Pembesar Romawi Akui Kehebatan Rasulullah

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah teladan bagi umat-Nya. Beliau adalah orang yang paling sempurna akhlaknya. Santun, ramah, tidak pernah berdusta kepada siapa pun. Para sahabatnya sangat menghormati beliau, bahkan musuh pun menghormatiinya.

Dalam buku Teladan Muhammad yang ditulis oleh Dr. Ahmad Hatta diceritakan seorang musuh, yaitu Heraklius pemimpin bangsa Romawi saat itu, mengakui kehebatan dan keagungan dari Rasulullah sallalllahu aaihi wasallam.

Dikisahkan dari Abu Sufyan bin Harb, “Heraklius menerima rombongan dagang Quraisy yang sedang melakukan ekspedisi dagang ke negri Syam pada masa berlakunya perjanjian antara Rasulullah sallallahu alihi wasallam dan Abu Sufyan dan orang-orang kafir Quraisy.

Kemudian, kafilah dagang itu menemukan Heraklius di Eliya. Maka, Heraklius pun mengundang mereka ke istananya. Saat itu, Heraklius sedang bersama para pembesar Romawi. Heraklius memanggil rombongan dagang Quraisy  dan seorang penerjemah. Keraklius berkata kepda penerjemahnya. ‘Siapa di antara kalian yang paling dekat hubungan kekelurgaanya dengan orang yang mengaku nabi itu?’”

Abu Sufyan menjawab, “Akulah orang yang paling dekat hubungan kekeluargannya dengan dirinya,”. Heraklius berkata pada penerjemahnya, ‘Dekatkanlah ia dan teman-temannya kepadaku.’ Mereka pun meletakkan orang-orang Quraisy di belakang Abu Sufyan.

Lalu, Heraklius berkata kepada penerjemahnya, ‘Katakan kepadanya, aku bertaya kepadanya tentang lelaki yang mengaku sebagi nabi itu. Jika kalian berbohong keepadaku, maka kalian orang-orang Quraisy harus mendustaknnya.’. Demi Allah, kalau bukan karena rasa malu akibat tudingan pendusta yang akan mereka lontarkan padaku (kalau berbohong), pastilah aku berdusta kepadanya.’”

Heraklius bertanya lagi, ”Apakah kalian pernah mendapati ia berdusta sebelum ia menyampaikan apa yang dikatakannya itu?. Abu Sufyan menjawab, ‘Tidak pernah.’ Heraklius bertanya lagi, ‘Apakah ia pernah berlaku curang?’ Dijawab lagi oleh Ab Sufyan, ‘Tidak pernah selama kami bergaul dengannya, ia tidak pernah melakukan itu.”

Heraklius bertanya lagi, “Apakah kalian memeranginya?’ Abu Sufyan menjawab. ‘Ya.’ Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana peperangan yang terjadi di antara kalian?’ Abu Sufyan menjawab, ‘Perang yang terjadi sangat banyak. Terkadang ia mengalahkan kami dan terkadang pun kami yang mengalahkannya.’

Heraklius bertanya lagi, “Apa yag diperintahkanya kepada kalian?’ Abu Sufyan mejawab, ‘Ia berkata kepada kami untuk menyembah Allah semata, janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan tinggalkan apa yang dikatakan nenek moyang kami. Ia juga memerinthakan kamu untuk shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, memaafkan, dan menyambung silaturahim.

Lalu, Heraklius berkata kepada penerjemahnya, ‘Seandainya semua yang kamu katakan ini benar niscahya dia akan menguasai kerajaan yang ada di bawah kakiku ini. Sungguh aku telah menduga bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tidak ada di antara kalian saat ini . seandainya aku mengetahui jalan agar dapat menemuinya, tentu aku akan berusaha keras untuk menemukannya, hingga bila aku sudah beada disampingnya, niscahya aku akan membasuh kedua kakinya…..” (HR. Bukhari)

 

REPUBLIKA

Teladan Rasulullah Mempersatukan Umat

Peringatan Maulid Nabi tahun ini jatuh pada Jumat (1/12) besok. Maulid Nabi merupakan momentum untuk mempererat ikatan persaudaraan umat Islam, sehingga tercipta persatuan yang kokoh dan harmonis di tengah masyarakat.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Muhammadiyah Amin mengatakan bahwa dalam rangka memperingati Maulid Nabi, umat Islam harus meneladani cara Nabi Muhammad mempersatuan umat yang berbeda keyakinan saat berhijrah ke Madinah.
“Jadi pertama bahwa Nabi Muhammad menyatukan umat yang berbeda. Jadi jangankan sesama umat Islam tapi umat yang berbeda keyakinan saja bisa disatukan,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (30/11).
Ia mengatakan, Nabi Muhammad pernah menyatukan antara suku Suku Aus dan Khazraj yang telah bermusuhan sejak zaman jahiliyah. Ketika Nabi berhijrah dari Makkah ke Madinah, permusuhan di antara mereka pun berhenti karena Rasulullah telah mendamaikannya.
“Waktu hijrah dari Makkah ke Madinah bisa menyatukan antara kaum yang berbeda-beda itu. Di kalangan umat sendiri juga harus bisa mempersatukan umat. Karena itu, kami berharap bahwa yang perlu diteladani dari nabi itu meningkatkan kesatuan dan persatuan umat,” kata Muhammadiyah.
Islam sendiri menyatakan bahwa seluruh kaum Muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 10, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara”.
Saat hijrah ke Madinah, Rasulullah berhasil mempersatukan umat muslim menjadi bersaudara dan Rasulullah membuat perjanjian dengan kaum Yahudi untuk bersahabat. Saling tolong menolong terutama bila ada serangan musuh di Madinah dan mereka harus sama-sama memperhatikan negeri.
Selain itu kaum Nasrani juga merdeka memeluk agamanya dan bebas beribadah menurut kepercayaan mereka. Itulah salah satu perjanjian yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Cinta Pertama Rasulullah SAW dan Istri-Istri yang Dicintainya

Nabi Muhammad SAW dikenal akan rasa cintanya yang besar kepada istri pertamanya, Siti Khadijah. Namun, Siti Khadijah bukanlah cinta pertama Rasulullah SAW.

Pada usia 20 tahun, lima tahun sebelum menikah dengan Siti Khadijah, Rasulullah SAW berkeinginan menikahi seorang gadis yang dikenalnya. Namanya Fakhitah, yang kemudian dipanggil dengan nama Umm Hani, yang merupakan sepupunya sendiri, telah membuat Muhammad muda berdesir hatinya.

Dikutip dari Martin Lings buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik disebutkan bahwa Umm Hani’ merupakan putri dari paman Rasulullah, Abu Thalib. Rasa cinta tumbuh di antara Muhammad muda dan Umm Hani’. Kemudian Muhammad saat itu memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya. Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani’.

Hubayrah bukan saja seorang pria yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi kekuasaan Bani Makhzum di Mekkah demikian meningkat seiring dengan merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrah lah Abu Thalib menikahkan putrinya, Umm Hani’.

“Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi (ia merujuk kepada ibunya sendiri), maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka,” kata Abu Thalib dengan lembut kepada Muhammad muda. Dengan berlapang dada, Muhammad muda menerima penolakan pamannya.

Kemudian salah seorang saudagar terkaya di Makkah yang adalah seorang wanita, Khadijah dari Suku Asad. Ia mengangkat Muhammad sebagai orang yang mendagangkan hartanya. Karena Muhammad telah dikenal di penjuru Makkah sebagai Al-amin, orang yang terpercaya, yang dapat diandalkan, jujur.

Khadijah yang tertarik kepada Muhammad, melamarnya, meskipun ia lebih tua 15 tahun dari Muhammad. Pernikahan mereka sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan, meskipun bukan berarti tidak pernah sedih atau merasa kehilangan. Selain berperan sebagai istri yang baik, Khadijah juga menjadi sahabat bagi suaminya, tempat berbagi suka cita hingga pada tingkat yang luar biasa.

Bersama Khadijah, Rasulullah SAW memiliki enam anak, dua putra dan empat putri. Putra sulungnya diberi nama Qasim, yang meninggal sebelum berusia dua tahun. Berikutnya seorang putri bernama Zaynab, disusul dengan tiga putri lainnya yaitu Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fathimah. Dan yang terakhir seorang putra lagi yaitu Abdullah, yang juga tidak berusia panjang.

Pada tahun 619 Masehi, Rasulullah SAW merasa kehilangan besar atas kematian istrinya, Khadijah. Khadijah kira- kira berusia 65 tahun, sedangkan Rasullullah SAW berusia 50 tahun. Mereka telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Khadijah bukan hanya istri Rasulullah, tetapi juga sahabat dekatnya, penasihatnya, dan ibu seluruh keluarganya.

Keempat putrinya dirundung perasaan duka cita, namun beliau menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa Jibril baru saja datang kepadanya, mengucapkan selamat dan mengatakan, “Allah telah menyiapkan tempat tinggal baginya di surga.”

Istri- istri Rasulullah SAW

Pada Ramadhan tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW menikah dengan janda dari seorang sahabatnya. Nama perempuan itu adalah Saudah bintu Zamah bin Qoisradhiyallahu anha merupakan wanita yang dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam setelah Khadijah wafat. Beliau merupakan satu-satunya istri Rasulullah hingga Beliau menikah dengan Aisyah, putri sahabat Nabi, Abu Bakar As-shiddiq.

Rasulullah SAW menikahi Aisyah setahun setelah pernikahan dengan Saudah, tepatnya dua tahun lima bulan sebelum peristiwa hijrah. Aisyah merupakan perempuan yang paling dicintai Rasulullah saat itu. Dia adalah istri Rasulullah yang paling paham tentang agama serta yang paling pandai, bahkan secara mutlak dia adalah wanita terpandai di antara para wanita lainnya.

Selain itu, Aisyah merupakan satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi saat masih gadis dari 13 wanita yang pernah dinikahi Rasulullah. Sedangkan seluruh istri- istri Rasulullah yang selanjutnya merupakan janda dari sahabat-sahabat Rasulullah yang meninggal karena perang.

Kecemburuan di antara istri- istri Rasulullah

Aisyah pencemburu terhadap istri-istri Rasulullah SAW. Namun, ia mengakui bahwa kecemburuannya lebih besar kepada istri pertama Rasulullah, Khadijah.

“Aku tidak pernah cemburu kepada istri- istri Nabi yang lain sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah. Sebab, beliau tidak henti- hentinya membicarakannya dan Allah telah menawarkan bagi Khadijah berita baik tentang sebuah istana di surga. Setiap kali mengurbankan seekor domba, beliau mengirimkan bagian yang terbaik kepada sahabat- sahabat dekat Khadijah. Beberapa kali kukatakan kepadanya: ‘Sepertinya tidak pernah ada seorang wanita pun di dunia ini, kecuali Khadijah’,” demikian kecemburuan Aisyah kepada Khadijah. Sementara istri-istri Nabi yang lain, cemburu kepada Aisyah.

Kecemburuan memang tak dapat dihindari di rumah tangga Rasulullah, dan untuk mengatasinya, beliau melakukan yang terbaik. Suatu ketika beliau memasuki sebuah ruangan dimana pada istri dan keluarganya tengah berkumpul, menggenggam sebuah kalung onik yang baru saja diberikan kepadanya. Sembari menunjuk kalung itu beliau berkata: “Kalung ini akan kuberikan kepada orang yang paling kukasihi di antara kalian,”

Beberapa istrinya mulai berbisik satu sama lain. “Ia pasti memberikannya pada putri Abu Bakar. Namun, Rasulullah SAW memanggil cucu kecilnya, Umamah dan memasang kalung itu ke lehernya.

 

REPUBLIKA

Berguru kepada Rasulullah

Siapa yang tak kenal Abu Hurairah? Sosok yang bernama asli Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi itu sampai saat ini dikenal sebagai periwayat hadis terbanyak. Tidak kurang dari 5.374 hadis terekam baik dalam ingatannya sehingga sampai kepada zaman kita.

Secara harfiah, namanya berarti ‘bapak kucing’. Namun, sebutan itu begitu disukai Abu Hurairah sendiri, terutama sejak Rasulullah SAW memanggilnya dengan nama demikian. Dalam buku Para Sahabat Nabi SAW karya Dr Abdul Hamid as-Suhaibani, disebutkan penuturan Abu Hurairah sendiri mengenai asal muasal julukan itu.

Dulu aku menggembala domba-domba keluargaku dan aku memiliki seekor kucing kecil. Pada malam hari, aku biasa meletakkan kucing tersebut di sebuah pohon, sedangkan pada siang hari aku membawanya pergi dan bermain-main dengannya. Maka, mereka memanggilku Abu Hurairah.

Di antara kunci keberhasilan Abu Hurairah menuntut ilmu, adalah kedekatannya dengan Sang Mahaguru, Muhammad SAW. Rasulullah adalah sumber ilmu yang tak habis-habis tempat Abu Hurairah menimba pengetahuan dan rasa iman.

Sempat ada satu perkara yang memberatkan hati Abu Hurairah. Ibundanya tercinta masih menyembah berhala dan menolak beriman kepada Allah. Bahkan, pada suatu hari sang ibu mencerca Nabi SAW dengan kata-kata yang tidak pantas. Abu Hurairah segera menemui Rasulullah SAW dengan air mata kesedihan.

Ada apa denganmu wahai Abu Hurairah? kata Nabi SAW. Wahai Rasulullah, aku mengajak ibuku masuk Islam, namun beliau menolak. Ia mengucapkan kata-kata tentang dirimu yang tidak aku inginkan, jawab Abu Hurairah.

Kemudian, Nabi SAW mengangkat kedua tangannya dan menggumamkan doa, Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibu Abu Hurairah. Betapa sukacitanya Abu Hurairah dengan doa Nabi SAW. Bergegas ia kembali ke rumahnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Abu Hurairah menuturkan, Aku pulang berlari. Dan, ternyata pintu rumah tertutup dan aku mendengar gemericik air. Kemudian, aku membuka pintu dan mendengar ibuku mengucapkan syahadat.

Ucapan Nabi Muhammad SAW sering kali berbuah keberkahan. Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada suatu hari Rasulullah bersabda, Sesungguhnya tidak ada seseorang yang membentangkan kainnya di depanku hingga aku menyudahi kata-kataku, kemudian dia melipat kainnya itu kecuali dia mengingat apa yang aku katakan.

Mendengar Nabi SAW berujar demikian, Abu Hurairah membentangkan kain bergaris-garis miliknya hingga tepat ketika Nabi SAW menyelesaikan kata-katanya. Abu Hurairah melipat kainnya dan mendekapnya ke dada.

Maka, aku tidak lupa sedikit pun dari kata-kata Rasulullah SAW tersebut, kata Abu Hurairah mengenang.

Kedekatan yang begitu rutin dari Abu Hurairah terhadap Nabi SAW juga menjadi faktor utama di balik daya hafalnya dalam meriwayatkan ribuan hadis. Bahkan, diriwayatkan, ketika kaum Muhajirin sibuk dengan perniagaan di pasar, sementara di saat yang sama kaum Anshar sibuk bekerja di kebun-kebun, maka Abu Hurairah selalu menyertai Rasulullah SAW.

Karena itu, wajar bila Abu Hurairah mendengar apa yang belum didengar kaum Muslim dari Nabi SAW. Untuk kemudian, ia menghafal kata-kata dan tindakan Nabi SAW.

Aku melayani beliau (Nabi SAW), berperang bersama beliau, dan menunaikan ibadah haji, maka aku adalah orang yang paling mengetahui hadis Nabi SAW. Demi Allah, sebelumku telah ada orang-orang yang menyertai Nabi SAW. Mereka mengetahui kedekatanku dengan beliau, maka mereka bertanya kepadaku tentang hadis beliau, kata Abu Hurairah.

Demi Allah, tidak ada satu pun hadis di Madinah yang samar bagiku. Di samping itu, Abu Hurairah juga terpantik oleh surah al-Baqarah ayat 159-160, yang secara garis besar menegaskan laknat Allah bagi mereka yang menyembunyikan kebenaran.

 

REPUBLIKA

Hidup Bersahaja Seperti Rasulullah

Meski sebagai sahabat Nabi SAW yang berilmu luas, Abu Hurairah hidup sangat bersahaja. Bahkan, ia tidak jarang menghadapi saat-saat sulit dan kelaparan selama menimba ilmu. Abu Hurairah merupakan salah satu golongan Shuffah.

Dr Sauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi menjelaskan, Shuffah adalah tempat berteduh di Masjid Nabawi yang dikhususkan bagi kaum miskin semasa Nabi SAW usai berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Mayoritas penghuninya berasal dari kaum Muhajirin. Sebagai informasi, orang-orang yang menyertai Nabi SAW berhijrah itu kebanyakan hanya pandai berdagang dan meninggalkan semua hartanya di Makkah.

Sementara, penduduk Madinah, yakni kaum Anshar, pada umumnya pandai bertani. Shuffah dimaksudkan agar kaum Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan bisa mendapatkan uluran bantuan.

Abu Hurairah menceritakan kelaparan berat yang dirasakannya pada suatu kali. Namun, ia tetap bersabar. Apalagi, Baginda Nabi Muhammad SAW dan keluarganya juga hidup dalam kondisi yang tidak berbeda dengan golongan Shuffah.

Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, aku pernah menempelkan perutku ke tanah karena lapar dan mengikat batu di perutku, kata Abu Hurairah seperti dikutip dari Al-Bidayah wa an-Nihayah.

Pada tahun 59 Hijriyah, Abu Hurairah wafat lantaran sakit. Seluruh umat Islam, khususnya penduduk Madinah, berdukacita atas kehilangan seorang ulama dan pengamal zuhud yang begitu dekat dengan Rasulullah SAW. Abu Hurairah hidup sekitar 50 tahun sesudah Rasulullah SAW.

Sebagai perawi hadis, Abu Hurairah tidak mengharapkan apa-apa selain ridha Allah Ta’ala. Dia bersikap zuhud terhadap dunia. Ia merupakan salah seorang sahabat pendidik yang berhasil menumbuhkan semangat keilmuan generasi tabiin dan tabi’-tabiin.

 

REPUBLIKA

Pernahkah Rasulullah Bersalah?

Khazanahalquranmenulis, bahwa sebagian orang meyakini bahwa Rasulullah saw pernah melakukan kesalahan.

Mereka berpendapat bahwa beliau maksum (terjaga dari salah dan dosa) hanya ketika diutus sebagai nabi, sebelum itu beliau dikatakan “tidak terjaga” dan bisa saja melakukan kesalahan. Bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa Nabi Muhammad itu tidak beriman sebelum menjadi nabi.

Untuk mencari jawaban dari pernyataan ini, marilah kita renungkan sejenak ayat-ayat berikut ini.

Sejak Nabi Musa as lahir, Allah telah Merencanakan skenario yang begitu indah untuk menyelamatkan nabi-Nya dari keganasan Firaun.

Dia Memerintahkan ibu Musa untuk menghanyutkannya di sungai hingga diselamatkan oleh istri Firaun sendiri. Hingga dewasa pun, Firaun tidak pernah mampu menggagalkan dakwah Nabi Musa kepada umatnya.

Semua ini dapat terjadi karena Musa berada langsung dibawah pengawasan dan penjagaan Allah swt. Seperti dalam Firman-Nya,

“Dan agar engkau (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS.Thaha:39)

Sekarang kita mulai akan menyimpulkan bahwa ternyata Nabi Musa as telah berada dalam “penjagaan” dan “pengawasan” Allah sejak masih bayi. Sementara kita tau bahwa Nabi termulia dari deretan para Nabi adalah Nabi Muhammad saw.

Mungkinkah Nabi Musa berada dalam pengawasan Allah sejak bayi sementara Nabi Muhammad baru memdapatkannya setelah menjadi Nabi?

Mungkinkah Nabi Musa “dijaga” oleh Allah sejak awal kelahirannya sementara Nabi Muhammad baru mendapat penjagaan setelah diutus sebagai Rasul?

Sungguh hal yang mustahil

Karena Allah pun menggunakan kata yang sama seperti yang digunakan kepada Nabi Musa, yaitu dengan kata (dibawah “Penglihatan” atau “Pengawasan”-Ku) seperti dalam Firman-Nya,

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu Ketetapan Tuhan-mu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami.” (QS.At-Thur:48).

Jika Nabi Musa dibawah pengawasan Allah sejak bayi, maka Nabi Muhammad pasti mendapat kemuliaan yang lebih agung dari Musa. Beliau telah terjaga dari segala kesalahan, bahkan ketika masih kanak-kanak dan belum diutus sebagai Nabi.

Bagaimana Nabi Muhammad akan melakukan kesalahan sementara beliau adalah Makhluk termulia dan Ciptaan paling sempurna yang telah mendapat stempel dari Allah sebagai Uswatun Hasanah, contoh bagi seluruh umat manusia.”Allah telah mendidikku dan itulah sebaik-baik didikan” (Rasulullah saw).

Dalam berbagai Firman-Nya, Allah selalu Mengagungkan Nabi Muhammad saw. Lalu mengapa kita pelit untuk mengagungkan seorang yang telah Diagungkan oleh Allah dengan kemuliaan yang tak terhingga?

 

INILAH MOZAIK

Bukti Sangat Besar Cinta Rasulullah kepada Umatnya

SUATU hari Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah SAW, Rasulullah SAW bertanya.”Ada apa wahai Jibril?”

“Wahai Muhammad sesungguhnya hari ini Allah SWT sedang mengobarkan nyala api neraka, seluruh malaikat amat ketakutan. Mereka tidak tahu harus bagaimana. Untunglah aku ingat bahwa engkau adalah sumber cinta dan sayang Allah kepala alam semesta. Karena itulah aku di sini, untuk bertabaruk dengan cinta Allah yang ada pada dirimu.”

Rasulullah SAW terdiam beberapa saat, lalu bertanya,” Wahai Jibril, Shif lii washfan naar. Ceritakanlah kepadaku bagaimanakah neraka itu sesungguhnya.”

“Wahai Muhammad,neraka itu bagaikan lobang-lobang yang terdiri dari tujuh tingkat. Jarak antara satu lobang dengan yang lain adalah 70 tahun perjalanan. Lobang yang paling bawah adalah yang paling panas.”

Lalu siapakah penghuni lobang lobang neraka itu wahai Jibril?”

“Lobang yang paling bawah diciptakan untuk orang orang munafik. Lobang berikutnya untuk penyembah berhala, lalu untuk penyembah bintang dan matahari.” Jibril terus menerangkan penghuni tingkatan lobang lobang itu.

Hingga lobang neraka yang ke lima tempatnya umat Yahudi dan ke enam Nasrani. Lalu kemudian Jibril diam cukup lama.

Rasulullah SAW bertanya,”Wahai Jibril, siapakah penghuni neraka yang ketujuh?”

Jibril terdiam. Rasulullah SAW bertanya lagi, namun Jibril tetap diam. Rasulullah SAW pun mendesak hingga akhirnya Jibril berkata.

“Umatmu wahai Muhammad, mereka itu para pelaku dosa besar di kalangan Umatmu, yang sampai mereka mati belum sempat bertaubat.”

Mendengar jawaban Jibril Rasulullah SAW langsung jatuh pingsan. Jibril merangkulnya dan meletakkan tubuh baginda SAW di atas pangkuannya. Tidak berapa lama Rasulullah SAW sadar dan langsung menangis bersimbah air mata.

Sambil terisak-isak Nabi SAW bertanya,”Yaa Jibril awayadkhulu ummatii an naar? Wahai Jibril apakah memang ada di antara umatku yg masuk neraka?”

“Benar wahai Muhammad, pelaku dosa besar di antara umatmu yang belum bertaubat.”

Setelah itu Nabi SAW langsung menghadap kiblat dan sujud menyembah Allah SWT dalam isakan tangis. Sesekali dengan lirih perlahan beliau membisikkan kata-kata,”Ummati ya Rabbummatiiummatiiummatii”

Beliau SAW tidak mengangkat kepalanya dalam keadaan seperti itu selamat tiga hari tiga malam, kecuali setiap Bilal bin Rabah mengumandangkan azan beliau barulah bangkit untuk menjadi imam dan setelahnya kembali sujud.

Pada hari ketiga Abu Bakar ra menyadari hal itu. Beliau mengetuk pintu Rasulullah SAW dan mengucapkan salam tiga kali.Namun tidak ada jawaban. Abu Bakar ra sedih dan berseru di pintu Nabi SAW,”Hal ilaa bayti Rasulillah min sabiil? Bolehkah saya masuk ke rumahmu, ya Rasulullah?”

Tetap tidak ada jawaban. Lalu beliau menangis dan melangkah pulang. Di jalan beliau bertemu sayyidina Umar.

“Mengapa engkau menangis wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menceritakan keadaan Rasulullah SAW.

Maka Umar ra pun melangkah ke rumah Nabi SAW dan terjadilah hal yg sama, Umar pun pulang dan menangis. Di jalan beliau bertemu Salman Al Farisi.Sambil terisak Umar bercerita kepada Salman.

Salman amat sedih, namun dia tidak berani mengulang hal yang sama. Salman melangkah ke rumah Fatimah dan menceritakan hal itu.

Setengah berlari Fatimah menuju rumah Nabi SAW dan mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Mendengar suara lembut putri tercinta, sejuklah dada Nabi SAW. Baginda bangkit dari sujud dan membuka pintu.

Alangkah terkejutnya Fatimah ra melihat Nabi SAW yang amat kurus dan pucat. Fatimah memeluknya lalu menangis.”Wahai ayahanda apa yang terjadi, mengapa engkau sedih seperti ini?”

Rasulullah SAW kembali menangis dan berkata dengan suara lirih. “Wahai Fatimah belahan jiwaku. Bagaimana mungkin aku tidak sedih. Jibril mengatakan akan ada kelak umatku yang akan masuk neraka.”

Kedua anak bapak itupun menangis bersimbah air mata. Allahumma Shalli aala sayyidina wa maulana muhammadin saw..[ ]

 

INILAH MOZAIK

Dua Perkara yang Dikhawatirkan Rasulullah

Dalam kitab Kifayat al-Atqiya’ Wa Minhaj al-Ashfiya, Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi menilai, takwa menuntut seseorang untuk menjauhi hawa nafsu yang kerap dipenuhi oleh tipu daya setan.

Akibatnya, kepatuhan terhadap nafsu berakibat pada kebinasaan. Bahkan, Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, pernah mengingatkan umatnya agar tidak teperdaya oleh nafsu setan.

Ada dua perkara yang paling dikhawatirkan Rasulullah akan menghinggapi pribadi Muslim, yaitu mengikuti hawa nafsu dan thul al-amal (banyak angan-angan). Hawa nafsu dapat mengarahkan seorang Muslim jauh dari kebenaran. Sedangkan, pengharapan berlebihan (banyak angan-angan), mengakibatkan lalai akan kehidupan akhirat. Apalagi, setan akan terus melakukan tipu daya dan menebarkan bisikan jahat kepada anak Adam.

Alkisah, iblis pernah menampakkan diri di hadapan Nabi Yahya AS dengan membawa rantai yang dikalungkan di tubuhnya. Nabi Yahya pun bertanya, ihwal benda tersebut. Iblis menjawab, Ini adalah syahwat yang dibelenggukan kepada anak Adam.

Dari sinilah maka dapat disimpulkan, kata Sayid Bakari, kunci menggapai kebahagiaan dan kebaikan adalah melawan kedua perkara yang diperingatkan Rasulullah tersebut. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS an-Naziaat [79]: 40).

 

REPUBLIKA

Ini Alasan Rasul Suka Makan Paha Kambing

TERDAPAT beberapa hadis yang menunjukkan kesukaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Diantaranya, Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau bercerita, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah undangan. Kemudian dibawakanlah paha kambing, dan beliau menyukainya. Kemudian beliau menggigitnya satu gigitan.” (HR. Bukhari 3340 & Muslim 501)

Apakah hadis ini menunjukkan bahwa makan kambing statusnya sunnah? Kita berikan beberapa catatan. Pertama, informasi bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai daging kambing, bukan semua bagian kambing. Tapi hanya bagian pahanya. Dan berbeda antara menyukai daging kambing dengan menyukai bagian paha kambing. Seperti misalnya ada orang yang menyukai bagian kepala ikan. Belum tentu dia menyukai seluruh bagian ikan.

Kedua, ada pertimbangan masalah selera, mengapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai bagian paha kambing. An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menukil keterangan al-Qadhi Iyadh, Al-Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai paha kambing, karena mudah masak dan mudah dicerna, disamping lebih lezat dan lebih steril dari resiko penyakit. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 3/65)

Kemudian an-Nawawi menyebutkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau mengatakan, “Tidaklah Paha kambing disukai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain karena beliau jarang mendapatkan daging. Sehingga beliau ketika mendapatkannya, ingin segera memakannya, sebab paha adalah daging yang paling cepat masak.” (HR. Turmudzi 1954 dan dinilai dhaif oleh sebagian ulama).

Berdasarkan keterangan beliau, bisa kita pahami bahwa minat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap daging kambing, murni karena pertimbangan selera. Artinya, beliau lakukan itu bukan dalam rangka mengajarkan kepada umatnya agar mereka menyukai paha kambing. Karena selera masing-masing orang berbeda.

Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya, Afal ar-Rasul shallallahu alaihi wa sallam (Memahami Perbuatan Rasul shallallahu alaihi wa sallam) menyebutkan, “Kita harus membedakan perkara-perkara yang disukai dan yang tidak disukai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berikut masing-masing hukumnya. Yang pertama, perkara disukai dan yang tidak disukai yang muncul karena dorongan ingin membiasakan diri agar sesuai syariat. Dengan menyukai apa yang diajarkan syariat atau tidak menyukai yang dilarang syariat. Dua perbuatan ini menunjukkan hukum. Dan selayaknya untuk diikuti.

Kemudian beliau menyebutkan contohnya, Perkara disukai dan yang tidak disukai pada jenis pertama ini, yang menunjukkan hukum dan selayaknya beliau shallallahu alaihi wa sallam diikuti, seperti pernyataan Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan semampu beliau, ketika bersuci, memakai sandal, menyisir, dan dalam semua urusan beliau. (HR. Nasai 5257), dan beliau mencintai dua manusia diantara sahabatnya yaitu Abu Bakr dan Umar.

Kemudian beliau melanjutkan jenis kedua, Yang kedua, suka dan tidak suka karena bawaan tabiat, seperti menyukai yang enak dimakan dan menghindari yang tidak enak dimakan. Dan kecintaan semacam ini tidak ada tuntunan untuk ditiru, karena ini di luar kendali kehendak (dorongan dari dalam). Kemudian Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar menyebutkan contohnya, Diantara contoh perkara disukai dan yang tidak disukai pada jenis kedua ini adalah keterangan dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai makanan manis dan madu (Bukhari & Muslim). Beliau juga menyukai labu (Ahmad & Nasai). Minuman yang beliau sukai yang manis dan dingin (Muttafaq alaih). Dan roti atau adonan yang beliau sukai adalah tsarid (Abu Daud & Hakim). Beliau tidak menyukai aroma daun pacar (Ahamd & Abu Daud). Yang semacam ini tidak dianjurkan untuk ditiru.

Termasuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mau makan daging dhab karena tidak suka. Beliau mengatakan, Saya agak jijik, namun ini tidak diikuti oleh sahabat. Sehingga Khalid bin Walid tetap memakan hidangan daging dhab di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (Afal ar-Rasul shallallahu alaihi wa sallam, 1/221-222). Berdasarkan keterangan di atas, kami memahami bahwa memakan kambing masuk dalam perkara mubah dan bukan termasuk sunah. Sehingga bagi yang tidak doyan kambing, tidak harus memaksakan diri untuk menyukai kambing. Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

MOZAIK

Menaati Rasulullah Menaati Allah

Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda,

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga ia lebih mencintaiku daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia” (HR. Al-Bukhari, no 15 dan Muslim, no. 44).

Mendengar sabda Nabi di atas, para sahabat mencurahkan kecintaan yang besar kepada sang Rasul shallallahu alaih wasallam, melebihi cinta mereka kepada keluarganya. Mereka lebih mementingkan kecintaan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, daripada selainnya. Inilah prinsip hidup para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka.

Mereka begitu faham pengaruh cinta dalam kehidupan. Cinta akan memicu seorang, untuk selalu patuh dan tunduk kepada orang yang dicintai, yaitu Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Dalam Alquran, Allah taala telah menekankan hal ini. Yang menunjukkan pentingnya kepatuhan dan tunduk terhadap perintah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. Bahkan AllahTaala mengaitkan ketaatan kepada-Nya, dengan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Barangsiapa yang menaati rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (An Nisa: 80)

Artinya, barangsiapa yang bermaksiat kepada sang Rasul shallallahu alaihi wasallam, itu artinya dia telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa taala.

Para sahabat begitu sadar, bahwa cinta ibarat tali yang kuat, yang mengeratkan ikatan hati, antara mereka dan Rasulullahshallallahu alaihi wasallam. Dengan kecintaan yang tulus inilah, mereka hendak menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Allah taala berfirman,

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah kemenangan yang besar.” (An Nisa: 13)

Memang, hubungan antara cinta, taat, tunduk dan patuh amatlah erat. Kata-kata ini tidak bisa dipisahkan. Semakin tinggi frekuensi cinta, semakin tinggi pula tingkat kepatuhan dan ketundukannya kepada yang ia cintai. Sebaliknya, saat frekuensi cinta berkurang, maka semakin rendah tingkat kepatuhan dan ketundukan terhadap perintah maupun larangan beliau.

Tanda Cinta

Cinta kepada sesutu apapun, mesti ada bukti. Ketika Anda mencintai rumah, pasti Anda akan senantiasa menjaga, merawat dan membersihkannya. Dan Anda akan marah bila ada orang yang mengotorinya. Saat Anda mencintai anak Anda, maka Anda akan mendidik, membimbing dan mengayominya. Demikian pula kecintaan kepada Rasulullahshallallahu alaihi wasallam. Ia juga memiliki tanda-tanda. Sebagai bukti Ketulusan dan kejujuran cintanya kepada beliau; bukan sekedar dakwaan atau bualan belaka.

Di antara bukti kejujuran cinta tersebut tersebut adalah, berpegang teguh dengan sunnahnya (jejak kehidupannya), serta memuliakan para pengikut sunnahnya (penghulunya adalah sahabat-sahabat beliau), memperbanyak shalawat untuknya, rindu berjumpa dengannya, cinta kepada orang-orang yang dicintainya dan benci kepada orang-orang yang dibencinya. (Makanat as-Sunnah an-Nabawiyah, hal 41).

Cinta yang Proposional

Ketahuilah, sesungguhnya cinta para sahabat kepada Rasulullah shallallahu alaih wasallam adalah cinta yang proposional. Maksudnya adalah, pertengahan antara cintanya orang yang melampaui batas dan cintanya orang yang menyepelekan atau teledor dalam hal kecintaan kepada Nabi. Berikut Ini kami paparkan tiga golongan manusia dalam hal kecintaan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam:

Pertama, orang yang melampaui batas dalam hal kecintaan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Seperti orang-orang yang terlalu berlebihan dalam mengekspresikan kecintaannya kepada Nabi. Dampaknya adalah ekspresi cinta yang melampaui batas syari. Akhirnya mereka membuat ibadah-ibadah baru yang tak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Seperti perayaan maulid Nabi, dengan dalih bahwa ini adalah ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi shallallahualaihiwasallam. Ini yang pertama.

Kedua, mereka yang lebih mendahulukan kecintaan kepada selain beliau, daripada kecintaan kepada beliau. Akibatnya, akan menimbulkan dampak negatif yang mereka alami dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Contohnya adalah, orang-orang yang mengaku mencintai Nabi shallallahu alaihi wasallam. Namun saat ada perkataan tokoh atau kiyai mereka, yang menyelisihi perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka lebih mendahulukan perkataan kiyainya tersebut.

Ketiga, merekalah para sahabat radhiyallahuanhum. Setiap muslim yang menginginkan kejujuran dalam cintanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, hendaklah ia mengikuti jejak mereka dalam mewujudkan cinta hakiki tersebut. Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka tidak melampaui batas dalam kecintaan mereka, tidak pula seperti orang-orang yang teledor dan menyepelekan kecintaan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. (Lihat Makanat as-Sunnah an-Nabawiyah, hal 38).

Potret Cinta Sahabat Kepada Nabi

Pembaca yang budiman, mari sejenak melihat kembali perjalanan hidup generasi terbaik umat ini. Yaitu para sahabat radhiyallahu anhum. Untuk memetik pelajaran-pelajaran berharga dari keindahan perilaku mereka, keluhuran adab dan akhlak mereka.

Pernakah terbayang di benak Anda, bagaimana gambaran cinta dan pengagungan sahabat-sahabat kepada beliau?

Meski kata-kata tak kuasa untuk melukiskan hakikat cinta mereka yang begitu jujur dan agung. Namun, tak mengapa sedikit membaca kisah-kisah menakjudkan, dari gambaran cinta mereka tersebut:

Abu Sufyan, salah seorang yang pernah menjadi musuh besar Nabi SAW, menuturkan tentang kenyataan yang ia soal persahabatan rasul Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan para sahabat, “Aku belum melihat seorang pun yang mencintai orang lain, seperti cintanya sahabat-sahabat Muhammad -shallallahualaihiwasallam- kepadanya.” (Abu Nuaim, Marifat ah-Shahabah, jilid 3/1183-1184 ).

Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu ditanya, “Bagaimana cinta kalian kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam?”. Beliau menjawab,”Demi Allah, beliau lebih kami cintai dari harta, anak, ayah, dan ibu kami. Bahkan lebih (kami cintai) dari air segar di waktu dahaga.” (Al-Qadhi Iyadh, asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, jilid 2/52).

Kisah Urwah bin Masud yang masyhur. Ketika kaum Quraisy mengutusnya dalam rangka melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin, di Hudaibiyah. Saat perjumpaannya dengan Nabi dan kaum muslimin, ia mendapati sebuah sikap yang menakjudkan hatinya, dari para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sepulangnya Urwah ke Makkah, ia pun berkata di hadapan kaum Quraisy, “Wahai kaum Quraisy.. Demi Allah, aku telah diutus kepada para raja sebagai delegasi kalian. (Aku diutus) kepada Kishar (raja negeri Roma), Kisra (raja negeri persia), begitu pula Najasyi (raja negeri Habasyah). Namun demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh pengikutnya, seperti pengagungan yang dilakukan para sahabat Muhammad kepadanya.Demi Allah, jika ia (Muhammad) berdahak, pasti dahak itu akan jatuh di tangan salah seorang mereka. Lalu mereka usapkan ke wajah dan kulit mereka. Jika mereka mendapat perintah darinya, maka mereka akan segera melaksanakan perintah tersebut.

Jika ia selesai berwudu, hampir-hampir mereka bersengketa karena saling berebut sisa air wudhunya. Jika ia berbicara, sahabat-sahabatnya merendahkan suara di hadapannya. Tak ada seorang pun yang memandangnya dengan pandangan yang tajam. Hal ini karena mereka begitu menghormatinya.” (Al-Bukhari, no 2731).

Karena dorongan cinta yang tulus, kepada Nabi shallallahu alaih wasallam, sampai-sampai seorang sahabat yang bernama Rabiah bin Kaab Al-Aslami radhiyallahu anhu, rela menjadi pelayan beliau, demi bisa menjadi pendamping beliau di surga. Rabiah bercerita, “Suatu malam aku menginap di rumah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Akupun menyediakan air wudhu untuknya serta memenuhi kebutuhan beliau. Lalu beliau bertanya, “Memohonlah..”. “Aku ingin menemanimu di surga.” pintaku. Beliau menjawab,”Tak adakah yang selain itu?”. “Tidak,” Jawabku. Beliau lantas bersabda, “Perbanyaklah sujud, agar dapat membantuku mewujudkan keinginanmu.” (Muslim, no 489)

Karena ketulusan cinta, para sahabat selalu ingin meniru tingkahlaku beliau.Dikisahkan bahwa, Rasulullah shallallahu alaihi wasallampernah memiliki sebuah cincin yang terbuat dari emas. Melihat beliau memakai cincin emas, maka para sahabatpun ikut mengenakan cincin emas. Kemudian ketika beliau membuang cincin itu (karena adanya larangan memakai cincin emas bagi laki-laki), seraya bersabda, “Aku tak akan memakai cincin emas lagi untuk selamanya.” maka merekapun langsung membuang cincin-cincin tersebut. (Al-Bukhari, no 5866).

Demikianlah, kepatuhan yang luar biasa. Pengagungan terhadap sunah yang tak ada bandingnya. Serta kerinduan yang selalu hadir dalam hati suci mereka kepada kekasih yang paling dicintai. Ini tidak lain adalah buah daripada cinta yang jujur dan tulus kepada Sang Rasul.

Semoga Allah meridai seluruh sahabat dan menyediakan kehidupan kekal abadi di surga-Nya bersama kekasih Muhammad shallallahu alaihi wasallam.Wasallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wasallam.

 

[Abu Huraerah Al Faluwy/muslimorid]