Antara Bisikan Hati dan Keinginan Hati

PERTAMA, hadiitsun nafs (bisikan hati) itu tidak dikatakan sebagai al hamm (keinginan) dan bukan juga azimah (tekad). Ia hanyalah bisikan di dalam hati antara ingin melakukan atau tidak ingin melakukan.

Dan sekadar bisikan hati itu dimaafkan. Karena setan tiada henti membisikkan kepada hati manusia untuk melakukan dosa besar dan kemurtadan. Andai bisikan hati itu teranggap, maka ini adalah bentuk pembebanan yang tidak mungkin bisa dipikul oleh manusia.

“Sungguh Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.”

Sedangkan al hamm (keinginan) adalah tahap selanjutnya setelah bisikan hati. Yaitu setelah seseorang hatinya berbisik lalu ia menetapkan sebuah al hamm (keinginan) atau al azimah (tekad). Inilah yang bisa dikenai sanksi jika ia tidak meninggalkan keinginan untuk melakukan hal diharamkan oleh Allah.

Jika seseorang mengurungkan keinginannya untuk melakukan hal yang diharamkan, ia pun diberi pahala yang sempurna. Sebab ia mengurungkan keinginannya itu karena takut dan ikhlash kepada Allah Azza Wa Jalla-. Maka ia pun mendapat pahala yang sempurna.

Oleh karena itu, sudah semestinya kita membedakan antara bisikan hati dan keinginan hati. Adapun tentang firman Allah Taala mengenai Masjidil Haram:

“Barangsiapa berada di dalamnya lalu ia menginginkan untuk menyimpang bersama kezaliman, Allah akan menimpakan kepadanya azab yang pedih.”

Maksudnya adalah, barangsiapa yang memiliki al hamm (keinginan) yang kuat untuk melakukan sebuah penyimpangan, yaitu berupa maksiat yang nyata, maka Allah akan menimpakan azab yang pedih.

Sudah semestinya kita bedakan dua hal ini, karena Allah Taala berfirman:

“Wahai orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, Ia akan jadikan bagi kalian pembeda dan mengampuni dosa-dosa kalian.”

Allah Taala menamai Alquran sebagai Al Furqan (Pembeda) karena Alquran membedakan banyak hal, membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara manfaat dan bahaya, antara mumin dan kafir, antara hak Allah dan hak hamba, dan hal-hal yang lain yang terdapat perbedaan. Demikian.

[Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin]

Tujuh Tanda Kebahagiaan Hidup di Dunia

IBNU Abbas mengatakan ada tujuh tanda-tanda kebahagiaan hidup di dunia:

1) Qalbun Syakirun

Hati yang selalu bersyukur, artinya selalu menerima apa adanya (Qana’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur.

2) Al-Azwajus Shalihah

Pasangan hidup yang saleh, akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sakinah.

3) Al-Auladul Abrar

Anak yang saleh. Doa anak saleh kepada orangtuanya dijamin dikabulkan Allah, berbahagialah orangtua yang memiliki anak saleh.

4) Al-Baitus Shalihah

Lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang saleh yang selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan bila kita salah

5) Al-Maalul Halal

Harta yang halal. Bukan banyak harta, tapi harta yang dimiliki mubah atau bahkan haram wal ‘iadu billah. Harta yang halal akan menjauhkan setan dari hati. Hati menjadi suci, bersih dan kokoh. Sehingga memberikan ketenangan dalam hidup.

6). Tafaquh fid-dien

Semangat untuk memahami agama. Dengan belajar ilmu agama, semakin cinta kepada agama, semakin tinggi cinta kepada Allah dan Rasulullah. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hati.

7). Umur yang barokah

Makin tua makin saleh. Setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Makin tua makin rindu untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Inilah semangat hidup orang-orang yang barokah umurnya.

Semoga Allah memudahkan kita dalam perjuangan besar untuk memiliki tujuh indikator kebahagian yang disebut Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha di atas. Aamiin Ya Allah.

INILAH MOZAIK

Lihat Rasulullah Shalat, Thufail Pun Berikrar Syahadat

Kisah berikut ini menggambarkan luhurnya akhlak Rasulullah SAW yang membalas keburukan dengan kebaikan. Tidak ada dendam di hati Baginda Rasul. Ini tampak saat Thufail bin Amr, pemimpin suku ad-Dausy, sebagaimana uraian H Andi Bastoni dalam buku 101 Sahabat Nabi, berkonsultasi tentang kondisi kaumnya yang menolak dakwah.

Sebelum pulang ke kampung halamannya setelah sebelumnya belajar langsung kepada Rasul tentang Islam dan berikrar syahadat, Thufail menemui Rasulullah sekali lagi untuk meminta restu.

“Wahai, Rasulullah. Kaumku begitu patuh kepadaku sebagai pemimpinnya. Aku akan kembali kepada mereka dalam waktu dekat ini. Aku hendak mengajak mereka semua untuk memeluk Islam. Aku meminta engkau berdoa kepada Allah agar Dia memberikan kepadaku kekuatan,”pinta Thufail. Nabi Muhammad pun berdoa dan menasihati pemuka suku ad-Dausy itu.

Thufail bin Amr ad-Dausy tiba di Tanah Airnya. Awalnya, Thufail mengabarkan dan mengajak orang tua dan istrinya. Mereka menerima Islam dengan sepenuh hati. Akan tetapi, kaumnya tidak langsung mendengarkan dakwahnya. Hanya Abu Hurairah, kelak menjadi perawi hadis Nabi, yang lekas menjadi Muslim.

“Selang waktu kemudian, Thufail bin Amr bertamu ke rumah Rasulullah. Kali ini, ia ditemani Abu Hurairah. Bagaimana perkembangan dakwahmu, Thufail bin Amr? tanya Nabi Muhammad.

“Kebanyakan kaumku masih tertutup mata hatinya untuk menerima Islam. Sungguh kaumku masih sesat dan durhaka,” keluh Thufail.

Rasulullah kemudian meminta waktu sebentar. Setelah mengambil wudhu, beliau masuk ke dalam kamarnya. Samar-samar terdengar, Rasulullah rupanya sedang melaksanakan shalat.

Awalnya, Abu Hurairah cemas lantaran mengira Rasulullah berdoa agar Allah menurunkan azab atas kaum ad-Dausy. Ternyata, sebaliknya, Rasulullah mendoakan kebaikan dan meminta kepada Allah agar membuka pintu hidayah bagi mereka. Usai itu, Rasulullah SAW menyuruh Thufail kembali kepada kaumnya.

Begitu sampai, Thufail mendapati sikap mereka berubah. Kini, mereka rela mengikuti jejak pemimpinnya untuk menjadi Muslim. Thufail bersyukur kepada Allah atas hidayah yang meliputi segenap penduduk Tihamah. Thufail tetap berada di tengah kaumnya sejak saat itu hingga tiba masanya Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

Beberapa waktu lamanya, kabar adanya Perang Uhud sampai juga ke Tihamah. Thufail berkeinginan agar ia dan kaumnya dapat ikut membantu pasukan Muslim Madinah. Menjelang Perang Khandaq, Thufail dan sebanyak 80 keluarga Muslim Tihamah datang menghadap Rasulullah.

Kedatangan mereka disambut gembira oleh Nabi. Sebelum berangkat ke medan perang, Rasulullah menyertakan kabilah ad-Dausy itu di sisi kanan pasukan Muslim. Kompi yang dipimpin Thufail bin Amr ini bernama Mabrur.

Sejak peristiwa itu, Thufail selalu setia mendampingi perjuangan Nabi Muhammad. Perlahan tapi pasti, kekuatan Muslim Madinah sudah begitu kokoh. Sebaliknya, kaum musyrik Makkah kian lemah. Rasulullah akhirnya memimpin gelombang umat Islam dari Madinah dan sekutunya menuju Makkah untuk membebaskan kota kelahiran Nabi itu dari kekuasaan musyrikin.

Masih dalam suasana penaklukkan Makkah, Thufail bin Amr meminta izin kepada Rasulullah SAW. Dia ingin pergi ke Dzil Kafain dan menghancurkan berhala-berhala yang tersisa di sana. Dzil Ka fain masih termasuk wilayah kekuasaan Kabilah ad-Dausy.

Atas izin Rasulullah SAW, Thufail berangkat ke Dzil Kafain dengan menyertakan satu regu pasukan dari kabilahnya sendiri. Rupanya, masyarakat setempat tidak memberikan perlawanan berarti. Mereka hanya mengancam Thufail dan rombongannya akan takhayul, yakni bilamana berhala-berhala itu dihancurkan, akan turun halilintar dari langit. Tentu saja, Thufail tidak gentar sedikit pun.

Sebelum membakar berhala-berhala kaum Dzil Kafain, Thufail bin Amr menyeru agar disimak seluruh Dzil Kafain, Kelahiran kami lebih dahulu daripada keberadaan kalian (berhala-berhala). Inilah aku, akan menyulut api kepada kalian!

Nyatanya, berhala-berhala tersebut musnah dilalap api. Tidak ada satu bencana pun yang turun dari langit ataupun bumi. Orang-orang Dzil Kafain berbondong-bondong masuk Islam setelah menyadari kebodohan takhayul jahiliyah itu. Seluruh penduduk wilayah ad-Dausy kini menjadi Muslim.

Ketertarikan Thufail terhadap ajaran Islam, berawal saat dia melihat Rasulullah menunaikan shalat. Propaganda miring pemuka Quraisy saat itu, tidak mampu menahan Thufail mengetahui lebih mendalam tentang agama ini.

Selama di Makkah, Thufail bin Amr ad-Dausy mendapatkan perlakuan sebagai tamu istimewa. Thufail menerimanya sebagai penerimaan yang wajar dari para bangsawan yang juga rekan dagangnya. Namun, di balik itu semua pemuka musyrikin Quraisy ini ingin menjauhkan sosok penting suku ad- Dausy tersebut dari pengaruh Islam.

“Wahai, Thufail. Kami sangat gembira Anda datang ke negeri kami walaupun negeri kami sedang dilanda kemelut, kata seorang pemimpin Quraisy. Ada apa sesungguhnya? tanya Thufail keheranan.

“Orang yang mendakwahkan diri sebagai nabi itu, Muhammad, telah merusak agama kita, kerukunan, dan persatuan di tengah-tengah kita. Kami sangat cemas bila dia juga akan merusak Anda. Karena Anda seorang pemimpin, pengaruhnya pun dapat sampai ke kaum Anda. Bisa-bisa terjadilah apa yang kami alami sekarang ini,”jawab orang itu.

“Oleh karena itu, Anda jangan mendekati Muhammad. Jangan berbicara dengan nya. Jangan pernah mendengarkan kata-katanya. Kalau dia berbicara, kata-katanya itu bagaikan sihir yang memperdaya. Kata-katanya dapat membuat seorang anak benci kepada bapaknya, seorang suami menceraikan istrinya, atau merenggangkan hubungan saudara,” sambung tokoh Quraisy yang lain.

Mereka pun mengarang cerita-cerita buruk mengenai Nabi Muhammad di hadapan Thufail bin Amr ad-Dausy. Bahkan, mereka memutarbalikkan fakta sehing ga tampak kaum Muslim sebagai ancaman dan para pemuka musyrikin bagaikan korban. Tujuannya jelas agar sosok yang berpengaruh besar seperti Thufail menjauh dari dakwah Rasulullah.

Thufail menganggap anjuran para tokoh Quraisy itu tidak begitu serius. Dia memang sudah mengetahui siapa itu Muhammad. Namun, baginya, dakwah Muhammad hanyalah urusan dalam negeri Makkah.

Keesokan harinya, Thufail berkunjung ke Ka’bah untuk melakukan thawaf. Begitu ia memasuki masjid, dia mendapati Nabi Muhammad sedang melaksanakan shalat. Gerakan-gerakan shalat Nabi itu mengherankannya. Sebab, Thufail belum pernah menyaksikan ibadah semacam itu sebelumnya. Rasa heran menjadi takjub ketika Thufail mendengarkan bacaan, ayat-ayat suci Alquran, dari lisan Rasulullah SAW.

Thufail bin Amr ad-Dausy tidak dapat memadamkan rasa ingin tahu. Dalam benaknya, Thufail bersumpah untuk dapat memilah. Apa-apa yang menurutnya buruk dari Muhammad akan diambil, sedangkan yang buruk akan ditolaknya. Setelah Rasulullah usai dengan shalatnya dan pergi, Thufail membuntuti hingga ke kediamannya. Dia kemudian mengetuk pintu rumah Rasulullah SAW.

Salamnya berbalas suara Rasulullah yang ramah dan memintanya untuk masuk. “Wahai, Muhammad. Sesungguhnya kaum Anda berkata tentang Anda sebagai orang yang ini-itu. Mereka menakut-nakutiku, menyebut buruk agama Anda. Aku sempat memalingkan diri dari Anda, tidak mau mendengar apa pun dari lisan Anda. Tetapi, Allah ternyata berkehendak lain. Aku menilai kata-kata Anda dalam ibadah tadi bagus dan baik. Ajarkanlah kepadaku agama Anda itu, kata Thufail membuka perbincangan.

Rasulullah pun menjabarkan Islam dan Alquran. Beliau juga membacakan kepada Thufail surah al-Ikhlas dan al- Falaq, serta menjelaskan makna keduanya. Tidak membutuhkan waktu lama, pe mimpin suku ad-Dausy itu pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak saat itu, Thufail menjadi seorang Muslim.

Dia pun menunda kepulangannya ke Tihamah untuk beberapa hari lamanya. Dia ingin menghafal ayat-ayat Alquran yang Rasulullah ajarkan kepadanya. Selain itu, ia ingin memperlancar ibadah shalat dan mendalami pengetahuan tentang Islam.

Syahid di Medan Perang

Ketaatan Thufail bin Amr ad-Dausy terhadap Islam masih menguat meskipun Rasulullah sudah wafat. Hal ini dibuktikan dengan kontribusinya dalam memerangi kaum murtad. Di bawah pimpinan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Thufail dan pasukannya bergabung dengan kekuatan Muslim untuk menumpaskan sang nabi palsu, Musailamah al-Kadzdzab.

Takdir Allah atas diri Thufail bin Amr ad- Dausy. Sebelum sampai di Yamamah, lokasi pusat kekuasaan Musailamah, Thufail mengalami mimpi saat tidur malam. Dia merasa, mimpinya ini penuh tanda-tanda yang dapat ditafsirkan.

Dalam mimpinya, Thufail melihat kepalanya dicukur. Seekor burung keluar melalui mulutnya. Kemudian, seorang perempuan datang dan memasukkan Thufail ke dalam perutnya. Amr bin Thufail, anaknya, meminta agar dapat ikut masuk ke dalam perut perempuan itu. Namun, dia tidak dapat berbuat apa-apa karena ada dinding pembatas yang muncul.

Tafsir mimpi ini adalah bahwa tidak lama lagi Thufail bin Amr akan menemui ajalnya dalam peperangan. Burung ibaratnya nyawa yang keluar dari tubuh Thufail. Perempuan yang memasukkan Thufail ke dalam perutnya adalah tanah yang akan mengandung jasad Thufail sebagai syahid. Adapun anaknya, Amr, berharap juga dapat mati syahid, tetapi harapan ini tidak terwujud di peperangan yang sama.

Pada faktanya, Thufail bin Amr gugur sebagai pahlawan Muslim dalam perang melawan pasukan Musailamah sang nabi palsu. Adapun putranya, Amr, mengalami luka-luka yang cukup parah, yakni tangannya putus karena ditebas pedang. Jasad Thufail bin Amr dimakamkan di lokasi pertempuran.

Sejarah mencatat, anaknya Thu fail bin Amr juga ikut menjadi syuhada di ajang yang terjadi kemudian, Perang Yarmuk. Allah telah memberikan rahmat-Nya kepa da bapak dan anak itu.

BPIH Tahun 2019 Kemungkinan Naik

Kementerian Agama (Kemenag) khususnya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) sedang persiapan pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). BPIH diperkirakan naik karena biaya penerbangan dan akomodasi terpengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar dan riyal.

“Kemungkinan ada (kenaikan BPIH), yang jelas dari indikator-indikator makro ekonomi jelas pasti naik,” kata Direktur Pengelolaan Dana Haji dari Dirjen PHU Kemenag Maman Saefullah kepada Republika.co.id, Kamis (8/11).

Maman mengatakan, sekarang nilai tukar rupiah terhadap dolar Rp 15 ribu. Sedangkan, tahun lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar rata-rata Rp 14 ribu. Kondisi ini akan mepengaruhi biaya penerbangan karena memengaruhi harga avtur (bahan bakar pesawat terbang). Tapi, jangan sampai direct cost yang dibebankan kepada jamaah terlalu tinggi.

Ia juga menyampaikan, nilai tukar rupiah terhadap riyal sekarang berubah, dulu 1 riyal sama dengan Rp 3.500, sekarang sudah Rp 4.050. Tentu hal ini akan berpengaruh terhadap biaya akomodasi, seperti biaya untuk penginapan jamah haji. Jadi, BPIH masih dalam tahap penjajakan angka-angka. “Masih belum ketemu angkanya, masih dikoordinasikan dulu, kalau dolar naik biaya penerbangan terpengaruh,” ujarnya.

Maman menjelaskan, dana optimalisasi dari BPKH juga belum maksimal karena baru tahun ini BPKH mulai bekerja. Jadi, keuntungan hasil kerja BPKH belum maksimal. Meski demikian, menurutnya, kenaikan BPIH tergantung keputusan DPR RI. DPR RI bisa saja menekan agar dana optimalisasi bisa ditingkatkan.

Rencananya, pembahasan BPIH dilaksanakan pada 26 November 2018. Diharapkan, pertengahan Desember tahun ini BPIH sudah ditetapkan Presiden. Pembahasan BPIH tahun ini dipercepat agar pembahasannya lebih matang dan intens. “Kemarin baru penyusunan pagu indikatif, seluruh Kantor Wilayah Kemenag, UPT Asrama Haji, dan direktur-direktur telah mengusulkan, intinya direktur-direktur mengusulkan inovasi pelayanan di luar negeri,” jelas Maman.

Kuliah Merakyat Khoirizi: Yuk Dakwah Haji

Ciawi (PHU)–Musim haji telah usai, bukan berarti persiapan penyelenggaraan terhenti, justru sebaliknya dilakukan lebih dini. Bahkan, jemaah haji yang telah kembali ke Tanah Air dilakukan pembekalan untuk berperan dalam kesalehan sosial.

Menyinggung soal jemaah paska haji, Direktur Bina Haji Kementerian Agama (Kemenag) Khoirizi menyampaikan hal penting. Pertama, menjaga kemabruran haji untuk diri sendiri. Kedua, menjaga kemabruran haji untuk sosial. Ketiga, menjaga kemabruran haji dalam informasi.

“Jemaah haji diharapkan mampu menjadi agen informasi tentang perhajian. Baik pada keluarga, tetangga, sanak, kerabat dan saudara. Ini bagian dari dakwah tentang haji. Yuk dakwah haji,” himbau Khoirizi saat memberikan kuliah merakyatnya pada para jemaah paska haji di Wisma Ciawi Bogor, Rabu (07/11).

Tahun ini dan boleh jadi tahun-tahun mendatang masyarakat dihadapkan pada sentimen-sentimen negatif melalui info yang kurang bertanggungjawab, hoaks misalnya.

“Hoaks tentang perhajian juga terjadi. Penting bagi kita sebagai jemaah haji, jemaah paska haji, umat Islam dan publik secara umum untuk bertabayyun,” ujar putra  hafiz Alquran ini.

Khoirizi juga menekankan agar bertanya tentang haji pada orang yang tepat. Agar hoaks tak menjadi fitnah dan merugikan bukan hanya bagi negara, Kementerian Agama, namun juga pada Islam itu sendiri.

“Tanyalah pada pegawai Kepala Kantor Kementerian Agama, pada Majelis Ulama Indonesia, pada pembimbing haji yang sudah bersertifikat, pada KUA, Penyuluh Agama Islam domisili dan lainnya,” ungkapnya.

Sebelum mengakhiri kuliah merakyatnya, Khorizi berpesan bahwa musuh haji terbesar saat ini adalah penyempitan arus informasi atau distorsi dan enggan bertanya. “Jadilah agen dakwah haji,” tutupnya.

Hadir dalam kuliah haji merakyat para alim, ulama, ustaz, dai, pembimbing haji, penyuluh haji dan Kasi Haji Kemenag Kabupaten Bogor Syamsudin sebagai penggagas acara.(ar/ha)

KEMENAG RI

Bolehkah Wanita Ikut Shalat Jumat?

Di beberapa negeri Muslim dan Timur Tengah, beberapa masjid menyediakan fasilitas ruangan khusus bagi wanita yang ingin menunaikan shalat Jumat. Seperti Masjid Al Azhar dan masjid-masjid besar di Kairo Mesir yang menempatkan kaum wanita di lantai dua. Demikian juga di Masjidil Haram, Makkah.

Ada zona khusus yang disediakan untuk wanita yang ikut shalat Jumat. Hal seperti ini dirasa masih asing di tanah air. Bagaimanakah kedudukan wanita yang ikut shalat Jumat tersebut? Secara spesifik, tidak ada dalil yang melarang kaum wanita untuk ikut menunaikan shalat Jumat.

Kaum wanita tidak dibebani kewajiban shalat Jumat. Namun, bagi mereka yang ingin ikut, tidak ada pula nash yang melarangnya. Hal ini berdalil dari hadis Rasulullah SAW, “Shalat Jumat itu fardhu (wajib) bagi setiap Muslim, kecuali empat golongan; orang sakit, hamba sahaya, orang musafir, dan wanita.” (HR Bukhari).

Beberapa ulama di Arab Saudi dan Timur Tengah menyarankan kaum wanita untuk tidak ikut shalat berjamaah di Masjid. Apalagi, ikut shalat Jumat yang fitnahnya tentu lebih besar dibanding shalat berjamaah biasa. Namun, hal ini hanya sebatas saran dan tidak masuk ke ranah hukum.

Hal ini berdalil dari hadis Rasulullah SAW, “Shalatnya salah seorang dari kalian (wanita) di makhda’ (kamar khusus yang dipergunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan, shalat di kamarnya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan, shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya. Dan, shalat di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku (di masjid).” (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).

Mufti Arab Saudi, Syekh Ibnu Al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa pernah ditanya, manakah yang lebih afdhal bagi wanita untuk shalat di rumah atau di Majidil Haram. Sebagaimana diketahui, fadhilah shalat di Masjidil Haram sangatlah besar, yaitu 100 ribu kali lipat shalat di masjid biasa. Berdalil dari hadis tersebut, Al-Utsaimin tetap mengatakan, shalat wanita di rumah tetap lebih afdhal dibanding shalat di Masjidil Haram sekalipun.

Adapun zona khusus wanita yang tersedia di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, menurut Al- Utsaimin, sebenarnya bagi wanita musafir yang tengah menjalankan haji atau umrah. Mereka boleh mengikuti shalat berjamaah dan shalat Jumat karena memang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Akan tetapi, lebih disukai bagi mereka untuk menunaikan shalat di rumah saja.

Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syahr al- Muhadzdzab (4/495) mengatakan, kaum wanita yang difasilitasi menunaikan shalat Jumat dan mereka ikut menunaikannya maka shalat mereka pun dipandang sah sebagaimana shalat kaum lelaki. Mereka tidak perlu pula mengulang shalat Zhuhur. Pendapat ini dipakai seluruh mazhab dan mayoritas para ulama. Lajnah Daimah (Komisi Fatwa) Arab Saudi juga pernah mengeluarkan fatwa senada.

Ulama Mesir Syekh Musthafa al-Adawi juga menegaskan kebolehan shalat Jumat bagi kaum wanita. Ia mengatakan, jika ada wanita yang turut melaksanakan shalat Jumat bersama kaum laki-laki maka yang demikian sudah mencukupi (kewajiban shalat Zhuhurnya). Sehingga, tidak perlu lagi mereka melaksanakan shalat Zhuhur.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/341) mengatakan, sebenarnya asal hukum wajib shalat Jumat adalah sama antara laki-laki dan wanita. Gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi wanita sama dengan hukum orang yang sakit. Jika laki-laki yang sakit memaksakan diri untuk tetap berangkat shalat Jumat maka shalatnya sah. Demikian pula bagi wanita yang ikut shalat Jumat.

Dalam Fatwa al-Mar’ah al-Muslimah terbitan Darul Ibnu al-Haitsam (112) disebutkan, shalat Jumat yang dipandang sah bagi kaum wanita jika mereka ikut menunaikannya di masjid bersama jamaah laki-laki lainnya. Tempat mereka harus terpisah dari laki-laki dan memang disediakan khusus untuk mereka. Tidak sah jika shalat Jumat tersebut mereka lakukan di rumah. Jika di rumah, wanita tetap melakukan shalat Zhuhur sebagaimana biasa.

Persoalan ini juga pernah dibahas di masa Sahabat Nabi dan Tabi’in. Abdurrazaq dalam Mushannaf (3/146) dengan riwayat dan sanad yang shahih dari Ibnu Juraij pernah berkisah tentang persoalan ini. Ibnu Juraij pernah menceritakan kepadanya kalau ia pernah bertanya kepada Atha’ tentang perempuan yang ingin ikut shalat Jumat. “Bila dia (wanita itu) ingin menghadirinya maka tidak apa-apa, dan bila tidak menghadirinya juga tidak apa-apa,” jawab Atha’ atas pertanyaan Ibnu Juraij.

Bolehnya kaum wanita mengikuti shalat Jumat sangat membantu mereka yang tengah bermusafir. Jika sebuah keluarga bermusafir di hari Jumat, biasanya hanya kaum laki-laki saja yang pergi menunaikan shalat Jumat. Kaum wanita yang ikut bersamanya hanya menunggu di mobil atau di tempat istirahat.

Setelah kaum lelaki selesai menunaikan shalat Jumat, barulah kaum wanita menunaikan shalat Zhuhur. Hal ini tidaklah salah. Namun sebenarnya, kaum wanita bisa juga memilih untuk ikut shalat Jumat jika pengurus masjid memfasilitasi tempat untuk mereka.

Perkara kaum wanita yang ikut shalat Jumat sebenarnya sudah ada di zaman Rasulullah SAW. Hasan al-Bashri mengatakan, di zaman Ra sulullah, para sahabiyah dari golongan muhajirin ikut menunaikan shalat Jumat bersama Rasulullah SAW. Mereka mengikuti ritual shalat Jumat sebagaimana kaum lelaki dan tidak perlu lagi melakukan shalat Zhuhur setelahnya.

Keberkahan di Waktu Pagi

Di suatu masjid seperti biasa selepas shalat shubuh, seorang pemuda duduk di masjid sambil menunggu matahari terbit. Dia bukan hanya sekedar duduk santai ketika itu, tetapi dia membuka beberapa lembaran Al Qur’an yang telah dihafalnya dan dia mengulang-ulang untuk menguatkan dalam hatinya.

Setelah itu, dia tidak lupa berdzikir dengan bacaan dzikir yang telah dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika pagi. Namun, ada suatu kondisi yang berkebalikan. Di belakang dia terdapat seorang pemuda juga yang sebaya dengannya.

Ketika sehabis shalat shubuh dan membaca dzikir setelah shalat, pemuda yang kedua ini malah mengambil tempat di belakang. Sambil bersandar di dinding dan akhirnya perlahan-lahan kepalanya tertunduk kemudian tertidur pulas hingga matahari terbit.

 

Inilah sebagian kondisi kaum muslimin saat ini. Sehabis shalat shubuh di masjid, sebagian di antara kita ada yang memanfaatkan waktu pagi karena dia mengetahui keutamaan di dalamnya. Ada pula yang tertidur pulas karena telah dipengaruhi rayuan setan dan tidak mampu mengalahkannya.

Perlu kita ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu yang sangat utama dan penuh berkah.

Tulisan berikut akan sedikit mengupas mengenai keutamaan waktu pagi dan bagaimana memanfaatkannya. Semoga Allah selalu memberi kita taufik untuk mengamalkan setiap ilmu yang telah kita peroleh.

SAUDARAKU, KETAHUILAH KEUTAMAAN WAKTU PAGI

[Pertama] Waktu Pagi adalah Waktu yang Penuh Berkah

Waktu yang berkah adalah waktu yang penuh kebaikan. Waktu pagi telah dido’akan khusus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai waktu yang berkah.
Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”

Apabila Nabi shallallahu mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri (yang meriwayatkan hadits ini, pen) adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta. Abu Daud mengatakan bahwa dia adalah Shokhr bin Wada’ah. (HR. Abu Daud no. 2606. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)

Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits ini tidak menunjukkan bahwa selain waktu pagi adalah waktu yang tidak diberkahi. Sesuatu yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada waktu tertentu) adalah waktu yang berkah dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik uswah (suri teladan) bagi umatnya. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu yang lainnya karena pada waktu pagi tersebut adalah waktu yang biasa digunakan manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.” (Syarhul Bukhari Libni Baththol, 9/163, Maktabah Syamilah)

[Kedua] Waktu Pagi adalah Waktu Semangat Untuk Beramal

Dalam Shohih Bukhari terdapat suatu riwayat dari sahabat Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam. (HR. Bukhari no. 39. Lihat penjelasan hadits ini di Fathul Bari)

Yang dimaksud ‘al ghodwah’ dalam hadits ini adalah perjalanan di awal siang. Al Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud ‘al ghodwah’ adalah waktu antara shalat fajar hingga terbitnya matahari. (Lihat Fathul Bari 1/62, Maktabah Syamilah)

Inilah tiga waktu yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagai waktu semangat (fit) untuk beramal.

Syaikh Abdurrahmanbin bin Nashir As Sa’di mengatakan bahwa inilah tiga waktu utama untuk melakukan safar (perjalanan) yaitu perjalanan fisik baik jauh ataupun dekat. Juga untuk melakukan perjalanan ukhrowi (untuk melakukan amalan akhirat). (Lihat Bahjah Qulubil Abror, hal. 67, Maktbah ‘Abdul Mushowir Muhammad Abdullah)

BAGAIMANA KEBIASAAN ORANG SHOLIH DI PAGI HARI?

[1] Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan tidak beranjak dari tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid’. Dalam bab tersebut terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in –Simak bin Harb-. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh,

أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Apakah engkau sering menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?”

Jabir menjawab,

نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.

Iya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum saja.” (HR. Muslim no. 670)

An Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran berdzikir setelah shubuh dan mengontinukan duduk di tempat shalat jika tidak memiliki udzur (halangan).

Al Qadhi mengatakan bahwa inilah sunnah yang biasa dilakukan oleh salaf dan para ulama. Mereka biasa memanfaatkan waktu tersebut untuk berdzikir dan berdo’a hingga terbit matahari.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/29, Maktabah Syamilah)

[2] Kebiasaan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

Dari Abu Wa’il, dia berkata, “Pada suatu pagi kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud  selepas kami melaksanakan shalat shubuh. Kemudian kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu. Lalu keluarlah budaknya sembari berkata,  “Mari silakan masuk.” Kemudian kami masuk sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir.

Ibnu Mas’ud lantas berkata,  “Apa yang menghalangi kalian padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?”

Lalu kami menjawab, “Tidak, kami mengira bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.”
Ibnu Mas’ud lantas bekata,  “Apakah kalian mengira bahwa keluargaku telah lalai?”
Kemudian Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga dia mengira bahwa matahari telah terbit. Lantas beliau memanggil budaknya,  “Wahai budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.” Si budak tadi kemudian melihat  ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya. Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau kembali memanggil budaknya sembari berkata,  “Lihatlah apakah matahari telah terbit.” Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا

“Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami berdzikir pada pagi hari ini.” (HR. Muslim no. 822)

[3] Keadaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Pagi Hari

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah orang yang gemar beribadah dan bukanlah orang yang kelihatan bengis sebagaimana anggapan sebagian orang. Kita dapat melihat aktivitas beliau di pagi hari sebagaimana dikisahkan oleh muridnya –Ibnu Qayyim Al Jauziyah.-

Ketika menjelaskan faedah dzikir bahwa dzikir dapat menguatkan hati dan ruh, Ibnul Qayim mengatakan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu saat shalat shubuh. Kemudian (setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.” (Al Wabilush Shoyib min Kalamith Thoyib, hal.63, Maktabah Syamilah)

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/36-semangat-di-waktu-pagi-yang-penuh-berkah.html

Hai Jiwa yang Tenang, Kembalilah Pada Tuhanmu (2)

DARI beragam bentuk nafs yang disebutkan oleh Alquran itu, kita berharap memiliki bentuk nafs yang paling tinggi dan paling mulia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang.

Dalam kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, Al-Baghdadi menjelaskan bahaw makna al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tetap pada keimanan dan keyakinan, membenarkan firman Allah, meyakini bahaw Allah adalah Tuhannya, tunduk serta taat kepada perintah Allah, rida dengan ketetapan (qadla) serta takdir (qadar) Allah, yang selalu tenang dan damai dengan terus berzikir kepada Allah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar agar jiwa kita bisa mencapai tingkat tertinggi, yakni jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah)?

Dalam pandangan penulis, setidaknya ada dua faktor yang menentukan seseorang untuk dapat mencapai tingkat kualitas jiwa tertinggi (al-nafs al-muthmainnah), yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.

Pertama, faktor internal, yaitu berasal dari dalam diri seseorang. Dalam setiap diri manusia itu ada yang paling menentukan segala tindakan serta tingkah lakunya. Dia adalah hati. Hati yang dalam bahasa Arab disebut qalb (yang mudah terbolak-balik) adalah penentu segala aktivitas kita. Jika hati kita selalu mengingat Allah, maka perilaku kita akan selalu menghasilkan hal positif, dan jiwa kita pun menjadi tenang. Tetapi sebaliknya, jika hati cenderung lalai kepada Allah, maka perilaku kita akan menghasilkan hal negatif, dan jiwa kita akan gelisah.

Kedua, faktor eksternal, yaitu berasal dari luar diri kita berupa hidayah yang datang dari Allah Swt. Hidayah atau petunjuk Allah akan datang kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Meski demikian, bukan berarti manusia tidak punya peran dalam hal ini. Kita harus terus berusaha untuk menjemputnya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjemput hidayat tersebut, maka insya Allah hidayah pun akan datang kepada kita. Dengan datangnya hidayah ini, maka hati kita akan tetap terjaga. Dengan demikian, jiwa pun menjadi tenang.

Semoga kita termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang kelak disambut dengan panggilan mesra: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”

[Didi Junaedi]/selesai.

INILAH MOZAIK

Hai Jiwa yang Tenang, Kembalilah Pada Tuhanmu (1)

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diradai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

Wahai jiwa yang telah yakin pada kebenaran, tidak diliputi keraguan, tetap pada aturan syariat, tidak tergoda dengan syahwat (nafsu duniawi), serta tidak tergoyahkan dengan keinginan semu, kembalilah pada tempat yang mulia di sisi Tuhanmu, yang telah rida dengan segala amalmu ketika di dunia, keridaan atasmu…maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang mulia, tempuhlah jalan mereka…maka nikmatilah segala yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, terdetik dalam hati. Demikian penjelasan Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, Al-Maraghi, ketika menafsirkan rangkaian ayat di atas.

Di dalam Alquran, kata yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna jiwa adalah kata ‘nafs’. Secara eksplisit, Alquran menyebut tiga jenis nafs, yaitu: 1) al-nafs al-muthmainnah, terdapat dalam QS. Al-Fajr [89]: 27; 2) al-nafs al-lawwamah, terdapat dalam QS. Al-Qiyamah [75]: 2; 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’, terdapat dalam QS. Yusuf [12]: 53.

Selain ketiga jenis nafs di atas, Alquran juga menyebut istilah nafs zakiyyah, seperti terdapat dalam QS. Al-Kahfi [18]: 74.

Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya, Jiwa dakan Alquran, dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya maha suci (zakiyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespons secara positif terhadap lingkungan hidupnya, maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs muthmainnah, setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkat nafs lawwamah. Akan tetapi, jika nafs itu merespons lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya. [Didi Junaedi]/bersambung…

INILAH MOZAIK

Belajar Adil dari Syuraih Al-Qadhi

Cerita tentang sikap adil dan bijaksana dari Syuraih al-Qadhi merupakan keteladanan yang mengabadi. Apalagi, di tengah-tengah krisis penegakan hukum di Indonesia.

Integritas seorang hakim adalah kunci utama demi terwujudnya keadilan. Syuraih, sosok sederhana itu, seperti dikisahkan oleh Dr Abdurrahman Rafa’at Basya dalam kitab  Shuwar min Hayati Tabi’in, telah memukau dan membuat takjub hati Amirul Mukminin, Umar bin Khathab RA.

Suatu ketika, Umar kecewa dengan kuda yang dibelinya dari seorang Arab Baduwi. Dan, sahabat Rasulullah SAW itu hendak mengembalikan kudanya kepada sang penjual. Proses jual beli antara Umar bin Khathab dan Arab Baduwi itu memang semula berjalan lancar. Masing-masing pihak telah sepakat. Pembeli menerima barang dan penjual menerima uang atas barang yang dijualnya.

Setelah Umar pergi dari lokasi transaksi kira-kira jaraknya belasan kilometer, ia merasakan ketidaknyamanan pada tunggangannya. Setelah dicek, ternyata terdapat luka memar pada bagian tubuh kuda sehingga membuat kuda itu berlari tidak maksimal.

Mengetahui hal itu, Umar balik kanan berniat untuk mengembalikan kuda yang telah dibelinya itu. Karena perjalanan sudah jauh, Umar memperlambat laju kudanya agar bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Setelah sampai di lokasi tempat transaksi, ?Umar mendapati penjual sedang merawat kuda-kuda lainnya yang hendak dijual juga. Umar menghampirinya dan berkata:

“Wahai putra Arab Baduwi, ambil kembali kudamu. Hewan ini cacat,” kata Umar.

Mendengar perkataan Umar, orang Arab Baduwi itu tersentak kaget melihat  Umar mendatangi dengan muka penuh kekecewaan. Namun demikian, tidak lantas membuat orang Arab Baduwi itu langsung menuruti kemauan Umar.

“Tidak, wahai Amirul Mukminin. Aku telah menjualnya padamu tanpa cacat dan semua syarat sudah sah,” jawabnya.

Hakim penengah

Mendengar penolakan itu, Umar tidak marah, ia menyarankan agar permasalahan ini meminta pendapat orang lain. Sehingga, keadilan dapat diterima semua pihak.  “Kita serahkan urusan ini pada hakim,” pinta Umar.

Orang Arab Baduwi itu pun mengiyakannnya. Dia mengajak Umar untuk menemui Syuraih bersama-sama. “Baik. Yang menghakimi kita adalah Syuraih bin Harits al-Qadhi,” katanya.

“Aku setuju dengan keputusanmu,” kata Umar meski dia belum mengetahui siapa itu Syuraih.

Setelah sampai di tempat Syuraih, penjual kuda menceritakan permasalahannya. Mulai dari awal transaksi sampai kembalinya Umar untuk mengembalikan kuda.

Tatkala Syuraih mendengar dakwaan si penjual kuda, ia menoleh pada Umar dan bertanya, “Apakah Anda membeli kuda darinya dalam keadaan sehat tanpa cacat, wahai Amirul Mukminin?”

“Ya!” jawab Umar dengan singkat.

“Jagalah apa yang Anda beli atau Anda kembalikan kudamu ke pemiliknya sebagaimana Anda membelinya,” kata Syuraih.

Mendengar perkataan Syuraih yang tegas dan lugas, Umar kaget dan kagum seorang manusia biasa yang jauh dari pusat kota memiliki bahasa yang tegas dan cerdas.

Umar memandang Syuraih dengan kagum sambil berkata, “Sebuah bahasa jelas dan keputusan adil. Pergilah ke Kufah. Aku mengangkatmu menjadi hakim di sana,” perintah Umar.

Sebelumnya, kebanyakan orang tak mengenal Syuraih sebagai orang terpandang. Orang juga tidak tahu tentang kecerdikannya. Ia tidak dikenal sebagai pemilik ide di kalangan sahabat dan pemuka tabiin.

Kasus Terselesaikan

Banyak kasus yang ia tangani berakhir dengan sangat menakjubkan tanpa ada perpecahan di antara banyak pihak. Pengalaman perselisihan juga dialami Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Alkisah, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. “Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’,” kata Ali.

“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.

“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”

“Di antara kita ada seorang hakim Muslim.”

“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”

Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”

“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”

Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”

“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”

“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”

“Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”

“Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

Tepat

Keputusan Umar untuk mengangkat Syuraih sebagai hakim di Kufah amat tepat. Tinta emas sejarah mencatatnya sebagai hakim adil dan bertakwa. Syuraih adalah seorang lelaki Yaman dari suku al-Kindi.

Saat Jazirah Arab disinari cahaya Islam dan menyebar hingga ke negeri Yaman, Syuraih termasuk orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasulnya. Bahkan, ia termasuk orang yang memenuhi panggilan dakwah Islam.

Syuraih menjalankan amanah dan menegakkan keadilan itu selama 60 tahun lamanya. Di depan peradilan, ia tak pernah mengistimewakan pejabat atau kerabatnya sendiri.

Pengangkatan Syuraih al-Qadhi sebagai hakim di Makkah tidaklah rumit, hanya merujuk pada kredibilitas, reputasi, dan integritas seseorang. Karena begitulah sistem pengangkatan seorang pejabat negara pada masa kekhalifahan Islam. Berbeda pengangkatan seorang pejabat negara seperti sekarang, perlu persyaratan administrasi yang melelahkan.