Jangan Pernah Berhenti Berdoa

ANDA tentu pernah memohon sesuatu kepada Allah, lalu terkabulkan. Di sisi lain, Anda juga pasti pernah memohon sesuatu, namun hingga kini tak kunjung terkabulkan. Sesungguhnya sebagai hamba tugas kita adalah berdoa dan meminta. Bahkan hal tersebut memiliki nilai ibadah sebagaimana sabda Rasulullah, “Doa itu ibadah.” (HR Abu Daud & Tirmidzi).

Allah Swt. sebagai Sang Pencipta memerintahkan agar kita berdoa pada-Nya. “Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir [40]: 60)

Berdoa adalah salah satu bentuk penghambaan kita kepada Sang Pencipta. Doa merupakan pengakuan atas kelemahan yang kita miliki sebagai hamba. Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak berdoa adalah wujud dari kesombongan yang akan berakhir dengan hukuman dari-Nya.

Kita tidak pernah tahu bagaimana Allah mengijabah doa-doa yang kita panjatkan. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri menyebutkan, “Seorang muslim yang berdoa dalam keadaan tanpa dosa dan tidak memutus silaturrahim, Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: disegerakan pengabulan doanya (mewujudkan harapan dan permintaanya sesegera mungkin), menyimpan permohonannya untuk kehidupan akhirat (sebagai balasan dari Allah), atau dihindarkan dari keburukan (dijauhkan dari musibah yang akan menimpanya).” Para sahabat lalu bertanya, “Bagaimana jika doa kita banyak?” Rasulullah Saw. menjawab, “Yang ada di sisi Allah masih jauh lebih banyak dari yang kalian minta.” (HR Ahmad)

Sebuah hadits Qudsi menyebutkan, ” Wahai hamba-Ku, andaikata mulai orang pertama sampai akhir, bangsa jin dan manusia, berdiri di satu bukit dan berdoa kepada-Ku, lalu Kupenuhi permintaan tiap-tiap orang, semua itu tidaklah mengurangi apa-apa yang ada di sisi-Ku, melainkan seperti berkurangnya air laut yang dimasuki jarum”

Sekalipun doa yang dipanjatkan oleh hamba-Nya sangat banyak, Allah tidak akan kekurangan apapun untuk memenuhi permintaan-permintaan tersebut. Hal ini diibaratkan dengan sebuah jarum yang dimasukkan ke dalam samudera. Sungguh tidak akan berkurang apa-apa kecuali hanya sedikit air yang menempel pada jarum tersebut.

Teruslah berdoa atas segala apapun yang kita harapkan. Berusahalah menjaga pintu doa tersebut dengan memenuhi perintah-Nya agar doa kita diijabah. Sesungguhnya semua itu teramat mudah bagi Allah. Berdoalah kepada Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, niscaya Dia memperkenankannya. [An Nisaa Gettar]

Wallahualam bishawab

(referensi: buku Kumpulan Ceramah Pilihan Syaikh Al Qaradhawi)

 

INILAH MOZAIK

Mandiri Syariah Berikan Asuransi Gratis untuk Nasabah Haji

PT Bank Syariah Mandiri (Mandiri Syariah) memberikan benefit Asuransi Jiwa secara gratis pada Produk Tabungan Mabrur/Mabrur Junior. Benefit tersebut diluncurkan dalam acara Expo iB Vaganza yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Malang, Jawa Timur, selama 22-25 Maret 2018.

Direktur Kepatuhan Mandiri Syariah, Putu Rahwidhiyasa, menjelaskan selama ini Tabungan Mabrur dan Tabungan Mabrur Junior belum dilengkapi fitur asuransi. “Penambahan fitur asuransi ini untuk meningkatkan layanan terbaik bagi nasabah. Nasabah hanya merasakan benefitnya saja karena biaya preminya menjadi beban Mandiri Syariah,” kata Putu melalui siaran pers, Kamis (22/3).

Putu memaparkan, benefit asuransi gratis tersebut berlaku bagi nasabah dengan saldo minimal Rp 5 juta, usia 17-75 tahun untuk Tabungan Mabrur dan 1-16 tahun untuk Tabungan Mabrur Junior.

Jika nasabah penabung Mabrur/Mabrur Junior meninggal dunia, lanjutnya, maka ahli waris akan memperoleh nilai pertanggungan sebesar Rp 18 juta dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Putu menambahkan, Mandiri Syariah merupakan bank dengan pangsa pasar terbesar tabungan haji reguler yang terdaftar di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat). Pada akhir 2017, sebanyak 23 persen jamaah telah memperoleh porsi haji atau sekitar 134.605 orang dari total 590.368 orang yang terdaftar di Mandiri Syariah.

Mandiri Syariah memiliki pangsa pasar tabungan haji dan umrah sebesarRp 3,9 trilliun dan number of account (NOA) tabungan haji dan umrah sejumlah 1,6 juta rekeningper September 2017. Angka tersebut diperkuat dengan hasil survey Frontier pada 2017 yang menunjukkan image Mandiri Syariah sebagai Bank Layanan Haji.

Untuk meningkatkan dan memperluas pelayanan haji, Mandiri Syariah perkuat sinergi dengan Bank Mandiri melalui Layanan Syariah Bank (LSB). Layanan tersebut memungkinkan nasabah membuka dan menyetor Tabungan Mabrur serta melakukan pelunasan haji di outlet Bank Mandiri.

Sebagai Bank Layanan Haji dan Umroh, Mandiri Syariah menawarkan berbagai kemudahan untuk mewujudkan niat berhaji dan umroh mulai dengan setoran minimal Rp 100 ribu bagi Tabungan Mabrur dan Mabrur Junior. Selain itu penawaran program umrah spesial serta berbagai jenis pembiayaan untuk umroh sampai penyediaan uang riyal untuk penuhi kebutuhan jemaah selama umrah maupun haji.

 

IHRAM

Apakah Rakyat Menanggung Utang Negara? Ini Kata Ustaz Somad

Utang Indonesia berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.035 triliun. Dengan capaian tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 29,1 persen. Lantas, jika negara yang berutang apakah rakyat Indonesia juga turut ikut menanggung utang tersebut?

Dalam sebuah tanya jawab usai tausyiah, Ustaz Abdul Somad mendapatkan satu pertanyaan terkait utang negara dari salah satu jamaahnya. “Ustaz, Allah tidak akan memasukan orang ke surga orang yang masih punya tanggungan utang. Bagaimana dengan utang Indonesia yang sangat banyak, yang dipakai untuk kesejahteraan rakyat. Apakah nanti di yaumul akhir akan diminta pertanggungjawaban kepada rakyat Indonesia?” tanya seorang jamaah.

“Iya juga ya. Ngeri-ngeri sedap juga kita ini,” jawab Ustaz Somad.

Ustaz berusia 40 tahun itu melanjutkan, “Nanti pas di akhirat, Ustaz Somad status pending. Mudah-mudahan kita diselamatkan Allah subhanahu wa ta’ala. Karena yang dimaksud utang itu adalah utang personal, pribadi. Dalam surah al-Baqarah ayat 282. Satu halaman full (menjelaskan soal utang). “Wahai orang-orang yang beriman! Kalau kalian menjalin transaksi utang piutang untuk waktu yang ditentukan, maka tulislah.”

Jika sudah sampai waktunya orang yang berutang untuk membayar, kita bisa menagihnya. “Sampai harinya, tagih! Bayar! Mengapa tak bayar?”

Namun, jika orang yang berutang belum mampu membayar, sebaiknya diberikan keringanan. Bisa berupa waktu. Yang paling bagus, menurut Ustaz Somad, jika orang yang meminjami mensedekahkan uangnya kepada orang berutang. “Kalau kau sedekahkan lebih baik,” ucap Ustaz Somad.

 

REPUBLIKA

Pangeran Khalid Ingin Islam Tersebar dari Indonesia

Pangeran Khalid bin Sultan Abdul Aziz dari Arab Saudi berharap agama Islam yang merupakan rahmat bagi alam semesta dapat tersebar ke seluruh dunia dari Indonesia.

“Pangeran berharap Indonesia menjadi yang terdepan dalam penyebaran agama yang rahmatan lil alamin,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin usai silaturahim Presiden Joko Widodo dengan peserta Musabaqah Hafalan Alquran dan Hadist Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Suud Tingkat ASEAN dan Pasifik Ke-10 2018 di Istana Negara Jakarta,  Kamis (22/3).

Lukman menyebutkan Indonesia menjadi tuan rumah tetap musabaqah yang seluruh pembiayaannya ditanggung oleh pangeran dari Arab Saudi dan keluarga itu. “Beliau di depan Presiden menyampaikan terima kasih karena selama ini Indonesia tekah menyelenggarakan musabaqah dengan baik dan pangeran berharap Indonesia menjadi yang terdepan dalam menyebarkan ajaran yang rahmatan lil alamin,” katanya.

Menurut Lukman, pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah tetap penyelenggaraan  Musabaqah Hafalan Alquran dan Hadist Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Suud Tingkat ASEAN dan Pasifik merupakan pilihan yang tepat. Penyelenggaraan pada 2018 merupakan yang ke-10.

Menurut dia, Indonesia tepat menjadi tuan rumah tetap mengingat Indonesia memiliki jumlah Muslim yang besar di tengah keragaman suku agama, ras dan adat istiadat. Ia menyebutkan secara umum tujuan penyelenggaraan musabaqah itu untuk memperkuat motivasi masyarakat di Asia dan Pasifik untuk menghafalkan Alquran dan Hadits Rasullah SAW.

Selain itu untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan nilai Alquran dalam praktik sehari hari. Juga untuk memelihara kesucian ajaran islam dari penyimpangan dan ajaran ekstrem.

“Juga sebagai sarana mempererat kesatuan umat dan bangsa dan memperkokoh persahabatan antarnegara di kawasan Asia dan Pasifik,” katanya.

Ia menyebutkan jumlah  peserta pada 2018  sebanyak 84 orang terdiri dari 70 hafalan Alquran dan 14 hafalan hadits, 11 orang official. Mereka berasal dari 14 negara di kawasan Asia dan Pasifik.

Pelaksanaan musabaqah itu di Masjid Istiqlal Jakarta pada 20-22 Maret 2018. Selain musabah tingkat Asia Pasifik, setiap tahun juga dilaksanakan Musabah Hafalan Alquran dan Hadist Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Alu Suud tingkat nasional yang pada 2018 merupakan ke-11.

Musabaqah tingkat nasuonal itu diikuti 130 peserta putra dan 30 peserta putri dari berbagai provinsi di Indonesia. “Yang membanggakan  minat peserta selalu meningkat dari tahun ke tahun,” kata Lukman.

Sahabat Rasul Sya’ban RA yang Menyesal Saat Sakaratul Maut

Seorang sahabat Rasulullah SAW, Sya’ban ra memiliki kebiasaan unik. Dia datang ke masjid sebelum waktu shalat berjamaah. Ia selalu mengambil posisi di pojok masjid pada setiapa shalat berjamaah dan I’tikaf. Alasannya, selalu mengambil posisi di pojok masjid karena ia tidak ingin mengganggu atau menghalangi orang lain yang akan melakukan ibadah di masjid. Kebiasaan ini, sudah dipahami oleh semua orang bahkan Rasulullah sendiri.

Pada suatu pagi, saat shalat Subuh berjamaah akan dimulai, Rasulullah SAW merasa heran karena tidak mendapati Sya’ban ra pada posisi seperti biasanya. Rasul pun bertanya kepada jamaah yang hadir, apakah ada yang melihat Sya’ban? Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat Sya’ban ra.

Shalat Subuh pun sengaja ditunda sejenak, untuk menunggu kehadiran Sya’ban. Namun yang ditunggu belum datang juga. Karena khawatir shalat Subuh kesiangan, Rasulullah pun memutuskan untuk segera melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Hingga shalat Subuh selesai pun Sya’ban belum datang juga.

Selesai shalat Subuh Rasul pun bertanya lagi “Apakah ada yang mengetahui kabar Sya’ban?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawab.

Rasul pun bertanya lagi “Apa ada yang mengetahui dimana rumah Sya’ban?” Seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia tahu persis dimana rumah Sya’ban.

Rasulullah sangat khawatir terjadi sesuatu terhadap sahabatnya tersebut, meminta diantarkan ke rumah Sya’ban.  Perjalanan dari masjid ke rumah Sya’ban cukup jauh dan memakan waktu lama terlebih mereka menempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat sampai di rumah Sya’ban pada waktu shalat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan). Sampai di depan rumah Sya’ban, beliau mengucapkan salam dan keluarlah wanita sambil membalas salam.

“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Tanya Rasulullah.

“Ya benar, ini rumah Sya’ban. Saya istrinya.” jawab wanita tersebut.

“Bolehkah kami menemui Sya’ban ra, yang tidak hadir shalat Subuh di masjid pagi ini?” ucap Rasul.

Dengan berlinangan air mata, istri Sya’ban ra menjawab “Beliau telah meninggal tadi pagi”.

“Innalilahi Wainnailaihiroji’un” jawab semuanya.

Satu-satunya penyebab Sya’ban tidak hadir shalat Subuh di masjid adalah karena ajal menjemputnya. Beberapa saat kemudian, istri Sya’ban ra bertanya “Ya Rasulullah ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia bertetiak tiga kali dengan masing-masing teriakan di sertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.

“Di masing-masing teriakannya, dia berucap kalimat ‘Aduh, kenapa tidak lebih jauh, aduh kenapa tidak yang baru, aduh kenapa tidak semua,” jawab istri Sya’ban.

Rasulullah SAW pun melantunkan ayat yang terdapat surah Qaaf ayat 22: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”

“Saat Sya’ban ra dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah. Apa yang dilihat oleh Sya’ban ra (dan orang yang sakaratul maut) tidak bisa disaksikan yang lain. Dalam padangannya yang tajam itu Sya’ban ra melihat suatu adegan dimana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk shalat berjamah lima waktu. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki, tentu itu bukan jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban ra diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.

Dia melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya. Saat dia melihat dia berucap “Aduh mengapa tidak lebih jauh” timbul penyesalan dalam diri Sya’ban ra, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah. Dalam penggalan kalimat berikutnya Sya’ban ra melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.

Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Dia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Sya’ban memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.

Dia berpikir jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar dan sampai di masjid dia bisa membuka baju luar dan shalat dengan baju yang lebih bagus. Ketika dalam perjalanan menuju masjid dia menemukan seseorang yang terbaring yang kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun iba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang tersebut kemudian dia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan shalat Subuh bersama-sama.

Orang itupun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan shalat berjamaah. Sya’ban ra pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut. Kemudian dia berteriak lagi “Aduh!! Kenapa tidak yang baru” timbul lagi penyesalan dibenak Sya’ban ra. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar jika dia memberikan pakaian yang baru.

Berikutnya, Sya’ban ra melihat lagi suatu adegan. Saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu. Bagi yang pernah ke Tanah Suci tentu mengetahui ukurang roti Arab (sekitar tiga kali ukuran  rata-rata roti Indonesia). ketika baru saja ingin memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Sya’ban ra merasa iba. Ia kemudian membagi dua roti tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah SWT kemudain memperlihatkan Sya’ban ra dengan surga yang indah.

Ketika melihat itupun Sya’ban ra teriak lagi “ Aduh kenapa tidak semua!!” Sya’ban ra kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis  tersebut, pasti dia akan mendapat surga yabg lebih indah. Masya Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatanya melainkan menyesali mengapa tidak optimal.

Seseungguhnya pada suatu saat nanti, kita semua akan mati, akan menyesal dan tentu dengan kadar yang berbeda. Bahkan ada yang meminta untuk ditunda matinya, karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas konsekwensi dari semua perbuatannya di dunia. Mereka meminta untuk ditunda sesaat karena ingin bersedekah. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak dapat dimajukan dan tidak dapat diakhirkan.

 

REPUBLIKA

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Insinyur Muslim Pencipta Jam

Pembuatan jam di dunia Islam juga didorong kebutuhan keagamaan.

slam adalah agama yang mengajarkan pentingnya menghormati dan menggunakan waktu secara optimal. Sebuah syair Arab bahkan mengibaratkan waktu seperti pedang. ”Al-Waqt ka al-saif. Fa in lam taqtha’haa qath’aka.”–Waktu laksana pedang. Jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan menebasmu.

Ajaran pentingnya memanfaatkan waktu telah melecut para sarjana Muslimuntuk menciptakan alat pengukur waktu, yakni jam. Selain didesak tuntutan hidup, pembuatan jam di dunia Islam juga didorong kebutuhan keagamaan. Dengan menguasai teknologi pembuatan jam, umat Islam bisa mengetahui secara pasti waktu shalat.

Al-Jazari

Ilmuwan yang bergelar pemimpin para insinyur Muslim itu telah berjasa membuat jam air. Sejatinya, ia bernama Abu al-‘Iz Ibn Isma’il ibn al-Razaz al-Jazari (1136-1206). Ia biasa dipanggil al-Jazari. Dunia mengenalnya sebagai salah seorang sarjana, penemu, insinyur mekanik, pemahat, seniman, dan seorang astronom. Karyanya yang paling terkenal Kitab fí ma’rifat al-hiyal al-handasiyya (Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices) tahun 1206 M. Dalam kitab itu, al-Jazari menjelaskan sekitar 50 alat mekanik ciptaannya.

Ibnu al-Shatir

Sejatinya, dia bernama Ala al-Din Abu’l-Hasan Ali Ibn Ibrahim Ibnu al-Shatir (1304-1375). Al-Shatir begitu ia biasa disebut. Al-Shatir merupakan astronom Muslim yang juga seorang ahli matematika. Karyanya yang paling terkenal dalam astronomi adalah Kitab Nihayat al-Sul Fi Tashih al-Usul.

Dalam buku itu, ia merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan Ptolemeus. Secara matematis, al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak merkurius jika bumi menjadi pusat alam semestanya dan merkurius bergerak mengitari bumi.

Demi Massa Inspirasikan Ilmuwan Muslim Ciptakan Jam

Islam adalah agama yang mengajarkan pentingnya menghormati dan menggunakan waktu.

 

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr: 1-3).

Islam adalah agama yang mengajarkan pentingnya menghormati dan menggunakan waktu secara optimal. Sebuah syair Arab bahkan mengibaratkan waktu seperti pedang. ”Al-Waqt ka al-saif. Fa in lam taqtha’haa qath’aka.”–Waktu laksana pedang. Jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan menebasmu.

Ajaran pentingnya memanfaatkan waktu telah melecut para sarjana Muslim untuk menciptakan alat pengukur waktu, yakni jam. Selain didesak tuntutan hidup, pembuatan jam di dunia Islam juga didorong kebutuhan keagamaan. Dengan menguasai teknologi pembuatan jam, umat Islam bisa mengetahui secara pasti waktu shalat.

Apalagi, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar menunaikan shalat tepat pada waktunya. Sebelum jam diciptakan, peradaban manusia menggunakan matahari sebagai patokan waktu. Jika matahari tepat di atas kepala, menunjukkan waktu sudah tengah hari atau sore. Ketika matahari dekat dengan kaki langit, berarti waktu sudah mendekati pagi atau malam.

Cina, Mualaf, dan Bertato Salib

Ragu dan malu-malu. Seorang ibu muda nan cantik mindik-mindik alias mengendap-endap. Ia terlihat ragu dan malu-malu ingin menghampiri saya usai manasik. Dari sorot matanya tersirat ada sesuatu yang penting ingin disampaikan.

Maka, beberapa jamaah laki-laki yang sejak tadi mengerubungi saya untuk konsultasi kesiapan berangkat umrah, segera saya suruh minggir dulu. Lalu, ibu muda itu saya suruh gantian maju.

Mangga Mbak, silakan maju sini,” pinta saya. Ibu muda itu pun segera mendekat. Dengan membetulkan jilbabnya, ibu muda itu duduk penuh takzim di depan saya.

“Maaf, Pak Ustaz. Saya mau anu… mau anu soal suami saya, Pak Ustaz,” ucap ibu muda itu terlihat gugup.

Dalam hati saya, ibu ini kok bilang anu-anu. Memang ada apa dengan anu suaminya? Tapi, saya lebih tidak enak hati karena ibu muda itu memanggil saya Pak Ustaz. Waduh!

“Maaf Mbak, saya bukan ustaz. Saya ini cuma pemberi materi manasik umrah, jauh ilmunya dari seorang ustaz. Jadi, panggil saja nama saya. Para jamaah biasa memanggil saya, Cak Wot,” pinta saya.

Ibu muda itu tersipu lalu menunduk. Malu. “Iya Ustaz, eh iya Cak Wot,” jawab ibu muda itu masih tampak gugup.

Agar ibu muda itu bisa santai, biar tidak gugup, saya pun berusaha bercanda. “Tapi jelek-jelek begini, tak sedikit ustaz dan kiai pergi umrah ikut saya. Maksudnya daftar ke travel saya. Jadi, kalau soal kegiatan perjalanan umrah, insya Allah, ilmu saya lebih tinggi dibanding mereka… hehehe,” canda saya.

Wajah ibu muda itu pun langsung mencair. Tidak gugup lagi. “Maaf, emang kenapa dengan anu suami. Kok tadi bilang anu-anu, ada yang mau disampaikan dengan anu suami?” tanya saya dengan masih bercanda.

Ibu muda itu tersenyum malu-malu. Lalu, ia segera angkat bicara. “Begini lho Cak Wot, suami saya itu Cina. Mohon nanti dimaklumi. Semua anggota rombongan jamaah umrah nanti mohon bisa mengerti.”

Saya terdiam. Dalam hati bertanya, emang ada apa dengan Cina? Emang nggak boleh Cina memeluk Islam? Emang nggak boleh Cina beribadah haji atau umrah? Islam itu untuk semua etnis yang beriman, dan bahkan bagi segenap alam.

Bukan monopoli kepercayaan bangsa Arab saja. Untuk meyakinkan ibu muda itu, saya pun bilang bahwa belakangan ini sudah banyak warga keturunan Tionghoa masuk Islam dan berangkat haji atau umrah.

“Saat di Tanah Suci, saya sering melihat ratusan jamaah dari Cina, Eropa, dan Amerika melaksanakan ibadah haji atau,” ujar saya menjelaskan.

Mendengar penjelasan ini, ibu muda itu tersenyum dan tampak senang. Lalu, ia bilang, “Bukan hanya seorang Cina, Cak Wot. Suami saya itu seorang mualaf.”

Lagi-lagi saya terdiam. Dalam hati bertanya lagi, emang ada apa dengan mualaf? Bukankah itu lebih bagus. Ia telah meninggalkan agama lama. Itu berarti ia sudah mendapatkan hidayah dari-Nya. Memeluk Islam, agama yang diridhai Allah SWT. Andai kalaupun ia dulu mantan preman, bukankah itu lebih bagus daripada mantan kiai.

“Tapi maaf, ngomong-ngomong setelah mualaf, suami sudah dikhitan belum?” tanya saya sedikit ngaco.

Ibu muda itu tersenyum lalu mengangguk tanpa ragu. “Ya sudah-lah, Cak. Sejak menyatakan masuk Islam, ketika hendak meminang saya, ia duluan mendatangi dokter untuk disunat,” jawabnya dengan mantap.

Tapi sergahnya segera, suaminya itu hingga kini masih bertato di lengan kanan bahunya. Ini yang jadi biang persoalan. Pada bahunya terdapat tato bergambar salib. Suaminya dulu sebelum menikah dengannya adalah keluarga pendeta.

Sejak masuk Islam, suaminya sudah berusaha menghapus tato tersebut. Tapi, tidak bisa. Malah membesar gambarnya. Ibu muda itu dan suami malu tatonya nanti diketahui banyak jamaah lain. Sebab, dalam tawaf semua jamaah laki-laki wajib membuka bahu kanannya.

“Jadi, bagaimana enaknya saat tawaf nanti suami saya. Boleh nggakbahunya tetap ditutup kain ihramnya, biar tidak terlihat tato salibnya,” tanya ibu muda itu serius.

Saya pun harus menjawab dengan serius. Bahwa membuka bahu kanan saat tawaf itu wajib hukumnya bagi jamaah laki-laki. Itu namanya i’thiba. “Tidak perlu malu. Ibu dan suami malah harus bangga. Sebab, itu bisa dibilang syiar agama. Orang bertato salib sudah masuk Islam. Sudah datang ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah dan haji,” jawab saya.

Dan, ibu muda itu berangkat umrah bersama suaminya tanpa ragu dan malu-malu lagi. Allahu Akbar.

 

Oleh: H Soenarwoto Prono Leksono (Penulis tinggal di Madiun, Jatim)

 

REPUBLIKA

Allah Maha Menjaga dan Maha Memelihara

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Mengetahui segala isi hati, menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang husnul khotimah. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “..Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha pemelihara segala sesuatu.” (Huud [11] : 57) Dalam ayat-Nya yang lain Allah Swt. berfirman, “..dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS. Sabaa [34] : 21)

Saudaraku, tidak ada satupun di alam semesta ini kecuali seluruhnya Allah yang menciptakan. Dan, tidak ada satupun dari seisi alam ini kecuali semuanya milik Allah semata. Allah yang menciptakan, Allah yang memiliki, Allah juga yang mengurus seluruhnya.

Allah senantiasa sibuk menjaga dan memelihara seluruh alam beserta isinya ini, hanya saja sibuknya Allah tentu berbeda dengan sibuknya makhluk. Kesibukan kita sebagai makhluk berkaitan dengan rasa bingung, lelah, capek, penat, dan kesibukan untuk urusan yang kecil dan terbatas. Sedangkan kesibukan Allah itu sempurna.

Allah menjaga dan memelihara seluruh alam ini dengan ilmu-Nya. Allah mengetahui kemudian mencatat setiap amal perbuatan hamba-Nya tanpa ada yang terlewat sedikitpun dan menjaganya. Syariatnya malaikat pun turut mencatat. Demikian juga dengan urusan lainnya, Allah Swt. sempurna penjagaan dan pemeliharaan-Nya terhadap seluruh jagat raya.

Penjagaan dan pemeliharaan Allah itu sempurna. Sedangkan makhluk, sering lupa jikalau diamanahi untuk menjaga atau memelihara sesuatu. Tidak ada yang luput satupun kebaikan dari pengetahuan Allah, dan catatan kebaikan itu akan terjaga dengan baik di sisi-Nya dan akan dibalas dengan berlipat ganda. Maasyaa Allah.

Semoga keimanan kita senantiasa kokoh kepada Allah Swt. Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita pasti akan kembali. WAllahu alam bishowab. [smstauhiid]

 

 

 

 Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Hartamu dan Anak-anakmu Hanyalah Cobaan

SEBUAH kenyataan yang sering kali kita jumpai ialah tidaklah dua orang yang pernah mengenal berjumpa melainkan mereka akan bertanya berapa jumlah anak mereka sekarang.

Jarang sekali kita dapati mereka mengawali pembicaraan dari tema berapa banyak kekayaan mereka, berapa pula istrinya, atau yang lainnya. Ini mengisyaratkan bahwa anak di mata para orangtua adalah ibarat satu-satunya barang yang paling berharga yang ia miliki.

Ada hal yang penting sekali untuk diketahui dan sangat perlu direnungkan oleh para orangtua, bahwa lahirnya seorang anak bukan semata-mata guna menambah jumlah anggota keluarga, juga bukan semata-mata guna menambah kebahagiaan bapak dan ibu serta membahagiakan mereka.

Juga bukan sekadar memberikan harapan buat orangtua bahwa di hari esok apabila anak telah dewasa dapat membantu orangtua untuk mencari nafkah.

Akan tetapi, hadirnya seorang anak merupakan cambuk bagi orangtua khususnya, untuk berlomba-lomba berbuat yang paling baik bagi diri sendiri dan anaknya. Tentunya “baik” di sini adalah dalam penilaian Zat yang menciptakan dan menghadirkan buah hati tersebut di tengah-tengah keluarga.

Dengan demikian, anak tidak semata-mata kenikmatan rezeki dari Allah untuk dinikmati, namun ia merupakan amanah dan tanggung jawab bagi orangtuanya. Bagaimana bisa begitu?

Tidak ada yang aneh dan samar dalam masalah ini bila kita kembali mentadabburi merenungi dan memahami firman Allah:

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS at-Taghabun: 15)

Bahkan dalam ayat tersebut Allah tidak sekadar membahasakan anak sebuah amanah, namun sebagai sebuah ujian. Yaitu, ujian apakah para orangtua berbuat baik pada anak tersebut, ataukah tidak. Hal ini mungkin perlu perenungan sejenak.

Sudahkah kita sebagai orangtua menyadarinya? Ini adalah pertanyaan pertama, sebelum kita bertanya apakah ia mendidik anak-anak dengan baik atau bahkan tidak memperhatikan mereka.

 

INILAH MOZAIK