Impian Amerika di Tanah Suci

Ada yang lain dari Bahasa Inggris Aksen Amerika Serikat. Saat diucapkan, ada semacam urgensi dalam nadanya. Orang mudah menangkap kesan, yang berbicara ingin dunia bergerak semau mereka. Setidaknya, demikian yang keluar dari mulut Yusuf Ali (50 tahun) saat ditemui di Bandara King Abdulaziz, Jeddah.

Pria itu berkulit legam dengan postur yang masih gagah meski tak sedemikian jangkung. Ada sekutip rambut putih di kepalanya. Coklat warna matanya ditutupi kaca mata tebal. Pakaian ihram sudah ia kenakan itu hari.

C’mon, I need to go to Mecca right now,” kata dia pada petugas Arab Saudi yang kemudian hadir memberikan bantuan.

Paspor berwarna biru tua bersegel gambar keemasan elang yang menggenggam 13 busur panah ia kibas-kibaskan. Agaknya Yusuf Ali paham, itu lelayang adalah salah satu yang paling kuat di dunia.

Ia menunggu tak sabar angkutan menuju Makkah itu hari. Rencananya, ia hendak menggunakan taksi saja sebab tak ingin menunggu lama. Apa mau dikata tak ada layanan transportasi itu dari Bandara Jeddah ke Makkah. Di sini bukan New York atau Los Angeles, atau Minnesota tempatnya tinggal.

Istrinya, Su’ad Yusuf punya pembawaan yang lebih santai dan ceria. Senyum kerap terkembang di wajahnya yang sewarna kayu jati dengan mata berbinar-binar. Hari itu, ia mengenakan abaya hitam dengan hijab di kepala. Ia perempuan yang tinggi semampai, masih belum hilang kecantikan masa mudanya.

“Berapa lama lagi dari sini sampai Makkah?” tanya dia. Saat mengetahui jawabannya hanya sekitar sejam berkendara dari Jeddah, ia menunjukkan keterkejutan yang tulus dengan rahang terjatuh dan mulut terbuka seperti aktris-aktris di film-film Hollywood. “Wow,sudah sebegitu dekatkah!?” kata dia penuh semangat.

Ia kemudian berkisah panjang soal jalan panjang memutarnya menuju Tanah Suci. Dari tempat Su’ad lahir di Mogadishu, Somalia, ke Arab Saudi sedianya hanya perlu menempuh perjalanan melalui darat ke utara kemudian menyeberangi Laut Merah ke timur.

Meski begitu, perang sipil meletus di Somalia sejak akhir 1980-an dan memuncak pada awal 1990-an. Sedikitnya 300 ribu orang tewas dari perang yang sampai sekarang belum benar-benar selesai itu. Su’ad menuturkan, beberapa keluarga jauhnya ikut jadi korban. Mata Su’ad tiba-tiba sendu saat mengenang perang tersebut.

Bersama ratusan ribu warga Somalia saat itu, Su’ad dan Yusuf Ali terpaksa melarikan diri dari gelombang kekerasan pada 1992. Mengarungi Afrika menuju ujung barat benua itu kemudian terbang melintasi Samudera Atlantik sebagai pengungsi ke Amerika Serikat.

Di Negeri Paman Sam, seperti banyak pengungsi dari Somalia lainnya, Yusuf Ali dan Su’ad memilih Minnesota di bagian Midwestern yang lebih dekat ke wilayah utara Amerika Serikat untuk memulai hidup baru. Minnesota saat ini adalah wilayah dengan komunitas keturunan Somalia terbanyak di Amerika Serikat. Sekitar 80 ribu keturunan Somalia tercatat tinggal di wilayah itu pada 2016.

Su’ad kembali tercengang saat tahu bahwa panas di Padang Arafah nanti bisa mencapai 53 derajat celcius alias 127 fahrenheit merujuk hitungan suhu standar AS. “Berbeda sekali dengan Minnesota yang dinginnya minta ampun,” kata dia.

Di Minnesota, mereka perlahan mencari modal bekerja serabutan untuk memulai usaha dan akhirnya punya cukup biaya untuk hidup nyaman. Empat putra-putri mereka lahir di tanah asing tersebut.

Yang paling tua, kata Su’ad, seorang putra berusia 23 tahun dan yang paling muda 15 tahun. Biaya sekitar 8.000 dolar AS atau setara Rp 115 juta untuk bepergian ke Tanah Suci untuk masing-masing orang dari Minnesota tak lagi memberatkan buat pasangan suami istri tersebut.

Seperti saat meninggalkan Somalia lebih dua dekade lalu, Yusuf Ali dan Su’ad kembali menempuh perjalanan berdua saja. Mereka mulanya berangkat dengan rombongan yang difasilitasi agensi perjalanan, namun memilih memisahkan diri di Dubai untuk menemui saudara jauh sejenak.

Su’ad mengatakan, sangat senang bisa bertemu banyak Muslim lainnya di Tanah Suci. Ini lain dengan keadaan di Tanah Air barunya yang tak begitu menenangkan buat umat Islam dengan kebangkitan sentimen tempatan belakangan beserta sorotan negatif terhadap imigran.

Yusuf Ali mengiyakan, kondisi di sebagian wilayah Amerika Serikat saat ini bukan yang paling ideal untuk umat Islam dan para imigran. Kendati demikian, ia tak bisa memungkiri, terbukanya kesempatan menggapai “American Dream” di negara itu adalah juga yang mengantarkannya ke Tanah Suci tahun ini.

“Ini memang sudah lama jadi impian terbesar saya. Kalau tak untuk berhaji, saya tak akan susah payah ke sini,” kata dia. “Saya ingin ke sini lima kali lagi,” kata Su’ad menimpali setengah berkelakar. Bus mereka menuju Makkah akhirnya tiba. Petugas dari Saudi melambaikan tangan memanggil mereka berdua. Sembari tersenyum lebar, Su’ad menemani Yusuf Ali berjalan menuju impian mereka.

Oleh: Fitriyan Zamzami dari Jeddah, Arab Saudi

 

REPUBLIKA

Rahasia di Balik Multazam

ADA apa di balik multazam? Pertanyaan ini banyak ditanyakan para jemaah haji dan umrah. Multazam berasal dari bahasa Arab dan dari kata lazima-yalzamu yang berarti tetap, pasti, dan wajib. Kemudian membentuk kata multazam berarti sesuatu yang dimintai pertanggungjawaban.

Multazam sebagai nama sebuah tempat yang terletak antara Hajar Aswad dan pintu Kakbah dihubungkan dengan hadis Nabi yang mengatakan, “Multazam adalah tempat berdoa yang dikabulkan (mustajabah), tak seorang pun hamba Allah yang berdoa di tempat ini tanpa terkabulkan doanya”.

Disebut multazam karena seolah ada kepastian dan ketetapan, siapa pun yang bermohon di tempat itu, maka Allah akan mengijabah doa-doanya. Ada sejumlah hadis Nabi menjelaskan tentang hal ini.

Tidak heran jika para sahabat Nabi menjadikan tempat ini sebagai salah satu tepat khusus untuk berdoa.

Dalam suatu riwayat sebagaimana diungkapkan di dalam Sunan Abu Dawud, dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya berkata, “Saya (menunaikan) tawaf bersama Abdullah, ketika sampai di belakang Kakbah, saya berkata: “Apakah kita tidak berlindung?” (Beliau) berkata: “Kita berlindung dengan (nama) Allah dari neraka.” Ketika telah lewat, saya menyentuh Hajar (Aswad), dan berdiri di antara rukun (Hajar Aswad) dan pintu (Kakbah). Maka (beliau) menaruh dada, wajah, lengan, dan kedua tangannya begini dan membentangkan lebar keduanya. Kemudian berkata: “Beginilah saya melihat Rasulullah SAW melakukannya.”

Keutamaan multazam dijelaskan dalam beberapa hadis, di antara keutamaannya ialah menunaikan salat sunah dan berdoa. Di dalam multazam inilah juga kita dianjurkan untuk salat dua rakaat setelah melakukan tawaf tujuh kali putaran.

Dalam buku-buku manasik haji disuguhkan redaksi doa yang sebaiknya dibaca saat kita berdoa di tempat ini setelah melaksanakan salat dua rakaat. Hanya, perlu hati-hati karena tempat ini sangat terbatas dan di musim haji hampir sulit salat di pelataran Kakbah di arah multazam.

Salat dan doa juga dapat dilakukan dalam garis lurus ke belakang, tempat lebih memungkinkan kita salat lebih aman dan tenang sambal berdoa secara khusyuk. Di sebelah kanan multazam di situ ada tempat air minum zamzam yang dianjurkan untuk diminum seusai melakukan tawaf.

Doa yang banyak dipanjatkan di tempat ini secara turun temurun semenjak dari masa sahabat hingga sekarang ialah sebagai berikut.

“Ya Allah, Tuhan kami, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu dan anak dari hamba-Mu, anak budak-Mu. Engkau bawa kami dengan apa yang telah Engkau jalankan kepadaku dari makhluk-Mu. Dan Engkau jalankan diriku dari negeri-Mu sehingga Engkau sampaikan dengan nikmat-Mu ke rumah-Mu. Dan Engkau bantu kami agar dapat menunaikan manasikku.

Kalau sekiranya Engkau rida kepada diriku, maka tambahkanlah kepadaku keridaan-Mu. Kalau sekiranya (belum), maka dari sekarang (berikanlah) keridaan kepadaku sebelum meninggalkan rumah-Mu (menuju) rumahku. Ini adalah waktu kepergianku, jikalau Engkau mengizinkan kepadaku tanpa (ada rasa) menggantikan dari diri-Mu, juga rumah-Mu, dan (tidak ada perasaan) benci kepada-Mu dan pada rumah-Mu.

Ya Allah, Tuhanku. Sertakanlah kepada diriku kesehatan pada badanku, dan kesehatan di tubuhku serta jagalah agamaku, dan perbaikilah tempat kembaliku, berikanlah rezeki (dengan) ketaatan kepada-Mu selagi saya (masih) hidup. Dan gabungkanlah untuk diriku kebaikan dunia dan akhirat. Sesungguhnya Engkau terhadap sesuatu Mahamampu”.

Bukan hanya doa ini, melainkan doa apa pun yang dianggap sangat prioritas dapat dipanjatkan di tempat mustajabah ini. Allahu a’lam.

Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(mediaindonesia/suaraislam)

Haji dan Umrah Hilangkan Kefakiran dan Hapus Dosa

KITA dengar juga cerita ada sebagian wanita Indonesia yang tatkala sampai di Saudi mereka langsung sujud syukur, begitu luar biasa bahkan banyak yang bercita-cita ingin meninggal tatkala haji, ingin meninggal di tanah suci dan terlalu banyak cerita yang menjelaskan tentang bagaimana luar biasanya kerinduan kaum Muslimin terhadap ibadah haji.

Dan pantas bagi mereka untuk merindukan ibadah yang satu ini (ibadah yang sangat luar biasa) terlalu banyak keutamaan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Allah janjikan bagi orang-orang yang berhaji dengan haji yang mabrur.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan menyebutkan sebagian hadis (dalil-dalil) yang menyebutkan akan keutamaan berhaji diantaranya Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya umrah yang satu hingga umrah yang berikutnya merupakan penebus dosa-dosa yang ada di antara kedua umrah tersebut, dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya yang setimpal kecuali surga.” (HR Imam Al Bukhari nomor 1773 dan Imam Muslim nomor 1349 dari hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)

Ini dalil bahwasanya haji yang mabrur (orang yang melakukan haji mabrur) maka dia tidak ada balasan yang setimpal kecuali surga. Tidak ada balasan yang pas bagi dia yang setimpal kecuali surga.

Berbeda dengan umrah, di sini Rasulullah membedakan antara umrah dengan haji, kalau umrah yang satu dengan umrah yang lainnya maka menghapuskan dosa-dosa di antara kedua umrah tersebut. Rasul menyebutkan adapun haji yang mabrur (ini berarti beda antara pahala haji dengan pahala umrah) karena haji yang mabrur tidak ada balasan yang setimpal kecuali surga.

Rasulullah bersabda, “Ikutilah kembali haji dan umrah” yaitu hajilah engkau, umrahlah lagi, hajilah lagi dalam hadis ini jelas Rasulullah menyuruh kita untuk mengulang-ulang haji dan umrah bagi orang yang mampu tentunya. Kenapa?

“Karena haji dan umrah itu bisa menghilangkan kefakiran dan juga bisa menghilangkan dosa-dosa” ucap Rasul.

Di sini beliau menyebutkan keutamaan haji dan umrah bukan cuma berkaitan dengan masalah akhirat, bukan cuma menghilangkan dosa-dosa bahkan juga menghilangkan kefakiran. Jadi kalau orang ingin agar kesejahteraan ekonominya bertahan maka hendaknya dia berhaji dan umrah, karena itu akan menghilangkan (menafikan) menghilangkan kefakiran dari dirinya.

“Sebagaimana alat yang digunakan oleh pandai besi untuk meniup (bisa digunakan untuk menghilangkan kotoran besi/karat besi demikian juga untuk menghilangkan kotoran emas dan perak).”

Kemudian Rasulullah bersabda, “Dan tidak ada balasan yang setimpal bagi haji yang mabrur kecuali surga.”

Ini dalil bahwasanya anjuran Nabi untuk mengulang-ulang haji dan umrah dan ini ada faedahnya diantaranya menghilangkan dosa-dosa dan untuk menghilangkan kefakiran. Dan ini membantah pendapat sebagian orang yang memberi kesan seakan-akan kalau orang mengulang-ulangi haji atau umrah disebut dengan haji setan, umrah setan, dan ini tidak benar.

Kita amati bagaimana para salaf dari dahulu sehingga para ulama zaman sekarang mereka senantiasa semangat untuk mengulang-ulangi umrah dan haji. Kalau seseorang mampu, memiliki kelebihan harta, dia sudah bersedekah, dia sudah berinfak, dia sudah bayar zakat, dia juga memberikan bantuan kepada fakir miskin, memberi bantuan kepada anak yatim, kepada masjid, kemudian dia berhaji dan umrah kenapa kita larang?

Justru dia dengan berhaji dan berumrah tersebut Allah akan memberikan rejeki kepada dia, dan masalah rejeki adalah masalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kita dapati banyak orang seperti itu, saya memiliki banyak teman yang Alhamdulillah bersedekah lancar, membayar zakat juga lancar, umrah dan haji juga lancar.

Maka jangan kita menuduh mereka-mereka ini seakan-akan melakukan kesalahan, setiap orang rindu ingin haji, rindu ingin melihat ka’bah, rindu ingin berdoa di padang Arafah, rindu ingin dosa-dosanya dihapuskan, maka masa kita larang orang seperti ini, ingin datang ke tanah suci kecuali kalau orang tersebut dia haji, dia umrah tapi pelit sama tetangga, zakat tidak bayar, tidak sedekah, tidak memperhatikan fakir miskin, mungkin ini lain ceritanya.

Tapi kita berbicara tentang orang yang menunaikan kewajibannya dan dia masih memiliki kelebihan harta maka kenapa kita larang dia untuk berhaji dan berumrah sementara banyak orang mereka yang tatkala banyak kelebihan harta mereka berfoya-foya kemudian mereka berlibur ke luar negeri, bersenang-senang.

Alhamdulillah bila ada orang yang meluangkan hartanya untuk haji lagi, umrah lagi maka silahkan saja dan ini sabda Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menganjurkan untuk mengulang-ulang haji dan umrah. Oleh karenanya merupakan sunah seseorang mengulang-ulang haji dan mengulang-ulang umrah jika tentunya dia telah menjalankan kewajibannya.

[Ustaz Firanda Andirja, MA]

 

INILAH MOZAIK

Armina Jadi Titik Kritis

MAKKAH — Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi mulai memfokuskan perhatiannya kepada puncak haji yang diperkirakan jatuh pada pekan depan. Pada saat itu seluruh jamaah haji dimobilisasi ke Arafah untuk malaksanakan wukuf.

“Puncak haji adalah Arafah. Setelah itu Muzdalifah, dan Mina. Itulah titik kritis kita,” kata Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin di Masjid al-Haram setelah melaksanakan umrah wajib pada Ahad (12/8).

Seluruh perhatian dan tenaga jamaah beserta PPIH akan terkonsentrasi di sana. Pada 8 Dzulhijjah, jamaah digerakkan ke Arafah secara terus-menerus. Mereka menginap di area pertemuan Adam dan Hawa itu setelah terpisah ratusan tahun.

Di sana jamaah berzikir, beribadah, menjaga perilaku dan tutur kata. Hal sama juga mereka lakukan ketika mabit di Muzdalifah pada tanggal itu setelah mentari terbenam. Di sana mereka menetap hingga hari berganti. Pada pukul 01.00 dini hari tanggal 10 Dzulhijjah jamaah digerakkan ke Mina untuk melempar jumrah aqabah.

Di sini jamaah harus berjalan jauh untuk sampai ke area jamarat. Dari tenda ke jamarat mereka harus berjalan minimal dua kilometer. Kemudian kembali lagi ke tenda melalui jalan yang lebih jauh sekitar tiga kilometer. Setelah itu mereka masih diarahkan untuk tawaf ifadah di al-Haram. Praktis mereka akan sangat kelelahan di sini. “Sebagian besar stamina jamaah tersita di sana, konsentrasi seluruh jamaah harus dipusatkan di Arafah dan Mina,” kata Lukman.

Kepala Satuan Operasi Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina) Jaetul Muchlis mengatakan, tenda di masing-masing titik tadi terbatas. Namun, Muassasah dan Maktab mengupayakan untuk mengurangi tenda petugas. Fasilitas yang ada akan diprioritaskan untuk jamaah.

Fasilitas tenda di Arafah sudah permanen. Di sana lokasi tenda jamaah sudah dibagi per maktab sesuai arahan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi. Namun, pihaknya menekankan, tenda Indonesia harus dikhususkan untuk jamaah kuota. Sedangkan tenda jamaah non-kuota atau furoda harus disendirikan. “Jadi ini harus sesuai kontrak. Jangan sampai ada jamaah furoda masuk ke penginapan kita. Itu kita minta betul ke muassasah. Karena tempatnya terbatas,” katanya.

Sedangkan di Mina, tenda yang ada akan dimaksimalkan untuk kenyamanan jamaah. “Kita buat home base di tenda-tenda Mina terutama yang ditinggalkan jamaah yang kembali ke hotel. Kita optimalkan tempat itu buat pergerakan petugas,” kata Jaetul.

Pihaknya mengimbau petugas haji untuk sigap dalam bergerak pada saat Armina. Pada tanggal 7 Dzulhijjah pukul 19.00 waktu setempat, tim Armina sudah meluncur. Mereka mengecek kesiapan akhir akomodasi di Arafah.

Tim Daerah Kerja (Daker) Bandara yang biasa mobile akan lebih dulu tiba di Arafah. Sebagian petugas Daker Makkah juga dilibatkan di sana. Mereka akan menjemput jamaah.

Tim Katering juga sudah mulai berpindah ke sana menyiapkan dapur semipermanen dan produksi makanan untuk jamaah. Produksi makanan akan disesuaikan dengan waktu kedatangan jamaah yang mulai tiba di Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah pagi.

Jaetul menekankan pergerakan petugas yang harus cepat, sehingga pelayanan jamaah tidak terganggu. “Jangan sampai ada yang lamban apalagi berhenti. Prinsipnya mereka harus tiba lebih dulu dari jamaah,” ujarnya.

REPUBLIKA

Hukum Mewakilkan Haji dan Umrah

Haji, secara harfiah berarti sengaja melakukan sesuatu. Secara istilah berarti sengaja datang ke Mekah, mengunjungi Ka’bah dan tempat-tempat lain untuk melakukan serangkaian ibadah tertentu seperti wukuf, tawaf, sa’i, dan amalan lain pada masa tertentu dan dengan syarat yang telah ditatapkan. Haji termasuk rukun Islam (kelima) yang wajib dilakukan kaum muslim apabila mampu (fisik dan materi).

Sementara umrah, tidak jauh beda dengan haji. Secara harfiah berarti ziarah. Secara istilah berarti menziarahi Ka’bah untuk melakukan rangkaian ibadah tertentu, seperti tawaf dan sa’i dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dan waktunya tidak ditentukan. Hanya saja ada waktu-waktu yang dimakruhkan, seperti hari Arafah, hari Nahar, dan hari Tasyrik.

Haji dan umrah adalah di antara ibadah fisik yang boleh diwakilkan. Siapa yang tidak mampu haji atau umrah karena uzur, seperti karena usia lanjut atau sakit yang tidak bisa diharap kesembuhannya, dia boleh mewakilkan kepada orang yang memenuhi syarat.

Laki-laki boleh menggantikan haji untuk wanita, wanita pun boleh menggantikan haji untuk laki-laki. Ini sebagaimana hadits Al-Khats’amiyyah yang bertanya kepada Rasulullah SAW.

“Sesungguhnya, ayahku telah tua untuk melaksanakan haji, dia tidak mampu menempuh perjalanannya. Apakah aku boleh menghajikannya?” Rasulullah menjawab, ”Hajikanlah untuknya.”‘ (HR. Bukhari)

Orang yang hendak menghajikan orang lain, dia disyaratkan sudah pemah haji untuk dirinya sendiri, sebagaimana hadits Rasulullah SAW.

”Hajilah terlebih dahulu untukmu kemudian hajikanah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh Albani)

Siapa yang meninggal sebelum melaksanakan haji maka kerabatnya boleh menghajikannya. Jika tidak, ambillah dari harta peninggalannya sebelum pembagian waris, sesuai biaya orang naik haji pada masa itu. Sebab haji termasuk utang dan sebagai hak-hak yang berhubungan dengan harta benda peninggalannya.

Wallahua’lam

Oleh  M. Sholich Mubarok

BERSAMA DAKWAH

Jemaah Haji Bertato?

Badan bertato tidak bisa menghalangi keinginan seseorang untuk berhaji. Siapapun yang telah terpenuhi syaratnya wajib menunaikan rukun Islam kelima, meskipun badannya dipenuhi gambar tato.

Kejadian Jemaah haji Indonesia yang badannya bertato bukan hanya sekali ini terjadi, seperti banyak diberitakan dalam berbagai media setelah kedatangan kloter UPG-20 beberapa waktu lalu. Namanya Tajuddin asli Kendari umurnya hampir genap 60 tahun. Nampak bagian atas lengan tangan kanannya tato jaring laba-laba dan motif tribal di situ. Penuh dan baru berhenti menjelang tiba di siku.

“Waktu bikinnya saya belum kepikiran bakal ke sini,” kata pria tersebut terkait tatonya sembari tertawa saat ditanyai Tim MCH Daker Airport.

Motif serupa juga memenuhi bagian atas tangan kirinya. Di kampungnya, ia mendaku, banyak yang kenal. “Boleh dibilang saya dulu memang preman,” kata dia.

Tahun 2011 silam juga terdapat Jemaah haji asal Madura bernama Syaiun badannya diselimuti berbagai gambar permanen yang didapatkan saat mendekam dalam penjara. Tragisnya dia sering ditolak saat hendak masuk ke dalam beberapa masjid, karena dikira non muslim. Melalui penjelasan rekannya yang satu rombongan Syaiun tetap diizinkan beribadah di dalam masjid.

Konsultan Pembimbing Ibadah Haji, Ahmad Kartono menjelaskan keabsahan orang bertato dalam berhaji. Menurutnya boleh-boleh saja orang bertato berhaji.

“Ngga apa-apa secara hukum sah ibadah hajinya selagi yang bersangkutan memenuhi ketentuan syarat haji, wajib haji, dan rukun haji,” kata Kartono melalui sambungan telepon, Sabtu (11/8/2018).

Ibadah haji memang untuk siapapun yang mampu melaksanakan. Selagi syarat berhaji dipenuhi maka dia wajib berhaji. Beragama Islam, baligh, sehat jasmani/rohani, merdeka, dan mampu. (ab/ab).

 

KEMENAG RI

Ingin Tarwiyah? Ini Pesan Kadaker Makkah

Jemaah Haji Indonesia yang melaksanakan tarwiyah setiap tahunnya selalu terjadi. Tarwiyah sendiri memang tidak dilarang, namun jemaah harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Tarwiyah merupakan melakukan napak tilas perjalanan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Tarwiyah sendiri dilaksanakan pada 8 Dzulhijjah, jemaah tarwiyah akan melakukan perjalanan dari Makkah ke Mina sejauh 14 kilometer. Lalu, setelah itu perjalanan berlanjut keesokan harinya dari Mina ke Arafah untuk bergabung dengan jemaah lainnya yang berangkat dari Makkah, langsung ke Arafah untuk menjalani wukuf.

Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi telah membuat ketentuan mengenai pelaksanaan ibadah ini. Kepala Daerah Kerja Makkah Endang Jumali pun mengeluarkan surat edaran mengenai ketentuan ibadah tarwiyah. Ada 4 poin dalam edaran itu.

Poin pertama disebutkan, pada prinsipnya pemerintah Indonesia tidak melaksanakan program Tarwiyah. Bagi jemaah haji yang melaksanakannya agar mempertimbangkan faktor kesiapan fisik dan risiko keselamatan diri mengingat masih banyaknya rangkaian ibadah haji yang bersifat wajib dan rukun haji yang belum dilaksanakan.

Kemudian di poin kedua, Endang meminta jemaah yang ingin melaksanakan tarwiyah untuk berkoordinasi dengan maktab. Selanjutnya, maktab harus berkoordinasi lebih lanjut dengan muasasah.

Lalu di poin tiga, jemaah tarwiyah diminta untuk mengajukan permohonan kepada ketua kloter dengan persetujuan dari kepala sektor. Dan laporan mengenai izin ini disampaikan ke Kadaker Mekah.

Di poin keempat atau terakhir, disebutkan pelaksana tarwiyah diminta untuk membuat surat pernyataan bahwa segala aktivitas yang berakibat pada keselamatan dan kerugian material, menjadi tanggung jawab diri sendiri.

“Saya sudah membuat surat edarannya. Sudah disampaikan ke jemaah melalui sektor-sektor,” ujar Endang di kantornya, di Syisyah, Makkah, beberapa waktu lalu.(mch/ha)

 

KEMENAG RI

Inilah Kisah Menyentuh 3 Tukang Becak Naik Haji

Bisa mengunjungi Tanah Suci Mekah tentu merupakan harapan terbesar bagi seluruh umat Muslim di dunia. Tak terkecuali bagi 3 tukang becak yang kisahnya ada di bawah ini.

Biaya naik haji yang mencapai puluhan juta rupiah, jika dipikir-pikir memang cukup berat dan nyaris mustahil dicapai dengan penghasilan sehari-hari mereka.

Namun, Tuhan selalu merawat doa-doa umatnya yang dipanjatkan dengan niat tulus dan membantu agar harapan mereka terkabul.

1. Maksum, penghasilan sehari Rp 20 ribu dan menabung 21 tahun untuk biaya naik haji

“Mustahil”, begitu yang dipikirkan Maksum saat terlintas keinginannya menunaikan ibadah haji. Apalagi penghasilannya hanya berkisar Rp 20 ribu per hari.

Tukang becak yang kerap mangkal di depan ITC Surabaya itu awalnya tidak yakin keinginannya akan terwujud.

Namun pada tahun 1996, setelah istrinya meninggal, Maksum bertekad harus mulai menabung untuk naik haji. Dan sejak saat itu, Maksum mengayuh becaknya lebih rajin dari sebelumnya.

Setoran pertamanya ke bank kala itu Rp 800 ribu dan dia selalu menabung setiap bulan.

Baru tahun 2010, Maksum membuka rekening Ongkos Naik Haji (ONH) dan mulai mendaftarkan namanya sebagai jemaah haji Indonesia.

“Tidak hanya bekerja saja, tapi juga berdoa,” ungkap Maksum. Selama belasan tahun, Maksum menyisihkan pendapatan kecilnya ke rekening tabungan haji.

Niat tulusnya terjawab saat dia akhirnya berhasil terdaftar sebagai anggota kloter 6 jamaah haji yang diberangkatkan melalui Surabaya tahun 2017 lalu.

Maksum tak henti-hentinya bersyukur karena di usianya yang kala itu 79 tahun, dia berhasil mewujudkan mimpinya.

 

2. Mashuri, menabung selama 40 tahun untuk biaya naik haji

Pasangan suami istri asal Grobogan, Jawa Tengah, Mashuri (62 tahun) dan Siti Patimah (59 tahun) menyisihkan uang hasil menarik becak selama 40 tahun.

Sejak masih muda, mereka memang punya cita-cita harus bisa pergi ke Tanah Suci untuk beribadah haji. Mashuri berusaha mewujudkan janji serta mimpinya bersama istri tercinta.

Mashuri sadar, sebagai tukang becak, dia tak punya banyak uang untuk biaya naik haji berdua. Mashuri mencari cara agar uangnya bisa bertambah dengan cepat.

Bapak 4 anak ini awalnya menabung uang hasil menarik becak, lalu digunakan untuk beternak sapi.

Mashuri dan Siti merawat sapi-sapinya dengan penuh perhatian dan memperlakukan hewan ternaknya dengan baik.

Setelah beranak pinak, Mashuri menjual 6 ekor sapinya untuk ongkos haji bersama istri.

Mashuri dan Siti Patimah akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya. Mereka akan berangkat ke Mekah pada 7 Agustus 2018 ini melalui Embarkasi Donohudan, Solo.

 

3. Santuso, menabung selama 10 tahun untuk biaya haji

Santuso (55 tahun), warga Gili Ketapang, Probolinggo ini tak pernah menyangka dia akan bisa melaksanakan ibadah haji tahun 2018 ini.

Sehari-hari, kerjanya hanya sebagai tukang becak yang mengangkut ikan dari dermaga ke rumah nelayan di Gili Ketapang.

Pendapatan hariannya berkisar Rp 100 – 150 ribu saja, itu juga harus dikurangi lagi untuk biaya makan dan kebutuhan keluarga sehari-hari.

Sisanya tak banyak, paling Santuso hanya bisa menyisihkan Rp 500 -1.000 saja untuk tabungan hajinya.

Selama 10 tahun Santuso menabung sedikit demi sedikit dan disertai pula dengan doa yang tak henti.

“Selain bekerja keras, saya juga selalu sholat. Sholat tahajud juga tidak pernah ketinggalan,” kata Santuso.

Doanya kini terkabul, tahun 2018 ini Santuso akan berangkat haji meski tak ditemani sang istri.

“Sebenarnya saya juga ingin pergi bersama istri. Tapi uangnya tidak cukup. Disyukuri saja, istri saya juga ikhlas,” lanjutnya.

Belajar dari kisah 3 tukang becak yang berhasil mewujudkan mimpinya pergi ke Tanah Suci, kita akan sadar bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. (*)

 

TRIBUN JATENG

Pasutri Jemaah Haji di Imbau Tidak Bercampur Dalam Satu kamar

Makkah (PHU)—Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi meminta pasangan suami istri jemaah haji untuk tidak bergabung satu kamar hotel. Pasutri itu harus menempati kamar-kamar yang sudah ditentukan PPIH Arab Saudi.

Imbauan itu disampaikan Kepala Seksi Akomodasi PPIH Daerah Kerja Makkah Ihsan Faisal saat ditemui di Daker Syisyah pada Kamis (09/08).

“Jamaah haji dilarang bercampur dengan lain jenis di kamar pemondokan. Mereka harus menempati kamar-kamar yang sudah ditentukan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi,” tegas Ihsan.

Kebijakan ini, kata ihsan bukan dibuat oleh pemerintah Indonesia saja, tapi juga termasuk dalam Ta’limatul Haj (peraturan) dari Pemerintah Arab Saudi. Ihsan juga meminta kepada seluruh jemaah haji mengindahkan peraturan tersebut.

“Kebijakan itu bukan hanya dari pemerintah Indonesia, tapi juga Pemerintah Saudi. Ta’limatul Hajj mengatakan demikian,” katanya.

Pihaknya sampai saat ini belum mendapatkan laporan jemaah lelaki dan perempuan yang bercampur dalam satu kamar. Jika jemaah melanggarnya, maka petugas haji akan memberikan teguran dan mengarahkan mereka ke kamar masing-masing. Hal sama juga dilakukan pengawas haji dari Pemerintah Arab Saudi dan Muassasah ketika meninjau hotel jemaah.

Larangan bercampur ini dimaksudkan untuk menjaga muruah (harga diri) jemaah haji selama berada di Tanah Suci. Lagi pula, kata Ihsan, satu kamar terdiri dari empat sampai enam orang. PPIH tidak mungkin menempatkan enam orang berbeda jenis kelamin dalam satu kamar.

Keterbatasan tempat juga menjadi alasan lainnya. Banyak jamaah haji dari berbagai negara berdatangan ke Tanah Suci. Mereka tinggal di berbagai hotel dengan menaati taklimatul hajj yang dikeluarkan Pemerintah Saudi.

“Taklimatul hajj menjadi rujukan penyelenggara haji dari berbagai negara. Pemerintah Saudi membuatnya untuk kemaslahatan dan kelancaran pelaksanaan haji di Tanah Suci,” imbuhnya.

Meski dilarang bercampur, jemaah tak kehilangan akal. Ada sepasang jamaah haji yang izin kepada petugas sektor untuk menginap di sejumlah hotel mewah dekat Masjid al-Haram. Di sana mereka beristirahat beberapa malam. Setelah itu kembali ke hotel yang sudah ditentukan PPIH untuk bersiap menghadapi puncak haji.

Kementerian Agama (Kemenag) telah menyiapkan 165 hotel dengan 54 ribu kamar bagi jamaah Indonesia selama di Makkah pada musim haji 1439H/2018M. Semuanya tersebar di tujuh wilayah: Jarwal, Misfalah, Raudhah, Mahbas Jin, Syisyah, Aziziah, Rei Bakhsy. Jarak terjauh mencapai 4.390 meter dan yang terdekat 900 meter.

Sebanyak 16 hotel di antaranya disewa secara tahun jamak (multiyears) selama tiga tahun. Tidak banyak pemilik yang menawarkan hotel untuk disewa multi years. Sebab, mereka ingin mendapat keuntungan lebih.(mch/ha)

Hukum Tasyakuran Makan-Makan Sepulang Haji

TERDAPAT beberapa dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat menyambut kedatangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari safar atau ketika masuk ke sebuah kota. Diantaranya,

Hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau menceritakan, “Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam datang di Mekah, anak-anak kecil bani Abdul Muthalib menyambut kedatangan beliau. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menggendong salah satu dari mereka dan yang lain mengikuti dari belakang.” (HR. Bukhari 1798)

Dalam shahihnya, Imam Bukhari membuat judul bab, “Bab, menyambut kedatangan jamaah haji yang baru pulang.” Kemudian Bukhari menyebutkan hadis di atas.

Abdullah bin Jafar mengatakan, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila pulang dari safar, kami menyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain, lalu beliau menggendong salah satu diantara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau, hingga kami masuk kota Madinah.” (HR. Muslim 6422).

Acara makan-makan dalam rangka penyambutan orang yang baru pulang haji disebut an-Naqiah. Ini tidak hanya berlaku untuk hji saja, namun semua kegiatan safar. Sebagian ulama mengajurkan untuk mengadakan acara makan-makan, dalam rangka tasyakuran pulangnya seorang musafir.

An-Nawawi mengatakan, “Diadakan untuk mengadakan naqiah, yaitu hidangan makanan yang digelar sepulang safar. Baik yang menyediakan makanan itu orang yang baru pulang safar atau disediakan orang lain diantara yang menjadi dalil hal ini adalah hadis Jabir Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika tiba dari Madinah sepulang safar, beliau menyembelih onta atau sapi.” (HR. Bukhari). (al-Majmu, 4/400)

Fatwa Imam Ibnu Utsaimin

Pertanyaan: Ada tradisi yang terebar di beberapa kampung, mereka mengadakan makan-makan sepulang haji dari Mekah. Itu diadakan setiap tahun. Mereka sebut salamah hujjaj selametan haji. Bisa dagingnya diambilkan dari daging qurban yang tersimpan, bisa juga menyembelih hewan baru.

Jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin: Semacam ini tidak masalah. Boleh menyambut jamaah haji ketika mereka datang, karena ini menjadi pesta penyambutan mereka, dan memotivasi lainnya untuk berhaji mungkin ini hanya ada di kampung. Kalau di kota, semacam ini sudah tidak ada. Saya melihat banyak orang yang pulang haji, dan tidak ada acara makan-makan. Beda dengan di kampung, semacam ini masih ada. Dan tidak masalah. Penduduk kampung biasanya lebih dermawan, dan mereka tidak ingin bersikap pelit dengan orang lain. (Liqaat Bab al-Maftuh, volume 154, no 12).

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK