Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka

SEGALA puji bagi Allah yang telah mengumpulkan kita bersama keluarga kita. Sehingga ketenangan, kenyamanan, kebahagiaan kita dapatkan dalam keluarga kita.

Tentunya kita ingin keluarga kita kekal hingga surga kelak. Tidak terpisah di akhirat kelak. Maka menjadi tugas bagi kita, setiap kepala keluarga, untuk melindungi diri dan anggota keluarga dari api neraka.

Dikutip dari Ibnu Katsir, beberapa atsar salaf tentang ayat: “Quu Anfusakum Wa Ahlikum Naroo” (QS. At Tahrim: 6)

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari seorang lelaki, dari Ali ibnu Abu Talib Radliyallahu ‘Anhu, beliau berkata “Makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka”.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata “Yakni amalkanlah ketaatan kepada Allah dan hindarilah perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta perintahkanlah kepada keluargamu untuk berzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka”.

Sedangkan Mujahid mengatakan, “Yaitu bertakwalah kamu kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah”.

Qatadah mengatakan, “Engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadap-Nya. Dan hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya. Dan apabila engkau melihat di kalangan mereka terdapat suatu perbuatan maksiat terhadap Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka melakukannya”.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Muqatil, bahwa sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim mengajarkan kepada keluarganya baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya– hal-hal yang difardukan oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang dilarang oleh Allah yang harus mereka jauhi.

Hal ini selaras dengan sabda Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam yang memerintahkan agar setiap orangtua (terutama ayah) untuk menyuruh/memerintahkan anak-anaknya mendirikan sholat sedari kecil. Rasulullah bersabda, “Perintahkanlah kepada anak untuk mengerjakan salat bila usianya mencapai 7 tahun; dan apa apabila usianya mencapai 10 tahun, maka pukullah dia karena meninggalkannya” (HR. Abu Dawud).

Memelihara diri dan keluarga dari api neraka, sesuai perintah Allah ini, akan sangat berdampak positif bagi bukan hanya kehidupan pribadi dan keluarga, namun juga kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu apabila tiap kepala keluarga muslim yang ada di Indonesia menjunjung tinggi syariat Allah ini, niscaya semua keluarga muslim di negeri ini akan menjaga sholat mereka. Dan terwujudlah masyarakat Islami, bahkan bangsa dan negara islami. Yakni masyarakat atau bangsa yang mendirikan sholat dan menjaganya.

Melindungi diri dan keluarga dari api neraka tidak hanya dengan melaksanakan perintah Allah Azza Wa Jalla, juga dalam bentuk menjaga diri dan keluarga dari hal-hal yang diharamkan Allah Azza Wa Jalla. Dari aspek tauhid, ibadah, hingga akhlak atau adab terhadap lingkungan. Hendaknya setiap kita memerhatikannya.

Persiapkanlah diri dengan ilmu agama. Terutama ilmu yang kaitannya dengan fardhu ain, atau kewajiban yang dibebankan tiap jiwa. Dan mulailah dari Tauhid. Dengan memahami tauhid, InsyaAllah akan terhindar dari syirik. Kemudian ilmu tentang ibadah yang fardhu ain. Maka dengan ilmu yang kita pelajari dan kemudian pahami, kita bisa mendidik diri dan keluarga kita agar terhindar dari Neraka.

Semoga Allah kumpulkan kita bersama keluarga kita di surgaNya kelak yang kekal abadi. [Quraniy]

INILAH MOZAIK

Pentingnya Pola Asuh Ayah

Seorang ibu dipandang menjadi sosok yang sangat penting dalam merawat anak-anak sejak usia dini hingga menginjak dewasa. Sentuhan ibu sejak kepada anak sejak usia 0 tahun dinilai akan menentukan perkembangan anak ke depannya.

Pembina Forum Usroh, Irwan Rinaldi, dalam kajian bertema Satu Momen untuk Selamanya di Masjid Nurul Amal, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, belum lama ini mengatakan, ayah juga mempunyai peranan penting dalam menentukan perkembangan anak. Menurut dia, persoalan kenakalan remaja salah satu penyebabnya kurangnya perhatian ayah kepada mereka.

“Persoalan korupsi, narkoba banyak penyebabnya salah satunya lemahnya peran ayah.

Ini gak bisa ditolak,” ujar Irwan mengungkapkan penyebab kenakalan tersebut berdasarkan hasil penelitiannya.

Selain kasus tersebut, kasus lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) pun diakibatkan oleh peran ayah yang lemah dalam pengasuhan. Oleh karena itu, Irwandi mendorong para ayah agar berperan sebagai pengasuh ketika berada di rumah.

Pasalnya, sejauh ini banyak dari ayah yang tidak melakukannya meskipun sedang berada di rumah.

Seorang anak, lanjut Irwan, membutuhkan pelajaran dari sosok ayah. Irwan berpendapat jika ingin seorang anak sukses pada masa depan, penting untuk melihat pemahaman ayah dalam mendidik. Pasalnya, ayah merupakan tokoh moral bagi anak.

“Karena anak itu amanah dunia. Maksudnya jangan meninggalkan anak- anak yang lemah,” kata Irwan.

Menurut Irwan, generasi lemah setidaknya disebabkan oleh usia biologis mereka lebih maju daripada psikologis. Padahal, justru idealnya justru sebaliknya, yakni usia psikologis anak lebih maju dibandingkan biologis.

Irwan mengungkapkan, usia anak antara 0-15 tahun harus dimanfaatkan sesungguh-sungguhnya oleh ayah. Karena pada usia tersebut, Allah memberikan potensi yang luar biasa. Hanya, Irwan menilai ayah tak memiliki buku panduan bagaimana cara mengasuh.

Akibatnya pola asuh yang dilakukan tak sesuai anjuran.

“Itu sebabnya guru TK bukan guru sembarangan. Kalau gak punya bukunya kita mau ngapain, ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Irwan juga menjelaskan tentang pembagian waktu luang bagi ayah dalam mengasuh anak. Sebagai ayah, waktu mereka harus terbagi dengan pekerjaan. Sehingga dibutuhkan pembagian waktu yang tepat.

Irwan membagi waktu ayah menjadi tiga, yaitu bekerja, sisa, dan bermakna.

Ia mendorong supaya ayah memanfaatkan waktu bermakna secara maksi- mal meskipun jauh lebih sedikit dibandingkan waktu bekerja dan sisa. Waktu bermakna, yaitu bagaimana seorang ayah perhatian seluruhnya berpusat kepada anak.

Ia tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga terlibat secara jiwa. Sehingga tercipta keintiman antarkeduanya.

Ia mengungkapkan bahwa anak pada usia 0-6 tahun sangat membutuhkan sentuhan kedua orang tuanya, terlebih ayah. Pada usia tersebut, ia membutuhkan kenyamanan luar biasa.

Dalam situasi seperti ini, Irwan menilai sentuhan ayah harus masuk. Anak butuh fisik dan psikologis. “Anak agak susah kalau gak punya psikologis,” Ia menegaskan.

Oleh sebab itu, Irwan mendorong agar para ayah mengoreksi diri sendiri tentang pola asuh kepada anak. Menurut dia, ada dua tipe pola asuh, yaitu keterlibatan langsung dan tidak langsung.

Namun, Irwan menganjurkan agar pola asuh lebih kepada keterlibatan langsung. Seorang ayah dituntut untuk selalu membuat sesuatu yang bermakna dengan anak.

Salah satu kuncinya mengenal anaknya sendiri. Selain mengenal fisik, juga harus memahami fase perkembangan anak.

Irwan menyadari bahwa terjadi perubahan pola asuh dalam sejarah keayahan di Indonesia. Pada 1970-an, pola asuh yang diterapkan berbasis agama.

Sedangkan, saat ini pola tersebut bergeser, yaitu ayah hanya sebatas seorang pencari nafkah dan penyambung keturunan. Kondisi seperti saat ini, menurut Irwan, sangat membahayakan bagi perkembangan anak. Hal itu pula yang mem buat anak-anak banyak terjerumus kepada perilaku negatif, seperti mengonsumsi narkoba dan seks bebas.

REPUBLIKA

Mewujudkan Keluarga Harmonis melalui Bulan Ramadhan

leh. Azi Ahmad Tadjudin, M. Ag, Pengasuh Rubrik Konsultasi Hukum Keluarga Islam

SEBAGAI pengasuh Rubrik Kosultasi Hukum Keluaraga Islam islampos.com, belakangan ini hampir setiap pertanyaan yang masuk melalui email pribadi penulis, banyak didominasi oleh ‘curhat’ tentang hukum mengucapkan talak dalam keadaan marah dan emosi karena pertengkaran sengit yang tak terbendung lagi.

Namun ketika mereka sudah sadar dan kedaan sudah mereda, baru mereka menyesali perbuatannya sambil dihantui rasa harap-harap cemas dan malu-malu karena sudah terucap kata talak oleh suami, kemudian mereka kembali lagi seperti sedia kala sebagai pasangan suami-istri yang hidup bersama seperti pengantin yang baru saja mengucapkan ijab-kabul. Dan beberapa kasus ini sebelumnya sudah pernah penulis jawab dalam rubrik Konsultasi Keluarga Islam, silahkan dirujuk kembali dalam arsip.

Mencermati fenomena di atas, tentu penulis prihatin dengan kondisi ini, sekaligus hal ini menggambarkan minimnya pengetahuan mereka tentang hukum kelurga dalam Islam. Seandainya saja seorang suami faham betul bahwa arasy (singgasana Allah swt) akan bergetar jika perceraian terjadi pada keluarga muslim yang sudah diikat oleh ikatan perkawinan, tentu mereka tidak akan mudah mengumbar kata-kata talak sehebat apapun masalah yang mereka hadapi, terlebih jika setiap pasangan sadar betul dengan pesan nabi yang mengatakan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci di sisi Allah adalah talak.

Selain itu, tingkat emosi yang lahir karena konflik rumah tangga sesungguhnya dapat dikendalikan jika setiap pasangan sadar bahwa bersatunya mereka dalam ikatan pernikahan pada hakikatnya dipersatukan oleh Allah swt. yang itu merupakan bagian dari tanda-tanda kekusaan-Nya.

Konflik dalam rumah tangga merupakan bagian dari dinamika pendewasaan yang tidak dapat dihindarkan. Banyak hal yang dapat melahirkan konflik dalam rumah tangga salah satunya karena faktor perbedaan yang sudah menjadi fitrah bawaan masing-masing setiap pasangan. Namun perbedaan pada hakikatnya bukan faktor utama penyulut konflik, tapi faktor utama penyebab konflik rumah tangga yaitu terjadinya disfungsi peran dan tanggung jawab suami-istri dalam keluarga, juga faktor minimnya pengetahuan tentang parenting nabawiyah sebagai teladan dalam membangun rumah tangga berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.

Islam  telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk konsep kehidupan rumah tangga. Kehidupan rumah tangga itu hakikatnya adalah implikasi yang lahir dari akad pernikahan, maka dengan akad inilah segala tindak tanduk setiap pasangan terikat oleh aturan.

Keluarga akan senantiasa menjadikan halal dan haram sebagai tolak ukur dalam membangun rumah tangganya, bukan asas manfaat dalam menentukan standar hidupnya. Suami dijadikan sebagai imam dan teladan bagi istri dan anak-anaknya, begitupun juga seorang istri ia menjadi ibu sekaligus sebagai madrasah bagi anak-anaknya.

Bulan Ramadhan adalah bulan pendidikan (tarbiyyah). Banyak pesan dan makna yang dapat kita jadikan sebagai media untuk membentuk keluarga ideologis melalui bulan ramadhan diantaranya yaitu :

1. Puasa bulan ramadhan mengajarkan keluarga menumbuhkan rasa takut (al-Khasyyah) kepada Allah swt. baik dalam keadaan sepi maupun ramai. Rasa takut merupakan perwujudan dari keimanan seseorang yang akan melahirkan sifat muraqabah, yaitu sifat merasa dilihat dan diperhatikan oleh Allah swt.

2. Puasa ramadhan mengajarakan indahnya kebersamaan dan berbagi dalam keluarga. Hal ini dapat kita rasakan indahnya kebersamaan dalam Islam. Kaum muslimin berpuasa dalam waktu yang sama; begitu juga mereka berbuka dalam waktu yang sama.

Inilah sesungguhnya ikatan ukhuwwah yang terpancar dari akidah islamiyyah, mengingat bahwa kita ini memiliki Tuhan yang satu, Rasul yang satu, kiblat yang satu, al-Qur’an yang satu dan bendera yang satu yaitu laa ilaaha illa Allah.

Pada bulan inilah sesungguhnya Ramadhan mengajarkan Ukhuwwah Islamiyyah yang erat. Semoga Allah swt. berkenan melahirkan generasi dan pemimpin terbaik melalu keluarga kita. Wallahu A’lam bi Al-Shawab

 

ISLAMPOS

Cinta Kasih Ibu Dapat Tumbuhkan Kecerdasan Emosional Anak

PENDIDIKAN yang baik dan benar adalah pendidikan yang mampu membentuk kepribadian anak dengan ciri-ciri, di antaranya, sebagai berikut:

  • Pemberani
  • Penyabar
  • Penyantun
  • Hormat, tunduk, dan patuh kepada kebenaran
  • Menjauhi kezaliman dan mengembangkan keadilan
  • Berbakti kepada orang tua
  • Tunduk dan patuh kepada perintah Allah Subhanalah Wa Ta’ala
  • Mencintai sesama makhluk Allah Subhanalah Wa Ta’ala

Pendeknya, pendidikan anak yang baik dan benar adalah pendidikan yang dapat membentuk kecerdasan dan kesholehan pada diri anak. Pertanyaan yang muncul dari sini adalah: pendidikan yang berlandaskan apakah pendidikan yang dapat membentuk kecerdasan dan keSholehan pada diri anak?

Saya tidak memiliki jawaban yang lain untuk menjawab pertanyaan di atas, kecuali jawaban Islam. Hanya paradigma. Islamlah yang akan mampu membentuk pribadi anak menjadi cerdas dan sholeh. Saya tidak menemukan konsep lain, ideologi lain, isme lain, atau teologi lain yang dapat membentuk kepribadian anak itu menjadi cerdas dan sholeh. Sebaliknya, konsep, ideologi, isme, atau teologi lain justru seringkali membentuk kepribadian anak yang timpang:

  • Anak menjadi cerdas tetapi sekaligus rusak akhlaknya.
  • Atau anak menjadi sholeh tetapi bodoh.
  • Atau anak menjadi tidak sholeh sekaligus menjadi tidak

 

Pendidikan model Barat, misalnya, adalah pendidikan yang menghasilkan anak cerdas tetapi rusak akhlak atau moralitasnya sehingga Anda jangan heran apabila melihat anak-anak Barat demikian brilian otaknya, tetapi sekaligus demikian ‘brilian’ dalam mengumbar nafsu syahwat. Model yang seperti ini tidak akan pernah terjadi apabila orang tua menerapkan pendidikan berparadigma Islam sebab tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak menjadi cerdas sekaligus sholeh.

Pertanyaannya, bagaimana wujud pendidikan yang demikian itu pada anak, khususnya yang harus dilakukan oleh seorang ibu? Di sini, saya hanya akan memfokuskan pembahasan pada tanggung jawab dan kewajiban seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.

Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak itu terbagi menjadi empat, yakni:

  • merawat
  • mengasuh
  • mendidik
  • membelajarkan

Karena ibu adalah perempuan, sedangkan perempuan memiliki kecenderungan yang amat besar dalam cinta, kasih, dan sayang, dan kecenderungan yang demikian ini sudah sepantasnya diberikan kepada anak-anaknya, maka tugas pendidikan yang paling penting dan pokok dilakukan oleh ibu adalah merawat dan mengasuh anak-anaknya. Tugas ini paling sesuai dengan eksistensi ibu sebagai seorang perempuan. Tugas ini pula yang paling sesuai dengan unsur kedekatan kepada anak-anaknya.

Lihatlah hubungan seorang ibu dan anaknya. Ibu memiliki rahim. Dalam rahim tersebut ibu mengandung anaknya selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari. Selama itu, si ibu tidak pernah berpisah sedikit pun dengan anak yang dikandungnya. Lalu si ibu ini melahirkan dan menyusui. Semua ini telah membawa hubungan dan ikatan eimosional, spiritual, dan intelektual yang amat dekat dengan anaknya. Oleh karena itu, dalam masa-masa seperti ini, si ibu haruslah memberikan perawatan dan pengasuhan kepada anak-anaknya.

Saya mengatakan kepada Anda bahwa hanya ibu yang mampu memberikan perawatan dan pengasuhan yang baik kepada anak-anaknya. Seorang ayah pun sesungguhnya bisa melakukan hal ini. Namun, seorang ayah terlalu lemah dalam masalah-masalah yang seperti ini jika dibandingkan dengan seorang ibu. Dengan kata lain, kelebihan yang dimiliki oleh semua ibu jika dibandingkan dengan kelebihan yang dimiliki oleh seorang ayah adalah dalam memberikan perawatan dan pengasuhan terhadap anak-anaknya.

Sebagai seorang ibu, Anda haruslah memberikan rawatan dan asuhan yang sebaik-baiknya kepada putra dan putri Anda. Perhatikanlah pertumbuhan dan perkembangan anak Anda. Jaga kesehatan fisiknya. Jaga pula kesehatan mental dan spiritualnya.

Dalam masa-masa melaksanakan tanggung jawab pendidikan ini, Anda harus terus mengembangkan sifat-sifat khas Anda sebagai seorang perempuan:

  • sabar
  • lembut
  • penyayang
  • santun
  • cinta kasih

Anda harus mengembangkan sifat-sifat ini, sebab sifat-sifat ini akan membuahkan kecerdasan emosional pada anak Anda sebagai ladang yang akan ditanami oleh nilai-nilai spiritual. Anda tidak usah mencontoh ibu-ibu yang bersikap keras, kasar dan tidak sabar yang seringkali banyak kita jumpai.

 

 

*/Muhammad Muhyidindikutip dari bukunya Bangga Menjadi Muslimah

HDAYATULLAH

Hadirkan Mawaddah dan Rahmat dalam Rumah Tangga

Dengan mawaddah dan rahmat salah seorang pasangan, tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang menyakiti hati pasangannya, bahkan dia akan berkorban demi menyenangkan pasangannya. Dengan mawaddah seseorang tidak akan berpoligami karena cintanya hanya tertuju kepada seorang. Dengan rahmat seorang suami pula walau butuh dan terdorong untuk berpoligami, namun tidak akan melakukannya jika hal tersebut dinilainya menyakitkan istrinya.

Tetapi di sisi lain, seorang istri akan merelakan suaminya menikah lagi dan berkorban, jika dia merasa bahwa suaminya sangat membutuhkan hal tersebut. Demikian perkawinan dalam ajaran Islam. Pada prinsipnya ajaran Islam lebih mengutamakan monogami, sedang poligami hanyalah izin yang tidak dibenarkan kecuali jika keadilan terjamin.

Dikutip dari buku yang berjudul “Membumikan Alquran” karya M Quraish Shihab bahwa kesendirian dapat mengakibatkan keterasingan dan ini melahirkan kegelisahan. Cara yang paling ampuh mengenyahkan keterasingan dan kegelisahan itu adalah kehadiran pasangan yang sesuai melalui ikatan luhur dan batin. Inilah yang dimaksud oleh kitab suci Alquran ketika menegaskan bahwa Allah menciptakan dari jenis manusia pasangannya agar mereka memperoleh sakinah yakni ketenangan setelah sebelumnya ada gejolak.

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi  kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Untuk meraih sakinah tersebut, Allah menganugerahi manusia potensi mawaddah dan rahmah yang harus mereka perjuangkan wujudnya secara faktual. Sulit menemukan padanan kata mawaddah dalam bahasa Indonesia, karena kata cinta belum menggambarkan secara utuh makna kata tersebut. Mawaddah pada mulanya, menurut tafsir al-Biqa’i berarti kelapangan dan kekosongan.

Ia kemudian menukil pendapat al-Imam Abi al-Hasan al-Haraly yang menyatakan bahwa Al-Wud (mawaddah) adalah kosongnya jiwa dari kehendak buruk. Siapa yang tidak menginginkan selainnya (objek yang dicintainya), maka dia telah menyandang mawaddah.

Jika seseorang menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain, maka ia telah mencintainya. Namun jika seseorang itu menghendaki kebaikan untuk orang lain, serta tidak menghendaki selain itu, apapun yang terjadi maka mawaddah telah menghiasi hatinya.

Mawaddah adalah jalan menuju terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi untuk siapa yang tertuju kepadanya mawaddah itu. Maka siapa yang memilikinya, ia tidak pernah akan memutuskan hubungan, apa pun yang terjadi.

Kata mawaddah mirip dengan kata rahmat, hanya saja rahmat tertuju kepada yang dirahmati sedang yang dirahmati itu dalam keadaan butuh. Dengan demikian rahmat tertuju kepada yang lemah, sedang mawaddah tidak demikian. Rahmat adalah keprihatinan melihat ketidakberdayaan satu pihak yang mendorong siapa yang merahmati berusaha menanggulangi ketidakberdayaan itu.

Sebab Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagian yang antara lain dilahirkan oleh mawaddah dan rahmat yang tertuang kepada pasangan. Ada ungkapan dalam literatur agama yang menyatakan, “Tidak ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan.” Wallahualam

Inilah Pedoman bagi Istri, Niscaya Kamu Berbahagia

INI Syuraih al-Qadhi bersama istrinya. Syuraih adalah seorang tabiin yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab menjadi pejabat hakim di wilayah kekhalifahan Islam. Setelah Syuraih (seorang tabiin) menikah dengan seorang wanita bani Tamim, dia berkata kepada Syabi (seorang tabiin), “Wahai Syabi menikahlah dengan seorang wanita bani Tamim karena mereka adalah wanita.”

Syabi bertanya, “Bagaimana hal itu?” Syuraih bercerita, “Aku melewati kampung bani Tamim. Aku melihat seorang wanita duduk di atas tikar, di depannya duduk seorang wanita muda yang cantik. Aku meminta minum kepadanya.”

Wanita itu berkata kepadaku, “Minuman apa yang kamu sukai?” Aku menjawab, “Seadanya.” Wanita itu berkata, “Beri dia susu. Aku menduga dia orang asing.” Syuraih berkata, “Selesai minum aku melihat wanita muda itu. Aku mengaguminya. Aku bertanya kepada ibunya tentang wanita itu.”

Si ibu menjawab, “Anakku.” Aku bertanya, “Siapa?” (maksudnya siapa ayahnya dan bagaimana asal usulnya). Wanita itu menjawab, “Zaenab binti Hadhir dari bani Hanzhalah.” Aku bertanya, “Dia kosong atau berisi?” (maksudnya bersuami atau tidak).

Wanita itu menjawab, “Kosong.” Aku bertanya, “Kamu bersedia menikahkanku dengannya?” Wanita itu menjawab, “Ya, jika kamu kufu (sepadan).

Aku meninggalkannya pulang ke rumah untuk beristirahat siang, tetapi aku tidak bisa tidur. Selesai salat aku mengajak beberapa orang saudaraku dari kalangan orang-orang yang terhormat. Aku salat asar bersama mereka. Ternyata pamannya telah menunggu. Pamannya bertanya, “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”

Aku menjelaskan keinginanku, lalu dia menikahkanku. Orang-orang memberiku ucapan selamat, kemudian acara selesai. Begitu sampai di rumah aku langsung menyesal. Aku berkata dalam hati, “Aku telah menikah dengan keluarga Arab yang paling keras dan kasar.” Aku ingat kepada wanita-wanita bani Tamim dan mereka keras hatinya.

Aku berniat menceraikannya, kemudian aku berubah pikiran. Jangan ditalak dulu, jika baik. Jika tidak, barulah ditalak. Berapa hari setelah itu para wanita Tamim datang mengantarkannya kepadaku. Ketika dia didudukkan di rumah, aku berkata kepadanya, “Istriku, termasuk sunah jika laki-laki bersatu dengan istrinya untuk salat dua rakaat dan dia pun demikian.”

Aku beridiri salat, kemudian aku menengok ke belakang, ternyata dia juga salat. Selesai salat para pelayannya menyiapkan pakaianku dan memakaikan jubah yang telah dicelup dengan minyak zafaran. Manakala rumah telah sepi, aku mendekatinya. Aku menjulurkan tangan ke arahnya. Dia berkata, “Tetaplah di tempatmu.”

Aku berkata kepada diriku, “Sebuah musibah telah menimpaku.” Aku memuji Allah dan membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Dia berkata, “Aku adalah wanita Arab. Demi Allah, aku tidak melangkah kecuali untuk perkara yang diridai Allah. Dan kamu adalah laki-laki asing, aku tidak mengenal akhlak kepribadianmu. Katakan apa yang kamu sukai, sehingga aku bisa melakukannya. Katakan apa yang kamu benci, sehingga aku bisa menjauhinya.”

Aku berkata kepadanya, “Aku suka ini dan ini (aku menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan makanan-makanan yang aku sukai) dan juga membenci ini dan ini.” Dia bertanya, “Jelaskan kepadaku tentang kerabatmu. Apakah kamu ingin mereka mengunjungimu?”

Aku menjawab, “Aku seorang hakim. Aku tidak mau mereka membuatku jenuh.” Aku melalui malam yang penuh kenikmatan. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Kemudian aku pergi ke majlis pengadilan (mulai bekerja kembali). Tidak ada hari yang aku lalui tanpa kebaikan darinya.

Satu tahun kemudian (setelah pernikahan kami), tatkala aku pulang ke rumah, aku melihat seorang wanita tua yang memerintah dan melarang, ternyata itu adalah ibu mertuaku. Aku berkata kepada ibu mertuaku, “Selamat datang.”

Ibu mertua berkata, “Wahai Abu Umayyah, apa kabarmu?” Aku menjawab, “Baik, alhamdulillah.” Ibu mertua bertanya, “Bagaimana istrimu?” Aku menjawab, “Wanita terbaik dan teman yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik dan mengajarkan budi pekerti dengan baik pula kepadanya.”

Ibu mertua berkata, “Seorang wanita tidak terlihat dalam suatu keadaan di mana prilakunya paling buruk kecuali dalam dua keadaan. Jika dia telah memperoleh tempat di sisi suaminya dan jika dia telah melahirkan anak. Jika kamu melihat sesuatu yang membuatmu marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang membimbing, tidak membekas). Karena laki-laki tidak memperoleh keburukan di rumahnya kecuali dari wanita bodoh dan manja.”

Syuraih berkata, “Setahun sekali ibu mertuaku datang, dia pulang setelah bertanya kepadaku, Bagaimana menurutmu jika kerabatmu ingin mengunjungimu? Kujawab, Terserah mereka.” Dua puluh tahun aku bersamanya. Aku tidak pernah mencelanya atau marah kepadanya.

Inilah pedoman yang harus dimengerti dan dipahami dengan baik oleh seorang wanita, sebagai pijakan cahaya dalam hidupnya. Mengabdilah dengan baik kepada suamimu, niscaya kamu berbahagia dan mendapatkan suami yang berbahagia dan berhasil dalam pekerjaannya.

[Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf]

Ayah Bunda, Jangan Pilih Kasih Pada Anak-anakmu!

“Membagi sama adil, memotong sama panjang, “ demikian pepatah orang bijak terkait berbuat adil.  Meski hanya empat huruf, tetapi melakukan perbuatan adil bukanlah pekerjaan ringan. Hatta, berlaku adil kepada anak-anak kita.

Tak sedikit para orang tua lebih condong hatinya kepada salah satu anaknya sehingga terkesan ‘mengistimewakan perlakuan’ terhadap salah satu anaknya.

Tak ayal, hal ini akan menimbulkan kecemburuan dan kedengkian diantara anak-anak yang lainnya.

Adil berasal dari kata Al-‘Adl artinya Maha Adil. Al-‘Adl bearasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Tak bisa dipungkiri, hanya Allah Subhanahu Wata’ala saja yang bisa berlaku adil.

Sedang hati manusia cenderung berobah. Termasuk perlakukan orang tua kepada anak-anaknya. Hal ini sangat manusiawi.

Nabi Ya’qub Alaihis salam sendiri lebih sayang dan cinta kepada putranya, Yusuf daripada saudara-saudaranya yang lain. Namun perasaan sayang kepada Yusuf diantara anak-anak beliau yang lain itu hanya beliau simpan di dalam hati dan tidak ditunjukkan dalam perlakuan khusus diantara anak-anak beliau.

Al-Qur’an menceritakan perihal Yusuf ketika ia menceritakan sebuah mimpi kepada ayahnya, Ya’qub alaihissalam;

إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku“. (Qs. Yusuf : 4)

Nabi Ya’qub sadar bahwa ini adalah pertanda sebuah keistimewaan yang bakal Allah anugerahkan kepada Yusuf, putra kesayangannya tersebut. Alih-alih segera memberi tahu ta’wil mimpi tersebut, Nabi Ya’qub malah lebih dahulu berpesan kepada Yusuf agar tidak menceritakan mimpi tersebut kepada saudara-saudaranya yang lain agar tidak timbul rasa dengki di hati mereka.

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf : 5)

Nabi Ya’qub lebih mendahulukan yang lebih penting dari yang penting yaitu berpesan kepada Yusuf untuk tidak menceritakan mimpi tersebut kepada saudara-saudaranya yang lain agar tidak memunculkan kecemburuan dan kedengkian di hati mereka, baru kemudian beliau menafsirkan arti dari mimpi tersebut (Qs. Yusuf : 6)

Memang tidak mungkin seseorang memiliki rasa kasih sayang yang sama di dalam hati terhadap anak-anaknya. Tentunya ada salah satu anak yang lebih ia sayangi dari yang lainnya.

Namun hal itu tidak ada masalah dan tidak ada dosa baginya selama ia bisa berbuat adil dalam perlakuan dzahir terhadap anak-anaknya. Ia harus berlaku adil dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya termasuk juga dalam memberi ciuman untuk anak-anaknya, menampakkan senyum dan wajah yang berseri-seri kepada mereka semua tanpa membedakan satu dari yang lainnya.

Itulah sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh Sahabat beliau Basyir bin Sa’ad Al-Anshory untuk berlaku adil terhadap seluruh anak-anaknya saat ia lebih mengutamakan putranya yang bernama Nu’man dari saudara-saudaranya. Nu’man bin Basyir menceritakan ;

تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ

“Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku ‘Amrah binti Rawahah berkata, “Saya tidak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksinya.”

Setelah itu saya bersama ayahku pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahukan pemberian ayahku kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada anak-anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu. Kemudian ayahku pulang dan meminta kembali pemberiannya itu.” (HR. Muslim: 3055)

Memang berbuat adil itu tidak mudah.  Apalagi menyamaratakan semua anak dalam kasih sayang hati adalah sesuatu yang sulit. Adapun dalam perkara pemberian, Islam menggariskan bahwa orang tua harus berbuat adil,  dan harus memberi bagian yang sama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ

“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut. [HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 12.003].*/Imron Mahmud

 

HIDAYATULLAH

Berjuang Keras untuk Satu Isteri

Saya teringat sebuah dialog dengan “Sang Direktur” di salah satu instansi, dia memiliki posisi yang cukup strategis, dan cukup basah kata kebanyakan orang. Kami bersilaturahim ke rumah beliau dan isterinya, obrolan pun mengalir hangat dan sangat penuh kekeluargaan.

“Sudah makan malam belum nih, aku siapkan ya?” ujar sang isteri.

“Tidak usah Bu, 15 menit yang lalu kami barusan makan malam di Warung Lawu!” balasku.

“Ah, Warung Lawu! Kok mau sih makan di restauran itu?” tanyanya gemas.

“Memangnya kenapa bu, haram?” tanyaku penasaran.

“Kita sih ibu-ibu di sini udah pada boikot itu restauran, karena yang punya itu restauran ‘doyan isteri banyak’! Wah enggak bakalan deh makan di situ lagi!” Sambil tertawa renyah dan Sang Direktur mengiyakan isterinya dengan tersenyum manis.

Tak disangka dialog semakin hangat dan mengalir ke sisi perilaku umum para pejabat di instansi Sang Direktur berkantor, dimana terdengar, banyak dari pekerja ataupun pejabat yang melakukan hubungan tak wajar. Mereka dengan mudahnya menyebut si fulan ini, si fulan itu punya simpanan di sana-sini di luar nikah, entah dengan wanita tuna susila, dengan karyawatinya atau pun rekan selingkuhan. Isteri sang direktur itu sangat antusias menceritakan kasus “mereka”, dan ibarat nara sumber lah sang isteri tersebut, sambil diikuti tawa dan senyum dari suaminya layaknya suami setia di samping isterinya. Di sisi lain hatiku menolak melanjutkan pembicaraan semacam ini, “tidak ada manfaatnya dan hatiku gerah,” gumamku.

“Kalau saya gimana, ibu yakin enggak?” Tanya Sang Direktur kepada istrinya.

“Kalau saya sih yakin sekali suamiku tak begitu loh. Bapak sudah berkali-kali ikrar untuk enggak kayak gitu kan”. sambil mereka berdua saling berpegang tangan mesra, begitu pun sambutan suaminya dengan senyuman.

Beberapa minggu menjelang, aku bertemu dengan seorang rekan usaha. Sewaktu kami sedang asyik ngobrol, tiba tiba rekanku itu menerima telepon,

“Pak Fulan, apa kabar …?” Jawabnya, dan berlanjut dengan obrolan urusan pekerjaan.

Di akhir pembicaraan, di seberang telepon terdengar, “mas, tolong dikirimkan ‘yang biasa’ ke hotel ini, rang saya di …., sekarang ya! lagi lelah dan tegangan tinggi nih! Saya enggak kuat nahannya. Ya sekitar jam 11 malam deh, aku tunggu ya …? Pintanya”.

“Siap Pak, beres semuanya.” ujar rekanku sambil menutup pembicaraan teleponnya.

Aku merasa kenal dengan sebutan nama yang menelepon rekanku itu, tak sabar aku bertanya, “itu pak Fulan si Sang Direktur?” tanyaku.

“Betul, dia memang selalu minta gituan kalau sedang di sini, gue nih yang jadi repot nyariin ‘yang Biasa’ nya,” ujar rekanku.

Terbayang olehku bagaimana wajah isterinya yang begitu sangat yakin atas kesetiaan Sang Direktur. Tak di sangka bahwa “Sang Direktur” termasuk salah satu pelaku dari pergaulan ilegal. Aku segera tutup masalahnya, dan berlalu dari rekanku tadi.

 

 

Lain lagi cerita klien bisnisku yang lain. Dan aku yakin dengan mata kepalaku sendiri, dia selalu berujar kepadaku pada dua atau tiga kali kunjungan ke luar kota atau pun ke luar negeri bilamana bersama dengannya, “Aduh gue tak tahan nih, gue harus nyari nih. Gue pusing kalau di luar kota gini, mau bertualang ah! Mungkin orang jepang, asyik kali ya, beda rasanya nih, atau mungkin orang Itali asyik ya,” begitu seterusnya. Dan itu selalu ia realisasikan pada penghujung malamnya, kutahu setelah dia bercerita pada keesokan paginya.

Hatiku perih bilamana mendengar itu, dan sesekali kuucapkan Astagfirullah, Ya Allah tolong jagalah jiwa ini dari godaan seperti itu…, karena kuakui celotehan tersebut bilamana tidak kita waspadai akan bisa menyeretku ke arah tersebut. Dan aku berjuang keras untuk itu.

Kuakui kondisi tersebut menjadi suatu pembicaraan umum di kalangan para pebisnis atau eksekutif di kota ini. Bukan saja hal itu terjadi di kantor Sang Direktur atau rekanku saja, tetapi banyak cerita pula yang terjadi di perkantoran lainnya. Dunia semakin aneh, gumamku. Tapi aku masih optimis bahwa kejadian seperti di atas belum menjadi mayoritas perilaku para eksekutif di negeri ini, kuharap …

Jadi siapa yang seharusnya kita benci dan boikot? Warung Lawu dengan beberapa isterinya, yang meraihnya dengan cara yang halal, atau lelaki seperti Sang Direktur atau rekanku tersebut?

Akhirnya aku mencoba menelaah apa yang terjadi. Aku buka Alquran dan beberapa buku literatur, akhirnya kudapat sebuah jawaban, sesungguhnya Allah paling mengetahui karakter ciptaan-Nya, prinsipnya kaum adam itu mempunyai potensi dan hasrat yang kuat untuk pemenuhan psikologis terhadap wanita. Mereka juga butuh kasih sayang lebih dari kaum hawa. Terlebih itu kaum adam memiliki energi yang sangat kuat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya terhadap wanita. Semakin banyak semakin indah, itulah syahwat kaum adam berbicara. Nah, permasalahannya adalah bagaimana caranya untuk melampiaskan kebutuhan tersebut.

Hanya ada dua pilihan yang baik pikirku saat ini. Pertama, poligami yang halal, syariat memperbolehkan hingga memiliki empat isteri, tetapi ada dampak sosial yang saat ini masih menjadi kendala dan masih diributkan. Apalagi yang mempermasalahkan kebanyakan dari kaum hawa. Dan pilihan kedua, adalah berjuang keras untuk tetap beristeri satu , dengan alasan khawatir tidak adil, dampak sosial yang berat, atau hal lainnya.

Semua pilihan di atas pastilah tetap membutuhkan perjuangan. Bagi yang memilih poligami, dia harus berjuang untuk membahagiakan isteri-isterinya, menghadapi tantangan dampak sosialnya, harus berlaku adil, memperkuat ekonominya, memperkokoh silaturahim antar keluarga besar, dan itu semua butuh kerja keras dan berjuang pula. Selain itu memastikan bahwa poligami bukanlah menjadi penghalang perjuangan amal soleh tetapi justru menjadi penyokong gerakan amal solehnya.

Begitupun untuk alternatif kedua, yang berjuang keras untuk tetap beristeri satu. Hal ini pun butuh perjuangan yang tidak ringan, untuk menahan potensi kebutuhan psikologis maupun biologisnya untuk isteri lebih dari satu. Perjuangan untuk menekan keinginan hatinya, selalu menjaga dan mempertahankan kesetiaan, menutup celah godaan, dan menekan potensi kesenangan yang dihalalkan. Berjuang untuk membahagiakan seorang isteri dan anak-anaknya, dan banyak perjuangan lainnya yang tak bisa diutarakan di sini.

Nah, buat para kaum hawa yang memiliki suami seperti alternatif yang kedua ini, dan saya yakin makhluk seperti ini masih banyak tersebar di bumi ini, bersyukurlah. Hargailah suamimu, sayangi dan dukunglah suamimu sepenuh hati, hormati dia atas perjuangan kerasnya untuk memilih hanya seorang isteri di hatinya.

(Untuk seorang wanita yang mendampingiku hingga saat ini, adalah sebuah karunia-NYA yang indah dan telah diamanatkan kepadaku, seorang kekasih yang belum pernah sekali pun memperlihatkan wajah masam, atau amarah padaku sejak kita mengikat janji untuk mengarungi perjuangan kehidupan yang singkat ini. Terimakasih ya dukungannya, and All the praises and thanks be to Allah)

Oleh : Zidni T. Dinan

 

ERA MUSLIM

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Kisah Foto Mengharukan: Anak Peluk Hangat Ayah nan Renta

GARA-gara pemandangan di depannya, pegawai negeri sipil itu nyaris menangis dalam perjalanan di atas kereta api. Cerita bermula dari “pertemuannya” dengan seorang kakek renta di ruang tunggu penumpang Stasiun Jenar Purworejo, Jawa Tengah.

Ia melihat kakek yang ditaksir berusia 75-80 tahun itu datang untuk duduk di ruang tunggu dengan dipapah oleh anaknya, diperkirakan berumur 50 tahun.

Ternyata kemudian, pagi itu, ia dan dua orang yang disebut bapak-anak itu satu perjalanan di atas Kereta Api Prambanan Ekspress (KA Prameks) relasi Kutoarjo-Solo. Ia kebagian tempat duduk di depan keduanya, sehingga bisa melihat secara dekat dan jelas aktivitas mereka.

“Saat itu belum terbersit sesuatu yang istimewa dari apa yang ada di depan saya,” ungkap Restoris A Fatiha, nama pria itu, saat mengobrol dengan hidayatullah.com, Jumat, 27 Oktober 2017.

Singkat cerita, pandangan Restoris terus tertuju ke arah kedua penumpang “istimewa” di depannya. Ia melihat kakek itu tidak memakai alas kaki, hanya menggunakan kaos kaki.

Di dalam kereta, dua penumpang “istimewa” itu duduk berdampingan kursi. Sejurus kemudian, sekitar pukul 06.20 WIB, tiba-tiba kakek itu mengubah posisi duduknya. Ia bersandar dan berbaring di dada dan paha anak yang duduk di sisi kirinya. Kedua tangan dan kakinya dilipat, dirapatkan karena sempitnya kursi.

Seketika itu pula anaknya yang baru menerima panggilan telepon memeluk orangtua itu dengan tangan kanannya. Selesai menelepon, ia pun memeluk dengan kedua tangannya. Kehangatan itu seperti orangtua yang sedang memeluk anak yang masih kecil.

“Momen yang bikin saya terenyuh dan terharu dan berpikiran untuk mengabadikan,” ungkap PNS di Pemerintah Kabupaten Kulon Progo ini. “Saya melihat sesuatu yang membuat hati saya langsung merindukan orangtuaku, langsung membuat ‘trenyuh’ dan rasanya pengenmeneteskan air mata.”

Episode keharuan itu bertambah saat pemandangan lain tertangkap oleh pandangan mata dan perasaan Restoris, masih dalam perjalanan itu.

“Awalnya saya cuma fokus untuk ambil gambar si anak dan si bapak tersebut,” tuturnya. “Tapi tiba-tiba pandangan saya juga tertarik pada kursi di sebelah beliau yang saat itu saya lihat (duduk) seorang bapak dan ibu sedang bercanda, gurau dengan cucunya.”

Pria 30 tahun ini tak sendirian hanyut dalam suasana “bawa perasaan”. Pemandangan di depannya juga mengundang “baper” banyak kalangan warga bahkan yang nun jauh darinya.

Pasalnya, momentum keakraban dua keluarga itu ia abadikan dengan kamera di genggamannya. Lalu, 30-60 menit kemudian, akunya, foto-foto kisah penuh kasih itu diunggahnya ke akun medsosnya di Facebook, pada hari “istimewa” itu, Rabu, 18 Oktober 2017.

Sontak saja, para pengguna media sosial dibikin terenyuh oleh kiriman Restoris berupa foto dan tulisannya. Jagat dunia maya mengharu biru. Sudah sepekan lebih kehangatannya masih terasa hingga kini, dibicarakan dan disyiarkan di berbagai media sosial, termasuk aplikasi berbagi foto, Instagram.

Pengamatan hidayatullah.com, kehangatan dua keluarga tersebut memang begitu menyentuh perasaan. Sebagaimana foto unggahan Restoris, di sisi kanan ada sepasang pria dan wanita berjilbab –tampaknya suami-istri–begitu akrab dengan seorang bocah laki mungkin anak atau cucunya. Tatapan ketiganya sama-sama mengarah pada sebuah telepon genggam, dengan raut wajah terlihat penuh senyum dan keceriaan. Melambangkan kebahagiaan.

Sementara di sisi kiri, seorang pria merangkul hangat orangtua berpeci yang wajahnya terlihat sudah mengerut. Kedua manusia beda generasi itu seakan berbicara dari hati ke hati. Melambangkan kedekatan, kesetiaan.

Sedangkan para penumpang lain tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Drama itu menampilkan siklus nilai-nilai kemanusiaan yang rasa-rasanya sudah jadi barang langka di era modern saat ini; anak menyayangi orangtua dan orangtua mengakrabi anak.

Widya Restianda, salah satu warganet, menggambarkan foto itu dengan sebuah komentar pada unggahan tersebut:

“Foto yang kanan seperti flashbacknya si bapak yang fotonya sebelah kiri, ketika dia dipeluk bapaknya dan diajak bercanda oleh bapak ketika ada maknya juga. Dan sekarang tinggal dia sama bapaknya dan sekarang giliran si bapak itu pula yang memeluk bapaknya. Sebuah ‘kebetulan’ yang luar biasa. MasyaAllah.”

“Saat itu pula saya teringat masa kecil saya. Dan terbayang bahwa ini seperti sebuah siklus kasih sayang. Dirawat dan kemudian merawat,” ungkap Restoris.

 

“Sayangi Orangtuamu”

Tapi ada yang ia sayangkan. “Saya belum sempat ngobrol dengan beliau-beliau yang ada di foto. Cuma sesekali terdengar obrolan antara si bapak yang memeluk anaknya dengan yang bapak dan ibu yang bawa cucu itu.”

“Sepertinya mereka akan pergi ke Jogja/Solo untuk berobat/kontrol. Biasanya mereka naik bis, tapi ini mereka baru sekali nyoba pakai kereta api Prameks. (Tentang) itu yang samar-samar saya dengar dari percakapan (mereka),” ungkapnya.

Ia terpaksa berpisah dengan para penumpang “istimewa” itu karena ia harus segera turun di Stasiun Wates dan berganti kereta tujuan Jakarta.

Jadinya, penumpang- penumpang itu sejauh ini belum ia ketahui identitasnya. Yang pasti, pesan-pesan moral tentang berkasih sayang dalam keluarga sudah menyebar luas di dunia siber.

Termasuk yang ia sampaikan kepada para pembaca:

“Sayangilah orang tuamu, sebagaimana orang tuamu menyayangimu, membesarkanmu, mendidikmu, dan merawatmu dgn sepenuh hati…

Sungguh pemandangan yg sangat sederhana ini mampu menggugah hati dan mengingatkan kita sebagai seorang anak untuk selalu menyayangi dan mencintai orang tua kita walaupun dgn cara yg sederhana…. -RAF-.”

Pesan-pesan itu, pantauan hidayatullah.com hingga Sabtu  (28/10/2017) malam sekitar pukul 20.00 WIB, setidaknya sudah 7.381 kali dibagikan dan diganjar 15 ribu tanggapan positif dan apresiatif.

“Sedih, Mas, bacanya. Semoga nanti saya bisa seperti itu,” komentar Ananta Putra Achmad.

“Ya Allah beri hamba kekuatan dan kemampuan untuk selalu membahagiakan orangtua saya di dunia dan akhirat,” tulis Iwan Hermansyah.*

 

HIDAYATULLAH

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Rumah Tangga Kekurangan Seks Itu Berbahaya

ULAMA salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.”

Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Hubungan intim menurut Islam termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima yang halal juga merupakan ibadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.

Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.

 

MOZAIK