5 Pesan Jibril kepada Manusia Paling Mulia

Saudaraku, sebagai seorang muslim yang mengimani perkara yang gaib, kita menyadari bahwa kehidupan ini adalah fana. Kematian merupakan keniscayaan yang tak satu pun makhluk dapat menghindar darinya. Oleh karena itu, semestinya kita selalu menyadari hal tersebut agar senantiasa membekali diri dengan amal saleh sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam mengarungi kehidupan ini pula, Allah Ta’ala memberikan kita anugerah yang begitu sempurna dalam bentuk lahiriah maupun batiniah. Tidak hanya tubuh dengan segala kelengkapan fungsi organnya, Allah Ta’ala juga memberikan kita berbagai macam perasaan jiwa, mulai dari rasa cinta, senang, suka, sedih, marah, kecewa, dan berbagai rasa yang tak kasat mata, namun dapat dirasakan sebagai pelengkap jati diri seorang manusia.

Maka, dengan anugerah lahir dan batin tersebut, Allah Ta’ala memberikan kepada kita kesempatan untuk melaksanakan berbagai amal saleh guna memperoleh karunia dan rahmat-Nya berupa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Namun, di samping itu, kita juga diberikan ujian dengan berbagai macam cobaan, godaan, dan bisikan makhluk-Nya dari golongan jin dan manusia. Perbuatan dan tingkah laku kita, akan selalu berada dalam pengawasan Allah Ta’ala.

Karena itu, sebagai hamba Allah yang diberikan anugerah lahir dan batin dalam mengarungi kehidupan yang fana dan penuh dengan ujian dan cobaan ini, kita membutuhkan tuntunan yang fundamental dari seorang suri teladan yang telah dijamin oleh Allah integritasnya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS.Al-Ahzab: 21)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan manusia mulia yang telah berhasil memanfaatkan anugerah lahiriah dan batiniah tersebut selama menjalani kehidupan fana ini dengan berbagai halangan dan rintangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita berbagai petuah kehidupan untuk kita jalani.

Tapi jangan lupa, ada sebuah amalan yang sangat mulia. Amalan ini menjadi rutinitas Sang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang apabila kita ikuti dengan ikhlas dan sesuai tuntunan nabawi, maka kita akan menjadi hamba Allah yang mulia yang hanya bergantung kepada Allah Ta’ala, yaitu salat malam.

Saudaraku, tahukah kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapatkan nasihat dari malaikat Jibril ‘alaihissalam yang menyampaikan pesan penting untuk kita semua perihal kehidupan dan kematian, cinta dan perpisahan, perbuatan dan balasan, serta kemuliaan dan salat malam.

Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أتاني جبريلُ ، فقال : يا محمدُ عِشْ ما شئتَ فإنك ميِّتٌ ، وأحبِبْ ما شئتَ ، فإنك مُفارِقُه ، واعملْ ما شئتَ فإنك مَجزِيٌّ به ، واعلمْ أنَّ شرَفَ المؤمنِ قيامُه بالَّليلِ ، وعِزَّه استغناؤه عن الناسِ

“Jibril ‘alaihissalam pernah datang kepadaku seraya berkata, ‘Hai Muhammad! Hiduplah sesukamu, sesungguhnya engkau akan menjadi mayit. Cintailah siapa saja yang engkau senangi, sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya. Dan beramallah semaumu, sesungguhnya engkau akan menuai balasannya. Dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin terletak pada salat malam dan kehormatannya adalah rasa kecukupan dari manusia.’” (HR. Thabrani dan dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ahadits Shahihah, no. 831)

Saudaraku, renungkanlah! Pesan ini disampaikan kepada manusia yang paling mulia, rahmat bagi seluruh alam, kekasih Allah, dan pemimpin para nabi. Kita semestinya menyadari bahwa seorang Nabi yang paling mulia saja diberikan pesan kehidupan seperti ini, lalu bagaimana lagi dengan kita?

Oleh karenanya, mari kita tadaburi hadis agung yang kaya dengan pesan kehidupan ini. Kami mengutip dan meringkas dari penjelasan As-Syaikh Amin bin Abdillah As-Syaqawi mengenai hadis ini, sebagai berikut:

Pertama: Hiduplah sesukamu, sesungguhnya kamu pasti akan menjadi mayit

Hendaklah seorang mukmin menyadari bahwa kematian bisa datang kapan saja, secara tiba-tiba, bahkan pada saat ia lalai dari mengingat kematian itu. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.”

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Munafiqun: 10-11)

Kedua: Cintailah siapa saja yang engkau senangi, sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya

Cintailah siapa saja yang engkau senangi dari istrimu, anak-anakmu, hartamu, nasabmu, ketenaran dari kesenangan kehidupan dunia. Tetapi, ketahuilah bahwa engkau dalam waktu dekat akan pergi darinya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“يتبع الميت ثلاثة، فيرجع اثنان، ويبقى معه واحد، يتبعه أهله وماله وعمله، فيرجع أهله وماله، ويبقى عمله”

“Ada tiga hal yang akan mengikuti mayit sampai ke kubur. Dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta, dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari no. 1339 dan Muslim no. 2372)

Ketiga: Beramallah semaumu, sesungguhnya engkau akan menuai balasannya

Tidak ada yang luput dari pengawasan Allah Ta’ala. Setiap perbuatan sekecil apapun pasti akan mendapatkan balasan setimpal, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ  وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Keempat: Kemuliaan seorang mukmin terletak pada salat malam

Sebuah tanda kemuliaan bagi seorang mukmin yang rela meninggalkan kenikmatan dunia di malam hari demi melaksanakan ibadah yang mulia pula adalah qiyamullail. Allah Ta’ala berfirman,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ  فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As-Sajadah: 16-17)

Dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عليكم بقيام الليل فإنه دأب الصالحين قبلكم، وقربة إلى ربكم، ومكفرة للسيئات، ومنهاة عن الإثم

“Hendaknya kalian menghidupkan malam, karena merupakan kebiasaan orang saleh sebelum kalian, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Rabb kalian, juga sebagai penghapus kesalahan, mencegah dari perbuatan dosa, serta guna mengusir penyakit dari badan.” (HR. At-Tirmidzi no. 3549, disahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 202-199/2 halaman 252)

Kelima: Kehormatan seorang mukmin adalah pada saat ia tidak lagi bergantung pada manusia

Setiap manusia pasti mengharapkan kemuliaan. Adapun sebab seseorang mendapatkan kemuliaan adalah dengan cara bergantung pada Zat Pemilik kemuliaan, serta berlepas diri dari ketergantungan kepada selain-Nya. Yang mana hal tersebut tidak dapat memberikan apapun, kecuali kesia-siaan.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka hanya bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

استغنوا عن الناس ولو بشوص السواك

“Merasa cukuplah kamu dari manusia (jangan memperlihatkan seakan-akan kita butuh kepada manusia) walaupun hanya dengan gosokan siwak (minta diambilkan siwak).” (HR. At-thabrani dalam Kitab Al-Kabir 11/444 halaman 12257)

Demikianlah, Allah Ta’ala mengajarkan kita melalui utusan-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam tentang cara menjalani kehidupan di dunia ini. Ajaran yang disampaikan melalui malaikat yang mulia, Jibril ‘alaihis salam yang disampaikan langsung kepada Nabi, untuk kita ummatnya. Yaitu meyakini bahwa kematian adalah keniscayaan, melaksanakan amal saleh sebaik-baiknya, senantiasa menjadikan salat malam sebagai rutinitas, dan menjadi mulia dengan tidak menggantungkan diri pada manusia. Wallahu Ta’ala a’lam

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76914-5-pesan-jibril-kepada-manusia-paling-mulia.html

Sholat Sunnah Sebelum Subuh Lebih Baik dari Dunia dan Seisinya, Ini Tata Caranya Lengkap

Keutamaan sholat sunnah sebelum Subuh atau qobliyah diriwayatkan dari Imam Muslim, Aisyah RA, ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dua rakaat sebelum Subuh lebih baik dari dunia dan seisinya.”

Selain itu, keutamaan sholat qobliyah Subuh lainnya adalah tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sekalipun. Sehingga dilakukan secara terus-menerus. Hal ini diriwayatkan dari hadits Al Bukhari dari Aisyah RA, ia berkata

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan satu pun sholat sunnah yang dilakukan secara terus menerus melebihi dua rakaat (sholat fajar) Subuh.”

Sholat qobloliyah Subuh dilakukan setelah adzan. Hal ini sesuai yang telah difatwakan oleh Syaikh Nawaai al-Batani rahimahullah dalam kitabnya Nihayatuz Zain.

“Disunnahkan melaksankan sholat rawatib qobliyah setelah selesai dari menjawab adzannya muadzin.”
Tata Cara Sunnah Sebelum Subuh

1. Niat Sholat Fajar

Niat 2 rakaat sebelum Subuh lebih baik dari dunia dan isinya dikutip dari buku Rahasia Kedahsyatan Shalat Sunah Setahun Penuh karya Ustdz M Kamaluddin S.Pd.I MM

Latin: Ushalli sunnata subhi rak’ tahini qiblatan lillaahi Ta’aalaa, Allahu Akbar

Artinya: Saya berniat sholat sunnah sebelum Subuh dua rakaat karena Allah ta’aalaa, Allah maha besar.

2. Tata Cara

-Pada rakaat pertama setelah membaca niat kemudian dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah
-Selanjutnya membaca surat Al Kafirun
-Pada rakaat kedua membaca surat Al Fatihah
-Kemudian, dilanjutkan dengan membaca surat Al Ikhlas
-Laksanakan sholat hingga salam seperti biasa


Adapun, sholat sunnah sebelum Subuh lebih baik dari dunia dan seisinya dilakukan dengan cara meringankannya atau agak cepat. Contoh yang dilakukan Rasulullah SAW adalah tidak memanjangan bacaannya dan dengan syarat tidak melanggar hal-hal yang wajib.

Diriwayatkan hadits Al Bukhari, dari Aisyah RA, ia berkata, “Dahulu, Nabi SAW sholat dua rakaat yang ringan antara adzan dan iqamat sholat Subuh.”‘

Sahabat Hikmah, jangan lupa laksankan sholat sunnah sebelum Subuh lebih baik dari dunia dan seisinya ya!

DetikHikmah

Tata Cara Shalat Sunnah Agar Cepat Sembuh dari Sakit

Dalam buku Panduan Shalat Sunah Lengkap, KH. Muhammad Sholikhin menjelaskan tentang tata cara shalat sunnah syifa’ atau shalat sunnah agar cepat sembuh dari sakit. Shalat ini bertujuan sebagai saran doa kepada Allah agar segera diberi kesembuhan dari sakit atau dari penyakit tertentu.

Shalat syifa’ ini berjumlah dua rakaat dan dikerjakan ketika mengharap kesembuhan dari sakit atau penyakit yang tak kunjung sembuh. Adapun tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut;

اُصَلِّيْ سُنَّةً لِشِفَاءِ اْلمَرَضِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالىَ

Usholli sunnatan li syifaa-il maradhi rok’ataini lillaahi ta’aala.

Saya shalat sunnah untuk kesembuhan dari sakit dua rakaat karena Allah Ta’ala.

Kedua, pada rakaat pertama dan kedua membaca surah Al-Fatihah dan surah Al-Ikhlas sebanyak tiga kali.

Ketiga, setelah salam kemudian membaca doa berikut sebanyak seratus kali;

يَا بَدِيْعَ اْلعَجَائِبِ بِاْلخَيْرِ اِرْحَمْنِيْ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

Yaa badii’al ‘ajaa-ibi bil khoiri irhamnii ilaa yaumid diini.

Wahai Dzat Yang Maha Pencipta keajaiban dengan kebaikan, kasihanilah aku sampai hari penentuan (kiamat).

Kemudian dilanjutkan membaca shalawat syifa’ atau shalawat thibbil qulub berikut;

اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا وَعَافِيَةِ الْاَبْدَانِ وَشِفَائِهَا وَنُوْرِ الْاَبْصَارِ وَضِيَائِهَا وَعَلٰى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ  وَسَلِّم

Allohumma sholli ‘alaa sayyidinaa muhammadin thibbil quluubi wa dawaa-ihaa wa ‘aafiyatil abdaani wa syifaa-ihaa wa nuuril abshoori wa dhiyaa-ihaa wa ‘alaa aalihi wa shohbihii wa sallim

Ya Allah, limpahkan rahmat kepada junjungan kami nabi Muhammad Saw, sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyehat badan dan kesembuhannya, sebagai penyinar penglihatan mata  beserta cahayanya dan semoga rahmat tercurah limpahkan kepada para sahabat beserta keluarganya.

BINCANG SYARIAH

Hukum Melaksanakan Haji Setiap Tahun

Bagaimana hukum melaksanakan haji setiap tahun? Pasalnya, ibadah haji hanya diwajibkan untuk dilaksanakan sekali seumur hidup kepada muslim yang masuk pada kategori mampu.

Jika seseorang melaksanakan haji setiap tahun atau lebih dari sekali maka  dihukumi sunnah, bukan wajib. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui penuturan sahabat Abu Hurairah,

وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: خَطَبَنَا رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: «أيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُم الحَجَّ فَحُجُّوا» فَقَالَ رَجُلٌ: أكُلَّ عَامٍ يَا رَسولَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّى قَالَهَا ثَلاثًا. فَقَالَ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ» ثُمَّ قَالَ: «ذَرُوني مَا تَرَكْتُكُمْ؛ فَإنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤالِهِمْ، وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أنْبِيَائِهِمْ، فَإذَا أمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ فَأتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَن شَيْءٍ فَدَعُوهُ». رواه مسلم

Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya: “Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada kita lalu bersabda: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah mewajibkan atasmu semua akan beribadah haji, maka kerjakanlah ibadah haji itu.” Kemudian ada seorang lelaki bertanya: “Apakah itu untuk setiap tahun, ya Rasulullah?”

Beliau s.a.w. berdiam saja -yakni tidak menjawab pertanyaannya tadi- kemudian orang itu menanyakannya sampai tiga kali. Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: “Jikalau saya menjawab: “Ya,” sesungguhnya beribadah haji akan menjadi wajib setiap setahun sekali, dan tentu engkau semua tidak akan kuasa mengerjakannya.”

Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda: “Tinggalkanlah aku -yakni janganlah menanyakan padaku- apa-apa yang saya tinggalkan untukmu semua -yakni apa-apa yang tidak saya sebutkan-. Sesungguhnya yang menyebabkan rusaknya orang-orang yang sebelummu semua itu ialah karena mereka terlampau banyak bertanya dan senantiasa menyalahi pada Nabi-nabi mereka.

Maka dari itu, apabila saya memerintahkan kepadamu semua dengan sesuatu perkara, lakukanlah itu sekuat tenaga yang ada padamu semua dan kalau saya melarang engkau semua dari sesuatu perkara, maka tinggalkanlah itu.” (Riwayat Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban haji hanya satu kali. Bagaimana hukumnya melaksanakan haji setiap tahun? Hingga ia bisa melaksanakan haji berkali-kali seumur hidup?

Jika menelusurinya pada hadis, maka ada satu hadis yang menyebutkan kebolehan haji lebih dari sekali. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud melalui penuturan sahabat Ibnu Abbas,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ الْحَجُّ فِي كُلِّ سَنَةٍ أَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً قَالَ بَلْ مَرَّةً وَاحِدَةً فَمَنْ زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ قَالَ أَبُو دَاوُد هُوَ أَبُو سِنَانٍ الدُّؤَلِيُّ كَذَا قَالَ عَبْدُ الْجَلِيلِ بْنُ حُمَيْدٍ وَسُلَيْمَانُ بْنُ كَثِيرٍ جَمِيعًا عَنْ الزُّهْرِيِّ و قَالَ عُقَيْلٌ عَنْ سِنَانٍ

dari [Ibnu Abbas] bahwa Al Aqra` bin Habis bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata; wahai Rasulullah, apakah haji wajib pada setiap tahun atau satu kali? Beliau bersabda:

“Satu kali, barang siapa yang menambahkan maka hal tersebut adalah sebuah sunah.” Abu Daud berkata; ia adalah Abu Sinan Ad Duali demikian yang dikatakan [Abdul Jalil bin Humaid] serta [Sulaiman bin Katsir] dari [Az Zuhri], sedangkan [‘Uqail] mengatakan; dari [Sinan].

Dalam hadis tersebut, Nabi menyebutkan bahwa haji yang lebih dari sekali maka ia dihukumi “tathawwu’”. Perlu kita ketahui ada perbedaan makna sunnah, mustahab, dan tathawwu’. Makna ini merupakan tiga klasifikasi sunnah itu sendiri.

Dalam kitab Asraru as-Sholah min Rub’i al-Ibadah, Imam Ghazali menyebutkan bahwa definisi shalat tathawwu’ adalah shalat yang tidak ada keterangan khusus untuk dikerjakan.”

Meski ini merupakan makna dari salah satu jenis shalat, kita bisa memahami bahwa haji yang dilaksanakan lebih dari satu kali bukanlah perintah sunnah yang khusus untuk dikerjakan, ini merupakan kebolehan saja. Maka jika dilaksanakan seseorang tetap mendapatkan pahala, bukan anjuran.

Namun Nabi Muhammad sendiri pun hanya melakukan ibadah haji sekali seumur hidup dan umrah sunnah tiga kali. Meski sebenarnya Nabi mudah melakukan umrah setiap bulan dan haji setiap tahun, tapi Nabi tidak melakukan itu.

Dalam buku “Haji Pengabdi Setan” karya Kyai Ali Mustofa Yaqub, beliau menuliskan, sekiranya haji dan umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi akan melakukannya. Karena beliau adalah teladan terbaik bagi kita. Namun beliau tidak melakukan itu.

Ada dua kategori ibadah yang perlu kita ketahui yaitu, ibadah individual yang manfaatnya dirasakan oleh pelakunya sendiri saja dan ibadah sosial yang manfaatnya bisa dirasakan oleh pelakunya dan orang lain.

Adapun ibadah haji ialah ibadah individual karena manfaatnya dirasakan oleh pelakunya sendiri. Ibadah ini bertujuan untuk pendekatan seorang hamba kepada Tuhan. Akan tetapi, keutamaan ibadah individual tingkatannya tidak lebih utama daripada ibadah sosial. Karena itulah yang Nabi contohkan.

Misal, ibadah menyantuni anak yatim. Nabi bahkan menjanjikan seseorang yang menyantuni anak yatim akan bersanding dengannya di surga. Tapi Nabi tidak mengatakan bahwa orang yang haji akan mendapatkan keutamaan demikian.

Nabi juga merupakan sosok yang sangat dermawan. Dulu, saat di Madinah, banyak sahabat Nabi yang tinggal di pelataran Masjid Nabawi (Shuffah). Mereka adalah orang yang tidak memiliki harta tapi berkeinginan kuat untuk mencari ilmu.

Mereka itulah orang-orang yang kehidupannya ditanggung oleh Nabi. Nabi mengedepankan ibadah sosial karena berkaitan juga dengan kesejahteraan manusia. Sedangkan ibadah individual hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri.

Maka alangkah baiknya, kita menelusuri niat kita jika berencana melaksanakan haji setiap tahun atau umrah setiap bulan. Apakah niat itu berdasarkan niat murni ibadah atau niat yang didorong oleh nafsu syahwat belaka?

Tulisan ini telah diterbitkan di Bincangmuslimah.com

Begini Penjelasan Praktisi Kenapa Haji Furodah Gratis, Bisa Jadi Mahal

Sampai saat ini masalah haji Mujamalah atau Furodah masih banyak diperbincangkan. Haji non kuota ini sebenarnya gratis, kenapa harganya bisa mahal?

Praktisi Penyelenggara Ibadah Haji dan Urmoh Ustadz Rafiq Jauhary menjelas detail kenapa haji gratis ini bisa jadi mahal. Alumni Darul Hadits al-Ghamidy, Awaly, Makkah tahun 2011 ini mengatakan, secara makna Furodha artinya adalah ‘sendiri-sendiri’. Jika dikatakan secara makna sama dengan artinya ‘mereka datang sendiri-sendiri’. 

Dan juga Istilah Furodah juga digunakan dua kali dalam Alquran yaitu pada surat al-An’am 94 dan surat Saba’ 46.

“Jadi bisa dikatakan haji Furoda adalah haji perseorangan,” kata Ustad Rafiq Zauhary, saat diminta pendapatnya tentang masalah haji Muzamalah dan Furoda, Ahad (17/7). 

Rafiq menjelaskan, kenapa dikatakan haji perseorangan? Mungkin maksudnya karena ini adalah jalur haji non-kuota. Secara istilah resmi dalam sistem haji di Arab Saudi, haji Furodah ini dikenal dengan nama Mujamalah. 

“Bisa diartikan sebagai penyambutan undangan. Nah disini titik pertanyaannya, haji undangan kok bisa bayar mahal?” 

Karena kata Rafiq, yang juga Pembimbing Ibadah Haji ini mengatakan, tidak semua undangan haji berisikan paket komplit, lengkap dengan tiket, voucher hotel dan lainnya. Biasanya undangan yang gratis adalah jenis undangan langsung dari Kerajaan Arab Saudi. Tamu Kerajaan sudah dijamin segala fasilitasnya, tinggal perlu menyiapkan paspor saja. “Cuman permasalahannya, siapalah kita dan berapa banyak jumlah kita sehingga berharap mendapatkan undangan Kerajaan secara gratis tanpa perlu antre?” katanya.  

Rafiq mengatakan, sebenarnya hampir setiap pejabat di Arab Saudi mendapatkan hak untuk mengundang koleganya di negara lain untuk berhaji. Pejabat ini adalah para pangeran (amir/amirah).

Setiap pangeran akan mendapatkan sebuah akun dari protokoler kerajaan untuk dapat mengakses website di Kementerian Haji. Lengkap dengan username dan OTP (one time password) yang dikirim langsung ke handphone pangeran. 

Sebelum pandemi, setiap pangeran bisa mengundang lebih kurang lima orang kolega dari luar negeri untuk berhaji. Namun, di tengah pandemi ini setiap akun yang dimiliki pangeran hanya bisa mengundang dua hingga tiga orang saja untuk berhaji. 

Kuota haji dari sebagian pangeran ini kemudian dikelola oleh kolektor untuk ditawarkan ke beberapa negara (termasuk ke Indonesia). Daripada tidak terpakai, maka dipersilakan siapa yang hendak menggunakan kuota tersebut dengan ‘sedikit’ memberikan tip ke para kolektor ini. Setelah kuota didapat, travel di Indonesia akan diforward username dan OTP dari para pangeran di Arab Saudi (melalui kolektor). Kemudian dilakukan beberapa tahapan hingga visa dapat dikeluarkan. 

Pada kesempatan ini Rafiq menyampaikan secara singkat alur prosesnya dari halaman pada website Kementerian Haji 

1. Memasukkan detail profil jamaah

2. Memasukkan paket pemesanan

3. Membuat voucher paket

4. Melakukan pembayaran

5. Proses Visa Setiap tahapan memerlukan proses yang cukup rumit dengan teknis yang berubah-ubah.

Anda bisa lihat sendiri bahwa visa Mujamalah/Furoda pun berbayar. Pembayaran ini untuk berbagai paket selama di Arafah – Muzdalifah – Mina, transportasi dan berbagai keperluan lainnya. Ini belum termasuk dengan biaya penerbangan, paket selama tinggal di Madinah dan masih banyak rincian lainnya.

Jadi jangan sampai ada yang salah mengira bahwa visa Furoda adalah menjual sesuatu yang seharusnya gratis. Ini kekeliruan informasi.  

“Hanya karena pernah mendengar si A, si B, atau si C diundang untuk berhaji secara gratis oleh Kerajaan Arab Saudi, kemudian menganggap bahwa haji Furoda adalah kesempatan gratis yang dijual mahal,” katanya.   

IHRAM

Gapailah Kemanfaatan!

Sudah jelas, seorang muslim selalu ingat dan berusaha mewujudkan target hidupnya dengan terus menambah ilmu yang manfaat, rezeki yang bagus dan amal shalih yang diterima Allah. Semua ini membutuhkan semangat yang baik dalam meraihnya. Allah menjadikan kebahagiaan manusia terletak pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Semangat ini sangat penting dimiliki seorang muslim dalam meraih target dan cita-citanya tersebut. Untuk mewujudkan semangat tersebut seorang harus mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuannya.

Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya untuk mewujudkan keinginan yang selalu disampaikan di awal siang hari dalam dzikir paginya, maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…”

Oleh sebab itu Rasulullah bersabda: 

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ رواه مسلم.

Abu Hurairah  radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Apabila sesuatu menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim [2664] lihat Syarh Nawawi, jilid 8 hal. 260).

Hadits ini berisikan kalimat yang penuh manfaat dan faedah yang berisikan cara meraih kebahagiaan didunia dan akhirat. Nabi memerintahkan untuk melakukan dua asas dan pondasi yang menjadi kunci kebahagiaan didunia dan akhirat :

  1. Pada sabda beliau (احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ) berisikan anjuran melaksanakan sebab yang bermanfaat dalam meraih perkara agama dan dunia seorang. 
  2. Pada sabda beliau (وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ) berisi ajakan tidak bersandar dan fokus hanya kepada sebab, tapi ada ajakan untuk bersandar dan bertawakal yang sempurna kepada Allah dengan meminta kepadaNya bantuan, kemudahan dan taufik. 

Perkara yang manfaat yang dianjurkan untuk semangat meraihnya mencakup perkara agama sebagainana juga perkara duniawi. Hal itu karena seorang hamba membutuhkan perkara dunia sebagaimana membutuhkan perkara agama. Sehingga Nabi mengarahkan dan membimbing kita semua untuk semangat meraih semua perkara yang bermanfaat dalam agama dan dunianya. Juga mengikuti semangat ini dengan melaksanakan sebab-sebabnya dengan bersungguh-sungguh untuk melakukan cara dan jalan yang tepat dalam meraih tujuan dan targetnya. Hal ini dilakukan dengan tetap memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah, sebab tidak ada kuasa dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.

Perkara yang bermanfaat dalam perkara agama Kembali kepada dua asas dan pokok yaitu ilmu yang manfaat dan amal shalih, seperti dijelaskan dalam firman Allah :

[التوبة:33] {هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ } 

Ilmu yang manfaat bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah yang dapat mensucikan hati, memperbaiki jiwa dan mewujudkan kebahagian dunia dan akhirat. Sehingga seorang hamba bersungguh-sungguh dalam mendapatkan ilmu yang manfaat. Seorang harus menyisihkan setiap harinya banyak waktu untuk ilmu. Jangan sampai hari-hari berlalu tanpa adanya pertambahan ilmu yang manfaat. Oleh karena itu, Nabi berdoa setelah shalat subuh dengan doa:

اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا ، وَرِزْقًا طَيِّبًا ، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Hal ini menjelaskan ilmu yang manfaat termasuk target terbesar seorang muslim dalam kesehariannya sehingga tidak sepatutnya seorang muslim untuk melewati hari-harinya tanpa mendapatkan ilmu yang manfaat. Tentunya hal ini menuntut seorang muslim untuk melakukan program meraih ilmu yang manfaat setiap harinya. 

Setelah itu semangat untuk beramal, sebab amal adalah maksud ilmu sebagaimana dikatakan Kholifah Ali bin Abi Thalib:

( يهتف بالعلم العمل ، فإن أجابه وإلا ارتحل )

Amalan terhubung dengan ilmu, apabila amal terwujud dan bila tidak ada amal, Ilmu pergi.

Hendaknya seorang muslim semangat untuk memiliki bagian yang banyak dari amalan yang mendekatkan dirinya kepada Allah dan yang terpenting adalah perhatian kepada kewajiban agama seperti dalam hadits Qudsi:

مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ 

Tidak ada seorang yang mendekatkan dirinya kepada ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari yang telah Aku wajibkan. 

Tidak layak seorang mukmin melewati harinya dengan menelantarkan kewajiban agama bahkan wajib setiap hari untuk bersemangat tinggi dalam memperhatikan kewajiban agama. Masuk dalam hal ini menjauhi larangan dan dosa sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari ridha Allah. 

Hadit ini juga berisikan anjuran untuk meraih semua yang bermanfaat untuk dunia sebagaimana berisikan anjuran untuk meraih semua yang bermanfaat untuk akherat dari perkara agama. Sebab seorang tidak akan lepas dari kebutuhan duniawinya yang menjadi sebab untuk merealisasikan maslahat dan maksud tujuan agamanya dengan syarat tidak berlebihan sehingga melupakan ibadah kepada Allah. 

Hadits yang mulia ini sangat perlu dipelajari dan di tadabburi sehingga seorang muslim meraih kebaikan dunia dan akherat.

Faedah Berharga!

Diantaranya: 

Pertama; Allah ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat, kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat lebih besar daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah. 

Kedua: iman terdiri dari ucapan dan perbuatan sebagaimana madzhab ahlussunnah wal jamaah. Sebab iman bercabang-cabang lebih dari enam puluh cabang dan dalam sebagian riwayat ada yang menyatakan lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang-cabang iman ini kembali kepada amalan batin dan amalan lahiriyah yang mencakup perkataan dan perbuatan hati, lisan dan perbuatan anggota tubuh. Siapa saja yang melaksanakan cabang-cabang ini dengan baik dan menyempurnakan dirinya dengan ilmu yang manfaat dan amal shalih. Lalu menyempurnakan selain dirinya dengan dakwah dan ajakan sabar maka ia adalah mukmin yang kuat yang telah mencapai martabat tertinggi. Siapa yang tidak dapat menyempurnakan hal-hal ini maka ia termasuk mukmin yang lemah. Namun kedua jenis mukmin ini sama-sama baik. Rasulullah setelah menjelaskan mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari yang lemah, khawatir terfahami adanya celaan bagi mukmin yang lemah, maka menyatakan:

“وفي كل خير”

Disini Rasulullah menjelaskan sisi keutamaan mukmin yang kuat dengan juga menyampaikan kedua-duanya sama-sam baik. Namun yang kuat lebih baik dan utama dari yang lemah tersebut.

Ketiga; kebaikan, kecintaan kepada Allah dan pelaksaaan syariat pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana firman Allah :

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ

Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan ( Qs al-Ahqaaf 19).

Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. 

Pertama; kaum As-Saabiqun ilal Khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunnah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. 

Kedua; kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. 

Ketiga; Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek.

Setelah menyampaikan tingkatan mukmin dan keutamaan mukmin yang kuat, maka Rasulullah bersabda: 

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ 

Ungkapan ini dijelaskan oleh syeikh as-Sa’di dalam pernyataannya: 

ومتى كان حريصاً، ولكن على غير الأمور النافعة: إما على أمور ضارة، أو مفوتة للكمال كان ثمرة حرصه الخيبة، وفوات الخير، وحصول الشر والضرر، فكم من حريص على سلوك طرق وأحوال غير نافعة لم يستفد من حرصه إلا التعب والعناء والشقاء.

Kapan seorang bersemangat akan tetapi tidak dalam perkara yang bermanfaat, baik perkara yang merugikan atau yang kehilangan kesempurnaannya, maka hasil semangatnya tersebut adalah kerugian dan kehilangan kebaikan serta mendapatkan kejelekan dan keburukan. Berapa banyak orang yang semangat melakukan satu ajaran atau keadaan yang tidak manfaat tidak mengambil faedah dari semangatnya kecuali lelah, susah dan sengsara. 

Keempat; Perkara yang bermanfaat ada dua macam; perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba selain membutuhkan perkara agama, ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.  Kapan seorang hamba bersemangat melakukan perkara-perkara manfaat dan bersungguh-sungguh mendapatkannya lalu meangambil sebab dan caranya dengan selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam mendapatkan dan menyempurnakan hal-hal yang manfaat tersebut, maka ia mencapai kesempurnaannya dan menjadi tanda-tanda kesuksesannya. Kapan ia kehilangan salah satu dari perkara-perkara ini maka ia akan kehilangan kebaikan dan kesuksesan sesuai dengan yang tidak dimilikinya tersebut. Siapa saja yang tidak semangat mencari perkara-perkara manfaat tersebut dan bermalas-malasan, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Syeikh as-Sa’di menyatakan:

فالكسل هو أصل الخيبة والفشل. فالكسلان لا يدرك خيراً، ولا ينال مكرمة، ولا يحظى بدين ولا دنيا

Kemalasan adalah sumber kerugian dan kegagalan. Orang yang malas tidak mendapatkan kebaikan dan tidak mencapai kemuliaan serta tidak mendapatkan kebaikan agama dan dunia. (Bahjah Qulub al-Abrar).

Ingatlah Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2; ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan ruh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam ilmu hadits, tafsir, dan fiqih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal salih adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki, karena manusia membutuhkannya. Dalam mencari rezeki hendaknya seorang mengambil sebab duniawi yang paling manfaat dan sesuai dengan keadaannya. Hal ini tentunya berbeda-beda sesuai dengan kondisi, waktu, keadaan dan kemampuan. Namun hendaknya tujuan mencarinya adalah melaksanakan kewajiban dirinya dan kewajiban memenuhi kebutuhan orang yang berada dibawah kekuasaan dan naungannya. Demikian juga hendaknya berniat mendapatkan sesuatu yang dapat menegakkan ibadah harta berupa zakat dan sedekah dengan mengambil usaha-usaha yang halal. 

Kelima; dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya.

Imam Ibnu Qayyim rohimahulloh mengatakan,

“Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…”

“Karena munculnya semangat dalam diri seseorang serta perbuatannya hanya bisa terwujud dengan pertolongan serta kehendak dan taufik dari Alloh maka beliau (Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan supaya (kita) meminta pertolongan-Nya. Demi tergabungnya maqam iyyaaka na’budu (melakukan peribadahan) dan maqam iyyaaka nasta’iin (memohon pertolongan) di dalam dirinya. Oleh karena semangat seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya termasuk ibadah kepada Alloh. Sedangkan hal itu tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan pertolongan Alloh. Maka beliau pun memerintahkan (kita) untuk beribadah dan sekaligus meminta pertolongan kepada-Nya.” (Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin’Atiq)

Oleh karena itu syeikh as-Sa’di menyatakan:

إذا سلك العبد الطرق النافعة، وحرص عليها، واجتهد فيها: لم تتم له إلا بصدق اللجأ إلى الله، والاستعانة به على إدراكها وتكميلها وأن لا يتكل على نفسه وحَوْله وقوته، بل يكون اعتماده التام بباطنه وظاهره على ربه. فبذلك تهون عليه المصاعب، وتتيسر له الأحوال وهذا محتاج – بل مضطر غاية الاضطرار – إلى معرفة الأمور التي ينبغي الحرص عليها، والجد في طلبها.

Apabila seorang hamba berjalan pada jalan yang bermanfaat, bersemangat dan bersungguh-sungguh padanya maka hal itu tidak sempurna kecuali dengan benar-benar berlindung kepada Allah dan memohon pertolonganNya dalam mencapai dan menyempurnakan jalan kemanfaatan tersebut. Janganlah bersandar kepada diri, usaha dan kekuatannya semata, bahkan harus bersandar sempurna dengan batin dan lahirnya kepada Allah. Dengan ini semua kesulitan akan mudah dan akan gampang semua keadaannya. Ini semua membutuhkan –bahkan tidak boleh tidak –pengetahuan terhadap perkara yang seharusnya ia bersemangat dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.

Keenam; apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha 

sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa ridha dengan takdir Allah ta’ala. Tidak perlu berandai-andai, karena dalam kondisi semacam itu berandai-andai justru akan membuka celah bagi syaitan. Dengan sikap semacam inilah hati kita akan menjadi tenang dan tentram dalam menghadapi musibah yang menimpa.

Ketujuh; di dalam hadits yang mulia ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Sebab manusia tidak memiliki kekuasaan yang mutlak, bisa jadi manusia telah melakukan yang terbaik dan sudah memohon kepada Allah juga namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkannya maka manusia harus ridha kepada takdir ilahi. 

Agama seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu” merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia, bahkan di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah” merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudharatan dengan penuh rasa harap kepada Allah ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna.

Kedelapan: larangan menggunakan kata “seandainya” karena bisa membuka amal setan dalam mengurangi keimanannya kepada takdir dan bisa menjadi sebab ia mengingkari dan menyalahkan takdir Allah. Juga membuka pintu kesedihan dan melemahkan hati. bimbingan Nabi ini adalah jalan terbaik untuk kelonggaran hati dan lebih bisa memunculkan sifat qana’ah dan kehidupan yang baik. 

Di dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak lepas dari musibah dan cobaan. Maka sikap seorang mukmin adalah menerima takdir yang telah terjadi dan bersabar menghadapinya. Sebagian orang jika tertimpa musibah mengatakan ”Seandainya aku tidak melakukan ini, maka aku tidak mengalami ini”. Atau ”Seandainya aku jadi orang kaya, pasti aku tidak mengalami kesusahan ini”.

Tetapi tidaklah semua perkataan ”seandainya” itu terlarang, bahkan ada perincian sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Muhamad bin Sholih Al-’Utsaimin -semoga Alloh merohmatinya- di dalam kitab Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, juz: 2, hlm: 122-124. Ringkasnya [penggunaan kata “seandainya” terbagi dalam 5 bagian:

  1. Mengatakan ”seandainya” untuk menggugat syari’at.

 Ini hukumnya haram, bahkan terkadang dapat menjadikan kafir orang yang mengatakannya. Di dalam perang Uhud kaum muslimin mendapatkan musibah, sehingga sekitar 70 tentara meninggal dunia. Ketika itu orang-orang munafik yang tidak ikut berperang menggugat syari’at jihad yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Mereka mengatakan: ”Seandainya mereka mentaati kita, mereka tidak akan terbunuh”. Maka Alloh Ta’ala menurunkan ayatNya:

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar”. [QS. Ali-‘Imroon: 168]

2- Mengatakan ”seandainya” untuk menggugat takdir.

Ini hukumnya haram juga, Alloh Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. [QS. Ali-‘Imroon: 156].

Maksud perkataan mereka yaitu: Jika mereka itu tinggal bersama kami, mereka tidak akan terbunuh, sehingga perkataan ini merupakan gugatan terhadap takdir Alloh Ta’ala.

3- Mengatakan ”seandainya” untuk mengungkapkan penyesalan.

Ini hukumnya juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Alloh daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada semuanya terdapat kebaikan. Hendaklah engkau bersemangat terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Alloh, dan janganlah engkau lemah. Jika ada sesuatu menimpamu, maka janganlah engkau mengatakan ”Seandainya aku melakukan, niscaya terjadi ini dan itu”. Tetapi katakanlah ”Ini adalah takdir Alloh, dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan”. Sesungguhnya kata ”seandainya” akan membuka perbuatan syetan. [HR. Muslim, no: 2664; Ibnu Majah; dan Ahmad; dari Abu Huroiroh]

4- Mengatakan ”seandainya” untuk menyatakan keinginan, harapan, atau cita-cita.

Ini hukumnya tergantung apa yang diinginkan itu, jika berupa kebaikan, maka dibolehkan, bahkan mendapatkan pahala, jika berupa keburukan, maka terlarang. Dalilnya adalah sabda Rasulullah : 

ثَلَاثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ, وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا, وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا 

وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ:عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِوَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌوَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ

وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dari Abu Kabsyah Al-Anmari rodhiyallohu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga (perkara) aku bersumpah terhadap ketiganya, dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:

  • Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shodaqoh.
  • Tidaklah seorang hamba dizholimi dengan kezholiman, lalu dia bersabar terhadap kezholiman itu kecuali Alloh menambahkan kemuliaan kepadanya.
  • Tidaklah seorang hamba membuka pintu permintaan, kecuali Alloh membukakan pintu kefakiran, atau kalimat seperti itu.

Dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:

Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang:

  • Hamba yang Alloh berikan rezeki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Robbnya pada rezeki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rezekinya, dan dia mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Alloh).
  • Hamba yang Alloh berikan rezeki kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rezeki berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”.

Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.

  • Hamba yang Alloh berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rezeki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Robbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Alloh).
  • Hamba yang Alloh tidak memberikan rezeki kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.

(Hadits Shohih Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Majah, no: 4228; dan lainnya. Dishohihkan Syeikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibni Majah, no: 3406 dan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Sholihin 1/607-609, no: 557; Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253)

5- Mengatakan ”seandainya” untuk menyatakan berita.

Ini hukumnya boleh. Contoh seperti perkataan: ”Seandainya aku menghadiri kajian, aku pasti mendapatkan faedah”. Contoh lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَوْ لاَ أَنَّ مَعِي الْهَدْيَ لَأَحْلَلْتُ

Seandainya aku tidak membawa hewan kurban, sesungguhnya aku telah tahallul. [HR. Muslim, no: 1250]

Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya oleh pamannya, Al-’Abbas bin ‘Abdul Muththolib: ”Tidakkah anda dapat menolong pamanmu (Abu Tholib), karena sesungguhnya dia dahulu melindungimu dan marah karena membelamu?”. Beliau bersabda:

هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ وَلَوْ لاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ

Dia berada pada neraka yang dangkal, dan seandainya bukan karena aku sesungguhnya dia berada di lapisan terbawah dari neraka. [HR. Bukhori, no: 3883; Muslim, no: 209]

Inilah perincian perkataan ”seandainya”, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Al-hamdulillahi rabbil ‘alamiin.

Sebagai penutup, mari kita lihat Kembali petunjuk Nabi dalam hadits ini yaitu:

  1. Bersemangat mendapatkan perkara manfaat
  2. Berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mendapatkannya.
  3. Memohon pertolongan kepada Allah
  4. Bersyukur kepada Allah atas semua kemudahan 
  5. Ridho dengan yang tidak didapatkan dan yang hilang darinya.

Mari kita bergerak dan bekerja berdasarkan petunjuk Rasulullah ini.

Wabillahittaufiq.

Oleh Ustadz Kholid bin Syamhudi, Lc.

Read more https://yufidia.com/7401-gapailah-kemanfaatan.html

Hukum Mengambil Dan Menguasai Hak Orang Lain Secara Zalim

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini pembahasan tentang ghasb atau merampas, mudah-mudahan risalah ini Allah jadikan ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.

Ta’rif (definisi) ghasb

Kata Ghasb disebutkan dalam Alquran. Allah berfirman,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap bahtera.” (Al Kahfi: 79)

Ghasb secara bahasa artinya mengambil sesuatu secara zalim. Sedangkan menurut istilah fuqaha adalah mengambil dan atau menguasai hak orang lain secara zalim dan aniaya dengan tanpa hak[1].

Ghasb adalah haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil……...” (QS. An Nisaa’: 29)

Di samping itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Abu Dawud dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7662)

Ketika khutbah wadaa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu terpelihara  antara sesama kamu sebagaimana terpeliharanya hari ini, bulan ini dan negerimu ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً، يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang melakukan pencuria dalam keadaan beriman dan tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan di mana orang-orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

As Saa’ib bin Yazid meriwayatkan dari bapaknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ لَاعِبًا أَوْ جَادًّا، فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْه

“Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya baik main-main maupun serius. Jika salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya, maka kembalikankah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya. Hadits ini dihasankan pula oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At Tirmidzi)

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Umamah secara marfu’ disebutkan:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu untuk siwak).

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepadanya.”

Oleh karena itu orang yang melakukan ghasb harus bertobat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mengembalikan barang ghasb kepada pemiliknya serta meminta maaf kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ » .

Barangsiapa yang pernah menzalimi seseorang baik kehormatannya maupun lainnya, maka mintalah dihalalkan hari ini, sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal saleh, maka diambillah amal salehnya sesuai kezaliman yang dilakukannya, namun jika tidak ada amal salehnya, maka diambil kejahatan orang itu, lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Jika barang ghasb masih ada, maka dikembalikan seperti sedia kala. Namun jika sudah binasa, maka dengan mengembalikan gantinya.

Menanam tanaman atau pohon atau membuat bangunan di atas sebuah tanah ghashb (rampasan)

Barangsiapa yang menanam di tanah rampasan, maka tanaman itu milik yang punya tanah, dan bagi perampas memperoleh nafkah. Hal ini, jika tanaman belum dipetik, adapun jika sudah dipetik, maka pemilik tanah tidak berhak selain upah.

Pohon yang ditanam juga wajib dicabut, demikian juga bangunan yang dibuat juga harus dirobohkan. Dalam hadits Raafi’ bin Khudaij disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُه

“Barangsiapa yang menanam di sebuah tanah milik sebuah kaum tanpa izin mereka, maka ia tidak berhak memperoleh dari tanaman itu sedikit pun, dan untuknya (perampas) nafkah yang dikeluarkannya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan ia menghasankannya, dan Ahmad, ia berkata: “Sesungguhnya saya berpegang kepada hukum tersebut atas dasar istihsan; dengan menyelisihi qiyas.”)

Abu Dawud dan Daruquthni juga meriwayatkan dari hadits Urwah bin Az Zubair bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقِ ظَالِمٍ حَقٌّ

Barangsiapa yang menghidupkan tanah, maka tanah itu menjadi mililknya, dan untuk keringat orang yang zhalim tidak memiliki hak.”

Urwah berkata, “Telah memberitakan kepadaku orang yang menceritakan hadits ini kepadaku bahwa ada dua orang yang bertengkar lalu menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang satu menanam pohon kurma di tanah milik yang lain. Maka Beliau menetapkan (tanaman tersebut) untuk pemilih tanah karena tanahnya dan memerintahkan kepada pemilik pohon kurma untuk mengeluarkan pohon itu darinya. Ia berkata, “Sungguh, saya melihatnya ketika pohon kurma itu dipotong akarnya dengan kapak, padahal pohon itu adalah pohon kurma yang tinggi.”

Syaikh Shalih Al Fauzan dalam al-Malkhash Fiqhiy berkata, “Jika orang yang melakukan ghasb telah membuat bangunan di tanah rampasannya atau menanam di atasnya tanaman, maka ia harus melepas bangunan itu atau mencabut tanaman itu, jika pemiliknya meminta demikian. Jika tindakannya itu sampai membekas ke tanah yang dirampasnya, maka ia wajib mengganti rugi kekurangannya, di samping ia juga harus menghilangkan sisa-sisa tanaman dan bangunan sehingga ia menyerahkan tanah kepada pemiliknya dalam keadaan baik. Ia pun wajib membayar upah standar dari sejak merampas sampai menyerahkannya, karena ia mencegah pemiliknya untuk memanfaatkan di masa itu dengan tanpa hak. Jika ia merampas sesuatu dan menahannya hingga menjadi murah harganya, maka harus menanggung kekurangannya menurut pendapat sahih.”

Jia barang yang dirampas bercampur dengan barang lainnya yang bisa dibedakan seperti gandum dengan sya’ir, maka perampas wajib membersihkannya dan mengembalikannya. Namun jika bercampur dengan barang yang sulit dibedakan, seperti gandum dengan gandum,  perampas wajib mengembalikan barang itu; ada berapa takar atau timbangan ketika diambilnya sebelum dicampur?

Jika dicampur dengan dengan barang yang di bawahnya atau lebih baik darinya atau tidak sejenis, namun sulit dibedakan, maka campuran itu dijual, lalu diberikan seukuran harganya masing-masing. Dan jika barang rampasan berkurang nilainya jika secara terpisah, maka perampas menanggung kekurangannya. Disebutkan oleh para fuqaha,

الْأَيْدِي الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى يَدِ الْغَاصِبِ كُلِّهَا أَيْدِيْ ضَمَانٍ

“Tangan-tangan yang muncul di atas tangan perampas semuanya adalah tangan tanggungan.”

Maksudnya Tangan-tangan di mana barang rampasan berpindah kepadanya melalui jalan perampas semuanya menanggung jika binasa.

Dengan demikian, jika orang kedua mengetahui hakikat sebenarnya dan bahwa orang yang memberikan barang kepadanya adalah perampas, maka ia harus menanggungnya karena ia berbuat zhalim dengan kesengajaan (diketahuinya) tanpa izin pemiliknya. Namun jika orang kedua tidak mengetahui keadaan sebenarnya, maka yang menanggung adalah perampas (orang pertama).

Jika barang rampasan adalah yang biasa disewa, maka perampas wajib mengganti upah semisalnya (standar) selama barang itu berada di tangannya. Karena manfaat adalah harta yang jelas nilainya, maka wajib ditanggung seperti menanggung barang.

Semua tindakan ghaasib (perampas) adalah batal, karena tidak ada izin pemiliknya.

Jika seseorang merampas sesuatu dan ia tidak mengetahui di mana pemiliknya serta tidak mampu mengembalikannya, maka ia bisa serahkan kepada hakim yang akan menaruhnya di tempat yang benar atau ia sedekahkan memakai nama pemiliknya. Sehingga jika disedekahkan, maka pahalanya untuk pemilik barang dan si perampas sudah lepas tanggungan.

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Ustadz Marwan bin Musa

Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi dll.

Sumber: Yufidia.com

Read more https://pengusahamuslim.com/3232-hukum-mengambil-dan-1720.html

Serial Fikih Muamalah (Bag. 5): Kepemilikan, Syarat Utama Sahnya Transaksi

Baca pembahasan sebelumnya 9 Aturan Penting dalam Berinvestasi

Syarat sah transaksi

Agar sebuah transaksi/muamalah harta dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, maka harus memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku dan ada yang berkaitan dengan objek transaksi.

Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku

Pelaku dalam kondisi yang sudah akil balig serta berkemampuan memilih. Transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang belum bisa menalar, orang gila, atau orang yang dipaksa adalah tidak sah.

Kedua: Yang berkaitan dengan objek transaksi

Objek transaksi tersebut harus legal, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan syarat yang paling utama adalah jika objek transaksi tersebut berupa materi, maka materi tersebut merupakan milik penuh salah satu pihak.

Asas kepemilikan atas sebuah harta adalah syarat utama boleh dan sahnya sebuah transaksi. Sebuah transaksi tidak sah, kecuali jika itu muncul dan timbul dari pemilik harta tersebut ataupun orang yang mewakilinya. Oleh karena itu, bagi seorang muslim sangatlah penting untuk mengetahui hakikat kepemilikan, macam-macamnya, cara memperolehnya yang diperbolehkan oleh syariat, batasan-batasan yang berlaku di dalamnya, dan perspektif Islam terhadapnya.

Hakikat kepemilikan

Secara bahasa, milik (kepemilikan) diartikan dengan, “penguasaan terhadap sesuatu dan wewenang di dalam mengatur, menggunakan, dan memanfaatkannya”.

Menurut istilah ahli fikih adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami karya Muhammad Salam Madkur, “Kepemilikan merupakan hubungan yang diakui syariat antara manusia dan sebuah harta, di mana manusia tersebut diberikan pengkhususan terhadap suatu harta sehingga orang lain tidak dapat bertindak dan memanfaatkannya. Dengan hubungan dan hak tersebut, si pemilik jika sudah memenuhi syarat bertransaksi, ia diperbolehkan untuk memperlakukan harta tersebut dengan berbagai macam cara yang diperbolehkan oleh syariat dan di dalam batas yang telah ditentukan oleh syariat.”

Dalam perundang-undangan kontemporer, kepemilikan diartikan sebagai, “Hak eksklusif untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi sesuatu serta menggunakannya secara permanen, dan semua itu harus berada dalam koridor syariat.”

Macam-macam kepemilikan

Pertama: Dari segi sifat kepemilikan terhadap harta, ulama fikih membagi kepemilikan menjadi dua bentuk

Pertama: Kepemilikan sempurna

Yaitu, apabila materi dan manfaat harta dimiliki sepenuhnya oleh seseorang, sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta tersebut di bawah penguasaannya. Dan inilah hukum asal di dalam kepemilikan harta.

Kepemilikan ini memiliki beberapa kekhususan,

Pertama: Pemilik berhak mengelola harta tersebut dengan segala macam bentuk pengelolaan dan transaksi, selama itu diperbolehkan oleh syariat. Mau dijual, disewakan, dipinjamkan, maka itu haknya si pemilik seluruhnya.

Kedua: Kepemilikan sempurna tidak dibatasi oleh waktu, maka haknya tersebut tidak akan selesai (habis), kecuali jika materi harta tersebut rusak atau berpindah tangan ke orang lain karena adanya transaksi sah dan sesuai syariat atau berpindah karena kematiannya kepada ahli warisnya.

Ketiga: Jika pemilik merusak atau menghilangkan hartanya sendiri, maka ia tidak wajib untuk menggantinya. Karena tidak ada faedah yang berarti dari jaminan dan penggantian yang dia lakukan.

Kedua: Kepemilikan tidak sempurna

Yaitu, apabila seseorang hanya menguasai materi harta tanpa manfaatnya, atau menguasai manfaat tanpa materi hartanya, sehingga tidak terkumpul pada dirinya kepemilikan materi harta dan manfaatnya. Kepemilikan ini terbagi menjadi dua:

Pertama: Kepemilikan materi harta tanpa hak pemanfaatan

Pada asalnya, jika seseorang memiliki materi harta, maka ia juga berhak atas manfaatnya. Hanya saja syariat mengizinkan beberapa keadaan di mana seseorang hanya memiliki hak materi harta, namun tidak berhak atas manfaatnya.

Contoh, si A memberikan wasiat berupa hak untuk menggunakan dan memanfaatkan rumahnya kepada si B selama 10 tahun. Ketika si A meninggal (ketika si B masih memanfaatkan rumahnya), wujud dan materi rumahnya berpindah ke pihak ahli waris tanpa ada hak atas pemanfaatannya. Adapun pemanfaatan dan penggunaannya diserahkan kepada si B sesuai dengan durasi yang sudah disebutkan oleh si A ketika ia memberikan wasiat. Sehingga pada keadaan seperti ini:

Pertama: Pemilik wujud dan materi rumah tidak boleh menggunakan rumah tersebut, karena hak pemanfaatannya telah berpindah kepada pihak B sampai jangka waktu yang telah ditentukan.

Kedua: Pihak pemilik wujud (pewaris) juga tidak boleh berbuat sesuatu yang merugikan dan membahayakan pemilik manfaat (pihak B), seperti menghancurkan rumah tersebut atau yang semisalnya.

Ketiga: Jika pemilik rumah berbuat sesuatu yang akhirnya merugikan pihak B (misalnya, menjual rumah tersebut), sehingga pihak B kehilangan hak milik kemanfaatannya, maka pemilik rumah (pihak A) wajib membayar ganti rugi sejumlah kerugian yang dialami oleh pihak B.

Keempat: Biaya yang harus dikeluarkan agar bisa memanfaatkan materi harta (rumah) dan pajak yang telah ditentukan, maka itu ditanggung dan dibebankan kepada pemilik hak manfaatnya (pihak B) dan bukan kepada pemilik hak materi rumahnya (pihak A).

Kedua: Kepemilikan manfaat tanpa materi harta

Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, di antaranya adalah akad yang memindahkan kepemilikan manfaat tanpa wujud materi hartanya, contohnya adalah akad sewa, peminjaman, ataupun wasiat kemanfaatan. Sebab lainnya adalah wakaf, karena kemanfaatannya berpindah kepada tujuan wakafnya, hanya saja kepemilikan dan pengawasannya berpindah kepada Allah Ta’ala menurut pendapat yang lebih kuat.

Kepemilikan ini memiliki beberapa kekhususan:

Pertama: Bisa dibatasi periode, tempat, dan cara penggunaannya. Sebagai contoh, orang yang menyewakan mobilnya, maka ia boleh membatasi untuk si penyewa baik itu periodenya ataupun membatasi jarak tempuh yang diperbolehkan ketika menyewa mobil tersebut, atau membatasi jumlah penumpang yang diperbolehkan untuk naik ke mobil tersebut.

Kedua: Pihak yang mendapatkan kepemilikan manfaat (misalnya, penyewa mobil ), maka ia harus mengganti rugi jika ia merusak atau menyalahgunakan wujud materi barang yang disewanya, ataupun mengganti kekurangan pada wujud materi yang timbul akibat kecerobohannya.

Ketiga: Menurut jumhur ulama, sebagian kepemilikan manfaat (contohnya sewa menyewa) bisa diwariskan ketika pihak penyewa meninggal dunia. Hal ini berbeda dengan ulama hanafiyah yang mengatakan bahwa kepemilikan manfaat tidak bisa diwariskan, karena menurut kaidah mereka, yang bisa diwariskan adalah harta riil dan yang berwujud ketika ia meninggal dunia.

Kedua: Dari segi pemiliknya, kepemilikan terbagi menjadi dua

Pertama: Kepemilikan khusus (pribadi)

Yaitu apabila kepemilikan tersebut menjadi hak pribadi perseorangan (pribadi) atau hak pribadi bersama sekumpulan orang tertentu. Berikut ini penjelasannya:

Kepemilikan pribadi perseorangan adalah kepemilikan khusus untuk satu individu, sehingga ia berhak atas materi harta dan manfaatnya. Misalnya, kepemilikan rumah, mobil, pabrik, sawah, dan yang semisalnya.

Kepemilikan pribadi bersama adalah kepemilikan bersama antara dua individu atau lebih, karena adanya salah satu sebab kepemilikan. Seperti pembelian, pemberian, wasiat, warisan, atau karena akad perserikatan (kongsi).

Konsekuensi dari kepemilikan ini adalah:

Setiap bagian dari materi harta tidak bisa menjadi hak khusus untuk salah satu dari mereka dan hak kepemilikannya menjadi milik bersama.

Bisa jadi, kepemilikan ini menjadi kepemilikan perseorangan dengan cara dibagi, sehingga hilang hak kepemilikan bersama dari harta tersebut. Kepemilikan setiap individu ada pada bagiannya masing.

Kedua: Kepemilikan umum (kolektif)

Yaitu kepemilikan yang pemiliknya adalah hak khalayak umat. Harta tersebut dikhususkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan seluruh umat, tidak bisa dijadikan milik pribadi perseorangan atau orang-orang tertentu. Baik itu tanah, bangunan, uang tunai ataupun yang selainnya, seperti properti baitul mal atau tanah yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.

Tidak dapat dipungkiri, kepemilikan khusus bisa berubah menjadi kepemilikan umum. Seperti seseorang yang mewakafkan apartemennya untuk kebaikan, atau tanah seseorang yang diambil paksa oleh pemerintah demi kemaslahatan khalayak umum, baik itu untuk membangun jalan, perluasan masjid, atau kuburan. Sebagaimana juga kepemilikan umum dapat berubah menjadi kepemilikan khusus jika kepentingan umat membutuhkan privatisasi beberapa properti umum atau mengganti beberapa objek wakaf dengan objek kepemilikan individu (misalnya, harta wakaf yang nilai pemeliharaannya melebihi nilai harta tersebut, maka boleh dijual).

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan beberapa pon berikut ini:

Pertama: Kepemilikan adalah salah satu syarat utama sahnya sebuah transaksi.

Kedua: Kepemilikan ada beberapa macam, bahkan hak pemanfaatan sebuah materi (misalnya, sewa) adalah salah satu macam kepemilikan.

Ketiga: Bisa jadi sebuah materi harta dimiliki oleh beberapa individu, sehingga tidak bisa semena-semena di dalam mengelola dan memanfaatkannya, kecuali atas izin seluruh pemiliknya.

Pada pembahasan selanjutnya insya Allah kita akan mengenal beberapa cara yang diperbolehkan syariat untuk mendapatkan kepemilikan, aturan yang berlaku di dalamnya dan bagaimana perspektif Islam terhadap kepemilikan. Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76892-serial-fikih-muamalah-bag-5.html

Memaknai Haji Mabrur

Hari-hari ini jamaah haji non resident (selain yang memang tinggal di Saudi) bersiap-siap untuk kembali ke negara asal masing-masing. Seluruh rangkaian ibadah haji telah selesai. Sebagian kembali langsung dari Mekah via Jeddah. Sebagian lainnya memenuhi sunnah Rasul mengunjungi masjid Nabawi dan maqam beliau di Madinah.

Imam Shamsi Ali menceritakan pada momen-momen seperti inilah ada perasaan haru bahkan sedih karena akan meninggalkan tanah haram. Tapi juga ada rasa senang dan bahagia karena telah menunaikan sebuah ibadah besar, kewajiban bahkan rukun Islam yang kelima. 

Namun pada saat yang sama jamaah yang sadar tentunya tidak hanyut dalam kesenangan yang berlebihan. Tapi juga merasakan dua kemungkinan; harapan hajinya telah diterima?Atau sebaliknya jangan-jangan justeru hajinya tertolak. 

“Dalam bahasa agama haji yang tertolak dikenal dengan istilah “haj marduud”. Sementara haji yang baik dan diterima oleh Allah SWT dikenal dengan istilah “haj mabrur”. Sebuah ibadah yang pahalanya dijanjikan syurga oleh Allah SWT,”ujar dia dalam siaran pers yang diterima Republika, Ahad (17/7).

Rasulullah SAW bersabda: “Al-hajju Al-mabrur laesa lahu jazaa illa Al-Jannah” (haji mabrur itu tiada balasan baginya kecuali syurga). 

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah haji mabrur itu? Adakah defenisi yang diberikan oleh para ulama kita? 

Imam Shamsi mencoba menelusuri beberapa kitab rujukan, mencari pendapat pada ulama. Dia pun menemukan beberapa penjelasan yang disampaikan oleh para Ulama kita. 

Satu di antaranya adalah Imam an-Nawawi misalnya berkata, “ganjaran haji mabrur itu bukan sekedar menghapuskan dosa. Pemahaman paling benar adalah bahwa Haji mabrur itu adalah Haji yang tidak dicampuri dengan dosa. Kata ini diambil dari “Al-birr” yang artinya kebaikan”. (Jalaluddin As-Suyuthi, syarha  Sunan An-Nasa’i). 

Pernyataan An-Nawawi maupun pernyataan para ulama lainnya sekadar menyampaikan penekanan tentang pahala haji mabrur. Tapi tidak memberikan definisi khusus tentang haji mabrur itu. Mereka menekankan bahwa haji mabrur adalah Haji yang telah dilaksanakan secara sempurna sesuai tuntunan Alquran dan as-Sunnah.  

“Saya lebih tertarik sebenarnya untuk menyampaikan dua hadits yang justru lebih mu’tabar (menjadi rujukan) sebagai rujukan untuk mendefenisikan haji mabrur ini,”jelas dia.

Pertama, diriwayatkan oleh Al-Hakim, bahwa Rasulullah SAW menjawab pertanyaan seorang sahabat: “apa haji mabrur itu wahai Rasulullah? Beliau menjawa: اطعام الطعام وطيب الكلام (memberi makan dan berbicara yang baik).

Kedua, habits Imam Ahmad dalam musnadnya: “para sahabat bertanya: apa haji mabrur wahai Rasulullah? Beliau menjawab: اطعام الطعام وافشاء السلام (memberi makan dan menyebarkan salam).

Dari dua hadits di atas, Rasulullah seolah  mendefenisikan tentang Haji mabrur dengan tiga hal, pertama, memberikan makan. Kedua,  berkata yang baik. Dan ketiga menebarkan perdamaian.

“haji mabrur itu adalah haji yang menjadikan pelakunya semakin dermawan, berakhlak mulia dan mampu menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia,” ujar Imam Shamsi.

Dia dapat mendefinisikan haji mabrur sebagai haji yang telah dilaksanakan sesuai aturan syariah dan memberikan dampak positif dalam hidup pelakunya baik secara vertikal maupun horizontal.

Dari definisi sederhana ini kita simpulkan bahwa esensi yang paling mendasar dari haji mabrur adalah terjadinya perubahan positif dalam kehidupan seorang haji. Baik pada aspek ubudiyah (ritual) maupun pada aspek mu’amalat (sosial). 

Definisi ini sejalan dengan jawaban Abu Bakar ketika ditanya oleh seorang sahabat di musim haji pertama dalam sejarah Islam di tahun ke 8 Hijriyah. “Apa haji mabrur itu wahai Abu Bakar?” Jawaban beliau: “haji mabrur akan kamu lihat sekembali kamu ke Madinah”.

Jawaban Abu Bakar ini seolah mengatakan bahwa haji mabrur itu akan nampak setelah sang haji kembali ke kampung halaman masing-masing. Di sana akan nampak makna Ihram sebagai komitmen kefitrahan dan ketaatan (labbaik allahumma labbai). Di sanalah akan nampak makna thawaf di Maka Ka’bah (kebenaran) akan selalu menjadi pusat pusaran hidupnya. 

Di sana juga akan nampak Sa’i atau usaha dan kerja kerasnya untuk membangun dunia ini sebagai bagian dari tanggung jawab khilafahnya. Tentu tidak kalah pentingnya di sana akan nampak komitmen melempar jumrah sebagai bukti komitmen “amar ma’ruf dan nahi mungkar”. 

Semua itu akan dilakukan oleh sang haji hingga masanya melakukan thawaf wada’ sebagai simbol komitmen “Jangan kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”. Seperti yang dipesankan oleh Rasulullah SAW: “barang siapa yang di akhir hayatnya mengucapkan Laa ilaaha illa Allah” maka dia masuk syurga”.  

“Kita doakan semoga jamaah haji mendapatkan haji mabrur. Tidak saja bahwa hajinya telah diterima sebagai amalan ibadah yang utama dalam Islam dan membawa pengampunan. Tapi tidak kalah pentingnya adalah bahwa pesan-pesan moral haji mereka telah membawa perubahan positif dalam hidup mereka. Lebih khusus lagi dalam hal kebaikan (kindness) dan kedermawanan (generosity), akhlakul karimah (karakter) yang semakin baik, dan memiliki komitmen untuk membangun kedamaian (peace),”jelas dia./n

IHRAM

3 Pekerjaan Haram di Akhir Zaman

SEORANG isteri dikatakan dzalim ketika mengetahui suaminya melakukan sesuatu hal atau pekerjaan haram, atau mendapat sogokan dari seseorang namun tidak mencegahnya. Ironis memang ketika isteri menyadari hal itu, tapi malah meremehkan perbuatan tersebut.

Kemudian apa laknat Allah bagi seorang wanita yang membiarkan perbuatan tersebut tanpa mencegahnya?

Maka bagi seorang yang ikut dalam hal tersebut, Allah SWT mengutuk, melaknat oknum penyogok dan orang yang disogok. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW melaknat penyogok, yang menerima sogokan dan perantaranya yang termasuk diharamkan terkait dengan sogokan.

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap,” (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Pekerjaan Haram, Yang Membuat Sogokan Berjalan

Kalau diperhatikan lebih seksama, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari sogokan, tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat sogokan itu berjalan.

Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta sogokan, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu

Pertama. Menerima sogokan;

Kedua. Memberi sogokan;

Ketiga. Mediator sogokan.

Pekerjaan Haram, Mendapat Laknat Allah SWT

Sebab tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari sogokan, kalau tidak ada yang menyogoknya. Maka orang yang melakukan sogokan pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. Sebab karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta sogokan. Dan biasanya dalam kasus sogokan seperti itu, selalu ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.

Karena bisa jadi pihak yang menyuap itu tidak mau menampilkan diri, maka dia akan menggunakan pihak lain sebagai mediator. Atau sebaliknya, pihak yang menerima suap tidak akan mau bertemu langsung dengan si penyogok, maka peran mediator itu penting. Dan sebagai mediator, maka wajarlah bila mendapatkan komisi uang tertentu dari hasil jasanya itu.

Maka ketiga pihak itu oleh Rasulullah SAW dilaknat sebab ketiganya sepakat dalam kemungkaran. Dan tanpa peran aktif dari semua pihak, sogokan itu tidak akan berjalan dengan lancar. Sebab dalam dunia sogok menyogok, biasanya memang sudah ada mafianya tersendiri yang mengatur segala sesuatunya agar lepas dari jaring-jaring hukum serta mengaburkan jejak.

Pekerjaan Haram,  Banyak Merugikan Orang Lain

Rupanya sejak awal Islam sudah sangat antisipatif sekali terhadap gejala dan kebiasaan sogok menyogok tak terkecuali yang akan terjadi di masa depan nanti.

Sejak 15 Abad yang lalu seolah-olah Islam sudah punya gambaran bahwa di masa sekarang ini yang namanya sogok menyogok itu dilakukan secara berkomplot dengan sebuah mafia persogokan yang canggih.

Karena itu sejak dini Islam tidak hanya melaknat orang yang makan harta sogokan, tetapi juga sudah menyebutkan pihak lain yang ikut mensukseskannya. Yaitu sebuah mafia persogokan yang biasa teramat sulit diberantas, karena semua pihak itu piawai dalam berkelit di balik celah-celah kelemahan hukum buatan manusia.

Maka dengan begitu islam, menjadi akhir hukuman yang berat untuk seorang yang banyak melanggar hukum yang merugikan orang lain dan dirinya, walaupun tidak diketahui oleh manusia, Allah tetap mengetahui hal itu. []

Sumber: Hadits Budi Luhur/Karya: Muhammad Said/Penerbit: Putra Ma’arif

ISLAMPOS