Month: June 2021
Berlapang Dada Sikapi Perbedaan
SELASA 10 Jumadats Tsaniyah 1436 (31 Maret 2015) lalu, masjid An-Nur Jagalan Malang kedatangan tamu istimewa, beliau adalah Fadhilausy Syaikh Abdul Karim Al Jarullah, beliau adalah anggota Ad-Dakwah Wal Irsyad Kementerian Agama Kerajaan Saudi Arabia dan juga direktur Ma’had Tahfidhul Qur’an di kota Makkah.
Beliau memberikan taushiyah ba’da Maghrib dengan tema, “Dialah (Allah Ta’ala) Yang Mempersaukan Hati Kalian” dan saya menjadi penterjemahnya.
Inti taushiyah adalah agar kaum Muslimin berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat dan tidak berpecah belah apalagi sampai berperang dan menumpahkan darah sesama Muslim.
Setelah adzan Isya’ taushiyah dilanjutkan sekitar 15 menit kemudian ditutup dengan doa indah dan mendalam, kemudian shalat Isya’ berjama’ah dan beliau menjadi imam shalat dengan bacaan Al-Qur’an yang indah dan menyentuh hati.
Setelah shalat Isya’ beliau menyampaikan sebuah pengumuman bahwa beliau mengelola “Daurah Internasional Tahfidh Al-Qur’an” yang berpusat di Makkah KSA, yaitu menghafal Al-Qur’an dalam jangka waktu 2 bulan dan menghafal satu halaman dalam 15 menit.
Daurah ini sudah berlangsung 14 tahun dan sudah berhasil melahirkan para penghafal Al-Qur’an laki dan perempuan yang berjumlah 1500 (seribu lima ratus) orang.
Beliau saat ini membuka cabang daurah ini di kota Malang dan membuka pendaftaran bagi yang berminat dan mempunyai kelebihan dalam hafalan dan kecerdasan.
Malamnya, dilanjutkan makan malam di rumah seorang dermawan, jazahulloh khoir, yang dihadiri juga oleh Syeikh Sholeh bin Ali Az-Zumai’ hafidhahullah, salah seorang Direktur Ma’had Tahfidhul Qur’an di kota Makkah dan beberapa asatidz, diantaranya Syeikh Utsman Al-Makki Al-Hafidh dan Ustadz Farhan bin Thalib hafidhahumallah serta beberapa undangan lain.
Dalam kesempatan acara makan malam yang penuh manfaat, rahmat dan barokah ini beliau, Fadhilausy Syaikh Abdul Karim Al Jarullah hafidhahullah, memberikan wasiat.
Berikut ini 12 wasiat penting dari beliau;
Pertama, hendaklah kita berupaya maksimal untuk ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam berdakwah karena pengaruh keikhlasan sangat menakjubkan.
Kedua, hendaklah para dai selalu menjaga dan istiqomah shalat tahajjud karena shalat malam menjadikan seseorang lebih tegar dan istiqomah dalam menghadapi segala kesulitan.
Ketiga, jangan menyibukkan diri dengan mencacat dan mencari kejelekan serta mengkotak-kotak umat Islam.
Keempat, jangan terpengaruh dan jangan melayani orang yang selalu menghujat dan memfitnah kita karena menyibukkan diri dengan melayani mereka hanya menghabiskan waktu dan tenaga serta pikiran dan akhirnya kita tidak bisa berbuat apapun.
Kelima, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam saja didustakan bahkan oleh pamannya sendiri, tapi beliau sabar dan terus berdakwah.
Keenam, hendaklah kita jadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sebagai suri tauladan kita.
Ketuju, hendaklah kita tingkatkan tawakkal kepada Allah dan kita perbaiki hubungan dengan Allah pasti akan datang berbagai macam kebaikan kepada kita.
Kedelapan, hendaklah kita selalu berusaha menyampaikan hidayah kepada manusia dan kita ingat selalu keutamaan-keutamaannya.
Kesembilan, terimalah kebenaran yang datang dari mana saja.
Sepuluh, terjun melayani manusia, menjenguk orang sakit, menguburkan jenazah, bersedekah dan kebaikan lainnya kepada manusia agar dakwah kita lebih mudah mereka terima.
Sebelas, kedepankan sikap tawadlu’ (rendah hati) setinggi apapun jabatan kita.
Dua belas, banyak berdoa kepada Allah sambil menangis terutama pada waktu-waktu dan keadaan-keadaan yang mustajab.
Demikian diantara ringkasan singkat wasiat agung beliau, semoga Allah mudahkan kita untuk mengamalkannya, aamiin.*/Malang, Rabu 11 Jumadats Tsaniyah 1436 / 01 April 2015
Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami
Kisah Inspiratif Kesabaran Suami Terhadap Isterinya
DITANYAKAN kepada Abu Utsman An-Naisaburi rahimahullah: “Apa amalan terbaik (yang pernah Anda lakukan) yang sangat Anda harapkan (pahalanya)?”
قيل لأبي عثمان النيسابوري رحمه الله: ما أرجى عملك عندك؟
قال: كنت في صبوتي يجتهد أهلي أن أتزوج فآبي
Beliau menjawab : “Pada masa mudaku, keluargaku berupaya keras agar aku menikah, tapi aku enggan.
فجاءتني امرأة، فقالت: يا أبا عثمان، إني قد هويتك، وأنا أسألك بالله أن تتزوجني!
Lalu datang kepadaku seorang perempuan seraya berkata : ‘Wahai Abu Utsman, aku sungguh menginginkan dirimu. Demi Allah, aku memintamu agar bersedia menikah denganku!’.
فأحضرت أباها – وكان فقيراً – فزوّجني منها وفرح بذلك.
Perempuan itupun mendatangkan ayahnya, seorang laki-laki fakir, lalu ayahnya menikahkan aku dengan anak gadisnya dan ia-pun sangat bergembira karenanya.
فلما دخلت إليّ رأيتها عوراء عرجاء مشوهة!!
Ketika ia masuk menemuiku, aku melihatnya, ternyata ia seorang perempuan juling, pincang dan buruk rupa!
وكانت لمحبّتها لي تمنعني من الخروج، فأقعد حِفظاً لقلبها، ولا أظهر لها من البغض شيئاً وكأنّي على جمر الغضا من بغضها.
Karena begitu cintanya kepadaku, ia melarangku untuk keluar rumah, maka aku-pun tetap tinggal di rumah demi untuk menjaga hatinya. Aku tidak menampakkan sedikitpun kebencian kepadanya, padahal seakan-akan aku berada diatas bara dari kebencian kepadanya.
فبقيت هكذا خمس عشرة سنة حتى ماتت، فما من عملي شيء هو أرجى عندي من حفظي قلبها.
[من كتاب صيد الخاطر لابن الجوزي رحمه الله]
Aku menjalani semua itu selama lima belas tahun, hingga akhirnya ia meninggal dunia. Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan pahalanya selain perbuatanku untuk menjaga hatinya.”
[Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Kitab Shaidul Khathir]
***
Di antara sesuatu yang paling indah di dunia ini adalah ketika suami berdoa kebaikan untuk isterinya dengan menyebut namanya dalam doa. Juga ketika isteri berdoa kebaikan untuk suaminya dengan menyebut namanya dalam doa.
“Ya Allah ampuni dan sayangi isteri hamba …….”
oleh: Abdullah Soleh Hadrami
Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami
Pilar-pilar Muru’ah
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik – dalam riwayat lain: yang mulia.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad dan al-Hakim, dari Abu Hurairah)
ADA banyak sekali akhlak mulia yang dianjurkan oleh Islam. Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan pengikat pun menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu simpul pengikatnya disebut dengan muru’ah. Apakah itu?
Menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, Muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”
Definisi ini mengisyaratkan bahwa semua akhlak mulia bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan muru’ah pun menjadi sangat luas. Sebagai ilustrasi, Imam Abu Bakr al-Khara’ithiy (w. 327 H) telah menyusun karya berjudul Makarimul Akhlaq (akhlak-akhlak mulia), yang terdiri dari 3 juz dan memuat 1.041 riwayat. Untuk tema sebaliknya, beliau menyusun kitab berjudul Masawi’ul Akhlaq (akhlak-akhlak buruk) setebal 5 juz kecil dan mengandung 872 riwayat.
Sebenarnya, ada beragam pandangan dalam masalah muru’ah ini. Para pakar hadits, fiqh, bahasa, dan sastrawan memiliki uraian tersendiri menurut sudut pandang masing-masing.
Meskipun demikian, umumnya mereka bersepakat bahwa inti muru’ah adalah akhlak mulia. Hanya saja, karena luasnya cakupan, sebagian ulama kemudian meneliti akhlak mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini.
Bagaimana hasilnya? Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “Muru’ah itu mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.” (Sunan al-Baihaqi, no. 21333).
Bila kita renungkan, ternyata keempat pilar tersebut menopang banyak sekali akhlak-akhlak mulia yang lain, sekaligus menyingkirkan akhlak-akhlak buruk.
Pilar pertama, kunci muru’ah adalah memiliki tindak-tanduk dan kebiasaan yang baik
Tanpanya seseorang tidak pantas menyandang sifat muru’ah, sebab seluruh bagian yang lain akan kehilangan induk. Sebab, kebaikan dan keburukan itu selalu menarik akhlak sejenisnya untuk datang, sebagaimana dikatakan ‘Urwah bin az-Zubair (ulama’ Tabi’in, w. 94 H), “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri orang tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut. Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula keburukan itu menunjukkan saudaranya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).
Pilar kedua, yaitu kedermawanan, sesungguhnya merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama, dsb. Menurut Al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya kepada orang lain, pelit, dan lebih senang jika diberi.
Allah berfirman;
وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ
“Dan manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa’: 128).
Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah, egois, cinta dunia, dsb. Allah menyanjung orang-orang yang bisa melawan kecenderungan negatif tersebut dalam QS. Al-Hasyr: 9, ketika mengisahkan kedermawanan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin.
Senada dengan ini Allah berfirman pula dalam QS: at-Taghabun: 16:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا لِّاَنۡفُسِكُمۡؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk (kemanfaatan) dirimu (di dunia dan akhirat). Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Untuk pilar ketiga, yaitu rendah hati (tawadhu’), kita bisa memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan Iblis sebagaimana disitir Al-Qur’an. Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak bersujud kepada Adam.
Iblis merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau menghormati Adam. Allah pun murka kepada Iblis, melaknatnya, dan mengusirnya dari Surga.
Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud. Qatadah berkata, “Iblis iri kepada Adam atas kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Dia berkata: ‘Aku tercipta dari api, sedangkan dia ini dari tanah.’ Maka, awal mula dosa-dosa adalah kesombongan. Musuh Allah itu merasa dirinya lebih hebat sehingga tidak mau bersujud kepada Adam.” (Riwayat as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur, pada QS: al-Baqarah: 34).
Dengan kata lain, ketawadhuan akan menyemai amal-amal shalih, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan maksiat. Di balik ketawadhuan seseorang, ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan topeng palsu, sebenarnya bersemayam banyak akhlak dan adab yang lain, seperti muhasabah (introspeksi diri), gemar berlomba dalam kebaikan, tidak mencari-cari aib orang lain, menghormati orang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dsb.
Pilar terakhir muru’ah adalah tekun beribadah
Bagian ini menyiratkan dua hal sekaligus. Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah, apalagi yang tanpa iman.
Walaupun seseorang telah menyempurnakan 3 pilar muru’ah yang lain, jika dia malas beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati seseorang akan lebih terjaga.
Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka kehormatan seseorang terjaga, dan inilah puncak Muru’ah. Wallahu a’lam.*
Penulis pengasuh PP Arrahmah Puteri Malang
Ikhlas Kunci Utama Perbuatan Diterima Allah
Ikhlas; kata Imam Qusyairi, mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Ibadah yang dilaksanakan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada tendensi lain. Dalam Risalah al Qusyairiyah menyebutkan ibadah yang dikerjakan murni dari perbuatan dari pandangan makhluk.
الإخلاصُ إفرادُ الحقِ سبحانه في الطاعة بالقصدِ، وهو أن يريدَ بطاعته التقرّبَ إلى الله تعالى دون شيء آخرَ، مِن تَصنُّعٍ لمخلوق. وقال: ويصحُّ أن يقالَ: الإخلاصُ تصفيةُ الفعلِ عن ملاحظةِ المخلوقين.
Artinya; Ikhlas adalah engkau mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Melakukan pelbagai ketaatan semata untuk mendekatkan kepada Allah tidak ada tendensi lain, misalnya karena berpura-pura kepada perbuatan makhluk. Dan ia berkata; Ikhlas adalah memurnikan diri kepada Allah dari pandangan makhluk.
Ada anekdot bersumber dari ahli hikmah; “Ikhlas itu seperti kotoran. Ia keluar dari dubul orang yang buang air besar,”. Tak dapat dipungkiri, setelah buang hajat, tak pernah ada yang menoleh kebelakangan. Tak pernah terbesit dalam hati merasa iba kotorannya keluar. Tak juga ada rasa bangga terhadap tahinya.
Ia pasrah melepas “tahi” yang keluar. Ia bersyukur pencernaanya lancar. Tak ada rasa iba. Tak juga menyesal melihat kotorannya hanyut di bawa air. Nah, manusia ikhlas hendaknya begitu. Pasrah. Tak ada tendensi terhadap pujian makhluk. Tak ada juga rasa bangga akan perbuatan.
Ikhlas itu tersembunyi. Letaknya dalam hati. Tak perlu diumbar. Imam Junaid Bagdadi berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhan,”. Lebih lanjut, rahasia orang ikhlas harus dijaga betul. Tak boleh bocor. Sehingga malaikat pun tak perlu tahu—untuk mencatat kebaikan manusia.
Begitu pun iblis, tak perlu tahu tentang ibadah manusia ikhlas. Pasalnya, bila iblis tahu, ia akan berusah menggoda manusia. Nafsu pun juga tak perlu mengetahui ibadah manusia, agar ia tak memalingkan manusia dari keikhlasan. Ikhlas itu rahasia di atas rahasia.
الإخلاصُ سِرٌّ بينَ الله وبينَ العبدِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكتُبَه، ولَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدَهُ ولَا هَوى فيميلَه
Artinya: Ikhlas itu rahasia antara Allah dan hamba. Tak perlu malaikat tahu untuk mencatatnya, tak perlu setan tahu, sehingga ia akan membinasakan (amal manusia, dan tak perlu pula diketahui hawa nafsu, sehingga ia memalingkan manusia.
Pandangan lain terkait ikhlas dituangkan oleh Zakaria al Anhsari, sebagaimana dicatat dalam buku Hakekat tasawuf, Anshari berkata,”Seorang benar-benar disebut sebagai orang yang ikhlas apabilaia tidak melihat keikhlasannya dan tidak tenang terhadapnya. Jika ia menyalahi itu, maka ikhlasnya dianggap belum sempurna. Sebagian kalangan menyebutnya hal itu sebagai riya.
Pendek kata, ikhlas adalah perbuatan yang murni. Ia bermuara dalam satu tujuan, yakni hendaklah hawa nafsu tidak ada ambil bagian dalam amal ibadah. Antara amal dan hawa nafsu tak bisa digabungkan. Pasalnya, akan membawa pada kerusakan amal kebajikan.
Dalam Al-Qura’an dijelaskan amal ibadah merupakan kunci utama diterimanya ibadah seseorang. Amal seorang hamba itu tergantung keikhlasannya. Untuk itu, Allah memerintahkan Rasul dan para orang beriman untuk beribadah tanpa pamrih. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S az Zumar ayat 11 dan 14;
قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ
Artinya; Katakanlah; “Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.
قُلِ اللّٰهَ اَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهٗ دِيْنِيْۚ
Artinya: Katakanlah, “Hanya Allah yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.”
Di samping itu, dalam Al-Qur’an juga Allah menjelaskan bahwa ikhlas adalah sarana untuk berjumpa Allah kelak di akhirat. Pasalnya, amal kebajikan yang dikerjakan tanpa pamrih, akan mendapatkan ridha dan rahmat Allah. Allah berfirman dalam Q.S Al Kahfi ayat 110;
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.
Demikian penjelasan terkait ikhlas kunci utama perbuatan diterima Allah. Semoga bermanfaat.
Mengenal Hadis Maqbul dan Mardud
Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalah al-Hadits menjelaskan, jika ditinjau kuat dan lemahnya sanad, hadis ahad terbagi menjadi dua; maqbul dan mardud.
Hadis maqbul artinya hadis yang telah jelas kebenaran yang diriwayatkan perawi. Maqbul sendiri secara bahasa berarti yang diterima. Hukum hadis maqbul adalah wajib dijadikan landasan dalil hukum dan diamalkan.
Berdasarkan kualitasnya, hadis maqbul terbagi menjadi empat bagian;
- Shahih li dzatihi; Hadis yang sanadnya tersambung, dengan perantara perawi yang ‘adil dan kuat hafalannya, tanpa ada syadz dan illat.
- Shahih li lighairihi; Hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih karena ada riwayat yang sama yang lebih kuat darinya.
- Hasan li dzatihi; hadis yang sanadnya tersambung dengan perantara perawi yang adil tapi terdapat kekurangan pada hafalannya, tidak ada syadz dan illat.
- Hasan di ghairihi; hadis dhaif yang naik dejaratnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang lebih kuat darinya.
Jika hadis maqbul adalah hadis yang memiliki syarat-syarat hadis maqbul seperti dijelaskan di atas, maka hadis mardud adalah hadis yang tidak mencukupi syarat hadis maqbul. Setiap hadis yang mardud atau ditolak hukumnya dhaif.
Menurut ulama mutaqaddimin, hadis dhaif ada yang matruk (ditinggal) dan ada yang tidak sampai matruk (ditinggal) ini merupakan penjelasan Ibnu Taimiyah. Sementara ulama muta’akhirin menyebutkan, hadis mardud adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahih dan tidak pula syarat hadis hasan.
Artinya hadis mardud adalah hadis yang tidak jelas kebenaran riwayat yang disampaikan perawi. Secara bahasa, mardud artinya yang ditolak dan tidak diterima. Hukumnya, hadis mardud tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib mengamalkannya. Hadis tertolak terkadang karena sanadnya terputus atau karena terdapat masalah pada diri perawi.
Hidup Sederhana Tanpa Utang
Kapuskes Haji: Tak Ada Larangan Merek Vaksin Covid Tertentu
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan Arab Saudi tidak pernah menyatakan pelarangan vaksinasi Covid-19 dengan merek tertentu bagi jamaah haji. Hal ini disampaikan Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) Haji, Eka Jusup Singka, dalam kegiatan Bahtsul Masail Perhajian di Ciawi, Bogor.
Hal ini disampaikan Eka untuk menjawab munculnya polemik di masyarakat, dimana beredar informasi jika vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia tidak diakui di Arab Saudi.
“Kepada seluruh jamaah haji Indonesia, calon jemaah haji dan umrah, Arab Saudi itu tidak pernah menyatakan adanya larangan vaksin dengan merek tertentu,” kata Eka dalam siaran persnya, Kamis (29/4).
Alih-alih melarang pemakaian vaksin dengan merek tertentu, Eka menjelaskan Arab Saudi lebih menekankan kewajiban calon jamaah haji dan umrah untuk mendapat vaksinasi Covid-19 sebelum masuk ke Arab Saudi.
Karenanya, Eka mengimbau calon jamaah haji segera mengikuti program vaksinasi covid-19. Vaksinasi ini harus segera dilaksanakan, agar saat sudah ada penetapan kuota dari pemerintah Saudi, calon jamaah haji telah siap secara kesehatan.
“Kepada jamaah haji dan umrah, segera memvaksin diri di tempatnya masing-masing. Karena datanya sudah dimasukkan ke dalam P-care dan nanti dapat melakukan vaksinasi di fasilitas kesehatan yang tersedia,” ujar Eka.
Sebelumnya, Kemenkes telah menetapkan skema vaksinasi terhadap calon jamaah haji 2021. Kemenkes membagi data prioritas masyarakat ke dalam dua kelompok, yakni kelompok lanjut usia (lansia) dan masyarakat rentan.
“Rentan ini karena mereka melakukan perjalanan lintas negara. Hanya yang memenuhi syarat vaksinasi yang akan memperoleh vaksinasi Covid-19. Kalau ada komorbid, tentunya tidak akan dilakukan vaksinasi, penyuntikan tidak akan kita lakukan,” lanjutnya.
Eka menambahkan, untuk pelaksanaan haji dan umrah di masa pandemi, seluruh jamaah haji diwajibkan untuk mendapatkan dua jenis vaksin, yakni vaksinasi Covid-19 dan meningitis.
Pemerintah Saudi dalam hal ini Kementerian Kesehatan, telah meminta seluruh jamaah haji dan umrah dilengkapi dengan bukti vaksinasi berupa sertifikat vaksinasi. Hal ini serupa dengan vaksinasi meningitis.
Hukum Mengunci Masjid di Luar Waktu Shalat
Mengunci masjid di luar waktu shalat jamak kita dapati di Indonesia. Terlebih di pelbagai kota-kota besar di Indonesia. Fenomena ini juga sudah menyebar ke pelbagai desa—meski belum seramai di kota—,di Indonesia.
Lebih dari itu, bukan saja pintu masjid yang ditutup, tetapi fasilitas lain juga ikut digembok. Misalnya, kamar mandi, toilet, dan tempat berwuduk. Alasannya pun berbagai macam; ada yang takut digandrol pencuri, ada yang mengelakkan orang lain masuk ke kamar mandi atau toilet padahal tak ingin shalat.
Ini sekelumit alasan mengunci masjid di luar waktu shalat. Nah dalam pandangan fiqih Islam bagaimana hukum mengunci masjid di luar waktu shalat?
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Syarah al Muhadzab, al Sumayri dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mengunci masjid di luar waktu shalat untuk menjaga masjid dan peralatan masjid hukumnya boleh. Imam Nawawi berkata;
لا بأس بإغلاق المسجد في غير وقت الصلاة ؛ لصيانته أو حفظ آلاته
Artinya: Tak apa-apa mengunci masjid di luar waktu shalat, untuk menjaga masjid dan alat-alat masjid.
Di sisi lain, sebagaimana difatwakan oleh Habib Salim bin Jindan dalam kitab al-Ilmam bi Ma’rifat al-Fataawi al-Ahkaam yang sudah diterjemahkan dan ditahqiq oleh Ibnu Kharish, dalam keadaan begini— takut pencurian dan merusak alat-alat masjid—, maka boleh mengunci masjid. Pasalnya, dikhawatirkan menodai masjid, kehilangan perabotan di dalamnya, dan tidak ada faktor yang membuat mendesak untuk di buka.
Sementara itu di kalangan mazhab Hanafi terdapat perbedaan pendapat terkait mengunci masjid di luar waktu shalat. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rajab dalam kitab Fathul Bari Syarah Shoheh Bukhari. Para ulama Hanafi ada yang mengatakan makruh mengunci masjid di luar waktu shalat. Pasalnya akan mencegah orang lain untuk beribadah—membaca Al-Qur’an, berzikir, dan iktikaf.
Sebagian ulama lain, ada juga yang menyebutkan boleh mengunci masjid di luar waktu shalat. Dengan catatan, untuk menjaga masjid dari kotoran, sampah, dan orang yang ingin merusak masjid. Di samping itu, boleh juga mengunci masjid untuk menjaga peralatan masjid dari pencurian. Ibnu rajab berkata;
واختلف الحنفية في إغلاق المساجد في غير أوقات الصلوات : فمنهم من كرهه ؛ لما فيه من المنع من العبادات . ومنهم من أجازه ؛ لصيانته وحفظ ما فيه
Artinya: terdapat perbedaan ulama dari kalangan Hanafi terkait mengunci masjid di luar waktu shalat wajib yang lima; sebagian mereka mengatakan makruh, sebab mencegah orang untuk beribadah di masjid. Sebagian yang lain membolehkan untuk memelihar masjid dan menjaga pelbagai barang yang ada di dalamnya.
Sementara itu Imam Burhanuddin Ali bin Abi Bakar al Marghinani dalam kitab Hidayah Syarah Bidayah al Mubtadi mengatakan makruh hukumnya mengunci masjid di luar waktu shalat. Pasalnya, perbuatan mengunci masjid serupa dengan melarang orang untuk mengerjakan shalat. Meski begitu, ada juga yang mengatakan boleh menguncinya jika khawatir barang-barang masjid rusak apabila masjid dibuka di luar waktu shalat.
Namun, apabila tidak dikahwatirkan terjadi mafsadah—pencurian, kotoran, dll—, dan tidak dikahwatirkan ternodai kemuliaan masjid apabila tetap dibuka, dan masyarakat sekitar masjid lebih senang masjid di buka, maka menurut Habib Salim bin Jindan sunah hukumnya membuka masjid. Sebagaimana Masjid Nabawi tak pernah ditutup pada era Nabi Muhammad
Pada sisi lain, Kamal bin Hamam mengatakan haram mengunci masjid bila tidak dikhawatirkan adanya pencurian dan perusakan masjid. Pasalnya perbuatan itu sama dengan melarang orang beribadah dan shalat di rumah Allah. Ia menyentil firman Allah dalam Al-Qur’an Q.S al Baqarah ayat 114;
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا ٱسْمُهُۥ وَسَعَىٰ فِى خَرَابِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَآ إِلَّا خَآئِفِينَ ۚ لَهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا خِزْىٌ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Latin: Wa man aẓlamu mim mam mana’a masājidallāhi ay yużkara fīhasmuhụ wa sa’ā fī kharābihā, ulāika mā kāna lahum ay yadkhulụhā illā khā
ifīn, lahum fid-dun-yā khizyuw wa lahum fil-ākhirati ‘ażābun ‘aẓīm
Artinya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.
Demikian penjelasan hukum terkait persoalan ini. Semoga bermanfaat.
Cara Rasulullah SAW Lindungi Keluarga dari Fitnah Saat Haji
Nabi Muhammad SAW selalu melindungi keluarganya dari fitnah dan cobaan yang terjadi saat pelaksaan haji. Saat ibadah haji terutama saat tawaf dan sai, sentuhan fisik (berdesakan) antara pria dan wanita tidak bisa dihindari.
“Pada saat laki-laki dan perempuan berkumpul, dalam satu tempat (tawaf dan sai) maka peluang terjadinya fitnah menjadi terbuka, terutama bagi kaum perempuan,” kata Abu Talhah Muhammad Yunus Abdussatar dalam buku ‘Haji jalan-jalan atau ibadah’
Atas alasan itulah kata Abu Thalhah, Nabi selalu khawatir terjadinya fitnah terhadap keluarganya pada saat berhaji. “Dia berkeinginan kuat untuk menjaga dan menghindarkan mereka dari fitnah,” katanya. Bagaimana cara nabi menghindarkan keluarganya dari fitnah. Berikut di antaranya.
Pertama, Nabi menolehkan tengkuk Fadl bin Abbas pada saat dia mulai memandangi seorang pemudi suku Khats’am karena khawatir setan menguasai dirinya.
Kedua, Nabi memerintahkan para istrinya untuk menurunkan kain penutup kepala guna melindungi wajah mereka setiap kali ada laki bukan mahram yang lewat di hadapan mereka. “Bila laki-laki yang bukan mahram tersebut telah pergi dari tempat Nabi mereka membuka kembali kerudung kepala mereka.”(HR Abu Daud)
Ketiga, Nabi memberikan arahan kepada para istrinya agar tidak bercampur dengan laki-laki, walaupun mereka tetap bersama dalam bertawaf. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW kepada Ummu Salamah ketika dia mengeluhkan sakitnya. “Tawaflah di belakang laki-laki dengan menaiki kendaraan.” (HR Bukhari)
Dalam riwayat yang lain Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya. “Apabila orang-orang sedang melaksanakan salat subuh, maka tawaflah di atas kedaranmu. Ummu Salamah lalu melaksanakan sabda Nabi tersebut dan Baru melakukan salat subuh setelah menyelesaikan tawafnya.” (HR Bukhari).
Hal demikian juga ditunjukkan hadits riwayat Ibnu Juraij dia berkata, “Atha menceritakan sebuah hadits kepadaku, bahwa Ibnu Hisyam melarang kaum perempuan untuk bertawaf bersama laki-laki.” Atha berkata. “Bagaimana dia dapat melarang mereka padahal istri-istri nabi tawaf bersama orang-orang laki-laki.
Juraij bertanya kepadanya. “Apakah setelah diwajibkan hijabah ataukah sebelumnya? Dia menjawab, “Jelas aku menemuinya setelah diwajibkannya hijab.
Juraij melontarkan pertanyaan, “Bagaimana mereka tawaf bersama orang laki-laki.?” Dia menjawab, memang tidak sepenuhnya bercampur baur dengan laki-laki,”
Aisyah istri Nabi selalu bertawaf bersama-sama, namun menyendiri dan menjaga jarak dari orang-orang laki-laki. Suatu ketika seorang perempuan mengajaknya. “Wahai Ummul Mukminin kemari kita beristilam (mengucapkan tangan pada Hajar Aswad atau rukun yamani), Aisyah RA berkata, “Ah, tidak.”
Maka rombongan wanita itu keluar di malam hari dan tawaf bersama kaum laki-laki, dengan cara jika mereka masuk ke Masjidil Haram, maka giliran kaum laki-laki keluar.
Aku Ibnu Juraij bersama Ubaid bin Umair dulu pernah mendatangi Aisyah. Saat itu dia berada di atas bila titik Aku Bertanya kepadanya, lalu Apakah tutup hijabnya dia berada di dalam suatu kubah Turki yang ada tutupnya. Hanya itulah yang membatasi kami dengannya. Aku melihatnya memakai baju merah Mawar tik HR Bukhari dalam satu riwayat disebutkan, “Aku telah melihat yang memakai pakaian kekuning-kuningan, dan saat itu aku masih kecil.”
Keempat, Nabi tidak memerintahkan mereka untuk berlari-lari kecil pada saat tawaf mengelilingi Kabah dan beralih pada daerah landai antara bukit safa dan Marwah. Hal ini sebagaimana dipahami dari kata kata Aisyah, “Wahai para wanita, Kalian tidak perlu berlari kecil ketika tawaf seperti laki-laki titik kamilah teladan kalian.” (HR Baihaqi).
Kelima, Nabi mengarahkan para istrinya untuk berdiam di rumah setelah berhaji bersamanya. Nabi bersabda kepada mereka pada saat haji Wada, “Ini haji yang wajib bagi kalian. Setelah ini kalian tak mengapa berdiam di rumah-rumah dan kalian tidak wajib haji lagi.” (HR Abu Daud).