Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan,
Abul Walid Hisyam bin Abdul Malik menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syu’bah menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-Walid bin Al-‘Aizar mengabarkan kepadaku. Dia berkata, aku mendengar Abu ‘Amr Asy-Syaibani. Dia berkata, pemilik rumah ini (beliau mengisyaratkan kepada rumah Abdullah bin Mas’ud) menuturkan kepada kami.
Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Salat tepat pada waktunya.” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Lalu apa?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.”
Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Beliau menuturkan hal itu semuanya kepadaku. Seandainya aku menambah pertanyaan, niscaya beliau pun akan menjawabnya.” (lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari, 2: 12 tahqiq Syaibatul Hamd)
Keterangan ringkas
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan (sembari menukil pendapat ulama yang lain) bahwa yang dimaksud dengan jihad dalam hadis ini adalah jihad yang bukan fardu ‘ain. Sebab jihad yang semacam itu dipersyaratkan adanya izin dari kedua orang tua, sehingga berbakti kepada keduanya harus lebih dikedepankan di atasnya, yaitu jihad yang fardu kifayah. (lihat Fath Al-Bari, 2: 13 tahqiq Syaibatul Hamd)
Ibnu Bazizah rahimahullah berkata, “Berdasarkan pengkajian lebih dalam, kiranya bisa disimpulkan bahwa sebenarnya jihad lebih didahulukan (keutamaannya) daripada seluruh amal badan. Karena di dalam jihad seorang rela mengorbankan nyawanya. Meskipun demikian, sesungguhnya bersabar dalam menunaikan salat tepat pada waktunya secara kontinyu dan menjaga kesetiaan dalam berbakti kepada kedua orang tua merupakan suatu perkara yang wajib dan sifatnya terus-menerus (tidak temporer, pent). Tidak ada yang bisa bersabar menghadapi pengawasan perintah Allah dalam hal itu, kecuali orang-orang yang shiddiq, wallahu a’lam.” (lihat Fath Al-Bari, 2: 1 tahqiq Syaibatul Hamd)
Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah menambahkan keterangan dari kesimpulan beliau terhadap kajian Imam Ibnu Rajab rahimahullah seputar amal yang paling utama. Beliau berkata, “Sesungguhnya amal yang paling utama adalah apa-apa yang diwajibkan Allah kepada segenap hamba-Nya. Sementara iman kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan amal yang paling utama secara mutlak.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 20)
Kemudian beliau mengatakan, “Adapun jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadis Ibnu Mas’ud bahwa amalan yang paling utama adalah salat tepat pada waktunya. Hal itu disebabkan salat adalah amal anggota badan yang paling utama. Sementara dalam kesempatan lainnya, terkadang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut iman kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai amal yang paling utama. Hal itu karena (iman) merupakan amal hati yang paling utama.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 20)
Kemudian, Syekh Ibrahim pun menukil kesimpulan yang diambil oleh Imam Ibnu Rajab. Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Dengan penetapan hasil pengkajian ini teranglah bahwasanya hadis-hadis itu menunjukkan bahwa amal yang paling utama ialah dua kalimat syahadat bersama dengan konsekuensi-konsekuensinya, yaitu rukun-rukun Islam setelahnya, atau salat bersama dengan ikutan-ikutannya/penyempurna atasnya (juga) yang merupakan perkara yang sifatnya fardu ‘ain dan termasuk penunaian atas hak-hak Allah ‘Azza Wajalla. Kemudian yang paling utama setelah itu adalah perkara yang sifatnya wajib ‘ain dari hak-hak sesama hamba, semisal berbakti kepada kedua orang tua. Kemudian setelah itu adalah amal-amal sunah yang semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan yang paling utama di antara itu (amal-amal sunah) adalah jihad.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 21)
Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah juga menambahkan kesimpulan bahwa amal-amal yang paling utama setelah amal-amal wajib ada tiga, yaitu menuntut ilmu (yang sifatnya sunah), jihad, dan zikir. Secara berurutan (berdasarkan penelitian para ulama) disimpulkan bahwa amal sunah yang paling utama adalah ilmu, setelah itu jihad, kemudian zikir. (silahkan baca lebih lengkap dalam Tajrid Al-Ittiba’, hal. 25-31)
Kontinyu alam beramal
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan:
Muhammad bin Salam menuturkan kepada kami. Dia berkata, ‘Abdah mengabarkan kepada kami dari Hisyam, dari ayahnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memerintahkan mereka (orang-orang), maka beliau perintahkan mereka sebatas amal-amal yang mampu mereka kerjakan.
Lantas orang-orang itu berkata, “Sesungguhnya keadaan kami tidak seperti keadaan anda, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang.”
Mendengar hal itu, beliau pun marah hingga tampak kemarahan itu pada rona wajahnya. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah di antara kalian adalah aku.” (lihat Sahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 89)
Keterangan ringkas
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (para ulama) mengatakan, bahwa makna hadis ini adalah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memerintahkan suatu amalan kepada mereka, maka yang beliau perintahkan adalah apa-apa yang mudah untuk mereka kerjakan, bukan amal-amal yang memberatkan. Hal itu karena beliau khawatir mereka tidak bisa terus-menerus/ kontinyu dalam melakukannya. Beliau sendiri mengerjakan amal serupa dengan apa yang beliau perintahkan kepada mereka, yang padanya terkandung keringanan.” (lihat Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 90)
Di antara faedah dan pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadis di atas antara lain:
Amal-amal saleh akan bisa mengangkat kedudukan pelakunya menuju tingkatan yang mulia serta membawa dirinya semakin berpeluang dalam menghapuskan dosa-dosa.
Apabila seorang hamba bisa meraih puncak/akhir dari suatu bentuk ibadah dan bisa merasakan buah-buahnya, maka hal itu lebih mendorong dirinya untuk terus-menerus dalam mengerjakannya, sehingga hal itu lebih mempertahankan nikmat yang ada dan akan semakin mendorongnya untuk mencari tambahan nikmat dengan cara mensyukuri apa yang telah dilakukannya.
Semestinya kita selalu berhenti pada apa-apa yang telah ditetapkan oleh syariat, baik dalam perkara ‘azimah/hukum asal yang lebih utama maupun rukhshah/mengambil keringanan. Dengan disertai keyakinan bahwasanya mengambil hal-hal yang lebih lunak lagi selaras dengan syariat itu lebih utama daripada mengambil sesuatu yang lebih berat dan menyelisihi syariat.
Hal yang lebih utama untuk dicari dalam hal ibadah adalah sederhana/simpel dan mulazamah/terus-menerus dan konsisten dalam beramal. Bukan sikap berlebih-lebihan yang pada akhirnya menyeret kepada sikap meninggalkan.
Hadis di atas juga menunjukkan besarnya semangat para sahabat dalam mengerjakan ibadah dan besarnya keinginan mereka meraih tambahan kebaikan
Disyariatkannya marah ketika terjadi suatu hal yang menyelisihi perintah/ajaran syariat. Dan hendaknya melakukan pengingkaran terhadap kesalahan itu kepada orang yang cukup cerdas dan bisa menangkap pemahaman dengan baik di saat orang itu tidak berpikir jauh ke depan atau tidak merenungkan lebih dalam agar dia lebih tergerak untuk menyadari kekeliruannya.
Bolehnya menceritakan kepada seseorang mengenai keutamaan yang dimiliki orang tersebut ketika hal itu memang dibutuhkan, selama tidak menimbulkan sikap berbangga-bangga atau menonjolkan kehebatan diri sendiri.
Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencapai puncak kesempurnaan insan karena kesempurnaan sifat hikmah yang ada pada ilmu dan amal yang beliau miliki. Kesempurnaan ilmu beliau ditunjukkan dalam sabda beliau “Aku adalah orang yang paling berilmu di antara kalian.” Sedangkan kesempurnaan amalnya ditunjukkan dari sabda beliau “Dan aku juga orang yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian.” (lihat Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 90-91)
Imam Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, “Di dalam kesungguh-sungguhan beliau (Nabi) dalam beramal dan sikap marah beliau terhadap ucapan mereka terkandung dalil yang menunjukkan bahwa seorang yang beramal tidak boleh bersandar/menggantungkan diri kepada amalnya dan hendaknya dia berada diantara perasaan harap dan takut.” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 73)
Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Di dalam hadis ini terkandung fikih/ilmu, bahwasanya seorang yang saleh wajib untuk memiliki ketakwaan dan rasa takut yang besar sebagaimana halnya yang seharusnya ada pada seorang yang melakukan dosa dan bertobat.
Seorang yang saleh tidak boleh merasa aman dengan bersandar kepada kesalehan dirinya. Demikian juga seorang pelaku dosa juga tidak boleh menjadi berputus asa karena dosa yang dilakukannya. Bahkan, semestinya setiap orang itu berada di antara takut dan harap.” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 73)
Semoga kumpulan faidah ini bermanfaat bagi kita semuanya. Aamiin.
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/80054-amalan-yang-paling-dicintai-allah.html