Serial Fikih Muamalah (Bag. 2): Keistimewaan Khusus Fikih Muamalah dalam Islam

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 1): Mengenal Perspektif Islam terhadap Fikih Muamalah

Pertama: Hukum asal transaksi adalah boleh, baik itu akadnya maupun syarat-syaratnya

Dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah terlarang dan haram sampai terdapat dalil dari Allah Ta’ala yang membolehkannya. Hal ini bertujuan agar jangan sampai ada seseorang yang membuat sebuah perkara baru (bid’ah) dalam perkara agama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Berbeda halnya dalam masalah muamalah (transaksi), hukum asalnya adalah boleh dan tidak ada yang terlarang, kecuali jika memang ada larangannya dari dalil yang sahih dan jelas. Jika tidak ada dalil pelarangannya, maka boleh untuk dilakukan dan dipraktikkan. Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ * وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Jasiyah: 12-13)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَرَءَيْتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَٰلًا قُلْ ءَآللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى ٱللَّهِ تَفْتَرُونَ

“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?’” (QS. Yunus: 59)

Ayat ini turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang telah mengharamkan apa-apa yang Allah Ta’ala halalkan dari berbagai jenis makanan dan berbagai bentuk transaksi hanya karena hal-hal tersebut bertabrakan dengan adat serta kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.” (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Ibnu Majah no. 2353)

Hadis ini merupakan pondasi dalam perkara syarat-syarat, yang menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah diperbolehkan dan tidak ada yang dilarang, kecuali jika di dalamnya terdapat suatu hal yang menyelisihi syariat.

Dari sini dapat dipahami bahwa ucapan ‘Mana dalil yang membolehkan bentuk transaksi ini?’; atau ucapan ‘Mana dalil yang menunjukkan bolehnya persyaratan ini?’ merupakan sebuah ucapan yang tidak diperbolehkan. Justru yang seharusnya ditanyakan adalah ‘Mana dalil yang melarang transaksi ini?’ Keistimewaan ini membuka pintu terhadap banyaknya bentuk transaksi baru di zaman sekarang yang belum pernah disebutkan, baik di Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Barulah kemudian tugas seorang fakih meneliti bentuk transaksi yang baru tersebut, meminta pendapat kepada ahli ekonomi yang mumpuni, agar ia bisa mendeskripsikan dengan tepat bentuk transaksi yang sedang ia teliti tersebut. Karena menghukumi sesuatu itu bisa tercapai setelah adanya proses identifikasi dan deskripsi yang tepat dan benar.

Kedua: Transaksi (muamalah) dibangun atas dasar sebuah alasan dan kemaslahatan

Jika dalam perkara ibadah seringkali tidak dapat dinalar oleh akal dan tidak memiliki sebab (alasan) khusus, namun seorang muslim wajib untuk menaatinya (seperti jumlah rakaat salat, syariat mencium hajar aswad dan lain sebagainya). Berbeda halnya dalam perkara muamalah (transaksi), sebagian besarnya dapat dinalar dan tentunya memiliki sebab dan alasan yang mendasari bolehnya transaksi tersebut. Asy-Syatibi Rahimahullah mengatakan,

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada seorang mukallaf (yang dibebani kewajiban syariat) adalah penghambaan mutlak bukan menoleh kepada substansi, sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi.” (Al-Muwafaqat, karya As-Syaatibi, 2: 300)

Di antara dalil yang menunjukkan perhatian muamalah terhadap sebuah sebab dan kemaslahatan adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu.” (QS. Al-Maidah: 91)

Oleh karenanya, Islam melarang segala macam transaksi yang mengandung perjudian, sebab hal tersebut akan menimbulkan permusuhan dan kebencian.

Konsekuensi ketergantungan hukum-hukum muamalah dengan kemaslahatan yang ingin dicapai mengharuskan perubahan hukum jika kemaslahatannya berubah, atau ketika muamalah (transaksi) tersebut sudah tidak sejalan dengan visi syariat. Al-‘Izz bin Abdi As-Salam dalam kitabnya Qawaid Al-Ahkam fii Mashaalih Al-Anaam menetapkan sebuah kaidah,

كُلُّ تَصَرُّفٍ تَقَاعَدَ عَنْ تَحْصِيلِ مَقْصُوده فَهُوَ بَاطِلٌ

“Setiap transaksi yang tidak bisa mencapai tujuannya, maka dianggap batal dan tidak sah.”

Di antara contohnya, dahulu kala para sahabat meminta kepada nabi untuk menentukan harga barang dagangan mereka ketika terjadi lonjakan harga, namun Nabi menolak permintaan mereka dan bersabda,

إنَّ اللَّهَ هوَ المسعِّرُ القابضُ الباسطُ الرَّازقُ ، وإنِّي لأرجو أن ألقَى اللَّهَ وليسَ أحدٌ منكُم يطالبُني بمَظلمةٍ في دمٍ ولا مالٍ

“Sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Sungguh aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun di antara kalian menuntutku karena sebuah kezaliman (yang aku lakukan) dalam perkara nyawa dan harta kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3451 dan Tirmidzi no. 1314)

Namun, di zaman tabi’in kita dapati sebagian dari ahli fikih ada yang berpendapat akan bolehnya ‘penentuan harga dari pemerintah’ setelah melihat kemaslahatan dan tujuan yang baik dari perbuatan tersebut.

Ketiga: Mayoritas hukum muamalah dibangun atas dasar suatu kebiasaan dan adat

Di antara contohnya:

Pertama: Penulisan harga sebuah barang atau biaya sebuah barang sewaan merupakan pengganti ucapan (akad) yang seharusnya keluar dari penjual dan pembeli. Jika memang kebiasaan di sebuah daerah seperti itu, maka kedua belah pihak sah transaksinya tanpa mengucapkan, ‘Aku menjual’ dan ‘Aku membeli’.

Kedua: Banyaknya jenis transaksi yang diperbolehkan karena melihat adanya kebiasaan dan sebuah adat. Seperti jual beli dengan pembayaran di depan (payment in advance) dan juga jual beli dengan sistem pemesanan pembuatan barang khusus sesuai kriteria pemesan (istishnaa’).

Ketiga: Kriteria cacat pada suatu barang dagangan yang menjadikan batalnya sebuah akad jual beli takarannya menyesuaikan adat yang ada.

Keempat: Muamalah (transaksi) dalam Islam menggabungkan antara prinsip ibadah dan prinsip pelaksanaan hukum

Semua jenis transaksi yang kita lakukan (jika sesuai dengan aturan syariat), maka itu bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala. Mengapa? Karena berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip pemanfaatan harta termasuk salah satu tuntutan keimanan dan ketauhidan kita kepada Allah, di mana kita hanya menjadikan ajaran Allah dan Rasul-Nya sebagai patokan dan landasan hukum atas semua hal yang dilakukan.

Sebaliknya, tidak berhukum dengan hukum yang telah Allah Ta’ala turunkan atau bahkan bertentangan dengannya, maka jelas ini merupakan pintu kerusakan, kezaliman, dan kefasikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Ma’idah: 45)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Ma’idah: 47)

Adapun maksud dari ‘prinsip pelaksanaan hukum’ adalah ketika seorang muslim dihadapkan pada situasi di mana ia harus menolak dan tidak menyetujui sebuah akad karena mengandung kebatilan, maka ia tidak perlu menunggu keputusan otoritas pengadilan untuk membatalkan transaksi tersebut. Yang harus ia lakukan adalah bergegas membatalkan akad karena kesadaran dirinya. Sikap dan prinsip ‘pelaksanaan hukum’ inilah yang mencerminkan perasaan selalu diawasi oleh Allah Ta’ala (muraqabah).

Kelima: Muamalah Islam lebih mengedepankan kepentingan orang banyak

Layaknya bahasan-bahasan fikih Islam yang lain, muamalah bertujuan demi kemaslahatan individu dan komunitas orang banyak secara bersamaan, imbang antara keduanya tanpa saling bertabrakan antara satu kemaslahatan dengan yang lainnya. Muamalah tidak hanya bertujuan untuk membangun masyarakat (kelompok) yang baik. Lebih dari itu, muamalah memiliki tujuan untuk membahagiakan seorang individu maupun kelompok, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.” (QS. An-Nisa: 134)

Berbeda halnya dengan hukum dan undang-undang ekonomi masa kini, entah lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak dan menjatuhkan hak-hak individu serta mengesampingkannya, ataupun sebaliknya. Ada undang-undang yang memberikan kebebasan penuh bagi individu, demi meraih manfaat yang tinggi bagi dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan kemanfaatannya untuk orang banyak.

Di dalam syariat Islam, saat tidak memungkinkan untuk menggabungkan antara kepentingan individu dan kepentingan orang banyak, maka yang lebih didahulukan adalah kepentingan orang banyak. Para ulama telah menyusun beberapa kaidah terkait hal tersebut, di antaranya,

يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام

“Bahaya yang bersifat khusus dan individual ditanggung (diambil dan dihadapi) untuk menolak bahaya yang bersifat umum dan meluas.” (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Ibnu Nujaim, hal. 87)

تصرف الإنسان في خالص حقه إنما يصح إذا لم يتضرر به غيره

“Pemanfaatan seseorang atas hak individunya dipandang sah manakala tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.” (Al-Qawaid Al-Kulliyah karya Muhammad Syubair, hal. 181)

إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما

Jika dihadapkan pada dua mafsadat, maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil  mafsadat yang lebih ringan. (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Imam As-Suyuti, hal. 87)

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75752-serial-fikih-muamalah-bag-2.html

Jangan Suka Ngerumpi!

Dunia kamu wanita sangat identik dengan ngerumpi. Kecuali mereka yang dianugerahi taufiq Allah ta’ala untuk menjaga lisannya. Dalam KBBI, merumpi artinya: mengobrol sambil bergunjing dengan teman, biasanya dalam kelompok kecil. Terlalu banyak berbicara tanpa tujuan atau sekedar untuk mengisi waktu seringkali melalaikan wanita hingga tanpa disadari ia terjerumus kepada ghibah. Bahkan tak jarang karena bergaul dengan teman yang hobi merumpi ia mulai kurang bersyukur pada suaminya atau mengekspos aib-aib suaminya. Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Yang terbaik dilakukan seorang laki-laki (suami) adalah menjauhkan wanita dari interaksi (ngerumpi) sesamanya karena mereka akan merusak dari (bersyukur) kepada suami.” (Al-Furu’ Ibnu Muflih, 5/108).

Sungguh nasehat indah agar wanita terjaga agamanya dan menjauhi ngerumpi karena ini perkara yang dianggap sepele oleh banyak wanita yang kurang taat pada Allah Ta’ala. Membuat wanita bahkan membenci suaminya atau kurang puas dengan nafkah dari suami karena terpengaruh obrolan dengan temannya. Bisa jadi karena berawal dari ngerumpi wanita menuntut hal-hal yang di luar kemampuan suami entah berkaitan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya yang lebih bersifat materi dunia. Karena dampak buruk ngerumpi yang membuat rasa syukur seorang berkurang maka hal ini bisa menyebabkan menjadi mayoritas penghuni neraka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا ينظرُ اللَّهُ إلى امرأةٍ لا تشكُرُ لزوجِها وَهيَ لا تستَغني عنهُ

Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup).” (HR. An-Nasa’i no 249, Al-Baihaqi [VII/295], dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, no. 289).

Saatnya seorang wanita lebih berhati-hati agar terhindar dari pembicaraan yang sia-sia, karena biasanya wanita lebih unggul berbicara dibandingkan laki-laki. Disamping itu wanita menyukai pergaulan, perkumpulan, kunjungan, dan berbagai pesta. Maka disinilah peran suami sholeh sangat penting agar bisa bersikap arif dan santun mengingatkan istrinya ketika berlebihan dalam berbicara serta bergaul dengan orang lain.

Taufik Al Hakim berkata, “Belum pernah aku temukan dua orang perempuan yang sedang duduk dan keduanya tidak berbicara. Aku pernah menyaksikan sekelompok wanita sedang berkumpul saya heran bagaimana mereka saling menghadirkan bahan pembicaraan. Kadang saya merasa paling cerewet di antara kaum laki-laki, namun ketika saya bandingkan dengan kaum wanita ternyata saya paling pendiam di antara mereka.” (Mut’atul Hadits, Abdullah Ad-Dawud, hal.72).

Menjauhi ngerumpi butuh tekad kuat dan semangat agar benar-benar tertanam di hati bahwa ngerumpi itu godaan besar bagi yang bisa mencelakakan akhirat dan dunianya. Wanita cerdas itu bukan hanya pandai bergaul namun ia juga sosok yang mampu membentengi dirinya dari pergaulan yang merusak masa depannya. Dia selalu memperbaiki lisannya, akhlaknya, dan menjauhi majelis-majelis serumpi yang menyia-nyiakan waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda,

الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

Perkataan yang baik itu Shadaqah.” (HR. Al Bukhari dengan sanad muallaq. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu).

Hendaklah para istri bahagia dan bersyukur kepada Allah Ta’ala memiliki suami yang gemar mengingatkannya pada kebaikan. Ini tanda cinta tulus suami agar istri selalu dalam ketaatan pada Allah Ta’ala. Bukankah kewajiban istri taat pada suami selama semua perintahnya tidak bermaksiat pada Allah Ta’ala? Perbaikilah juga manajemen waktu baik untuk ibadah seperti salat, puasa, membaca Al-Qur’an atau amaliah sosial lainnya agar sesuai skala prioritas. Niscaya berbalas surga ketika kita menjadikan ketaatan kepada suami dan anak shaleh lainnya demi kecintaan pada Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

Apabila seorang wanita mengerjakan salat lima waktu, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, niscaya dia akan masuk surga dari pintu pintu surga yang dia inginkan.” (HR. Ahmad dalam no. 1661, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 4151).

Nabi Sallallahu’alaihi wa sallam berwasiat,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, namun ketaatannya hanya dalam kebaikan.” (HR. Bukhari no. 7257, Muslim no. 1840).

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2011

2. One Heart, Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, Zainal Abidin bin Syamsudin, pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2013

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14411-jangan-suka-ngerumpi.html

Daftar Tunggu Haji Bisa 90 Tahun Lebih, Ini Penjelasan Kemenag

Daftar tunggu ibadah haji yang dilansir oleh Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) menunjukkan data estimasi keberangkatan yang semakin lama. Beberapa provinsi bahkan memiliki daftar atau masa tunggu hingga lebih dari 90 tahun.

Kasubdit Sistem Informasi Haji Terpadu Ditjen PHU Hasan Afandi menjelaskan bahwa mundurnya estimasi keberangkatan disebabkan bilangan pembagi daftar tunggunya didasarkan pada kuota haji

“Estimasi keberangkatan selalu menggunakan angka kuota tahun terakhir sebagai angka pembagi. Tahun ini kebetulan kuota haji Indonesia hanya 100.051 atau sekitar 46% dari kuota normal tahun-tahun sebelumnya,” terang Hasan Afandi, dilansir laman resmi Ditjen PHU, Rabu (15/6/2022).tahun berjalan.

Kuota haji 2022 turun jika dibandingkan sebelumnya pada 2020. Total jamaah haji yang bisa berangkat ke Baitullah saat itu adalah 221 ribu orang, yang terdiri dari 203.320 kuota haji reguler dan 17.680 untuk haji khusus.

“Hal inilah yang secara otomatis menyebabkan estimasi keberangkatan semakin lama. Sebab, ketika kuota turun, maka otomatis estimasi keberangkatan akan naik,” jelasnya.

Sayangnya kuota ini dibatalkan saat pandemi COVID-19 menyerang, yang berdampak pada pemberangkatan haji. Kuota ini masih diterapkan hingga ada kepastian jumlah jamaah haji yang bisa berangkat pada 2023.

Artinya, perkiraan waktu keberangkatan (estimasi) dengan daftar atau masa tunggu Haji yang panjang ini masih berlaku. Padahal, jika kuota haji kembali seperti pada 2020 maka estimasi keberangkatan bisa disesuaikan.

“Bila kuota nasional kembali 100 persen, secara otomatis, estimasi keberangkatan akan menyesuaikan kembali, karena sistem aplikasinya memang begitu,” kata Hasan.

Dengan penjelasan ini, Hasan sekaligus memastikan lamanya waktu tunggu haji bukan karena kenaikan jumlah pendaftar pada Mei-Juni 2022. Kurun waktu tersebut adalah ketika pemerintah usai mengumumkan kuota 2022.

Efek peningkatan jumlah pendaftar haji hanya dirasakan jamaah yang baru mendaftar. Peningkatan kuantitas pendaftar tidak berefek pada perubahan perkiraan keberangkatan atau waktu tunggu haji.*

HIDAYATULLAH

Cek antrean Kepergian Haji melalui aplikasi Cek Porsi Haji, download di sini!

Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan

Salah satu ciri orang yang beriman adalah gemar bersedekah. Sedangkan di antara ciri kemunafikan adalah enggan untuk bersedekah.

Sedekah Adalah Bukti Iman

Rasul shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda :

وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

Sedekah adalah burhan (bukti) “ (H.R Muslim)

Yang dimaksud burhan adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan. Tidaklah akan rela mengeluarkan harta yang ia cintai untuk disedekahkan, kecuali hanya orang yang memiliki keimanan dalam hatinya. Maka ketika seseorang mengedepankan ketaatan kepada Allah dengan bersedekah, ini merupakan bukti benarnya keimanan di dalam hatinya.

Orang Munafik Enggan Bersedekah

Adapun orang munafik, maka mereka enggan bersedekah. Bahkan mereka kikir dari bersedekah. Allah menyebutkan di antara sifat orang munafik di dalam Al Qur’an :

وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

… dan tidak pula menginfakkan harta mereka melainkan dengan rasa enggan karena terpaksa. ” (At Taubah : 54)

وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ

… dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). ” (At Taubah : 67)

Maka, sedekah adalah burhan keimanan, dan enggan bersedekah adalah ciri kemunafikan.

Allah Mencintai Sifat Dermawan

Sifat dermawan dan gemar bersedekah adalah merupakan akhlak baik dalam Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

إن الله تعالى جواد يحب الجود ويحب معالي الأخلاق ويكره سفسافها

Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi. Ia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia dan Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi,shahih)

Pahala yang berlipat ganda Allah janjikan bagi orang-orang yang bersedekah dengan hartanya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan balasan kebaikannya dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Al Hadid: 18)

Sedekah Sama Sekali Tidak Mengurangi Harta

Ini merupakan jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidak akan mengurangi harta” (HR. Muslim)

Anggapan orang bahwa bersedekah akan mengurangi harta tidaklah tepat. Bahkan dengan banyak bersedekah, harta semakin bertambah berkah dan akan mendapat ganti yang lebih baik. 

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang gemar bersedekah dan kita berharap senantiasa mendapat rezeki harta yang penuh dengan berkah.

Penulis : Adika Mianoki

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/52996-enggan-sedekah-adalah-ciri-kemunafikan.html

Rindu Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah

Rindu. Setiap manusia rasanya tidak mungkin terlepas dengan rasa rindu. Kekasih akan rindu dengan orang terkasihnya. Ibu akan senantiasa merindukan anak-anaknya. Pun ayah, selalu merindukan anaknya. Lantas apa itu rindu? Inilah penjelasan rindu menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah.

Syam al-Din Abu Abdullah Muhammad ibn Abu Bakar ibn Ayyub ibn Saad ibn Haris al-Dimasyqi, Begitulah nama asli Ibnu Qayyim al-Jauziy. Beliau dilahirkan di Damaskus pada 7 Safar 691 H / 29 Januari 1292 dan wafat di tempat yang sama pada 13 Rajab 751H / 16 September 1350 kemudian dikuburkan di tanah pekuburan wakaf al-Bab al-Saghir, di pinggir kota tersebut. 

Ia dibesarkan dalam keluarga yang terdidik. Bapaknya Abu Bakar ibn Ayyub al-Zar’i merupakan seorang ahli Faraidl dan seorang kepala atau pengelola (qayyim) madrasah di Jauziah.  Maka dari itu, beliau lebih dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jauziah karena diambil dari jabatan orang tua beliau.

Rindu Menurut Ibnu Qayyim Al-jauziah 

Ibn Qayyim tidak hanya berbicara tentang ushul fiqh, fiqh, hadis, dan ushuluddin, tapi beliau juga pernah membahas masalah rindu. Hal ini bisa dijumpai dalam dua karyanya Madarik al-salikin dan Raudlah al-muhibbin wa nuzhah al-musyataqin.

Bahkan dalam kitab Raudlah al-muhibbin wa nuzhah al-musyataqin beliau mengkaji rindu dari berbagai aspek, filsafat, kedokteran, dan lain-lain.  

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah , rindu merupakan salah satu pengaruh dan hukum cinta. Rindu merupakan perjalanan hati menuju kekasih dalam keadaan bagaimana pun. Rindu adalah gejolak hati untuk bertemu kekasih. 

Rindu juga dapat membakar hati dan menghentikan detak jantung. Cinta lebih tinggi daripada rindu, sebab rindu muncul dari cinta. Kuat dan lemahnya rindu ini tergantung kepada cinta. Ini yang pendapat beliau yang ada dalam kitab Madarik al-salikin.  

Sedangkan dalam kitab Raudlah al-muhibbin wa nuzhah al-musyataqin beliau menyatakan rindu itu termasuk keinginan yang muncul dari hati. Semakin lama, rasa ingin itu akan terus mendesak begitu kuat dan meronta-ronta jika apa yang dirindukannya belum tampak. Bukan gembira yang dia rasa, tapi rasa gundah, cemas, gelisah. 

Kacaunya hatinya akan menyebabkan darahnya memanas dan berubah menjadi warna hitam. Hal itu menyebabkan terganggunya fungsi saraf-saraf otak. Sehingga banyak sekali efek samping yang menimpa dirinya. Misalnya, Menghayal tingkat tinggi, gila, mati, meninggal dengan tersenyum saat bertemu kekasihnya, dan lainnya.

Rindu yang ditulis beliau ini bukan hanya khusus rindu manusia pada manusia lainnya, terlebih pada lawan jenis. Rindu di sini lebih ditekankan pada kerinduan seseorang pada Tuhan-Nya. Karena rindu termasuk sifat manusiawi tentu memang tak bedanya antara rindu pada Allah atau pada makhluk Allah.

Demikian rindu menurut Ibnu Qayyim Al-jauziah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Meluruskan Istilah ‘Sunnah Rasul’ saat Malam Jumat

Sunnah Rasul saat Kamis malam atau malam Jumat belakangan ramai dipahami sebagai hubungan intim atau hubungan suami dan istri. Hal ini cukup beralasan karena dalam hadits ada riwayat yang mengarah ke sana. Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman al-Hamadani mengutip riwayat yang menyebut perkawinan para nabi di hari Jumat.

   روى أنس بن مالك رضي الله عنه بالإسناد الذي ذكرناه في المجلس الأول قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن يوم الجمعة فقال يوم صلة ونكاح قالوا كيف ذلك يا رسول الله قال لأن الأنبياء عليهم الصلاة والسلام كانوا ينكحون فيه

Artinya: Sahabat Anas bin Malik RA meriwayatkan dengan sanad yang telah kami sebutkan di bab pertama, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW ditanya perihal hari Jumat. Rasulullah menjawab: (Jumat) adalah hari hubungan dan perkawinan. Sahabat bertanya: Bagaimana demikian, ya Rasulullah? Nabi Muhammad menjawab: Para nabi dahulu menikah di hari ini. (Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman Al-Hamadani, As-Sab‘iyyat fi Mawa’izhil Bariyyat pada hamisy Al-Majalisus Saniyyah (Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa tahun, halaman 110).  

Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman al-Hamadani melanjutkan bahwa hari Jumat merupakan hari perkawinan beberapa rasul dan orang shaleh. Jumat merupakan hari perkawinan Nabi Adam AS dan Siti Hawa, Nabi Yusuf AS dan Zulaikha, Nabi Musa AS dan Shafura (Zipora) binti Nabi Syu’aib AS, Nabi Sulaiman AS dan Bilqis, Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah, Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah, dan Sayyidina Ali RA dan Siti Fathimah Az-Zahra, (Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman al-Hamadani, as-Sab‘iyyat fi Mawa’izhil Bariyyat pada hamisy Al-Majalisus Saniyyah (Semarang, Maktabah al-Munawwir, tanpa tahun, halaman 110).

Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan keutamaan hubungan intim pada hari Jumat. Namun demikian, ulama-ulama hadits menilai riwayat hadits ini sebagai riwayat yang lemah sehingga tidak dapat menjadi dasar hukum. Teks hadits riwayat Imam Baihaqi berbunyi sebagai berikut:

أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته  

Artinya: Apakah kalian tidak sanggup berhubungan badan dengan istri kalian pada setiap hari Jumat. Hubungan badan dengan istri di hari Jumat mengandung dua pahala: pahala mandinya sendiri dan pahala mandi istrinya. (HR Baihaqi).  

Sebagian ulama memandang awal kesunahan hubungan badan pada hari Jumat dari interpretasi atas hadits riwayat Aus bin Abi Aus RA berikut ini yang menyebut kata ‘ghassala’ atau ‘membuat orang lain mandi’:

 من اغتسل يوم الجمعة وغسّل وغدا وابتكر ومشى ولم يركب ودنا من الإمام وأنصت ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة  

Artinya: Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan membuat orang lain mandi, lalu berangkat pagi-pagi dan mendapatkan awal khutbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia mendekat ke imam, diam, lalu berkonsentrasi mendengarkan khutbah, maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya setahun. (HR Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).  

Tetapi, hubungan badan dengan istri pada malam Jumat sebagai sunnah Rasul ditolak oleh sebagian ulama, salah satunya adalah Syekh Wahbah az-Zuhayli. Menurutnya: Di dalam sunnah tidak ada anjuran berhubungan seksual suami-istri di malam-malam tertentu, antara lain malam Senin atau malam Jumat. Tetapi ada segelintir ulama menyatakan anjuran hubungan seksual di malam Jumat. (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, cetakan kedua, 1985 M/1305, Beirut, Darul Fikr, juz 3 halaman 556).  

Keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli ini dengan terang menyebutkan bahwa sunnah Rasulullah tidak menganjurkan hubungan suami-istri secara khusus di malam Jumat. Kalau pun ada anjuran, itu datang dari segelintir ulama yang didasarkan pada hadits Rasulullah SAW dengan redaksi: Siapa saja yang mandi di hari Jumat, maka…

Kalau pun anjuran dari hadits, riwayat hadits tersebut cenderung lemah. Tetapi dari banyak keterangan ini, hubungan badan suami dan istri sebagai sunnah Rasul malam Jumat menjadi cukup populer.

Alhafiz Kurniawan adalah redaktur NU Online.

NU Online

Beginilah Cara Penjajah Melemahkan Muslim Jawa

Pendirian lembaga Bahasa Jawa, sebagai contoh, awalnya dimaksudkan untuk menjembatani penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa

PERANG DIPONEGORO atau Perang Jawa (1825-1830) telah menyisakan kegetiran mendalam bagi penjajah Belanda. VOC mengalami kerugian sangat besar (sekitar 20 juta gulden).

Tahun 1830 bukan saja menandai era baru di tanah jajahan, namun merupakan tahun diperkenalkannya Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) untuk pemulihan ekonomi VOC. Sistem Tanam Paksa mulai diperkenalkan pada era Gubernur Jendral van den Bosch, seorang ketua di Nederland Bijbelgenootschap.

Pemberlakuan kebijakan ini menuntut pemerintah Belanda untuk berhubungan lebih intensif dengan kaum bumiputera. Oleh karena itu penguasaan pakar Jawa berkebangsaan Belanda terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa mutlak diperlukan.

Untuk itu didirikanlah Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) pada 27 Februari 1832. Lembaga ini berfungsi mencangkokkan cara pandang baru ke dalam pemikiran orang Jawa. Pembentukan identitas baru masyarakat Jawa dimulai dengan langkah mengikis “spirit Islam”. (Lihat, Takashi Shiraishi,  Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Cetakan II, diterjemah dari An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 oleh Hilmar Farid (Pustaka Grafiti, Jakarta, 2005) hlm.7).

Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Lihat: Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan III (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007), hlm. 127).

Pemerintah kolonial berpikir realistis. Mereka bukan bertujuan menghabisi Islam, tetapi hanya menjinakkan Islam. Juga, bagaimana bisa mengadudomba antar sesame Muslim, sehingga tidak terjadi persatuan hebat antara golongan santri dan priyayi seperti di masa Perang Diponegoro. Guna menjinakkan Islam, Belanda berinisiatif menciptakan terwujudnya segregasi antara Islam dan budaya Jawa. Islam diposisikan sebagai bahaya potensial dan laten bagi stabilitas pemerintahan kolonial.

Upaya penjajah itu mendapatkan dukungan penuh dari kalangan misionaris Protestan maupun Katolik. Karel Steenbrink, seorang akademisi, menggambarkan bahwa pada masa itu Islam dianggap sebagai kekuatan yang harus direduksi. Langkah yang diambil selalu menunjukkan ciri serupa yaitu pencitraan Islam sebagai musuh menakutkan yang tidak harus diserang secara langsung, tetapi dihadapi dengan mempromosikan kebiasaan rakyat kuno, adat, dan agama rakyat. Juga melalui perawatan kesehatan dan pendidikan Barat. Van Randwijk, mantan konsul zending, mencirikan strategi ini dengan kalimat: “Strategi memangkas Islam”. (Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) (Penerbit Mizan, Jakarta, 1995) hlm. 144)

Pendiri Instituut voor het Javaansche Taal adalah Johann Friedrich Carl Gericke, utusan zending dari Netherlands Zending Genootschap (NZG). Gericke bisa dianggap sebagai peletak utama kesarjanaan Belanda dalam studi literatur Jawa.

Awalnya ia tiba di Surakarta pada 1827 untuk menterjemahkan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Dalam tahun 1829 ia menyertai seorang putra Istana yang menempuh pendidikan agama ke Pesantren Tegal Sari, Ponorogo. Di pesantren itu Gericke memanfaatkan waktunya untuk belajar tentang literatur Jawa selama 9 bulan.

Gericke melaporkan perjalanan ini kepada induk semangnya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam bahwa terdapat hampir 3000 santri yang masih mempertahankan ajaran rahasia tentang konsepsi ketuhanan Budha dan Jawa pada masa peralihan menuju Islam. (Lihat: A. Day, Islam and Literature in South – East Asia: Some Pre-modern, Mainly Javanesse Perspectives, dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in South – East Asia (E.J. Brill, Leiden, 1988), hlm. 134).

Strategi misi

Pendirian lembaga Bahasa Jawa, sebagai contoh, awalnya dimaksudkan untuk menjembatani penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Lembaga ini merupakan institusi resmi milik pemerintah Belanda.

Meski demikian nuansa misi cukup terlihat dari lembaga ini. Perlu dipahami bahwa inisiator awal dari pendirian lembaga ini berasal dari kalangan misionaris. Tulisan Baud kepada Gubernur Jendral mengungkapkan sebagai berikut : “Jika pemerintah setuju maka akan didirikan institut di Jawa untuk studi bahasa-bahasa Timur, dengan maksud memajukan usaha penerjemahan Alkitab.” (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara, Jilid 1 (1820-1900) (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006)  hlm. 35).

Gericke pada saat di Jawa tahun 1826 telah diberi instruksi untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas di Jawa dan “menyembunyikan” tujuan utamanya terkait peginjilan di Jawa. Isi instruksi itu dalam poin ke-9 adalah sebagai berikut:

“Kepada Tuan Gericke dianjurkan dengan sangat agar dalam … percakapan-percakapannya, khususnya dengan orang Jawa, ia menyatakan bahwa ia diutus untuk belajar dan mengajar bahasa Jawa, dan menghindari diskusi-diskusi agama yang tidak bermanfaat dan ucapan-ucapan menghebohkan yang akan menyingkapkan tujuan lebih lanjut kegiatannya di sana. Kendati demikian, tujuan tersebut jangan pernah hilang dari benaknya.” (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …  hlm. 36).

Kerja Gericke membuahkan hasil dengan diterbitkannya terjemahan Perjanjian Lama pada Oktober 1852 dan diterbitkan ulang dalam 3 jilid tebal berbentuk oktaf pada 1854. Ketika buku itu diterbitkan ulang, NBG menyatakan bahwa Bible berbahasa Jawa merupakan “een waardig tegengeschenk is voor al de schatten die jaar in jaar uit van dit door de natuur zo rijk gezegende eiland ons toestromen” (hadiah yang layak untuk mengimbangi harta kekayaan yang setiap tahun mengalir kepada kita dari pulau yang diberkati dengan kekayaan alam yang begitu banyak). (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker … hlm. 70. Laurens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia, dalam Henry Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (PT Gramedia, Jakarta, 2009) hlm. 472 .)

Dalam satu surat untuk NBG pada Oktober 1852, Gericke bahkan menegaskan bahwa penterjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa itu memiliki tujuan politis yang akan menguntungkan bagi Pemerintah Kolonial. Alasannya, pemerintah telah mulai menawarkan pendidikan bagi orang Jawa dan karenanya langkah itu harus diimbangi dengan penyebaran Injil.

Sebab, jika rakyat menjadi pandai sementara mereka belum menerima Kekristenan, dikhawatirkan akan menyulitkan pemerintah pada masa selanjutnya. Gericke menyatakan bahwa jika mereka diberi pendidikan “tanpa serentak mengajar mereka mengenal Tuhan dan takut akan Dia maka dimasa depan mereka tidak akan dapat lagi diatur dengan mudah dan mungkin akan terdorong untuk melemparkan beban yang selama ini mereka pikul dengan sukarela dan taat …”. (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker … hlm. 70).

Melalui pendirian Instituut voor het Javaansche Taal inilah para Javanolog Belanda, yang terdiri dari kalangan misionaris dan orientalis, mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda-lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna” terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda. (Takashi Shiraisi,  Zaman Bergerak  …, hlm. 7).

Produk-produk berupa karya sastra dan lainnya yang lahir dari lembaga ini tidak urung cukup berpengaruh dalam mengarahkan “dunia batin” orang Jawa. Penginjilan melalui lembaga bahasa Jawa ini memang ditujukan untuk “deradikalisasi” terhadap gerakan perlawanan Islam yang ada di Jawa. Berdasar pengakuan Gericke di atas, bisa dipahami bahwa upaya Kristenisasi pada masa itu juga merupakan alat politis guna mengekalkan hegemoni penjajahan Belanda di Tanah Air. Langkah ini terutama diterapkan untuk mengimbangi kekuatan Islam yang berpotensi melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Kini, di era modern, bukan mustahil cara-cara serupa masih digunakan kaum imperialis modern untuk “menjinakkan” Islam. Berbagai studi tentang Islam dan masyarakat Muslim dilakukan – bahkan tak jarang diberi biaya yang sangat besar – untuk menjadikan kaum Muslim merasa nyaman dalam pemikiran dan pola kehidupan Barat dan sekaligus bersikap fobia terhadap ajaran Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Dosen Universitas Islam Sultan Agung Semarang

HIDAYATULLAH

Agus Sudarmanto, Pria Indonesia yang Menjadi Teknisi Alat Berat Masjid Nabawi

Agus Sudarmanto (55 tahun), pria asal Jakarta, Indonesia yang bekerja sebagai teknisi alat berat di Masjid Nabawi. Saat ditemui Republika, Kamis (9/6/2022), Agus sudah selesai melaksanakan tugasnya.

“Jam kerjanya mulai dari jam enam sampai jam dua,” kata Agus dengan logat betawi kental.

Agus menuntun Republika keliling di wilayah kerjanya. Karena diminta, Agus menunjukkan alat-alat berat yang digunakan sebagai penunjang kerjanya. Alat-alat berat yang biasa dia gunakan ini disimpan di samping pintu 11 B AL AQEEQUE. Saban hari agus gunakan alat-alat ini untuk mengganti lampu-lampu yang tak menyala. 

Pekerjaan Agus memang lebih ringan dibandingkan petugas lainnya. Karena dia hanya bekerja memperbaiki alat-alat berat yang rusak atau ada lampu mati di sekitaran masjid Nabawi.

“Itu pun bukan saya yang mengerjakannya ada anggota lain,” katanya.

Agus menceritakan awal di masuk ke Saudi itu tanggal 23 Maret tahun 2012. Melalui jasa penyalur kerja dengan mengambil bagian teknisi. Saat mulai bekerja, Agus menjadi teknisi yang memperbaiki mesin pompa-pompa air zamzam.

Agus mengatakan, termos-termos yang tersebar di dalam masjid Nabawi itu diisi air zamzam menggunakan pompa air zamzam. Dan, Agus sebagai petugas yang memperbaiki pompa penyedot air zamzam yang rusak.

Tahun ketiga, Agus dipindahkan menjadi petugas untuk memperbaiki alat-alat berat. Alat berat di sekitar masjid Nabawi seperti lift elektrik yang digunakan untuk membersihkan bagian atas. Alat ini bisa naik sampai beberapa meter untuk mengganti lampu, membersihkan tembaga kuningan yang ada di langit-langit, tiang-tiang masjid Nabawi dari debu-debu.

“Jadi saya sebagai teknisi lift listrik. Alat ini digunakan untuk petugas yang bersih-bersih langit-langit dan tiang-tiang yang ada kuningannya agar tetap mengkilap,” katanya.

Agus mengatakan, ada tiga orang petugas teknisi alat-alat berat di Masjid Nabawi ini. Dua orang lainnya dari Pakistan dan India. Namun, saat ini petugas teknisi itu tinggal dua orang Agus dan satu orang dari Pakistan.

Agus mengaku tidak mengetahui detail berapa jumlah petugas di Masjid Nabawi ini. Namun, yang dia tahu kerja petugas ini dibagi menjadi tiga shift, yakni, shift pagi, malam dan siang. Untuk teknisi dibagi menjadi dua shift.

“Saya bagian shift pagi sekarang,” katanya.

Agus mengatakan kurang lebih ada sembilan tim petugas yang bekerja di Masjid Nabawi. Enam tim itu dibedakan dengan warna bajunya. Misalnya warna baju biru dongker untuk petugas teknisi, baju hijau daun untuk petugas pengisian air zamzam, warna coklat sebagai petugas bangunan, warna baju hijau telor asin petugas penata Alquran, warna biru laut sebagai petugas bersih-bersih, warna hijau tua membersihkan halaman masjid. Sementara warna merah ati petugas penjaga kebersihan toilet dan warna baju abu-abu sebagai petugas di Maktab Masjid Nabawi.

“Bagian bersih-bersih di ruangan pengurus masjid Nabawi, seperti buatin teh, kopi dan urusan kebersihan di Maktab sebutannya,” katanya.

Agus mengaku keahlian menjadi teknisi bukan didapat dari sekolah menengah kejuruan, akan tetapi dari hasil belajar sendiri. Apalagi, Agus pernah bekerja sebagai teknisi di Kuwait pada tahun 2009. Selesai kontrak bekerja di Kuwait Agus, mengajukan lamaran kerja menjadi teknisi di Masjid Nabawi.

“Yang saya harapkan kerja di masjid Makkah dan Madinah ini bisa ibadah umroh maupun haji. Alhamdulillah sampai sekarang masih bekerja,” katanya.

Agus mengatakan, setiap bulannya mendapat sekitar dua ribu Riyal. Uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga di Indonesia dan membayar uang sewa satu rumah yang dia  tempati bareng-bareng teman Indonesia yang bekerja di sekitaran Masjid Nabawi.

Agus mengatakan sebenarnya, perusahaan penjaminnya memfasilitasi tempat tinggal. Namun dia memilih mencari rumah sewa yang lebih dekat dengan masjid. Agus mengaku senang bekerja di Masjid Nabawi ini karena perusahaan penjaminnya Saudi Binladin Group memberikan beberapa fasilitas. 

Di antaranya tempat tinggal, cuti dua tahun sekali dan selama cuti perusahaan tetap membayar satu bulan kerja. Selama dua tahun itu perusahaan memberikan jatah dua bulan cuti.

IHRAM

Hukum Qurban Untuk Orang yang Sudah Meninggal

Bagaimana hukum qurban untuk orang yang sudah meninggal? Pasalnya, di antara hal yang banyak kita jumpai di tengah masyarakat Indonesia adalah ada seorang anak yang berqurban untuk orang tuanya yang sudah meninggal. 

Hukum Qurban untuk orang yang sudah meninggal

Sebenarnya, bagaimana hukum berqurban untuk orang yang sudah meninggal ini, apakah boleh? Bagaimana fatwa ulama mazhab dalam masalah qurban untuk orang yang sudah meninggal?

Menurut ulama Syafiiyah, berqurban untuk orang yang sudah meninggal, jika sebelum meninggal sudah berwasiat agar dikurbani atau memberikan izin, maka hukumnya boleh. Namun jika pernah berwasiat atau tidak pernah memberikan izin, maka hukumnya tidak boleh. 

Namun demikian, banyak di antara para ulama yang membolehkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal meskipun semasa hidupnya tidak pernah berwasiat untuk dikurbani atau tidak pernah memberikan izin. 

Ini karena qurban termasuk bagian dari bersedekah untuk orang yang sudah meninggal, dan bersedekah untuk orang yang sudah meninggal hukumnya boleh dan pahalanya akan sampai padanya.

Di antara ulama yang membolehkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal secara mutlak adalah Abu Al-Hasan Al-Abbadi. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berikut;

وَأَمَّا التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

Adapun berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia, maka Abu Al-Hasan Al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama.

Juga ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membolehkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal, meskipun tidak ada wasiat atau izin darinya. Mereka mengatakan bahwa kematian tidak menghalangi orang yang meninggal untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan ibadah qurban, sedekah, haji dan lainnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ

Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris ingin berqurban untuknya dari hartanya sendiri, maka ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat boleh berqurban untuknya. 

Hanya saja ulama Malikiyah membolehkan hal itu namun makruh. Alasan mereka membolehkan adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana sedekah dan haji.

Dengan demikian, menurut ulama Syafi’iyah, hukum berqurban untuk orang yang sudah meninggal adalah boleh, dengan syarat harus ada wasiat atau izin. Sementara menurut ulama lainnya, baik ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilh, membolehkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal secara mutlak, baik ada wasiat dan izin atau tidak ada.

Inilah hukum qurban untuk orang yang sudah meninggal. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum dan Cara Menjawab Salam Ketika Shalat

Bagaimana cara menjawab salam ketika shalat? Pun bagaimana hukum menjawab salam ketika shalat. Pasalnya, terkadang ada jamaah atau orang yang mengucapkan salam pada kita, padahal ketika sedang shalat.

Mengucapkan salam kepada sesama muslim sangat dianjurkan dan wajib untuk menjawabnya. Karena sesungguhnya salam adalah mendoakan kebaikan serta bisa menjaga kerukunan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika syariat mewajibkan untuk menjawabnya. Namun, bagaimana hukum dan cara menjawab salam ketika sedang shalat?

Pada dasarnya, menjawab salam wajib kifayah bagi orang jamaah yang tidak sibuk dan wajib ‘ain jika hanya satu orang. Syekh Zainuddin al-Malibari menegaskan kewajiban ‘ain menjawab salam jika satu orang. 

وخرج بقولي عن جمع الواحد فالرد فرض عين عليه ولو كان المسلم صبيا مميزا

“keluar dari kataku, “dari sekelompok orang”, jika satu orang, maka menjawab salam wajib ‘ain atasnya meskipun orang muslim itu anak kecil yang sudah tamyiz”
Hukum dan cara menjawab salam ketika shalat

sementara bagi orang yang sibuk, semisal sedang shalat, tidak wajib menjawabnya. Hanya saja, tetap disunnahkan menjawab salam tersebut. Adapun cara menjawab salam ketika sedang shalat maka bisa dengan dua cara.

Pertama, menjawab seketika, yaitu saat sholat sambil lalu menjawab salam. Kedua, menunggu selesainya sholat baru menjawabnya.

Jika ingin menjawab salam itu dalam sholat maka disunnahkan menggunakan isyarah anggota tubuh semisal kepala, tangan dan lain semacamnya. Syekh Zainuddin dalam kitab Fathu al-Muin (597) mengatakan;

 ويسن الرد لمن في الحمام وملب باللفظ ولمصل ومؤذن ومقيم بالإشارة وإلا فبعد الفراغ أي إن قرب الفصل ولا يجب عليهم

“bagi orang yang berada di kamar mandi, atau sedang talniyah dengan lafal, atau sedang sholat, muazzin dan orang yang iqamah, disunnahkan menjawab salam dengan isyarah.

Jika tidak menjawabnya maka menjawab setelah selesai (dari kesibukannya) kalau waktu pemisahnya sebentar. Dan mereka tidak wajib menjawab salam”

Al-Ramli Saghir juga menegaskan kesunnahan menjawab salam dengan isyarah jika masih sholat. Beliau mengatakan dalam kitab Nihayatul Muhtaj (8/54).

وَيُنْدَبُ لِمُصَلٍّ وَمُؤَذِّنٍ إشَارَةٌ، وَإِلَّا فَبَعْدَ فَرَاغِهِ مَعَ قُرْبِ الْفَصْلِ.

”orang yang sedang sholat dan orang yang sedang azan disunnahkan menjawab salam menggunakan isyarah. Atau jika tidak menjawab seketika maka menjawab setelah selesainya kalau waktu pemisahnya sebentar”

Lebih jelas lagi, Syeh Zainuddin menambahkan bahwa menggunakan isyarah dengan anggota badannya. Sedangkan kalau menjawab setelah sholat maka menggunakan lafal salam sebagaimana biasanya. Hal ini, ditandaskan dalam kitab yang sama namun lain bab. (Fathul Mu’in: 146)

ويسن لمصل سلم عليه الرد بالإشارة باليد أو الرأس ولو ناطقا ثم بعد الفراغ منها باللفظ

“disunnahkan orang yang shalat menjawab salam dengan isyarat menggunakan tangan, kepala meskipun ia sendiri bisa bicara. Setelah itu, menjawab dengan lafal salam kalau sudah selesai dari sholatnya”

Bisa dipahami, mengapa ketika shalat menjawabnya menggunakan isyarah badan bukan dengan mengucapkan lafaz. Karena dalam sholat seseorang dilarang berbicara perkataan yang tidak memiliki sangkut pautnya dengan sholat itu sendiri.

Oleh sebab itu, shalatnya bisa batal jika menjawab salam menggunakan lafal (kecuali tidak menggunakan kata khitab). Demikianlah, bagi orang yang shalat menjawab salam guna mendapat kesunnahan menjawab salam. 

BINCANG SYARIAH