Tindak Lanjuti RS Indonesia, MER-C Kirim Tim ke Myanmar

Pada Rabu pagi (6/9), dua relawan insinyur MER-C yang berpengalaman dalam program pembangunan RS Indonesia di Jalur Gaza Palestina, yaitu Ir. Faried Thalib dan Ir. Nur Ikhwan Abadi bertolak ke Myanmar.

Kedua relawan dari Divisi Konstruksi MER-C ini akan menindaklanjuti program pembangunan RS Indonesia di Rakhine State, Myanmar yang akan memasuki tahap dua dari tiga tahap yang direncanakan.

Meski situasi di Myanmar belum kondusif, proses pembangunan RS Indonesia di wilayah ini terus berjalan. Pembangunan tahap pertama telah selesai, akan dilanjutkan pembangunan tahap dua berupa pembangunan asrama dokter dan perawat. Pada keberangkatan kali ini tim akan melakukan finalisasi kontrak dengan para kontraktor lokal.

RS Indonesia di Rakhine State, Myanmar diharapkan bisa segera selesai dan memberikan bantuan pelayanan kesehatan jangka panjang bagi para korban konflik di wilayah ini.

Pembangunan RS Indonesia di wilayah konflik Rakhine State, Myanmar adalah sebuah langkah diplomasi kemanusiaan di dunia internasional kerja sama MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) dan PMI (Palang Merah Indonesia), didukung oleh pemerintah Republik Indonesia.

 

REPUBLIKA

Hukum Merokok dan Menjual Rokok, Haram atau Makruh?

Bagaimana hukum merokok dan menjual rokok? Berikut ini penjelasannya, termasuk hujjah ulama yang menyatakan hukumnya haram maupun yang menyatakan hukumnya makruh.

Ustadz Abdul Somad pernah ditanya tentang hukum menjual rokok. Alumni Universitas Al Azhar Mesir dan Darul Hadits Maroko itu pun memberikan jawaban yang gamblang disertai analogi.

“Ustadz, bagaimana hukum menjual rokok?” Demikian salah satu pertanyaan tertulis yang diajukan salah seorang jamaah pengajian.

“Tergantung bagaimana Anda meyakini hukum rokok,” Ustadz Abdul Somad memulai jawabannya.

“Jika Anda meyakini hukum rokok itu haram, maka hukum menjual rokok seperti menjual babi. Sebaliknya, jika Anda meyakini hukum rokok itu makruh, maka menjual rokok seperti menjual jengkol.”

Seperti diketahui, para ulama -khususnya di Indonesia- berbeda pendapat mengenai hukum rokok. Sebagian ulama menyatakan rokok hukumnya haram dan sebagian lainnya menyatakan rokok hukumnya makruh.

Hukum merokok haram

Para ulama, mayoritas berpendapat bahwa hukum merokok adalah haram. Syaikh Qalyubi menjelaskan dalam kitab Hasyiyah Qalyubi ala Syarh Al Mahalli.

“Ganja dan seluruh obat bius yang menghilangkan akal, meskipun zatnya suci, hukumnya haram untuk dikonsumsi. Oleh karena itu para Syaikh kami berpendapat bahwa rokok hukumnya juga haram, karena rokok dapat membuka jalan agar tubuh terjangkit berbagai penyakit berbahaya,” tulis ulama mazhab Syafi’i yang wafat pada tahun 1069 H ini.

Mayoritas ulama madzhab lainnya dari Malikiyah, Hanafiyah dan Hambali juga mengharamkannya. Umumnya mereka berhujjah dengan dalil:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“ (QS. Al Baqarah: 195)

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Baihaqi, dan Hakim)

Syaikh Yusuf Al Qardhawi menegaskan dalam fatwa beliau, “Tidak ada pendapat ulama saat ini yang menghalalkan rokok setelah kalangan medis menjelaskan bahaya dan efek negatifnya.”

“Maka yang tersisa adalah pendapat makruh atau haram. Pendapat yang mengharamkan menurut kami lebih kuat argumennya. Dan itulah pendapat saya. Hal itu karena jelasnya bahaya fisik, harta dan diri karena kebiasaan merokok. Segala sesuatu yang membahayakan kesehatan manusia maka harus diharamkan secara syariah.”

Lanjutan dari fatwa Syaikh Yusuf Qardhawi tersebut adalah sebagai berikut:

Allah berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 185:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“

Surat An-Nisa ayat 29:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Surat Al An’am ayat 141:

وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Surat Al-Isra ayat 27:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Rokok berbahaya pada kesehatan dan harta, maka memperoleh sesuatu yang membahayakan manusia itu haram. Oleh karena itu, kami merasa wajib memfatwakan haramnya rokok pada saat ini.

Ulama yang berpendapat rokok haram

Selain ulama terdahulu seperti yang disebutkan di atas, mayoritas ulama di zaman sekarang menyatakan hukum merokok haram. Di antaranya:

  • Para ulama Arab Saudi. Hampir seluruh ulama Saudi mengharamkan rokok. Demikian pula lembaga fatwa Arab Saudi Lajnah Daimah.
  • Syaikh Yusuf Al Qardhawi
  • Dewan Fatwa al-Azhar, Mesir (1979 M)
  • Muzakarah Jawatankuasa Fatwa, Majlis Kebangsaan Hal Ehwal Islam Malaysia yang ke-37 ( 1995 M)
  • Muhammadiyah, berdasarkan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid bernomor 6/SM/MTT/III/2010

Hukum merokok makruh

Ulama yang berpendapat bahwa rokok itu makruh umumnya berdalil bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya boleh (الأصل فى الأشياء الاباحة) kecuali ada dalil yang melarangnya.

Menurut mereka, rokok tidak sampai pada taraf “sangat membahayakan” maka hukumnya hanya makruh.

KH Arwani Faishal, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU, menjelaskan bahwa QS Al Baqarah ayat 195 dan hadits “laa dlarara wa laa dliraar” adalah dua dalil yang dipakai untuk menghukumi rokok. Namun, permasalahannya adalah apakah rokok itu termasuk mudharat atau tidak. Jika tidak membawa mudharat, maka hukumnya mubah. Jika membawa mudharat kecil, maka makruh. Dan jika banyak mudharat, maka haram.

Ulama yang berpendapat rokok makruh

Yang berpendapat rokok makruh di antaranya Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU pada 25 Februari 2011 dan Jawatan kuasa Perunding Hukum Syara’ (Fatwa) Malaysia.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Doa Umar bin Khattab Usai Berhaji

Saat berhaji, Khalifah Umar bin Khattab pernah diundang Sufyan bin Umayyah. Dalam acara makan tersebut, tersedia empat nampan besar beserta pelayannya.

Mereka pun makan, tetapi Umar melihat pelayan-pelayan itu berdiri saja menyaksikan orang lain makan. Umar bertanya kepada Sufyan,”Mengapa para pelayanmu tidak makan bersama?”

“Tidak demi Allah ya, Amirul Mukminin,” jawab Sufyan. “Mereka makan sesudah kita makan untuk menunjukan kebesaran kita”.

“Tidak bisa begitu,” kata Umar geram.

“Setiap kaum yang merendahkan pelayannya, maka dia akan direndakan Allah. Ayo para pelayan, silahkan makan bersama-sama,” kata Umar.

Pelayan itu akhirnya makan bersama-sama. Sudah menjadi prinsip Umar mendahulukan kepentingan rakyatnya. Karena prinsip itu, Umar pernah hanya memakan minyak selama sembilan bulan. Beliau bersumpah tidak akan makan lauk selain minyak sehingga Allah memberi kelapangan kepada kaum Muslimin. Beliau juga pernah memikul karung-karung sendiri untuk diberikan kepada janda-janda dan anak-anak yatim.

Selesai berhaji pada tahun 23 hijriyah, Umar berdoa kepada Allah di Abtha. Beliau mengadu kepada Allah tentang usianya yang senja, kekuatan yang melemah, sementara rakyatnya menyebar luas di berbagai penjuru. Umar khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya dengan sempurna. Beliau pun berdoa kepada Allah agar wafat dengan mati syahid serta dimakamkan di Madinah.

Doa itu diwujudkan Allah. Umar bin Khattab wafat 25 Zulhijah 23 Hijriyah setelah ditikam seorang majusi bernama, Abu Luluah Fairuz ketika hendak melaksanakan shalat Subuh.

 

REPUBLIKA

Ketika Khalifah Umar Minta Pendapat Perempuan Sebelum Perang

Umar bin Khattab merupakan salah satu pemimpin terbaik dalam sejarah Islam. Sewaktu menjabat khalifah, sahabat Rasulullah SAW itu memiliki kebiasaan ronda malam. Beberapa sumber menyebut, sang khalifah tidak akan tidur sebelum merasa yakin, segenap penduduk Madinah dan sekitarnya melalui malam hari dengan perut kenyang dan hati yang tenteram.

Kisah berikut ini menegaskan kecenderungan Khalifah Umar bersikap adil dalam menetapkan suatu keputusan. Ini terkait lamanya waktu berperang di jalan Allah yang dihubungkan pula dengan perasaan perempuan.

Abu Hafsh meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa suatu malam ketika Khalifah Umar sedang ronda, ia lewat di depan rumah seseorang. Dari dalamnya, suara seorang perempuan terdengar lirih sedang bersenandung untaian syair: “Malam ini terasa panjang, sunyi senyap hitam kelam; Lama aku tiada kekasih, yang kucumbu dan kurayu.”

Umar bin Khaththab menanyakan kepada orang yang kebetulan berpapasan, siapa gerangan perempuan itu. Darinya terdapat informasi, perempuan tersebut adalah Fulanah, istri seorang prajurit Islam yang sedang berjuang di medan jihad. Keesokan harinya, Khalifah Umar bersurat kepada komandan di lapangan agar suami Fulanah segera pulang ke rumahnya.

Kisah tidak berhenti di situ. Khalifah Umar berupaya mencari tahu, sebenarnya berapa lama waktu bagi seorang istri dapat menahan kerinduan akan suaminya.

Sosok bergelar al-Faruq itu lantas mengunjungi rumah putri kandungnya, Hafshah. “Wahai, putriku. Berapa lama seorang perempuan mampu menahan (sabar) ditinggal pergi suaminya?” tanya sang khalifah setelah berbasa-basi.

Awalnya, Hafshah terkejut dan tersipu malu mendengar pertanyaan yang tak disangka itu. “Subhanallah. Orang seperti Ayah bertanya kepada saya tentang soal-soal ini?”

“Kalau misalnya bukan karena kepentingan umat, tentu saya tidak akan menanyakan hal ini kepadamu,” kata Umar, melanjutkan.

Setelah mendapatkan pengertian, sang putri menjawab, ada rentang waktu sekitar lima atau enam bulan kesabaran seorang istri untuk menunggu suaminya pulang. Sejak saat itu, Khalifah Umar menetapkan waktu tugas bagi seluruh prajurit Muslim di medan perang tidak lebih dari enam bulan.

Rinciannya, satu bulan merupakan perjalanan pergi ke gelanggang jihad, empat bulan lamanya di lapangan, kemudian satu bulan sisanya untuk perjalanan pulang.

Demikian disarikan dari kitab Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khaththab karya M Abdul Aziz al-Halawi (hlm. 176-7).

 

REPUBLIKA

Tolaklah Jerat Setan dengan Isti’adzah

AL-QUR’AN telah memberi bimbingan dan petunjuk kepada kita tentang cara menangkal atau menolak musuh bebuyutan Bani Adam dengan cara yang sangat mudah dan praktis, yakni dengan isti’adzah dan berpaling menjauhkan diri dari orang-orang bodoh terhadap kebenaran. Juga dengan cara menolak keburukan mereka dengan kebaikan.

Al-Qur’an telah memberitahukan kepada kita tentang besarnya bagian dan keberuntungan bagi orang-orang yang mengikuti bimbingan dan petunjuk di atas. Bagian dan keberuntungan tersebut adalah terhindar dari kejahatan yang memusuhi dan berbaliknya sikap sang musuh menjadi sahabat sejati, kemudian memperoleh cinta kasih, terkendalinya hawa nafsu, terbebasnya hati dari sifat dengki dan dendam, juga rasa aman orang lain bersamanya, bahkan terhadap orang yang memusuhinya sekalipun. Semua ini belum termasuk kemuliaan, pahala yang baik, dan ridha Allah untuknya. Ini adalah puncak keberuntungan, baik diraih di dunia maupun di akhirat. Hal ini tidak akan dapat diraih melainkan oleh orang sabar.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

Sifat-sifat baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang sabar.” (Fushilat: 35).

Sedangkan pemarah dan dungu, sungguh tidak mungkin akan dapat bersabar untuk menghadapi hal tersebut. Karena marah merupakan kendaraan bagi setan, dan terjalinlah kerja sama antara nafsu yang emosional dan setan dapat menaklukkan nafsu yang tenang (nafsu mutmainnah) yang selalu menyuruh hati agar menolak keburukan dengan kebaikan.

Padahal Allah menyuruh hati agar menjalin kerja sama dengan nafsu yang tenang dan tentram melalui isti’adzah kepada Allah dari setan. Dan isti’adzah merupakan penolong bagi nafsu yang tentram dan memerangi nafsu yang emosional. Berkat isti’adzah terwujudlah sifat sabar, iman, dan tawakal, sehingga kekuatan setan pun terkalahkan. Sebab, “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.” (an-Nahl: 99)

Menurut pendapat Mujahid, Ikrimah, dan para mufassir, makna dari “tidak ada kekuasaannya” adalah “tidak mempunyai hujjah”. Sesungguhnya setan tidak memiliki cara (jalan) untuk menguasai orang-orang beriman dan bertawakal kepada Allah, baik dari segi hujjah maupun dari segi kemampuan (kapabilitas).

Kemampuan di sini meliputi apa yang disebut kekuasaan (sulthan). Akan tetapi, terkadang hujjah juga suka disebut sebagai kekuasaan karena oleh pemiliknya dijadikan sarana untuk berkuasa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa setan tidak memiliki kekuasaan untuk menguasai hamba-hamba-Nya yang berhati tulus dan bertawakal kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah,

Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. ‘Allah berfirman, ‘Inilah jalan yang lurus; kewajiban Akulah (menjaganya). Sesungguhnya, hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (al-Hijr: 39-42)

Firman Allah tersebut meliputi dua hal: Pertama, peniadaan kekuasaan dan pembatalan kekuasaan setan atas orang-orang yang mengesakan Allah sebagai Tuhan mereka dengan tulus murni, dan kedua, pengakuan kekuasaan setan atas orang-orang musyrik dan orang-orang yang menjadikan setan sebagai wali mereka.

Ketika setan mengetahui bahwa Allah tidak akan membuat orang-orang yang mengesakan-Nya dengan tulus murni terjerat oleh perangkap yang dibuatnya, maka ia pun bersumpah, sebagaimana difirmankan oleh Allah,

Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (Shaad: 82-83)

Setan sebagai musuh Allah mengetahui bahwa orang-orang yang berlindung kepada Allah dan bersikap tulus murni mengesakan serta bertawakal kepada-Nya, membuat ia tidak ada kuasa untuk menyelewengkan dan menyesatkannya. Begitu juga setan mengetahui bahwa ia memiliki kekuasaan atas manusia untuk menyelewengkan dan bersikap syirik kepada Allah. Dengan demikian hanya orang-orang sesat sajalah sebagai bawahannya dan setan pulalah sebagai wali, pemimpin, dan ikutan mereka.

Firman Allah,

Dan sekali-kali Allah tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisaa: 141).

 

 

*/Sudirman STAIL (sumber buku: Membersihkan Hati dari Gangguan Setan, penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

 

HIDAYATULLAH

Wasiat Terakhir Rasulullah

Secara formal, ibadah haji yang telah ada sejak Nabi Ibrahim AS, diwajibkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 6 Hijriyah. Namun, beliau dan sahabat-sahabatnya belum bisa melaksanakannya karena Makkah masih dikuasai kaum musyrik.

Kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji baru didapatkan setelah beliau menguasai atau menaklukkan Makkah (Fath Makkah) pada 8 Hijriyah. Kenyataannya, beliau dan sahabatnya belum bisa melaksanakannya pada 8 Hijriyah bahkan, 9 Hijriyah pun belum bisa.

Pada 10 Hijriyah, barulah beliau dan sahabat-sahabatnya dapat melaksanakan ibadah haji. Selang tiga bulan berikutnya, beliau meninggal dunia. Peristiwa ibadah haji beliau dan sahabat-sahabatnya tersebut populer dengan sebutan hajji wada’ (haji perpisahan).

Dengan demikian, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, beliau hanya melaksanakan ibadah haji satu kali, kendati kesempatan untuk melaksanakannya datang tiga kali.

Nabi Muhammad SAW juga hanya melaksanakan umrah empat kali; satu kali umrah wajib bersama haji dan tiga kali umrah sunah, kendati kesempatan untuk melaksanakannya datang ratusan atau ribuan kali.

Menurut Ali Mustafa Ya’qub, ibadah haji termasuk kategori ibadah qashirah, yaitu ibadah individual yang manfaatnya hanyadirasakan oleh diri sendiri. Andaikata ibadah haji dan umrah berulang-ulang itu baik dan bahkan dianjurkan oleh agama, niscaya sebagai teladan (uswah hasanah) sejati beliau telah lebih dahulu mencontohkannya.

Lebih lanjut dikatakannya, ternyata beliau tidak melak sanakan haji berulang-ulang. Beliau justru lebih gemar melaksanakan ibadah muta’addiyah, yaitu ibadah sosial yang manfaatnya dirasakan oleh pihak lain, seperti menyantuni anak yatim/piatu, membantu saudaranya yang kesulitan, dan seterusnya.

Dalam salah satu riwayat Muslim dikemukakan, menemui Allah tidak serta-merta dengan mengunjungi Baitullah berkalikali. Lantaran Allah dapat ditemui juga di sisi orang yang sakit, orang yang kelaparan, orang yang terpinggirkan, dan lain-lain. Realitasnya, tidak sedikit orang yang pergi ke Baitullah bukan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, melainkan justru membawa motivasi keduniaan.

Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan, Akan datang suatu masa bagi manusia, orang yang elite (kaya) dari umatku pergi haji untuk wisata/rekreasi, yang menengah untuk dagang/bisnis, yang ulama untuk pamer atau popularitas, dan yang fakir untuk meminta-minta.(HR Al-Khatib al-Baghdadi dan Ad-Dailami).

Saat Wukuf di Arafah, beliau menyampaikan khutbah yang isinya antara lain, pertama, agar bertakwa kepada Allah dan menaati-Nya. Kedua, agar memperhatikan haramnya darah dan harta kaum Muslim sehingga mereka menjumpai Tuhannya.

Ketiga, agar menyampaikan amanah kepada mereka yang berhak. Keempat, agar memperhatikan hak istri dan hak suami. Kelima, agar berpedoman kepada Alquran dan Sunah sehingga tidak tersesat. Keenam, agar tidak kembali kepada kekufuran.

Ketujuh, agar membagikan harta warisan sesuai dengan ketentuan dari Allah.Semoga wasiat terakhir Rasulullah tersebut dapat kita jadikan pelajaran berharga.

 

Oleh: Mahmud Yunus

REPUBLIKA

Hati adalah Raja, Tempat Kita Mengenal Allah ( 2-selesai)

Sambungan artikel PERTAMA

 Ibarat Emas

Hati merupakan instrumen penggerak dari aktifitas dan perilaku manusia. Perilaku seseorang tidak dapat terpisah dari kondisi hatinya. Bila bijaksana dalam mengupayakan hatinya maka seseorang dapat mempertimbangkan perbuatannya dan membawanya ke jalan yang benar.

Sebaliknya, jika tidak bijaksana maka akan memalingkannya ke jalan yang menyimpang, seperti riya’, hasud, tamak yang termasuk dari macam-macam penyakit hati.

Menurut Al-Ghazali, hati merupakan elemen yang berharga bagi seorang hamba. Ia mengatakan bahwa hati merupakan tempat mengenal Allah Subhanahu Wata’ala. Al-Ghazali menyebutkan bahwa didalam hatiterdapat hal-hal yang berarti; yaitu hati memiliki akal. Dan tujuannya adalah untuk mengenal Allah (al-ma’rifah).

Hati memiliki penglihatan yang di gunakan untuk berhadapan dengan kehadirat ilahi. Dan hati memiliki niat yang tulus dan keikhlasan dalam ketaatan terhadap AllahSubhanahu Wata’ala. Hati memiliki ilmu-ilmu dan kebijaksanaan yang menghantarkan seorang hamba kepada tingkat kemuliaan dan akhlak yang terpuji.

Oleh sebab itu menurut Al-Ghazali, sudah sepatutnya seorang hamba senantiasa menjaga dan merawat hatinya dari segala kekotoran duniawi agar kemuliaan hati tetap terlindungi dan terjaga dalam keagungan.

Sudah sepatutnya bagi seorang hamba senantiasa mengupayakan hatinya dalam keagungan dan kemuliaan agar hati senantiasa berada dalam kesadaran dan dapat menangkap kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala . Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam.

Mengupayakan hati dalam kebaikan adalah hal yang mutlak di perlukan. Jangan sampai hati menjadi keruh karena kesalahan dan dosanya.  Sebab hati pula merupakan daya kekuatan dalam bertindak yang secara tidak langsung berpengaruh dalam tindakan seseorang.

Seseorang yang senantiasa melakukan maksiat adalah di sebabkan karena tidak mengetahui potensi-potensi yang ada di dalam hatinya.

Seorang ulama, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari, mengatakan bahwa tanda-tanda dari kematian hati seseorang adalah tidak merasa sedih ketika meninggalkan ketaatan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala  dan tidak menyesal ketika melakukan kesalahan dan dosa. (Lihat Kitab Syarah al-Hikam, Muhammad bin Ibrahim, hal-42  juz 1)

Sudah sepatutnya bagi seorang hamba untuk senantiasa menjaga hati dari kekotoran dan dosa yang dapat memadamkan hatinya. Hati ibarat wadah yang terbuat dari emas. Maka jangan sampai mengisinya dengan hal yang tak berharga dan sia-sia agar nilai tinggi dari wadah itu tetap lestari. Wallahu a’lam bi as-showab.*/

 

Muhammad Anasmahasiswa fakultas Dirasat Islamiyah (studi keislaman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HIDAYATULLAH

Hati adalah Raja, Tempat Kita Mengenal Allah ( 1 )

HAKIKAT dari hati adalah tak terlihat dan samar bagi panca indera manusia. Namun keberadaan hati dapat dirasakan. Keberadaan hati pun termasuk perkara ghaib bagi manusia, sama halnya dengan ruh.

Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali menempatkan hati sebagai hakikat ruh. Beliau menyebut hati sebagai bagian jenis malaikat. Karena, hati merupakan suatu bentuk yang abstrak bagi manusia atau tak dapat dilihat oleh panca indera. (al Ghazali dalam kitab Kimiya as Sa’adah)

Hati juga merupakan tempat memperolehnya pengetahuan hakiki setelah panca indera. Jika saja AllahSubhanahu Wata’ala tidak menciptakan hati bagi manusia, maka seseorang tidak akan mengetahui sesuatu sampai hakikatnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala  :

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ‌ۙلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ (٧٨)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16] : 78).

Ulama mengatakan hati merupakan tempatnya akal (fikiran), dan hati memiliki cahaya sebagai daya yangkarenanya akal bisa berfikir. (Lihat Kitab Jauhar at-Tauhid, Ibrahim al-Baijuri, hal-99).

Jadi, tanpa hati berserta cahayanya seorang manusia tidak dapat berfikir, serta tidak mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Oleh sebab itu, hati adalah instrumen terpenting dalam diri manusia.

Objeknya tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat profan, namun nilai objektifitas dari hati adalah untuk mencapaiperkara yang bersifat spiritual dan sakral, seperti halnya ketulusan atau keikhlasan dan rasa syukur, bahkan untuk mengenal Allah Subhanahu Wata’ala (al-ma’rifah).

Oleh karena itu, tanpa mengupayakan hati dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kesesatan. Hal ini terjadi ketika orang-orang musyrik mendustakan kebenaran Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam sehingga membawa mereka ke dalam azab yang pedih. Sebagaimana telah Allah abadikan di dalam Al-Quran:

خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡ‌ۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةٌ۬‌ۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬ (٧)

“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka (musyrikin) dan penglihatan mereka di tutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 7).

Hati juga sarana vital dalam menerima suatu kebenaran. Seseorang tanpa mengupayakan hatinya dalam kebaikan maka akan terjatuh ke dalam kekufuran.

Hati sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Bila hatinya baik, maka baik pula perilakunya. Dan sebaliknya, jika hatinya keruh maka tindakannya pun buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam yang di riwayatkan sahabat Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir R.A :

“Sesungguhnya di dalam jasad (badan) terdapat segumpal daging, jika ia bagus maka seluruh jasadnya bagus. Dan jika rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah! Segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim).

Seorang ulama mengatakan, “Hati adalah raja. Ketika yang merawatnya bagus maka rakyatnyapun bagus.” (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal-29, hadis keenam)

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri R.A, Rasulullah bersabda :

“Sepasang mata adalah petunjuk. Sepasang telinga adalah corong. Lisan adalah juru bicara. Kedua tangan adalah sayap. Perut adalah kasih sayang. Limpa adalah senyuman. Paru-paru adalah jiwa. Kedua pinggang adalah tipu daya. Dan hati adalah raja. Ketika rajanya bagus, maka rakyatnya pun bagus. Dan jika rajanya rusak maka rakyatnya pun rusak.” (HR Ibnu Hibban, Abu syaikh dan Abu Nu’aim).

Seorang ulama mengatakan, “Penglihatan, pendengaran dan indera pencium laksana daya kekuatan yang dilihat dan di pertimbangkan oleh jiwa. sedangkan hati adalah rajanya. Jika yang merawatnya baik maka baik pula rakyatnya.“ (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal 29).

BERSAMBUNG

 

HIDAYATULLAH

Ketika Nabi Marah Kepada Orang Berdoa di Ka’bah

Menjadi haji mabrur adalah juga menjadi orang yang tambah dermawan setelah pulang ke kampung halaman. Maka, untuk  bapak dan ibu haji yang sedang berada di Baitullah, inilah kisah menarik dari Ibnu Abbas, seperti tercantum dalam kitab “Tanbihul Ghafilin karya Abullaits As-Samarqandi:

Suatu saat Rasulullah saw melewati orang yang sedang menggelantung di kelambu Ka’bah sambil menjerit-jerit:

أسأٙلُك بحُرمةِ هذاالبيتِ أنْ تٙغْفِرٙلى.

(“Aku mohon kepada-Mu dengan kehormatan Rumah ini agar Engkau mengampuniku.”).

Rasulullah SAW menegur: “Wahai ‘abdullah, mintalah dengan kehormatanmu, karena kehormatan mukmin lebih agung di sisi Allah daripada kehormatan Rumah ini.”

Lelaki itu menjawab: “Ya Rasulullah, aku punya dosa yang sangat besar sekali.”

”Memangnya dosamu apa?” tanya beliau.

Sahut orang itu: “Aku banyak harta, ternak dan kuda, tetapi jika ada orang datang meminta sesuatu, seolah ada nyala api keluar dari wajahku saking marah dan bencinya kepada peminta-minta itu.”

Rasulullah SAW marah seraya menuding orang itu:

تٙنٙحّٙ عنِّى يا فاسِقُ لاتُحْرِقْنِى بِنٙارِك

 

…..
(“Pergi kamu dari sisiku, wahai org fasiq!! Jangan bakar aku dengan apimu…. Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya kamu berpuasa 1000 tahun dan shalat 1000 tahun kemudian kamu mati dalam keadaan kikir  seperti ini, niscaya Allah akan melemparkan kamu ke dalam neraka. Ketahuilah, kikir itu sebagian dari kufur dan kufur itu berada di neraka, sedangkan dermawan itu sebagian dari iman dan iman itu berada di surga”).
Rasulullah SAW menggambarkan perbedaan antara sifat dermawan dan kikir dalam perumpamaan yang indah ini:

“Dermawan adalah pohon dari pohon-pohon di surga yang dahan-dahannya terjulur ke bumi. Barangsiapa meraihnya, dia akan ditarik oleh dahan-dahan itu ke surga. Sedangkan kikir adalah pohon dari pohon-pohon di neraka yang dahan-dahannya terjulur ke bumi. Barangsiapa meraihnya, dia akan ditarik oleh dahan-dahan itu ke neraka.”

Semoga kita mendapat haji mabrur dan kembali lagi ke tanah air menjadi orang yang lebih dermawan dari sebelumnya.

 

 

Oleh: Didin Sirodjudin AR, Pengasuh Pesantran Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka).

 

IHRAM

Tujuh Cara Menghadapi Manusia Penebar Fitnah

DALAM kehidupan ini selalu saja ada jenis manusia yang pekerjaannya menebar fitnah, provokasi dan kebohongan. Biasanya mereka banyak berulah yang kadang menimbulkan masalah terhadap kita disebabkan fitnah dan provokasi yang mereka lancarkan.

Kadang sahabat dan teman kita menjauhi kita dan menjaga jarak dengan kita disebabkan oleh ulah mereka. Perlu Anda ketahui bahwa banyak di antara mereka yang terlibat atau terpengaruh fitnah, provokasi dan kebencian tersebut tidak memahami permasalahan yang sebenarnya.

Apa yang harus kita lakukan jika terjadi hal seperti itu kepada kita?

1. Jangan pernah mundur dan menyerah. Anda harus yakin bahwa semua itu pasti berlalu dan dengan pertolongan Allah Anda mampu menghadapi semua itu. Yakinlah, bahwa “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, demikian firman Allah dalam surat “Alam Nasyrah” ayat 5-6.

2. Tetaplah berbuat kebaikan dan buktikan dengan perbuatan nyata bahwa semua fitnah tersebut adalah palsu sehingga terbongkarlah kebohongan si penebar fitnah tersebut.

3. Jangan mengotori hati Anda dengan kebencian dan dendam kepada mereka karena hal itu tidak berfaedah dan hanya menimbulkan kerugian Anda.

4. Perbanyak istighfar dan bertaubat kepada Allah serta mengoreksi diri (muhasabah) atas apa yang kita lakukan selama ini.

5. Jika dada Anda terasa sempit oleh ulah mereka lakukanlah dua hal ini;

a). Bertasbih dengan memuji Allah (memperbanyak berdzikir kepada Allah).

b). Bersujud (salat).

Allah Taala berfirman:

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan,

“maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),” [QS 15 Al Hijr, Ayat 97-98]

6. Jika Anda sabar, tegar dan kokoh pasti Allah berikan kemenangan kepada Anda karena kesabaran adalah bala tentara terkuat yang tidak terkalahkan dengan izin Allah.

7. Anda harus menyadari bahwa semua ini adalah ujian yang akan menjadikan Anda semakin mulia dan sukses jika Anda berhasil menghadapinya.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sukses dunia akhirat. []

 

AbdullahHadrami