Berobat dengan Bersedekah (1)

AL-ASWAD bin Yazid meriwayatkan dari Abdullah, ia berkata, “Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda: ‘Obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah, bentengilah harta kalian dengan zakat, dan siapkanlah doa untuk menghadapi musibah.“‘ (HR Baihaqi)

Hadits tersebut merupakan nash yang menyebutkan sedekah merupakan salah satu media pengobatan dan penyembuhan atas izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kata-kata tersebut diungkapkan oleh orang yang ma’shum yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu.

Ibnul Qayyim berkata, “Setiap dokter yang tidak mengobati pasiennya dengan memeriksa hati, kebaikan, kekuatan ruhani, dan tidak menguatkan itu semua dengan sedekah, berbuat kebaikan dan kebajikan serta kembali kepada Allah dan hari akhir, berarti ia bukan dokter sejati. Akan tetapi, seseorang yang baru belajar menjadi dokter.”

Sedekah bisa menghilangkan penyakit setelah terjangkit dan akan mencegahnya sebelum terjangkit. Ulama fikih dan dokter mengatakan bahwa tindakan pencegahan lebih mudah daripada pengobatan. Karena itu, mencegah sesuatu sebelum terjadi jauh lebih mudah daripada menghilangkannya setelah terjadi.

Pencegahan lebih berguna daripada pengobatan untuk menghilangkan penyakit. Atas dasar ini, obat yang mampu menghilangkan penyakit ialah obat yang dijadikan Allah mampu mencegah terjadinya penyakit itu. Sedekah bisa mencegah penyakit, sebagaimana juga bisa menghilangkan penyakit dengan izin Allah.

Dari titik tolak inilah seharusnya orang menaruh perhatian untuk suatu masalah penting, yakni seorang mukmin tidak bermualamah dengan Allah dalam bentuk coba-coba. Bila berhasil mendapatkan yang dikehendaki akan selalu dan konsisten melakukannya, sementara bila tidak berhasil akan melemah dan berhenti.

Orang mukmin haruslah bermuamalah dengan Rabbnya dengan keyakinan yang kuat, kepercayaan, dan tawakal yang benar, serta berbaik sangka kepada Allah. Allah berfirman dalam hadits qudsi:

Aku berada pada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.

 

*/Hasan bin Ahmad Hamma et.al., dalam bukunya Terapi dengan Ibadah.

HIDAYATULLAH

Di Hati Mukmin Ada Delapan Karunia Allah

ALLAH memberikan delapan karunia ke hati seorang mukmin. Apa saja karunia itu?

1. Kehidupan

“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami Hidupkan dan Kami Beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?” (Al-Anam 122)

2. Kesembuhan

“Serta melegakan (menyembuhkan) hati orang-orang yang beriman.” (At-Taubah 14)

3. Hidayah

“Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (At-Taghabun 11)

4. Keimanan

“Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan.” (Al-Mujadalah 22)

5. Ketenangan

“Dia-lah yang telah Menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang Mukmin.” (Al-Fath 4)

6. Cinta Keimanan

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat 7)

7. Kesatuan Hati

“Dan Dia (Allah) yang Mempersatukan hati mereka (orang yang beriman).”(Al-Anfal 63)

8. Ketenteraman

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Rad 28). [IslamIndonesia]

 

MOZAIK

Mengapa Zakir Naik Diburu di India?

Ulama India ini memiliki 16 juta pengikut di Facebook dan 150 ribu di Twitter. Ia pun telah memberikan 4.000 kuliah tentang Islam di seluruh dunia. Namun,  pria yang juga dai internasional ini sedang diburu oleh otoritas India.

Dia adalah Zakir Naik atau nama lengkapnya Dr Zakir Abdul Karim Naik. Persoalan yang mengaitkan Zakir Naik, bermula pada musim panas tahun lalu setelah otoritas di Bangladesh menyebut salah satu pelaku penyerangan di Dhaka terinspirasi oleh Naik. Serangan bersenjata itu menewaskan 22 orang.

Seperti dikutip Aljazirah, otoritas Bangladesh merespons dengan melarang Peace TV. Saluran TV yang disiarkan dari Dubai ini didirikan Zakir Naik pada 2006. Dikabarkan ada 100 juta pasang mata yang menyaksikan siaran itu di seluruh dunia.

Dalam pernyataannya, dai berusia 51 tahun ini, membantah mendukung aksi kekerasan. “Membunuh orang berdosa merupakan dosa kedua terbesar bagi Islam,” ujarnya.

Pada November 2016, Badan Kontraterorisme India (NIA) mengajukan laporan awal yang menyudutkan Naik dan badan nonprofit yang didirikannya, Islamic Research Foundation (IRF). Zakir Naik dituduh terlibat dalam kegiatan melanggar hukum dan mempromosikan kebencian agama. Pemerintah nasionalis Hindu, India, Narendra Modi merespons dengan melarang aktivitas IRF selama lima tahun berdasarkan UU Antiteror.

Pengacara Zakir Naik, Mubeen Solkar mengatakan kepada Aljazirah, ia akan menggugat larangan tersebut di pengadilan. “Kita memiliki bukti nyata bahwa larangan ini tak hanya ilegal tapi juga tak adil,” ujarnya.

Direktorat Penindakan India menuduh IRF melakukan tindakan pencucian uang. Semua properti IRF di Mumbai juga telah ditutup. Lembaga pendidikan Naik juga dilarang untuk memperoleh dana dari luar negeri.

Solkar membantah, kliennya terlibat dalam pencucian uang. “Semua transaksi dilakukan lewat bank dan saluran-saluran resmi,” ujarnya.

Naik tidak pulang ke India sejak Juli lalu. Belum diketahui di mana ia berada saat ini. Laporan teranyar menyebut ia telah mendapat kewarganegaraan dari Saudi. Namun belum ada informasi resmi ihwal laporan tersebut.

 

Dikutip dari REPUBLIKA

 

Segalanya mengenai Zakir Naik, silakan cari di olom Pencarian dengan keyword Zakir Naik.

Dalam Naungan Islam Semua Orang Bersaudara

UKHWA dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat. Oleh karenanya, tidak ada golongan manusia yang lebih tinggi daripada golongan yang lain. Harta, kedudukan, keturunan, status sosial, atau apa pun, tidak boleh menjadi penyebab sombongnya manusia atas manusia yang lain.

Pemerintah adalah saudara rakyat, sebagaimana termaktub dalam hadist Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam,

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian sukai dan mereka menyukai kalian, kalian selalu mendoakan mereka dan mereka pun selalu mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka juga membenci kalian, kalian mencela mereka dan mereka pun mencela kalian.” (HR. Muslim)

“Tuan” adalah saudara bagi hamba sahaya, meskipun kondisi khusus kadang-kadang memaksa sahayanya untuk berada di bawah kekuasaannya.

Dalam hadist sahih, Nabi bersabda,

“Saudara-saudara kalian adalah para pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka berada di bawah kekuasaan kalian. Jika Allah berkehendak, maka Ia akan menjadikan kalian di bawah kekuasaan mereka. Barangsiapa saudaranya berada di bawah kekuasaannya, maka hendaklah memberi makan kepadanya sebagaimana ia makan, memberi pakaian kepadannya sebagaimana ia berpakaian, dan janganlah kalian memaksa mereka mengerjakan suatu pekerjaan yang mereka tidak mampu. Jika kalian memaksa mereka juga, maka bantulah mereka itu.” (HR. Mutafaq alaih)

Orang-orang kaya, orang-orang miskin, para buruh, karyawan, dan orang-orang yang disewa adalah bersaudara. Oleh karena itu, tidak ada peluang bagi mereka dalam naungan ajaran Islam untuk terjadinya konflik sosial atau dendam golongan.

Dalam masyarakat Islam tidak terdapat kasta-kasta, sebagaimana dikenal dalam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Di sana golongan cendekiawan, para penunggang kuda, para uskup, dan orang-orang tertentu lainnya, adalah yang berhak menentukan nilai, tradisi, dan hukum yang berlaku.

Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa yang memiliki sekolompok tertentu berhak menentukan dan mengendalikan garis ideologi bangsa tersebut, hukum-hukumnya, serta sistem sosial dalam kehidupan masyarakatnya, misalnya negara India.

Memang, dalam masyarakat Islam terdapat orang-orang kaya. Akan tetapi, mereka tidak membentuk kolompok tersendiri yang mewariskan kekayaannnya. Mereka adalah individu-individu biasa seperti lainnya. Si kaya pun, suatu saat bisa saja menjadi miskin, dan si miskin bisa juga tiba-tiba menjadi kaya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan.” (QS. Al- Insyirah: 5)

Dalam Islam memang ada ulama. Namun mereka tidak membentuk golongan yang mewarisi tugas tersebut. Tugas itu terbuka bagi siapa saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang keilmuan dan studi. Dia bukan merupakan tugas kependetaan, seperti yang dilakukan para pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan tugas mengajar, dakwah, dan memberi fatwa. Mereka adalah ulama, bukan pendeta.

Allah berfirman kepada Rasul-nya SAW, sebagaimana berikut,

Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21-22)

Bagaimana dengan pewarisnya para ulama ? Sesungguhnya mereka itu bukanlah yang menguasai atau memaksa manusia, tetapi mereka adalah mengajar dan pemberi peringatan.

 

*/Sudirman STAIL (sumber buku Masyarakat Berbasis Syariat Islam, penulis Dr. Yusuf Qardhawi)

HIDAYATULLAH

Tauhid sebagai Prinsip Agama Islam

TAUHID merupakan prinsip agama. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tak menerima agama, baik dari orang pertama maupun terakhir di dunia ini, tanpa prinsip tersebut. Karena itu,  Allah SWT mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, ‘Adakah Kami menentukan ilah-ilah untuk disembah, kecuali Allah Yang Maha Pemurah’?” (Az-Zukruf: 45)

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiyaa’:25)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu,’ maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.” (An-Nahl: 36)

Allah SWT juga menyebutkan bahwa setiap rasul memulai dakwahnya dengan seruan kepada kaumnya: “Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah kecuali Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (Huud: 50)

“Aku dibangkitkan dengan membawa pedang menjelang hari kiamat supaya Allah saja yang disembah tanpa disekutukan, rezekiku diletakkan di bawah panahku dan kehinaan diberikan kepada orang yang menentang perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka itu bagian dari mereka. ” (Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabarani)

Orang-orang musyrik yang diceritakan al-Qur’an tentang kemusyrikannya, dihalalkan darah dan hartanya oleh Rasul Shalallaahu ‘Alahi Wasallam— mengakui bahwa Allah sajalah yang menciptakan langit dan bumi.

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah’; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Luqman:25)

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah,’ maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (Al-‘Ankabuut: 61)

Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah, “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada ilah (yang lain) beserta-Nya, kalau ada ilah besertaNya, masing-masing ilah itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari ilah-ilah itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Al Mu’minuun: 84-91)

Orang-orang musyrik yang menjadikan tuhan-tuhan lain, selain Allah juga mengakui bahwa tuhan mereka itu diciptakan. Mereka telah menjadikan tuhan-tuhan tersebut sebagai pemberi syafaat dan pendekat kepada Allah dengan menyembahnya.

Dan mereka menyembah selain Allah, suatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah, “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak (pula) di bumi” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu)”. (Yunus: 18)

Kitab (al-Qur’an) diturunkan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar: 1-3)

Mereka juga dalam talbiyahnya mengucapkan: “Aku sambut panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau miliki, yang Engkau kuasai berikut apa-apa yang ia miliki.”

 

Kemudian Allah SWT juga berfirman:

Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak menggunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan. Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolong pun. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Ruum: 28-32)

Allah menjelaskan dalam ayat di atas dengan perumpamaan bahwa seseorang tidak pantas menjadikan hamba sahayanya sebagai sekutu bagi dirinya. Firman-Nya,

‘Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak menggunakan) rezeki itu. Setiap kalian akan takut kepada mereka seperti sebagian kalian takut kepada sebagian yang lain. Jika setiap kalian tak rela hamba sahayanya menjadi sekutu baginya, bagaimana kalian rela ia menjadi sekutu diri kalian? Hal ini sama tak relanya jika salah seorang teman orang-orang musyrik itu mendengar perkataan mereka ketika itu, “Ia mempunyai beberapa anak perempuan.”

Allah SWT menggambarkan sifat mereka:

Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, yaitu bahwa sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan. Tiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka, dan sesungguhnya mereka segera dimasukkan (ke dalamnya).” (An-Nahl: 62)

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nahl: 58-60).

 

*/Ibnu Taimiyah, dari bukunya Tawassul dan Wasilah.

HIDAYATULLAH

‘Apa Kapasitas Zakir Naik Mengurus Bahasa Indonesia?’

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Sulawesi Tengah, melarang umat Islam di daerah tersebut belajar tentang agama lewat media sosial (medsos). Salah satu kabar yang ramai beredar di media sosial adalah soal kalimat Insya Allah dengan membawa-bawa nama Zakir Naik.

Ketua MUI Palu, Prof Zainal Abidin menyatakan, informasi di media sosial yang disebarkan oleh oknum-oknum tertentu tidak dapat dijadikan referensi sepenuhnya. “Umat Islam jangan belajar tentang Islam lewat media sosial seperti dari ‘whatsapp’, ‘BBM’, ‘facebook’, ‘instagram’ dan sebagainya,” katanya di Palu, Ahad (23/4).

Ia mencontohkan akhir-akhir ini umat Islam cenderung menulis kalimat Insya Allah yang dimaksudkan sebagai ‘Jika Allah mengizinkan’ atau ‘Kehendak Allah’, kemudian berubah menjadi In Sha Allah. Namun, kata ia, menurut informasi yang beredar, itu penulisan yang benar yaitu In Sha Allah. Sementara Insya Allah adalah salah, karena jika menggunakan huruf ‘sy’ maka diartikan menciptakan Allah.

“Kalau Insya Allah menurut informasi dari media sosial yang membawa-bawa nama Zakir Naik yaitu menciptakan Allah. Karena itu, menurut informasi tersebut yang benar yaitu ‘In Sha Allah’,” ujarnya.

Ia menilai hal itu adalah keliru karena huruf syin dalam kalimat tersebut jika ditulis dalam bahasa Indonesia maka menggunakan ‘sy’, bukan ‘sh’. Zainal pun membantah keras jika Zakir Naik mengurus tentang penulisan kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia, dikarenakan Zakir Naik bukan orang Indonesia melainkan orang India yang ahli di bidang perbanding agama, bukan ahli bahasa Indonesia.

“Apa kapasitas Zakir Naik mengurus bahsa Indonesia? Saya yakin informasi yang beredar tersebut bukan dari Zakir Naik, tetapi oknum-oknum tertentu yang membawa-bawa nama Zakir Naik,” sebutnya.

Namun demikian ia menganggap, persoalan tersebut bukanlah hal yang prinsip di dalam Islam. Akan tetapi, ia menekankan agar Islam tidak serta merta langsung menjadikan referensi, patokan dan pedoman informasi dari media sosial.

“Jangan jadikan informasi di media sosial sebagai rujukan dan landasan kalian. Tetapi carilah guru atau seseorang yang berpengetahuan tentang Islam kemudian bertanya langsung, agar kalian tidak keliru,” ujarnya.

Inilah Alasan Azab Orang Kafir Ditangguhkan

SALAH satu bentuk makar Allah termuat dalam firman-Nya, “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa penangguhan Kami pada mereka adalah baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami menangguhkan mereka agar bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS 3: 178).

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa mengulur waktu dan menangguhkan azab yang disertai dengan penambahan karunia bagi seseorang adalah bentuk makar Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Bila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya yang berdosa, maka Dia akan membalas dosanya dan mengingatkannya untuk meminta ampun. Dan bila Allah menginginkan keburukan hamba-Nya yang berdosa, maka Dia akan memberinya (tambahan) kenikmatan guna melalaikannya dari meminta ampun.”

Allah berfirman, “Orang-orang kafir itu (mencoba) membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan sesungguhnya Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS 3: 54).

Salah satu bentuk tipuan Allah pada pendosa adalah menimbulkan ujub dalam dirinya, sehingga dia membesar-besarkan perbuatan baiknya, merasa puas dan senang dengannya, tersipu (seperti orang yang sedang dirayu) dan terkesima oleh dirinya sendiri dan merasa dirinya terbebas dari seluruh kekurangan dalam perbuatan tersebut, sambil merasa bahwa dia sendirilah yang telah melakukan kebaikan itu tanpa bantuan Allah. “Dan bagaimana dengan orang yang diperhiaskan perbuatan buruknya sehingga ia melihatnya sebagai kebaikan?” (QS 35: 8).

Sebelum membangkang kepada Allah, iblis adalah makhluk yang rajin beribadah dan pandai. Tapi lantaran lupa pada pemberian Allah, timbul rasa ujub di dalam dirinya. Dia merasa bahwa api lebih baik daripada tanah. Padahal, tak ada satu pun bukti yang membenarkan klaim iblis bahwa api lebih baik daripada tanah. Di sinilah letak tipuan Allah.

Rasulullah Saw. bersabda bahwa Allah berkata kepada Nabi Daud. Hai Daud, sampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa dan peringatkanlah para pelaku kesalehan. Daud berkata, Bagaimana aku menyampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa dan memperingatkan para pelaku kesalehan?

Allah menjawab, Sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa bahwa Aku menerima taubat mereka dan peringatkanlah orang-orang yang saleh agar mereka tidak memiliki sifat ujub atas perbuatan-perbuatan mereka karena tidak ada seorang hamba pun yang akan selamat jika Aku menilai perbuatan-perbuatan mereka.” Semua manusia pasti patut mendapat hukuman, karenasesuai prinsip keadilan yang menuntut imbalan setimpalseluruh ibadah manusia, jin dan malaikat tidak mungkin menunaikan satu kali saja syukur atas satu rahmat Allah sekalipun.

Ya Allah! Kami berlindung kepada-Mu dari tipu daya setan dan muslihat hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan. Lindungilah kami dari tipu muslihat keduanya demi kemuliaan Rasul kekasih-Mu serta orang-orang suci dari keluarga dan sahabat beliau. [IslamIndonesia]

 

MOZAIK INILAHcom

Empat Penyesalan Orang Kafir di Akhirat Kelak

ALLAH SWT telah mengutus Nabi dan Rasul untuk membawa manusia kejalan yang benar, tetapi ada sebagian manusia yang tidak menanggapinya yaitu orang kafir. Dan ternyata ada empat penyesalan orang kafir di akhirat kelak karena mereka tidak menanggapi ajakan Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT, bahkan mereka membenci umat muslim yang mencoba meluruskan jalan mereka. Apa sajakah penyesalan mereka?

Selama hidup di dunia, orang kafir memiliki hidup yang baik karena sifat pengasih Allah SWT kepada semua makhluk-Nya. Bahkan banyak orang kafir yang hidup dengan kemewahan harta di dunia dan mereka menyombongkannya kepada kaum muslim. Islam mengajarkan kepada setiap muslim untuk menyebarkan kebaikan dan menasihati kaum kafir untuk kembali dalam ajaran Islam sebagai rahmat di dunia dan akhirat.

Jika kita telah menunaikan kewajiban untuk membawa kaum kafir ke dalam ajaran yang mulia dan hasilnya negatif, maka sebaiknya kita mendoakan mereka agar mendapat hidayah dari Allah SWT. Selain itu kita juga harus selalu meminta perlindungan Allah SWT dari segala bentuk kekafiran yang dapat mengancam keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Dalam Alquran telah dituliskan dengan jelas bahwa kelak orang kafir akan mengalami penyesalan yang luar biasa di akhirat. Hal ini telah tertulis dalam Alquran yaitu QS. Al-Hijr ayat 48. Berikut adalah empat penyesalan orang kafir di alam kubur dan di akhirat:

1. Menyesal tidak menerima dakwah seorang muslim
Melihat kenikmatan yang Allah berikan kepada kaum muslim di akhirat membuat kaum kafir merasa menyesal karena selama di dunia mereka tidak menerima dakwah seorang muslim bahkan mereka membencinya serta menghinanya.

2. Menyesal tidak beriman kepada Allah SWT sewaktu di dunia
Allah SWT telah menjanjikan balasan setiap amal perbuatan yang dilakukan manusia selama di dunia. Balasan bagi seorang muslim yang beriman dan bertakwa kepada-Nya adalah surga beserta kenikmatannya. Melihat semua kenikmatan yang diperoleh kaum muslim di akhirat membuat orang kafir merasa menyesal karena telah mengabaikan ajakan kaum muslim untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Kaum kafir berkhayal jika seandainya mereka dikembalikan di dunia, maka mereka akan beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Bahkan, mereka akan berupaya menjadi pribadi yang saleh dan tidak mengingkari ajaran Allah SWT hingga kematian mendatanginya. Penyesalan manusia setelah mati ini tercantum dalam QS. Al-Munafiqun ayat 10.

3. Berandai-andai diciptakan menjadi tanah
Siksaan yang Allah SWT berikan kepada kaum kafir sangat pedih, sehingga mereka berandai-andai alangkah bahagianya jika Allah SWT menciptakan mereka menjadi tanah saja karena akan terhindar dari siksaan yang amat pedih. Orang-orang kafir lebih memilih diciptakan menjadi tanah daripada menjadi manusia yang tidak mengikuti ajaran Allah SWT karena menjadi tanah akan selamat dari siksaan api neraka yang amat dahsyat. Hal ini tertulis dengan jelas dalam QS. An-Naba ayat 40.

4. Menawar siksaan neraka dengan keluarga mereka
Pedihnya siksa neraka yang diterima kaum kafir membuat mereka putus asa, sehingga mereka memberikan penawaran yaitu ingin menukar pedihnya siksa neraka yang mereka terima dengan anak, istri, bahkan kekayaan yang mereka miliki selama di dunia. Hal ini tertulis dengan jelas dalam QS. Al-Maarij ayat 11-14, namun semua itu sia-sia belaka.

Demikian empat penyesalan orang kafir di akhirat kelak setelah melihat kenikmatan surga yang Allah SWT berikan kepada umat Islam dan pedihnya siksaan yang Allah SWT berikan kepada orang kafir.[Jalantauhid/Kumpulanmisteri.com]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2368669/empat-penyesalan-orang-kafir-di-akhirat-kelak#sthash.8MR4sprt.dpuf

Orang-orang yang Layak Disebut Kafir

Siapa saja yang layak dikafirkan? Tampaknya inilah beberapa di antaranya.

Golongan komunis atau atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.

Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekuler, yang menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.

Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.

Al-Imam Ghazali pernah berkata, “Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam.” Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.

Syarat Keislaman: Syahadat

Syarat utama bagi orang yang baru masuk Islam ialah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu, “Asyhadu allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Barangsiapa yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Dan berlaku baginya hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia mengingkari. Karena kita diperintahkan untuk memberlakukan secara lahirnya. Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil dari hal itu adalah ketika Nabi saw. menerima orang-orang yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw tidak menunggu hingga datangnya waktu salat atau bulan puasa (ramadan).

Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang mengucapkan, “Laa ilaaha illallaah, ” Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, “Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah.” Usamah lalu berkata, “Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kamu mengetahui isi hatinya?”

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah saw, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi saw. bersabda, “Mereka akan melakukan (mengerjakan) sedekah dan jihad.”

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2376168/orang-orang-yang-layak-disebut-kafir#sthash.PmIzt7nJ.dpuf

Benarkah Lakukan Dosa Besar Bisa Menjadi Kafir?

DALAM paham aqidah ahlu sunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir.

Kecuali bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewajiban salat, zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah salat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban tersebut.

Jadi bila ada seorang muslim salatnya jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa salat itu wajib, cuma masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari Islam.

Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah Mu`tazilah. Menurut paham ini Tuhan berjanji untuk memberi pahala kepada yang berbuat baik dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan mati sebelum bertobat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.

Dalam aqidah ahlisunnah, bila seorang berbuat dosa maka dicatat amal buruknya itu dan bila dia bertobat maka tergantung Allah, apakah akan diterima tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia tidak menjadi kafir lantaran melakukan dosa meski sering diulangi.

Kafir yang bukan kafir

Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu bentuk kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya adalah firman Allah Taala: “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)

“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)

Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.

Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-mu.” Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)

Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam).

Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).

Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman kecil) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)

Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir), muslim mana pun sudah dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang tidak menjalankan hukum Islam.

Sedangkan dalam pemahaman aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan gugurnya status ke-Islaman dan murtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas RA berkata, “Kafir yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada Allah dan hari akhir.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Thaus.

Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafir bukanlah kafir yang sesungguhnya. Sedangkan Ibnul-Qayyim menerangkan tentang kandungan ayat itu sebagai berikut, “Kufur itu ada dua macam. Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan kekal. Sedangkan kufur ashfghar akan menjadikan pelakunya diadzab di neraka tapi tidak abadi selamanya. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374831/benarkah-lakukan-dosa-besar-bisa-menjadi-kafir#sthash.qIRDCPa7.dpuf