Di masa terjadinya wabah SARS-CoV-2 ini, kita dapati sebagian orang yang bersikap cuek dan biasa-biasa tidak mau mengikuti saran dan himbauan pemerintah dan tenaga kesehatan untuk melakukan usaha-usaha pencegahan, berdalih dengan itulah yang sesuai dengan konsep tawakkal kepada Allah Ta’ala.
Sikap seperti ini sungguh kita sayangkan, karena telah berbicara dalam perkara agama tanpa ilmu, yang bisa jadi itu lebih berbahaya dari wabah SARS-CoV-2 itu sendiri. Artikel singkat ini akan mengulas sedikit bagaimana mendudukkan tawakkal yang benar ketika terjadi wabah.
Kita Tetap Diperintahkan untuk Berusaha
Ketika sakit, syariat memerintahkan kita untuk berobat, bukan hanya pasrah saja kepada takdir, tanpa merasa perlu berbuat apa-apa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، الْهَرَمُ
“Wahai sekalian hamba Allah, berobatlah! Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali penyakit tua (pikun).” (HR. Tirmidzi no. 2038 dan Abu Dawud no. 3855, shahih)
Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihu wa sallam memerintahkan untuk memisahkan dan tidak mencampur antara hewan yang sakit dengan hewan yang sehat. Hal ini bertujuan agar hewan-hewan yang sehat tersebut tidak tertular dengan hewan yang sakit. Dengan perkataan lain, agar hewan yang masih sehat itu tidak ikut-ikutan sakit, si pemilik hewan harus melakukan tindakan (sebab atau usaha) tertentu dan tidak hanya pasrah saja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ
“Janganlah mengumpulkan unta yang sakit dengan unta yang sehat.” (HR. Bukhari no. 5774 dan Muslim no. 2221)
Khusus berkaitan dengan penyakit menular, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang terkena kusta, sebagaimana Engkau lari dari singa.” (HR. Ahmad no. 9722, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 783)
Hadits di atas jelas menunjukkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita menghindarkan diri dari penyakit menular, bukan malah sengaja mendatanginya. Apakah kita berani mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kurang rasa tawakkalnya kepada Allah Ta’ala?
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk berobat,
وَفِي الْأَحَادِيثِ الصّحِيحَةِ الْأَمْرُ بِالتّدَاوِي وَأَنّهُ لَا يُنَافِي التّوَكّلَ كَمَا لَا يُنَافِيهِ دَفْعُ دَاءِ الْجَوْعِ وَالْعَطَشِ وَالْحَرّ وَالْبَرْدِ بِأَضْدَادِهَا بَلْ لَا تَتِمّ حَقِيقَةُ التّوْحِيدِ إلّا بِمُبَاشَرَةِ الْأَسْبَابِ الّتِي نَصَبَهَا اللّهُ مُقْتَضَيَاتٍ لِمُسَبّبَاتِهَا قَدَرًا وَشَرْعًا
“Dalam hadits-hadits shahih di atas terdapat perintah untuk berobat. Berobat tidak bertentangan dengan tawakkal, sebagaimana menghilangkan rasa haus, lapar, panas, atau dingin dengan lawannya juga tidak bertentangan dengan tawakkal. Bahkan, hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang telah Allah Ta’ala tetapkan bisa mewujudkan musabbab menurut syariat dan realita.“ (Zaadul Ma’aad, 4: 14)
Dalam masalah ini, yang dimaksud dengan “sebab” adalah “berobat”; sedangkan yang dimaksud dengan “musabbab” adalah “kesembuhan”.
Dalam masa wabah ini, kita pun diperintahkan untuk melakukan usaha-usaha berobat (kalau sudah terkena penyakit) atau melakukan usaha-usaha pencegahan (kalau belum terkena penyakit). Ketika terbukti bahwa wabah SARS-CoV-2 ini menyebar melalui droplet (percikan ketika seseorang berbicara, bersin, atau batuk), aerosols (partikel yang melayang di udara), kontak dengan penderita melalui jarak dekat (close contacts), atau fomites (partikel virus yang menempel di benda-benda yang disentuh oleh penderita), maka para ulama pun memfatwakan untuk boleh shalat lima waktu di rumah atau bahkan dilarang untuk shalat lima waktu dan shalat jum’at di masjid. Semua ini adalah usaha yang bisa dilakukan sesuai dengan penelitian medis di bidang ini. Hal ini pun sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kami sebutkan sebelumnya,
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang terkena kusta, sebagaimana Engkau lari dari singa.” (HR. Ahmad no. 9722, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 783)
Sayangnya, sebagian orang menyindir dan mencaci fatwa-fatwa tersebut, seolah-olah bertentangan dengan sikap tawakkal kepada Allah Ta’ala. Padahal, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas, tauhid tidaklah sempurna kecuali seseorang itu melakukan sebab-sebab (usaha) yang diizinkan oleh syariat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang bersandar kepada Allah Ta’ala saja tanpa mau melakukan sebab (usaha tertentu), maka hal ini merupakan celaan terhadap hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala menjadikan sebab untuk segala sesuatu. Allah adalah Dzat Yang Maha bijaksana. Allah Ta’ala mengaitkan sebab dengan akibat (musabbab-nya). Hal ini sebagaimana orang yang bersandar kepada Allah untuk memiliki anak, namun dia tidak mau menikah. (Al-Qaulul Mufiid, 2: 28)
Orang yang tidak mau berusaha, berarti tidak menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya. Bagaimana tidak, dia ingin pintar, tapi tidak mau berusaha belajar. Atau ingin mendapatkan harta, tapi tidak mau bekerja mencari nafkah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وَلِهَذَا قَالَ طَائِفَة من الْعلمَاء الِالْتِفَات إِلَى الْأَسْبَاب شرك فِي التَّوْحِيد ومحو الْأَسْبَاب أَن تكون أسبابا نقص فِي الْعقل والإعراض عَن الْأَسْبَاب بِالْكُلِّيَّةِ قدح فِي الشَّرْع وَإِنَّمَا التَّوَكُّل الْمَأْمُور بِهِ مَا يجْتَمع فِيهِ مقتضي التَّوْحِيد وَالْعقل وَالشَّرْع
“Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa hanya bersandar kepada sebab itu adalah syirik (yang bertentangan) dengan tauhid. Dan menihilkan sebab (yang berpengaruh) itu menunjukkan kurangnya akal. Tidak mau menempuh sebab (tidak mau berusaha sama sekali) itu menunjukkan celaan terhadap syariat (karena syariat memerintahkan untuk berusaha, pent.). Sehingga tawakkal yang diperintahkan itu adalah yang mengumpulkan konsekuensi tauhid, akal, dan syariat.” (Amraadhul Quluub, hal. 52)
Selain itu, orang-orang yang tidak berusaha mencegah terjadi perluasan wilayah wabah, bisa jadi telah menjerumuskan dirinya sendiri dan orang lain ke dalam kebinasaan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Hati Tetap Bersandar dan Pasrah kepada Allah Ta’ala
Setelah manusia melakukan sebab-sebab tertentu, kewajiban manusia yang tidak bisa diabaikan adalah menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala, bahwa Allah yang menciptakan sebab-sebab tersebut. Bisa saja, setelah kita berusaha semaksimal mungkin sebatas kemampuan kita sebagai manusia, Allah tidak mengabulkannya sesuai dengan hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ ۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kami, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107)
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. Tirmidzi no. 2516, shahih)
Lihatlah bagaimana kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, yang Allah Ta’ala selamatkan ketika akan dibakar dengan api. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. Al-Anbiya’: 68)
Raja Namrud telah mengambil usaha yang benar, yaitu menggunakan api ketika ingin membakar Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, dan tidak mencari air, atau debu, atau sebab yang lain. Akan tetapi, Namrud lupa bahwa Allah-lah yang menciptakan api dan Allah bisa saja mengubah api yang harusnya membakar, berubah menjadi api yang dingin dan menyejukkan.
Berkaitan dengan masalah penyakit, Allah-lah Dzat yang menyembuhkan. Adapun manusia, diperintahkan untuk berusaha berobat semaksimal mungkin yang mereka mampu lakukan. Sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk sahabatnya yang sedang sakit,
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ البَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Engkaulah Asy-Syaafi (Dzat Yang menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Bukhari no. 5675 dan Muslim no. 2191)
Ciri manusia yang sangat bergantung pada diri dan usahanya, dan melupakan Pencipta sebab (yaitu Allah Ta’ala) adalah dia sangat kecewa atau marah ketika dia gagal, padahal sudah merasa berusaha semaksimal mungkin dengan melakukan semua yang bisa dia lakukan.
Oleh karena itu, di sinilah peran ustadz atau kyai, bahkan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, untuk senantiasa mengajak kaum muslimin mengingat Allah Ta’ala, setelah berusaha semaksimal mungkin mematuhi himbauan prosedur-prosedur pencegahan dari terkena wabah.
Empat Golongan Manusia dalam Masalah Tawakkal
Berdasarkan uraian di atas, ada empat golongan manusia dalam masalah tawakkal:
Pertama, orang yang bergantung pada sebab dan usaha secara total, sama sekali tidak memiliki iman pada Rabb semesta alam, sang Pencipta sebab tersebut. Inilah “tawakkal” yang dianut oleh ‘aqlaniyyin (para pemuja akal), komunis, ateis, dan materialistis. Ini adalah sikap tawakal yang keliru.
Kedua, orang yang meninggalkan sebab dan usaha secara total alias pasrah secara totalitas. Mereka menyerahkan urusan hanya kepada Allah Ta’ala, namun tidak ada mau berusaha dan tidak mau mengambil sebab sama sekali. Inilah tawakkal ala kaum sufi. Ini juga tawakal yang keliru.
Dalam situasi wabah ini, kita dapati perkataan-perkataan sebagian orang, “Tidak perlu takut keluar rumah, shalat jamaah di masjid, atau melakukan pencegahan ini dan itu. Kalau memang ditakdirkan hidup ya hidup, kalau ditakdirkan mati ya mati.”
Ketiga, orang yang berkeyakinan bahwa sebab dan usaha itu sebetulnya tidak ada pengaruhnya sama sekali. Namun, terkadang mereka masih mau melakukan usaha. Ini adalah tawakkal ala Jabriyyah. Ini juga sikap tawakal yang keliru.
Keempat, orang yang mengusahakan sebab dan usaha lahiriyyah dengan anggota badan, namun hati bergantung penuh dan pasrah secara totalitas kepada Allah Ta’ala, bukan kepada sebab yang dia usahakan dengan anggota badannya. Dan meyakini bahwa setiap takdir telah Allah jadikan sebab-sebabnya. Inilah sikap tawakal yang benar, yang merupakan keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah. [1]
Berkaitan dengan masalah wabah ini, termasuk yang manakah kita?
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55347-mendudukkan-bagaimanakah-tawakkal-yang-benar-ketika-terjadi-wabah.html