Bersedekah Tapi Masih Punya Utang, Bolehkah?

Utang adalah tanggungan yang wajib dipenuhi. Kewajibannya bahkan mengikat sampai mati. Ketika seseorang punya tanggungan utang, maka hanya ada dua kemungkinan yang bisa menggugurkan tanggungan tersebut: 1) hutangnya sudah terlunasi, atau 2) dibebaskan/direlakan oleh orang yang punya hak (ibrā`)

Bagi banyak orang, memiliki tanggungan utang adalah hal biasa, karena orang tidak selalu memiliki apa yang dia butuhkan. Dalam keadaan yang sama, kadang ia ingin berbagi dan bersedekah kepada sesama, padahal ia punya tanggungan utang yang harus dibayarkan pada orang lain.

Bagaimanakah hukum bersedekah bagi orang yang punya utang, mengingat status hukum membayar utang adalah wajib sedang bersedekah hanyalah sunah? Syaikh Bafadhal al-Hadhrami dalam kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyah mengatakan,

ولا يحل التصدق بما يحتاج إليه لنفقته أو نفقة من عليه نفقته في يومه وليلته أو لدين لا يرجو له وفاء

“Tidak halal bersedekah menggunakan harta yang dibutuhkan, untuk sehari semalam, guna menafkahi dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahinya. Atau, dibutuhkan guna membayar utang yang tidak ada harapan bisa dilunasi lain waktu.”

Artinya, bersedekah memang sunah namun jika kita dalam kondisi masih membutuhkan harta tersebut sebagai bagian dari kebutuhan pokok (misal membayar utang), maka bersedekah yang sunah tadi hukumnya menjadi haram. Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Minhaj al-Qawim menambahkan soal haramnya menunda membayar utang,

لأن أداءه واجب لحق الآدمي فلا يجوز تفويته أو تأخيره بسبب التطوع بالصدقة، ومحله إن لم يغلب على ظنه وفاؤه من جهة أخرى ظاهرة

“Karena, membayar hutang adalah wajib, sehingga tidak boleh digagalkan atau ditunda karena berbuat sunah dengan bersedekah. Hukumnya demikian ini apabila ia tidak memiliki dugaan kuat dapat membayar hutangnya dari harta lain.”

Dan dalam Tuhfatu al-Muhtaj, al-Haitami berkata,

إن وجب أداؤه فورا لطلب صاحبه له، أو لعصيانه بسببه مع عدم علم رضا صاحبه بالتأخير حرمت الصدقة قبل وفائه مطلقا.

“Apabila hutangnya wajib segera dibayarkan—karena pemilik hak sudah menagih atau karena tanggungan hutangnya disebabkan maksiat (karena gasab, dsb)—serta tidak diketahui apakah pemilik hak rela akan penundaan tersebut, maka secara mutlak haram bersedekah sebelum melunasi hutangnya.”

Dari tiga referensi di atas ada beberapa poin yang dapat kita simpulkan:

  1. Tidak boleh bersedekah menggunakan harta yang diperlukan untuk kebutuhan sendiri dan keluarga di hari tersebut.
  2. Tidak boleh bersedekah menggunakan harta yang diperlukan untuk melunasi tanggungan hutang, kecuali ada dugaan kuat bisa melunasinya dengan harta lain.
  3. Hutang yang wajib segera dilunasi (karena jatuh tempo dan sudah ditagih atau karena tanggungan hutangnya disebabkan maksiat [karena gasab, dsb.]) tidak boleh ditunda (dengan cara apapun, termasuk bersedekah), kecuali jika diketahui bahwa pemilik hak akan merelakan penundaan tersebut. Wallahu A’lam. 

BINCANG SYARIAH

Kemudahan bagi Umat Nabi Muhammad dalam Beragama

Dalam jurnal yang ditulis oleh Rabiatul Adawiyah (Adawiyah, 2019:129) Islam dicirikan sebagai agama yang memiliki sifat universal, dinamis, dan humanis. Islam juga dipercaya sebagai agama yang akan kekal sepanjang waktu. Islam tidak hanya diperuntukkan kepada suatu kelompok atau wilayah saja, melainkan ajaran Islam untuk seluruh umat manusia yang berada di alam semesta ini. Islam juga memberikan kemudahan bagi umat Nabi Muhammad dalam beragama.

Dalam uraian yang lain juga disebutkan bahwa Islam is Not Only for Muslim (Islam bukan hanya untuk umat Islam semata), yang terakhir bahkan menjadi judul buku yang ditulis oleh tokoh Islam di Indonesia, KH. Ali Mustafa Yaqub (1952-2016), yang isinya mengandung uraian-uraian bahwa ajaran Islam memiliki spektrum yang luas, yang bukan hanya berisi seruan agar orang lain menikmati Indahnya agama ini, lebih dari itu, ajaran-ajaran yang dikandung Islam mampu diterapkan oleh siapapun yang menginginkan mewujudkan luhurnya peradaban.

Termasuk di antara ciri khas agama Islam adalah karakternya yang mudah untuk dipraktikkan dalam keseharian dan tidak memberatkan.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari disebutkan oleh Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ

“Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, dari Rasulullah Saw bahwasanya beliau bersabda : Sesungguhnya agama itu mudah dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlaku luruslah kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira, manfaatkanlah (untuk memohon pertolongan) pada pagi dan sebagian dari malam hari.”

Dalam satu bukunya yang berjudul Khasaish al-Ummat al-Muhammadiyyah (Kekhususan-kekhususan umat nabi Muhammad), Syaikh al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliky menjelaskan bahwa di antara kekhususan yang diberikan oleh Allah kepada kita umat Islam adalah ditiadakannya unsur-unsur yang memberatkan dalam beragama. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.,

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka..” (Al-A’raf : 157)

Sayyid Alawi al-Maliky al-Makky memberikan beberapa contoh yang menjadi kekhususan agama Islam dibanding ajaran agama-agama sebelumnya, yang keseluruhnya merupakan bukti peringanan dari syariat-syariat sebelumnya.

Yang pertama adalah dihapuskannya syariat pemotongan baju atau barang yang dikenai najis. Umat-umat terdahulu, manakala pakaian mereka terkena najis, kendati disengaja atau tidak disengaja, maka mereka akan memotongnya dan membersihkannya. Hal ini sebagaimana dinarasikan dalam hadis riwayat Abu Daud bahwasanya Rasulullah Saw menceritakan,

كانوا إذا أصابهم البول قطعوا ما أصابه البول منهم

“Manakala pakaian mereka dikenai air kencing, maka mereka akan memotong bagian yang dikenai najis tersebut.”

Sedangkan jika umat Nabi Muhammad (baca: umat Islam) terkena najis maka cukup dibasuh dan dibersihkan bagian yang kena najis saja, baik itu yang terkena pakaian atau yang lain.

Yang kedua adalah penghapusan aturan dikucilkannya orang yang sedang haid. Hal ini terjadi pada umat Yahudi di mana apabila perempuan-perempuan dari kalangan mereka mengalami haid maka mereka tidak akan mengajaknya makan, tidak mengajaknya berinteraksi, bahkan menjauhi mereka dengan ditinggalkan di rumah secara sendirian. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim dan Ahmad.

عن أنس -رضي الله عنه-: أن اليَهُود كانوا إذا حَاضَت المرأة فيهم لم يؤَاكِلُوها، ولم يُجَامِعُوهُن في البيوت فسأل أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم- النبي -صلى الله عليه وسلم- فأنزل الله تعالى: {ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض} [البقرة: 222] إلى آخر الآية، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «اصْنَعُوا كلَّ شيء إلا النكاح»

”Dari Anas radiyallahu anhu bahwasanya dahulu jika perempuan dari kalangan Yahudi mengalami haid maka mereka tidak akan mengajaknya makan dan tidak akan menggaulinya di rumah. Kemudia para sahabat bertanya kepada Nabi Saw mengenai hal ini, maka turunlah ayat (Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid, maka katakanlah bahwa haid itu merupakan penyakit, maka jauhilah mereka selagi mereka dalam kondisi haid). Maka kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Lakukan segala sesuatu (pada isteri-isterimu) kecuali nikah (yakni berhubungan intim.”

Sedangkan dalam Islam jika ada perempuan yang mengalami haid maka diperbolehkan bagi seorang suami untuk berinteraksi terhadapnya, mengajaknya makan dan santai-santai bahkan dalam melakukan hubungan badan (asal tidak melakukan tindakan intim). Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadis yang disebutkan di awal.

Yang ketiga adalah ditiadakannya kewajiban penetapan qisash bagi seorang yang melakukan kesalahan, baik disengaja atau tidak. Jika umat sebelum Nabi Muhammad (baik itu Yahudi ataupun Nasrani) melakukan sebuah kesalahan seperti membunuh maka ia wajib dibalas dengan dibunuh juga, baik ia melakukan hal tersebut secara sengaja atau tidak. Hal ini berbeda dengan umat Islam yang melakukan kesalahan, jika ia melakukannya secara khilaf maka hanya dikenai diyat (denda atas perbuatannya) sedanhkan jika ia melakukannya secara sengaja maka ia bisa dikenakan qishosh (pembalasan dengan hal setimpal) atau bisa dikenakan diyat (denda sebagai ganti dari qishosh, hal ini jika pihak korban memaafkan pelaku).

Demikianlah, Islam dengan syariatnya, menjaga dan melindungi hak asasi manusia dan segala fitrahnya, menggabungkan antara kebutuhan basyariyah (kemanusiaan) dengan hakikat ruh dan tujuan beragama. Hal ini merupakan metode kehidupan yang agung dalam hal interaksi sosial manusia, sesuai dengan jalannya fitrah. Demikian tulis Sayyid Alawi al-Maliky al-Makky mengenai kekhususan umat Muhammad Saw.

BINCANG SYARIAH

Hari Ibu; Belajar Jadi Ibu Terbaik dari Sosok Maryam

Maryam adalah sosok perempuan yang dipuji di bumi. Pun dicintai di langit. Kemasyhuran namanya diabadikan dalam Al-Qur’an yang mulia. Ia  digambarkan sebagai perempuan mulia, terbaik, suci, dan taat beribadah.

Sebagai bukti, dalam Q.S Ali Imran/3;42, dijelaskan secara gamblang bahwa Maryam tergolong perempuan yang terpilih. Putri dari Imran ini merupakan perempuan yang mampu menjaga diri dan kehormatannya dari keburukan. Sehingga Allah menyematkan titel sebagai perempuan suci.  Allah berfirman;

 وَاِذْ قَالَتِ الْمَلٰۤىِٕكَةُ يٰمَرْيَمُ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفٰىكِ عَلٰى نِسَاۤءِ الْعٰلَمِيْنَ – ٤٢

Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).

Pada sisi lain, Maryam merupakan seorang ibu. Orang tua dari seorang lelaki yang mulia pula. Dinobatkan sebagai utusan Tuhan, Isa alaihi salam. Yang keagungannya diakui di agama Kristen, pun diagungkan dalam agama Islam.

Sebagai seorang ibu, Maryam merupakan sosok ibu yang baik. Taat beribadah pada Tuhan. Pun menyayangi anaknya. Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menjelaskan bahwa kemuliaan akhlak dari Maryam sudah terbentuk sejak belia.

Dalam sejarah dikatakan, sejak awal Maryam sudah dididik langsung oleh seorang guru yang mulia, Nabi Zakaria. Pasalnya, sejak mengandung Hannah, ibunda dari Maryam sudah bernadzar, bahwa jika anaknya lahir akan dikirimnya ke Rumah Suci (Baitul Muqaddas) agar menjadi penjaga rumah tempat beribadah kepada Allah.

Akhirnya nadzar itu ditunaikan, kendatipun anak tersebut bukan laki-laki. Penjaga rumah suci itu, yaitu Nabi Zakariya. Nabi Zakariya itulah yang mengasuh dan mendidiknya di rumah suci sejak dia lahir sampai dewasa. Berkat itu, Maryam senantiasa terpelihara kesuciannya, dari kejahatan manusia dan setan yang terkutuk.

Wajar saja, ketika ia mempunyai anak—dari rahim yang suci itu—, lahir anak yang shaleh juga. Yang ia didik dengan penuh cinta dan kasih sayang. Tak lupa ia ajarkan, akhlak dan norma kebajikan.  Terlebih untuk taat dan beribadah pada Allah, yang menciptakan dirinya, kendatipun tak memiliki seorang ayah.

قَالَ اِنَّمَآ اَنَا۠ رَسُوْلُ رَبِّكِۖ لِاَهَبَ لَكِ غُلٰمًا زَكِيًّا – ١٩

Dia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci.”

Pada sisi lain, Maryam merupakan seorang ibu yang pembarani. Jamak diketahui, ia hamil tanpa seorang suami, sehingga marak isu ia perempuan tak benar. Sebab mengandung tanpa seorang suami yang sah. Sehingga ia dikucilkan dan dihujat secara brutal oleh kaumnya.

Pada suatu hari, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Al Misbah, Volume VII, halaman 435, Maryam datang menemui kaumnya. Setelah 40 hari pasca melahirkan, Ia mengendong anaknya, Isa yang masih bayi. Ia datang dengan berani, tanpa ada rasa malu,  dan percaya diri.

Dalam forum itu, kaumnya memburunya dengan pelbagai pertanyaan.Yang tidak beraturan, dan penuh penghakiman. Tetapi ia tetap diam. Quraish Shihab menyebutkan, diamnya Maryam sebagai nadzar yang jamak dijumpai pada masa lalu. Kendati demikian, Allah menurunkan mukjizat—Bayi, Nabi Isa menjelaskan pada kaummya tentang identitas dirinya.

قَالَ اِنِّيْ عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا ۙ – ٣٠

Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.

وَّجَعَلَنِيْ مُبٰرَكًا اَيْنَ مَا كُنْتُۖ وَاَوْصٰنِيْ بِالصَّلٰوةِ وَالزَّكٰوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ۖ  وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَتِيْ وَلَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

 Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”

Dengan demikian, di era sekarang, kisah Maryam tersebut dapat diambil ikhibar dan manfaat. Ia adalah orang tua yang menyayangi anaknya. Momentum hari iu ini, seyogianya sosok Maryam mampu dijadikan sebagai suri teladan bagi generasi hari ini.

BINCANG SYARIAH

Keistimewaan Umar Kecil

Muhammad Husain Haekal dalam buku Umar bin Khattab menyampaikan, yang membedakan Sayyidina Umar bin Khattab kala kecil dengan kawanan seusianya adalah ia sempat belajar membaca dan menulis. Hal ini jarang sekali terjadi di kalangan anak-anak kaum Quraisy pada masa itu.

Dari semua suku Quraisy ketika Nabi diutus, hanya 17 orang yang pandai membaca dan menulis. Sehingga Sayyidina Umar kecil merupakan orang yang cukup istimewa yang mampu belajar baca-tulis meski bukan berasal dari keluarga kaya raya.

Pada masa jahiliyah, orang-orang Arab masa itu tidak menganggap bahwa pandai membaca dan menulis merupakan sebuah keistimewaan. Bahkan mereka justru menghindari dan menghindarkan anak-anak mereka dari belajar membaca dan menulis.

Beranjak remaja, Sayyidina Umar tampak berkembang lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Beliau lebih tinggi dan lebih besar. Bahkan ketika Auf bin Malik melihat orang banyak berdiri sama tinggi, hanya ada seorang yang tingginya jauh melebihi yang lain sehingga sangat mencolok. Dialah Sayyidina Umar kala remaja.

Secara fisik, Sayyidina Umar remaja memiliki kulit wajah yang putih agak kemerahan. Tangannya kidal dengan kaki yang lebar sehingga jalannya cepat sekali. Sejak muda beliau sudah mahir dalam berbagai jenis olahraga, seperti gulat dan menunggang kuda.

KHAZANAH REPUBLIKA

Putuskan Hubungan dengan Ibu Karena Curi Harta Anak, Ini Pendapat Ulama

Ulama asal Kanada Ahmas Kutty menjelaskan seorang anak tidak boleh memutuskan hubungan dengan ibunya, terlepas dari apa yang anak itu tuduhkan padanya. 

Meskipun tindakan pencurian tidak dapat dibenarkan oleh Islam. Jika seorang ibu mengambil uang itu dan tidak mempengaruhi dalam pemenuhan kebutuhan, maka seorang anak tidak perlu menyalahkannya karena dia berhak atas uang anak jika dia membutuhkannya.

 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي مَالًا وَوَلَدًا وَإِنَّ أَبِي يُرِيدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِي فَقَالَ أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ

Dari Jabir bin Abdullah berkata, “Seseorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan anak, sementara ayahku juga membutuhkan hartaku.” Maka beliau bersabda: “Engkau dan hartamu milik ayahmu.”  (HR Ibnu Majah ).

Melansir laman askscholar.com, Rabu (22/12), para ulama telah menyimpulkan dari hadits ini bahwa orang tua memiliki hak untuk mengambil dari uang anak-anak mereka jika mereka membutuhkan. Mereka tidak perlu menunggu izin untuk melakukan itu.

Perlu ditanyakan perihal masalah ini, jika seorang ibu mengambil uang karena kebutuhannya atau apakah dia menggunakannya untuk menghambur-hamburkan atau menyia-nyiakannya sementara anak tidak menggunakannya secara sah?Jika dia mengambilnya secara tidak adil, anak harus berbicara kepadanya bahwa tidak menyukai apa yang dia lakukan.

Sebaliknya, jika dia melakukannya untuk kebutuhannya tanpa bersikap tidak adil kepada anaknya, maka  tidak perlu menyalahkannya. Dia punya hak untuk melakukan itu. Bagaimanapun, dia adalah ibu kandungnya, dan dia memiliki hak atas anaknya. 

Allah berfirman, dalam surat Al Isra  23-24,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.

Dalam ayat ini dan ayat lainnya, Allah mengajarkan kita bahwa perintah utama dalam Islam adalah menghormati orang tua kita. Kita juga diperintahkan untuk tidak pernah bertindak kasar terhadap mereka bahkan jika mereka menjadi tidak sabar atau membuat kita kesal. 

Karena itu, seorang anak tidak boleh memutuskan hubungan dengan ibu, apa pun yang terjadi. Akan lebih baik jika seorang anak mengingatkan diri sendiri tentang rasa sakit yang dia tanggung saat merawatnya.

IHRAM

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 7)

SEBAB KEDELAPAN :

Menjauhkan Diri dari Penyakit Hati maupun Racunnya

Penyakit hati dan racunnya serta hal-hal yang dapat merusaknya sangatlah banyak. Sungguh hati ini bisa sakit sebagaimana anggota badan lainnya. Bahkan, penyakit-penyakit hati memiliki pengaruh buruk yang sangat besar terhadap pemiliknya, seperti hasad, iri, dan dengki, dan penyakit-penyakit lainnya yang menimpa hati. Sifat-sifat tercela dan penyakit-penyakit buruk apabila masuk ke dalam hati, maka akan merusaknya. Dan apabila telah sampai ke dalam dada, maka ia akan membuatnya gelap dan akan membuat dada menjadi sempit serta membuat keadaannya menjadi suram bahkan akan memperburuk tempat kembalinya, yaitu akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ألَا وإن في الجسد مضغةً، إذا صلَحت صلَح الجسد كلُّه، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب

“Sesungguhnya pada tubuh manusia itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka menjadi baiklah seluruh anggota badan. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh anggota badan. Sesungguhnya segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dengan gamblang akan bahayanya hati yang rusak karena penyakit dan racun yang masuk ke dalamnya. Apabila hati ini sudah rusak, maka rusak pula anggota tubuh lainnya. Adapun orang-orang yang selamat dari penyakit-penyakit ini dan hatinya dipenuhi dengan sifat-sifat yang bertolak belakang dari penyakit-penyakit hati, seperti amanah, memenuhi janji, kejujuran, dan mengutamakan orang lain, maka sifat-sifat tersebut akan membuat pemiliknya merasa lapang dada, membuat nyaman hatinya, dan memberikan ketenangan pada jiwanya.

Di antara doa yang sering dipanjatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah meminta diberikan hati yang selamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa di dalam sebuah hadis,

أسألك قلبًا سليمًا

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu untuk diberikan hati yang lurus dan selamat.” (HR. Nasa’i)

Yaitu hati yang selamat dari rasa ragu terhadap keesaan Allah Ta’ala dan keberadaan kehidupan setelah kematian. Karena sejatinya, hati yang telah dipenuhi keimanan pun jika setan membisikkan dan membuatnya was-was, maka sangat mungkin akan terjatuh ke dalam kesalahan dan kesesatan. Namun, jika diri kita terbiasa berdoa meminta hati yang selamat, setidaknya hati ini mudah kembali dan cepat di dalam menyadari bahwa ia telah terjatuh dalam kesalahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitabnya (penyakit hati serta obatnya),

“Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada, baik itu penyakit syubhat maupun syahwat. Di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan mengenai kebenaran yang dapat menghapus kebatilan yang mana penyakit syubhat ini dapat terobati dengan ilmu, penjabaran, dan pengetahuan. Dan dengan berbekal semua hal itu ia dapat melihat segala hal sebagaimana mestinya.

Dan di dalam Al-Qur’an terdapat pula hikmah maupun mauizah hasanah (nasehat dengan cara yang baik) baik itu dengan iming-iming imbalan maupun dengan cara menakuti, serta terdapat juga cerita-cerita yang terkandung di dalamnya ibrah dan contoh yang memberikan dampak pada sehatnya hati. Sehingga (dengan Al-Qur’an ini) hati  mencintai hal-hal yang bermanfaat baginya, membenci apa-apa yang membahayakannya, mencintai kebenaran, dan membenci kesesatan yang sebelumnya ingin ia lakukan. Maka, Al-Quran adalah penghapus penyakit-penyakit yang membuat hati menginginkan kerusakan dan merupakan wasilah untuk memperbaiki hati. Seiring dengan semua itu, keinginan hati pun ikut membaik, dan kembali kepada fitrah penciptaannya sebagaimana kembalinya tubuh ini ke keadaan yang sehat. Hati pun tersuplai dengan keimanan yang bersumber dari Al-Qur’an yang  menyucikannya dan membantunya sebagaimana tubuh ini terpenuhi gizinya dengan apa yang membantu pertumbuhannya dan menguatkannya. Dari sini bisa kita ketahui bahwa hakikat bersihnya dan sucinya hati itu layaknya pertumbuhan badan.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Al-Isra’: 82)

Zakaah di dalam bahasa artinya adalah tumbuh dan berkembang di dalam kebaikan. Dikatakan (zakaa asy-syai) jikalau ia berkembang di dalam kebaikan. Agar hati ini tumbuh dan berkembang, maka ia membutuhkan pemeliharaan dari pemiliknya, sehingga ia tumbuh dengan sempurna dan baik layaknya tubuh kita membutuhkan gizi yang mendukung kesehatannya.

Bersama semua hal itu, hati ini tidak boleh lepas dari menghindarkan diri terhadap hal-hal yang membahayakannya. Layaknya badan yang mana tidak tumbuh, kecuali dengan memenuhi apa-apa yang bermanfaat baginya dan menghindar dari hal-hal yang membahayakannya. Begitu pula dengan hati, tidaklah ia menjadi suci, bertumbuh dan menjadi baik, kecuali jika terpenuhi semua yang bermanfaat baginya lalu diiringi dengan penolakan terhadap hal-hal yang berbahaya baginya.

SEBAB KESEMBILAN :

Meninggalkan Hal-hal yang Tidak Bermanfaat

Termasuk salah satu sebab lapangnya dada adalah menjaga lidah dari banyak bicara, menjaga telinga dari mendengarkan yang tidak bermanfaat baginya, dan menjaga mata dari melihat yang tidak berguna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmizi)

Menyibukkan jiwa dan hati dengan sesuatu yang dapat memalingkan kita dari hal-hal yang urgen, yang dapat membahagiakan, serta menyukseskan kehidupan kita di dunia dan di akhirat memiliki pengaruh buruk dalam kehidupan manusia. Di mana hal tersebut akan menyempitkan dan menyusahkan hidup. Bahkan tidak menjaga pendengaran, penglihatan dan ucapan dari hal-hal yang tidak bermanfaat merupakan sebab datangnya kesedihan dan kegalauan, serta mengakibatkan terjadinya hal-hal yang membebani. Di mana hal tersebut sangat tidak diinginkan manusia di kehidupan dunia ini maupun di akhirat kelak. Begitu pula, tidak menjaga pandangan dan pembicaraan dari hal-hal yang tidak bermanfaat akan menjerumuskan pelakunya ke dalam kesengsaraan dan kesedihan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam sebuah hadis setelah menjabarkan pintu-pintu kebaikan,

ألاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ, وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلًّمُ بِهِ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Maukah aku beritahu tentang sesuatu yang bisa menguatkan semua itu?” Aku menjawab, ‘Tentu, wahai Nabi Allah.’ Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memegang lisannya (lidahnya) dan bersabda, ‘Tahanlah(jagalah) ini!’ Aku bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Alangkah sedihnya ibumu kehilanganmu wahai Muadz, bukankah manusia itu dilemparkan ke dalam neraka dengan wajah tersungkur tidak lain disebabkan hasil panen (apa yang mereka peroleh) dari lisan-lisan mereka?’” (HR. At-Tirmdzi)

Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk bersungguh-sungguh di dalam mendisiplinkan diri dan menghiasinya dengan perilaku terpuji, menjaga adab, menjaga jiwa, dan menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat membahayakan dan menghancurkannya.

Syekh menutup sebab kesembilan ini dengan memberikan nasehat perihal bahaya terus menerus bermain handphone, “Dan salah satu ujian yang menimpa manusia pada zaman ini, yang mana dengannya  terbuka lebar pintu-pintu masuk bagi  hal-hal yang tidak bermanfaat adalah asiknya diri kita saat melihat hape, berpindah aplikasi, berseluncur di dunia maya hanya untuk menikmati hal-hal yang tidak bermanfaat, atau bahkan kadang yang kita lakukan itu merupakan keburukan dan suatu hal yang tercela. Maka, semua itu berimbas buruk dan membahayakan agama dan akhlak kaum muslimin, menyia-menyiakan waktu mereka, membuat mereka terperosok ke dalam berbagai macam dan ragam kesedihan dan kegalauan serta rasa sempit di dalam dada.”

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Sumber:

Asyratu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada) Karya Syekh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzhohullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/71107-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-7.html

Bersemangatlah dalam Hal yang Bermanfaat

Orang beriman meyakini bahwa waktu dan kesempatan untuk menjalani kehidupan yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya adalah anugerah yang besar, yang tidak didapatkan oleh hamba-hamba Allah yang lain. Maka  pantas bagi kita untuk memanfaatkan waktu dan kesempatan dalam rangka membekali diri dan melakukan amalan saleh agar menggapai kebahagiaan di akhirat.

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang terbaik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.”

Dia bertanya lagi, “Lalu siapakah orang yang terburuk?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

“Orang yang berumur panjang dan buruk amalnya” (HR. Ahmad; Tirmidzi; dan al-Hâkim. Disahihkan oleh al-Albâni Rahimahullah dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, 3/313, no. 3363, Maktabul Ma’arif, cet. 1, th 1421 H/ 2000 M).

Namun, kadangkala waktu dan kesempatan itu tanpa kita sadari telah diisi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk dunia maupun akhirat kita. Bahkan sebagian dari kita justru menggunakan waktu dan kesempatan itu untuk berbuat hal-hal yang Allah murkai. Wal-iyadzu billah.

Kita semestinya menyadari bahwa setan selalu menggoda kita untuk melakukan dosa. Setan akan menghasut, membisik, merayu, dan menggoda kita agar melakukan hal yang sia-sia jika kita tidak mempersiapkan diri untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Iblis sendiri telah bersumpah,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari depan dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur” (QS. Al-A’râf: 16-17).

Kemakiatan dalam waktu luang

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti kita untuk berhati-hati dengan waktu luang. Manusia sangat mungkin tertipu dengan waktu luang yang dia miliki. Oleh karena itu, hendaklah kita waspada terhadap hal ini.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya adalah kesehatan dan waktu luang” (HR. Bukhari no. 5933).

Apabila kita tidak memikirkan hal ini, maka dikhawatirkan kita akan terus menerus berada di tepi jurang kemaksiatan yang akan merugikan diri kita sendiri. Maka sudah sepantasnya kita merenungi segala amal, tutur kata, tingkah laku, dan segala perbuatan kita. Apakah semua itu berhubungan dengan kebaikan dunia dan akhirat kita? Atau bahkan sebaliknya? Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ .وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Hasyr: 18-19).

Memanfaatkan waktu terhindar dari kemunafikan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan para sahabat ridhwanullah ‘alaihim; generasi terbaik umat Islam, layak untuk kita jadikan suri tauladan. Maka selayaknya bagi kita untuk menggali lebih dalam bagaimana para sahabat memanfaatkan waktu mereka demi kebaikan akhiratnya. Di antara hal yang sangat penting untuk kita ketahui adalah perkataan Ibnu Malikah Rahimahullah,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan” (HR. Bukhari no. 36).

Lihatlah, betapa mereka mengkhawatirkan diri mereka sendiri untuk berbuat kemunafikan. Kemunafikan itu secara umum berkaitan dengan dosa. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, dusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, ia khianat” (HR. Muslim no. 59).

Bagi orang-orang yang memanfaatkan waktu yang diberikan dengan amal-amal saleh, tentu saja akan terhindar dari kemunafikan. Begitu pun orang-orang yang menyadari pentingnya melakukan hal yang bermanfaat untuk urusan dunia dan akhiratnya dalam setiap waktu, insyaallah akan terhindar dari segala perbuatan dan sifat orang-orang munafik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. al-‘Ashr: 1-3).

Orang merugi adalah mereka yang selama hidupnya melakukan hal-hal yang dibenci oleh Allah, dengan cara menghabiskan waktu dan aktivitas yang tidak bermanfaat bagi agama mereka sendiri.

Lantas bagaimana kita mengetahui apakah hal yang kita lakukan tersebut mengandung hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan dosa?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita ciri-ciri hal yang keji (al-itsm) dalam sabdanya sebagai berikut,

وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِيْ نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Kejelekan (dosa) itu adalah sesuatu yang meresahkan jiwamu dan engkau benci apabila manusia mengetahuinya” (HR. Muslim no. 2553).

Cara mengetahui apakah perbuatan yang kita lakukan tersebut bermanfaat atau tidak adalah dengan bertanya ke hati nurani kita sendiri. Tanyakanlah, apakah hati nurani kita ini takut orang lain mengetahui perbuatan yang kita lakukan? Jika iya, maka itulah perbuatan yang memiliki ciri mengandung dosa.

Tanda baiknya keislaman

Alangkah baiknya bagi kita untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat tersebut. Kita tanyakan pada diri kita sendiri sebelum melakukan perbuatan dengan pertanyaan, “Apakah hal ini bermanfaat bagi dunia atau akhiratku?” Karena sangat jelas, di antara ciri seseorang yang baik Islamnya adalah ia meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya” (Hadis Hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).

Penting pula bagi kita menyadari bahwa waktu dan kesempatan yang Allah berikan kepada kita untuk hidup dunia yang fana ini tidaklah lama. Apabila kita bandingkan dengan umat-umat terdahulu, Allah berikan kita waktu yang cukup singkat untuk berbekal demi kebahagiaan akhirat kelak. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتـِيْ مَا بَيــْنَ سِتِّيْنَ وَسَبْعِيْنَ. وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَلِكَ

“Usia umatku (umat Islam) antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit dari mereka yang melewatinya” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Shahîhul Jâmi’, 1073).

Sekali lagi, mari kita gunakan sisa umur yang Allah anugerahkan kepada kita ini dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia, utamanya akhirat kita. Tidak ada hal yang bermanfaat kecuali dengan melakukan amalan-amalan saleh selain meraih rida dari Allah Ta’ala.

Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ

“Sesungguhnya Allah memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allah juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056).

Al Hasan Rahimahullah juga pernah mengatakan,

اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ

“Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini” (Taqrib Zuhd Ibnul Mubarok, 1: 28).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan kepada kita hidayah untuk selalu mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, berupa amalan-amalan saleh di setiap waktu, di sisa-sisa usia yang Allah berikan. Semoga kita menjadi sebaik-baik manusia yang Allah berikan umur panjang, yang dipenuhi dengan amal ibadah, aamiin.

Wallahu a’lam bi ashawab.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/71105-bersemangatlah-dalam-hal-yang-bermanfaat.html

Tafsir Surah al-Mumtahanah Ayat 8: Anjuran Toleransi terhadap Non Muslim

Tak bisa dipungkiri, bahwa toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Dalam Islam, toleransi sangat dianjurkan untuk pemeluknya. Islam, sangat menganjurkan sikap berbuat baik, tolong menolong, hidup harmonis, tanpa memandang agama, suku, budaya, dan ras manusia.

Anjuran berbuat baik pada orang lain, merupakan ajaran Islam. Hal itu ada panduannya dalam Al-Qur’an. Hal itu berlaku sekalipun pada orang yang berbeda agama; Yahudi, Kristen, Budha, Zoroaster, Ateis, dan Hindu. Hal itu sesuai firman Allah dalam Q.S al Mumtahanah/60;8;

Allah berfirman:

 لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Imam Jalaluddin Asy Suyuthi dan Mahalli dalam kitab Tafsir Jalalin, menjelaskan bahwa ayat ini memiliki pengertian, Allah tiada melarang orang Islam berbuat kebajikan pada orang yang kafir— yang tidak memerangi dan mengusir orang Islam.

Sementara itu Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Quran Al-Azhim, menjelaskan hal yang sama, bahwa umat Islam diperbolehkan berbuat baik pada pemeluk non muslim. Ibnu Katsir menyatakan kebolehan tersebut berlaku selama orang kafir tersebut tidak memerangi non muslim.

Untuk itu, umat Islam diperkenankan berbuat baik pada wanita dan orang yang lemah di antara pemeluk agam lain. Allah sangat menganjurkan umat Islam untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun, tanpa memandang latar belakang manusia tersebut.

Pada sisi lain,sebagaimana dijelaskan oleh KH. Profesor Ali Musthafa Yaqub, dalam at Tasamuh baina ad Diyanat, dengan menukilkan pendapat Imam Syaukani dalamkitab Fathul Qadir, bahwa ayat ini dimaksudkan Allah tidak melarang berbuat baik pada kafir dzimmi.

Dalam Islam, kafir dzimmi didefinisikan sebagai orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lain untuk memerangi umat Islam. Ayat ini juga menjalaskan Allah tidak melarang untuk bersikap adil dan bermuamalah dengan orang kafir.

Demikian penjelasan Tafsir surah Q.S Mumtahanah/60;8. semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kemenag-Asosiasi Sepakati Kembali Keberangkatan Umroh 23 Desember

Kementerian Agama (Kemenag) dan asosiasi kembali menyepakati umroh perdana dari pemilik penyelenggara perjalanan ibadah umroh (PPIU) dilaksanakan sesuai jadwal semula pada 23 Desember. Kesepakatan ini diambil melalui keputusan rapat yang digelar hari ini.

“Tim advance tetap berangkat 23 Desember 2021,” kata Sekjen Kesthuri Artha Hanif saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (21/12). 

Artha Hanif mengatakan, tim advance diwakili oleh enam asosiasi di antaranya Ampuh, Amphuri, Sapuhi, Himpuh, Asphurindo dan Asphuri. Ada sekitar 25 orang dari perwakilan masing-masing asosiasi yang berangkat duluan (advance). “Total 25 pax,” ujarnya.

Selanjutnya, asosiasi Kesthuri dan Gaphura akan berangkat awal Januari 2022. Masing-masing yang akan berangkat ke Arab Saudi perwakilan dari pemilik travel umroh dan haji khusus.

Untuk itu Artha meminta masyarakat Muslim di seluruh Indonesia mendoakan keberangkatan tim advance ke Tanah Suci berjalan lancar. Sehingga, keberangkatan umroh dari jamaah murni bisa segera dilaksanakan.

“Mari kita doakan bersama semoga tim advance 25 pax ini berjalan lancar dan sukses sebagai duta bangsa mewakili seluruh masyarakat Muslim,” katanya.

Selain itu, Artha juga meminta masyarakat mendoakan tim Kesthuri dan Gaphura berjalan lancar. Karena masing-masing tim yang berangkat lebih awal ini akan melihat langsung bagaimana umroh di masa pandemi.

“Kita doakan semoga pemberangkatan-pemberangkatan grup setelah tim advance ini akan jauh lebih mudah dan lancar,” katanya.

Rencana semula jamaah umroh berangkat pada 12 Desember. Namun, hal ini mesti diundur pada 23 Desember. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kementerian Agama, Hilman Latief, menegaskan pelaksanaan umroh Indonesia tidak dibatalkan, namun diundur. Hal ini dilakukan melihat perkembangan terbaru dari situasi pandemi Covid-19.

“Konsepnya ini kita tidak dibatalkan, tapi diundur khususnya pelaksanaan konsep one gate policy (OGP), yang sementara diberlakukan untuk beberapa kali pemberangkatan jamaah umroh. Sistem ini yang kita jaminkan, yaitu umrah pembelajaran dan akan menjamin keberangkatan jumlah yang lebih banyak di masa berikutnya,” kata dia dalam kegiatan Dialog bersama Aktual Forum, Selasa (21/12).

Sebagai regulator, ia menyebut Kemenag memiliki komitmen untuk menjaga dan mendorong tetap berjalannya ekosistem ekonomi haji dan umroh. Umroh merupakan industri tersendiri yang perlu didukung dan dorong dengan berbagai kebijakan.

Adapun konsep OGP merupakan sistem yang menjadi jaminan dan telah disampaikan kepada pihak Pemerintah Arab Saudi dalam pertemuan yang dilakukan kemarin. Pertemuan yang dilakukan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Dirjen PHU dengan otoritas terkait Arab Saudi membahas tentang kesiapan dan validitas dokumen yang dipersyaratkan Arab Saudi.

“Setelah dibukanya pintu umroh, kami melakukan perencanaan dengan asosiasi agar bisa memberangkatkan secepatnya. Berdasarkan komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk pihak maskapai, kita rancang berangkat 23 Desember,” ujar Hilman.

Namun, dalam 10 hari terakhir, perkembangan terbaru termasuk di luar negeri mendorong Pemerintah Indonesia memberikan arahan agar menahan diri berangkat ke luar negeri. Hal ini memang belum bentuk larangan, kecuali untuk pejabat dan berlaku kalau tidak ada yg betul-betul penting (urgent).

“Untuk jamaah atau masyarakat umum, diimbau tidak dulu pergi ke luar negeri, termasuk di dalamnya umroh. Ini kita coba pahami dan kompromikan dengan situasi. Kami sebagai regulator yang bertugas melindungi jamaah, dengan penuh kehati-hatian bisa memitigasi ini sedetail mungkin,” lanjut dia. 

IHRAM

Larangan Menyerupai Hewan dalam Salat

Sungguh Allah Ta’ala telah memuliakan manusia dan menciptakannya dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al-Isra’: 70).

Allah Ta’ala juga telah berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4).

Allah Ta’ala menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna. Manusia berjalan dengan kedua kakinya dan makan dengan tangannya. Berbeda dengan kondisi hewan yang sebagian berjalan dengan empat kaki dan makan langsung dengan mulutnya.

Allah Ta’ala  juga telah memberikan manusia pendengaran, penglihatan, dan hati sehingga manusia mampu memahami berbagai hal dan mengambil manfaat darinya. Dengan pemberian tersebut pula, manusia mampu membedakan berbagai hal, baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya di dunia maupun di akhirat.

Sepantasnya bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah Ta’ala untuk mengetahui kemuliaan yang telah Allah Ta’ala berikan ini. Oleh karena itu, hendaknya hamba tidak menyerupai hewan terutama saat dalam sedang salat. Karena salat adalah keadaan paling mulia bagi seorang hamba. Terdapat dalil-dalil sahih dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam berupa perintah untuk menyelisihi seluruh hewan dalam bentuk-bentuk salat. Bentuk larangan tersebut adalah:

1. Menoleh saat salat seperti menolehnya rubah;

2. Membentangkan tangan saat sujud seperti bentangan tangan/kakinya binatang buas;

3. Duduk seperti duduknya anjing;

4. Sujudnya cepat seperti mematuknya burung gagak;

5. Menuju sujud dari berdiri seperti menderumnya unta; dan

6. Mengangkat tangan saat salam seperti ekor kuda yang kepanasan.

Salat adalah munajat kepada Allah Ta’ala, penghubung antara seorang hamba dengan Rabbnya, sehingga hendaknya saat itu seorang hamba berada dalam keadaan dan posisi yang paling baik dan sempurna.

Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan An-Nasai rahimahumullah meriwayatkan sebuah hadis dari Abdurrahman bin Syibl radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

نَهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن نَقْرةِ الغُرابِ، وافتراشِ السَّبُعِ، وأنْ يُوَطِّنَ الرجُلُ المكانَ في المسجدِ كما يُوَطِّنُ البعيرُ.

Rasulullah Shallaallaahu ‘alaihi wasallam melarang tiga perkara, yaitu:

1. Mematuk seperti mematuknya burung gagak (sujudnya cepat);

2. Duduknya hewan buas (membentangkan tangan saat sujud seperti bentangan binatang buas yakni kaki belakang dilipat, kaki depannya diluruskan. Lengannya menempel ke lantai);

3. Seseorang mengkhususkan tempat seperti unta yang mengkhususkan tempat (duduk di tempat tertentu secara terus-menerus kalau di tempat salatnya)

(HR. Ahmad  no. 15532, Abu Dawud no. 862, An Nasai no. 1112, dan Ibnu Majah no. 1429. dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah, no. 1168).

An-Nasai rahimahullah meriwayatkan hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

اعتَدِلوا في السُّجودِ، ولا يَبسُطْ أحَدُكم ذِراعَيهِ كما يَبسُطُ الكلْبُ.

“Sempurnakan sujud kalian, dan jangan salah seorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing” (HR. An-Nasai no. 702, hadis hasan sahih).

Larangan dalam hadis ini adalah larangan sujud dengan keadaan lengannya menyerupai kaki anjing saat terhampar, yakni kedua lengan dan sikunya menempel pada lantai. Hendaknya orang yang salat mengangkat sikunya saat sedang sujud.

Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يعمد أحدكم في صلاته، فيبرك كما يبرك الجمل

“(Apakah) salah seorang di antara kalian turun dalam salatnya, sehingga ia menderum sebagaimana unta menderum (ketika hendak sujud)?” (HR. Abu Dawud no. 841, dinilai sahih oleh Syaikh Al Albani).

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَنَهَانِي عَنْ ثَلَاثٍ أَمَرَنِي بِرَكْعَتَيْ الضُّحَى كُلَّ يَوْمٍ وَالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَنَهَانِي عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku dengan tiga perkara dan melarangku dari tiga perkara. Memerintahkan aku untuk melakukan salat dhuha dua raka’at setiap hari, witir sebelum tidur, dan puasa tiga hari dari setiap bulan. Melarangku dari mematuk seperti patukan ayam jantan, duduk iq’a seperti duduk iq’a anjing, dan menoleh sebagaimana rubah menoleh” (HR. Ahmad no. 8106, dihasankan Syekh Al Albani).

Baca Juga: Hukum Adzan dan Iqamah untuk Orang yang Shalat Sendirian

Imam Muslim, Ahmad dan Nasai rahimahumullah meriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا سَلَّمْنَا قُلْنَا بِأَيْدِينَا السَّلَامُ عَلَيْكُمْ , السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَنَظَرَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ تُشِيرُونَ بِأَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ إِذَا سَلَّمَ أَحَدُكُمْ فَلْيَلْتَفِتْ إِلَى صَاحِبِهِ وَلَا يُومِئْ بِيَدِهِ

“Aku salat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami dahulu jika salam (dari salat), kami mengisyaratkan dengan tangan kami ‘as-salaamu ‘alaikum, as-salaamu ‘alaikum.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kami, lalu beliau bersabda, ‘Mengapa Engkau memberi isyarat dengan tanganmu, seolah-olah ekor-ekor kuda yang tidak tenang? Jika seseorang dari kamu salam (dari salatnya), hendaklah ia menoleh kepada saudaranya, dan janganlah ia memberikan isyarat dengan tangannya.’” (HR. Muslim no. 431, Ahmad no. 20806, Nasai no. 1185).

Kesimpulannya, di antara larangan dalam salat supaya tidak menyerupai hewan, yaitu:

1. Sujud dengan sangat cepat seperti mematuknya burung atau ayam saat sujud. Sehingga sujud harus dilakukan dengan tumakninah;

2. Menjulurkan lengan di lantai dan tidak mengangkatnya saat sujud seperti duduknya binatang buas;

3. Mengkhususkan tempat seperti unta yang selalu mengkhususkan tempat untuk menderum;

4. Menjulurkan lengan di lantai bersama telapak tangannya seperti iq’a nya anjing;

5. Menolah-noleh seperti rubah yang tolah-toleh;

6. Menggerakkan tangannya saat salam seperti ekor kuda yang tidak tenang.

Hadis dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,

و إذا ركع أحدكم فلا يدبح تدبيح الحمار ، واليقم صلبه

“Apabila salah seorang di antara kalian ruku’, janganlah ruku’ dengan merunduk seperti keledai yang merunduk (merunduk ke bawah melihat ke kakinya), hendaknya meluruskan tulang punggungnya” (HR. Baihaqi, 2/121).

Hadis di atas lemah, namun ada hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam,

إذا ركع لم يُشخِص ولم يُصًوِّبه

“Apabila beliau ruku’, beliau tidak terlalu mendongakkan maupun terlalu merunduk” (HR. Muslim no. 498, dari hadis ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha).

Sesungguhnya Islam datang untuk memuliakan kaum muslimin, meninggikan mereka jangan sampai menyerupai hewan dalam berbagai kondisinya, terutama dalam kondisi salat dimana seorang hamba sedang bermunajat dengan Rabbnya.

***

Penulis: Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/71078-larangan-menyerupai-hewan-dalam-salat.html