Perjanjian Nabi Nuh dengan Kalajengking Jadi Doa

NAMA Nabi Muhammad saw sudah dikenal jauh sebelum beliau sendiri lahir. Malaikat di langit dan para nabi sebelumnya mengenal sosoknya dengan nama Ahmad.

Menurut sejarawan, nabi-nabi sebelumnya selalu menyebutkan nama Sang Nabi akhir zaman itu dan mengenalkan sosok dan kepribadiannya kepada umat mereka masing-masing. Dalam banyak cerita, para Nabi kerap menyebutkan nama Muhammad dalam doa-doa mereka, pertanda agung dan luhungnya penghulu para nabi ini.

Alkisah, Nabi Nuh membawa semua benih pohon dan hewan dalam bahteranya. Terhadap hewan buas, Nuh menjalin perjanjian agar mereka tidak berulah kala mengarungi lautan.

Kalajengking salah satunya. Mulanya Nuh enggan membawa kalajengking ke perut bahtera, karena khawatir dengan sengatnya yang mengganggu hewan lainnya. “Aku buat perjanjian denganmu agar tidak mengganggu siapa pun,” kata Nuh as.

Kemudian Nuh membaca doa berupa salam kepada Nabi Muhammad, yang lalu menjadi doa mujarab bagi siapa saja kala disengat kalajengking dan hewan mematikan lainnya.

“Keselamatan dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Muhammad dan keluarganya dan kepada Nuh di semesta alam.” [Islam Indonesia]

NAMA Nabi Muhammad saw sudah dikenal jauh sebelum beliau sendiri lahir. Malaikat di langit dan para nabi sebelumnya mengenal sosoknya dengan nama Ahmad. Menurut sejarawan, nabi-nabi sebelumnya selalu menyebutkan nama Sang Nabi akhir zaman itu dan mengenalkan sosok dan kepribadiannya kepada umat mereka masing-masing. Dalam banyak cerita, para Nabi kerap menyebutkan nama Muhammad dalam doa-doa mereka, pertanda agung dan luhungnya penghulu para nabi ini. Alkisah, Nabi Nuh membawa semua benih pohon dan hewan dalam bahteranya. Terhadap hewan buas, Nuh menjalin perjanjian agar mereka tidak berulah kala mengarungi lautan. Kalajengking salah satunya. Mulanya Nuh enggan membawa kalajengking ke perut bahtera, karena khawatir dengan sengatnya yang mengganggu hewan lainnya. “Aku buat perjanjian denganmu agar tidak mengganggu siapa pun,” kata Nuh as. Kemudian Nuh membaca doa berupa salam kepada Nabi Muhammad, yang lalu menjadi doa mujarab bagi siapa saja kala disengat kalajengking dan hewan mematikan lainnya. “Keselamatan dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Muhammad dan keluarganya dan kepada Nuh di semesta alam.” [Islam Indonesia]

Inikah Makhluk-makhluk Munafik Itu?

KETAHUILAH, bahwa nifak itu ada dua macam, yaitu nifak kecil dan nifak besar. Nifak kecil ialah berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang munafik, seperti yang tersebut dalam hadis di atas, dengan tetap ada iman dalam hati.

Nifak jenis ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama, namun termasuk sarana menuju kekufuran. Jika perilaku-perilaku tersebut terus ia lakukan, tidak menutup kemungkinan ia akan terjerembab dalam kemunafikan. Walyadzubillah.

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan tiga sifat nifak, yaitu suka berdusta dalam berucap, ingkar janji, dan berkhianat padahal sudah diberi kepercayaan.

Salah satu sifat di atas yang kiranya mendesak kita kupas meski yang lain juga penting- ialah sifat khianat yang merupakan lawan daripada amanah yang dewasa ini banyak diterlantarkan.

Orang munafik jika diberi amanah harta akan menyelewengkannya, padahal Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintah kalian agar mengembalikan amanah pada pemiliknya” (QS: 3: 58).

Amanah di sini mencakup banyak artian yang semuanya harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, tidak malah bertindak khianat. Di antara amanah yang Allah bebankan pada seluruh hamba-Nya yaitu senantiasa menjalankan agama ini. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung namun semuanya enggan menerimanya dan takut darinya. Namun manusialah yang justeru memikulnya. Sesungguhnya manusia itu banyak bertindak aniaya dan jahil” (QS: 33: 72).

Di antara bentuk amanah lain ialah jabatan yang bersifat politik, dari mulai pejabat RT, kepada desa, bupati, hingga kepresidenan. Mereka bertanggungjawab melaksanakan amanah yang besar ini tanpa diperkenankan menyelwengkannya. Jika ada dana yang seharusnya disalurkan untuk kepentingan masyarakat, maka tidak selayaknya dialihkan untuk kepentingan pribadi. Kemudian setelah tercium tidak-tanduknya, mulai mengeluarkan jurus andalan, lempar batu sembunyi tangan. Saling menyalahkan dan saling mengancam akan memongkar rahasia kejahatan masing-masing orang yang turut serta bersamanya.

Pejabat pemerintahan juga bertanggungjawab atas keamanan dan kemaslahatan masyarakat serta sejumlah tanggungjawab lainnya yang tidak bisa diremehkan. Seorang pejabat itu mestinya bertindak sebagai pelayan masyrakat, bukan malah merasa sebagai orang besar yang harus dihormati. Oleh karena itu, memegang tambuk kepemimpinan itu tidak mudah apalagi di negera besar seperti Indonesia. Tentu mengurus negara ini tidak semudah mengurus rumah tangga. Jika para pejabat tidak menunaikan amanah dengan baik padahal sudah dipercayai rakyat, bagaimana jika kelak di hari kiamat para pejabat itu dituntut oleh rakyat yang dahulu mempercayakan amanah pada mereka. Celakalah ia.

Jika orang yang menerima amanah tersebut adalah seorang mukmin yang betul-betul komitmen dengan keimanannya, tentu tindakan-tindakan rendahan semisal penyelewengan dana dan korupsi tidak akan pernah terjadi. Sebab, semakin kita dapati ada orang yang selalu menunaikan kewajiban dengan sempurna, maka berarti orang tersebut memiliki iman yang kuat. Sebaliknya, jika ada orang sembrono berbuat khianat, maka ketahuilah bahwa imannya sedang dalam bahaya. Minimal, imanya lemah. Jika ada orang yang merasa tubuhnya lemas saja segera mencari solusi agar dapat menguatkan stamina tubuhnya, tentu iman pun harus diperhatikan lebih ketat lagi jangan sampai loyo. Jika sampai lobet, maka kebinasaanlah baginya.

Selanjutnya nifak jenis kedua ialah nifak besar atau nifak yang berkaitan dengan keyakinan, yaitu apabila seseorang menampakkan keimanan dan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dalam hati. Nifak jenis inilah yang ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan ayat-ayat Al-Quran diturunkan mencela dan mengkafirkan mereka serta mengabarkan bahwa orang yang memiliki sifat ini akan dikembalikan ke dalam kerak api neraka.

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu akan dicampakkan ke dalam kerak neraka dan kamu tidak akan melihat mereka memperoleh penolong” (QS: 4: 145).

Nifak ini pun ada enam macam:

Mendustakan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

Mendustakan sebagian ajaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

Membenci Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

Membenci sebagian ajaran Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.

Merasa gembira jika melihat agama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sedang dalam kondisi mundur

Merasa sempit dada jika melihat agama Islam jaya. (Lihat Kitab At-Tauhid Syaikh Shalih Al-Fauzan hlm. 21)

Perbedaan Antara Nifak Besar dan Nifak Kecil

Antara nifak besar dan nifak kecil terdapat sejumlah perbedaan, yang paling mencolok ialah nifak besar dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, sementara nifak kecil tidak.

Nifak besar menggugurkan seluruh amalan pelakunya, sedangkan nifak kecil tidak.

Nifak besar berhubungan dengan perbedaan antara lahir dan batin dalam hal akidah, sedangkan nifak kecil berkaitan dengan perbedaan antara lahir dan batin dalam masalah perbuatan yang tidak ada sangkutpautnya dengan akidah.

Nifak besar menyebabkan pelakunya kekal di neraka, sedangkan nifak kecil tidak demikian.

Nifak besar tidak akan muncul dari seorang mukmin, sedangkan nifak kecil terkadang timbul dari orang mukmin.

Ghalibnya, orang yang terserang nifak besar tidak akan bertobat. Kalau toh bertaubat, secara lahiriah diperselisihkan statusnya, apakah diterima taubatnya atau tidak lantaran perkara tersebut sulit dibedakan karena pelakunya selalu menampakkan keislaman. (Lihat: Kitab At-Tauhid hlm. 22 dan Nur Al-Iman wa Zhulumat An-Nifaq hlm. 41) [muslimorid]

KETAHUILAH, bahwa nifak itu ada dua macam, yaitu nifak kecil dan nifak besar. Nifak kecil ialah berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang munafik, seperti yang tersebut dalam hadis di atas, dengan tetap ada iman dalam hati. Nifak jenis ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama, namun termasuk sarana menuju kekufuran. Jika perilaku-perilaku tersebut terus ia lakukan, tidak menutup kemungkinan ia akan terjerembab dalam kemunafikan. Walyadzubillah. Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan tiga sifat nifak, yaitu suka berdusta dalam berucap, ingkar janji, dan berkhianat padahal sudah diberi kepercayaan. Salah satu sifat di atas yang kiranya mendesak kita kupas meski yang lain juga penting- ialah sifat khianat yang merupakan lawan daripada amanah yang dewasa ini banyak diterlantarkan. Orang munafik jika diberi amanah harta akan menyelewengkannya, padahal Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintah kalian agar mengembalikan amanah pada pemiliknya” (QS: 3: 58). Amanah di sini mencakup banyak artian yang semuanya harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, tidak malah bertindak khianat. Di antara amanah yang Allah bebankan pada seluruh hamba-Nya yaitu senantiasa menjalankan agama ini. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung namun semuanya enggan menerimanya dan takut darinya. Namun manusialah yang justeru memikulnya. Sesungguhnya manusia itu banyak bertindak aniaya dan jahil” (QS: 33: 72). Di antara bentuk amanah lain ialah jabatan yang bersifat politik, dari mulai pejabat RT, kepada desa, bupati, hingga kepresidenan. Mereka bertanggungjawab melaksanakan amanah yang besar ini tanpa diperkenankan menyelwengkannya. Jika ada dana yang seharusnya disalurkan untuk kepentingan masyarakat, maka tidak selayaknya dialihkan untuk kepentingan pribadi. Kemudian setelah tercium tidak-tanduknya, mulai mengeluarkan jurus andalan, lempar batu sembunyi tangan. Saling menyalahkan dan saling mengancam akan memongkar rahasia kejahatan masing-masing orang yang turut serta bersamanya. Pejabat pemerintahan juga bertanggungjawab atas keamanan dan kemaslahatan masyarakat serta sejumlah tanggungjawab lainnya yang tidak bisa diremehkan. Seorang pejabat itu mestinya bertindak sebagai pelayan masyrakat, bukan malah merasa sebagai orang besar yang harus dihormati. Oleh karena itu, memegang tambuk kepemimpinan itu tidak mudah apalagi di negera besar seperti Indonesia.

Tentu mengurus negara ini tidak semudah mengurus rumah tangga. Jika para pejabat tidak menunaikan amanah dengan baik padahal sudah dipercayai rakyat, bagaimana jika kelak di hari kiamat para pejabat itu dituntut oleh rakyat yang dahulu mempercayakan amanah pada mereka. Celakalah ia. Jika orang yang menerima amanah tersebut adalah seorang mukmin yang betul-betul komitmen dengan keimanannya, tentu tindakan-tindakan rendahan semisal penyelewengan dana dan korupsi tidak akan pernah terjadi. Sebab, semakin kita dapati ada orang yang selalu menunaikan kewajiban dengan sempurna, maka berarti orang tersebut memiliki iman yang kuat.
Sebaliknya, jika ada orang sembrono berbuat khianat, maka ketahuilah bahwa imannya sedang dalam bahaya. Minimal, imanya lemah. Jika ada orang yang merasa tubuhnya lemas saja segera mencari solusi agar dapat menguatkan stamina tubuhnya, tentu iman pun harus diperhatikan lebih ketat lagi jangan sampai loyo. Jika sampai lobet, maka kebinasaanlah baginya. Selanjutnya nifak jenis kedua ialah nifak besar atau nifak yang berkaitan dengan keyakinan, yaitu apabila seseorang menampakkan keimanan dan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dalam hati. Nifak jenis inilah yang ada di zaman
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan ayat-ayat Al-Quran diturunkan mencela dan mengkafirkan mereka serta mengabarkan bahwa orang yang memiliki sifat ini akan dikembalikan ke dalam kerak api neraka. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu akan dicampakkan ke dalam kerak neraka dan kamu tidak akan melihat mereka memperoleh penolong” (QS: 4: 145). Nifak ini pun ada enam macam:
Mendustakan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam Mendustakan sebagian ajaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
Membenci Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam Membenci sebagian ajaran Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.
Merasa gembira jika melihat agama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sedang dalam kondisi mundur Merasa sempit dada jika melihat agama Islam jaya. (Lihat Kitab At-Tauhid Syaikh Shalih Al-Fauzan hlm. 21) Perbedaan
Antara Nifak Besar dan Nifak Kecil Antara nifak besar dan nifak kecil terdapat sejumlah perbedaan, yang paling mencolok ialah nifak besar dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, sementara nifak kecil tidak. Nifak besar menggugurkan seluruh amalan pelakunya, sedangkan nifak kecil tidak. Nifak besar berhubungan dengan perbedaan antara lahir dan batin dalam hal akidah, sedangkan nifak kecil berkaitan dengan perbedaan antara lahir dan batin dalam masalah perbuatan yang tidak ada sangkutpautnya dengan akidah. Nifak besar menyebabkan pelakunya kekal di neraka, sedangkan nifak kecil tidak demikian.
Nifak besar tidak akan muncul dari seorang mukmin, sedangkan nifak kecil terkadang timbul dari orang mukmin. Ghalibnya, orang yang terserang nifak besar tidak akan bertobat. Kalau toh bertaubat, secara lahiriah diperselisihkan statusnya, apakah diterima taubatnya atau tidak lantaran perkara tersebut sulit dibedakan karena pelakunya selalu menampakkan keislaman. (Lihat: Kitab At-Tauhid hlm. 22 dan Nur Al-Iman wa Zhulumat An-Nifaq hlm. 41) [muslimorid]

Sikap Orang Munafik Terlihat pada Sholatnya

SEBAGAIMANA diketahui bahwa kaum munafik diancam oleh Allah dengan mendapat siksa di dalam Neraka Jahanam.

“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka; dan Allah melaknati mereka; dan bagi mereka azab yang kekal.” QS. At Taubah: 68.

Salah satu penyebabnya adalah sikap mereka yang sangat buruk di dalam perihal salat. Di bawah ini sifat buruk kaum munafik terhadap salatnya:

1. Kaum munafik merasa berat dalam mengerjakan salat.

“Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada salat yang paling berat atas kaum munafik dari salat Subuh dan Isya.” HR. Bukhari dan Muslim.

2. Kaum munafik tidak menghadiri salat berjemaah

“Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu berkata: “Sungguh aku telah melihat kami (yaitu para sahabat radhiyallahu anhum), tidak ada yang absen darinya (salat berjemaah), kecuali seorang munafik yang dikenal kemunafikannya.” HR. Muslim.

“Abu Umair bin Anas meriwayatkan dari pamannya yang mempunyai persahabatan dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam, ia meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak menghadiri kedua (salat subuh dan isya secara berjemaah)nya seorang munafik.” Maksudnya adalah salat subuh dan salat Isya, berkata Abu Bisyr: maksudnya adalah tidak selalu menghadiri kedua salat itu.

3. Kaum munafik mengakhirkan salat ashar sehingga matahari mau terbenam

4. Kaum munfaik salatnya terlalu cepat, tidak thumaninah seperti burung memakan makanannya

5. Kaum munafik tidak mengingat Allah di dalam salatnya kecuali sedikit

“Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah salatnya seorang munafik, ia duduk menunggu matahari, sehingga jika matahari tersebut terletak antardua tanduk setan (mau terbenam), maka ia bangun (salat) ia salat dengan cepat sebanyak empat rakaat, tidak menyebut/mengingat Allah di dalamnya kecuali sedikit sekali.” HR. Muslim.

6. Kaum munafik malas ketika mendirikan salat

7. Kaum munafik riya di dalam salatnya

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” QS. An NIsa: 142

“Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” [Ahmad Zainuddin/dakwahsunnah]

 

MOZAIK

ACC : Istiqlal Masjid Terindah Se-Asia Tenggara

Direktur Divisi Informasi dan Kehumasan ACC, Vithit Powattanasuk menilai, Istiqlal sebagai masjid terindah di Asia Tenggara. Vithit Powattanasuk dan rombongan mengunjungi beberapa ruang utama masjid yang diarsiteki Frederich Silaban itu. Mereka dipandu oleh petugas masjid, yang menjelaskan sejarah masjid tersebut, termasuk setiap bagian yang terdapat di masjid megah berarsitektur modern itu.

“Sungguh masjid yang sangat indah di Asia Tenggara,” katanya kepada Antara saat mengunjungi Masjid Istiqlal bersama tujuh perwakilan media Cina, serangkaian kunjungannya ke Jakarta pada 3-6 Juli 2017.

ACC rutin mengundang media ASEAN untuk mengunjungi salah satu daerah di Cina secara bergiliran, dan media Cina untuk mengunjugi salah satu negara ASEAN, secara bergiliran pula.

Pada 2017, ACC memfasilitasi media Cina untuk berkunjung ke Indonesia dan Filipina sebagai Ketua ASEAN tahun ini.

Selama berada di Jakarta, ACC dan tujuh perwakilan media China mengunjungi beberapa tempat wisata antara lain Kepulauan Seribu, dan beberapa museum serta peninggalan bersejarah seperti Masjid Istiqlal.

“Kunjungan ini pun untuk mempererat kerja sama pariwisata, meningkatkan saling pengertian antarmasyarakat kedua bangsa. Apalagi, 2017 merupakan tahun kerja sama pariwisata ASEAN, sekaligus 50 tahun ASEAN,” tuturnya.

Wartawati harian berbahasa Inggris di Cina, “Global Times”, Shen Jinxin mengatakan, kunjungan ke Jakarta, merupakan perjalanan yang mengesankan. “Ini kunjungan pertama saya ke Indonesia, khususnya Jakarta. Selama berada di Jakarta, banyak obyek menarik, seperti Kepulauan Seribu,” katanya.

Jinxin menambahkan, di sana (Kepulauan Seribu-red), pasirnya putih, airnya bening. “Sehingga kita bisa melihat apa yang berada di bawah permukaan air. Udaranya enak. Sungguh mengesankan,” ujarnya.

Ia berharap, dapat berkunjung lagi ke Indonesia, melihat destinasi wisata lainnya di daerah lain. “Saya tahu Indonesia banyak memiliki tempat indah untuk dikunjungi, dan saya berharap bisa kembali ke Indonesia,” tutur Jinxin.

Hal senada diungkapkan pewarta Jiangxi Radio and Television Dong Yan. “Ini kunjungan kali pertama saya ke Indonesia, termasuk Jakarta. Dan ini merupakan perjalanan yang mengesankan. Saya belajar menyelam, bisa berenang dengan menyenangkan. Semoga ada kesempatan lain, untuk saya kembali ke Indonesia,” katanya.

Beniatlah untuk Taqwa pada Allah

DALAM satu kesempatan, saya bertemu dengan mantan musisi yang kini telah hijrah dan banyak menekuni aktivitas dakwah.

Pada momen tersebut, saya bertanya kepadanya, “Bang, apa yang harus kita lakukan untuk membuat umat Islam sadar dengan agamanya?”

Secara langsung, sang musisi religius itu kontan menjawab, “Kita ajak manusia untuk sholat, Bang. Tidak akan tegak agama ini kalau umat tidak mau sholat, dan bagaimana orang akan sholat kalau dia tidak takut kepada Allah. Ketika seseorang sudah tidak takut kepada Allah, apapun akan dia lakukan,” urainya.

Jawaban tersebut cukup sederhana. Tetapi, hal itu ternyata merupakan bahasan yang diuraikan dengan cukup detail oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin.

Di dalamnya diuliskan, “Dalil ‘aqli menyatakan, Allah Ta’ala benci dan sangat tidak menghendaki perbuatan maksiat atau dosa ang dilakukan oleh para hamba-Nya. Sebab, perbuatan maksiat merupakan kehendak iblis terkutuk yang tentu hendak menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan (neraka).

Bagaimana mungkin seorang Muslim terlepas dari kekuasaan hukum Allah Yang Mahaagung lagi Mahamulia?”

Dan, hal tersebut mestinya menjadi kesadaran setiap umat Islam, entah dia rakyat biasa, lebih-lebih para pemimpin.

Lebih lanjut Al-Ghazali memberikan ilustrasi menarik.

“Apabila kekuasaan seorang kepala desa disimpangkan (disalahgunakan), maka kekuasaan dan kewibawaannya pun akan segera menurun di mata masyarakat yang tengah dipimpinnya. Dan, perbuatan kepala desa itu sudah tentu akan bertentangan dengan kehendak masyarakat banyak, serta merugikan kepentingan mereka secara bersama-sama. Akibatnya, kedudukan sebagai kepala desa akan dipertaruhkan, karena masyarakat sudah tidak mau menerima lagi kepemimpinannya, dan tidak mau mempercayainya sebagai pemimpin. Pada kenyataannya, perbuatan maksiat dan dosa lebih menguasai kehidupan mausia itu sendiri, dan sama sekali tidak merugikan Allah Ta’ala.”

Oleh karena itu, setiap individu Muslim mestinya menyadari hal berbahaya ini. Pada masalah maksiat dan dosa, sungguh itu merupakan perbuatan yang dipilih sendiri, dan tentu saja dipertanggungjawabkan sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian, tidaklah setiap dosa dan maksiat dilakukan, melainkan ketakutan seseorang kepada Allah dikalahkan oleh keinginan mendapatkan keuntungan semu.

Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam buku biografi Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah mengutip ungkapan dari suami putri Rasulullah, Siti Fatimah. “Janganlah seorang hamba sekali-kali berharap kecuali hanya kepada Allah, dan tidak takut kecuali kepada dosa-dosanya.”

وَمَآ أَصَـٰبَڪُم مِّن مُّصِيبَةٍ۬ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٍ۬

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuura [42]: 30).

Untuk itu sangat penting kita memahami dan menghayati apa yang diungkapkan oleh Imam Ahmad, “Jadikanlah senantiasa taqwa sebagai bekalmu. Letakkan selalu akhirat di depan matamu.”

Ungkapan Imam Ahmad tersebut mungkin merupakan pemahaman atas apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam, manusia agung yang sekalipun dijamin masuk Surga, namun usahanya dalam ibadah agar sempurna taqwanya kepada Allah sangat luar biasa.

Sampai-sampai, Siti Aisyah pun dibuat bertanya dengan cara Nabi beribadah. “Apakah perlu engkau sampai seperti ini, ya Rasulullah, hingga bengkak dan pecah kakimu karena lamanya berdiri menghadap Rabbmu, padahal telah Dia ampuni bagimu segala yang telah berlalu, yang sedang berlaku, maupun yang akan kautuju?”

Maka, tidak heran jika umat Islam, para ulama, umara (pemimpin) yang komitmen mengikuti (ittiba’) kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam senantiasa menghiasi hari-harinya dengan beragam ibadah.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa. ” (QS. Al-Baqarah [2]: 21).

Dan, di antara perintah ibadah yang dimaksudkan “agar kalian bertaqwa” adalah puasa. Dalam kata yang lain, jika bulan puasa, tak mampu mendorong seorang Muslim menapaki jalan taqwa, maka jalur manalagi yang akan ditempuhinya?

Sedangkan puasa itu sendiri merupakan perisai, setengah dari kesabaran, diberikan beragam fadhilah (keutamaan), dibuka pintu Surga dan setan-setan dibelenggu. Lantas, bagaimana mungkin seorang hamba yang beriman masih melihat perkara lain lebih utama daripada berupaya menempa diri untuk bertaqwa?

Oleh karena itu, waspada dalam hal ketaqwaan ini sangat penting, jangan sampai diri terperosok pada kemunkaran. Sebab hakikat hidup ini adalah ibadah dan penghambaan hanya kepada Allah Ta’ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18).

Ibn Katsir menjelaskan bahwa ini adalah perintah untuk diri kita senantiasa bertaqwa kepada-Nya dengan banyak melakukan muhasabah (intropeksi diri) apakah dalam keseharian, sepanjang tahun dan sepanjang hayat lebih banyak amal kebaikan atau sebaliknya, sebelum Allah sendiri yang menghisab (memperhitungkan) amal-amal kita.

Tentu saja derajat taqwa bukan sebuah pemberian laksana hidayah, ia harus diperjuangkan dengan sepenuh tenaga. Dan, apakah kita bisa menjadi orang bertaqwa, Sayyidina Ali berkata, “Pemberian dari Allah itu sesuai dengan niatnya.”

Dalam kata yang lain, jika ada niat diri menjadi orang bertaqwa, maka Allah pun akan membukakan jalan. Semoga Ramadhan 1438 H ini, Allah memudahkan langkah kita meniti jalan ketaqwaan. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi    

 

HIDAYATULAH

Spirit Sahabat dalam Meraih Kemuliaan

KEMAJUAN dan kejayaan serta kesejahteraan mustahil diraih kecuali dengan kemuliaan. Pemahaman seperti ini terpatri sangat kuat di dada para Sahabat Rasulullah. Dengan segenap potensi yang dimiliki, tak satu pun Sahabat Nabi yang tidak bergerak cepat dalam meraih kemuliaan.

Abu Bakar yang sungguh luar biasa. Pantas kalau beliau digelari Ash-Shiddiq serta mendapat kedudukan sangat dekat dengan Rasulullah.

Pada suatu hari Rasulullah duduk-duduk bersama para sahabatnya dan berkata, “Siapa di antara kalian yang puasa hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya”.  Lalu Nabi bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang yang menjenguk orang sakit hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya”.  Kemudian Nabi bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini mengiringi jenazah?” Jawab Abu Bakar, “Saya”. Kemudian Nabi bersabda, “Semua (perkara) itu tidak berkumpul pada diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR Muslim).

Sebagai seorang Muslim, sudah semestinya kita meneladani spirit Abu Bakar dalam meraih kemuliaan sejati itu.

Dari kalangan Muslimah kita bisa belajar dari apa yang dilakukan Aisyah, istri Rasulullah. Al-Hikam dalam kitab Al-Mustadrak dan Abu Nu’aim dalam kitab Auliya meriwayatkan bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan mengirimkan 80.000 dirham pada Aisyah yang sedang berpuasa.

Saat itu juga hadiah tersebut dibagikan kaum fakir miskin sehingga tidak tersisa sedikitpun. Pembantu Aisyah berkata, “Wahai Ummul Mukminin, mengapa engkau tidak menyisakan satu dirham sehingga engkau mampu membeli daging untuk berbuka nanti? Aisyah menjawab, “Jika engkau mengingatkanku tadi, tentu aku melakukannya.”

Perilaku yang sama juga terdapat pada diri sahabat Utsman bin Affan yang rela mensedekahkan harta miliknya untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari ancaman krisis air. Seperti tidak mau ketinggalan, Abdurrahman bin Auf juga menyerahkan seluruh dagangan beserta 700 ekor untanya untuk kemakmuran umat Islam.

Semua itu dilakukan bukan karena mereka anti dunia. Tapi mereka sadar, kemuliaan di mata Allah lebih utama dibanding banyaknya harta dan keegoisan yang dilampiaskan. Semoga kita masuk bagian dari mereka semua. Amin.*

 

HIDAYATULLAH

Pesona Fisik dan Akhlak Rasulullah di Mata Para Sahabat [2]

Amru ibn al-‘Ash Radhiallâhu ‘anhu berkata,

“Tidak ada seorangpun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Dalam pandanganku tidak ada seorangpun yang lebih agung daripada beliau. Aku tak kuasa memenuhi pandangan mataku dengan sifat-sifatnya, karena terlalu mengagungkannya. Seandainya aku diminta untuk mendiskripsikan pribadi beliau, aku takkan kuasa, karena aku tak mampu memenuhi pandangan mataku dengan kehebatannya.” (HR Muslim)

Abu Juhaifah Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“Aku pernah memegang tangan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam kemudian kuletakkan di wajahku, ternyata telapak tangannya lebih dingin daripada es dan lebih harum dari aroma kasturi.” (HR Bukhari)

Jabir Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“Setiap kali melewati suatu jalan, kemudian ada orang yang berjalan di belakangnya, pasti dia mengetahui bahwa beliau (Rasulullah) telah lewat, karena bekas aromanya.” (HR Darimi)

 

Ummu Ma’bad al-Khuza’iyah Radhiallahu ‘anha berkata:

“Dia begitu bersih, wajahnya berseri-seri, perawakannya sangat ideal; tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus. Dia begitu tampan, bola matanya hitam, bulu matanya panjang, tidak banyak bicara, lehernya jenjang, matanya jelita,  tepi kelopak matanya hitam seakan-akan memakai celak mata, alisnya tipis menjang dan bersambung. Rambutnya hitam. Jika diam dia tampak begitu wibawa. Jika berbicara dia tampak mempesona. Dia adalah orang yang paling mempesona dan menawan dilihat dari kejauhan, bagus dan manis setelah mendekat. Bicaranya tidak membosankan, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak.

Bicaranya bak  mutiara yang terurai, perawakannya ideal, tidak terlalu pendek dan tidak terlalu tinggi, seakan satu dahan diantara dua dahan, dia adalah salah seorang dari tiga orang yang paling menarik perhatian, paling bagus tampilannya, dihormati oleh sahabat-sahabatnya, jika dia berbicara mereka menyimak perkataannya dengan seksama, jika dia memberikan perintah mereka bersegera melaksanakan titahnya, dia orang yang ditaati, disegani, dikerumuni orang-orang, tidak bermuka masam dan tidak merendahkan orang lain.

Hindun bin Abu Halah Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“Rasulullah bisa mengontrol lisannya, menyatukan para sahabatnya dan tidak memecah belah mereka, menghormati orang yang dimulikan dan diberi kekuasaan di tengah kaumnya, memberi peringatan kepada manusia dan mawas diri terhadap mereka tanpa menutup-nutupi kabar gembira yang mesti disampaikan kepada mereka.

 

Punya perhatian tinggi terhadap sahabatnya, empati kepada mereka, memuji sesuatu yang bagus dan memberikan apresiasi, menilai  buruk sesuatu yang buruk dan meluruskannya, moderat dalam segala hal, tidak suka berselisih, selalu siaga dan mengantisipasi situasi, tidak meremehkan kebenaran. Orang yang beliau perlakukan secara lemah lembuat adalah orang yang paling baik, orang yang paling baik dalam pandangan beliau adalah orang yang paling banyak memberikan nasihat, dan orang yang paling bagus posisinya di mata beliau adalah orang yang paling bagus dukungannya.

Jika menghadiri suatu pertemuan atau majelis beliau duduk di tempat bagian belakang dan memerintahkan hal itu, memberikan tempat dan kesempatan kepada orang yang hadir dalam pertemuan beliau, sehingga tidak seorangpun yang mempersepsikan bahwa ada orang lain yang beliau istimewakan daripada dirinya.

Siapapun yang mendatangi beliau untuk menyampaikan keperluannya, beliau akan melayaninya dengan seksama sampai orang tersebut pergi.

Beliau tidak pernah menolak permintaan orang yang memohon bantuan dan tidak juga banyak berbasa basi dengan kalimat yang menghibur orang yang bersangkutan.

Beliau adalah orang yang sangat terbuka kepada siapa saja. Di mata beliau manusia mempunyai kedudukan yang setara.

Majelis beliau adalah majelis yang sarat dengan hikmah, malu, sabar dan amanah. Di dalam majelis tersebut tidak terdengar kegaduhan, tidak ada kekhawatiran terjadinya pelecehan terhadap kehormatan. Mereka saling memuji dalam hal ketakwaan, menghormati yang lebih tua dan mengasihani yang lebih muda. Mereka memprioritaskan orang yang membutuhkan bantuan, menghormati tamu.

Rasulullah adalah orang yang selalu ceria, murah hati, lemah lembut, tidak suka membuat kegaduhan atau  mengeluarkan perkataan keji, tidak suka mencela, tidak suka menyanjung yang berlebihan, tidak peduli terhadap sesuatu yang kurang menyenangkan dan tidak tunduk kepadanya.

 

Beliau menjauhi dirinya dari tiga hal: gila sanjungan (riya’), berlebihan dalam bicara, membicarakan hal-hal yang tidak urgen. Beliau meninggalkan tiga perkara dari orang lain: tidak mencela orang lain, tidak menghina, tidak mencari-cari ‘aib orang lain.

Beliau tidak berbicara kecuali dalam hal-hal yang beliau mengharapkan pahalanya.

Apabila beliau berbicara semua yang hadir dalam majelisnya diam, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung. Apabila beliau selesai bicara, barulah mereka berbicara. Mereka tidak cekcok di hadapan beliau.

Beliau ikut tersenyum terhadap hal-hal yang membuat para sahabatnya tersenyum. Beliau ikut kagum terhadap hal-hal yang membuat sahabatnya terkagum-kagum. Beliau bersabar terhadap kata-kata yang kurang berkenan dan dalam melayani orang lain, sampai-sampai beliau berkatam ” Jika kalian mendapatkan orang yang membutuhkan bantuan, maka bantulah dia.”*/Mabni Darsi, penulis buku “Pesona Cinta Muhammad: Kunci Sukses Rasulullah  Merebut Hati Menuai Simpati”

 

HIDAYATULLAH

Ramadhan yang Membekas

BULAN Ramadhan, umat Islam berlomba-lomba melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih. Karena memang, berbagai kelebihan dan keutamaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan telah memberikan motivasi dan semangat bagi kita untuk meraihnya. Maka, tidak mengherankan bila pada bulan Ramadhan masjid atau mushalla penuh dengan jamaah shalat lima waktu dan tarawih. Begitu pula tadarus al-Quran bergema di mana-mana. Orang-orang berlomba-lomba berbuat amal shalih dengan berinfak, bersedekah, dan sebagainya.

Kini Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita. Lantas, bagaimana status ibadah dan amal shalih kita pasca Ramadhan? Apakah kita tetap istiqamah dalam melakukan ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan selama Ramadhan? Sejauh mana Ramadhan kali ini memberi kesan dan pengaruh terhadap perilaku kita? Beberapa pertanyaan ini patut mendapat perhatian bagi setiap muslim, dalam rangka muhasabah. Selain itu, agar semangat Ramadhan terus hidup di jiwa kita dan membekas dalam perilaku kita sehari-hari pasca Ramadhan.

Sejatinya pasca Ramadhan kita diharapkan istiqamah, mampu dan terbiasa dengan melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih untuk hari-hari pasca Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya, baik berupa amalan wajib maupun sunnat. Karena Ramadhan adalah bulan tarbiyah. Ramadhan telah mendidik dan mentraining kita secara fulltime 30 hari berturut-turut untuk melakukan ibadah puasa dan lainnya. Tujuannya yaitu untuk menjadi insan yang bertaqwa sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala jelaskan dalam al-Quran (al-Baqarah: 183). Inilah keutamaan Ramadhan yang disediakan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai sarana untuk menjadi orang yang bertakwa.

Jika Ramadhan yang telah berlalu ini dapat memberikan bekas dan pengaruh kepada kita dalam kehidupan kita  sehari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan ditandai semakin baik perilaku, amal shalih dan ibadah kita, maka sukseslah kita dalam training dan ujian untuk memperoleh gelar taqwa tersebut dan beruntunglah kita. Namun sebaliknya, jika Ramadhan tidak membekas dan berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, maka gagallah kita dalam training dan ujian tersebut dan merugilah kita. Maka, kesuksesan Ramadhan kita sangatlah tergantung dengan kuantitas dan kualitas ibadah kita pada bulan-bulan berikutnya setelah Ramadhan.

 

Sungguh Ramadhan telah memberikan pembelajaran yang banyak terhadap kepribadian seorang muslim dalam rangka melahirkan insan yang bertakwa dan berkarakter islami. Banyak pembelajaran yang dapat kita peroleh dari bulan Ramadhan untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari pasca Ramadhan. Di antaranya adalah:

Pertama, semangat beribadah dan beramal shalih. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat beribadah dan berlomba-lomba dalam  kebaikan. Maka, pasca Ramadhan ini sejatinya kita mempertahankan kualitas dan kuantistas ibadah dan amal shalih itu. Karena ibadah dan amal shalih itu tidak hanya disyariatkan untuk bulan Ramadhan saja, tapi sesungguhnya diperintahkan sepanjang masa selama kita hidup di dunia yang fana ini. Inilah tugas utama kita di dunia sebagai makhluk Allah sesuai dengan firman-Nya:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ (٥٦)

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS: Az-Zariyat: 56).

Bahkan kita diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala untuk berlomba dalam kebaikan setiap saat, bukan hanya pada bulan Ramadhan. Allah berfirman, Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan..” (Al-Baqarah: 148)

Kedua, menjaga diri dari maksiat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita bagaimana mengendalikan diri dari hawa nafsu  dan maksiat lewat ibadah puasa. Pada waktu berpuasa kita dituntut untuk menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Jika hal-hal yang mubah seperti makan, minum dan hubungan istri dilarang pada waktu berpuasa, maka terlebih lagi hal-hal yang diharamkan. Dengan demikian kita dilatih untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan. Maka puasa itu dapat menjaga diri dari maksiat. Inilah salah satu maqashid syariah dari ibadah puasa sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Saw dengan sabdanya, “Puasa itu perisai (penahan diri dari maksiat)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, sudah sepatutnya setelah Ramadhan kita mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan maksiat baik berupa perkataan seperti ghibah, mencaci maki, menipu, menfitnah dan sebagainya, maupun perbuatan seperti mencuri, korupsi, memukul, membunuh dan sebagainya. Pasca Ramadhan ini diharapkan kita menjadi orang  yang shalih. Hal ini tercermin dari perilaku kita yang semakin baik dari sebelumnya.

 

Ketiga, suka membantu orang lain. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk membantu saudara kita yang lemah ekonominya lewat infak, shadaqah dan zakat. Amal shalih tersebut sangat digalakkan pada bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan pertolongan kita dan terjepit ekonominya. Kebiasaan berinfak pada bulan Ramadhan perlu dipertahankan dan dilanjutkan pada bulan lainnya.

Mengenai keutamaannya, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٍ۬ فَلِأَنفُسِڪُمۡ‌ۚ

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka pahalanya itu untuk kalian sendiri…” (QS: Al-Baqarah: 272).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Setiap hari, dua malaikat turun kepada seorang hamba. Salah satunya berdoa, “Ya Allah, berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak. Dan yang lain berdoa, “Ya Allah, hilangkan harta orang yang menolak infak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam juga bersabda, “Allah Swt menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

Keempat, suka mengasihi dan mencintai saudara seiman. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk berempati dan peduli terhadap orang fakir dan miskin. Melalui puasa Ramadhan kita dapat merasakan kondisi orang-orang yang kelaparan dan bagaimana penderitaan hidup orang fakir dan miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Begitu pula Ramadhan mengajari kita untuk saling mencintai dan mengasihi sesama muslim dengan memberikan menggalakan kita untuk memberikan makanan untuk berbuka puasa dan makanan untuk bersahur . Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan untuk dapat selalu merasakan penderitaan saudara-saudara kita seiman, baik karena lemah ekonominya maupun konflik perang sehingga menimbulkan rasa empati dan kasih sayang terhadap mereka. Kita diharapkan untuk memiliki rasa solidaritas ukhuwwah dan kepedulian sosial serta mencintai saudara muslim. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Kelima, selalu menjaga shalat berjama’ah. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk selalu menjaga shalat jama’ah lewat shlat lima waktu, shalat tarawih dan qiyam lail di masjid dan mushalla. Pada saat shalat tarawih, masjid dan mushalla penuh dengan jama’ah selama bulan Ramadhan. Bahkan pada awal-awalnya terlihat membludak, walaupun pada akhir Ramadhan jama’ah semakin berkurang, namun tetap lebih ramai dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada hari-hari sebelum Ramadhan. Maka, diharapkan pasca Ramadhan kita terbiasa melakukan shalat berjama’ah di masjid atau mushalla. Sejatinya semangat shalat berjama’ah ini bisa dipertahankan dan dilanjutkan pada shalat lima waktu pada hari-hari setelah Ramadhan.

Baca: Etos Perjuangan di Bulan Ramadhan

Di antara keutamaan shalat jama’ah yaitu pertama, orang yang shalat berjamaah mendapatkan 27 kali lipat pahala dibandingkan shalat sendirian (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, setiap langkah orang yang shalat berjama’ah dicatat satu pahala sekaligus dihapus satu kesalahan (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, orang yang shalat berjama’ah akan tetap di doakan oleh para malaikat setelah shalatnya sampai shalat berikutnya selama ia masih ditempat shalatnya (HR. Bukhari dan Muslim). Keempat, makmum yang berbarengan ucapan aminnya dengan para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya. (HR. Bukhari).

Keenam, menjaga shalat sunnat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat melakukan ibadah sunnah. Pahala amalan sunnat pada bulan Ramadhan dihitung pahala wajib sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits (HR. Baihaqi).

Itu sebabnya orang berlomba-lomba melakukan shalat-shalat sunnat di bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan kita untuk tetap istiqamah dalam menjaga shalat-shalat sunnat seperti Rawatib, ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyatul masjid, Wudhu’, Tahajjud, Witir dan shalat sunat Fajar.

Adapun keutamaan shalat Rawatib yaitu dibangunkan rumah di Surga (HR. Muslim). Keutamaan shalat Dhuha yaitu pahalanya sama seperti bersedekah (HR. Muslim). Mengenai keutamaan shalat sunat setelah wudhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan sejak masuk Islam, karena aku benar-benar mendengar suara terompahmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang paling aku harapkan pahalanya kecuali setiap kali selesai berwudhu, baik di waktu siang maupun malam, aku melakukan shalat sunnah semampuku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun keutamaan shalat sunnat Fajar (sudah masuk waktu shubuh, namun sebelum shalat shubuh) adalah nilai pahalanya lebih baik dari dunia dan isinya, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Shalat dua rakaat di waktu fajar lebih baik daripada dunia beserta isinya.” (HR. Muslim)

 

Ketujuh, suka bertadarus al-Quran. Makna tadarus al-Quran adalah membaca, memahami, menghafal dan mempelajari Al-Quran. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk tadarus dengan al-Quran. Tadarus al-Quran termasuk amalan yang paling utama dan digalakkan di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, umat Islam dengan semangat dan antusias bertadarus al-Quran. Bahkan dalam bulan Ramadhan seorang muslim mampu mengkhatamkan Al-Quran beberapa kali.

Maka, sepeninggal Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan berinteraksi dengan al-Quran baik dengan  membaca, mengkhatamkan,  memahami, menghafal maupun mengkaji al-Quran. Karena al-Quran itu tidak hanya wajib dibaca pada bulan Ramadhan, namun juga wajib dibaca pada bulan-bulan berikutnya (selain Ramadhan).

Banyak sekali keutamaan orang yang membacanya, di antaranya yaitu; Pertama: mendapatkan syafaat (pertolongan) pada hari Kiamat (HR. Muslim). Kedua, Rasulullah Shalallahu ’Alaihi Wassallam menegaskan bahwa orang yang terbaik di antara manusia adalah orang yang mau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. (HR. Bukhari). Ketiga, orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan disediakan tempat yang paling istimewa di surga bersama para malaikat yang suci. Sedangkan orang yang membaca terbata-bata (belum pandai), maka ia akan diberi dua pahala. (HR. Bukhari dan Muslim). Kelima, orang yang membaca dan mendengar Al-Qur’an akan mendapatkan sakinah, rahmah, doa malaikat dan pujian dari Allah Swt. (HR. Muslim). Keenam, mendapat pahala yang berlipat ganda yaitu setiap huruf dihitung satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat gandakankan menjadi sepuluh ganda (HR. at-Tirmizi), dan sebagainya.

Demikianlah hendaknya kita mengisi hari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan istiqamah melakukan berbagai ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Ibadah dan amal shalih ini tidak hanya diperintahkan pada bulan Ramadhan, namun juga pada bulan-bulan lainnya. Kesuksesan Ramadhan seseorang itu ditandai dengan semakin baik ibadah dan perilakunya yaitu menjadi orang bertakwa. Semoga ibadah dan amal shalih kita di bulan Ramadhan diterima Allah Swt. Dan semoga kita termasuk kita termasuk orang-orang yang sukses dalam Ramadhan dan mendapat gelar taqwa. Amin!

 

Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, anggota Rabithah Ulama & Duat Asia Tenggara

HIDAYATULLAH

Pesona Fisik dan Akhlak Rasulullah di Mata Para Sahabat [1]

Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassallam merupakan manusia spesial yang diutus Allah Subhanahu Wata’ala bagi semesta alam.  Allah Subhanahu Wata’ala memberikan banyak kelebihan kepada Nabi baik fisik maupun akhlaknya.

Jabir bin samurah meriwayatkan dalam Shahih Muslim, wajah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bagaikan Matahari dan Bulan.  Sementara Sayyidina Ali mengatakan,  Matahari dan Bulan seaakan beredar di wajah beliau. (Syamail Imam Tirmidzi).   Umar bin Khattab menyebutkan,  Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam adalah manusia yang bibirnya paling indah. Di bawah ini adalah pengakuan istri dan para Sahabat-Sahabat Rasulullah tentang fisik, pribadi dan penampilan beliau.

Aisyah Radhiallâhu ‘anha pernah berkata:

“Beliau (Rasulullah) adalah orang yang paling mulia akhlaknya, tidak pernah berlaku keji, tidak pula mengucapkan kata-kata kotor, tidak berbuat gaduh di pasar, dan tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa, akan tetapi beliau pemaaf dan pengampun.” (HR Ahmad)

Anas bin Malik Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang sedang berbisik dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam kemudian beliau menjauhkan kepalanya, sehingga orang tersebut-lah yang menjauhkan sendiri kepalanya. Dan aku juga tidak pernah melihat seorang pun yang menjabat tangan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam kemudian beliau melepas tangannya, sehingga orang tersebut-lah yang melepaskan tangannya sendiri.” (HR Abu Daud)

”Aku belum pernah menyentuh sutra yang lebih lembut dibandingkan telapak tangan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam.  Dan aku juga belum  pernah mencium minyak wangi (misk) atau parfume apapun yang lebih harum dibandingkan aroma  Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam.” (HR Bukhari)

“Kedua telapak tangannya lebar, kulitnya tidak terlalu putih dan tidak terlalu coklat; tetapi putih kemerah-merahan. Ketika beliau meninggal dunia, di kepalanya hanya ada dua puluh lembar uban.” (HR Bukhari)

Abu Hurairah Radhiallâhu ‘anhu Berkata:

“Beliau adalah seorang yang panjang kedua lengannya, lentik alisnya, kedua matanya lebar, dan antara kedua pundaknya kekar dari depan dan belakang. Demi bapak dan ibuku, sungguh beliau tidak pernah berbuat keji dan tidak pula berkata keji, dan beliau juga tidak pernah mengeraskan suaranya di tempat tempat umum.” (HR Ahmad)

“Belum pernah aku menyaksikan orang yang lebih baik dari Rasulullah; seakan-akan mentari berjalan di wajah beliau. Dan belum pernah aku melihat orang yang jalannya lebih cepat dari Rasulullah; seakan-akan bumi dilipat untuk beliau.” (HR Tirmidzi)

Abu Bakar Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“Orang yang terpercaya dan pilihan, mengajakan kebaikan, dan seperti cahaya bulan purnama yang mengusir kegelapan.”

Ali Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“….Beliau adalah pamungkas para nabi, orang yang paling dermawan, paling lapang dada, paling benar tutur katanya, paling komitmen dengan janjinya, paling lembut perangainya, paling mulia pergaulannya, siapapun yang memandangnya dengan tiba-tiba pasti akan segan kepadanya, siapapun yang bergaul dengannya secara dekat pastilah mencintainya. Aku belum pernah melihat orang seperti beliau sebelum dan sesudahnya.” (HR Tirmidzi)

Ibnu ‘Abbas Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“Diantara gigi-gigi serinya ada celah, dan apabila berbicara terlihat seperti ada cahaya yang keluar dari celah-celah gigi serinya itu.” (HR Darimi)

Ka’b bin Malik Radhiallâhu anhu berkata:

“Apabila bergembira, wajahnya bercahaya, seakan-akan wajah beliau itu sepotong rembulan.” (HR Bukhari)

Jabir bin Samurah Radhiallâhu ‘anhu berkata,

“Kedua betisnya sangat ideal, tertawa beliau sebatas tersenyum. Apabila aku melihatnya, aku selalu berkata, ‘Pelupuk matanya hitam seakan akan memakai celak, padahal tidak.’” (HR Tirmidzi)

“Beliau pernah mengusap pipiku, kudapati tangannya terasa dingin dan aromanya sangat harum seakan-akan beliau baru mengeluarkannya dari keranjang tempat minyak wangi.” (HR Bukhari)

Abdullah bin Salam Radhiallâhu ‘anhu berkata:

“Ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, orang-orang bergegas menyambut beliau sambil mengucapkan, ‘Rasulullah telah datang…. Rasulullah telah datang…. Rasulullah telah datang…’  aku berusaha menembus kerumunan orang untuk menyaksikan wajah beliau secara langsung. Setelah kuperhatikan wajahnya, aku langsung menyimpulkan  bahwa wajah beliau bukanlah tampang seorang  pendusta. Dan yang pertama kali beliau ucapkan adalah, “Hai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makan dan laksanakan shalat ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian masuk Syurga dengan selamat.” (HR Tirmidzi).*/Mabni Darsi, penulis buku “Pesona Cinta Muhammad saw:Kunci Sukses Rasulullah  Merebut Hati Menuai Simpati

 

HIDAYATULLAH

Saat Tha’if Dikepung 40 Hari

PERANG ini pada hakekatnya merupakan perpanjangan dan kelanjutan dari perang Hunain. Sebab mayoritas pelarian Hawazin dan Tsaqif masuk ke Tha’if bersama komandan tertinggi mereka, Malik bin Auf An-Nashri. Mereka bertahan di sana. Karena itu Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam beranjak ke Tha’if seusai dari Hunain dan setelah rampung mengumpulkan harta rampasan di Ji’ranah.

Khalid bin Walid berangkat lebih dahulu ke sana bersama 1.000 prajurit, kemudian Rasulullah menyusul dengan melewati Nakhlah Al-Yamaniyah, Qarnul Manazil, hingga tiba di Liyyah. Di sana ada benteng milik Malik bin Auf. Beliau memerintahkan untuk menghancurkan benteng tersebut.

Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Tha’if. Beliau berhenti tak jauh dari benteng mereka dan berkubu di sana. Kemudian beliau memerintahkan untuk mengepung benteng tersebut.

Pengepungan ini berjalan cukup lama. Dalam riwayat Muslim dari Anas, tempo pengepungan ini selama 40 hari. Tetapi menurut para penulis sejarah, tidak selama itu. Pada awal pengepungan, orang-orang Muslim mendapatkan serangan anak panah secara gencar.

Cukup banyak orang Muslim yang cedera. Ada 12 orang meninggal dunia, hal ini memaksa mereka mengalihkan kubu ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya di tempat yang didirikannya masjid Tha’if saat ini. Mereka pun bermarkas di sana.

Nabi memasang Manjaniq ke arah penduduk Tha’if di dalam benteng dan melontarkan peluru-peluru batu, hingga dapat merontokkan sebagian dinding benteng dan beberapa prajurit Muslim masuk ke dalam benteng lewat dinding yang sudah terlubangi itu.

Mereka masuk ke arah pagar benteng untuk membakarnya. Tetapi musuh melontarkan besi yang sudah dibakar panas dan juga serangan anak panah ke arah orang-orang Muslim yang masuk ke dalam benteng hingga dapat membunuh sebagian di antara mereka.

Sebagai bagian dari siasat perang, Rasulullah memerintahkan untuk menebangi pohon anggur dan membakarnya. Karena cukup banyak pohon anggur ditebangi, pihak musuh dari Tha’if memohon atas nama Allah dan hubungan kerabatan, agar penebangan itu dihentikan. Beliau mengabulkan permohonan mereka. Lalu beliau berseru, ”Siapa pun yang mau turun dari benteng dan datang ke sini, maka dia bebas.”

Ada 20 orang turun dari benteng dan mendatangi pasukan Muslim. Di antara mereka ada yang dijuluki Abu Bakhra. Pekerjaannya memanjat dinding benteng Tha’if, lalu menjulurkan kerekan bundar untuk mengambil air minum. Maka ia dijuluki Abu Bakrah (tukang kerek).

Beliau membebaskannya dan setiap orang di antara mereka diserahkan kepada seorang Muslim untuk diberi makan.

Setelah pengepungan berjalan sekian lama dan benteng tidak mudah ditaklukkan begitu saja, sementara musuh bisa bertahan di dalam benteng selama setahun, maka Rasulullah meminta pendapat Naufal bin Mu’awiyyah Ad-Dili. Dia berkata, ”Mereka adalah rubah di dalam lubang. Jika engkau tetap mengepung mereka, maka mereka pun tidak akan berbahaya.”

Beliau pun bermaksud hendak meninggalkan benteng dan pergi. Beliau memerintahkan Umar bin Al-Khattab mengumumkan kepada orang-orang, ”Insya Allah besok kita akan pergi.”

Tetapi ada di antara mereka yang keberatan dengan rencana ini. Mereka berkata, ”Maka kita pergi begitu saja dan tidak menaklukkannya?”

“Kalau begitu serbulah mereka!” sabda beliau.

Tetapi justru serbuan yang mereka lakukan mengakibatkan banyak orang terluka, karena benteng musuh memang cukup kuat. Maka beliau bersabda, “Insya Allah besok kita akan pergi.”

Perintah ini justru membuat mereka merasa senang. Karena itu mereka pergi. Melihat hal ini beliau hanya bisa tersenyum. Setelah mereka beranjak pergi, beliau bersabda, ”Ucapkanlah, ’Kami pasrah, bertaubat, menyembah dan kepada Rabb kami memuji.’”

Ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, berdoalah bagi kemalangan Tsaqif.”

Maka beliau bersabda,”Ya Allah, berikanlah petunjuk bagi penduduk Tsaqif dan limpahilah mereka.”*/Sudirman STAIL (sumber buku: Sirah Nabawiyah, penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri)

 

HIDAYATULLAH