalam masjid, maka tidak ada pahala baginya.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3191), Ibnu Majah (no. 1517), dan Ahmad (15: 454) dari jalan Ibnu Abi Dzi’b, dari Shalih maula (budak) Tauamah, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Baca Juga: Berdiri Sejenak Mendoakan Jenazah setelah Dimakamkan

Pendapat terkuat

Dari kedua pendapat tersebut, wallahu a’lam, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama yang mengatakan bolehnya mensalatkan jenazah di dalam masjid, berdasarkan hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang jelas menunjukkan kebolehannya. Adapun berkaitan dengan hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada tiga sanggahan berdalil dengan hadits tersebut.

Pertama, hadits tersebut adalah hadits yang dha’if (lemah). Hal ini karena hadits tersebut diriwayatkan sendirian oleh Shalih maula Tauamah, dan para ulama hadits sangat berhati-hati atas riwayat tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah mengutip dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau berkata, “Hadits tersebut termasuk hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh Shalih maula Tauamah.”

Demikian pula yang disebutkan oleh Ibnul Munzir, Al-Baihaqi, Al-Baghawi, dan sejumlah ulama yang lain. (Lihat Al-Ausath, 5: 516; As-Sunan Al-Kubra, 4: 52; Syarhus Sunnah, 5: 352; dan Zaadul Ma’ad, 1: 500)

Kedua, terdapat perbedaan teks (lafaz) dari hadits-hadits Abu Hurairah tersebut. Dalam manuskrip yang terkenal dan telah ditelititi keabsahannya dari Sunan Abu Dawud, hadits tersebut diriwayatkan dengan lafaz,

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فِي الْمَسْجِد، ِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang mensalati jenazah di dalam masjid, maka hal itu tidak mengapa.”

Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah dan Ahmad, diriwayatkan dengan lafaz,

فَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ

“ … maka tidak ada pahala baginya.”

Perbedaan teks tersebut akan mempengaruhi sisi argumentasi (berdalil) dengan hadits tersebut. Seandainya teks hadits yang diterima adalah,

فَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ

maka perlu dimaknai dengan,

فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

Hal ini supaya hadits-hadits tersebut, yaitu hadits ‘Asiyah dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, bisa selaras dan tidak saling bertentangan.

Ketiga, teks hadits dengan lafaz,

فَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ

itu bertentangan dengan hadits yang lebih shahih, yaitu hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan. Sehingga hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tersebut tidak bisa digunakan untuk menentang hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Apalagi, hadits ‘Aisyah tidak memiliki kemungkinan makna lain, berbeda dengan hadits Abu Hurairah yang masih memiliki kemungkinan makna lain karena perbedaan teks lafaz hadits.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah mengatakan, “Hadits (‘Aisyah) ini menunjukkan bolehnya mensalatkan jenazah di masjid, hal itu tidak mengapa. Meskipun kalau disalatkan di luar masjid itu lebih utama (karena ini yang lebih sering Nabi lakukan, pent.). Akan tetapi, jika disalatkan di dalam masjid juga tidak masalah. ‘Umar dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma disalatkan di dalam masjid, demikian pula banyak jenazah lain juga disalatkan di dalam masjid. Masalah ini ada kelonggaran, walhamdulillah. Inilah maksud mengapa ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bersumpah, untuk menjelaskan bahwa salat jenzah di dalam masjid itu tidak perlu diingkari.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 47)

Dari hadits ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas, terdapat faedah penting tentang bagaimanakah semangat beliau untuk menjelaskan sunah dan menampakkannya di antara orang banyak, agar sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut tidak meredup dan kemudian dilupakan. Juga kita dapati bagaimanakah semangat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengetahui ilmu (kebenaran) dan mengamalkannya. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75028-hukum-mendirikan-salat-jenazah-di-dalam-masjid.html

Penjelasan Nama Allah “Ar-Rabb” (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Macam-macam tarbiyah Allah Ta’ala

Dalam Tafsir-nya, Syekh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa tarbiyah Allah Ta’ala itu ada dua macam. Dua macam tarbiyah Allah tersebut adalah:

Tarbiyyah umum

Yaitu pemeliharaan Allah terhadap seluruh makhluk dalam bentuk menciptakan, memberi rezeki, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa hidup di dunia ini. Sehingga tarbiyah Allah jenis umum ini terkait dengan kenikmatan duniawi.

Tarbiyah khusus

Yaitu pendidikan, pengasuhan, penjagaan, dan pemeliharaan-Nya terhadap seorang mukmin [1] dalam bentuk memberi taufik kepada setiap kebaikan, serta menolak berbagai keburukan dan hal yang merusak keimanan mereka. Inti dari tarbiyah khusus ini adalah Allah mendidik seorang mukmin agar terjaga dan sempurna imannya.

Untuk memahami tarbiyah Allah yang khusus ini, kita perlu memahami ayat yang agung ini. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia.” (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Allah itu Tuhan Yang Maha Sempurna, sedangkan makhluk itu penuh kekurangan dan kelemahan.

Model kekurangan dan kelemahan makhluk itu bermacam-macam. Di antara mereka ada yang memberi untuk menerima, ada yang tidak memberi sesuatu karena bakhil, membunuh untuk mengambil harta, menyakiti untuk membalas dendam, dan mengusir untuk menyengsarakan. Adapun Allah, maka:

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia.”

Allah itu sempurna dari segala sisi.

Dikutip dalam kitab Fawaidul Fawaid bahwa Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bagaimana Allah berbuat terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidaklah mencegah, kecuali untuk memberi. Tidaklah mematikan, kecuali untuk menghidupkan. Tidaklah menimpakan musibah, kecuali menyelamatkannya. Tidaklah mengujinya, kecuali untuk memurnikan keimanannya. Dan tidaklah mengeluarkannya dari perut ibunya, terlahir di dunia ini, kecuali untuk meniti jalan menuju kepada Allah dan berjumpa dengan-Nya.

Allah mencegah pemberian dunia dari seorang mukmin untuk memberi anugerah iman yang itu lebih besar dari dunia. Karena Allah tidak rida bagian yang rendah untuk hamba-Nya yang beriman. Allah menghendaki anugerah yang tinggi untuknya. Di sinilah tampak bahwa karunia Allah berupa pencegahan dunia itu lebih utama dari pemberian dunia bagi seorang mukmin.

Sekali lagi,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia.”

Pengaturan Allah atas hamba-hamba-Nya itu jauh lebih bagus daripada pengaturan hamba atas dirinya sendiri. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya itu jauh lebih besar dari kasih sayang hamba kepada dirinya sendiri.

Allah itu paling tahu apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya, paling mampu mewujudkan kemaslahatan untuk hamba-Nya, paling baik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, serta paling bijak dan adil dalam menakdirkan takdir hamba-Nya. Setiap takdir-Nya tidak keluar dari kasih sayang, kebaikan, karunia, hikmah, atau keadilan-Nya.

Dan seluruh hamba-Nya tidak akan bisa keluar dari pengaturan-Nya yang sempurna. Seluruh urusan itu di tangan Allah. Maka, kebahagiaan seseorang yang mengimani ini semua adalah pada menyerahkan seluruh urusan kepada-Nya, bersandar hatinya kepada-Nya semata, sambil mengambil usaha dengan maksimal disertai memohon pertolongan kepada-Nya semata. Setelah itu ia rida Allah sebagai Rabbnya, Sang Pengatur dirinya sehingga menerima pengaturan dan takdir-Nya dengan lapang dada, sabar, dan bahkan bersyukur kepada Allah semata.

Peristiwa apapun yang menimpa seorang mukmin di jalan ketaatan kepada Allah itu hakikatnya adalah bentuk tarbiyah Allah yang spesial untuknya

Allah Ta’ala berfirman,

وَبَلَوْنٰهُمْ بِالْحَسَنٰتِ وَالسَّيِّاٰتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Dan Kami uji mereka dengan kelapangan/kesenangan dan kesulitan/musibah, agar mereka kembali (taat dan tobat).” (QS. Al-A’raf : 168)

Oleh karena itu, ketika Allah menakdirkan seorang mukmin dan mengaturnya dengan berbagai kejadian yang tidak diinginkan saat melakukan berbagai macam amal ibadah, maka yakinlah bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya dan hal itu bagian dari tarbiyah Allah atas keimanannya.

Contoh-contoh tarbiyah khusus

Berikut ini contoh-contoh tarbiyah khusus dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, bahkan untuk para nabi-Nya:

Tarbiyah Allah kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

Allah Ta’ala berfirman,

عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰى

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta (Abdullah bin Ummi Maktum) telah datang kepadanya.” (QS. ‘Abasa: 1-2)

Dalam surat ‘Abasa dari ayat pertama sampai kesepuluh, terdapat teguran lembut dari Allah kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu yang buta. Padahal, ia datang kepada kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta diajari agama Islam dengan mengucapkan, “Wahai Utusan Allah, berilah aku petunjuk.” [2]

Saat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu itu setidaknya karena tiga alasan:

Pertama: Beliau sedang sibuk mendakwahi pembesar kafir suku Quraisy yang diharapkan mereka masuk ke dalam agama Islam. Sehingga, akan masuk Islam pula para pengikutnya. Karena, waktu itu pembesar kafir tersebut menyatakan dirinya tidak membenci tauhid dan agama Islam [3], sehingga ada harapan dia masuk Islam, dan demikian pula para pengikutnya.

Kedua: Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beralih memberi perhatian kepada Abdullah bin Ummi Maktum, pria buta yang menurut pandangan pembesar kafir tersebut adalah orang yang rendah derajatnya, dikhawatirkan ia merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena memberi perhatian kepada orang yang menurut pandangan mereka rendah derajatnya daripada memberi perhatian kepada mereka lebih dahulu. Padahal dari sikap pembesar kafir tersebut, ada harapan ia masuk Islam.

Ketiga: Pembesar kafir suku Quraisy yang didakwahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu sama-sama belum masuk Islam. Seandainya Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu sudah masuk Islam ketika itu, tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpaling darinya dan ia akan disebut dalam ayat di atas dengan sebutan mukmin atau semisalnya dan bukan sebutan orang yang buta. Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu masuk Islam setelah turunnya ayat tersebut. [4]

Sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah ijtihad dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sama sekali bukanlah maksud beliau merendahkan Abdullah bin Ummi Maktum. Karena tujuan beliau berdakwah adalah menyebarkan agama Islam ini demi meraih rida Allah semata, bukan pujian, harta, jabatan, dan status sosial. Sehingga, beliau tidak mendakwahi orang karena ingin dapat harta, jabatan, atau tujuan duniawi lainnya.

Tarbiyah Allah untuk utusan-Nya yang paling mulia ini mengandung pelajaran besar bahwa Allah mengajarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam metode dakwah yang paling baik dengan mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar, yaitu dengan mendahulukan mad’u (jemaah/audien) yang semangat mengetahui ajaran Islam, ingin membersihkan diri dari dosa dan takut kepada Allah, daripada jemaah yang tidak semangat dalam mengetahui ajaran Islam dan tidak bersegera dalam memperolehnya.

Selain itu, Allah hendak menambah kesempurnaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam dalam menghadapi orang buta yang tidak bisa melihat beliau, namun semangat ingin mendapatkan petunjuk Allah. Di samping itu juga, tarbiyah rabbani ini merupakan pelajaran bagi umat beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, khususnya para da’i, dan keseluruhan umat Islam pada umumnya.

Tarbiyah Allah kepada Nabi Adam dan Rasulullah Ibrahim ‘alaihimas salam [5]

Cemburu atau Al-Ghairah adalah salah satu dari sifat Allah Ta’ala. Sifat cemburu Allah ini disebutkan dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللَّهِ: أَنْ يَأْتِيَ الْعَبْدُ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah cemburu, dan sesungguhnya seorang mukmin cemburu (juga). Sedangkan cemburu Allah itu (ada saat) seorang hamba melakukan perkara yang diharamkan atasnya.”

Jadi, maksud cemburu Allah kepada hamba-Nya adalah Allah tidak menjadikannya menghamba kepada makhluk. Namun, Allah hanya menjadikannya sebagai hamba-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan cemburu Allah itu ada pada saat seorang hamba melakukan perkara yang diharamkan atasnya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa di antara bentuk cemburu Allah adalah cemburu-Nya kepada hamba-Nya yang dicintai-Nya, yaitu Adam ‘alaihis salam, saat kelezatan surga mengisi relung hatinya dengan kuat dan beliau begitu semangatnya tinggal kekal di dalamnya, maka Allah pun mengeluarkannya dari surga.

Tarbiyah Allah untuk Nabi Adam ‘alaihis salam itu dalam bentuk Allah membiarkan Nabi Adam ‘alaihis salam berbuat dosa, sehingga Allah keluarkan beliau dari surga, agar ibadah cintanya kepada Allah tetap terjaga dan steril dari semua kotoran.

Demikian pula, tatkala kecintaan yang besar kepada Isma’il telah masuk ke dalam hati salah satu dari hamba yang paling dicintai-Nya, yaitu Khalilullah Ibrahim ‘alahis salam, maka Allah pun memerintahkan beliau untuk menyembelihnya. Sehingga keluar dari hatinya rasa cinta kepada selain Allah Ta’ala tersebut. Karena jika tidak, cinta tersebut berpotensi mendominasi dan mengotori kecintaannya kepada Allah.

Semua itu karena Allah Ta’ala tidak rida hati hamba yang dicintai-Nya berpaling kepada selain-Nya. Karena Allah mencintai tauhid dan tidak rida terhadap syirik, serta agar ibadah cinta, takut, dan harap tetap dan terus untuk Allah semata, tidak mendua dalam hati hamba-Nya.

Tarbiyah Allah ini pun juga melahirkan sikap bersegera kepada keridaan Allah dengan lebih baik sampai mencapai derajat tauhid dan iman yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sebagaimana hal ini terbukti pada diri Nabi Adam ‘alaihis salam saat terjatuh dalam maksiat. Allah berfirman dalam ayat ke-121 surah Tha-Ha,

فَاَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۚ وَعَصٰىٓ اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى

“Kemudian keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. Dan Adam telah bermaksiat kepada Tuhannya, maka tersesatlah dia (dari jalan kebenaran).”

Namun, justru itu menjadi pelajaran besar bagi beliau untuk bertobat dan memperbaiki diri. Allah pun dalam ayat setelahnya (ayat ke-122) berfirman,

ثُمَّ اجْتَبٰىهُ رَبُّهٗ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدٰى

“Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.”

Jadilah Adam ‘alaihis salam sebagai hamba yang Allah pilih sebagai nabi-Nya. Allah terima tobatnya dan Allah sempurnakan hidayah-Nya untuknya dan sempurnakan pula keimanannya, setelah sebelumnya disebut bermaksiat dan tersesat dari jalan kebenaran. [6]

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74832-penjelasan-nama-allah-ar-rabb-bag-2.html

Fikih Nikah (Bag. 11)

Hukum-Hukum terkait Hak Asuh Anak

Pengertian pengasuhan dan hukumnya

Di dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu disebutkan,

Secara bahasa, Al-Hadhanah berasal dari Alhidhanu yang bermakna “sisi”. Sehingga makna secara bahasa adalah “bergabung bersama” atau “menggabungkan seseorang bersama kita”.

Adapun secara istilah, maka maknanya adalah “mendidik anak yang memiliki hak asuh, atau mendidik dan menjaga siapa yang tidak bisa mengurusi dirinya sendiri dari hal-hal yang dapat mengganggunya dikarenakan ia belum bisa berpikir, baik itu anak yang masih kecil atau pun orang yang sudah dewasa tetapi tidak waras. Yaitu dengan cara mengawasi segala urusannya, memberi makan, baju, tempat tidur yang layak, bahkan membersihkan dirinya dan mencucikan pakaiannya”.

Hadhanah/pengasuhan merupakan salah satu bentuk hak perwalian. Akan tetapi, perempuan lebih layak akan hal tersebut (berbeda dengan perwalian yang lain, sering kali laki-lakilah yang lebih tepat). Hal itu dikarenakan perempuan cenderung lebih memiliki kasih sayang dan telaten ketika mendidik, sabar di dalam menjalaninya, serta lebih dekat dengan anak-anak. Akan tetapi, jika anak tersebut sudah mencapai usia tertentu, maka laki-laki lebih berhak atas pengasuhannya, karena ia lebih mampu untuk menjaga dan membentuk karakter seorang anak daripada perempuan.

Hukum mengasuh adalah wajib. Karena anak yang butuh pengasuhan tersebut akan rusak dan tidak terurus jika tidak ada yang mau mengasuhnya. Maka, wajib hukumnya untuk menjaga anak tersebut dari kerusakan. Dan hukumnya menjadi fardhu kifayah apabila yang memiliki hak pengasuhan tidak hanya satu. Namun, jika yang memiliki hak pengasuhan hanya satu orang, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain, atau ketika ada beberapa orang, hanya saja anak tersebut tidak menghendaki, kecuali kepada salah satu dari mereka.

Siapa yang paling berhak atas pengasuhan tersebut?

Jika sebuah keluarga masih sempurna dan lengkap, maka kewajiban mengasuh jatuh kepada bapak dan ibunya. Adapun jika bapak dan ibunya telah berpisah, baik karena meninggalnya sang bapak ataupun karena perceraian, maka ibulah yang berhak atas pengasuhan sang anak. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Amru’ bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya,

 أن امرأة قالت: يا رسول الله إن ابني هذا كانت بطني له وعاء، وثديي له سقاء، وحجري له حواء، وإن أباه طلقني وأراد أن ينتزعه مني، فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: “أنت أحق به ما لم تنكحي”

“Seorang wanita berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini dahulu perutku adalah tempatnya, puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikanku, dan ingin merampasnya dariku.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Engkau lebih berhak terhadapnya selama Engkau belum menikah.’” (HR. Abu Dawud no. 2276 dan Ahmad no. 6707, lafaz hadis ini adalah yang sesuai riwayat Ahmad)

Adapun jika sang ibu terhalang dan tidak mampu untuk mengasuh anaknya, ataupun telah menikah lagi, ataupun telah wafat, maka hak pengasuhan tersebut beralih ke yang lain. Para ulama berselisih pendapat terkait urutan orang yang berhak atas pengasuhan setelah ibu. Akan tetapi, kebanyakan mereka mengutamakan perempuan dari laki-laki, dikarenakan perempuan cenderung lebih ramah dan kasih sayang dan lebih baik di dalam mendidik anak kecil balita. Mayoritas ulama setelah urutan ibu kandung, maka mereka mendahulukan nenek (pihak ibu) dari yang lainnya.

Di dalam mazhab Syafi’i, urutan siapa yang berhak mengasuh dirinci menjadi beberapa bagian:

Pertama: Jika yang berhak mengasuh hanya ada perempuan saja, maka yang paling utama adalah nenek pihak ibu ke atas, didahulukan yang paling dekat. Kemudian barulah nenek dari pihak bapak, kemudian nenek dari pihak ibu yang tersambung melalui pihak perempuan, kemudian neneknya bapak yang tersambung dari pihak laki-laki ke atas, kemudian barulah saudari-saudari si anak yang butuh pengasuhan tersebut, kemudian bibi dari pihak ibu (saudari perempuan ibu). Inilah pendapat baru (qaul jadid) dari mazhab Syafi’i. Kemudian setelahnya adalah anak-anak perempuan saudari perempuan si anak (keponakan) dan anak-anak laki saudara laki-laki si anak. Kemudian yang terakhir barulah bibi dari pihak bapak.

Kedua: Jika yang berhak mengasuh hanya ada pihak laki yang merupakan mahram si anak dan juga pewarisnya, maka urutannya sebagaimana di dalam pembagian waris. Yang paling didahulukan adalah bapak, baru kemudian kakek, kemudian barulah saudara laki-laki si anak.

Ketiga: Adapun jika yang berhak mengasuh terkumpul adanya pihak laki-laki dan perempuan, maka yang pertama adalah ibu, kemudian nenek dari pihak ibu (ke atas), kemudian bapak. Ada yang mengatakan bahwa bibi dari pihak ibu ataupun saudari si anak lebih didahulukan sebelum bapak.

Keempat: Prinsipnya pihak asl (hubungan nasab dari arah atas), baik laki-laki maupun perempuan (bapak, ibu, kakek, nenek ke atas) lebih didahulukan daripada hawasyi (hubungan nasab dari arah menyamping), seperti saudari perempuan atau bibi, karena hubungan nasab ke atas itu lebih erat dan kuat.

Kelima: Barulah kalau sudah tidak ada saudara dengan hubungan nasab ke atas, akan tetapi masih ada hawasyi, maka yang benar didahulukan yang hubungannya paling dekat dengan si anak, baik laki-laki maupun perempuan. Ketika hubungannya sama dekatnya (seperti antara saudara laki-laki dan saudari perempuan), maka didahulukan pihak perempuan.

Syarat-syarat mengasuh

Mereka yang berhak atas pengasuhan seorang anak kecil yang belum dewasa, maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Para ulama berbeda pendapat terkait syarat-syaratnya. Adapun di dalam mazhab Syafi’i, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, maka syaratnya ada tujuh:

Pertama, berakal. Maka orang yang gila atau mengalami gangguan akal tidak boleh mengasuh, kecuali jika gangguan ‘gila’-nya tersebut jarang terjadi, seperti hanya sehari saja dalam setahun.

Kedua, merdeka. Oleh karena itu, budak tidak diperbolehkan untuk memiliki hak asuh.

Ketiga, orang yang mengasuh beragama Islam. Maka, tidak ada hak asuh untuk orang kafir atas seorang anak muslim. Adapun pengasuhan orang kafir untuk anak yang kafir ataupun pengasuhan orang muslim atas seorang anak yang kafir, maka itu tidaklah mengapa. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari no. 1358  dan Muslim no. 2658)

Keempat, menjaga agamanya. Maksudnya dia memiliki kesalehan dan tidak fasik. Bahkan, meninggalkan salat pun sudah terhitung sebagai kefasikan.

Kelima, amanah dan terpercaya. Maka, orang yang terbiasa berkhianat dan tidak amanah, tidak boleh dijadikan sebagai pengasuh.

Keenam, tinggal menetap di daerah anak yang diasuh.

Ketujuh, wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak (bukan mahram sang anak). Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya menikah dengan kerabat sang anak, maka hak kepengasuhannya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya.

Sampai umur berapa seorang anak wajib diasuh?

Para ulama berbeda pendapat terkait kapan selesainya masa pengasuhan ini. Di dalam mazhab Syafi’i, masa pengasuhan ini berlangsung hingga mencapai usia tamyiz, yaitu 7 tahun, baik yang sedang diasuh tersebut laki-laki maupun perempuan. Jika seorang anak telah mencapai usia tersebut, ia diberi pilihan antara ikut dengan bapaknya atau ibunya, atau antara bapak dengan perempuan yang menggantikan posisi ibu dalam mengasuh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ خيَّرَ غلامًا بين أبيهِ وأمِّهِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi seorang anak (laki-laki) hak untuk memilih antara (ikut) ibu dan bapaknya.” (Hadis hasan sahih riwayat Tirmidzi no. 1357)

Para ulama’ juga berdalil dengan kejadian yang terdapat di dalam hadis,

عن أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ إِنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ نَفَعَنِي وَسَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا وَقَالَ مَنْ يُخَاصِمُنِي فِي ابْنِي فَقَالَ يَا غُلَامُ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ

“Dari Abu Hurairah bahwa- seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan berkata, “Aku tebus Engkau dengan ayah dan ibuku. Sesungguhnya suamiku ingin mengambil anakku, padahal ia sangat bermanfaat bagiku dan mengambilkan air bagiku dari sumur Abî Inabah.” Kemudian suami wanita itu datang dan berkata, “Siapa yang akan menentang hakku atas anakku?” Rasulullah bertanya kepada anak (yang disengketakan), “Hai anak. Ini ayahmu dan ini ibumu. Pilihlah siapa yang Engkau kehendaki.” Maka anak itupun dilepaskan (kepada Ibunya)”. (HR. An-Nasa’i no. 3439).

Adapun anak perempuan, maka pendapat yang lebih rajih dan lebih kuat insyaAllah adalah pendapat madzhab Hambali. Apabila ia telah mencapai usia tamyiz, maka tidak diberi pilihan, namun otomatis wajib berada di bawah pengasuhan bapaknya sampai ia baligh (dewasa) kemudian menikah. Karena tujuan pengasuhan adalah penjagaan, dan bapak pasti lebih menjaga anak perempuannya. Saat ada yang melamar putrinya tersebut, maka pelamar tersebut harus mendapat restu si bapak.

Seorang bapak wajib menjaga dan menjamin keselamatan anak perempuannya dari hal-hal yang dapat merusaknya. Seorang perempuan hakikatnya cenderung lebih mudah terkena dampak buruk dan kerusakan dan mudah tertipu karena kepolosannya. Oleh karenanya Nabi kita pernah bersabda terkait keutamaan khusus yang didapatkan oleh mereka yang berhasil mendidik anak perempuan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ

“Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku” (Anas bin Malik berkata, “Nabi menggabungkan jari-jari jemari beliau”) (HR Muslim 2631).

Biaya pengasuhan, siapa yang menanggung?

Ulama Syafi’i mengatakan, “Setiap pengasuh berhak atas biaya pengasuhan, walaupun yang mengasuh adalah ibunya sendiri. Biaya pengasuhan tersebut berbeda dengan biaya menyusui. Maka apabila ada seorang ibu yang menyusui sendiri anaknya, kemudian ia meminta biaya penyusuan dan pengasuhan, wajib hukumnya untuk memenuhi biaya yang ia minta.”

Lalu, siapakah yang dibebani pembiayaan pengasuhan tersebut?

Jika anak kecil tersebut memiliki harta, maka biaya pengasuhannya diambil dari hartanya tersebut. Jika tidak memiliki, maka dibebankan ke ayahnya ataupun orang yang wajib menafkahi si anak tersebut (walinya misalnya), dan besaran jumlahnya disesuaikan dengan keadaan si pembayarnya.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74821-fikih-nikah-bag-11.html

Hukum Menggabung Puasa Qadha Ramadhan dan Puasa Sunah Syawal

Puasa Ramadhan hukumnya wajib. Bila tak dikerjakan, maka wajib diganti atau membayar fidyah. Sedangkan puasa Syawal hukumnya sunah. Muncul persoalan, bagaimana hukum menggabung puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah Syawal?

Puasa enam hari di Syawal hukumnya adalah sunah. Dalam hadis Nabi terdapat pelbagai penjelasan terkait keutamaan puasa Syawal. Salah satunya hadis riwayat Imam Muslim. Nabi bersabda;

عن أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya; Dari Sahabat Nabi, Musa al Anshari Semoga Allah senantiasa meridhainya, Rasullulah SAW bersabda; “barang siapa saja yang berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti pahala berpuasa selama satu tahun” (HR. Muslim).

Ada pun persoalan terkait menggabung puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah Syawal keterangannya sebagai berikut. Menurut Syekh Dr. Ali Jumah boleh hukumnya menggabung niat puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah syawal. Lebih lanjut, orang yang meniatkan puasa qadha digabungkan dengan puasa sunah, maka akan mendapat dua pahala, yakni atas puasa qadha Ramadhan dan sunah syawal.

Syekh Ali Jumah menjelaskan;

أما عن الجمع بين نية صوم هذه الأيام الستة أو بعضها مع أيام القضاء في شهر شوال، فيجوز للمسلم أن ينوي نية صوم النافلة مع نية صوم الفرض، فيحصل المسلم بذلك على الأجرين

Artinya; ada pun menggabungkan niat puasa sunah enam Syawal—seluruhnya atau sebagiannya— dengan puasa qadha Ramadhan yang dilaksanakan di Bulan Ramadhan, maka boleh hukumnya bagi setiap muslim bahwa ia berniat puasa sunah berserta puasa fardu. Maka siapa yang mengamalkan demikian mendapatkan dua pahala.

Lebih lanjut, menurut Syekh Ali Jumah, perempuan yang berhalangan puasa pada saat Ramadhan, sebab haid, nifas, dan sebagainya, maka ia boleh menggantinya di bulan Syawal. Perempuan tersebut akan mendapatkan pahala Syawal. Pasalnya, puasa itu dikerjakan di bulan Syawal. Ia berkata;

 فيجوز للمرأة المسلمة أن تقضي ما فاتها من صوم رمضان في شهر شوال، وتكتفي به عن صيام الست من شوال، ويحصل لها ثوابها؛ لكون هذا الصيام قد وقع في شهر شوال

Artinya; maka boleh bagi wanita muslimah mengganti puasa yang tertinggal dari bulan ramadhan di bulan syawal, maka memadai dengan puasa qadha itu dari puasa sunah enam syawal, dan ia akan memperoleh pahala syawal, karena puasa itu dikerjakan pada pada bulan Syawal.

Penjelasan serupa terdapat dalam kitab al Asbahu wa al Nazhair, karya Imam Jalaluddin as Suyuthi. Imam Suyuthi mengatakan barang siapa yang melaksanakan puasa pada hari A’rafah, misalnya puasa wajib qadha, nazar, atau kafarat (sebab bersetubuh di bulan Ramadhan), kemudian ia meniatkan besertanya puasa sunah A’rafah, maka puasa tersebut sah dan mendapatkan pahala.

ولو صام في يوم عرفة مثلًا قضاء أو نذرًا أو كفارة ونوى معه الصوم عن عرفة، فأفتى البارزي بالصحة والحصول عنهما. قال: كذا إن أطلق. فألحقه بمسألة التحية

Artinya; Jikalau seorang puasa pada hari Arafah seumpamanya— ia melaksanakan puasa—, qadha, nazar, atau kafarat, kemudian ia berniat besertanya puasa Arafah, maka memfatwakan Al Barizi tentang sah dan memperoleh pahala ia dari dua puasa tersebut. Ia berkata; demikian jika secara mutlak. Al Barizi mendasarkan pendapatnya dengan masalah bolehnya menggabung shalat tahiyat masjid.

Meski boleh menggabung puasa sunah dan puasa wajib, maka menurut Syekh Ali Jumah lebih utama dikerjakan dulu qadha puasa Ramadhan, kemudian baru dikerjakan puasa enam Syawal. Artinya, tidak digabung, tetapi dipisah pengerjaannya. Itu akan memperoleh pahala puasa yang sempurna. Sedangkan puasa dengan menggabung qadha dan puasa sunah Syawal membuat pahala puasa tersebut tak sempurna atau berkurang.

أن الأكمل والأفضل أن يصوم المسلم أو المسلمة القضاء أولًا ثم الست من شوال، أو الست من شوال أولًا، ثم القضاء؛ لأن حصول الثواب بالجمع لا يعني حصول كامل الثواب

Artinya; sesungguhnya yang sempurna dan utama adalah bahwa seorang muslim atau muslimah melaksanakan puasa qadha terlebih dahulu, kemudian baru melaksanakan puasa sunah enam Syawal. Atau bisa juga puasa Syawal terlebih dahulu, baru kemudian dikerjakan qadha (artinya; dipisah antara qadha dan sunah). Pasalnya, pahala mengerjakan puasa dengan digabung antara qadha dan sunah Syawal tidak memperoleh pahala yang sempurna.

Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat untuk kita semua.

BINCANG SYARIAH