Fatwa MUI Terkait Dana Calon Jamaah Haji Gagal Berangkat

Pemerintah Indonesia memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji tahun ini. Keputusan ini disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, pada Kamis (4/5). 

Bagaimana nasib dana biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang sudah disetorkan? Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H/2021 M.

KMA ini juga menyampaikan calon jamaah haji yang batal berangkat dapat menarik kembali setoran pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang telah dibayarkan.

“Calon jamaah haji batal berangkat tahun ini dan sudah melunasi Bipih, dapat mengajukan permohonan pengembalian setoran pelunasan,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU), Ramadan Harisman melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (4/6). 

Ramadhan menjelaskan, meski diambil setoran pelunasannya, calon jamaah haji tidak kehilangan statusnya sebagai calon jamaah haji yang akan berangkat pada tahun 1443 H/ 2022 M.  

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, menyampaikan, keputusan ijtima ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2012 tentang status kepemilikan dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang masuk daftar tunggu (waiting list). 

Buya Amirsyah menerangkan, haji merupakan ibadah wajib bagi yang sudah mampu. Keterbatasan kuota haji dan minat untuk melakukan ibadah haji yang semakin meningkat, menyebabkan meningkatnya jumlah waiting list atau daftar antrean calon jamaah haji. 

“Ketentuan pemerintah, setiap orang yang hendak menunaikan ibadah haji harus membayar sebagian besar BPIH sesuai ketentuan,” kata Buya Amirsyah melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Ahad(6/6). 

Ia menerangkan, meski sudah membayar, calon jamaah haji tidak bisa langsung berangkat akibat adanya waiting list yang panjang. Panjangnya antrean pendaftar yang ingin melakukan ibadah haji dan telah membayar BPIH tersebut, mengakibatkan adanya pengendapan dana pada rekening pemerintah yang cukup lama.  

Selama ini, dana BPIH yang mengendap tersebut ada yang ditempatkan di bank dan ada yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk yang mestinya menghasilkan. Muncul pertanyaan di masyarakat mengenai status kepemilikan dana setoran BPIH yang ada dalam rekening pemerintah termasuk hasilnya 

Ia menjelaskan ketetapan hukum status kepemilikan dana setoran BPIH yang masuk daftar tunggu. Pertama, dana setoran haji yang ditampung dalam rekening pemerintah yang pendaftarnya termasuk daftar tunggu secara syari adalah milik pendaftar (calon jamaah haji). 

“Oleh sebab itu, apabila yang bersangkutan meninggal atau ada halangan syari yang membuat calon haji tersebut gagal berangkat, dana setoran haji wajib dikembalikan kepada calon jamaah haji atau ahli warisnya,” ujarnya. 

Buya Amirsyah mengatakan, ketentuan hukum kedua, dana setoran BPIH bagi calon jamaah haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening pemerintah, boleh ditasharrufkan untuk hal-hal yang produktif (memberikan keuntungan). Antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk. 

“Ketiga, hasil penempatan atau investasi tersebut merupakan milik calon haji yang termasuk dalam daftar tunggu, antara lain sebagai penambah dana simpanan calon haji atau pengurang biaya haji yang riil atau nyata, sebagai pengelola (dana), pemerintah berhak mendapatkan imbalan yang wajar atau tidak berlebihan,” ujarnya. 

Ketentuan hukum keempat, ia menjelaskan, dana BPIH milik calon jamaah haji yang masuk daftar tunggu, tidak boleh digunakan untuk keperluan apapun kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan. 

IHRAM

Kematian Pasti Datang

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, maka dia pasti menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara gaib dan perkara yang tampak, lalu Allah akan memberitakan kepada kalian apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu’ah: 8)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap jiwa pasti merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kematian.” (QS’ al-Hijr: 99)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkan olehnya untuk hari esok…” (QS. Al-Hasyr: 18)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 198)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk bersantai-santai kecuali ketika dia sudah berjumpa dengan Allah.”

Suatu ketika ada yang berkata kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat? Kami berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga mengantarkan dirimu kepada keamanan, maka itu lebih baik daripada kamu bergaul dengan teman-teman yang senantiasa menanamkan rasa aman hingga menyeretmu kepada situasi yang menakutkan.”

Seorang penyair mengatakan:

Wahai anak Adam, engkau terlahir dari ibumu seraya melempar tangisan

Sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira

Maka, beramallah untuk menyambut suatu hari tatkala mereka melempar tangisan

Yaitu hari kematianmu, ketika itu engkaulah yang tertawa gembira

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”

Syaikh Abdul Malik al-Qasim berkata, “Betapa seringnya, di sepanjang hari yang kita lalui kita membawa [jenazah] orang-orang yang kita cintai dan teman-teman menuju tempat tinggal tersebut [alam kubur]. Akan tetapi seolah-olah kematian itu tidak mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak menggoncangkan kecuali tempat tidur mereka. Adapun kita; seolah-olah kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!”

‘Amar bin Yasir radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”

al-Harits bin Idris berkata: Aku pernah berkata kepada Dawud ath-Tha’i, “Berikanlah nasehat untukku.” Maka dia menjawab, “Tentara kematian senantiasa menunggu kedatanganmu.”

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit kedengkiannya.”

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Aku senang dengan kemiskinan, karena hal itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan kematian, karena kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit, karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosaku.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka, ‘Kami mencari surga’ padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius dalam mencarinya.”

Salah seorang yang bijak menasehati saudaranya, “Wahai saudaraku, waspadalah engkau dari kematian di negeri [dunia] ini sebelum engkau berpindah ke suatu negeri yang engkau mengangan-angankan kematian akan tetapi engkau tidak akan menemukannya.”

Ibnu Abdi Rabbihi berkata kepada Mak-hul, “Apakah engkau mencintai surga?” Mak-hul menjawab, “Siapa yang tidak cinta dengan surga.” Lalu Ibnu Abdi Rabbihi pun berkata, “Kalau begitu, cintailah kematian; karena engkau tidak akan bisa melihat surga kecuali setelah mengalami kematian.”

Sumber: Aina Nahnu min Ha’ula’i, Jilid 1. Karya Abdul Malik al-Qasim

Sumber: https://muslim.or.id/66507-kematian-pasti-datang.html

IPHI: Ada Hikmah Dibalik Pembatalan Keberangkatan Haji

Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI) Ismed Hasan Putro mengatakan pembatalan keberangkatan haji yang kembali terjadi tahun ini tetap memiliki hikmah. 

“Haji tidak hanya ritual saja tetapi juga ibadah spiritual, disaat mendapat ujian ini, berarti jamaah diminta untuk tawakal dam sabar,” ujar dia kepada Republika.co.id, Jumat (4/6).

Calon jamaah diimbau tetap perbanyak doa agar dipanjangkan usianya untuk sampai waktu dalam menunaikan haji ketika situasi telah memungkinkan. Calon jamaah juga jangan sampai putus harapan dan tetap optimistis meski ada kekecewaan. 

“Ini mungkin ada hikmahnya sehingga calhaj lebih mempunyai waktu mempersiapkan haji,” kata dia.

Selain itu, sembari menunggu waktu menunaikan haji, banyak ibadah lain yang dilakukan, seperti memperbanyak infak, zakat, dan berkontribusi dalam kesejahteraan masyarakat sekitar. Tak hanya calhaj, pemerintah juga membutuhkan waktu untuk kesiapan baik dari sisi teknis dan anggaran. 

Ismed juga menyarankan jika Kemenag terlalu kewalahan mengelola pelaksanaan ibadah haji, pemerintah dapat membentuk badan khusus pengelolaan haji. Hal ini juga dilakukan oleh negara tetangga Malaysia. 

Begitu juga BPKH, perlu pengembangan inovasi sehingga dana haji dapat dikembangkan. Sehingga tidak perlu ada wacana untuk mengumpulkan tambahan biaya dari calhaj.

IHRAM

BPKH Bantah Informasi Soal Tunggakan Indonesia

Anggota Bidang SDM dan Kemaslahatan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Rahmat Hidayat membantah informasi yang beredar menyebutkan pembatalan haji 2021 karena Indonesia mempunyai tunggakan kepada Pemerintah Arab Saudi.

“Berita tersebut sama sekali tidak benar, hoak. Kemenag (Kementerian Agama) dan BPKH sudah memberikan klarifikasi,” kata Rahmat pada Jumat (4/6).

Tahun ini menjadi yang kedua kalinya, Indonesia tidak mengirimkan jamaah haji. Banyak masyarakat mempertanyakan pengelolaan dana haji milik jamaah.

Sebelumnya Ketua BPKH, Anggito menyampaikan, pada 2019 ada perubahan pengelolaan dana haji. Sebanyak 50 persen dana haji akan di tempatkan di bank syariah, 30 persen di surat berharga, 20 persen investasi langsung, dan sisanya investasi lainnya. Rahmat mengatakan, hal itu telah berjalan sesuai Rencana Strategis (Renstra).

Di samping itu, Rahmat juga membantah informasi perihal Indonesia belum membayar bea akomodasi calon jemaah haji, akibat dana haji yang telah digunakan oleh pemerintah untuk membiayai berbagai proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Sebelumnya pada Kamis (3/6), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memastikan bahwa pemerintah tidak memberangkatkan jamaah haji Indonesia 1442 H/2021 M. Menurutnya, di tengah pandemi corona virus disease-19 (Covid-19) yang melanda dunia, kesehatan dan keselamatan jiwa jamaah lebih utama dan harus dikedepankan.

“Karena masih pandemi dan demi keselamatan jamaah, pemerintah memutuskan bahwa tahun ini tidak memberangkatkan kembali jamaah haji Indonesia,” kata Yaqut dalam telekonferensi dengan media di Jakarta.

IHRAM

Cek Dana HAji yang sudah Anda bayarkan di https://va.bpkh.go.id

Menko PMK Jamin Dana Haji yang Dikelola BPKH Aman

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah berjalan dengan sangat baik dan aman. Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dan menyerbarkan informasi yang belum tentu benar.

“Bisa kami pastikan kalau pengelolaan dana haji dilaksanakan dengan sangat profesional, prudent, penuh kehati-hatian dan semuanya aman,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (4/6).

Kemudian, ia menegaskan informasi yang beredar di masyarakat terkait pengelolaan dana haji sepenuhnya tidak benar. BPKH, kata dia, merupakan badan yang independen dan profesional yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun. Sehingga pengelolaannya dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. 

“Tidak ada namanya isu-isu seperti yang berkembang di masyarakat. Artinya apa? dana haji saya jamin aman,” kata dia.

Ia menjelaskan alasan tidak diberangkatkannya jamaah haji Indonesia untuk tahun ini karena mempertimbangkan kemaslahatan dan keselamatan umat di masa pandemi Covid-19 yang belum usai.

“Jumlah yang berangkat itu ratusan ribu. Tentu saja tidak mudah untuk mengelola mereka terutama dalam kaitannya dengan status kesehatannya. Meskipun pilihan yang harus diambil pahit dan tidak menyenangkan tetapi keputusan itu demi kebaikan masyarakat,” kata dia.

Ia berharap keputusan pahit ini adalah pil yang justru menjadi obat untuk masyarakat semua. Bukan sesuatu yang harus disesali. “Mudah-mudahan tahun depan kami sudah bisa berangkat seperti sedia kala,” kata dia.

Sebelumnya diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan untuk tidak memberangkatkan calon jemaah haji Indonesia tahun 1442 H/2021 M. Ini merupakan tahun kedua tidak adanya keberangkatan haji di masa pandemi.

Keputusan ini tentu membuat daftar tunggu calon jamaah haji menjadi lebih lama. Sebagaimana penjelasan dari Ketua BPKH, Anggito Abimanyu menyatakan kalau jumlah waiting list per hari ini sudah mencapai 5.017.000 orang. 

Jadi, jika per tahun kuota haji Indonesia misalkan tetap 220.000 orang, setidaknya memerlukan waktu setidaknya 22 tahun. Tetapi sekali lagi peniadaan pelaksanaan haji tahun ini harus dilihat sebagai ihtiar untuk menjaga keselamatan para calon jemaah haji.

IHRAM

Cek Dana Haji Anda di Virtual Account (VA) di situs BPKH, linknya: https://va.bpkh.go.id

Khalifah Bani Umayah Menjaga Gereja Yohanes Agar Tak Dirobohkan

Perbedaan warna kulit, suku, keyakinan, ras, budaya dan agama merupakan suatu keniscayaan. Ia telah ada sejak dulu. Pun ketika masa khilafah Islamiyah dibawah Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah, Muwahhidun, dan Turki Usmani. Umat Islam hidup dalam masyarakat yang beragam.

Semenanjung Timur Tengah dan  Gurun Arabia, sejak awal tak hanya ditempati satu keyakinan, agama dan suku saja. Ada pelbagai agama—terlebih agama abrahamik — sudah terlebih dahulu eksis dan hidup di tempat kaum muslimin hidup. Pasalnya, agama tersebut lebih dahulu ada di banding Islam yang datang belakangan.

Pun di bawah sistem khalifah islamiyah, pemeluk agama-agama di luar Islam ini, tetap eksis. Pemeluknya pun tetap melaksanakan rutinitas ibadah mereka. Ada yang ke gereja, sinagog, dan kuil. Hubungan umat Islam dengan pemeluk agama lain pada dasarnya berlangsung damai, meskipun berbeda keyakinan.

Namun meski diakui terkadang ada pelbagai konflik yang mewarnai antara Islam dan agama lain. Penting dicatat, perang yang terjadi antara kaum muslimin dan umat agama lain, tak ada yang disebabkan perbedaan teologis. Tak pula disebabkan oleh perbedaan agama. Konflik dan perang yang terjadi, justru diakibatkan oleh pengkhianatan terhadap negara dan perjanjian. Dan itu konteknya di luar agama.

Tak dapat dipungkiri, relasi kaum Islam dengan pemeluk agama di luar Islam, pada dasarnya adalah damai, sejuk, dan toleran. Untuk menjaga hubungan damai itu pun, para khalifah di bawah pemerintahan Islam pun berusaha untuk menjaga kedamaian itu. Agar tak terjadi gejolak dan diskrimanasi hukum pada non muslim.

Sikap menjaga relasi dengan non muslim ditunjukkan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan—Khalifah dari kalangan Bani Umayah—, ketika itu ia menjaga Gereja Yohanes di Damaskus agar tetap berdiri. Syaikh Al-Baladzuri mencatat dalam kitab al Buldan al Futuha wa Ahkamuha, Mus’ab bercerita yang bersumber dari Malik dari Nafi’ dari Aslam, bahwa kala Muawaiyah berkuasa menjadi kepala pemerintahan, Ia berkeinginan memperluas masjid Damaskus.

Gereja Yohanes, yang bertetangga dengan masjid Damaskus pun ingin dirobohkan.  Kemudian dimasukkan menjadi bagian dari masjid Damaskus. Dengan begitu, masjid yang awalnya sempit, akan direnovasi dan diperluas bangunannya.

Perluasan masjid terbilang perlu. Sebagai pusat pemerintahan, Syiria akan banyak dilirik oleh bangsa lain. Di samping itu, kaum muslimin ketika itu sudah semakin bertambah jumlahnya. Perluasan masjid menjadi suatu keniscayaan.

Mendengar usulan itu, kaum Nasrani menolaknya. Mereka enggan menerima ide dari Muawiyah. Mereka berargumen, bila kebijakan itu diteruskan akan menyebabkan segregasi di kalangan masyarakat Islam dan non muslim. Akhirnya, Muawiyah pun terpaksa membatalkan ide tersebut.

Pada era Khalifah selanjutnya, Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), ide ini sempat mengemuka. Tak tanggung-tanggung, khalifah menawarkan ganti rugi yang fantansis. Emas dan uang pengganti sudah disiapkan. Juru runding pun telah diutus. Asal mereka mau merelakan Gereja Yohanes menjadi bagian masjid Damaskus.

Para umat dan pemuka Nasrani pun menolak. Tak menerima ide itu. Jawaban mereka, tak berbeda jauh dari sebelumnya. Jawaban yang mereka kemukakan di hadapan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kali ini pun tetap tak berhasil. Gereja Yohanes masih berdiri kokoh.

Selepas Khalifah Abdul Malik bin Marwan wafat, anaknya berkuasa, Walid bin Abdul Malik (705-715 M). Rupanya ide memasukkan Gereja Yohanes menjadi bagian Masjid Damaskus belum juga sirna. Ia pun kekeuh, agar ide ini terlaksana.

Khalifah Walid bin Abdul Malik pun mengumpulkan para kaum Nasrhani Damaskus. Ia menawarkan hadiah yang besar; uang, emas, lahan, perhiasan, dan dinar.  Harapannya semoga hati mereka luluhdan menyerahkan gereja untuk dirobohkan.  Dan kelak dibangun fasilitas masjid.

Jawaban mereka tetap sama. Tak bergeser sedikitpun. Tak goyah sehasta pun. Pembesar mereka berkata pada khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang yang merobohkan Gereja akan gila dan terkena penyakit,” . Jawaban yang begitu menohok.

Sontak saja, jawaban itu membuat khalifah emosi. Ia menilai, jawaban itu tak sopan dan menghina dirinya. Amirul Mukminin Walid bin Marwan yang kadung emosi, meminta diambilkan gancu. Ia menghancurkan sebagian tembok gereja dengan tangannya sendiri.

Tak berselang lama, kepala pemerintahan pun mengumpulkan para pekerja bangunan. Di antara mereka ada yang bertugas menghancurkan gereja. Sebagian lain, menata masjid dan fasilitas yang akan dibangun. Jadilah Gereja Yohanes hancur lebur. Bekas bangunanya dimasukkan ke dalam wilayah masjid.

Sakit hati. Sedih. Marah. Merasa tak mendapat keadilan. Diskriminatif. Itulah yang dirasakan oleh kaum Nasrani Damaskus. Kelak di masa,  Khalifah Umar bin Abdul Aziz  (717-720 M) berkuasa, mereka mengadukan perbuatan Walid bin Marwan tersebut. Mereka menuntut keadilan atas gereja Yohanes yang dirobohkan dan dimasukkan menjadi bagian masjid Damaskus.

Menerima protes dan pengaduan tersebut, Umar bin Abdul Aziz lantas mengambil tindakan hukum. Ia menulis surat pada Gubernurnya di Damaskus. Surat itu berisi perintah khalifah agar perluasan masjid diberikan kepada kaum Nasrani. Dan dibangun kembali Gereja Yohanes di sana. Pasalnya, itu dulu milik kaum Kristen, sebelum dirobohkan di masa Walid bin Marwan.

Sontak saja,  surat itu membuat geram kaum muslimin. Sulaiman Habib Al Maharibi, ahli Fikih di Damaskus sempat berkata setelah membaca surat tersbut, “ Kita merobohkan masjid kita setelah kita azan dan shalat di sana. Lantas dikembalikan kepada Nasrani,” begitu katanya.

Meski begitu, kaum muslimin tetap melaksanakan titah sang khalifah.  Gereja Yohanes dikembalikan kepada fungsinya. Masjid Damaskus, kembali ke posisi awal. Hal itu pun dilaporkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia senang mendengar tanggapan kaum muslimin. Dan melanjutkan pembangunan Gereja Yohanes.

BINCANG SYARIAH

Khalifah Umar Bin Khattab Memberikan Harta Baitul Mal pada Yahudi dan Kristen Miskin

Saban hari, teriakan ”Allohu akbar” diseru, dengan pelbagai ekspresi; ada rasa marah, emosi, takut, atau kadang khidmat. Bersamaan dengan pekikan takbir itu, bom bunuh diri meledak. Meruntuhkan bangunan Gereja, Biara, dan Sinagog. Sasarannya terukur, tak diacak. Rumah ibadah umat beragama di luar Islam.

Pada saat bom bunuh diri itu meledak, puluhanya nyawa melayang. Orang yang sedang ibadah, berujung kematian. Bom memisahkan anak dengan ibu. Istri dengan suami. Keluarga dengan kirabatnya. Semua mati dengan pekikan memuji Tuhan. Apakah Tuhan haus darah manusia?

Di belahan dunia lain, kata “Islam” diseru dengan marah. Pelaku yang mengatasnamakan Islam, memancung leher manusia tak berdosa. Leher yang diputus, dipamerkan depan televisi. Para gadis-gadis muda diculik dari rumahnya. Dipisahkan dari keluarganya. Dan dijadikan budak seks.

Di tangan teroris, Islam menampilkan wajah marah. Penuh emosi. Yang ada hanya kekerasan dan kebrutalan. Tak terima dengan keberadaan umat lain. Orang yang berbeda keyakinan, adalah musuh yang haus dibinasakan. Kristen dan Yahudi pennyebab penderitaan kaum muslim.

“Islam bukanlah agama perdamaian,” tulis Ayaan Hirsi Ali dalam buku, Heretic: Why Islam Needs  a Reformation Now. Bagi dia Islam adalah agama yang penuh dendam. Islam ibarat burung yang dikurung dalam sangkar puluhan tahun. Suatu waktu, burung itu lepas. Dan berniat balas dendam. Itulah Islam. Agama ganas, dan sumber malapetaka.

Apa sebenarnya Islam? Apakah Islam agama yang brutal dan penuh kebencian terhadap pemeluk agama lain? Dari sejarah kita belajar, Islam sejak dulu era awal hidup dalam masyarakat yang beragam. Hidup dan berinteraksi dengan pemeluk agama yang beragam pula. Rasulullah berinteraksi dengan pemeluk agama lain dengan penuh cinta. Tak ada sedikit pun rasa benci Nabi pada umat agama lain.

Sikap toleransi Nabi itu kelak menjadi acuan para sahabat ketika bergaul dengan non-Muslim. Termasuk sahabat, sekaligus khalifah kaum muslimin, Umar bin Khattab. Umar merupakan sahabat dan pemimpin yang adil. Seorang mulia akhlaknya. Penuh cinta dan kasih terhadap manusia, tanpa memandang agama dan keyakinannya.

Ada kisah menarik yang melukiskan kecintaan Umar terhadap non Muslim.  Kisah ini antara khalifah Umar bin Khattab dan lelaki tua renta dari  Yahudi. Suatu waktu Umar berjalan menyusuri wilayah tempat ia berkuasa. Di tengah blusukan ia lewat depan rumah seorang kakek tua renta yang beragama Yahudi.

Abu Yusuf  dalam kitab al Kharraj menceritakan, ketika lewat rumah itu, ada seorang lelaki tua sedang sedang duduk di depan pintu. Umar mengajaknya berdialog. Dan menanyakan apa yang sedang ia lakukan. Si lelaki tua menjawab, “Aku sedang susah. Untuk memenuhi kehidupan ku sehari hari,“ katanya.

Mendengar itu, Umar lantas memberikan harta dari baitul mal kepada lelaki Yahudi tua renta itu. Harta dari baitul mal itu juga digunakan untuk membiayai hidupnya sehari-hari dan keluarganya. Umar tak memandang agamanya.  Yang ia lihat, lelaki miskin itu adalah rakyatnya. Yang harus ditolong dan diselematkan jiwanya dari kelaparan.

Yusuf Qardhawi dalam buku Fiqh az Zakat, menulis Umar bin Khattab setelah memberikan harta dari kas baitul mal itu kepada Yahudi tua itu, lantas mengutip ayat Q.S At Taubah ayat 60. Umar beralasan, orang tua Yahudi itu adalah orang miskin, ia berhak mendapatkan uang dari pajak  tersebut. Qardhawi menulis;

فعمر يأمر بصرف معاش دائم ليهودي وعياله من بيت مال المسلمين، ثم يقول: قال الله تعالى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: 60], وهذا من مساكين أهل الكتاب

Artinya: Maka Umar menyuruh memberikan penghidupan (bayaran) bagi Yahudi tua  dan menyediakannya dari harta Baitul mal. Kemudian Umar membacakan firman Allah, (esungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, Q.S at Taubah; 60), Ini (kakek tua) adalah orang miskin dari ahli kitab.

Ternyata kemurahan hati Khalifah Umar tak pada Yahudi semata. Dalam buku kitab Fiqh az Zakat, karya Yusuf al Qardhawi tercantum kisah kebaikan hati Umar pada kaum mustadafhin dari orang-orang Kristen.

Suatu hari Umar melakukan perjalan ke negeri Syiria. Perjalanan itu dilaksanakan bersama rombongan dari kalangan sahabat yang lain.  Di tengah perjalanan menyusuri padang pasir nan tandus, mereka lantas bersua dengan sekelompok kaum miskin.

Kaum miskin ini dari agma Kristen. Mereka orang pinggiran. Jauh dari akses pemerintahan. Melihat kehidupan mereka yang memprihatinkan, Umar memerintahkan menolong kaum Kristen yang mustadafhin ini. Umar menyuruh mengeluarkan harta dari baitul mal untuk membantu perekonomian mereka.

Yusuf Qardhawi mendokumentasikan kisah ini dengan apik. Ia mencatat;

ويمر في رحلته إلى الشام بقوم مجزومين من النصارى, فيأمر بمساعدة اجتماعية لهم من بيت مال المسلمين

Artinya; Ketika melakukan perjalan ke Syiria, Umar melewati suatu kaum yang lemah perekonomiannya, mereka dari agama Kristen. Maka Umar lantas memerintahkan menolong kaum Kristen ini, dengan mengambil harta yang bersumber dari Baitul Mal.

Demikianlah sekilas kisah  Khalifah Umar bin Khattab. Seorang ulama penuh kasih dan cinta kemanusiaan. Tak pernah membedakan manusia dari latar belakang agam, suku, keyakinan, dan rasnya. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Baca Shalawat Al-Ridha Sebelum Doa, Insya Allah Doa Cepat Diijabah

Dalam kitab Sa’adah Al-Darain fi Al-Shalati ‘ala Sayyidil Kaunain, Syaikh Yusuf bin Ismail Al-Nabhani menyebutkan salah satu shalawat yang disebut dengan shalawat Al-Ridha atau Ridhaiyah. Disebutkan bahwa shalawat ini termasuk kumpulan shalawat Syekh Ahmad Al-Dardir Al-Khalwati.

Adapun keutamaannya, menurut sebagian ulama, siapa saja yang membaca shalawat Al-Ridha ini sebanyak 70 kali, kemudian dia berdoa, maka doanya akan diterima oleh Allah. Syaikh Yusuf bin Ismail Al-Nabhani berkata sebagai berikut;

قال بعضهم : من قال سبعين مرة ، استجيب دعاؤه بعدها

Sebagian ulama berkata; Siapa saja yang membaca sebanyak 70 kali, maka setelah membaca shalawat Ridhaiyah doanya diijabah.

Adapun lafadz shalawat Al-Ridha atau Ridhaiyah ini adalah sebagai berikut;

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاةَ الرِّضا وَارْضَ عَنْ اَصْحَابِه رِضَاءَ الرِّضا

Allohumma sholli ‘alaa muhammadin sholaatar ridhoo wardho ‘an ashaabihii ridhoo-ar ridhoo.

Ya Allah, berilah rahmat atas junjungan kami, Nabi Muhammad, dengan rahmat keridhaan serta ridhailah para sahabatnya dengan sebenar-benar ridha.

BINCANG SYARIAH

Apakah Pelaku Ghibah Perlu Minta Maaf kepada Korban?

Ghibah merupakan perbuatan berbahaya menyangkut hak orang lain

Ulama tak saling berbeda pendapat mengenai hukum ghibah dan gosip, semua sepakat bahwa Islam melarang hal demikian. Kemudian apakah perlu bagi pelaku ghibab untuk meminta maaf kepada korban?

Dilansir di Islam Web, Jumat (4/6), sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ghidza al-Bab fi Syarh Mandhumat Al-Adab karangan Imam As Safarayni Al Hanbali dijelaskan, Ibnu Hazm berkata bahwa para ulama memang bersepakat tentang larangan ghibah dan gosip. Beliau menjelaskan bahwa ghibah juga termasuk ke dalam dosa besar.

Dia berkata dalam kitab Al-Inshaaf bahwa para pelaku ghibah perlu bertaubat dan meminta maaf kepada korbannya. 

Sementara itu, Ibnu Al Qayyim dalam kitab Al-Kalim Ath-Thayyib mengutip hadits dari Rasulullah SAW  bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: 

إن من كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته تقول اللهم اغفر لنا وله “Inna min kaffaaratu al-ghibata an tastaghfira limanigtabtahu, taqulu: Allahummaghfirlana wa lahu.” (Al Baihaqi dalam Ad-Da’awat, haditsnya lemah).

“Sesungguhnya sebagian kafarat ghibah adalah hendaknya kamu mendoakan ampunan atas orang yang kamu ghibahi dengan mengucapkan: Ya Allah ampunilah kami dan dia.” 

Ibnul Qayyim berkata bahwa dalam masalah tersebut terdapat dua perkataan para ulama, yaitu dua riwayat dari Imam Ahmad, dan keduanya adalah apakah cukup taubat dari ghibah untuk meminta pengampunan atas ghibah atau harus diberitahu dan diselesaikan langsung terlebih dahulu.

Dia berkata bahwa pandangan yang benar adalah bahwa yang bersangkutan tidak perlu memberi tahu korbannya. Melainkan cukup baginya untuk meminta pengampunan untuknya dan mengingatkannya tentang manfaat dari meninggalkan serta bertaubat akan ghibah.

Perkara ghibah tidak seperti perkara mengenai hak keuangan. Karena dalam hak keuangan orang yang terzalimi mendapat manfaat dari pengembalian yang setara dengan keluhannya. Adapun ghibah, hal itu tidak mungkin dan tidak terjadi padanya dengan memberitahukannya kecuali kebalikan dari maksud pemberi hukum. 

Oleh karena itu dijelaskan bahwa syariat Islam tidak mewajibkan atau memerintahkan seseorang pelaku ghibah yang hendak bertaubat atas kesalahan-kesalahan terhadap korbannya.

Sumber: islamweb 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Memajang Hewan yang Diawetkan di Rumah

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Apa hukum memajang hewan yang asli yang sudah diawetkan, baik di rumah atau di tempat lainnya?

Jawaban:

Memajang hewan yang diawetkan itu perbuatan yang tidak dibenarkan. Telah dikeluarkan fatwa oleh Haiah al-Ifta’ tentang terlarangnya melakukan hal tersebut. Karena dua alasan:

Pertama, termasuk menyia-nyiakan harta

Kedua, ini merupakan sarana yang membawa kepada keburukan lain yang lebih besar. Bisa jadi pemiliknya akan meyakini bahwa binatang tersebut akan menjaga rumahnya dari jin atau dari perkara keburukan lainnya. Atau bisa jadi akan menjadi sarana yang membawa kepada memajang gambar atau patung makhluk bernyawa di rumah. Sehingga ini menjadi wasilah kepada salah satu perkara tersebut atau bahkan keduanya.

Karena adanya potensi keyakinan bahwa binatang yang diawetkan ini dipajang di rumah atau di kamar atau di tembok atau di tempat lain, menjadi sebab terjaganya rumah dari keburukan-keburukan. Atau menjadi sarana yang membawa kepada dipajangnya gambar atau patung makhluk bernyawa.

Karena ketika ada orang yang melihat binatang yang diawetkan tersebut, ia akan berkata, “si Fulan memajang patung di rumahnya.” Sehingga yang dilakukan si Fulan itu menjadi contoh yang ditiru oleh orang lain. Maka yang kami pandang dan kami fatwakan adalah terlarangnya perbuatan ini.

Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/6066

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66482-hukum-memajang-hewan-yang-diawetkan-di-rumah.html