9 Contoh Amal Jariyah

banyak perbuatan baik yang bisa dilakukan sebagai bekal di akhirat. Salah satunya adalah amal jariyah.  

Amal jariyah sendiri memeiliki arti amalan yang pahalanya terus mengalir meskipun telah meninggal dunia. Pahala dari amal jariyah yang dilakukan semasa hidup tidak akan berhenti meskipun sudah meninggal dunia. Amal baik ini bisa dijadikan tabungan untuk bekal di akhirat.

Sebagaimana sabda Rasululah yang satu ini:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh yang berdoa baginya.”

Meski hanya 3 yng disebutkan, sejatinya, contoh dari amal jariyah ini sangat banyak apabila diartikan lebih dalam. Inilah 10 contoh amal jariyah:

1 Contoh Amal Jariyah: Ilmu yang Disebarkan

BACA JUGA: Keutamaan Membahagiakan dan Menyantuni Anak Yatim

Seperti yang sudah dijelaskan dalam hadits sebelumnya bahwa salah satu jenis atau contoh amal jariyah adalah ilmu yang disebarkan.

Ilmu adalah suatu hal yang bisa didapatkan dimanapun dan dari siapapun. Namun, saat kita mendapat ilmu yang jarang diketahui orang, kita justru tidak boleh menyimpan ilmu itu sendiri. Justru kita harus membagi dan menyebarkan ilmu itu pada orang-orang. Terutama orang terdekat.

Penyebab Rezeki Terhambat, Pemberian Allah, Jenis Rezeki dari Allah, Rezeki Halal, Sedekah Shubuh, Amal Jariyah
Foto: Freepik

Salah satu contoh dari amal jariyah lain adalah dengan menyediakan tempat belajar bagi orang banyak. Hal ini merupakan salah satu contoh amal jariyah yang pahalanya tidak akan pernah putus bagi orang yang sudah membangun atau menyediakan tempatnya.

Meskipun orang tersebut sudah meninggal, namun tempat tersebut masih digunakan, maka pahalanya akan terus mengalir.

Sekolah atau madrasah adalah tempat anak-anak untuk belajar. Tentunya berlajar segala macam ilmu yang akan berguna bagi kehidupannya kelak. Baik itu ilmu agama yang bisa mengantarkannya pada pemahaman agama secara kaffah, hingga ilmu kehidupan lainnya yang bisa membantu menunjang kehidupan mereka di dunia.

Semakin luas disebarkannya Ilmu tersebut, itu bisa menjadi amal jariyah yang mengantarkan banyak pahala pada kita.

2 Contoh Amal Jariyah: Doa Anak Sholeh dan Sholehah

Masih terkait dengan hadits yang sebelumnya sudah dibahas, di mana ada 3 perkara yang tidak pernah putus terhadap amal seseorang meskipun sudah meninggal. Salah satunya adalah anak sholeh dan sholehah yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya.

Sebagai orang tuanya, tentunya menginginkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, punya budi pekerti yang baik, dan tentunya berakhlakul karimah. Tentunya sebagai orangtua, anak pun  harus diajarkan ilmu agama dan akhlak yang baik. Memberinya ilmu yang bermanfaat, dan tentunya memberikan contoh atau tauladan yang baik juga.

Bahkan, dengan mendidik anak menjadi generasi yang baik bisa menjadi ladang pahala bagi orangtuanya meskipun orangtuanya tersebut sudah meninggal dunia.

Anak-anak yang sholeh atau sholehah, merupakan tabungan terbaik di akhirat kelak. Pasalnya, mereka akan senantiasa mendoakan orangtuanya ketika sudah meninggal. Bahkan, ketika mereka melakukan banyak kebaikan dan kemaslahatan untuk orang banyak, pahalanya pun akan sampai kepada orangtuanya.

Tak hanya itu, anak-anak yang sholeh jugalah yang bisa memberikan syafaat bagi ibu-bapaknya ketika di akhirat nanti.

3 Contoh Amal Jariyah: Sedekah Harta

Masih berdasarkan hadits perihal 3 perkara yang tidak pernah terputus ketika manusia meninggal dunia, perkara selanjutnya adalah masalah sedekah jariyah. Sedekah ini dimaksudkan pada pemberian yang baik.

Di mana dirinya meminjamkan hartanya kepada Allah untuk kemaslahatan umat manusia. Kemudian, Allah akan menggantinya dengan balasan yang berlipat ganda.

Terdapat pada firman Allah di dalam Al quran yang berbunyi:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali- Imron ayat 92)

Dari ayat tersebut kita bisa paham dan mengetahui bahwasannya untuk mencapai pada tingkat kebajikan yang sempurna, kita harus bisa menafkahkan sebagian harta kita yang kita cintai kepada oranglain.

Sedekah harta ini merupakan salah satu contoh amal jariyah yang pahalanya tidak pernah putus. Apalagi jika harta yang disedakahkan tersebut bertujuan untuk membantu umat.

4 Contoh Amal Jariyah: Mushaf yang Diberikan pada Orang Lain

Tak hanya mengajarkan ilmu dan menyebarluaskan ilmu saja yang bisa disebut sebagai amal jariyah, rupanya dengan memberikan mushaf Al quran kepada orang lain pun akan bernilai sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak akan terputus. Seperti yang kita ketahui bahwasannya, Al Quran memiliki banyak keberkahan dan kebaikan.

Baik orang yang membacanya, yang mendengarkan lantuan ayat-ayatnya, hingga yang memberikan Al Quran tersebut pada orang yang membacanya, semuanya akan mendapatkan pahala. Terlebih bagi orang yang dengan ikhlas memberikan Al Quran pada orang lain.

Meskipun suatu saat dirinya sudah meninggal, namun selama orang yang diberi AlQuran masih membaca Al Quran tersebut, maka pahala akan terus mengalir pada orang yang telah memberikan Al Quran tersebut.

Tentunya hal ini sangat luar biasa sekali. Hanya dengan memberikan AlQuran secara ikhlas saja sudah bisa menghasilkan pahal yang berlipat ganda. Luar biasa, bukan?

BACA JUGA: Amalan Penerang dan Penyelamat Siksa Kubur

5 Contoh Amal Jariyah: Masjid yang Dibangun

Masjid merupakan rumah ibadah yang tentunya terdapat banyak keberkahan di dalamnya. Salah satu contoh amal jariyah yang bisa Anda lakukan adalah membangun sebuah masjid. Pahala bagi orang yang membangun masjid ini rupanya tidak main-main. Bahkan nilai pahalanya akan secara terus menerus mengalir meskipun si pembuat masjid sudah meninggal.

Tak hanya itu, jaminan untuk orang yang sudah membangun masjid pun adalah ganjaran tempat terbaik di surga. Bahkan, Allah akan membuatkan rumah khusus untuknya di surga nanti. Hal ini sesuai dengan hadits yang berbunyi:

“Barangsiapa yang membangunkan sebuah masjid kerana Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di syurga” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Tidak perlu membangun masjid yang mewah, walau hanya masjid kecil saja, namun memberi manfaat sebagai penyedia tempat ibadah orang banya, rumah di Surga menjadi ganjaran tepat atas segala amalan baiknya.

6 Contoh Amal Jariyah: Sungai yang Dialirkan

Seperti yang kita ketahui, air merupakan salah satu sumber kehidupan. Di mana semua orang pastinya membutuhkan air agar bisa bertahan hidup di dunia.

Bukan hanya manusia saja, namun juga seluruh makhluk hidup yang ada di bumi.

Salah satu hadits mengatakan: “Barangsiapa yang membuat sebuah telaga / danau lalu airnya diminum oleh jin atau burung yang kehausan, maka Allah akan memberinya pahala kelak di hari kiamat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah).

Etika Bisnis, Asuransi Syariah, Penghalang Rezeki, Amal Jariyah
Foto: Pexels

Jelas sekali dari hadits tersebut bahwa orang yang mau menyediakan telaga atau air untuk makhluk Allah, maka Allah akan memberinya pahala di hari kiamat. Bahkan, meskipun orang tersebut sudah meninggal, namun air tersebut masih berguna untuk orang banyak, pahalanya akan terus mengalir.

Hadits lain pun mengatakan ada jaminan surga untuk orang yang menyumbangkan hartanya demi pembuatan sumber air. Hadits ini berbunyi:

“Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surga-Nya Allah Ta’ala.” (HR. Muslim).

7 Contoh Amal Jariyah: Mendirikan Rumah Sakit

Contoh amalan lainnya yang termasuk pada amal jariyah adalah mendirikan rumah sait. Seperti yang diketahui, rumah sakit adalah sarana pengobatan bagi setiap orang yang sakit. Tentunya, kehadiran rumah sakit ini bisa sangat membantu orang-orang yang sedang sakit dan perlu pengobatan.

Ketika seseorang mau dan mampu mewakafkan hartanya untuk pembangunan rumah sakit, maka Allah senantiasa memberikan pahala sesuai dengan ketentuan-Nya.

8 Contoh Amal Jariyah: Menanam Pohon atau Tumbuhan Lain

Untuk menjaga keseimbangan alam, dan bahkan menjadi sumber kebutuhan serta sumber makanan makhluk hidup, tanaman bisa memberikan manfaat yang luar biasa bagi kehidupan. Jika Anda merasa bingung untuk melakukan amalan apa yang bisa berguna bagi banyak orang, maka contoh amalan yang sattu ini bisa dilakukan.

Di mana amalan ini adalah dengan melakukan penanaman pohon atau tumbuhan lainnya. Apalagi tumbuhan dan pohon inilah yang menyediakan oksigen yang bisa kita hirup agar bisa bertahan hidup. Dengan menanam pohon dan tumbuhan, ketika orang lain merasakan manfaatnya, maka pahalanya akan terus mengalir.

Dropshipper, Hati yang Tidak Pernah Puas, Cara Mengelola Gaji Menurut Ulama, Dampak Buruk Berutang, Sedekah Sahabat Nabi, Amalan Agar Rezeki Berlimpah, Keutamaan Sedekah, Amal Jariyah
Foto: Freepik

9 Contoh Amal Jariyah: Menyediakan Jalan untuk Orang Banyak

Tak hanya menaman tumbuhan atau pohon-pohon yang bisa berguna untuk kehidupan, contoh lain dari amal jariyah pun bisa direalisasikan dengan menyediakan jalan untuk orang banyak. Misalnya saja di daerah Anda terdapat akses jalan yang rusak dan sulit untuk dilewati.

Dengan membuatkan jalan tersebut, atau menyumbangkan sedikit tanah untuk jalan bisa mendatangkan pahala jariyah bagi Anda. []

ISLAM POS

Serial Fikih Muamalah (Bag. 6): Sebab-Sebab Memperoleh Kepemilikan Sempurna

Mencari nafkah atau berusaha memperoleh harta merupakan salah satu tujuan syariat ini. Islam telah mengajak dan mendesak umatnya untuk bekerja dan berusaha di banyak ayat dan hadis (sebagaimana yang sudah kita bahas pada pembahasan sumber harta dan ajakan untuk berinvestasi). Islam tidak hanya mendesak dan mengajak umatnya untuk bekerja saja. Namun, Islam juga merinci berbagi cara untuk mencari nafkah dan berusaha yang diperbolehkan oleh syariat. Secara umum pembahasan ini terbagi menjadi 2 bagian:

Pertama: Sebab dan cara memperoleh kepemilikan sempurna.

Kedua: Sebab dan cara memperoleh kepemilikan tidak sempurna.

Pada pembahasan kali ini yang akan kita bahas adalah sebab-sebab memperoleh kepemilikan sempurna. Adapun sebab-sebab memperoleh kepemilikan tidak sempurna, maka akan kita bahas pada artikel selanjutnya.

Apa itu kepemilikan sempurna?

Sebagaimana yang sudah kita bahas pada artikel Kepemilikan, Syarat Utama Sahnya Transaksi”, kepemilikan sempurna dapat disimpulkan sebagai hak untuk memiliki fisik sebuah harta beserta manfaatnya.

Agama Islam memberikan hak kepemilikan sempurna bagi siapa pun. Bahkan, jika pemiliknya masih berupa janin di dalam perut ibunya. Jika sebuah benda (harta) telah menjadi hak milik sempurna seseorang, maka harta tersebut tidak boleh dirampas dan diambil dari tangan orang tersebut, kecuali dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat.

Sebab dan cara untuk memperoleh kepemilikan sempurna

Pertama: Memanfaatkan harta mubah (yang belum dimiliki seseorang)

Maksudnya adalah sesuatu yang hukum asalnya boleh dimanfaatkan oleh seseorang. Contohnya: rerumputan di padang rumput, kayu bakar di hutan, air yang mengalir di sungai dan di lautan, serta hewan buruan yang ada di darat dan laut.

Kesemuanya itu bisa diperoleh dengan 2 cara. Pertama, hanya dengan dimanfaatkan dan diambil langsung, maka itu sudah menjadi hak milik kita. Atau kedua, harta tersebut tidak bisa kita manfaatkan, kecuali dengan berusaha dan mengeluarkan keringat, seperti memperbaiki dan menghidupkan tanah tandus mati yang tak terawat.

Apa yang bisa kita peroleh dengan sekadar mengambilnya saja jumlahnya sangatlah banyak, bisa berupa air, rumput, harta karun, barang tambang, ataupun hewan buruan. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

المسلمونَ شركاءُ في ثلاثةٍ : في النارِ ، والكلأِ ، والماءِ

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu api, padang rumput, dan air.” (HR. Abu Dawud no. 3477 dan Ahmad no. 23132)

Hukum ini berlaku apabila benda-benda tersebut belum diakuisisi oleh seseorang. Adapun jika telah diakuisisi, maka benda tersebut berubah menjadi hak miliknya. Hanya saja masih tersisa sebuah syubhat (ketidakjelasan), di dalam hadis dijelaskan bahwa kesemuanya itu adalah kepemilikan bersama dan bukan materi yang bisa diakuisisi oleh seseorang. Berdasarkan syubhat ini, jika ada seseorang yang mencuri sejumlah air yang sudah disimpan oleh seseorang dengan jumlah yang melebihi nishab mencuri, maka ia tidak boleh dipotong tangannya. Hal ini karena ada sebuah kaedah fikih yang berbunyi,

الحدود تدرأ بالشبهات

“Hukuman-hukuman (had) itu bisa gugur karena syubhat (ketidak jelasan).” (Al-Madkhal fii Al-Fiqhi Al-Islami Hal. 359)

Sebagaimana juga saat seseorang sangat membutuhkan air untuk mencegah kematian dari dirinya, maka ia diperbolehkan untuk mengambil air yang dimiliki orang lain walaupun dengan kekerasan, apabila orang yang memiliki air tersebut jumlah airnya melebihi kebutuhannya.

Memanfaatkan dan menghidupkan tanah yang dimaksudkan oleh ahli fikih adalah memanfaatkan dan memperbaiki tanah yang tidak diketahui pemiliknya dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya, baik itu dengan dijadikan sawah, ladang, kebun, atau dibangun di atasnya sesuatu sehingga tanah tersebut bisa menghasilkan. Di antara dalil yang membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا 

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” (QS. Hud: 61)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَن أحْيا أرْضًا مَيْتةً، فلَه فيها أجْرٌ، وما أكَلَتِ العافيةُ منها، فهو له صَدَقةٌ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka baginya pahala dari hal tersebut. Dan segala apa yang dimakan oleh makhluk dari tanamannya, maka itu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi no. 1379, Nasa’i no. 5757 dan Ahmad no. 14839)

Kedua: Akad yang memindahkan kepemilikan

Yaitu akad-akad yang menjadikan pindahnya kepemilikan atas sebuah harta antara seseorang dengan yang lainnya, dan ini hanya berlaku pada harta mutaqawwim (harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syariat untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian, kebun apel, dan lainnya).

Sehingga akad-akad ini tidak boleh dilakukan pada harta yang mubah yang belum dicapai dan dimiliki oleh seseorang, seperti burung yang masih terbang di langit dan ikan yang masih berada di lautan, sebagaimana juga tidak berlaku pada harta yang haram dimanfaatkan, seperti: miras, babi, dan lain sebagainya.

Akad ini ada banyak macamnya, bisa berupa akad jual beli, akad pemberian, akad wasiat, ataupun yang lainnya.

Ketiga: Apa yang terlahir, keluar, ataupun keuntungan dari harta yang sudah kita miliki

Baik itu sebuah produk, keuntungan, pertumbuhan, dan lain sebagainya, kesemuanya itu menjadi hak milik bagi pemilik harta yang keluar darinya semua itu. Contohnya, jika hewan ternak melahirkan, maka peranakannya menjadi hak bagi pemilik induk betinanya, karena terdapat sebuah kaidah fikih,

النتاج تبع الأم في الملكية

“Hewan peranakan itu mengikuti induknya dalam hal kepemilkan.”

Sehingga jika si A memiliki kuda jantan dan si B memiliki kuda betina, lalu dari keduanya terlahir seekor anak kuda, maka anak kuda tersebut menjadi hak si B.

Keempat: Peninggalan

Secara istilah memiliki 2 makna:

Pertama, peninggalan seseorang untuk orang lainnya (warisan)

Agama ini sangat memperhatikan pembagian warisan dengan melihat kedekatan seseorang kepada si mayit. Semakin dekat hubungan seseorang dengan si mayit, maka bagiannya dari warisan semakin besar. Allah Ta’ala sendiri yang telah menjelaskan dan mengatur pembagian tiap pewaris di dalam Al-Qur’an secara mendetail. Ia berfirman,

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 11)

Kedua, jaminan dan kompensasi

Secara istilah, jaminan dan kompensasi artinya adalah apa yang ditanggung oleh seseorang jika ia menghilangkan atau merusakkan harta orang lain, baik itu dengan mengembalikan benda yang semisalnya (jika benda tersebut mudah didapatkan yang semisal atau sejenis di pasaran), ataupun dengan mengembalikan uang senilai harga barang (jika benda tersebut adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan dan tidak ada yang sejenis atau semisal di pasaran).

Landasan wajibnya kompensasi adalah firman Allah Ta’ala,

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa’: 58)

Serta hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ, والأميرُ راعٍ, والرّجُلُ راعٍ على أهلِ بيتِهِ, والمرأةُ رَاعِيَّةٌ على بيتِ زوجِها وَوَلَدِهِ, فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ.

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban dalam urusan rumah tangga suaminya dan anaknya. Sungguh setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5200 dan Muslim no. 1829)

Jika seseorang yang merusak atau menghilangkan benda orang lain wajib untuk membayar kompensasi, maka kepemilikan harta kompensasi tersebut otomatis berpindah dari si pelaku kepada korban.

Di dalam permasalahan kompensasi ini para ulama memberikan beberapa persyaratan:

Syarat pertama: Perkara yang mewajibkan adanya kompensasi ini haruslah sesuatu yang membahayakan dan merugikan. Ini tidak hanya berlaku pada perbuatan tangan saja, namun mencakup juga perkataan yang merugikan dan perangai yang buruk, seperti penipuan, pemalsuan, dan sumpah palsu.

Syarat kedua: Hendaknya bahaya dan kerugian tersebut terjadi dengan cara penyerangan dan pelanggaran yang melebihi hak dan aturan yang berlaku, dan disertai kezaliman ataupun rasa permusuhan. Adapun perbuatan yang masih dalam batas wajar yang diperbolehkan syariat, maka hal itu meniadakan kompensasi.

Contohnya, jika seseorang menyewa sebuah kendaraan untuk mengangkut benda tertentu, kemudian ia menaruh di atasnya apa yang masih dalam batas wajar beban muatan kendaraan tersebut atau bahkan kurang darinya. Kemudian kendaraan tersebut rusak, maka orang yang menyewa tersebut tidak wajib membayar kompensasi. Karena orang yang menyewa sebuah kendaraan, maka ia boleh dan berhak untuk membawa beban yang masih dalam batas kewajarannya atau kurang darinya.

Ada beberapa keadaan yang dikecualikan dari syarat ini. Contohnya, seseorang yang tidur kemudian ia membalikkan badannya dan menindih barang orang lain sehingga barang tersebut rusak, maka ia wajib membayar kompensasi. Contoh lainnya, jika seseorang tidak sengaja menginjak dan merusakkan benda orang lain, maka ia juga wajib membayar kompensasi.

Syarat ketiga: Hendaknya kesalahan tersebut merupakan perbuatan langsung pelakunya atau ia merupakan sebab terjadinya perbuatan tersebut.

Maksudnya, seseorang dituntut membayar kompensasi jika dirinya sendirilah yang merusak atau menghilangkan sesuatu tanpa adanya perantara orang lain. Adapun orang yang menjadi sebab, seperti seseorang yang menggali sebuah lubang di jalanan umum. Lalu seekor hewan milik orang lain jatuh ke dalam lubang tersebut, maka ia juga diwajibkan untuk membayar kompensasi.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77435-serial-fikih-muamalah-bag-6.html

‘Asyura Membuka Kedok Syi’ah

Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad , keluarganya yang suci dan para sahabat beliau yang terbaik. Waba’du:

Kita Ahlussunnah mengenal Asyura adalah hari puasa pada tanggal 10 Muharram yang keutamaannya bisa menghapus dosa setahun yang lalu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dua bid’ah di hari Asyura

Namun qaddarallahu, Asyura’ juga bertepatan dengan mati syahidnya Husain radhiallahu’anhu. Ini tentu musibah besar, meski kalah besar dengan terbunuhnya Ali, Utsman, Umar radhiyallahu’anhum. Maka dalam hal ini, ada dua kelompok dari umat Islam yang menyimpang dari sunnah:

  1. Kelompok pertama menjadikan Asyura’ sebagai hari meratap dan menyiksa diri, dengan cara memukul-mukul kepala dan dada dengan tangan sambil menyanyi dengan nyanyian ratapan. Atau dengan memukul punggung dengan rantai dan pedang, dan melukai kepala dengan pisau atau pedang sampai berdarah lalu dipukul-pukul biar darah banyak mengalir dan biar pahala pun mengalir. Kelompok ini adalah kelompok Syiah yang di Indonesia menamakan diri sebagai Syiah Ahlul Bait lalu disingkat Ahlul Bait atau Jamaah Ahlul Bait. Tentu penamaan ini salah dan melecehkan istilah Ahlul Bait yang sangat dicintai oleh Ahlussunnah.
  2. Kedua adalah kelompok Nawashib yaitu musuh-musuh keluarga Nabi yang senang dengan wafatnya Husain sehingga mereka menjadikannya sebagai hari pesta dan kenduri.

Artikel ini khusus mengupas tentang Syiah yang mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait, namun ternyata mereka justru merusak nama Ahlul Bait. Mengapa demikian? Sebab mereka menjadikan nama Ahlul Bait sebagai topeng untuk menjajakan kebid’ahan dan kesesatan mereka. Mereka sejatinya tidak mengikuti Ahlul Bait tapi mengikuti imam-imam yang sesat, yang kebanyakan berasal dari Persia. Setelah sebelumnya mengikuti ajaran al-wala’ wal bara’ buatan Abdullah bin Saba’ al-Yahudi.

Para imam Ahlul Bait Menegaskan soal Asyura

Berikut adalah Kalimat-kalimat dari para Imam Ahlul Bait yang sesungguhnya tentang masalah ‘Asyura’. Ucapan-ucapan tersebut bersesuaian satu sama lain, dan bersesuaian dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan perbuatan para Sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Nukilan-nukilan tersebut sangat banyak. Anda bisa melihatnya pada kitab Man Qatala al-Husain (Siapakah Yang Membunuh al-Husain?)

Secara ringkas bisa saya sebutkan sebagai berikut:

  1. Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain yang diberi gelar dengan as-Shaduq (Ibnu Babawaih al-Qummiy, Syaikhul Muhadditsin (306-381), penulis Kitab Man La Yahdhuruhul Faqih, dan kitab ‘Ilalus Syarayi’, ia berkata, “Diantara lafazh-lafazh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak mungkin diterjang adalah:« النِّيَاحَةُ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ »“Niyahah (meratapi mayit) adalah termasuk perbuatan jahiliyah.” (Ibnu Babawaih al-Qummii, Man La Yahdhuruhul Faqih (4/271-272)).
  2. Ja’far as-Shadiq (Abu Abdillah, imam mereka yang ke-6, 83-148 H) dari bapak-bapaknya berkata,« نَهَىٰ رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الرَّنَّةِ عِنْدَ الْمُصِيْبَةِ، وَنَهَىٰ عَنِ النِّيَاحَةِ وَاْلاِسْتِمَاعِ إِلَيْهَا »“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang tangisan pada saat musibah dan melarang niyahah serta mendengarnya.” (Al-Huri al-‘Amili, Wasailus Syi’ah (2/915)).
  3. Ali bin Abu Thalib (imam pertama, abul Hasan al-Murtadha, 23 SH-40 H) radhiallahu’anhu, berkata:« ثَلاَثٌ مِنْ أَعْمَالِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَزَالُ فِيْهَا النَّاسُ حَتىَّ تَقُوْمَ السَّاعَةُ: الاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالطَّعْنُ فِيْ الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلىَ الْمَوْتىَ »“Ada tiga perkara termasuk perbuatan jahiliyah, tidak henti-hentinya manusia berada di dalamnya hingga terjadinya hari kiamat; meminta hujan dengan bintang, mencela nasab, dan niyahah atas mayit.” (Al-Majlisi, Biharul Anwar, (82/101))
  4. Ali ibn Abi Thalib berkata: “Siapa yang memukulkan tangannya pada pahanya ketika musibah maka amal shalihnya menjadi lebur.” (Nahjul Balaghah)].
    Ali Ibn Abi Thalib telah berwasiat kepada istrinya Fatimah binti Rasulillah : “Jika aku mati maka kamu jangan mencakar wajah, jangan meneriakkan kata-kata celaka, dan jangan menunggui orang yang meretap.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 51).
  5. Imam Husain bin Ali sendiri telah berwasiat kepada Zainab saudari perempuannya: “Hai saudariku, aku bersumpah demi Allah, wajib atas kamu memelihara sumpah ini, jika aku terbunuh maka janganlah kamu merobek bajumu dan jangan mencakar wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan meneriakkan kata celaka dan binasa atas kesyahidanku.” (Abbas al-Qummi, Muntaha al-Amal, 1/248)]
  6. Ja’far as-Shadiq rahimahullah berkata,« لاَ يَصْلُحُ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ يَنْبَغِيْ، وَلَكِنَّ النَّاسُ لاَ يَعْرِفُوْنَ »“Tidak benar berteriak atas mayit, dan tidak layak, akan tetapi manusia tidak mengetahui.” (al-Kulaini, al-Kafi (2/226)
    Dia juga berkata,« لاَ يَنْبَغِيْ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ بِشَقِّ الثِّيَابِ »“Tidak layak berteriak (histeris) atas mayit, dan tidak layak pula merobek-robek baju.” (al-Kafi, 3/225)
  7. Dari Fadhl bin Muyassir, dia berkata, ‘Dulu kami berada di sisi Abu ‘Abdillah (Ja’far as-Shadiq), kemudian datang seorang laki-laki yang mengeluhkan musibah yang menimpanya, maka Abu ‘Abdillah berkata kepadanya:« أَمَّا إِنَّكَ إِنْ تَصْبِرْ تُؤْجَرْ، وَإِلاَّ تَصْبِرْ يُمْضِى عَلَيْكَ قَدَرُ اللهِ الَّذِيْ قُدِّرَ عَلَيْكَ وَأَنْتَ مَأْزُوْرٌ »“Adapun kamu, jika kamu bersabar, kamu akan diberi pahala, dan jika tidak bersabar maka taqdir Allah yang telah ditaqdirkan atasmu tetap berlaku atasmu sedang kamu diberi dosa.” (al-Kafi, (3225))

Perhatikanlah wahai para pembaca bahwa kewajiban yang dilakukan saat tertimpa musibah adalah bersabar dan berharap pahala, tidak dengan berkeluh kesah dan berkeberatan. Karena tidak mungkin merubah musibah sedikitpun, karena telah terjadi, selesai dan telah berlalu padanya putusan Allah Ta’ala. Sabar atau tidak sabar, orang yang diuji tersebut tidak akan bisa merubah sesuatu. Akan tetapi jika dia bersabar dia akan diberi pahala dan berhasil meraih pahala, namun jika dia tidak bersabar dan marah, maka dia berdosa dan kehilangan pahala serta tidak bisa merubah sesuatu.

Selama 14 abad, manfaat apa yang kita peroleh dari tangisan, memukul-mukul kepala dan dada, dan menyakiti diri sendiri, dan bahkan kadang membunuhnya?! Yang kemudian musibah tersebut berubah menjadi dua musibah; terbunuhnya al-Husain radhiallahu’anhu, menyakiti diri sendiri, dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah dan juga dilarang oleh para Imam.

Jadi, larangan tersebut telah valid dari para imam Syi’ah, juga telah shahih dari para Imam Ahlussunnah. Di antara ulama Ahlussunnah yang menyatakan masalah ini adalah:

Hari Asyura Menurut Syaikhul Islam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ‘Asyura'(10 Muharram) yang berupa bercelak, mandi, memakai hina’ (pewarna tangan, pacar), saling berjabat-tangan, menampakkan kegembiraan, apakah ini ada asal yang shahih di dalam agama ini? Ataukah itu adalah sebuah bid’ah? Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian manusia dalam perkumpulan kesedihan, kerinduan, nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan orang yang sudah mati di hadapan umum), niyahah (meratap), dan merobek-robek baju, apakah itu semua memiliki asal?!

Maka beliau rahimahullah menjawab, “Alhamdulillâh rabbil ‘âlamîn, tidak ada satu hadits shahihpun dari semua itu yang diriwayatkan dari Nabi , tidak juga dari para sahabat beliau, dan tidak ada satupun di antara para imam kaum muslimin yang menganggapnya baik, tidak imam empat tidak juga yang lain. Para pemilik kita-kitab yang menjadi pegangan tidak pernah meriwayatkan hal tersebut, tidak dari Nabi , tidak dari para sahabat, tidak juga dari para tabi’in, tidak yang shahih, maupun yang dha’if, tidak pada kitab-kitab shahih, tidak pada kitab-kitab sunan, tidak juga pada kitab-kitab musnad. Hadits-hadits tersebut tidak ada satupun yang dikenal pada masa-masa yang paling diutamakan.” (al-Fatawa al-Kubra (1/194)).

Karena inilah maka kita ahlussunnah wal jama’ah menolak dengan keras bentuk perayaan atau pesta apapun pada hari-hari di bulan Muharram, terutama pada hari kesepuluh (hari Asyura`), karena hal itu bukanlah hari raya, tidak dirayakan, dan bahkan kami berkeyakinan bahwa merayakannya adalah menyalahi sunnah Nabi dan sunnah Khulafaurrasyidin. Inilah yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam pertanyaan terdahulu.

Berkaitan dengan terbunuhnya Husain radhiallahu’anhu, maka kita berkeyakinan bahwa al-Husain radhiallahu’anhu telah terbunuh dalam keadaan terzhalimi, dan sebagai syahid, dan tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun orang yang telah membunuh al-Husain radhiallahu’anhu atau yang membantu pembunuhannya, atau ridha dengan hal itu, maka wajib atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Ibnu Taimiyah, Majum’ al-Fatawa (4/487))

Inilah sikap beliau terhadap al-Husain radhiallahu’anhu dan terhadap orang-orang yang membunuhnya.

Puasa Asyura dan Keutamaannya

Mengenai puasa Asyura` ahlussunnah waljama’ah berpandangan bahwa itu adalah sunnah.Telah shahih dari Nabi , juga telah shahih dari pihak syi’ah dengan periwayatan para Imam.

Telah shahih bahwa Nabi mendapati orang-orang Yahudi Madinah menjadikan hari Asyura sebagai hari puasa dan hari raya (pesta). Orang-orang Khaibar merayakan dengan memakaikan perhiasan-perhiasan kepada para wanitanya, maka Rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar puasa saja tanpa hari raya pada tanggal 10, dan ditambah dengan hari sebelumnya yaitu tanggal 9 (HR. Bukhari: 1980, 1981; Muslim: 2613, 2614, 2619, 2620).

Nabi mengabarkan bahwa puasa hari Asyura akan menghapuskan dosa satu tahun yang lalu. (HR. Muslim: 2700)]

5 hal yang menyedihkan

Pertama; bahwa riwayat-riwayat tentang puasa tersebut tidak pernah disebut oleh ulama-ulama syiah.

Kedua: mereka juga tidak pernah menyebut kapan dimulainya acara ratapan Husainiyyah yang tidak pernah dilakukan oleh para Imam tersebut.

Ketiga: saat mereka menyebut tragedi Karbala, kisah mati syahidnya al-Husain radhiallahu’anhu dan ahlul Bait yang lain mereka banyak melakukan pemutar balikan fakta, melalui riwayat-riwayat yang lemah dan atau palsu!!

Sebenarnya pembunuh al-Husain radhiallahu’anhu adalah orang-orang Kufah sendiri –semoga Allah memperlakukan merek dengan keadilan-Nya – bukan selain mereka, tidak ada seorangpun menyertai mereka selain mereka sendiri. Merekalah yang berdusta terhadap al-Husain radhiallahu’anhu, menipunya, mengkhianatinya, membiarkannya sendirian, sebagaimana mereka membiarkan bapaknya (Ali radhiallahu’anhu), dan saudaranya sebelumnya.

Keempat: mereka tidak pernah menyebut saudara-saudara al-Husain radhiallahu’anhu yang mati syahid bersamanya di padang Karbala`. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, putra-putra ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, [juga Abu Bakar putranya sendiri dan Abu Bakar putra Hasan bin Ali ra] Mengapa…? Bahkan tidak pernah ditemui untuk mereka sekedar penyebutan atau belas kasihan,

Mengapa mereka bersikap demikian?

Jawabnya adalah, bahwa tidak disebutnya nama mereka hanyalah kekhawatiran terhadap pertanyaan orang-orang awam syi’ah, “Mengapa Imam ‘Ali menamai putra-putranya dengan nama-nama tersebut (Abu Bakar, Umar dan Usman)? Mengapa Imam Husain dan Imam Hasan menamai putranya dengan Abu Bakar? Bukankah penamaan menunjukkan akan kecintaan dan keridhaan?”

Kelima: bahwa umat di zaman sekarang hidup dalam ujian, musibah, perpecahan, dan kelemahan. Bersamaan dengan itu Anda akan mendapati bahwa para khatib di mimbar al-Husaini tidak memiliki apapun untuk disampaikan kecuali mengoyak sejarah, menghidupkan fitnah, dan membuat-buatnya, serta mengobarkannya, padahal tidak memiliki landasan yang shahih.

Kita Menolak Acara Asyura ala Syiah

Sikap kita, Ahlussunnah terhadap acara ratapan tersebut adalah sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata tentang orang-orang yang menjadikan ‘Asyura` sebagai acara ratapan nestapa dan nista, “Yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya terhadap musibah –jika musibah itu baru terjadi- adalah hanya bersabar, ihtisab (berharap pahala) dan istirjâ’ (mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn)… maka, jika Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar dan ihtisab saat musibah baru terjadi, maka bagaimana pula jika musibah itu telah berlalu sekian lama. Maka menjadikan hari ‘Asyura` sebagai acara kesedihan termasuk perkara yang dihias-hiasi syetan untuk orang-orang sesat lagi membangkang. Demikian pula nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan, dalam bentuk ratapan), dan pelantunan sya’ir-sya’ir sedih. Kedua kelompok tersebut telah melakukan kesalahan, keluar dari sunnah. Rasulullah , dan Khulafaur Rasyidin tidak pernah menyunnahkan satu perbuatan dari perbuatan tersebut pada hari ‘Asyura`, tidak syi’ar-syi’ar kesedihan, tidak juga syi’ar-syi’ar kegembiraan.” (Majmû’ul Fatawa (25/308-309))

Setelah ini kita katakan, “Telah banyak para Nabi yang terbunuh, tetapi Rasulullah tidak pernah melakukan yang seperti itu sama sekali. Demikian pula terbunuh sejumlah keluarga Nabi , seperti Hamzah, dan Ja’far di zaman Nabi , dan beliau tidak pernah melakukan sesuatupun untuk keduanya. Beliau juga tidak membangun kuburan untuk keduanya, tidak juga membuat musim-musim untuk menziarahinya, tidak juga yang lainnya, padahal keduanya adalah orang yang sangat utama, dan beliau al-Mushtafa sangat mencintai keduanya, demikian pula keadaannya terhadap Khadijah radhiallahu’anha.”

Demikian pula waktu terbunuhnya ‘Ali radhiallahu’anhu, putra-putranya tidak pernah melakukan sesuatupun, termasuk yang paling utama di antara mereka adalah al-Hasan dan al-Husain radhiallahu’anhuma. Maka apakah Rasulullah dan putra-putra ‘Ali radhiallahu’anhu berada di atas kesalahan..?!

Maka lihatlah wahai para pembaca yang budiman, dengan pandangan tafakkur (perenungan), i’tibar (pengambilan pelajaran), tidak dengan pandangan kesombongan dan penentangan!! Ketahuilah bahwa tidak ada bagi anda di akhirat kecuali apa yang telah anda perbuat di dunia yang berupa amal shalih setelah rahmat Allah Ta’ala.

Aku memohon kepada Allah agar dengan kalimat-kalimatku ini, Allah Ta’ala membuka hati-hati yang lalai, serta mata-mata yang buta dan telinga-telinga yang tuli. Allâhumma âmîn.

Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kami termasuk orang-orang yang sesat mengikuti perbuatan mereka di kehidupan dunia, sementara mereka menganggap bahwa mereka telah berbuat bagus dalam perbuatan mereka.*

Penulis: Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. (Anggota Dewan Syura ANNAS, Aliansi Nasional Anti Syiah, Penulis buku-buku Islam)

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/23260-asyura-membuka-kedok-syiah.html

Mengapa 10 Muharram Dinamai Asyura?

Mengapa 10 Muharram dinamai Asyura? Nomenklatur ini merupakan derivasi dari diktum al-asyr, yakni huruf ain-nya dibaca fathah, yang bermakna nama atas bilangan tertentu.

Namun ada yang mengatakan bahwa lafadz ini berasal dari lafadz yang sama, namun ain-nya dibaca kasrah, yakni al-‘isyr. Demikian pula dalam lafadz Asyura’, ada yang membacanya dengan tidak ada alifnya setelah huruf ‘ain, yakni Asyura’. (Futuhat al-Wahhab bi taudih syarh manhaj al-thullab, atau yang biasa dikenal dengan judul Hasyiyah al-Jamal 2/347)

Alasan mengapa 10 Muharram dinamai Asyura, ulama berbeda pandangan. Menurut penuturan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, ada beberapa pendapat mengenai hal ini, yaitu sebagai berikut;

Pertama, dinamai dengan Asyura’, sebab ini merupakan tanggal 10 dari bulan Muharram. Ini merupakan pendapat dari mayoritas ulama’.

kedua, Sebagian dari mereka mengatakan bahwa alasannya adalah karena ini merupakan karamah yang ke-sepuluh yang diberikan kepada umat ini. Di mana yang pertama adalah Rajab, yaitu bulannya Allah yang dijadikan karamah bagi umat Rasulullah SAW.

Bahkan ini menjadi keutamaan tersendiri bagi mereka, dibanding umat yang lain. Kemudian bulan Sya’ban, di mana keutamaannya itu seperti keutamaan antara Rasulullah SAW yang melebihi keutamaan para nabi yang lain.

Lalu bulan Ramadhan, yang mana keutamaannya seperti keutamaannya Allah dibanding dengan makhluknya. Kemudian lailat al-qadr (yang fadilahnya melebihi ibadah di seribu bulan), hari raya, ayyam al-asyr (10 hari awal bulan Dzulhijjah), hari Arafah (yang keutamaannya bisa menghapus dosa 2 tahun), hari kurban, hari jum’at, dan hari Asyura’ yang bisa menghapus dosa satu tahun.

Setiap hari-hari yang telah disebutkan ini, merupakan karamah yang diberikan Allah kepada umatnya Rasulullah SAW agar supaya bisa mengurangi dan menghilangkan dosa-dosa mereka.

Ketiga, Dan sebagian ulama’ yang lain mengatakan bahwasanya alasan 10 muharram dinamai dengan Asyura’ adalah bahwa pada hari tersebut Allah memberikan 10 karamah kepada 10 Nabi.

Antara lain; Allah menerima taubatnya Nabi Adam As, Allah mengangkat Nabi Idris ke Langit, Bahtera Nabi Nuh sudah berhenti berlayar pasca kejadian banjir bandang yang menewaskan seluruh umat manusia di zaman tersebut.

Nabi Ibrahim dilahirkan di hari ini dan di hari yang sama Allah mengangkat beliau menjadi kekasih-Nya, serta Allah menyelamatkan beliau dari perlakuan Namrudz.

Allah menerima taubatnya Daud As dan Allah mengembalikan tahta putranya (Nabi Sulaiman As), Allah mengangkat penyakit Nabi Ayyub As, Allah menyelamatkan Nabi Musa As dan menenggelamkan Fir’aun di tengah laut.

Allah mengeluarkanNabi Yunus As dari Perutnya Paus, dan pada hari ini Nabi Muhammad SAW dilahirkan (salah satu pendapat mengenai hari lahirnya Rasulullah SAW. (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Tariq al-Haq, Juz 2 Hal. 90-92)

Selain perbedaan pendapat mengenai alasan mengapa 10 Muharram dinamai Asyura, Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga membeberkan beberapa perbedaan pendapat terkait kapan tepatnya hari Asyura’ ini. Dalam kitab yang sama, Beliau membuat pasal tersendiri terkait ini, beliau mengatakan;

[(فصل) واختلفوا في أي يوم هو من المحرم] فقال أكثرهم: اليوم العاشر من المحرم وهو الصحيح لما تقدم. وقال بعضهم: هو الحادي عشر منه. ونقل عن عائشة -رضي الله عنها -أنه هو التاسع منه.

Menurut riset beliau, mayoritas ulama’ berpendapat bahwa hari Asyura’ jatuh pada tanggal 10 Muharram, dan ini lah pendapat yang sahih menurut beliau. Kemudian sebagian ulama’ berpendapat jatuh pada tanggal 11 Muharram, dan versi pendapatnya Sayyidah Aisyah jatuh pada tanggal 9 Muharram. (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li talibi tariq al-haq )

Demikianlah penjelasan terkait khilaf penyebutan nama Asyura’, alasan dinamai dengan nomenklatur tersebut dan perbedaan pendapat terkait kapan tanggal Ayura’. Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Berusia Hampir 1.400 tahun lebih, Inilah Sumur Utsman bin Affan

SEBAGAI khalifah ke-3 sekaligus menantu Rasulullah yang bergelar Dzun Nurrain (pemilik dua cahaya), nama Utsman bin Affan ra yang terkenal dengan sifat pemurah dan dermawan tersebut tentu sangat familiar bagi seluruh umat Islam.

Semua ini terbukti saat ia memimpin umat dari  tahun 644 sampai 656  M atau selama 12 tahun, pasca meninggalnya Umar bin Khattab ra, menjadikannya sebagai khalifah terlama dalam sejarah politik Islam di era Khulafaur Rasyidin.

karenanya tidak heran jika kemudian banyak catatan penting dalam sejarah Islam yang melibatkan sosok sahabat yang juga tercatat sebagai salah satu bussinesman ulung nan cerdas dan juga konglomerat muslim kaya raya di jamannya.

Namun, salah satu catatan sejarah yang paling menarik tentang utsman  yang sampai sekarang masih abadi dalam ingatan umat adalah kisah akuisisi atau pembelian sumur milik Yahudi di Kota Madinah.

Dilansir Madinatul Quran, diriwayatkan pada masa Nabi Muhammad, Kota Madinah pernah mengalami paceklik hingga kesulitan air bersih. Karena mereka (kaum muhajirin) sudah terbiasa minum dari air zamzam di Mekah.

Satu-satunya sumber air yang tersisa adalah sebuah sumur milik seorang Yahudi, yaitu Sumur Raumah. Rasa airnya mirip dengan sumur zam-zam. Kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus rela antre dan membeli air bersih dari Yahudi tersebut. Namun sayangnya, harga air yang dijual oleh yahudi tersebut bisa dibilang cukup mahal.

Prihatin atas kondisi umatnya, Rasulullah kemudian bersabda, “Wahai Sahabatku, siapa saja di antara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surga-Nya Allah Ta’ala,” demikian hadis riwayat HR. Muslim

Mendengar hal itu, Utsman bin Affan yang kemudian segera bergerak untuk membebaskan Sumur Raumah itu. Utsman segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan menawar untuk membeli sumur Raumah dengan harga yang tinggi.

Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekali pun, Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya, “Seandainya sumur ini saya jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari,” demikian Yahudi tersebut menjelaskan alasan penolakannya.

Utsman bin Affan yang ingin sekali mendapatkan balasan pahala berupa surga tidak kehilangan cara mengatasi penolakan Yahudi ini.

Ia pun membeli setengah sumur itu dan memilikinya secara bergantian. Akhirnya pemilik sebelumnya setuju menerima tawaran Utsman tadi dan disepakati pula hari itu juga separuh dari Sumur Raumah adalah milik Utsman.

Utsman pun segera mengumumkan kepada penduduk Madinah yang mau mengambil air di Sumur Raumah untuk mengambil air dengan gratis karena hari ini sumur Raumah adalah miliknya. Tentu saja, semua orang pun segera berbondong-bondong pergi untuk mengambil air sumur tersebut.

Saat itu, Utsman bahkan masih sempat untuk mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk dua hari, karena esok hari sumur itu bukan lagi milik Utsman.

Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk Madinah masih memiliki persedian air di rumah.

Yahudi itupun mendatangi Utsman dan menawarkan untuk menjual sumur itu dengan harga yang sama. Utsman yang setuju lalu membelinya seharga 20.000 dirham, maka sumur Raumah pun menjadi milik Utsman seutuhnya.

Kemudian Utsman bin Affan mewakafkan Sumur Raumah. Sejak saat itu Sumur Raumah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk orang Yahudi pemilik lamanya.
sumur yang dikenal bernama Raumah itu, tak berhenti mengalir meski telah berusia 1.400 tahun.

Seorang peneliti dari pejabat pengembangan Madinah, Abdullah Kaber, mengatakan kepada Saudi Press Agency bahwa itu merupakan satu-satunya sumur zaman Nabi Muhammad yang masih mengalir hingga sekarang.

Di dekat sumur itu terdapat sebuah masjid dan ladang kurma nan luas. Sejumlah tanaman dan bunga pun bermekaran karena teraliri dari sungai tersebut. Pada akhirnya, Kebun tersebut dikelola dari generasi ke generasi, dari para khalifah sampai pemerintah Arab Saudi dibawah Kementerian Pertanian.

Perkebunan yang dialiri air dari sumur Utsman bin Affan. Hasil dari kebun kurman tersebut oleh pemerintah Arab Saudi dijual ke pasar-pasar. Setengah keuntungan disalurkan kepada anak yatim dan yang membutuhkan.

Setengahnya lagi disimpan dalam bentuk rekening di bank atas nama Utsman bin Affan yang dipegang oleh Kementerian Wakaf.

Uang rekening Utsman yang terus membengkak kemudian digunakan untuk membangun hotel bintang lima dengan nama Hotel Utsman Bin Affan.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim). []

ISLAMPOS

Amalan di Bulan Muharram yang Dapat Kita Lakukan

Bulan Muharram akan segera tiba. Bulan Muharram bagi syariat Islam memiliki keutamaan-keutamaan. Di bulan itu juga disyariatkan beberapa amalan. Nah, apa saja amalan yang dianjurkan dilakukan di bulan Muharram?

Berikut Beberapa Amalan di Bulan Muharram:

Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa Muharram

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ» (أخرجه مسلم)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Yang paling utama dari puasa bulan Ramadhan adalah (puasa) bulan Allah yang kalian sebut sebagai Al Muharram. Dan yang paling utama dari shalat setelah shalat fardhu adalah qiyamullail.” (Shahih Muslim [1163], 2/821)

Hadits di atas menunjukkan secara eksplisit, bahwasannya amalan puasa sunnah di bulan Muharram adalah puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan. (Lathai’if Al Ma’arif, hal. 77)

Puasa Asyura’

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ  أن النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ» (أخرجه مسلم).

Dari Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Dan puasa Asyura Aku mengharap kepada Allah puasa itu menghapus dosa tahun sebelumnya.” (Riwayat Muslim).

Puasa Tasu`a

عنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا» (أخرجه أحمد)

Disunnahkan juga berpuasa hari ke sembilan di bulan Muharram, di mana hal itu dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang berpuasa Asyura’.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Berpuasalah kalian pada hari Asyura, dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah kalian sebelumnya sehari dan sesudahnya sehari.” (Riwayat Ahmad  [2154], 4/52).

Selain berpuasa, Sedekah menjadi amalan yang dianjurkan di bulan Muharram

Di hari ke sepuluh bulan Muharram, sahabat Rasulullah pun menyatakan mengenai keutamaan amalan sedekah, dimana Amru bin Al Ash berkata,”Barang siapa berpuasa Asyura`, maka ia seperti berpuasa satu tahun. Barang siapa bersedekah pada hari itu, maka ia seperti bersedekah satu tahun. (Riwayat Abu Musa Al Madini).

Dermawan kepada Keluarga

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ». (أخرجه البيهقي في الشعب)

Dari Abu Sa`id Al Khudri, bahwasannya Rasulullah Shallallahu’ Alaihi Wasallam bersabda,”Berang siapa melapangkan untuk keluarganya pada hari Asyura’, maka Allah akan memberikan kelapangan untuknya di sepanjang tahun seluruhnya.” (Riwayat Al Baihaqi dan lannya, dishahihkan oleh Al Hafidz Ahmad Al Ghumari dalam Al Mudawi (6/ 419).

Ibnu Uyainah mencoba menerapkan kandungan Hadits tersebut, dimana ia berkata,”Kami telah mencobanya sejak lima puluh atau enam puluh tahun, tidak ada yang kami kami lihat kecuali kebaikan.” (Lathai’if Al Ma’arif, 113).

Amalan di Bulan Muharram sebagai Sarana Bertaubat

Dari Ali Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata kepada seorang laki-laki,”Jika engkau berpuasa sebulan setelah Ramadhan, maka berpuasalah di bulan Muharram. Sesungguhnya di dalamnya ada hari di mana Allah memberikan ampunan atas suatu kaum, dan memberikan ampunan di dalamnya untuk lainnya.” (Riwayat At Tirmidzi, dan ia berkata,”Hadits hasan gharib).

Yang dimaksud hari dimana Allah memberikan ampunan adalah hari Asyura’, karena di dalamnya Allah mengampuni Adam Alaihissalam, juga mengampuni kaum Yunus Alaihissalam, serta mengampuni kaum selain mereka. (At Taysir bi Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 1/758).*

HIDAYATULLAH

Arab Saudi akan Kembali Mengizinkan Mencium Hajar Aswad dan Shalat di Hijr Ismail

Presiden Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Dr Abdulrahman bin Abdulaziz Al-Sudais mengumumkan rencana komprehensif untuk membolehkan kembali shalat di wilayah Hijr Ismail dan mencium Hajar Aswad (Batu Hitam) dalam waktu dekat, surat kabar Saudi Gazette.

Presiden Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bekerja sama dengan otoritas terkait akan memberikan pelayanan terbaik kepada jemaah umrah untuk menunaikan ibadahnya dengan mudah dan nyaman.

Perencanaan melalui rencana organisasi lanjutan dirumuskan untuk memenuhi aspirasi Kerajaan Arab Saudi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah dan pengunjung Masjidil Haram. Perlu dicatat bahwa Hijr Ismail adalah daerah berbentuk bulan sabit yang berdekatan dengan Ka’bah.

Hijr Ismail adalah tempat Nabi Ibrahim AS membangun tempat berlindung untuk putranya, Nabi Ismail AS dan istrinya, Siti Hajar. Area sekitar tiga meter di samping tembok di sisi Hijr Ismail sebenarnya merupakan bagian dari Ka’bah.

Sholat di kawasan Hijr Ismail dengan khusyuk ketika menunaikan ibadah haji atau umrah dan selalu menjadi fokus para jamaah yang datang ke tanah suci. Sedangkan Hajar aswad yang terletak di sudut selatan Ka’bah merupakan batu yang menjadi titik awal dan titik akhir untuk mengelilingi.

Tahun lalu, Kementerian Haji dan Umrah mengumumkan bahwa akan ada opsi pada aplikasi Eatmarna dan Tawakkalna untuk memesan tempat dan dapat mencium Hajar aswad, menyentuh Pojok Yaman (Rukun Yamaani) dan shalat di Hijr Ismail. Namun, pernyataan itu dicabut tak lama kemudian karena situasi pandemi belum stabil.

Sholat di Hijr Ismail dan mencium Hajar aswad ditunda sejak Juli 2020 akibat merebaknya virus Covid-19.*

HIDAYATULLAH

Sudah Miskin Sombong Pula

Sejatinya, Allah SWT tidak menyukai kesombongan dalam bentuk apa pun, baik sikap, ucapan, maupun perbuatan (QS Luqman [31]: 18- 19). Sebab, membesarkan diri (al- mutakabbir) adalah pakaian kebesaran- Nya. Dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman, Kemuliaan adalah pakaian- Ku, dan kebesaran adalah selendang-Ku.Siapa saja yang menyaingi-Ku dalam salah satunya, maka Aku pasti akan menyiksanya.(HR Muslim).

Allah SWT tidak suka kepada orang kaya yang sombong seperti Qarun, sehingga dilenyapkan ke perut bumi (QS al-Qashash [28]: 81). Sebab, sekaya apa pun seseorang, ia tidak mampu mengendalikan segalanya dan tetap bergantung kepada-Nya (QS Fatir [35]: 15).Namun, Allah lebih tidak suka lagi kepada orang miskin yang sombong, sebab ia tidak punya sesuatu untuk disombongkan.

Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhush- Shalihin menukil sebuah hadis dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda, Ada tiga kelompok yang kelak di hari kiamat, di mana Allah tidak akan berbicara, membersihkan dan memandang mereka, bahkan akan menyiksanya dengan azab yang pedih, yaitu orang tua berzina, penguasa bohong, dan orang miskin yang sombong. (HR Muslim).

Setidaknya, ada empat pertanda orang miskin yang sombong, yakni: Pertama, enggan berdoa (ibadah). Allah SWT sangat senang kepada seorang hamba yang taat dan selalu meminta kepada-Nya. Setiap permohonan akan dipenuhi dengan cara- Nya sendiri (QS Ghafir [40]: 60). Namun, jika orang miskin enggan berdoa, maka itulah pertanda kesombongan Sekiranya pun berdoa, tidak sepenuh hati. Ya Allah, berikanlah aku, jika Engkau mau. (HR Muslim).

Kedua, malas melaksanakan tugas.Semestinya orang miskin harus sungguh- sungguh memenuhi kebutuhan hidup dan mewujudkan cita-citanya. Namun, jika orang miskin malas ibadah, bekerja, belajar atau lalai akan janji (komitmen), maka itulah pertanda kesombongan (QS An-Nisa`[4]: 142).

Ketiga, suka melanggar aturan.Tujuan agama diturunkan agar hidup manusia menjadi tertib, disiplin dan bertanggung jawab. Seorang Muslim, wajib patuh pada aturan Allah dan Rasul- Nya. Begitu pun masyarakat harus mematuhi peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau pemimpinnya (QS an- Nisa [4]:59). Namun, jika orang miskin suka melanggar aturan atau tidak mau mendengarkan nasihat, itulah pertanda kesombongan.

Keempat, tak pandai berterima kasih.Orang kaya yang tulus tidak mengharapkan balasan dari orang yang ditolongnya (QS al-Insan [76]:9-10).Namun, orang miskin wajib berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya.Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah. (HR Ahmad). Namun, jika orang miskin tidak pandai berterima kasih, itulah pertanda kesombongan.

Akhirnya, tiada yang patut disombongkan, sebab semua kekayaan dan kekuasaan akan sirna pada waktunya. Namun, ketika seseorang yang sudah miskin dan sombong pula, maka tiada lagi yang berharga pada dirinya. Lalu, orang-orang pun akan membiarkannya merana dalam kesendirian.Allahu a’lam bissawab.

IHRAM

4 Hikmah Puasa Tasu’a

Berikut ini 4 hikmah puasa Tasu’a.  Salah satu bulan yang tidak diragukan lagi kemuliaan dan keberkahannya adalah bulan Muharram. Bulan ini selain dikenal sebagai salah satu bulan haram juga menjadi bulan yang memiliki nilai sakral dalam ajaran Islam sebagai pembuka tahun.

Semua umat Islam akan menyambut bulan ini dengan beragam nilai dan kegiatan positif, mulai dari pembacaan shalawat, tabligh akbar, dzikir bersama, dan kegiatan positif lainnya dalam rangka menyambut bulan yang satu ini.

Kemuliaan bulan Muharram tidak saja karena dimuliakan dan dihormati umat Islam sebagai pembuka tahun, namun juga dimuliakan dalam Islam itu sendiri. Bahkan, Allah langsung menyebut bulan ini dengan sebutan syahrullah (bulan Allah), untuk menunjukkan bahwa Muharram memiliki kemuliaan tersendiri, sebagaimana yang dikatakan Syekh Abdul Ghani an-Nabiluai, yaitu:

“Sungguh, Nabi Muhammad telah menamai bulan muharram dengan bulan Allah (syahrullah). Menyandarkannya (Muharram) kepada Allah menunjukkan kemuliaan dan keagungannya, karena sesungguhnya, Allah tidak akan menyandarkan pada Zat-Nya kecuali makhluk-Nya yang istimewa.” (Syekh an-Nabilusi, Fadhailusy Syuhur wal Ayyam, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 15).

Oleh karena itu, pada bulan ini umat Islam dianjurkan untuk berpuasa, sebagai manifestasi penghormatan dan mengagungkan bulan Muharram. Selain itu, karena semua amal ibadah dan perbuatan baik yang dilakukan pada bulan Muharram akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah swt.

Puasa pada bulan ini bisa dilakukan kapan pun, namun yang sudah sangat masyhur dan sering diamalkan oleh masyarakat Indonesia adalah puasa Tasu’a, yaitu puasa pada tanggal 9 Muharram, dan puasa Asyura, yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram. Anjuran puasa Tasu’a sebagaimana sabda Rasulullah saw, yaitu:

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ: أَنَّهُ كَانَ يَصُوْمُ اليَوْمَ التَّاسِعِ وَالْيَوْمَ الْعَاشِرِ

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: Sungguh, dia (Rasulullah) puasa pada hari kesembilan (Tasu’a) dan hari kesepuluh (Asyura).”

صُوْمُوا اليَومَ التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوْا الْيَهُوْدَ

“Berpuasalah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh, dan berbedalah dengan orang Yahudi.” (HR Ibnu Abbas).

Dua hadits di atas menjadi sebuah dalil, bahwa puasa pada tanggal kesembilan bulan Muharram adalah dianjurkan. Selain agar tidak ada unsur tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya puasa pada tanggal kesepuluh, juga untuk mengikuti langkah dan amaliah yang dilakukan oleh Rasulullah pada hari tersebut. Namun, apa saja hikmah puasa pada hari ini? Simak penjelasan berikut

4 Hikmah Puasa Tasu’a

Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Khatib asy-Syarbini (wafat 997 H) dalam salah satu kitabnya menjelaskan beberapa hikmah dianjurkannya puasa pada hari kesembilan bulan Muharram. Menurutnya, ada beberapa hikmah di balik anjuran tersebut, di antaranya yaitu:

Pertama, agar tidak sama dengan tradisi orang-orang Yahudi yang hanya puasa pada tanggal 10 saja. Kedua, sebagai penyembung puasa Asyura. Sebab, hanya berpuasa pada hari Asyura saja sama halnya dengan puasa pada hari Jumat, yang hukumnya makruh jika tidak disambung dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Oleh karena itu, sunnah untuk puasa pada tanggal 11, jika pada hari Tasu’a tidak puasa.

Ketiga, sebagai bentuk kehati-hatian (ihthiyath) dalam puasa Asyura. Sebab, bisa saja penentuan tanggal menggunakan pedoman hilal akan kurang atau keliru, sementara hari Asyura pada kenyataannya (nafs al-amr) berada di hari Tasu’a.

Oleh karenanya, puasa di hari kesembilan ini hukumnya juga sunnah. (Syekh Khatib asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 446).

Demikian penjelasan perihal dianjurkannya puasa pada hari kesembilan bulan Muharram, serta 4 hikmah yang terkandung di dalamnya. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ikhlas

Al-Quran mendorong umat Islam untuk bersikap ikhlas, menyerahkan diri pada Allah. Ayat al-Quran juga berisi anjuran terhadap kaum muslimin mengedepankan sikap ikhlas dalam segala hal

SECARA etimologis, kata ikhlas berasal dari bahasa Arab اخلاص, yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia dengan penulisan: ikhlas – tanpa h. Kata ikhlas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: bersih hati; tulus hati.

Di dalam bahasa Arab, kata ikhlas (إِخْلاَصٌ) adalah bentuk masdar (dasar dari kata kerja) akhlasha (أَخْلَصَ) dan yukhlishu (يُخْلِصُ). Kata ini memiliki banyak makna seperti: mengerjakan sesuatu dengan hati yang bersih, memurnikan, mengambil intisari sesuatu, dan memilih.

Kata ikhlas itu sendiri terambil dari kata dasar خَ لَ صَ/ kha – la – sha: يَخْلُصُ/ yakhlushu, خُلُوْصًا/ khulushan. Yang memiliki beberapa arti. Yaitu: Murni, tidak bercampur dengan sesuatu yang lain, bersih, jernih dan bebas dari sesuatu.

Bentuk kata إخلاص tidak ditemukan di dalam Al Quran. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk yang lain yang merupakan derivasinya, seperti خلصوا/ kholashu, خالص/ khoolish, أخلصوا/ akhlashuu, مخلص/ mukhlish dan مخلصون/ mukhlishuun.

Bentukan-bentukan (derivasi) dari kata إخلاص yang terdapat di dalam Al Quran terulang sebanyak 31X yang terulang dalam berbagai ayat dalam berbagai surah. Jadi makna kata al-khalish hampir serupa dengan kata ash-shofi.

Hanya saja kata al-khalish (suci atau bersih) mengandung makna bahwa kesucian tersebut memiliki campuran tertentu. Sementara itu kata ash-shofi dipergunakan sebagai sesuatu yang ‘telah’ menjadi suci dan bersih tanpa campuran apapun.

Di dalam Mufrodad Ar-Roghib, Ibnu Manzhur mengatakan bahwa khalasha asy-syay’u disebutkan sesuatu yang pernah memiliki campuran di dalamnya kemudian campuran tersebut dipisahkan hingga benar-benar bersih.  Kalimat akhlasha lillahi dinahu bermakna hanya menjadikan agama Allah sebagai agama yang dianut oleh seorang hamba.

Sementara, akhlasha asy-syay’a bermakna memilihnya. Menurut Ibnu Saad dalam kitabnya Ath-Thabaqat (ia meriwayatkan ‘Umar bin ‘Abdul Aziz).

Diriwayatkan jika ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berkhutbah di atas mimbar dan mulai takut untuk membanggakan diri, maka ia akan memotong khutbahnya itu. Jika ia menulis kitab dan mulai merasa takut akan ujub terhadap dirinya, maka ia akan merobek kertas itu.

Dan berdoa:

اللهم اني اعوذ بك من شر نفسي

“Yaa Allah aku berlindung kepadamu dari keburukan yang ada dalam diriku.”

Ikhlas dalam Al-Quran dan As-Sunnah

Al-Quran mendorong umat Islam untuk bersikap ikhlas. Ayat al-Quran juga berisi anjuran dan perintah terhadap kaum muslimin untuk mengedepankan sikap ikhlas dalam segala hal.

Sikap ikhlas ini menjadi penting karena sesuatu amal akan menjadi bermakna karena keikhlasan niat, dan ketulusannya. Di antara ayat-ayat yang menerangkan tentang ikhlas itu ialah ayat-ayat berikut:

QS. Al Nisa’ [4]: 146 yang menggunakan kata أخلصوا (akhlashuu):

إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَٱعۡتَصَمُواْ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُواْ دِينَهُمۡ لِلَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَسَوۡفَ يُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا ١٤٦

“Kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan [berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.”

QS. Al Zumar [39]: 11 yang menggunakan kata مخلصا (mukhlishan):

قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ١١

Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

QS. Ghoofir [40]: 65 yang menggunakan kata مخلصين (mukhlishiin):

هُوَ ٱلۡحَيُّ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَٱدۡعُوهُ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَۗ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦٥

“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Pendapat Tsa’lab yang dikutip Mahmud al-Mishri menyatakan bahwa al-mukhlishiin adalah orang-orang yang menyerahkan ibadah mereka kepada Allah ﷻ. Hati mereka telah disucikan dan dibersihkan oleh Allah ﷻ. Karena itu, al-mukhlishiin itu disebut juga sebagai orang-orang pilihan (terpilih).

Rasulullah ﷺ banyak menuturkan hadits yang mendorong umatnya untuk selalu mengedepankan ikhlas hanya karena Allah ﷻ dalam setiap perkataan dan perbuatan.

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Dari ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rosul-Nya.  Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR: Bukhori, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).*/Hariono Madari

HIDAYATULLAH